BAB III ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG
Penyusunan Rencana Strategis BAPERMAS PEREMPUAN & KB Kota Semarang sangat terkait erat dengan isu yang muncul di bidang pengembangan sumber daya alam (SDA), lingkungan dan teknologi tepat guna (TTG); pengembangan ekonomi masyarakat; kelembagaan dan sosial budaya masyarakat serta pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana di Kota Semarang. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi isu beserta faktafakta pendukungnya pada masing-masing bidang tersebut. Berikut ini beberapa isu bidang pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana (KB) di Kota Semarang yang berhasil diidentifikasi beserta fakta-faktanya:
3.1 ISU BIDANG PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM (SDA), LINGKUNGAN DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA (TTG) Keberlanjutan dan pengembangan SDA, lingkungan dan penerapan teknologi tepat guna dipengaruhi oleh peran serta dari masyarakat dan perempuan sebagai pihak yang terkait langsung yakni sebagai pengguna maupun sebagai pihak yang terkena dampak dari ketiga hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengidentifikasian isu yang terkait dengan pengembangan sumber daya alam (SDA), lingkungan dan teknologi tepat guna, sebagai pertimbangan dan masukan dalam menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut: 3.1.1 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kota Semarang dalam Penggalian Potensi SDA dan Penerapan TTG Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggalian potensi SDA salah satunya dapat dilihat pada pemanfaatan lahan. Lahan di Kota Semarang sebagian masih berupa lahan pertanian, terutama lahan yang terdapat di daerah pinggiran seperti daerah Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang, Pedurungan dan Genuk. Lahan-lahan tersebut sebagian masih menghasilkan beberapa komoditas pertanian. Dimana komoditas pertanian tersebut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Semarang. Sumber daya tersebut jika diolah akan turut berkontribusi pada tingkat
51
kesejahteraan masyarakat. Komoditas pertanian di Kota Semarang antara lain mencakup tanaman bahan makanan seperti, padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang hijau dan tanaman pangan lainnya. Berikut ini adalah penjelasan singkat atas beberapa komoditas pertanian yang masih terdapat di Kota Semarang: Produksi Jagung Secara umum komoditas jagung di Kota Semarang hanya dihasilkan oleh beberapa kecamatan. Pada tahun 2003 Kota Semarang menghasilkan komoditas jagung sebanyak 271 ton. Adapun kecamatan yang menghasilkan komoditas jagung di Kota Semarang pada tahun 2003 adalah Kecamatan Mijen (13 ton), Kecamatan Gunungpati (108 ton), Kecamatan Tembalang (60 ton) dan Kecamatan Ngaliyan (1 ton). Untuk daerah lainnya di Kota Semarang tidak menghasilkan komoditas jagung. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan lahan pertanian di daerah-daerah lainnya di Kota Semarang. Adapun rincian daerah pengahsil komoditas jagung di Kota Semarang Tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel III.1 Tabel III.1 Produksi Jagung di Kota Semarang Tahun 2003 No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan Kalisegoro Sekaran Rowosari Jatibarang Bubakan Polaman Ngaliyan
108 24 10 60 10 2 1 1 216
2 3
Tembalang Mijen
4 Ngaliyan Jumlah
Persentase Kecamatan 65,74 27,78 6,02 0,46 100
(%)
Persentase (%) Kelurahan 50,00 11,11 4,63 27,78 4,63 0,93 0,46 0,46 100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,74% Gunungpati Tembalang Mijen Ngaliyan 27,78% 0,46% 6,02%
Gambar 3.1 Prosentase Produksi Komoditas Jagung Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
52
Produksi Kedelai Sama halnya dengan komoditas jagung, komoditas kedelai hanya dihasilkan oleh beberapa kelurahan di beberapa kecamatan di Kota Semarang. Produksi kedelai di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 684 ton. Produksi kedelai di Kota Semarang antara lain dihasilkan oleh Kecamatan Mijen (324 ton), Kecamatan Gungungpati (167 ton), Kecamatan Semarang Timur (108 ton), Kecamatan Ngaliyan (11 ton), Kecamatan Tembalang (51 ton), dan Kecamatan Banyumanik (23 ton). Sedangkan pada daerah lain di Kota Semarang, komoditas kedelai tidak dihasilkan karena minimnya ketersediaan lahan untuk area pertanian Tabel III.2 Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003 No 1
2 3
4 5
Kecamatan Gunungpati
Semarang Timur Mijen
Ngaliyan Tembalang
6 Banyumanik Jumlah
Kelurahan Sukorejo Kalisegoro Sadeng Purwosari Jatibarang Purwosari Bubakan Gondoriyo Rowosari Meteseh Bulusan Banyumanik
Produksi (ton) 34 108 25 108 108 108 108 11 42 5 4 23 684
Persentase (%) Kecamatan 24,42 15,79 47,37 1,61 7,46 3,36 100
Persentase (%) Kelurahan 4,79 15,79 3,65 15,79 15,79 15,79 15,79 1,61 6,14 0,73 0,58 3,36 100
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
15,79%
47,37%
24,42% 3,36%
7,46% 1,61%
Gunungpati Semarang Timur Mijen Ngaliyan Tembalang Banyumanik
Gambar 3.2 Prosentase Produksi Komoditas Kedelai Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Pohon Produksi ketela pohon di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 548 ton. Produksi komoditas ketela pohon diantranya dihasilkan di Kecamatan Gunungpati (318 ton),
53
Kecamatan Tembalang (120 ton), Kecamatan Mijen (109 ton), Kecamatan Ngliyan (1 ton). Tabel III.3 Produksi Ketela Pohon di Kota Semarang Tahun 2003 No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan Sekaran Bubakan Gondoriyo Rowosari
256 62 109 1 120 548
3 Mijen 4 Ngaliyan 5 Tembalang Jumlah
Persentase (%) Kecamatan 58,03 19,89 0,18 21,90 100
Persentase Kelurahan 46,72 11,31 19,89 0,18 21,90 100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
58,03 Gunungpati Mijen Ngaliyan Tembalang 21,90
19,89%
0,18%
Gambar 3.3 Prosentase Produksi Komoditas Ketela Pohon Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Ketela Rambat Produksi ketela rambat di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 378 ton, yang tersebar di Kecamatan Mijen (113 ton), Kecamatan Ngaliyan (106 ton), Kecamatan Gunungpati, (103 ton) Kecamatan Banyumanik (38 ton), Kecamatan Tembalang (106 ton) dan Kecamatan Semarang Utara (116 ton). Tabel III.4 Produksi Kedelai di Kota Semarang Tahun 2003 No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan Nongkosawit Sadeng Kalisegoro Jatirejo Cepoko Jatibarang Purwosari Bubakan
70 15 6 5 3 4 6 1 106
3
Mijen
Persentase (%) Kecamatan
27,84
30,54
Persentase Kelurahan 18,92 4,05 1,62 1,35 0,81 1,08 1,62 0,27 28,65
(%)
54
No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
4 5
Ngaliyan Tembalang
Ngaliyan Bulusan Rowosari Purwosari Banyumanik
106 6 3 1 38 370
6 Semarang Utara 7 Banyumanik Jumlah
Persentase (%) Kecamatan 28,65 2,43 0,27 10,27 100
Persentase Kelurahan 28,65 1,62 0,81 0,27 10,27 100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
30,54%
27,84% 1,270% 027% 2,43%
28,65%
Gunungpati Mijen Ngaliyan Tembalang Semarang Utara Banyumanik
Gambar3.4 Prosentase Produksi Komoditas Ketela Rambat Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Padi Produksi padi di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 4441 ton. Produksi padi di Kota Semarang sendiri tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Pati sebanyak 2358 ton (52,52%), Kecamatan Mijen sebanyak 1113 ton (27,9%), Kecamatan Tembalang sebanyak 358 ton (8,80%), Kecamatan Ngaliyan sebanyak 381 ton (8,48%), Kecamatan Semarang Utara sebanyak 131 ton (2,92%), Kecamatan Banyumanik sebanyak 89 ton (1,98%) dan Kecamatan Semarang Barat sebanyak 2 ton (0,04%). Adapun riciannya adalah sebagai berikut: Tabel III.5 Produksi Padi di Kota Semarang Tahun 2003 No 1
Kecamatan Gunungpati
2
Mijen
4 Ngaliyan 5 Tembalang 6 Semarang Barat 7 Semarang Utara 8 Banyumanik Jumlah
Kelurahan Pakintelan, Sadeng, Sekaran, Pongangan, Jatirejo, Ngijo, Patemon, Nongkosawit, Cepoko, Mangunsari, Kandri, Sumurejo, Kalisegoro Jatibarang, Polaman, Jatisari, Purwosari, Tambangan, Cangkiran dan Bubakan Ngaliyan Meteseh Banyumanik
2358
Produksi (ton)
Persentase (%) 53,10
1113
25,06
381
8,58 8,06 0,05 2,95 2,21 100
358 2 131 89 4441
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
55
8,58%
25,06% 53,10%
8,06% 2,95% 0,05%
Gunungpati Mijen Ngaliyan Tembalang Semarang Utara Banyumanik Semarang Barat
2,21%
Gambar 3.5 Prosentase Produksi Komoditas Padi Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Produksi Kacang Tanah Produksi komoditas kacang tanah di Kota Semarang pada tahun 2003 mencapai 124 ton. Produksi komoditas tersebut tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Gunungpati (81 ton), Kecamatan Mijen (2 ton) dan kecamatan Tembalang (41 ton). Sedangkan untuk daerah lainnya di Kota Semarang tidak mengahsilkan komoditas kacang tanah. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada Tabel III.6 Tabel III.6 Produksi Kacang Tanah di Kota Semarang Tahun 2003 No
Kecamatan
Kelurahan
Produksi (ton)
1
Gunungpati
Pakintelan Sekaran Polaman Rowosari
63 18 2 41 124
2 Mijen 3 Tembalang Jumlah
Persentase (%) Kecamatan 65,32 1,31 33,06 100
Persentase Kelurahan 50,8 14, 52 1,61 33, 06 100
(%)
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003
65,32% 33,06%
Gunungpati Mijen Tembalang
1,31%
Gambar 3.6 Prosentase Produksi Komoditas Kacang Tanah Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Berdasarkan data beberapa komoditas pertanian di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2003 produksi komoditas pertanian Kota Semarang sebanyak 6383 ton yang tersebar di beberapa kecamatan. Dimana sebagian besar kecamatan penghasil komoditas pertanian tersebut berada di daerah pinggiran Kota Semarang. Adapun komoditas pertanian terbesar
56
yang dihasilkan adalah padi sebanyak 69,58% dari total komoditas pertanian yang dihasilkan, kemudian disusul oleh komoditas kedelai sebesar 10,72 % dan yang paling sedikit adalah komoditas kacang tanah yang hanya 1,94 % dari total komoditas yang dihasilkan di Kota Semarang. Tabel III.7 Produksi Pertanian Tanaman Pangan di Kota Semarang Tahun 2003 No 1
Komoditas Jagung
2
Kedelai
3
Ketela Pohon
4
Ketela Rambat
5
Padi
6 Kacang Tanah Jumlah
Kecamatan Gunungpati, Tembalang, Mijen, Ngaliyan Gunungpati, Semarang Timur, Mijen Ngaliyan, Tembalang, Banyumanik Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang, Semarang Utara, Banyumanik Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Tembalang, Semarang Barat, Semarang Utara, Banyumanik Gunungpati, Mijen, Tembalang
Produksi (ton)
Persentase (%)
216
3,38
684
10,72
548
8,59
370
5,80
4441
69,58
124 6383
1,94 100
Jumlah
Sumber: Potensi Desa Provinsi Jawa Tengah, 2003 & analisis penyusun 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Jagung
Kedelai
Ketela Pohon
Ketela Rambat
Komoditas
Padi Produksi (ton)
Gambar 3.7 Jumlah Produksi Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Di Kota Semarang Tahun 2003 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
Dengan jumlah penduduk yang tinggi dan membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar, sebenarnya pertanian tanaman pangan di Kota Semarang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Walapun jumlah produksi pertanian yang dihasilkan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan produksi pertanian tanaman pangan di daerah sekitarnya seperti Kabupaten Semarang yang mencapai 223.797 ton (www.semarangkab.go.id, diakses tanggal 17 Juni 2009), namun ada peluang yang bisa dijadikan sebagai media pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan SDA.
57
Potensi ini dapat dimanfaatkan menjadi kemampuan riil melalui penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pemanfaatan potensi ini dapat dilaksanakan dengan optimal melalui keterlibatan masyarakat dan dunia usaha. Akan tetapi hal ini terkendala dengan rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pertanian Kota Semarang yang ditunjukkan dengan sedikitnya penduduk Kota Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya 2% (Podes Jawa Tengah Tahun 2003).
3.1.2 Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan dan Penerapan TTG Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dapat dilihat dari kondisi lingkungan dan sarana prasarana Kota Semarang. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan penerapan TTG akan menetukan keberlanjutannya lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu uraian berikut akan memaparkan sejumlah fakta yang terkait dengan kondisi lingkungan dan sarapras di Kota Semarang. Kondisi Sanitasi (Jamban) Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang (92 %) telah memiliki sistem pembuangan limbah yang berupa jamban sendiri, sedangkan lainnya menggunakan sistem pembuangan bukan jamban (1%), jamban bersama (2 %), dan jamban umum (5 %). Penggunaan jamban individu tersebar dan mendominasi hampir di setiap kecamatan di Kota Semarang, sedangkan pengguna sistem pembuangan lain dirinci sebagai berikut : Tabel III.8 Sistem Pembuangan di Kota Semarang No Jenis sistem pembuangan 1
2
3
Kecamatan Kelurahan Mijen Karangmalang Sistem pembuangan bukan jamban Banyumanik Jabungan Mijen Jatibarang Gunungpati Mangungsari Sistem jamban bersama Semarang Utara Kuningan Tugu Randugarut , Mangunharjo Ngaliyan Bamban Kerep Mijen Kedungpane Gunungpati Kandri Semarang Timur Karangturi Sistem jamban umum Semarang Utara Dadapsari, Tanjungsari, dan Bandarharjo Semarang Tengah Kembangsari Ngaliyan Podorejo
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
58
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar lingkungan tempat tinggal masyarakat di Kota Semarang sudah memiliki saluran pembuangan (jamban) sendiri. Akan tetapi sebagian juga masih ada yang menggunakan sistem pembuangan bukan jamban, sistem jamban bersama dan sistem jamban umum sebanyak 8 %. Kota Semarang yang notabennya merupakan kota metropolitan seharusnya seluruh masyarakatnya sudah menggunakan jamban sendiri. Angka 8% tersebut menjadi perhatian BAPERMASPER & KB bersama dengan instansi terkait lainnya agar hal tersebut tidak menimbulkan pemasalahan, khususnya yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberdayakan masyarakat setempat dalam menjaga lingkungannya. Kondisi Saluran Drainase Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan kondisi lancar (86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang (2 %), tidak ada saluran (1 %) dan tidak lancar (11%). Kondisi drainase lancar mendominasi sebagian besar kelurahan di Kota Semarang, sedangkan kondisi drainase lainnya tersebar sebagai berikut : Tabel III.9 Kondisi Drainase di Kota Semarang No
Kondisi Drainase
1
Tergenang
2
Tidak ada saluran
3
Tidak lancar
Kecamatan Semarang Selatan Semarang Utara Mijen Banyumanik Ngaliyan Pedurungan Genuk Gayamsari Semarang Timur Semarang Timur Semarang Tengah Semarang Barat Tugu
Kelurahan Bulustalan Kuningan, Tanjungmas Polaman Jabungan Ngadirgo Tlogosari Kulon Karangroto Siwalan, Sambirejo, Kaligawe, Tambakrejo Kebonagung, Mlatibaru, Rejomulyo, Kemijen Bulu Lor, Plombokan, Panggung Lor, Dadap Sari Karang Kidul Karang Ayu, Tawang Mas Randugarut
Sumber: www.semarang.go.id, Diakses 17 Juni 2009
Sama halnya dengan kondisi sanitasi, kondisi saluran drainase di Kota Semarang sebagian juga masih bermasalah. Terutama pada daerah semarang bawah yang dekat dengan daerah pesisir seperti yang diterangkan pada Tabel III.10 di atas. Kondisi kelancaran dan opimalnya fungsi drainase di Kota Semarang erat kaitannya dengan prilaku masyarakat
59
Kota Semarang itu sendiri. Dalam hal ini prilaku sebagian masyarakat yang masih membuang sampah di sungai dan semakin bayaknya konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi terbangun di daerah Semarang atas seperti Gunungpati, Mijen dan daerah Kabupaten Semarang, yang pada dasarnya sebagai daerah penyangga. Pada sisi lain walaupun teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah banyak ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah, sumur resapan, biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di tingkat komunitas masih relatif minim. Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan BAPERMASPER & KB memiliki peran yang strategis untuk mengambil bagian dalam memberdayakan dan membangun perilaku masyarakat yang sadar lingkungan.
3.2 ISU BIDANG PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT Ketidakberdayaan menjadi permasalahan klasik dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Sedangkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan menjadi tujuan dari pengembangan ekonomi masyarakat. Ketidakberdayaan secara ekonomi masyarakat dapat ditinjau dari rendahnya tingkat pendapatan setiap rumah tangga. Pendapatan perkapita Kota Semarang secara umum sebesar Rp 19 juta/tahun atau Rp 1,6 juta/bulan. Ini berarti pendapatan rata-rata perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi keluarga terdiri 4 (empat) orang. Namun, pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai pendapatan Rp 640 ribu perbulan. Hal tersebut tentu saja merupakan suatu hal yang sangat ironis. Pada tahun 2003, 93% kelurahan di Kota Semarang memiliki jumlah persebaran keluarga sejahtera dan prasejahtera yang relatif sedikit (0-210 keluraga/ kelurahan). Adapun 5% kelurahan memiliki jumlah persebaran keluarga sejahtera dan prasejahtera sedang (211685 keluraga/ kelurahan). Sedangkan kelurahan dengan jumlah persebaran keluarga sejahtera dan prasejahtera kategori tinggi (686- 1626 keluraga/ kelurahan) masih 2 %. Adapun pada tahun yang sama, persebaran masyarakat Kota Semarang yang menerima surat miskin dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni kelurahan dengan jumlah penerima surat miskin rendah (0-28 orang/kelurahan), sedang (29-269 orang/kelurahan) dan tinggi (270-562 orang/kelurahan). Terdapat beberapa kelurahan yang sebagian besar masyarakatnya masih menerima surat miskin. Kelurahan yang tingkat penerimaan surat miskinnya termasuk kategori sedang diantaranya sebagai berikut: 60
Kecamatan Ngaliyan terdapat di Kelurahan Bamban Kerep
Kecamatan Gajahmungkur terdapat di Kelurahan Bendungan dan Kelurahan Gajahmungkur
Kecamatan Banyumanik terdapat di Kelurahan Ngesrep
Kecamatan Semarang Selatan terdapat di Kelurahan Barusari, Kelurahan Mugasari, Kelurahan Peterongan dan Kelurahan Lamper Tengah
Kecamatan Semarang Tengah terdapat di Kelurahan Kranggan, Kelurahan Purwodinatan dan Kelurahan Kauman
Kecamatan Genuk terdapat di Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Trimulyo, Kelurahan Genuksari, Kelurahan Penggaron Lor, dan Kelurahan Kudu
Sedangkan kelurahan yang tingkat penerimaan surat miskinnya termasuk kategori tinggi hanya terdapat di empat kelurahan yang lokasinya berada di daerah pinggiran. Kelurahan tersebut yakni:
Kelurahan Plalangan di Kecamatan Gunungpati,
Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan,
Kelurahan Karangroto dan Kelurahan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk.
Bidang pengembangan ekonomi masyarakat merupakan bidang yang menangani halhal yang terkait dengan isu, permasalahan dan upaya-upaya bagaimana menumbuhkan prakarsa khususnya masyarakat ekonomi lemah di bidang perekonomian. Dari sudut pandang ini terdapat kaitan yang erat antar bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bidang pemberdayaan perempuan. Upaya pengembangan ekonomi masyarakat ini salah satunya dapat dilakukan dengan cara memberdayakan masyarakat secara umum ataupun perempuan. Oleh karena itu perlu digali isu-isu yang terkait dengan bidang pengembangan ekonomi masyarakat di Kota Semarang sebagai pertimbangan dan masukan dalam menetapkan Renstra BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut:
3.2.1 Rendahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia untuk Pengembangan Ekonomi Rendahnya kapasitas SDM untuk pengebangan ekonomi diakibatkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor struktural yakni masih rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan keluarga dan tetap eksisnya kemiskinan di Kota Semarang. Besarnya upah atau gaji yang diterima dari suatu mata pencaharian ini sangat menentukan tingkat kesejahteraan 61
masyarakat. Pada tahun 2003 sekitar 49% masyarakat Kota Semarang yang bekerja sebagai buruh mendapatkan gaji sesuai batas UMR. Dimana dengan penghasilan sebesar itu dengan kondisi harga yang terus meningkat, tentu saja sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai dari makan, pendidikan dan kesehatan. Buruh sebagai jenis mata pencaharian tergolong sebagai mata pencaharian yang rentan dari berbagai macam ketidakpastian seperti PHK, eksploitasi hak buruh, dan terjebaknya buruh dalam kemiskinan. Telah banyak usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat secara individual maupun berkelompok untuk keluar dari perangkap kemiskinan namun mengalami kegagalan. Keinginan masyarakat secara umum untuk keluar dari jebakan kemiskinan tersebut sulit dilakukan karena rendahnya kapasitas masyarakat yang bersangkutan. Kegagalan-kegalan tersebut selanjutnya menciptakan sikap apatis yang ada dimasyarakat. Oleh karena itu keberadaan BAPERMASPER & KB Kota Semarang diharapkan mampu turut menyelesaikan permasalah ini dengan menumbuhkan dan meningkatkan kapasistas ekonomi masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. 3.2.2 Masih Lemahnya Jejaring Pengembangan Ekonomi Masyarakat Problem lain sebagai pemicu kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan menuju kemandirian ekonomi yaitu karena kurangnya kemampuan masyarakat dalam mengakses faktor-faktor ekonomi terutama seperti bantuan modal, teknis, peralatan, dan informasi. Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring pengembangan ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap. Jejaring tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat atau kelompok usaha sebagai beneficaries, pemerintah sebagai fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan ekonomi masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan pengetahuan, disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan berbagai macam bantuan modal, bantuan teknis, maupun peralatan. Oleh karena itu BAPERMASPER & KB memberikan perhatian dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan cara melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama pada daerah-daerah yang masih tinggi angka kemiskinannya dan membangun serta memperkuat jejaring pengembangan ekonomi lokal.
62
3.3 ISU BIDANG KELEMBAGAAN DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT Isu di bidang kelembagaan dan sosial budaya ini dapat dikaitakan dengan besar kecilnya tingkat partisipasi masyarakat Kota Semarang. Adapun beberapa isu permasalahan yang dapat diidentifikasi dari bidang kelembagaan dan sosial di Kota Semarang diantaranya sebagai berikut:
3.3.1. Masih
Rendahnya
Partisipasi
Kelembagaan
Masyarakat
dalam
Proses
Pembangunan Sejauh ini ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan tersebut selalu diasosiasikan dengan lembaga yang membantu penerbitan surat pengantar bagi mereka yang akan memproses permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan lingkungan secara swadaya. Jika diasumsikan terdapat hubungan yang korelatif antara partisipasi kelembagaan masyarakat dengan keamanan lingkungan maka sejauh ini peran kelembagaan masyarakat dapat dikatakan menurun karena berdasarkan data yang ada tingkat kriminalitas di Kota Semarang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus kriminalitas dari tahun 2002 hingga tahun 2006 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.10 berikut:
900
777
800
697
700
652
693
600 500
456
400 300 200 100 0 2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 3.8 Tingkat Kriminalitas Kota Semarang Tahun 2002-2006 Sumber : BPS Kota Semarang, 2006
Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat di lihat ketika bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa ditangkap dengan baik dan teralokasikan sesuai kepada target sasaran program. Sehingga seringkali
63
kita jumpai program-program bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan karena rendahnya kapasistas dan partisipasi kelembagaan lokal. Fenomena lain yang dapat kita lihat sebagai indikasi dari menurunnya peran kelembangaan lokal adalah belum maksimalnya partisipasi masyarakat dalam forum-forum seperti Musrenbang yang pada hakikatnya adalah proses untuk menentukan usulan-usulan dan prioritas pembangunan bagi masyarakat di tingkat lokal. Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat ditingkatkan untuk menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB serta hidup sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang erat diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
3.3.2. Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Masyarakat dalam Pembangunan Partisipasi masyarakat di Kota Semarang yang belum optimal terkait erat dengan lunturnya nilai-nilai budaya masyarakat yang merupakan esensi dari partisipasi itu sendiri. Nilai-nilai budaya masyarakat seperti gotong royong, kerjasama, kepedulian, dan toleransi semakin redup dan berganti dengan nilai-nilai seperti individualisme dan egoisme. Sejumlah indikasi yang dapat dilihat diantaranya adalah semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong royong di lingkungan masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka pemeliharaan kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan. Bahkan sudah terdapat anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur pemerintah dan mulai munculnya kecenderungan bahwa masyarakat menyerahkan urusan-urusan tersebut secara komersial kepada pihak yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat dengan demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang. Sebagai akibatnya terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar dan jika kepedulian tersebut masih ada hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kepentingan yang sama. Sekatsekat diantara masyarakat berdasarkan status sosial-ekonomi ini makin jelas dan menciptakan gated community. Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena menciptakan kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat. Dari uraian diatas dapat 64
disimpulkan bahwa upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai budaya sangat diperlukan dan menjadi salah satu isu dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
3.4 ISU BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Salah satu bidang yang terdapat di BAPERMASPER & KB adalah bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Hal ini terkait dengan masih banyaknya permasalahan perempuan dan anak di Kota Semarang yang belum tertangani secara tuntas dan bahkan belum semua permasalahan tersebut dapat terungkap. Perempuan dan anak merupakan salah satu bagian penting yang harus ditangani terkait dengan adanya upaya pemberdayaan perempuan dan anak di Kota Semarang. Beberapa isu dan permasalahan yang terkait dengan keduanya, yaitu:
3.4.1. Rendahnya Kemandirian dan Pelecehan Terhadap Harkat Martabat Perempuan Rendahnya kemandirian dan pelecehan terhadap harkat dan martabat perempuan di Kota Semarang pada dasarnya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Beberapa indikasinya adalah dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Kota Semarang. Permasalahan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Kota Semarang terkait dengan masih sedikitnya permasalahan-permasalahan terkait yang berhasil ditangani secara tuntas. Hal ini disebabkan masih sedikitnya pihak-pihak yang dapat menyampaikan dan mewakili permasalahan tersebut. Masih sedikit pihak yang mau peduli terhadap permasalah perempuan dan anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan bahwa angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kota Semarang, yaitu sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007). Selain itu juga menurut hasil kajian yang dilakukan Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia Semarang, sepanjang tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan meninggal perbulannya akibat kekerasan berbasis gender (Kompas, 2007). Melihat fakta di atas, maka kasus-kasus seperti di atas dan kasus-kasus lainnya yang terkait dengan perempuan dan anak hendaknya dapat ditangani dan diminimalisir oleh BAPERMASPER & KB Kota Semarang. Penempatan perempuan pada kursi parlemen dan melibatkannya dalam organisasi-organisasi masyarakat merupakan suatu hal penting yang harus dipertimbangkan. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan 65
dapat sedikit banyak diatasi. Selain itu, dengan memberikan proporsi kursi parlemen bagi perempuan, maka isu mengenai adanya ketidaksetaraan gender dapat juga dihindari. Indikasi kedua ditunjukan dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam Organisasai Masyarakat (ORMAS) dan aktivitas perekonomian. Rendahnya partisipasi perempuan dalam ORMAS dan aktivitas perekonomian berhubungan dengan adanya isu gender. Permasalahan gender muncul sebagai salah satu permasalahan perkotaan di Kota Semarang dikarenakan adanya rasa ketidakadilan dari sebagian perempuan dalam memperoleh hak-hak mereka. Di Kota Semarang sendiri permasalahn gender ini dapat terlihat dari komposisi jumlah perempuan di DPRD Kota Semarang 2004-2009 yakni hanya sebanyak 6 (enam) orang sekitar 13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang. Dimana jumlah tersebut belum merepresentasikan partisipasi sesuai undang-undang. Rendahnya partisipasi perempuan ini nantinya akan terkait dengan banyaknya permasalahan perempuan dan anak di Kota Semarang yang dapat terungkap dan terselesiakan. Jadi peran serta perempuan dalam suatu pemerintahan maupun ORMAS akan sangat membantu dalam pengungkapan dan penyelesaian permasalahan perempuan dan anak di Kota Semarang, sehingga permasalahan ini dapat diminimalisir dan bahkan teratasi semua.
3.4.2. Belum Terpenuhinya Hak-Hak Dasar Anak Anak-anak memiliki setidaknya 5 (lima) hak dasar diantaranya hak untuk mendapatkan pendidikan dasar hingga tingkat sekolah menengah pertama, berhak bebas dari kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak manapun, dan hak mendapatkan kehidupan yang layak. Walaupun angka partisipasi sekolah (APS) pada tingkat SD hingga SMP di Kota Semarang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, namun di sisi lain masih sering kita jumpai fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai eksploitasi anak. Pada sudut-sudut kota dan kawasan strategis perkotaan sering kita temui anak-anak balita yang digunakan sebagai ‘alat’ untuk menarik simpati para pengemis. Belum lagi anak-anak jalanan dengan berbagai profesi seperti pengemis, pengamen, penyemir sepatu, dan penjaja koran tidak sedikit kita temukan di berbagai penjuru kota. Belum terpenuhinya hak anak juga dapat dilihat dari hak untuk mendapatkan hidup yang layak. Kalau kita lihat saat ini di Kota Semarang masih terdapat permasalahan gizi buruk pada anak balita. Hal ini umumnya terjadi pada balita di keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang 66
rendah.
Permasalahan gizi buruk pada balita ini dapat diindikasikan melalui indikator
Human Development Index (HDI). Berdasarkan profil kesehatan Kota Semarang (2005), terdapat kecenderungan peningkatan jumlah balita penderita gizi buruk selama lima tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2003 hingga 2005 terjadi fluktuasi jumlah penderita gizi buruk, dari 0,63 pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,23 pada tahun 2004 dan mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 0,94. Demikian juga dengan jumlah balita penderita gizi kurang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.1 berikut ini: Tabel III.10 Prevalensi Status Gizi Balita Kota Semarang Tahun 2003-2005 Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
2003 0,63 9,75 86,65 2,97
Prevalensi (Kasus) 2004 1,23 11,56 83,68 3,53
2005 0,94 11,09 85,98 1,99
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005
Adapun data yang diperoleh dari Harian Suara Merdeka, disebutkan bahwa pada tahun 2005, Dinas Kesehatan Kota Semarang mencatat dari 109.025 balita terdapat 530 anak yang berat badannya di bawah garis merah, dan 17 di antaranya positif menderita gizi buruk Pada tahun 2006, dari 121.215 balita di Kota Semarang, 776 balita atau 0,64% diantaranya berberat badan BGM. Namun dari 776 balita tersebut, 80 diantaranya paling rentan menjadi gizi buruk. Hal tersebut dapat diindikasikan dari berat badan yang jauh dari rata-rata (Suara Merdeka, 2006).
3.5 ISU BIDANG KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG Pada Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BAPERMASPER & KB) salah satu bidang yang penting yaitu bidang keluarga berencana. Hal ini terkait dengan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya turut serta mensukseskan program KB. Selain itu juga masih terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan KB di Kota Semarang sebagai berikut: 3.5.1 Rendahnya Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga Ketahanan dan pemberdayaan keluarga berhubungan dengan bagaimana suatu keluarga dapat melangsungkan hidupnya, dan bertahan pada kondisi yang baik dari segala 67
bentuk permasalahan kehidupan keluarga. Ketahanan dan pemberdayaan ini dapat dikaitkan dengan bagaimana suatu keluarga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dan gizi keluarga serta bekerja.
Akan tetapi secara umum sebagian besar keluarga di Kota Semarang
kesadaran mengenai pemenuhan gizi dan kebutuhan kesehatan masih relatif rendah. Hal ini dibuktikan dengan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Semarang pada tahun 2008 yang hanya berjumlah 1066 kelompok dengan jumlah anggota UPPKS sebanyak 23.345 orang. Dari angka tersebut sekitar 17.392 orang (74,50%) merupakan anggota penerima bantuan modal, 10.888 orang (46,64%) anggota yang berusaha dan 12.475 (56,36%) merupakan anggota yang tidak berusaha. Selain itu, jika ditinjau dari beberapa aspek peran serta masyarakat untuk ikut dalam UPPKS sebagian mengalami kenaikan dan penurunan dari 2007 ke 2008. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel III.11 Peranserta Masyarakat dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Semarang Tahun 2007-2008 No 1
2
3
4
Uraian Perbandingan keluarga Prasejahtera dan Sejahtera 1 a. Jumalah anggota b. Anggota berusaha c. Pesentase Perbandingan Bina Keluarga Balita a. Jumlah kelompok BKB b. Jumlah Kelompok BKB aktif c. Jumlah keluarga aktif d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok Perbandingan Bina Keluarga Remaja (BKR) a. Jumlah kelompok BKR b. Jumlah Kelompok BKR aktif c. Jumlah keluarga aktif d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok Perbandingan Bina Keluarga Lansia (BKL) a. Jumlah kelompok BKL b. Jumlah Kelompok BKL aktif c. Jumlah keluarga aktif d. Rata-Rata Keluarga/Kelompok
2007
2008
Perkembangan
25.904 12.511 48,30 %
23.345 10.888 46,64 %
Turun Turun Turun
289 278 5.350 19-20
288 285 5882 22-23
Turun Naik Naik Naik
157 149 3.096 20-221
148 143 3.345 24-25
Turun Turun Naik Naik
178 173 4.175 20-21
211 206 6.196 29-30
Naik Naik Naik Naik
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan pada kondisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang muncul yakni sebagai berikut: (1) Keterbatasan kader yang mampu dan bersedia, (2) Keterbatasan sarana (APE, Kartu Kembang Anak, Buku Pedoman Kader), (3) Keterbatasan dana operasional untuk pembinaan, pelatihan dan pelaporan, (4) Keterbatasan modal pada 68
bunga rendah, dan (5) Keterbatasan kemampuan anggota kelompok dalam mengelola, memasarkan, menjaga mutu produksi dan pengelolaan keuangan Tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Semarang terkait juga dengan kondisi kesehatan ibu dan anak. Kualitas kesehatan ibu dan anak dalam suatu keluarga berhubungan dengan kemampuan suatu keluarga dalam mengakses kesehatan yang berkualitas. Permasalahan gizi buruk pada anak balita sebagaimana telah diuraikan diatas erat kaitannya dengan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada balita pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan rendah biasanya asupan gizi dan kondisi kesehatannya kurang diperhatikan. Kurangnya berat badan balita di Kota Semarang dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain kurangnya gizi atau adanya kemungkinan menderita penyakit lain. Kekurangan gizi sangat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat, kontaminasi makanan dan minuman balita akibat lingkungan yang tidak sehat dan prioritas hidup lainnya selain makanan bergizi. Di sisi lain, anggaran khusus untuk mengantisipasi bergesernya kasus BGM menjadi gizi buruk belum maksimal. Oleh karenanya, diperlukan suatu tindakan tegas dari semua pihak untuk mengurangi jumlah balita penderita gizi kurang dan buruk demi peningkatan kualitas sumber daya manusia Kota Semarang yang lebih baik. Indikasi lain dari rendahnya kesejahteraan dan ketahanan keluarga adalah tingginya angka kematian ibu melahirkan. Hal ini didasarkan pada profile kesehatan Kota Semarang bahwa pada tahun 2005 angka kematian ibu melahirkan di Kota Semarang mencapai 449 jiwa dan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan dengan angka kematian ibu di tingkat nasional (307 jiwa), angka tersebut dinilai lebih tinggi, walaupun jika dibandingkan dengan angka kematian ibu melahirkan di tingkat Jawa Tengah (509 jiwa) masih lebih rendah (Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005 dan Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005).
69
Gambar 3.9 Perkembangan Jumlah Kematian Ibu di Kota Semarang Tahun 2002-2005 Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005
Gambar 3.10 Perbandingan Jumlah Kematian Ibu Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah dan Indonesia Tahun 2005 Sumber: Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005
3.5.2. Pertumbuhan Penduduk yang Relatif Tinggi Tingginya pertumbuhan penduduk diakibatkan salah satunya oleh angka pertumbuhan alamiah dimana tingkat fertilitas yang masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat di Kota Semarang untuk mengikuti program keluarga berencana (KB) masih sangat rendah. Pada tahun 2008 pencapaian peserta KB baru Kota Semarang adalah PB 39.286 jiwa atau 117,57% dari jumlah PPM yakni 33.414 jiwa. Sedangkan pencapaian peserta KB baru adalah 196.876 jiwa atau 79,63% dari total pasangan usia subur (PUS) sebanyak 247.228 jiwa. Disamping itu partisipasi pria dalam Berpartisipasi dalam KB masih rendah. Berdasarkan data dari badan KB Kota Semarang partisipasi pria dalam pemakaian alat
70
kontrasepsi sebsar 14.337 jiwa (7,28%) dari total peserta KB aktif (196.876 jiwa). Keaktifan tersebut dapat dirinci dengan penggunaan MOP sebanyak 2.484 (17,32%) dan Kondom sebanyak 11.853 jiwa (82.67%). Partisipasi dalam mengadopsi IUD juga sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan data penggunaan IUD tahun 2008 bagi peserta KB baru sebanyak 2.235 (5,69%) yang mengalami kenaikan dari tahun 2007 sebanyak 1.724 jiwa. Sedangkan untuk peserta KB lama penggunaan IUD mengalami penurunan pada tahun 2008 sebanyak 15.346 jiwa (6,21%) dan 2007 sebanyak 15.403 jiwa. Masih adanya kasus komplikasi kegagalan KB diduga menjadi penyebab lain belum optimalnya pembudayaan KB guna menekan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2008 kasus komplikasi dan kegagalan KB mengalami kenaikan. Dimana untuk kasus komplikasi KB pada tahun 2007 sebanyak 6 kasus dan pada 2008 menjadi 12 kasus. Sedangkan untuk kegagalan KB pada tahun 2007 sebanyak 10 kasus dan 2008 menjadi 15 kasus. Permasalahan tingginya laju pertumbuhan alami penduduk terkait juga dengan tidak berfungsinya secara optimal kelembagaan dan jejaring KB. Program Penguatan Kelembagaan dan jaringan KB di Kota Semarang, erat kaitannya dengan Institusi Masyarakat Perkotaan (IMP). Institusi ini merupakan institusi di tingkat lini lapangan (kelurahan ke bawah) sebagai tenaga relawan yang mempunyai peran bantu pelaksanaan program keluarga berencana, sehingga mempunyai peran yang sangat strategis serta sebagai ujung tombak suksesnya program KB Nasional. IMP ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel III.12 Klasifikasi IMP di Kota Semarang No 1 2 3
Uraian Dasar Berkembang Mandiri
PPKBD Jumlah % 0 0 25 14,12 152 87,88
Sub PPKBD Jumlah % 176 12,12 593 43,62 595 43,62
KLP. KS Jumlah % 1.789 20,79 3.374 43,40 3.080 38,80
Sumber: BKB Kota Semarang, 2008
Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan permasalahan bidang Program Penguatan Kelembagaan dan jaringan KB adalah sebagai berikut: (1) Keterbatasan kuantitas dan kulitas Kader terkait dengan adanya kesulitan pengkaderan; (2) Dana Operasional bari sampai di tingkat PPKBD/ SKD; dan (3) Pemahaman Program KB Sebagai investasi jangka panjang belum dipahami masyarakat luas.
71
Terkait permasalahan bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, tentu saja keberadaan BAPERMASPER & KB di Kota Semarang diharapkan dapat menjembatani dalam penetapan kebijakan yang terkait dan penyelesaian permasalahan di atas. Teratasinya permasalahan di atas, diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kota semarang dapat meningkat. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga terkait dengan kurang efektifnya penanganan permasalahan keseharan dan reproduksi remaja (KRR). Pada kenyataannya masih sedikit masyarakat Kota Semarang yang memahami pengetahuan dan permasalahan yang terkait dengan reproduksi remaja. Akibatnya muncul permasalahan terkait dengan reproduksi remaja yakni masih sangat terbatasnya akses informasi tentang KRR di masyarakat. Hal ini mendorong ketidaktahuan remaja yang memasuki usia perkawinan pada usia yang belum matang. Di Kota Semarang jumlah PUS yang berada di bawah usia 20 tahun yakni sebesar 1 %. Kondisi ini juga didukung dengan masih sedikitnya Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) yang hanya berjumlah 19 kelompok di Kota Semarang.
3.6 REKAPITULASI ISU DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASAYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DI KOTA SEMARANG Berdasarkan pada uraian di atas maka isu dan permasalahn yang muncul tiap bidang di atas yang terkait dengan bidang pemberdayaan perempuan dan anak, masyarakat dan kelurga berencana dapat diringkas dalam tabel berikut ini: TABEL III.13 Isu Bidang Perempuan dan Anak, Pemberadayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana di Kota Semarang No 1
ISU Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kota Semarang dalam Penggalian Potensi SDA dan Penerapan TTG
FAKTA Belum dikembangkannya potensi pertanian tanaman pangan di Kota Semarang: Jumlah produksi beberapa komoditas tanaman pangan mencapai 6.383 ton pada tahun 2003 dengan luas lahan pertanian 27.093,84 Ha yang terdiri dari lahan sawah 3.976,03 ha dan lahan ladang 23.117,81 ha (www.semarang.go.id, diakses tanggal 17 Juni 2009). Rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pertanian Kota Semarang yang ditunjukkan dengan sedikitnya penduduk Kota Semarang yang bermata pencaharian sebagai petani yakni hanya 2% (Podes Jawa Tengah Tahun 2003). Kecenderungan penduduk Kota semarang lebih memilih bekerja di luar bidang peternakan dan pertanian
72
No 2
ISU Masih Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan dan Penerapan TTG
FAKTA Belum semua keluarga di Kota Semarang sudah memiliki sistem pembuangan limbah berupa jamban sendiri: 92 % Kelurahan di Kota Semarang telah memiliki sistem pembuangan limbah berupa jamban sendiri, 1% menggunakan sistem pembuangan bukan jamban, 2 % menggunakan jamban bersama, dan 5 % menggunakan jamban umum Beberapa lokasi di Kota Semarang masih memiliki beberapa permasalahan saluran drainase: Sebagian besar kelurahan di Kota Semarang memiliki drainase dengan kondisi lancar (86 %), sedangkan lainnya memiliki kondisi yang tergenang (2%), tidak ada saluran (1 %) dan tidak lancar (11%). Saluran drainase pada daerah Semarang bawah yang dekat dengan daerah pesisir masih bermasalah Minimnya Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Penerapan TTG: Teknologi tepat guna dalam pengelolaan lingkungan sudah banyak ditemukan, misalnya teknologi penjernihan air, komposting sampah, sumur resapan, biopori, dan lain sebagainya; namun penerapannya di tingkat komunitas masih relatif minim.
3
Rendahnya Kapasitas Sumber Daya Manusia untuk Pengembangan Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di Kota Semarang bermata pencaharian sebagai buruh Mata pencaharian yang mendominasi di sebagian besar kelurahan di Kota Semarang adalah buruh sebesar 49%, kemudian disusul oleh mata pencaharian sebagai PNS sebesar 7%, petani sebesar 2%, pedagang sebesar 2%, pengusaha sebesar 2% dan pensiunan 1%. Sedangkan sisanya sebesar 38% yang bermata pencaharian lain-lain Di Kota Semarang terdapat beberapa daerah yang masyarakatnya masih miskin: Masih terdapat beberapa kelurahan yang tingkat penerimaan surat miskinnya masuk kategori tinggi yakni Kelurahan Plalangan di Kecamatan Gunungpati, Kelurahan Lamper Lor di Kecamatan Semarang Selatan, serta Kelurahan Karangroto dan Bangetayu Wetan di Kecamatan Genuk Rendahnya pendapatan rumah tangga per bulan: Pendapatan perkapita Kota Semarang Rp 19 juta/tahun (Rp 1,6 juta/bulan) Pendapatan perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan dengan asumsi keluarga terdiri empat orang Pada kenyataannya sangat banyak keluarga yang hanya mempunyai pendapatan Rp 640 ribu perbulan (www. berpolitik.com, 2008)
4
Masih Lemahnya Jejaring Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Kegagalan masyarakat untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan menuju kemandirian ekonomi: Kurangnya kemampuan masyarakat dalam mengakses faktor-faktor ekonomi terutama seperti bantuan modal, teknis, peralatan, dan informasi. Kemampuan akses tersebut akan optimal jika jejaring pengembangan ekonomi masyarakat sudah terbangun dengan baik dan mantap. Jejaring tersebut akan mempermudah bertemunya kelompok masyarakat atau kelompok usaha sebagai beneficaries, pemerintah sebagai fasilitator, maupun donor serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Jejaring akan memberikan keuntungan bagi pengembangan ekonomi masyarakat karena mampu mempercepat arus informasi dan
73
No
ISU
FAKTA pengetahuan, disamping memudahkan dalam upaya mengalokasikan berbagai macam bantuan modal, bantuan teknis, maupun peralatan.
5
Masih Rendahnya Partisipasi Kelembagaan Masyarakat dalam Proses Pembangunan
Peran kelembagaan masih bersifat administratif saja: Ditengarai bahwa kelembagaan masyarakat yang ada di tingkat kelurahan seperti (RT/RW) masih bersifat administratif saja. Peran kelembagaan tersebut selalu diasosiasikan dengan lembaga yang membantu penerbitan surat pengantar bagi mereka yang akan memproses permohonan KTP, Kartu Keluarga, dan mengorganisasikan keamanan lingkungan secara swadaya. Indikasi lain dari belum optimalnya partisipasi kelembangaan lokal dapat di lihat ketika bantuan-bantuan atau stimulan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa ditangkap dengan baik dan teralokasikan sesuai kepada target sasaran program. Sehingga seringkali kita jumpai programprogram bantuan yang tujuannya secara filosofis sangat ideal, namun dalam implementasinya di lapangan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Peran kelembagaan masyarakat yang ada (RT/RW) tersebut dapat ditingkatkan untuk menumbuhkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan SDA, penerapan TTG, penggalakan budaya KB serta hidup sehat, dan lain sebagainya. Dari perspektif ini terlihat keterkaitan yang erat diantara bidang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
6
Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Masyarakat dalam Pembangunan
Nilai-nilai budaya masyarakat semakin redup dan berganti dengan nilainilai seperti individualisme dan egoisme: Semakin jarang dijumpainya kegiatan gotong royong di lingkungan masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam rangka pemeliharaan kebersihan, kesehatan, dan keamanan lingkungan. Anggapan bahwa urusan tersebut menjadi tanggung jawab aparatur pemerintah dan mulai munculnya kecenderungan bahwa masyarakat menyerahkan urusan-urusan tersebut secara komersial kepada pihak yang lain. Keakraban dan jiwa kerjasama diantara masyarakat dengan demikian juga sedikit demi sedikit akan hilang. Terjadi sekat-sekat diantara masyarakat berdasarkan status sosialekonomi. Kepedulian sosial kepada masyarakat lain semakin pudar menciptakan gated community. Keadaan ini tidak kondusif bagi pembangunan karena menciptakan kecemburuan dan tensi sosial di masyarakat. Kasus lingkungan dan pelanggaran hak kaum miskin kota sebagai akibat lunturnya nilai budaya masyarakat: Berdasar catatan LBH Kota Semarang terjadi kasus-kasus lingkungan sebagian besar terjadi dan 60% kasus pelanggaran hak kaum miskin kota (Suara Merdeka, 2004)
7
Rendahnya Kemandirian dan Pelecehan Terhadap Harkat Martabat Perempuan
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak: Angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kota Semarang, yaitu sebanyak 150 kasus (Kompas, 2007) Sepanjang tahun 2007 terdapat rata-rata empat sampai lima perempuan meninggal perbulannya akibat kekerasan berbasis jender berdasarkan Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia Semarang, (Kompas, 2007)
74
No
ISU
FAKTA Rendahnya partisipasi perempuan dalam ORMAS dan perekonomian: Jumlah anggota DPRD perempuan Kota Semarang 2004-2009 sebanyak 6 orang, sekitar 13,33% dari 45 orang anggota DPRD Kota Semarang Rendahnya partisipasi perempuan dalam Pilkada: Rendahnya partisipasi perempuan dalam pilkada merepresentasikan tingkat kesetaraan gender dan etnis, di Kota Semarang Berdasar hasil pilkada putaran pertama di 160 daerah, masih sedikitnya jumlah kepala daerah perempuan yang terpilih Dari 160 kepala daerah yang terpilih, hanya ada 6 perempuan yang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah (1,8%) (MediaIndonesiaOnline, 2005) Hasil pemilu legislatif menunjukkan bahwa dari 550 kursi DPR, sebanyak 61 kursi diisi oleh perempuan (11%)
8
Belum Terpenuhinya HakHak Dasar Anak
Fenomena eksploitasi anak dan anak jalanan: Pada sudut-sudut kota dan kawasan strategis perkotaan sering kita temui anak-anak balita yang digunakan sebagai ‘alat’ untuk menarik simpati para pengemis. Anak-anak jalanan dengan berbagai profesi seperti pengemis, pengamen, penyemir sepatu, dan penjaja koran tidak sedikit kita temukan di berbagai penjuru kota. Meningkatnya jumlah penderita gizi buruk Balita: masih terdapat permasalahan gizi buruk pada anak balita. Hal ini umumnya terjadi pada balita di keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Prevalensi Status Gizi Balita Kota Semarang Tahun 2003-2005 adalah sbb: Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
Prevalensi (Kasus) 2003 2004 2005 0,63 1,23 0,94 9,75 11,56 11,09 86,65 2,97
83,68 3,53
85,98 1,99
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005
9
Pertumbuhan Penduduk yang Relatif Tinggi
Masih Relatif rendahnya partisipasi Pria dalam Ber KB: Partisipasi pria dalam pemakaian alat kontrasepsi sebsar 14.337 jiwa (7,28%) dari total peserta KB aktif (196.876 jiwa). Keaktifan tersebut dapat dirinci dengan penggunaan MOP sebanyak 2.484 (17,32%) dan Kondom sebanyak 11.853 jiwa (82.67%) (Sumber: Badan KB Kota semarang) Masih rendahnya partisipasi IUD: Penggunaan IUD tahun 2008 bagi peserta KB baru sebanyak 2.235 (5,69%) yang mengalami kenaikan dari tahun 2007 sebanyak 1.724 jiwa. Peserta KB lama penggunaan IUD mengalami penurunan pada tahun 2008 sebanyak 15.346 jiwa (6,21%) dan 2007 sebanyak 15.403 jiwa Masih adanya kasus Komplikasi Kegagalan KB: Kasus komplikasi KB pada tahun 2007 sebanyak 6 kasus dan pada 2008 menjadi 12 kasus. Kegagalan KB pada tahun 2007 sebanyak 10 kasus dan 2008 menjadi 15 kasus.
75
No
ISU
FAKTA
Permasalahan Terkait dengan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR): Masih adanya umur istri pada PUS yang berada di bawah usia 20 tahun yakni sebesar 1 %. Masih sedikitnya Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK KRR) yakni hanya 19 kelompok di Kota Semarang. 10
Rendahnya Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga
Jumlah Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS): di Kota Semarang pada tahun 2008 hanya 1066 kelompok dengan jumlah anggota UPPKS sebanyak 23.345 orang. Dari sekian anggota, 17.392 orang (74,50%) diantaranya merupakan anggota trima bantuan modal, 10.888 orang (46,64%) anggota yang berusaha dan 12.475 (56,36%) merupakan anggota yang tidak berusaha Tingginya angka kematian ibu melahirkan: Berdasar Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kota Semarang, 2005 dan Profil Kesehatan Kota Semarang, 2005: Tahun 2005 angka kematian ibu melahirkan di Kota Semarang sebanyak 449 jiwa dan cenderung meningkat Angka kematian ibu melahirkan Indonesia < Angka kematian ibu melahirkan Kota Semarang < Angka kematian ibu melahirkan Jawa Tengah = 307 jiwa< 449 jiwa < 509 jiwa)
Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2005 Sumber: Analisis Penyusun, 2009
76
BAB IV RANCANGAN VISI-MISI BAPERMAS PEREMPUAN & KB KOTA SEMARANG
Berdasarkan analisa terhadap potensi dan kendala serta peluang dan tantangan dan aspirasi dari pengalaman Bapermasper KB Kota Semarang, terdapat beberapa kata kunci (keywords) yang harus melandasi Visi dan Misi Bapermas perempuan & KB Kota Semarang. Kata kunci tersebut adalah:
1.
Integrasi dan Sinergi: Integrasi dan sinergi dalam visi diharapkan pertama, membawa perubahan cara berfikir
(mind set) organisasi Bapermas perempuan dan KB yang berasal dari berbagai latar belakang organisasi yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan organisasi untuk mengemban tupoksi yang hanya bisa ditempuh secara bersama dan terpadu. Kedua, integrasi dan sinergi diharapkan dimanifestasikan dalam perumusan dan implementasi program/ kegiatan Bapermas perempuan & KB Kota Semarang. Integrasi dan sinergisitas program/ kegiatan Bapermas perempuan & KB dapat diwujudkan dalam bentuk berikut ini: Integrasi Lokasi atau Area Integrasi Pembiayaan Intergasi Waktu Pelaksanaan Ketiga, integrasi dan sinergisitas dapat menciptakan efektifitas pelaksanaan dan maksimasi hasil program/ kegiatan yang nyata ditengah-tengah keterbatasan pembiayaan program pembangunan dibandingkan program/ kegiatan yang dilakukan secara terpisah atau inkremental.
2.
Keberlanjutan: Keberlanjutan dalam visi diharapkan agar program-program yang telah dijalankan dapat:
Pertama, diteruskan capaiannya secara kuantitas maupun kualitasnya. Secara kuantitas program/ kegiatan yang dilakukan diharapkan dapat direplikasikan pada lokasi-lokasi atau wilayah yang memerlukan. Secara kualitas program/ kegiatan yang sudah diterapkan di suatu lokasi harus selalu di monitoring dan di evaluasi untuk ditinggkatkan derajat capaiannya secara nyata. 77
Kedua, program-program pemberdayaan masyarakat dan penerapan TTG yang dihasilkan tidak hanya berorientasi pada upaya pengalian potensi ekonomi, namun juga menekankankan pada penumbuhan kesadaran masyarakat dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Atas dasar pertimbangan diatas maka Visi Bapermas perempuan & KB Kota Semarang adalah sebagai berikut: “Terwujudnya Keterpaduan Program Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan Dan Keluarga Berencana Menuju Masyarakat Sejahtera” Dari telaah isu yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, kelembagaan merupakan aspek yang mendesak dan wajib diberdayakan dalam semua bidang baik pengembangan ekonomi, pengelolaan SDA, penerapan TTG, dan Keluarga Berencana. Dengan kata lain peningkatan kapasitas kelembagaan merupakan instrumen penting dalam mendorong terwujudnya pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang yang menjadi tupoksi Bapermasper dan KB Kota Semarang. Adapun perempuan masyarakat juga tidak akan berhasil tanpa menempatkan perempuan sebagai salah satu kelompok target dan sasaran program dan kegiatan pemberdayaan. Adapun Misi yang diharapkan adalah misi organisasi dan bukan misi yang merepresentasikan masing-masing bidang yang ada di Bapermas perempuan & KB Kota Semarang. Dalam rangka mencapai rancangan visi diatas, misi Bapermas perempuan & KB adalah sebagai berikut: 1. Menggali potensi masyarakat, kearifan tradisional, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembangunan Kota Semarang di bidang pengembangan ekonomi, pengelolaan SDA, penerapan TTG, dan pelaksanaan KB 2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan peran serta perempuan dalam pengembangan ekonomi, pengelolaan SDA, penerapan TTG, dan pelaksanaan KB 3. Memperkuat jejaring kelembagaan pengembangan ekonomi, pengelolaan SDA, penerapan TTG, dan pelaksanaan KB 4. Merumuskan, melaksanakan, dan melakukan monitoring serta evaluasi program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat lintas bidang (pengembangan ekonomi, pengelolaan SDA, penerapan TTG, dan pelaksanaan KB) 5. Mengembangkan dan melakukan pembinaan pada wilayah-wilayah yang strategis
sebagai pilot area pemberdayaan masyarakat 78