BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam Bab III tentang hasil penelitian dan analisis, terdapat 2 sub pokok bahasan yang akan penulis jabarkan, yaitu yang pertama mengenai hasil penelitian yang berisi mengenai kronologi pada Putusan Mahkamah Agung No.1902 K/Pid/SUS/2008 dan No.1198 K/Pid/SUS/2008 dan yang kedua berisi analisis dalam skripsi ini. A.HASIL PENELITIAN Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1902 K/Pid/SUS/2008 dengan terdakwa Dr.H.Syafruddin telah didakwa secara bersama-sama atau sendiri-sendiri pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi secara pasti oleh terdakwa tetapi pada kurun waktu antara bulan September 2003 sampai dengan juli 2005, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu pada tahun 2003 sampai dengan 2005, bertempat di kantor Koperasi Peternakan Sapi Manalagi Nagari Sungai Lansek Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sawahlunto atau setidak-tidaknya yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Muaro, sebagai yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan, yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa diduga melanggar Pasal 3 Undang Undang nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusan ini, terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan karena Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b dari Pasal 143 KUHAP sehingga batal demi hukum. Sedangkan, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K/Pid/SUS/2011 dengan
terdakwa
Gayus
Halomoan
Tambunan
didakwa
telah
menyalahgunakan kewenangannya ketika menjabat sebagai Pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding Direktorat Jendral Pajak telah menyetujui keberatan pajak yang diajukan oleh P.T Surya Alam Tunggal sehingga menyebabkan Negara menderita kerugian. Hal yang dilakukan dilakukan oleh terdakwa diduga mengandung unsure memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang secara melawan hukum telah menimbulkan kerugian keuangan Negara. Dalam Putusan ini Mahkamah Agung memutuskan terdakwa telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
B. ANALISIS Pengaturan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menerangkan: “Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsure-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.” Bahwa ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menerangkan: “Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada
Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.” Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang undang.1 Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak piadana korupsi seperti yang ditentukan dalam pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. Dibandingkan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang undang terdahulu yaitu Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 3 tahun 1971 merupakan delik materiil, yaitu delik yang dianggap telah terbukti dengan
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1984, hlm. 202
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.2 Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditentukan “setiap orang”. Dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya syarat Pegawai Negeri yang harus menyertai “setiap orang” yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Oleh karena itu,sesuai dengan apa yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 3, menurut penulis pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) dapat terdiri atas : a. Orang perseorangan,dan/atau b. Korporasi Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), maka akan ditemui beberapa unsure sebagai berikut: a) Secara melawan hukum; b) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; c) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.3 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur Ibid R.Wiyono S.H, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 27
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.4 Roeslan Saleh mengemukakan “menurut ajaran melawan hukum ,yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan
hukum tidak
tertulis.5 Di dalam sifat melawan hukum secara formil sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Sedangkan, menurut ajaran materiil, di samping memenuhi syarat syarat formil, yaitu memenuhi semua unsure yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut. Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran melawan hukum secara materiil, yaitu: 1) Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundangundangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilainan masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum;
Ibid Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 7
2) Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negative, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum.6 Oleh karena penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan social dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang termaktub dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 adalah sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Dengan memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), dapat diketahui bahwa unsure “melawan hukum” dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi
tersebut
merupakan
sarana
untuk
melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
R.Wiyono S.H, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 28
Dengan demikian, sebagai akibat hukum dari perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut, meskipun suatu perbuatan telah “merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian Negara”, tetapi
jika
dilakukan
tidak
secara
melawan
hukum,
perbuatan
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini sudah tentu dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya menjual atau membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dengan syarat tentunya dilakukan secara melawan hukum, jika akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Di dalam rangka penegakkan hukum pidana korupsi di Indonesia, hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dan kerugian sering kali menjadi perdebatan antara para penegak hukum, baik antara penuntut umum dan tim pembela maupun para majelis hakim dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Menetapkan hubungan kausal antara kerugian yang ditimbulkan dan perbuatan melawan hukum dimaksudkan untuk menegaskan siapa saja
yang dapat dan seharusnya diminta pertanggungjawabanya. Dalam tulisannya, Rosa Agustina menulis: “Ajaran
kausalitas
tidak
hanya
penting
dalam
hukum
pidana
saja,melainkan juga dalam bidang perdata.Pentingnya ajaran kausalitas dalam bidang hukum pidana adalah untuk menentukan siapakah yang dapat
dipertanggungjawabkan
terhadap
timbulnya
suatu
akibat
(strafrechtelijke aanspraakelijkheid) dan dalam bidang hukum perdata adalah untuk meneliti adakah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat juga dipertanggungjawabkan” Kalau di dalam hukum pidana persoalan kausalitas adalah khusus mengenai pertanyaan apakah telah dilakukan delik, maka dalam hukum perdata persoalan kausalitas tersebut terutama mengenai persoalan apakah terdapat hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dan kerugian. Kerugian dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan yang dimaksud di dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah kerugian keuangan Negara dan kerugian perekonomian Negara. Namun, banyak pandangan atau penafsiran yang berbeda beda dari para penegak hukum ini untuk memaknai dengan apa itu yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Berikut penulis akan mencoba menganalisis tentang kerugian Negara dalam kedua Putusan Mahkamah Agung berkenaan dengan tindak pidana korupsi. Putusan tersebut adalah Putusan No. 1902 K/Pid/SUS/2008 dengan terdakwa Dr.H.Syafruddin yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan sapi manalagi di Koperasi Peternakan Sapi Manalagi (KPSM) Nagari Sungai Lansek, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Putusan yang ke 2 adalah Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K/Pid/SUS/2011 dengan terdakwa Gayus Halomoan Tambunan yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi di Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1902 K/Pid/SUS/2008 terdakwa Dr.H.Syafruddin telah memenuhi unsur-unsur untuk dapat dikategorikan sebagai
tindak
pidana
korupsi
yang
merugikan
keuangan
dan
perekonomian Negara. Hal tersebut ditunjukan dalam fakta yang terungkap di pengadilan dalam putusan yaitu : 1) Penyalahgunaan wewenang oleh terdakwa selaku Ketua Koperasi Peternakan Sapi Manalagi (KPSM), dengan tidak digunakannya dana
bantuan
penggemukan
sapi
impor
sebesar
Rp
3.152.947.800,00 (tiga milyar seratus lima puluh dua juta sembilan ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus rupiah) guna pengadaaan 600 ekor sapi dengan tidak semestinya.
2) Bahwa
sapi
yang
seharusnya
diserahkan
kepada
masyarakat/anggota koperasi tersebut dikelola sendiri oleh KPSM yang disetujui oleh saksi Ir.Zafrul Zamzami sehingga segala akibat dari penyimpangan tersebut menjadi tanggung jawab terdakwa. Dan tidak sesuai dengan pedoman teknis Keputusan Menteri Negara
Koperasi
dan
Usaha
Kecil
dan
Menengah
No
58i/Kep/M.KUKM/VI/2003. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumatera Barat ditemukan kesimpulan sebagai berikut: 1) Penetapan Koperasi sebagai Koperasi penerima dana bergulir tidak sesuai prosedur karena belum pernah melaksanakan Rapat Anggota Tahunan, belum pernah dilakukan penilaian oleh dinas Koperindag dan Penanaman Modal (PM) kabupaten sawahlunto/sijunjung dan jumlah anggota koperasi tidak sesuai dengan yang diajukan dalam permohonan; 2) Prosedur pengadaan 600 ekor sapi bantuan (pemilihan dan penetapan harganya) tidak sesuai dengan Keppres No.18 Tahun 2000; 3) Spesifikasi umur dan berat sapi yang diadakan tidak sesuai dengan yang ditentukan;
4) Bantuan sapi yang deiberikan oleh pemerintah, ternyata tidak diserahkan kepada masyarakat/anggota koperasi untuk digemukan sesuai dengan tujuan program, sehingga segala akibat dari penyimpangan tersebut
menjadi
tanggung jawab pengurus
koperasi. 5) Dana bantuan tidak diadministrasikan sebagaimana pengelolaan dana bergulir; 6) Dana bantuan digunakan menyimpang, yang seharusnya untuk pengadaan sapi ternyata digunakan untuk keperluan lain; 7) Ditemukan indikasi bahwa dana bantuan digunakan untuk kepentingan/keuntungan pribadi/orang lain/korporasi. Sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap dokumen yang ada, terdapat beberapa pengeluaran kas yang berindikasi memperkaya/menguntungkan diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yaitu: 1) Terdapat penarikan uang tunai sebesar Rp 22.000.000,00 (dua puluh dua juta rupiah) oleh bendahara koperasi dari Bank Bukopin Cabang Padang yang tidak tercatat dalam buku kas menurut dokumen yang ada; 2) Pembelian Isuzu Panther pick-up; 3) Pembelian kendaraan pakan konsentrat;
4) Terdapat dua SPK penjualan sapi oleh terdakwa kepada kelompok tani di kabupaten Lima Puluh Kota senilai Rp. 420.000.000,00 (empat ratus dua puluh juta rupiah) yang tidak tercatat dalam buku kas koperasi. Berdasarkan uraian di atas, Dr.H.Syafruddin selaku Ketua pengurus KPSM telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 j.o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2, akan ditemui beberapa unsure sebagai berikut: 1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi. 2) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Apabila dicermati unsure-unsur pasal di atas maka tindakan yang dilakukan oleh Syafruddin telah memenuhi unsure pertama dalam pasal
tersebut. Hal ini dicerminkan dari tindakan Syafruddin yang telah menggunakan dana bergulir penggemukan sapi tidak sebagaimana mestinya. Terdapat transaksi-transaksi yang tidak dibukukan sebagaimana mestinya sehingga bisa berindikasi bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana tersebut. Maka menurut penulis hal ini termasuk rangkaian kegiatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sehingga unsure ini terpenuhi. Dalam Putusan ini, unsure kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa adalah sebesar Rp. 3.177.460.046,56 (tiga milyar seratus tujuh puluh tujuh juta empat ratus enam puluh ribu empat puluh enam koma lima puluh enam rupiah). Kerugian keuangan Negara tersebut didasarkan pertimbangan sebagai berikut: 1) Penerima bantuan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pedoman teknis; 2) Sapi yang seharusnya diserahkan kepada masyarakat/anggota koperasi ternyata dikelola sendiri, sehingga segala akibat dari penyimpangan tersebut menjadi tanggung jawab koperasi atau pengurus; 3) Tidak dipisahkannya pembukuan dana bantuan dengan yang lainnya;
4) Buku kas tidak dapat dipedomani, ada pengeluaran dan penerimaan yang tidak tercatat; 5) Buku persediaan sapi (pembelian dan penjualan) tidak dapat dipedomani karena tidak dikerjakan dengan tertib; 6) Berat dan harga penjualan sapi tidak dapat diyakini kebenarannya karena tidak didukung dokumen yang cukup sah; 7) Ditemukan indikasi adanya pengeluaran uang kas yang tidak benar. Faktur-faktur pembelian pakan konsentrat, diisi atau ditulis sendiri oleh bendahara, atas perintah dan jumlah yang ditetapkan oleh terdakwa. Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah: “kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat” Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan Syafruddin tidak hanya merugikan keuangan Negara namun juga kerugian terhadap perekonomian Negara. Argumentasinya
adalah bantuan sapi yang berjumlah 600 ekor tersebut seharusnya sudah berkembang melalui perguliran, serta masyarakat peternak seharusnya memperoleh keuntungan karena memiliki kesempatan untuk memelihara sapi dan keuntungan dari hasil program penggemukan sapi tersebut berkesempatan membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, namun program ini tidak berhasil karena tindakan yang dilakukan terdakwa selaku pengurus koperasi. Berdasarkan uraian di atas, maka Syafruddin telah memenuhi kedua unsure dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Syafruddin telah terbukti memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dan atas tindakannya telah merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara. Maka, penggunaan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat terdakwa Syafruddin dalam putusan No. 1902 K/Pid/SUS/2008 sudah sangatlah tepat. Dalam Putusan No. 1902 K/Pid/SUS/2008 ini hakim agung mempunyai pendapat
berbeda
dalam
memandang
kerugian
Negara.
Hakim
berpendapat bahwa kerugian Negara haruslah sesuai dengan Pasal 1 angka 22 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang berbunyi :
“kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai” Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka kerugian Negara itu harus nyata, pasti, dan telah terjadi. Bukan dalam bentuk perkiraan atau prediksi. Bahwa setelah berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, rumusan kerugian Negara/daerah mengalami pergeseran makna dibandingkan rumusan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, menurut Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 22 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 merumuskan kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Dengan rumusan kerugian Negara yang menurut hakim jumlahnya harus nyata dan telah terjadi, maka tindak pidana korupsi dalam hal ini menjadikan tindak pidana korupsi menjadi delik materiil dan bukan lagi delik formil seperti yang disebut dalam Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah umum diketahui bahwa pengadaan barang maupun jasa dengan pembiayaan melalui APBN, APBD, bantuan dan pinjaman lembagalembaga internasional pada sector public (termasuk BUMN dan BUMD),
dan lembaga-lembaga lain, sarat akan tindak pidana korupsi. Secara teknis kerugian keuangan Negara dalam pengadaan barang berkenaan dengan asset, sedangkan kerugian keuangan Negara dalam pengadaan jasa berkenaan dengan pengeluaran. Bentuk kerugian keuangan Negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya, bentuk kerugian ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut: 1. Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender. Kualitas dan kuantitas barang sudah benar, tetapi harganya lebih mahal. 2. Harga yang lebih mahal dikarenakan kualitas barang yang dipasok di bawah persyaratan. Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan. 3. Syarat penyerahan barang (terms of delivery) lebih istimewa. Oleh karena syarat pembayaran (terms of payment) tetap, maka ada kerugian bunga. 4. Syarat pembayaran yang lebih baik, tetapi syarat-syarat lainnya seperti kualitas, kuantitas, dan syarat penyerahan barang tetap. Seperti contoh di atas, ada kerugian bunga.
5. Kombinasi dari kerugian yang disebutkan di atas, seperti markup dan adanya kerugian bunga.7 Berikutnya penulis akan mencoba menganalisis kasus tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan Negara dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K Pid/SUS/2011 dengan terdakwa Gayus Halomoan Tambunan dalam dugaan korupsi dalam lingkup Direktorat Jendral Pajak. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K Pid/SUS/2011 Gayus Halomoan Tambunan telah melakukan tindak pidana sebagai berikut: 1. Gayus Halomoan Tambunan, Pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jendral Pajak No. KEP-036/PJ.01/UP.53/2007 secara bersama-sama dengan
Humala
Setia
Leonardo
Napitupulu
dan
Maruli
Pandapotan, telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dalam permohonan keberatan wajib pajak P.T Surya Alam Tunggal. 2. Akibat perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp 570.952.000,00 (lima ratus tujuh puluh juta sembilan
Theodarus M.Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 159
ratus lima puluh dua ribu rupiah) atau sekitar jumlah tersebut sebagaimana dalam laporan hasil penghitungan kerugian keuangan Negara atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan keberatan pajak P.T Surya Alam Tunggal Sidoarjo yang dibuat oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 3. Penyalahgunaan kewenangannya yang seharusnya terdakwa Gayus Halomoan Tambunan melakukan penelitian secara cermat, tepat, dan menyeluruh namun tidak dilakukan oleh terdakwa. 4. Bahwa perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan
uraian
di
atas
Gayus
Halomoan
Tambunan
telah
menyalahgunakan kewenangannya selaku Pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding di Direktorat Jendral Pajak telah lalai dalam menangani masalah keberatan pajak yang diajukan oleh P.T Surya Alam Tunggal, sehingga terdakwa telah melanggar Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berbunyi : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah.” Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3, akan ditemui beberapa unsure sebagai berikut: 1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 2. Menyalahgunakan wewenang kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan; 3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Yang dimaksud dengan “menguntungkan” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan” tersebut adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada
jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikanya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tersebut, dalam Pasal 3 telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi, yaitu: a. Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. b. Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. c. Dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.8 Apabila dicermati pasal di atas maka tindakan yang dilakukan oleh Gayus Halomoan
Tambunan
telah
memenuhi
unsure
menyalahgunakan
kewenangan untuk dapat memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dalam hal ini adalah P.T Surya Alam Tunggal dalam kasus penanganan keberatan pajaknya. Berikut penulis akan mencoba menjabarkan tentang pajak dan kaitannya dengan keuangan Negara. Hal ini dilakukan untuk melengkapi unsure ke 3 yaitu dengan apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara. R.Wiyono S.H, Pembahasan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 38
Di dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah dijabarkan bahwa: “Seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau
perusahaan
yang
menyertakan
modal
pihak
ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.” Pengaturan tentang apa yang dimaksud dengan keuangan Negara selain yang sudah diatur dalam penjelasan pasal di atas, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara umum dicantumkan dalam bab I (Ketentuan Umum), Pasal 1 angka 1: “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Pengertian Pajak menurut Prof.Dr.Rochmat Soemitro,SH. Dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan adalah : “peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus” nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment” Berdasarkan pengertian di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa hasil dari uang pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya dipergunakan untuk public investment. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama dari pajak, yakni fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Fungsi anggaran pajak mempunyai fungsi sebagai alat atau instrument yang digunakan untuk memasukkan dana sebesarbesarnya ke dalam kas Negara. Dalam hal ini fungsi pajak lebih diarahkan sebagai instrument menarik dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke kas Negara. Dana dari pajak itulah yang kemudian digunakan sebagai penopang bagi penyelenggaraan dan aktivitas pemerintahan.
2. Fungsi pajak untuk mengatur adalah dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat kea rah yang dikehendaki pemerintah. Oleh karenanya, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah.9 Apabila dilihat dari bentuk dan sifatnya penulis berpendapat bahwa pajak mempunyai peranan yang vital sebagai salah satu sumber pemasukan kas keuangan Negara yang akan digunakan sebagai penopang bagi penyelenggaraan dan aktivitas pemerintahan. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa apabila terdapat hambatan dalam pemasukan kas Negara khususnya dalam hal pajak, maka hambatan tersebut secara langsung dapat mengganggu aktivitas pemerintahan yang salah satunya berpengaruh pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan begitu, apa yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Tambunan yang telah menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan mengabulkan keberatan P.T Surya Alam Tunggal yang tidak sesuai dengan mekanisme dan ketentuan hukum mengajukan keberatan pajak yang seharusnya diikuti telah memenuhi unsure merugikan keuangan Negara.
Y.Sri Pudyatmoko, S.H, M.Hum, Pengantar Hukum Pajak, Andi offset, Yogyakarta, 2004, hlm. 15
Hal ini diperkuat dengan pendapat Hakim Agung dalam Putusan No. 1198 K Pid/SUS/2011 yaitu : 1. Bahwa bagi Indonesia, Pajak merupakan sumber APBN terbesar sehingga intensifikasi dan extensifikasi perpajakan harus segera dilakukan, sebaliknya setiap gangguan terhadap pemasukan pajak, secara langsung akan mengganggu jalannya roda pembangunan yang ujung-ujungnya semakin memelaratkan rakyat yang sudah melarat; 2. Bahwa kejahatan di bidang restitusi pajak merupakan modus operandi baru di bidang penggelapan pajak. Pemasukkan pajak yang sudah sedemikian sulit, semakin memberatkan income Negara dengan adanya pengembalian pajak fiktif yang harus dilakukan oleh Negara seperti yang terjadi dalam kasus P.T Surya Alam Tunggal. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1198 K/Pid/SUS/2011 ini hakim berpendapat bahwa kerugian Negara dalam tindak pidana korupsi tidak terbatas hanya yang bisa dinilai atau nyata. Melainkan dipertimbangkan juga kerugian bagi Negara yang sifatnya potensial atau yang akan terjadi sehingga memenuhi bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil bukanlah delik materiil seperti yang termaktub dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Berdasarkan analisis dari kedua putusan di atas maka akan didapatkan penerapan konsep kerugian Negara dalam hukum pidana korupsi di Indonesia. Meskipun dalam praktik hukum saat ini, para praktisi hukum saat ini seperti hakim maupun jaksa sebagian besar selalu berpendapat bahwa yang dianggap sebagai kerugian Negara adalah kerugian yang bersifat riil atau yang sudah benar benar terjadi. Namun pengungkapan kerugian yang bersifat potensial haruslah tetap dilakukan karena untuk menghitung kerugian Negara yang belum terjadi seperti adanya pendapatan Negara yang akan diterima dan lain sebagainya. Alasan utama dilakukan pengungkapan kerugian yang bersifat potensial di atas adalah mengondisikan dan menyadarkan para penegak hukum bahwa suatu kerugian Negara yang benar-benar merugikan Negara adalah sedemikian luas tidak terbatas pada pengertian kerugian menurut asas kas, tetapi juga berdasarkan asas akutansi lain yang dianut oleh suatu entitas.10 Dalam kasus Tindak Pidana Korupsi, kesederhanaan makna kerugian yang nyata dan pasti tidak akan dapat diterapkan. Ciri tindak pidana korupsi, khususnya yang berjumlah besar dan melibatkan penyalahgunaan wewenang,
adalah
benturan
kepentingan
(conflict
of
interest),
persekongkolan (collusion), dan kesepakatan di mana “segala sesuatunya sudah diatur”.
Theodarus M.Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 89