BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA Bagian ini merupakan hasil penelitian yang langsung dianalisa. Pada bab ini penulis akan menjabarkan: profil Gereja HKBP, relasi pendeta perempuan dengan lingkungannya, pengaruh budaya Batak dalam penerimaan pendeta perempuan, pemahaman mitra sejajar antara laki-laki dan perempuan, dan pendeta perempuan kurang mempersiapkan diri sebagai pemimpin. 3.1.
Profil Gereja HKBP Dalam Aturan dan Peraturan Gereja HKBP dinyatakan bahwa HKBP adalah persekutuan orang percaya dari segala suku dan golongan bangsa Indonesia dan segala bangsa di dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.109 HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia. HBKP berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861 sekaligus merupakan awal dari penginjilan Lembaga Zending Rhein di Tanah Batak. Disamping itu, tanggal tersebut merupakan tanggal
rapat pertama para penginjil utusan Rheinische
Missions
Gesellschaft (RMG) disebut juga Kongsi Barmen di Tanah Batak dan dimaknai HKBP sebagai hari jadinya. Dalam sejarah penginjilan di Tanah Batak, peranan keempat penginjil, yaitu: Richard Burton dan Nathaniel Ward (berasal dari Inggris tahun 1824 – walau hanya sebentar karena Ward tinggal di Padang dan Burton menetap di India), Munson dan 109
Aturan dan Peraturan HKBP 2002, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2002, 99-100
61
Lyman (pada tahun 1834 - tiba di Tanah Batak namun tewas karena hujaman tombak menembus tubuh mereka di daerah Lobupining, Tapanuli Utara)110 adalah begitu besar, terutama sebagai perintis dalam pekabaran Injil di Tanah Batak. Sekalipun menghadapi kejadian yang sangat tragis (dimana Munson dan Lyman akhirnya tewas terbunuh), Belanda tetap mengirimkan dua orang pekabar Injil yaitu Gerrit van Asselt dan C.J. Klammer ke Tanah Batak, tepatnya di Angkola, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Mereka berdua berhasil membaptis dua orang Batak pertama pada hari raya Paskah 31 Maret 1861 yaitu Pagar Siregar dan Main Tampubolon. Mereka juga berhasil mendirikan jemaat Pangaloan di Tapanuli Utara.111 Sejak kedatangan I Ludwig Nomensen (1862), perkembangan kekristenan di tanah Batak semakin pesat. Metode pendekatan yang kontekstual dan corak berpikir adaptif dan transformatif (pemberitaan Injil yang dilakukan meliputi perkataan, perbuatan diakonal dan pendidikan),112 membuat Injil mudah diterima orang Batak. Selain itu, pertambahan rekan dalam pelayanan serta kehadiran pemberita Injil pribumi mempercepat berdirinya jemaat-jemaat dan sebuah Gereja Batak yang kemudian disebut gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berkantor pusat di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Saat ini HKBP memiliki hampir empat juta jiwa warga jemaat, tiga ribu seratus enampuluh delapan (3.168) gedung gereja, enam ratus tigapuluh delapan (638) resort 110
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2011, 29-31. 111 Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar..., 35 – 37. 112 Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar..., 42 – 49, Jubil Raplan Hutauruk, Tuhan Menyertai UmatNya, Pearaja Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 1986, 15 – 28 , Menurut Hutauruk, “ketika itu muncul pendapat dan keyakinan dikalangan orang Batak bahwa dengan berdirinya jemaat Kristen pasti akan tercipta pembangunan desa dan masyarakat melalui pendirian gedung-gedung sekolah dan pusat-pusat kesehatan”(21).
62
yang tersebar di Indonesia, Singapore, Kuala Lumpur dan Amerika Serikat dengan duapuluh tujuh (27) distrik. HKBP juga mempunyai 1.648 orang pendeta dan 277 (17,3 %) diantaranya adalah pendeta perempuan. Diakones berjumlah 136 orang, 212 orang Bibelvrouw, 290 orang Guru Jemaat dan 515 orang Calon Pelayan.113 Awal keterlibatan perempuan dalam pelayanan di tanah Batak tidak terlepas dari para
missionaris.
Dalam
melaksanakan
pelayanannya, para
misionaris
telah
mengikutsertakan isteri mereka untuk mengajar para ibu dan anak. Hal ini kemudian dipertegas dengan kehadiran Schwester Hester Needhaam (tahun 1890). Schwester Hester Needhaam memulai pelayanan khusus bagi para perempuan. Walaupun pada masa itu masyarakat Batak menganut paham patriarkhal, serta menjunjung tinggi nilai adat dan tidak memperkenankan perempuan memegang jabatan di dalam masyarakat dan Gereja. Selanjutnya, Zuster Elfrieda Harder (tahun 1928) juga membuka kursus pelayanan terhadap perempuan dengan tujuan memperkenalkan kasih Kristus di dalam hidup pribadi dan keluarga mereka. Kursus tersebut kemudian dikembangkan menjadi sekolah Bibelvrouw (berdiri tanggal 1 Agustus 1934 di Narumonda Laguboti, Tapanuli Utara, Sumatera Utara).114 Pendirian Sekolah Bibelvrouw bertujuan untuk mendidik para ibu, janda dan anak-anak gadis untuk semakin memahami Firman Tuhan dan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan kaum perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 15 Agustus 1935, jabatan pelayan perempuan pertama diberikan
113 114
Biro Personalia HKBP, Hasil wawancara, Kamis, 29 Maret, 2012, Pearaja Tarutung, Kantor Pusat HKBP. Almanak HKBP tahun 2012, Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, 2012, 466.
63
Gereja HKBP melalui penahbisan Bibelvrouw berjumlah dua belas (12) orang. Kemudian Sekolah Bibelvrouw dipindahkan ke Laguboti tanggal 21 Nopember 1936.115 Dampak berkecamuk perang di antara Jerman dan Belanda, pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan semua pendeta dan Suster Jerman yang bekerja di HKBP. Pada akhirnya Sekolah Bibelvrouw terpaksa ditutup. Kemudian dibuka kembali tahun 1945 dengan pimpinan Pdt Kasianus Sirait.116 Sejak tahun 1981 hingga sekarang (untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan) masa studi sekolah Bibelvrouw diputuskan menjadi empat tahun dengan menambah pendidikan bahasa Inggris dan budi pekerti117 dalam kurikulum yang sudah ada. Adapun tugas Bibelvrouw sebagaimana dituangkan dalam Agenda HKBP yaitu:118 1. Bibelvrouw adalah teman sekerja Pendeta memberitakan Firman Allah, membimbing dan mengamati anggota jemaat. Pembimbingan juga dilakukan kepada penyembah berhala ditengah-tengah jemaat. 2. Bibelvrouw adalah Penginjil bagi para anggota jemaat, khususnya tugas pelayanan kaum perempuan, pemudi dan anak-anak. 3. Bibelvrouw hendaknya memiliki cara hidup yang baik agar dapat menjadi teladan ditengah-tengah jemaat. Berdasarkan uraian tugas di atas, secara tersirat dan tersurat bahwa Bibelvrouw tidak akan dapat menjadi pemimpin pelayanan di tingkat resort, distrik dan sinode walaupun mereka teman sekerja Pendeta. Selain Sekolah Bibelvrouw, HKBP juga mempunyai sekolah yang keseluruhan siswanya adalah perempuan yaitu Pendidikan Diakones. Cikal bakal Pendidikan Diakones ini, diawali pada 17 Mei 1971 dengan “Kursus Diakones HKBP” dan kemudian sejak
115
Kantor Pusat HKBP, Alamanak HKBP... 466. Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh...,216. 117 Ibid., 118 Agenda HKBP Bahasa Indonesia, Pematangsiantar, Percetakan HKBP, 1996, 54-55. 116
64
tahun 1976 berubah menjadi Pendidikan Diakones HKBP. Sekolah tersebut terletak di Jalan Onanraja, Balige, Tapanuli Utara, Sumatera Utara.119 Adapun
bidang
studi
yang
dipelajari
antara
lain
agama
Kristen,
diakonia/pekerjaan sosial, perawatan kesehatan, ketrampilan dan seni musik. Pada tanggal 28 Agustus 1983 adalah penahbisan Diakones pertama di HKBP. Tugas Diakones sebagaimana tertera dalam Agenda HKBP yaitu:120 1. Diakones adalah pelayan jemaat untuk mengerjakan pelayanan ditengahtengah jemaat dan masyarakat dalam bentuk pelayanan diakonia. 2. Tugas itu dilakukan dalam bentuk menghibur orang yang berduka, memberi semangat, memberi bimbingan dalam kesehatan dan budi pekerti, memberi bantuan. 3. Diakones harus murah hati agar menjadi pelayan yang baik. Sebagaimana diuraikan di atas, Diakones melakukan pelayanan di tengah-tengah jemaat dan masyarakat hingga sekarang ini. Sama halnya dengan Bibelvrouw, mereka juga tidak dapat menjadi pemimpin di tingkat resort, distrik dan sinode. Namun berbeda dengan Sekolah Bibelvrouw yang dipimpin oleh Pendeta laki-laki, Sekolah Diakones dari awal hingga sekarang selalu dipimpin oleh Diakones. a. Perempuan dalam Pendidikan Teologia di HKBP Sejak tahun 1950-an HKBP sudah mengizinkan kaum perempuan ikut Sekolah Teologia Rendah di Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Namun setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka diterima sebagai guru jemaat bukan sebagai pendeta. Selanjutnya pada tahun 1954, HKBP membuka Fakultas Teologia di
119
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, berakar dan bertumbuh ... , 217 Agenda HKBP, Ibid, 56-57
120
65
Universitas HKBP Nommensen, Pematangsiantar, Sumatera Utara yang pada tahun 1978 berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Teologia (STT-HKBP).121 Tahun 1958, Fakultas Teologia HKBP Nommensen, Pematangsiantar telah menamatkan 17 orang dan dua diantaranya adalah perempuan. Demikian juga pada tahun 1960, lulusan ada 8 orang dan 2 diantaranya adalah perempuan. Tahun 1961, ada 17 lulusan dan satu orang diantaranya perempuan. Tahun berikutnya 1962 ada 33 orang lulusan dan dua diantaranya perempuan.122 Ketujuh orang perempuan lulusan 1958, 1960, 1961 dan 1962 mengikuti masa praktek di jemaat-jemaat sesuai asal Gerejanya. Namun setelah mengikuti masa praktek mereka tidak diikutsertakan dalam menerima tahbisan pendeta. Demikian juga kerinduan dua orang perempuan tamatan STT-Jakarta ingin menerima tahbisan pendeta dari HKBP, tetapi tetap belum diizinkan.123 Akibatnya sejak tahun 19631985 minat kaum perempuan sirna. Perempuan menjadi pendeta baru pada tahun 1986. Artinya, ada pergumulan yang begitu panjang bagi HKBP untuk menerima perempuan sebagai pendeta, bahkan hampir selama 30 tahun (sebab tahun 1950-an HKBP telah menerima perempuan mengikuti pendidikan teologia sebagai syarat menjadi pendeta). Penerimaan pendeta perempuan itu terwujud berdasarkan hasil keputusan Sinode
121
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh .., 166. Ibid, 166. 123 Ibid. 122
66
Godang pada tahun 1982, yaitu menetapkan keputusan bahwa seseorang, tanpa membedakan jender dapat ditahbiskan menjadi pendeta.124 Keputusan tersebut dituangkan dalam Tata Gereja HKBP 1982 – 1992 bahwa mereka yang menerima penahbisan Pendeta adalah seorang warga jemaat yang telah menempuh pendidikan kependetaan, menerima tahbisan kependetaan dan dikukuhkan oleh Ephorus HKBP.125 Sangat jelas bahwa Tata Gereja tersebut tidak membedakan jender dari seseorang dalam menerima tahbisan pendeta sehingga pada 27 Juli 1986 HKBP menahbiskan 10 orang pendeta dan satu diantaranya perempuan, yaitu Noortje P. Lumbantoruan.126 Empat bulan kemudian, pada 8 November 1986, HKBP kemudian juga menahbiskan 14 pendeta dan dua diantaranya terdapat perempuan yaitu Renta Tianar Marpaung yang telah menantikan selama sembilan (9) tahun dan Minaria Sumbayak yang telah menantikan selama duapuluh tujuh (27) tahun.127 Dalam penerimaan pendeta perempuan dan perealisasiannya di Gereja HKBP adalah sangat amat terlambat jika dibandingkan dengan penerimaan perempuan dalam pendidikan teologia. Hal itu sangat erat kaitannya dengan tradisi Batak yang menganut paham patrialisme. Walaupun demikian, hambatan dalam faktor budaya
124
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar..., 167. Ibid. 126 Ibid dan Noortje Lumbantoruan, Hasil wawancara, 29 Maret 2012, Pdt Noortje lahir 1 Agustus 1958 di Jakarta dan telah lulus dari STT-Jakarta tahun 1983, menantikan 3 tahun dan menerima tahbisan kependetaan dalam usia 28 tahun. Kini cuti namun senantiasa tetap siap melayani khotbah jika diundang. 127 Ibid. Renta Tianar Marpaung, Hasil wawancara, 5 April 2012, lahir 20 Januari 1937, lulusan 1977 dari STT-HKBP Pematangsiantar menerima tahbisan dalam usia 49 tahun. Pdt Minaria Sihite-Sumbayak-, Hasil wawancara, 10 April 2012, lahir 7 Juni 1929 lulusan 1959 dari STT-Jakarta dan ditahbiskan dalam usia 57 tahun. 125
67
tersebut telah diperdebatkan dan dituangkan sebagai sebuah keputusan pada Sinode Godang 1982 yang dirumuskan dalam Tata Gereja sejak tahun 1982. Sejak 1986 hingga kini jumlah Pendeta Perempuan di HKBP semakin bertambah sehingga mencapai 277 orang dan ada 87 orang Calon pendeta perempuan. Dari 637 resort yang ada 30 (4,3 %) diantaranya dipimpin oleh Pendeta Perempuan.128 Dari 28 distrik yang ada baru pada Sinode Godang 2008, terpilih Praeses perempuan pertama (3,5%) yaitu Pdt Debora Sinaga. b. Syarat menjadi Pendeta HKBP Ada enam jenis jabatan tahbisan di HKBP yaitu, Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis dan Penatua, namun penulis hanya membahas tentang Pendeta dalam bagian ini. Pengertian Pendeta adalah yang menerima jabatan kependetaan dari HKBP melalui Ephorus sesuai dengan Agenda HKBP. Dalam jabatan kependetaan itu tercakup ketiga jabatan Kristus, yaitu nabi, imam dan raja.129 Adapun syarat Pendeta yang diterima oleh HKBP sbb: a. Lulusan Sekolah Tinggi Teologia HKBP atau Sekolah tinggi teologia lain130 yang diakui oleh HKBP yang sama kurikulumnya dengan Sekolah Tinggi Teologia HKBP jurusan kependetaan. b. Warga HKBP yang menghayati kasih karunia Allah yang diterimanya melalui baptisan dan pengakuan iman. c. Sudah praktek sedikitnya dua tahun di HKBP, dan dianggap sudah mampu menerima jabatan kependetaan sesuai dengan rekomendasi Praeses dan Pendeta Resort. d. Sehat rohani dan jasmani. e. Menerima tahbisan jabatan kependetaan dari HKBP.
128
Biro Personalia HKBP, Hasil wawancara, 28 Maret 2012. Ibid, 153. 130 Donal Sipahutar, Hasil wawancara, 28 Maret 2012, Sekolah Tinggi Teologia yang dimaksud yaitu STT-Jakarta, UKDW, UKSW dan INTIM. Indeks Prestasi minimal 2, 5 dengan usia 35 tahun. Namun pembatasan usia tidak berlaku bagi Guru jemaat, Bibelvrouw dan Diakones yang melanjutkan studi dan ingin menjadi pendeta. 129
68
f. Pendeta yang diutus oleh gereja lain yang seiman dengan HKBP diperhitungkan sama dengan Pendeta HKBP. Penahbisan Pendeta Batak pertama diadakan pada 19 Juli 1885 di Gereja HKBP Pearaja Tarutung. Mereka yang ditahbiskan tersebut telah mengikuti pendidikan Sekolah Pendeta di Seminarius Pansurnapitu, Tapanuli Utara, Sumatera Utara sejak tahun 1883. Pada tahun 1901 sekolah tersebut pindah ke Seminarius Sipoholon, Tapanuli Utara.131 Pendeta Batak telah mengemban tugas khotbah, melayankan sakramen, mengajar, menggembalakan dan beragam tugas dalam jemaat, namun posisinya tetap sebagai pembantu tuan pendeta, yaitu para penginjil utusan RMG. Posisi tersebut berlangsung hingga tahun 1920-an. 132 Kemudian tahun 1930-an muncul gerakan pendeta Batak menuntut kesetaraan hak untuk memimpin HKBP. Aspirasi ini diakomodasi dalam Tata Gereja 1940 mensahkan resort dipimpin oleh Pendeta Batak.133 Sejak itu Pendeta Batak ikut memimpin HKBP dan Juli 1940 terpilih Ephorus HKBP yang pertama dari orang Batak yaitu Pdt Kasianus Sirait.134 Tugas kepemimpinan Pendeta Batak sudah mencakup seluruh aras HKBP dan akibat perang antara Belanda dan Jerman maka penginjil RMG terpaksa harus meninggalkan HKBP pada tahun 1940. Sejak tahun 1940 sampai sekarang Ephorus HKBP selalu orang Batak dari pendeta laki-laki dan belum pernah perempuan. Menurut penulis sama halnya dengan pendeta Batak yang menuntut haknya untuk memimpin Gereja HKBP dari
131
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh..., 165. Ibid, 166. 133 Jubil Raplan Hutauruk, Menata Rumah Allah, Kumpulan Tata Gereja HKBP, Pearaja Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2008, 6. 134 Almanak HKBP 2012, 466. 132
69
para penginjil Barat tersebut, kini saatnya untuk pendeta perempuan
diberikan
kesempatan yang lebih banyak lagi sebagai pemimpin Gereja di HKBP dan tentunya berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. c. Pemimpin Jemaat di HKBP Dalam Aturan Peraturan HKBP tahun 2002 yang memimpin HKBP tertulis dalam pasal 18 sbb: 1. Pimpinan jemaat memimpin jemaat cabang dan pendeta resort memimpin jemaat induk 2. Pendeta resort memimpin jemaat resort.135 3. Praeses bersama kepala bidang memimpin distrik.136 4. Ephorus bersama Sekretaris Jenderal dan kepala departemen memimpin segenap HKBP. Untuk pemilihan Praeses, Kepala Departemen, Sekretaris Jenderal dan Ephorus dilakukan Sinode Godang setiap lima tahun sekali dan mereka bersama Kepala Biro Personalia HKBP yang menetapkan pimpinan jemaat cabang, pendeta resort dan kepala bidang di distrik melalui Surat Keputusan (SK). Adapun syarat bagi pemimpin HKBP yang dapat dipilih di Sinode Godang tersebut adalah:137 a. Paling sedikitnya sudah 15 tahun setelah menerima tahbisan kependetaan di HKBP, dan bekerja terus di HKBP. Pendeta-pendeta yang oleh HKBP diutus bekerja di gereja atau di lembaga lain, dianggap bekerja di HKBP. b. Tidak pernah dikenai sanksi Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja. c. Sehat rohani dan jasmani. d. Usianya tidak lebih dari 61 tahun pada saat pemilihan. e. Dipilih oleh Sinode Godang
135
Aturan Peraturan HKBP 2002, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2002, 127; Dalam AP HKBP tsb dituliskan bahwa Resort adalah persekutuan jemaat-jemaat setempat untuk memantapkan dan mengembangkan persekutuan, kesaksian dan pelayanan di tengah-tengah jemaat. 136 Ibid, 130: Distrik adalah kesatuan dari beberapa resort untuk memantapkan dan mengembangkan persekutuan, kesaksian dan pelayanan di distrik itu. Praeses dipilih oleh Sinode Godang. 137 Aturan Peraturan HKBP 2002, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2002, 127
70
Syarat yang sama juga berlaku bagi Sekretaris Jenderal, Kepala Departemen Marturia dan Koinonia. Namun untuk Kepala Departemen Diakonia, pada butir a dinyatakan: Seorang pelayan atau warga jemaat yang bersedia mengorbankan dirinya dalam pekerjaan pelayanan, diakonia dan kemasyarakatan karena Kristus. Untuk butir b, c, d dan e sama. Sangat jelas dinyatakan bahwa hanya pendetalah yang dapat dipilih menjadi Praeses, Sekretaris Jenderal, Ephorus, Kepala Departemen Marturia dan Koinonia. Namun ada pengecualian untuk Kepala Departemen Diakonia terbuka peluang bagi pelayan non tahbisan, yaitu warga jemaat tanpa membatasi waktu pelayanan mereka. Dari hasil wawancara, ada beberapa penambahan syarat sesuai dengan kebutuhan pelayanan dalam zaman ini. Pemimpin di HKBP sudah harus dipersiapkan sejak dia mahasiswa di STT, Calon Pendeta dan Pendeta mempunyai wawasan yang luas, mengetahui ekonomi, politik dan isu-isu yang berkembang dalam tingkat nasional dan internasional dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris.138 Di samping itu juga Biro pembinaan HKBP harus tetap melakukan Pembinaan berjenjang sesuai dengan masa pelayanannya.139 Menurut Ephorus HKBP yang dimaksud dengan pembinaan berjenjang dan terpadu, yaitu pembinaan bagi yang telah melayani di daerah tradisional mereka masuk ke pembinaan dengan materi pembinaan di transisional, lalu melayani dan selanjutnya diadakan kembali pembinaan bagi mereka
138 139
DPS, Hasil wawancara, Selasa, 8 April 2012, Siborongborong, Tapanuli Utara. JS, Hasil wawancara, Rabu, 28 Maret 2012, Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara.
71
yang berbakat untuk kategorial, di kota dan di kantor. Setelah itu mereka ditempatkan sesuai dengan bakat masing-masing.140 Dari ungkapan di atas, Penulis memahami bahwa untuk menjadi seorang pemimpin di HKBP tidak dibatasi apakah dia perempuan atau laki-laki. Peluang itu diberikan sama pada keduanya, tetapi mengapa pada kenyataannya dilapangan sangat sedikit pendeta perempuan sebagai pemimpin? Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan ada 4 faktor yang mempengaruhi sulitnya pendeta perempuan disertakan dalam kepemimpinan di tingkat resort, distrik dan sinode dalam usia Gereja HKBP 150 tahun yaitu: 3.2.Relasi Pendeta Perempuan dengan lingkungannya Sekalipun dalam Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, menyebutkan pendeta tanpa membedakan laki-laki atau perempuan,141 namun kenyataannya kesempatan untuk memimpin bagi pendeta perempuan sangat sedikit sekali baik di tingkat resort, distrik dan Sinode. Oleh karena itu menurut MSS, seorang pendeta perempuan menyatakan: “pendeta perempuan harus berusaha mengejar ketertinggalannya, harus bisa menonjol sehingga lebih dikenal”.142 Sehubungan dengan itu menurut DS kepala biro personalia HKBP, “pendeta perempuan harus memperkenalkan dirinya di tingkat distrik dengan menunjukkan kualitas pelayanannya di jemaat”.143
140
BN, Hasil wawancara, Senin, 2 April 2012, Hotel Asean, Medan Ibid 142 MSS, Ibid. 143 DS, Hasil wawancara, Seminarius Sipoholon, Tapanuli Utara, Rabu, 28 Maret 2012 141
72
Dalam mengejar ketertinggalannya itu perlu dibekali dengan kepemimpinan sehingga tahu bagaimana memimpin rapat dan ada prakteknya.144 Pendeta perempuan juga harus banyak terlibat dalam gerakan oikumene sebagai peserta, apakah partisipan atau berpartisipasi sehingga mempunyai wawasan nasional dan internasional.145 Sebagai pemimpin Gereja, menurut RH, sekretaris jenderal HKBP, “pendeta perempuan harus cakap dan mampu membawa diri”.
Lebih lanjut dipaparkannya
bahwa: “Faktor terbesar sulitnya pendeta perempuan diterima sebagai pemimpin adalah diri perempuan itu sendiri, dia tidak tahu dia perempuan. Oleh karena itu dia harus tahu dulu bahwa dia perempuan, dia harus berpenampilan sebagai perempuan karena cara kita berada dan berinteraksi menunjukkan siapa kita. Sulit bagi saya menggambarkan ini perempuan dan ini laki-laki, hal itu hanya dapat dilihat ketika perempuan itu sendiri berinteraksi dengan jemaat.146
Menurut AVP dosen STT-HKBP Pematangsiantar, pendeta perempuan harus tahu dimana dia berada, karena itu dia perlu membangun relasi dengan laki-laki untuk membangun diri dan keluar dari ketertinggalannya.147 Perempuan selalu menerima dirinya sebagai figur yang lemah, sehingga dia lebih sering mengukur kemampuannya dan kurang mau mencoba, dia tidak berusaha dahulu melainkan terus membatasi kemampuannya dan menjadi tertutup. Akibatnya beberapa keinginan yang diharapkan jemaat tidak ditemukan dalam diri perempuan tersebut. Untuk itu perempuan dituntut mau belajar sehingga mampu memahami potensi jemaat dan dengan kemampuan dan
144
DPS, Ibid. BRH, Hasil wawancara, Medan, Minggu, 8 April 2012, 146 RH, Hasil wawancara, Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung, Tapanuli Utara, Kamis, 29 Maret 2012 147 AVP, Hasil wawancara, Medan, 31 Maret 2012. 145
73
pengetahuan yang dimiliki perempuan tersebut, jemaat dapat dikembangkan.148 Pendeta perempuan harus mempersiapkan dirinya dahulu, dengan mengetahui tradisi sehingga dapat menyesuaikannya dan mampu melihat kebutuhan jemaat. Tentu sekali dibutuhkan pengetahuan dan spiritualitas yang lebih untuk dapat membawakan diri dengan baik.149 Dari data wawancara yang ada, dapat disimpulkan bahwa HKBP yang masih kuat berpegang dalam sistim patriarkhat dan masih enggan untuk menerima perempuan sebagai pemimpin atau pendeta jemaat di tingkat resort, distrik dan sinode. Hal ini sangat merugikan kaum perempuan dan juga pendeta perempuan karena hampir dua pertiga dari peserta ibadah dan seluruh aktifitas gereja, perempuan melibatkan diri didalamnya, namun dalam aras kepimimpinan, mereka dibatasi karena pendengarpendengar dominan merendahkan dan tidak mempercayai kemampuan perempuan. Secara lembaga dan konstitusi, semua jabatan dan golongan dalam gereja terbuka bagi perempuan dan laki-laki meskipun dalam kenyataannya perempuan belum terwakili dengan jumlah yang sama dengan jumlah perempuan dalam gereja. Perempuan dan laki-laki berpartisipasi sama dalam aktifitas gereja, sedangkan dalam kepemimpinan gereja masih didominasi laki-laki. Dalam teori ketidakadilan jender, marginalisasi perempuan adalah suatu proses peminggiran atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini pendeta perempuan disebabkan oleh perbedaan jender. Marginalisasi perempuan, karena perbedaan jender dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi atau 148 149
DPS, hasil wawancara, Siborong-borong-Tapanuli Utara, 8 April 2012 Ibid.
74
kebiasaan, bahkan asusmsi ilmu pengetahuan. Revolusi hijau misalnya telah menyingkirkan perempuan dari pekerjaannya secara ekonomis dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses pemiskinan terhadap perempuan.150 Membatasi atau kurang melibatkan perempuan dalam kepemimpinan di dalam gereja merupakan perlakuan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, telah mengakibatkan penyisihan hak-hak perempuan. Tradisi atau kebiasaan, yang terdapat dalam budaya Batak telah membuat pembatasan hak kepada perempuan, secara khusus pendeta perempuan sebagai pemimpin di gereja HKBP. Disamping itu juga terjadi subordinasi terhadap perempuan karena adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan mengakibatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Juga ada anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang tidak penting.151 Hal ini terjadi berawal dari kesadaran jender yang tidak adil. Perempuan dalam gereja merepresentasikan pertama sekali bahwa perkumpulan perempuan diklaim sebagai Gereja dan sebagai persekutuan kebebasan dari patriakhi. Hal itu berarti bahwa tradisi patriarkhi adalah penolakan keinginan Tuhan. Itu juga merupakan penolakan sebagai aturan penciptaan atau sebagai refleksi biologis alami.152
150
Narwoko, Dwi, J – Suyanto Bagong, Sosiologi Teks ..., 341. Ibid, 341 - 342 152 Rosemary Radford Ruether, Women-Church, San Francisco, Harper & Row, Publisher, 1985, 57-58. 151
75
Menurut Ruther,153 sebagai sistim sosial aspek kebapakan, atau laki-laki, menggunakan
kekuasaannya untuk menempatkan
diri
mereka dalam
posisi
mendominasi perempuan serta membuat keluarga dan masyarakat ketergantungan kepada mereka. Laki-laki sebagai pemimpin sosial dan merekalah yang akan memonopoli budaya, ekonomi, kekuasaan atas masyarakat. Oleh karena itu perempuan-gereja berarti tidak hanya perlu menolak sistim ini dan ikatan yang mempengaruhi untuk melepaskan diri darinya. Patriarkhi bisa memisahkan perempuan dari perempuan, menabrak garis keturunan misalnya mertua dan menantunya, ibu dari anak perempuannya sehingga mengisolasi perempuan dalam rumah tangganya maupun dari perempuan tetangganya. Perempuan hanya memimpin semua kelas pelayan/pembantu.154 Hal itu mengasumsikan bahwa perempuan tidak suka bersekutu dengan sesamanya perempuan sehingga perempuan yang satu memiliki kompetisi dengan perempuan yang lain dan menilai pekerjaan laki-laki lebih baik dari apa yang telah dikerjakannya. Setiap tempat dimana perempuan bertemu dan berbicara bersama adalah ruang marjinal tanpa akses kuasa dan informasi sehingga “pembicaraan perempuan” dalam berbagai tempat akan menjadi “diremehkan”.155 Dari hal di atas memunculkan pertanyaan, bagaimana dapat terlihat perempuangereja boleh terbebas dari patriarkhi? Ruther mengasumsikan bahwa persekutuan perempuan-gereja adalah langkah pertama sebagai sebuah proses kepenuhan dan
153
Rosemary Radford Ruether, Women- Church ..., 58 Ibid. 155 Ibid. 154
76
kulminasi kebebasan itu sendiri. Dalam persekutuan itu, perempuan tidak melegitimasi mitos teologi yang membenarkan gereja patriarkhi
dan memulai bentuk
yang
membebaskan. Persekutuan yang dibangun dalam kebebasan dan mengakar pada penebusan manusia baru.156 Dari apa yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan perlu memberdayakan
diri mereka
sendiri melalui
Roh
kebebasan
atas mereka.
Pemberdayaan yang diterima seseorang menjadi dasar merayakan persekutuan baru, berkomunikasi bersama dan menumbuhkan diri mereka sendiri dan menjadi dewasa dalam persekutuan yang membebaskan. Selanjutnya Ruther memberikan beberapa saran kepada perempuan-Gereja sebagai berikut:157 1. Sebagai Perempuan-Gereja perlu menanggalkan predikat “hamba” dari patriarkhi. Kita perlu menanggalkan dalam nama kemanusiaan, Tuhan tidak menciptakan kita untuk menjadi hamba patriarkhi. Tuhan Yesus datang ke dunia ini tidak untuk memelihara patriarkhi melainkan meletakkan kekuasaanNya dan merendahkan diri. Dalam tanganNya misi penebusan ditransformasikan sebagaimana yang pertama akan menjadi terakhir dan yang terakhir menjadi yang pertama. Inilah cara Tuhan membuat dunia yang seharusnya ada. Kita perlu memiliki keberanian mengklaim menjadi seperti Kristus melalui representasi misi Kristus.
156 157
Rosemary Radford Ruether, Women-Church ..., 57-58 Op-cit, 72 - 73
77
2. Sebagai perempuan-Gereja kita sering melihat adanya kengerian, fitnah, penipuan, keinginan yang salah dalam gereja. Hal ini bukan suara Tuhan, bukan wajah penebus, bukan misi gereja kita. Sebagai perempuan-gereja kita perlu mengklaim misi otentik Kristus, misi gereja yang benar untuk membentuk kembali kemanusian kita dan bukan menghancurkannya. Oleh karena itu kita perlu menolak dampak dari praktek-praktek patriarkhi yang tidak manusiawi. 3. Sebagai perempuan-Gereja kita perlu belajar apa arti menjadi pelayan. Tugas kita melayani kepada orang yang menderita dan bersama yang lain mengajarkan kata-kata kehidupan. Manusia baru yang kita bangun bersama di bumi baru perlu dibebaskan dari penindasan patriarkhi. 4. Kita sebagai perempuan-Gereja perlu memanggil laki-laki agar terbebas dari patriarki dan bergabung dengan kita keluar darinya sehingga tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan melainkan semua anak-anak dunia dapat duduk bersama. Oleh karena itu HKBP perlu membebaskan diri dari patriarkhi karena hal tersebut bukan keinginan Tuhan. Marjinalisasi dan subordinasi sebagai produk dari sistim patriarkhi telah dijadikan sebagai tolak ukur terhadap keberadaan pendeta perempuan, dalam realita telah mengganggu relasi perempuan dengan lingkungan. Namun pendeta laki-laki dan perempuan hendaknya secara bersama-sama membebaskan diri dari “hamba” patrairkhi dengan melayani secara bersama. Itu berarti memberikan peluang yang sama baik kepada pendeta laki-laki maupun perempuan berpartisipasi dalam kepemimpinan gereja dan meniadakan dominasi. 78
3.3. Pengaruh budaya Batak dalam penerimaan pendeta perempuan HKBP
cukup lama bergumul untuk menerima Perempuan sebagai pendeta.
Sejak tahun 1950 perempuan sudah diterima di pendidikan teologia dan hanya sebagai guru jemaat dan tahun 1957 sebanyak tujuhbelas (17) orang perempuan telah tamat dari pendidikan teologia namun penerimaan pendeta perempuan dilakukan 31 tahun kemudian. Pergumulan itu berlangsung terus dan pada akhirnya disepakati penerimaan perempuan sebagai pendeta melalui pentahbisan dalam tahun 1986. Proses pentahbisan itupun dilakukan dipengaruhi hubungan keluarga (marga - ketika itu Ephorus HKBP marga Sihombing, maka mereka mendahulukan Nortje Lumbantoruan yang adalah juga rumpun marganya), meskipun sebenarnya ada 3 orang perempuan yang harus ditahbiskan, termasuk Minaria Sumbayak dan Tianar Marpaung (kedua perempuan ini lebih dulu menyelesaikan pendidikan teologia dan telah menunggu berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi Pendeta di HKBP). Namun tiga bulan setelah penahbisan Pdt Nortje Lumbantoruan mereka berdua ditahbiskan. Faktor budaya sangat kuat memengaruhi Gereja HKBP dengan sistim patriarkhat, laki-laki lebih diutamakan158 sehingga perempuan dinomorduakan. Dalam soal penempatan pendeta resort, memang lebih mengutamakan laki-laki-laki sebab lakilaki akan selalu memilih temannya laki-laki.159 Menurut BN, “masih ada beberapa resort yang menolak pendeta perempuan melayani pemberkatan nikah dan pelayanan
158 159
BRH, Hasil Wawancara. Ibid.
79
perjamuan kudus jika sedang hamil”.160 Bahkan menurut DS, masih banyak jemaat HKBP sulit menerima pendeta perempuan hamil, karena alasan pengeluaran Gereja akan bertambah ketika pendeta perempuan tersebut cuti melahirkan maka Gereja akan membayar pendeta yang lain untuk melaksanakan tugas pelayanan sampai batas cuti berakhir.161 Lebih buruk lagi menurut MSS perempuan yang sudah menikah tidak mungkin dipilih menjadi pemimpin karena dia tetap mengurus dapur. Dia lebih banyak memikirkan keluarga sehingga tidak mungkin mengurus Gereja sebaik laki-laki menggunakan energinya untuk itu.162 Selanjutnya MSS menjelaskan bahwa jika perempuan lengah mengurus keluarga yang adalah “gereja kecil” karena pelayanannya maka Gereja bisa bubar. Namun keduanya, mengurus Gereja dan keluarga dapat dilakukan jika perempuan lebih rajin dan lebih tekun serta memiliki kemauan yang tinggi.163Anehnya pendeta perempuan yang menikah dan suaminya tidak bekerja, dia diremehkan karena posisi suaminya tidak diperhitungkan di tengah-tengah jemaat.164 Hal tersebut terjadi karena sistim patriarkhi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dan Gereja bahwa
laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak layak
mengurus rumah dan anak-anak. Hal itu juga yang membuat ketika perempuan diutus untuk mengikuti suatu kegiatan mewakili jemaat atau resort maka mereka akan
160
BN, Hasil wawancara. DPS, hasil wawancara. 162 MSS, hasil wawancara. 163 Ibid. 164 DPS, hasil wawancara. 161
80
memberikan peluang itu kepada laki-laki. Dalam diri perempuan tersebut ada minder dan merasa bahwa laki-laki lebih mampu.165 Di sisi lain, karena alasan kasihan kepada perempuan melihat medan pelayanan sangat jauh dan menempuhnya harus menginap, maka jemaat sendiri akan menolak jika pendeta perempuan sebagai pendeta resort ditempatkan ke sana.166 Karena pengaruh budaya yang sangat kuat di HKBP, maka pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai berikut: Perempuan harus membekali diri dalam pendidikan dan mampu membawakan diri.167 Pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang utama untuk dapat diterima sebagai pemimpin Gereja.168Pengetahuan itu bukan saja hanya melalui pendidikan formal dapat juga melalui kursus-kursus, seminar dan membaca buku.169 Perempuan harus memperlengkapi dirinya dengan keras, hal-hal yang perlu diketahuinya harus dimilikinya seperti ketrampilan, keluwesan dan pengetahuannya dua kali lipat dari pendeta laki-laki.170 Bagaimanapun hal tersebut harus diupayakan sendiri oleh pendeta perempuan. Dia harus aktif mengikuti seminar, diskusi dan kursus baik yang berada di tingkat nasional dan internasional sehingga memiliki pengetahuan yang lebih. Bisa saja perempuan itu merasa sudah lebih pintar, lebih tahu dari antara temannya perempuan namun jika dia melibatkan diri dalam diskusi, seminar yang dihadiri juga pendeta lakilaki maka dia akan menemukan pengetahuannya masih kurang jika dibanding dengan
165
DPS, hasil wawancara. BN, hasil wawancara dan BNN, Hasil wawancara, Rabu, 28 Maret 2012, Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara 167 JS, Hasil wawancara. 168 BNN, Hasil wawancara. 169 AVP, Hasil wawancara, 31 Maret 2012, Medan. 170 RH, Hasil wawancara, Pearaja-Tarutung, Tapanuli Utara, Kamis, 29 Maret 2012. 166
81
Pendeta laki-laki. Hal ini akan membuat Pendeta perempuan mau belajar terus dalam meningkatkan pengetahuannya.171 Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa paham patriarkhi telah menghasilkan ketidakadilan jender dalam masyarakat Batak dan Gereja HKBP. Di Gereja terjadi marjinalisasi terhadap pendeta perempuan dengan membatasinya sebagai pemimpin di resort, distrik dan sinode. Menurut Mansour Fakih, marginalisasi terhadap perempuan terjadi sudah sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan.172 Dalam hal ini pendeta perempuan HKBP yang telah bejumlah 277 orang tersebut dibatasi sebagai pemimpin Gereja di tingkat resort, distrik dan sinode. Disamping itu juga terjadi Subordinasi terhadap perempuan karena pendeta lakilaki mendominasi posisi kepemimpinan, mengakibatkan perempuan sebagai warga kelas dua.173 Adanya anggapan beberapa orang pendeta HKBP bahwa perempuan itu emosional, mau menangis dalam rapat sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan hanya ditempatkan dalam pelayanan di tengah-tengah jemaat dan bukan sebagai pemimpin. Oleh karena itu menurut Russell,174 perempuan dalam Gereja terpanggil untuk berbagi seperti yang diungkapkan: a. penegasan proses kritis dengan apa yang dimaksud menjadi manusia dan mencoba menjalani penemuan kehidupan mereka yang bebas. Saatnya 171
BRH, Hasil wawancara. Mansour Fakih, Analisis Gender..., 13 -14. 173 Dwi J Narwoko,-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks... 341 – 342. 174 Letty M. Russell, Human Liberation.... 38. 172
82
sekarang menegaskan kemampuan dan mampu bekerjasama dengan kebebasan ke depan yang merupakan suatu pemberian Roh Kudus. b. Diakritis dalam berteologi Fungsi diakritis, penegasan dapat membantu perempuan dan gereja mengambil sikap kenabian menentang masyarakat yang mempertajam pemahaman masyarakat yang ada dan asumsi-asumsi budaya lama yang menutup masa depan. Pencarian tindakan Allah yang tegas dan mengkritik seluruh bagian dunia (termasuk diri mereka sendiri) yang menolak rencana Allah dan tujuan keadilan, kebebasan dan kedamaian manusia. Dengan cara inilah mereka dapat bergabung dengan yang lainnya dalam membantu masyarakat menemukan kebebasan baru.175 Memulai diakritis, artinya memiliki keberanian menjadi orang asing dalam masyarakat; bertindak dan berpikir bersama orang-orang yang merintih untuk kebebasan dan bekerja untuk mengganggu status quo. Akibatnya menjadi orang marginal, orang yang tidak nyaman dengan rekan-rekan mereka atau juga tidak nyaman menerima norma-norma Gereja maupun masyarakat.176 Penegasan teologis dengan cara yang lebih luas dan bervariasi, perempuan harus berkeinginan mengambil tindakan konkrit untuk merubah masyarakat dengan mempertaruhkan isu-isu teologis berdasarkan kesadaran baru masyarakat. Dalam situasi ini perempuan Kristen berteologi tidak hanya menambahkan pengembangan keahlian dalam displin ilmu. Berteologi berarti dirinya sendiri bertindak kebebasan. 175
Letty M. Russel, Human Liberation ..., 38.
83
Kritis berarti menemukan pertanyaan-pertanyaan yang benar tentang Alkitab dan tradisi-tradisi Gereja tentang Tuhan dan iman. Bukan hanya menerima teks-teks tertentu yang disampaikan oleh Bapa-bapa Gereja, melainkan pertanyan-pertanyaan serius harus dimunculkan dalam rangka mencoba memahami apa arti hidup nyata anak-anak Allah.177 Grup-grup dan organisasi-organisasi perempuan dalam Gereja dahulu kala, telah menempatkan peran mendukung dan mendengar dalam masalah teologi dan penelitian sosial serta kepemimpinan dalam Gereja. Saat ini adalah waktunya memainkan peran mendengar Maria, mendengar Tuhan Yesus dan memerankan kebebasan Injil daripada hanya mengingatkan Martha dengan dapur Gereja (Lukas 10: 38-42). Ketika grup-grup perempuan menemukan bahwa mereka tidak dapat ke luar dari menjahit, basar dan rutinitas belajar Alkitab, menghadapi bentuk-bentuk baru diakonia dan teologi lebih serius dan refleksi sosial, mereka tidak mungkin lagi dapat melayani untuk kebebasan manusia. Sering hasil tipe peran marginal oleh beberapa grup perempuan gagal menegaskan tipe yang lebih serius dan tekad perempuan
yang
menginginkan
perjuangan.
Perempuan
membutuhkan
pembentukan suasana struktur dan organisasi baru dimana mereka menemukan cara untuk mendukung satu dengan yang lain dalam diakrisis (kritis dan tindakan kenabian). Berkumpul bersama sebagai perempuan tidak cukup memunculkan kesadaran dan diskusi masalah-masalah juga tidak mendidik. Proses kebebasan adalah sebuah
177
Letty M. Russel, Human Liberation ..., 40.
84
kelanjutan perjuangan untuk bertindak bersama dengan yang lain dan itu sangat berarti dan diperlukan untuk mentransformasi masyarakat. Sebagaimana dikatakan dalam puisi Julius Lester yang dikutip oleh Russell, “doa kita tidak hanya untuk kesadaran kritis, tetapi juga untuk mengganggu kekuasan yang mapan yang dapat memotong kesadaran seperti pisau cukur, mengganggu kita, dan memaksa kita untuk bertindak kenabian.”178 Pandangan aliran feminisme liberal sangatlah tepat disadari Gereja HKBP sehingga pendeta perempuan dapat bertindak dalam perspektif kenabian dalam pelayanannya. Untuk itu Pendeta perempuan perlu memperlengkapi diri sehingga mereka sadar bahwa dalam diri perempuan itu sendiri ada potensi yang dapat dikembangkan.179 Dari ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa pendeta perempuan perlu mempersiapkan diri agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Pendeta perempuan hendaknya lebih banyak diberi kesempatan studi lanjut, mengikuti kursus dan pelatihan, seminar dan diskusi sehingga dapat menggali potensi yang ada dalam dirinya. Gereja sudah sejak dahulu kala memulai kebebasan dan kini saatnya bertindak. Oleh karena itu jika berbicara tentang perempuan dan kebebasan, itu berarti menjelaskan apa yang dimaksud perjalanan mengarah ke jalan kebebasan dengan yang lain, yaitu memberikan peluang kepada perempuan dalam kepemimpinan gereja. Dapat dikatakan bahwa HKBP sebagai gereja tidak berhak membatasi atau 178 179
Letty M. Russel, Human Liberation ..., 40. Mansour Fakih, Analisa Gender... 80 – 83.
85
kurang memberikan kesempatan bagi pendeta perempuan dalam memimpin gereja dengan alasan apapun. Karena pendeta laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan yang sama untuk melayani dan sebagai pemimpin gereja. 3.4.
Pemahaman tentang mitra sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinan masih kabur Menurut NL, pendeta perempuan pertama di HKBP memahami bahwa mitra adalah teman sekerja karena itu saling melengkapi dan “sharing power”.180 Selanjutnya dijelaskan masyarakat Batak sudah memperlakukan laki-laki dan perempuan sama, namun dalam hal “sharing power” itu belum ditemukan. Ini dapat dilihat dalam pemilihan majelis di tengah-tengah Gereja yang selalu lebih condong kepada orang kaya dan bukan spiritualitasnya. Akibatnya, dalam hal kepemimpinan yang didominasi lakilaki terutama yang memiliki karakter tidak dapat menerima perempuan sebagai mitra tetapi rival.181 Menurut BRH, pendeta perempuan dan mantan kepala departemen perempuan HKBP, “Kalau ada pendeta perempuan di distrik, mereka selalu ditempatkan dalam bagian perempuan dan tidak pernah memimpin bagian koinonia, diakonia dan marturia, posisi-posisi itu selalu didominasi laki-laki yang selalu memilih temannya lakilaki.”182 Menurut DPS, praeses perempuan pertama di HKBP, bahwa Gereja HKBP sendiri tidak berlaku adil dalam memperjuangkan kemitraan laki-laki dan perempuan.183 Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam pengalamannya sebagai pendeta dan juga Praeses HKBP, dia mengobservasi kemitraan itu bersumber dari keluarga sebab banyak orang
180
NLT, Hasil wawancara. Ibid. 182 BRH, Hasil wawancara. 183 DPS, Hasil wawancara. 181
86
melakukan kekerasan karena di rumah yang bersangkutan mengalaminya.184 Jadi kalau kemitraan jelas dilakukan di dalam rumah maka ke luar tidak akan ada masalah lagi. Seharusnya kemitraan itu adalah sama dalam tugas panggilan Tuhan, laki-laki melayani sebagai laki-laki dan perempuan melayani sebagai perempuan sehingga masing-masing melakukan fungsinya.185 Kemitraan itu saling mengisi, saling mendukung. Ada pekerjaan yang tidak dapat dilakukan laki-laki, namun dapat dilakukan perempuan demikian sebaliknya.186 Oleh karena itu menurut BRH, kemitraan itu adalah “equal”, menerima perempuan sebagai perempuan dan laki-laki sebagai laki-laki. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi tetapi saling menghormati.187 Namun masih banyak perempuan belum mengerti kesetaraan jender karena dia lebih suka dipimpin oleh laki-laki. Padahal ditengah-tengah rumah tangga peran ibu sangat dominan. Untuk itu dibutuhkan pendeta perempuan lebih banyak lagi agar dapat membimbing perempuan terus melayani dan mampu meningkatkan spiritualitas dan ekonomi keluarga.188 Dari data yang diungkapkan dapat dikatakan penempatan pendeta perempuan sebagai pemimpin di tingkat resort, distrik dan sinode sangat dipengaruhi oleh pemahaman kemitraan yang jelas. Oleh karena itu penulis dapat memahami bahwa paham kemitraan di kalangan para pendeta HKBP masih kabur. Letty M. Russel menjelaskan bahwa kemitraan adalah “koinonia”, “partner”sehingga mengandung
184
DPS, Hasil wawancara. MSS, Hasil wawancara. 186 DS, Hasil wawancara, 187 BRH, Hasil wawancara, 188 NL, Hasil wawancara. 185
87
partisipasi bersama dalam pelayanan dan melayani.189 Kemitraan dapat berlangsung dalam hubungan ketergantungan dalam Tuhan sehingga masing-masing memiliki tanggungjawab baru mengarah kepada kebebasan bersama. Hal tersebut dapat membuat para pendeta HKBP melakukan pelayanan Gereja secara diakonia kuratif, diakonia prepentif dan diakonia prospektif.190 Sangat jelas sekali, masyarakat Batak menganut sistim patriarkhi mengakibatkan perempuan sebagai kelompok marjinal dan subordinasi sehingga kebebasannya dibatasi. Hal ini menjadikan perempuan adalah korban karena itu tugas Gereja melakukan pelayanan diakonia kuratif, prefentif dan prospektif. Di samping itu, betapa dunia pada era ini sangat menekankan kesetaraan hal itu juga dikemukakan Hans Kung dalam bukunya berjudul Etik Global, ada 4 petunjuk yang tak terbatalkan yaitu:191 1. Komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan 2. Komitmen kepada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil 3. Komitmen pada budaya toleransi dan kehidupan yang tulus 4. Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan Dalam penjelasan selanjutnya tentang budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan ditegaskan bahwa keduanya laki-laki dan perempuan berjuang menjalin kehidupan dan semangat kerja sama dan tindakan yang 189
Letty M. Russel, Church in the... 61. Letty M. Russel, Human Liberation... 31-32 191 Hans Kung dan Karl-Yosef Kuschel, Etik Global, Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 1999, 21 – 39. 190
88
bertanggungjawab. Agama, dalam hal ini Gereja HKBP wajib menentang dominasi atas jenis kelamin yang lain sehingga hubungan laki-laki dan perempuan seharusnya tidak bersifat patronasi atau eksploitasi melainkan dengan cinta, kerjasama dan saling mempercayai.192 Itulah yang dapat membangun saling menghormati dan bukannya dominasi dan kemerosotan patriarkhal yang membentuk kekerasan. Membatasi perempuan dalam kepemimpinan adalah kekerasan dan menurut John Stott, semua pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia adalah bertentangan dengan kesamaan hak dan derajat yang kita miliki berdasarkan ciptaan. Kesederajatan laki-laki dan perempuan menjadikan hak yang sama bagi keduanya dan itu memang pemberian Tuhan dalam penciptaan.193 Menurut Spong, Tuhan Yesus memahami bahwa seseorang tidak dapat menjadi manusiawi jika harus mendapatkan kekuasaan dengan mengurangi nilai kehidupan orang lain. Memperlakukan perempuan sebagai orang subhuman juga merusak laki-laki dan mengurangi kemanusiaannya. Memperlakukan seorang manusia lain sebagai subhuman selalu membuat pelaku subhuman juga karena tidak ada orang yang akhirnya dapat dibangun dengan mengorbankan orang lain.194 Gereja dalam mewujudnyatakan martabat dan kesamaanderajat manusia senantiasa mengakui dan menerima tanggungjawab manusia seorang atas yang lain, tidak ada pembedaan jender, diskriminasi, yang lemah dan tak berdaya dibela, sehingga manusia bebas menjadi dirinya sebagaimana Tuhan menciptakan kita sesuai dengan keinginanNya.
192
Hans Kung dan Karl-Yosef Kuschel, Etik Global ... , 29-30. John Stott, Isu-isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994, 206 – 207. 194 Jhon Shelby Spong, Yesus bagi Orang-orang Non Religius, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, 313–314. 193
89
Kepemimpinan Gereja menjadi tanggungjawab bersama karena semua orang adalah imam sebagaimana dipahami dalam I Petrus 2: 9. Imamat am orang percaya memberikan pemahaman bahwa siapa saja, baik laki-laki atau perempuan memiliki tanggungjawab yang sama karena itulah dia disebut dan boleh menjadi pemimpin. Untuk itulah pendeta perempuan maupun laki-laki terpanggil secara sama-sama dan bekerjasama dalam Gereja mewujudkan kesetaraan dan keadilan sehingga keduanya memiliki posisi yang setara. Hendaknya paham kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan lebih dipertegas dalam kepimpinan gereja HKBP sehingga kedua adalah mitra sejajar dalam pelayanan dan kepemimpinan gereja. 3.5.
Pendeta Perempuan kurang mempersiapkan diri sebagai pemimpin Menurut DS, peserta sinode laki-laki selalu memilih laki-laki sebagai pemimpin. Demikian juga halnya di tingkat jemaat, resort dan distrik jika diusulkan perempuan, mereka selalu memberikan kesempatan itu kepada laki-laki karena merasa bahwa lakilaki lebih layak untuk posisi itu. Oleh karena itu hendaknya perempuan lebih banyak mau berpikir bahwa dia juga bisa memimpin.195 Sudah saatnya
perempuan
menggunakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam sinode menurut DPS, ke 32 orang pendeta resort perempuan hendaknya lebih banyak memilih penatua perempuan dalam majelis resort maka peluang perempuan untuk lebih banyak di sinode dapat terjadi lebih cepat.196 Namun menurut BN, salah satu syarat menjadi calon Ephorus dalam Aturan
195 196
DS, Hasil wawancara. DPS, Hasil wawancara.
90
Peraturan HKBP masa pelayanannya mencapai 20 tahun. Walaupun sudah ada 277 orang pendeta perempuan di HKBP namun sangat sedikit yang mencapai masa itu. Oleh karena itu janganlah perempuan dipilih karena dia perempuan tetapi kemampuannya. Jangan juga dipaksakan seperti sistim kuota biarlah berlangsung secara alami. 197 Pendeta perempuan hendaknya lebih aktif mengasah kemampuannya karena itu dia perlu didorong dan diberi kesempatan yang lebih banyak dalam pembinaan, rapatrapat dan pengambilan keputusan. Sangat disesalkan jika perempuan mengikuti kegiatan tersebut dia lebih memilih diam.198Ketika perempuan peserta dari kegiatan tersebut hendaknya dia mempersiapkan diri sehingga mampu memberi kontribusi sehingga orang lain dapat menilai dengan baik. Hal itu juga merupakan cara bagi pendeta perempuan memperkenalkan diri karena kualitas yang dimiliki. Seorang pemimpin diuji dari kualitas dirinya sehingga pendeta perempuan mampu mengetahui dan mengatasi tantangan dan kesulitan ditengah-tengah jemaat.199 Menurut DPS, jika pendeta perempuan memimpin dengan tegas dia menjadi otoriter, justru kelemah lembutan adalah senjata yang ampuh dalam menyelesaikan masalah dan bukan ketegasan yang dipaksakan.200 Ada beberapa pendeta perempuan yang kurang baik dalam pelayanan tapi karena perempuan sedikit jumlahnya jadi gampang disorot. Sebenarnya laki-laki banyak yang lebih buruk pelayanannya dibanding dengan perempuan, namun karena mereka banyak, itu tidak dipedulikan.201Justru
197
BN, Hasil wawancara. NS dan RH dalam hasil wawancara juga berpendapat, bahwa menempatkan perempuan sebagai pemimpin di HKBP hendaknya bukan dengan kuota. 198 BRH, hasil wawancara. 199 RH, hasil wawancara. 200 DPS, hasil wawancara. 201 AVP, hasil wawancara.
91
menurut JRH, mantang ephorus HKBP, “pendeta perempuan lebih disukai ditengahtengah jemaat karena lebih banyak kerja daripada bicara”.202 Dari hasil observasi penulis pemimpin HKBP mempunyai pengaruh dalam semua aras kehidupan dan menurut BRH, pengaruh itu adalah wibawa dan wibawa adalah spiritualitas. Spiritualitas adalah hasil dari hubungannya dengan Tuhan sehingga dia mampu meneladaniNya. 203 Dari hal di atas dapat diungkapkan bahwa pendeta perempuan yang memimpin resort masih kurang membekali dirinya dalam melayani di Gereja HKBP. Dapat dikatakan mereka memiliki pengetahuan yang diperoleh dari sekolah teologia dan kurang mau belajar kepemimpinan. Kesempatan yang diberikan kepadanya tidak dipergunakan dalam proses belajar memperlengkapi diri sebagai pemimpin. Sebagaimana menurut Haryanto, salah satu dari kepemimpinan tranformasional adalah kepemimpinan yang visioner, kharismatik, memiliki pengaruh positif terhadap kepuasaan kerja dan mempengaruhi
perilaku
pekerjanya
sehari-hari.204
Itu
berarti
kepemimpinan
transformasional memberikan perbaikan kualitas. Salah satu dari kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang melayani. Dalam pelayanan ditengah-tengah jemaat pendeta perempuan melakukan tugasnya dengan baik, namun untuk mengembangkan potensi yang lebih belum ada kesungguhan. Disamping itu jika pendeta perempuan melayani dan sudah menikah, dia
202
JRH, Hasil wawancara. BRH, Hasil wawancara. 204 Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang Melayani, 5. 203
92
tetap dituntut untuk melayani ditengah-tengah keluarga dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dari data hasil wawancara yang ada dan observasi yang dilakukan penulis pendeta perempuan memiliki secara natural roh melayani sebagaimana dikatakan Greenleaf, kepemimpinan yang melayani adalah seorang pemimpin yang mengerti bahwa dia adalah pelayan terlebih dahulu yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi.205 Sebab pendeta perempuan pemimpin di tingkat resort dapat mengutamakan pelayanan kepada jemaat dengan meningkatkan kualitas diri. Dalam mengembangkan potensi pemimpin yang dimilikinya, untuk itu pendeta perempuan harus memiliki insiatif dan memiliki mimpi yang dapat menggerakkan visi, lebih banyak mendengar dengan benar apa kebutuhan jemaat. Perlu diam jika memang dibutuhkan sehingga dapat mengembangkan apa yang ada dalam pikirannya. Selanjutnya juga pendeta perempuan pemimpin di resort hendaknya tetap menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, membangun spiritualitasnya terus menerus sehingga dapat memiliki wibawa yang memampukannya menjalin hubungan dengan sesama dan menghasilkan kerjasama yang baik. Di samping itu dalam kepemimpinan yang melayani para pemimpin melandasi dengan kecerdasan spiritualitas sehingga memiliki integritas, terbuka dan mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain dengan baik, teinsipirasi oleh visi, mengenal diri
205
Robert K, Greenleaf, Servant Leadership..., 27.
93
sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas tinggi dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.206 Sangat jelas bahwa penguasaan spiritualitas pemimpin mempunyai fundasi nilai yang kuat bahwa keputusan yang dibuat harus dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada Tuhan. Di samping itu, pembentukan kematangan spiritualitas merupakan fundasi yang kokoh sehingga tidak mudah digagalkan oleh godaan kepentingan.207 Hal tersebut akan melahirkan kredibilitas dari jemaat dan sesama kepada diri Pendeta perempuan yang senantiasa belajar dan memberikan pelajaran ditengah-tengah pelayanannya. Citra positif akan diberikan jemaat dan sesama kepadanya karena bantuan dan dukungannya yang senantiasa diberikan kepada pihak lain dalam proses belajar tersebut. Dengan demikian pelayanan yang dilakukan oleh Pendeta perempuan bersumber dari perasaan alamiah yang dimiliki oleh diri perempuan itu sendiri. Ini adalah salah satu faktor kunci keberhasilan dari kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang diawali dengan melayani pihak lain dan membantu jemaat mengembangkan talenta mereka dan kemampuan mereka akan mencapai titik maksimal dari talenta pendeta perempuan itu sendiri dan juga talenta yang dimiliki jemaat. Keseluruhan hal di atas dapat dilakukan pendeta perempuan dengan senantiasa meneladani Tuhan Yesus sebagai pemimpin Gereja. Jadi tidak hanya sekedar motto,
206
Daniel Golemann, Richards Bogatzis & Anne Mc Kee, Kepemimpinan berdasarkan Kecerdasan Emosi, Jakarta, Gramedia, 2004, 13. 207 Doni Prihandono & Rahmat Haryadi, Servant Leadership, Jakarta, Gramedia, 2004, 7.
94
“saya datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani”. Tuhan Yesus tidak pernah dikatator tetapi bukan mengatakan Dia tidak pernah marah. Tuhan Yesus juga marah melihat yang salah. Di samping itu seorang pemimpin Gereja HKBP hendaknyalah memiliki keadilan jender sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pendeta perempuan untuk memimpin resort, distrik dan sinode. Gaya kepemimpinan Gereja adalah melayani, naluri melayani dimiliki oleh semua pelayan, apakah dia perempuan atau laki-laki. Oleh karena itu kesempatan untuk memimpin hendaknya juga diberikan kepada pendeta perempuan tanpa membatasinya. Namun karena masyarakat Batak menganut sistim patriarkhi tanpa disadari hal itu memengaruhi kepemimpinan gereja HKBP. Budaya turut memiliki peran membentuk pelayan dan pelayanannya di tengah-tengah Gereja sehingga membatasi perempuan sebagai pemimpin. Sistim patriarkhi dapat dihempang dengan mengacu kepada Yesus Kristus dan pandangan Alkitab sebagaimana dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memimpin dalam ibadah dan pelayanan. Dalam Perjanjian Lama peran perempuan sebagai imam telah ditolak. Perempuan disadari sebagai nabi-nabi melalui panggilan Tuhan, tetapi peran dasar mereka adalah sebagai ibu (II Raja-raja 22: 14 – 20; Joel 2: 28). Perempuan tidak diperkenankan memimpin dalam ibadah atau
pengajaran Alkitab di dalam rumah
ibadah, dan selanjutnya dalam sinagoge.208
208
Letty M. Russel, Church in The Round, Kentucky, Westminister-John Knox Press, 1993, 60.
95
Sebaliknya Perjanjian Baru menggagalkan secara radikal struktur patriarkhi dengan memberikan satu perintah baru kebebasan bagi setiap perempuan diterima sebagai pengikut-pengikut Tuhan Yesus menjadi murid setara. Mereka dimasukkan dalam jemaat mula-mula dan juga menjadi pemimpin-pemimpin lokal dan evangelis keliling. Namun sebaliknya dalam periode akhir Perjanjian Baru perkembangan peran perempuan ada dua perbedaan dan jalan kontras. Kolose dan Efesus serta Surat-surat Pastoral membatasi peran pengajaran perempuan, ketika dalam waktu yang sama Markus dan Yohanes menempatkan perempuan pada tingkat yang sama dengan laki-laki sebagai saksi Kristus (John 4: 1 – 42; I Timoteus 2: 11 – 13).209 Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan tidak menyertakan perempuan sebagai imam dalam Perjanjian Baru sebab model pelayanan atau kepemimpinan ini tidak hadir dalam masa itu. Kejayaan keimaman diberikan kepada semua anggotaanggota dari umat baru yang hidup oleh karunia Tuhan yang dilambangkan oleh baptisan dalam kematian Yesus Kristus (I Petrus 2: 9). Baptisan dan bukan sunat, adalah tanda panggilan Kristus untuk melayani bagi perempuan dan laki-laki. Semua diletakkan atau bersama dalam kebangkitan tubuhNya sebagai buah pertama dari Ciptaan Baru di dalam baptisan (Galatia 3: 27 – 28). Semua menerima karunia yang sama dari satu Roh (I Korintus 12:13; Kolose 3: 9 -11).
209
Letty M. Russel, Church in ..., 60 – 61.
96
Menurut Russel, tidak ada konsensus yang jelas tentang bagaimana fungsi-fungsi pelayanan yang ditampilkan oleh perempuan, tetapi hal itu mungkin diperlihatkan beberapa peran yang mereka lakonkan dalam jemaat mula-mula210. Dalam jemaat ini penempatan agama dan patron budaya patriarkhi oleh satu komunitas agama pribadi, kelas dan peran jender ditiadakan. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa perempuan dikeluarkan dari kepemimpinan gereja-gereja rumah atau dari peribadahan, khususnya ketika ibadah berlangsung di rumah mereka (Kolose 4: 15). Efesus dan Surat-Surat Penggembalaan sepertinya merefleksikan lanjutan reaksi patriarkhi terhadap kepemimpinan melalui pencarian dan penempatan kembali perintah subordinasi. Paulus menjelaskan secara eksplisit perempuan sebagai mitra kerja dalam pelayanannya, dengan istilah yang sama digunakan bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana, Priska sebagai mitra kerja; Junia sebagai rasul; Apphia sebagai saudara perempuan (Roma 16: 3; Filemon 2). Demikian halnya dalam Roma 16: 1, Poebe tidak hanya dipanggil “diakonos” (pelayan, missionaris, hamba), tetapi juga “prostatis” (pemimpin pegawai, presiden, gubernur, superintenden).211 Kemudian dalam Gereja pelayanan diakones tidak dibatasi kepada pelayanan terhadap perempuan atau peran-peran atau fungsi-fungsi khusus mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan kehadiran Gereja di dunia bukan sematamata hanya pekerjaan para pekabar Injil tetapi adalah kehendak Tuhan yang memanggil orang percaya dalam persekutuan dengan Dia. Tidak ada tawar menawar, seluruh 210 211
Letty M. Russel, Church in..., 61 Ibid.
97
pemimpin Gereja HKBP seharusnya menjadikan Tuhan Yesus sebagai teladan sebagaimana ajaranNya, Aku datang bukan untuk dilayani tetapi melayani, Markus 10: 45. Pemimpin gereja adalah seorang hamba yang dituntut berempati, sebagaimana hal itu juga mendasari misi dari diri Yesus Kristus. Misi pemimpin gereja merupakan komitmen yang
menghadirkan keadilan, perdamaian dan kebebasan dunia dari
penderitaan dan dosa. Itu berarti pemimpin gereja harus menjadi hamba kemanusiaan yaitu melayani kebutuhan manusia untuk memiliki hidup yang lebih baik, menguatkan orang banyak dalam mempertahankan martabat manusia serta juga untuk realisasi diri.212 Dengan kata lain gereja yang dapat eksis adalah gereja yang melayani sesama Pandangan ini ditegaskan oleh Greenleaf bahwa pemimpin natural adalah orang yang mengerti dia adalah pelayan terlebih dahulu yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi.213 Jenis kelamin dan budaya bukan penghambat melainkan pelayanannya. Dasarnya adalah melayani dan mengutamakan kepentingan orang lain sehingga budaya dan jenis kelamin yang menghambat pengembangan potensi melayani itu ditiadakan. Pemimpin yang melayani memberikan kesempatan yang lebih kepada pendeta perempuan untuk memimpin di tingkat resort, distrik dan sinode dan jika perlu hal itu didorong karena dalam diri perempuan ada naluri melayani.
212 213
Louis J. Luzbetak, The Church & Culture, New York, Orbis Books, 1988, 386-390. Robert K. Greenleaf, Servant Leadership...., 27.
98