BAB II URAIAN TEORITIS
2.1. Pelayanan Publik Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Arti pelayanan sendiri adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara - cara tertentu yang memerlukan kepekaaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan (produk), baik berupa barang maupun jasa. Menurut AG. Subarno dalam Agus Dwiyanto (2005 :141) Mengatakan Pelayanan Publik dapat
didefenisikan sebagai serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna jasa. Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dumaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (walfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di
Universitas Sumatera Utara
lingkungan Badan Usaha Milik Negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang diciikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. Bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya bila jasa/layanan yang diterima lebih rendah dari pada diharapkan, maka kualitas/layanan akan dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik atau buruknya kualitas jasa/layanan tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada persepsi pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang penyelenggara, tetapi harus dilihat dari sudut pandang atau persepsi pelanggan. Pelayanan publik adalah isu yang sangat krusial dan menarik untuk selalu didiskusikan. Dimana dalam prakteknya selalu saja publik berada pada posisi tawar yang tidak seimbang dengan pemerintah. Pemerintah sebagai pemeran utama birokrasi cenderung membuat peraturan yang berbelit-belit dan rumit.
Universitas Sumatera Utara
Ramlan Surbakti (2001), mengklasifikasi ada 4 (empat) kategori pelayanan publik, yaitu : a. Pelayanan administrasi, seperti pemberian berbagai perizinan dan identitas penduduk b. Pelayanan infrastruktur, seperti jalan raya, jaringan irigasi, transportasi dan lainlain. c. Pelayanan kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, air minum, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, rasa aman dan lingkungan bersih. d. Pelayanan penerimaan daerah, seperti Pendapatan Asli daerah (Kompas, 2 September 2001) Sesuai yang diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Tehnis Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik disebutkan bahwa transparansi pelayanan publik merupakan penyelenggaraan pelayanan publik dimana pelaksanaan tugas dan kegiatan bersifat terbuka bagi masyarakat, mulai dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi. Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik tersebut meliputi : 1. Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya oleh masyarakat. Kegiatan ini harus diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. Prosedure pelayanan yang merupakan rangkaian proses atau tata kerja yang menunjukkan adanya tahapan yang jelas dan pasti, sederhana , tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan serta diwujudkan dalam bagan alur. 3. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas dan relevan dengan jenis pelayanan serta diletakkan di dekat loket pelayanan. 4. Rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas dan diletakkan di dekat loket pelayanan dan dapat dibaca serta pungutan yang ditarik dari masyarakat harus disertai dengan tanda bukti resmi sesuai dengan jumlah yang dibayarkan. 5. Waktu penyelesaian pelayanan dan kurun waktu penyelesaian pelayanan publik harus diinformasikan dan diletakkan di dekat loket pelayanan dengan melaksanakan azas first in first out (fifo). 6. Pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan pelayanan dan atau menyelesaikan
keluhan/persoalan/sengketa
harus ditetapkan dengan
memperhatikan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan. 7. Lokasi pelayanan mudah dijangkau dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai. 8. Janji pelayanan yang merupakan komitmen tertulis unit kerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus tertulis jelas, singkat dan
Universitas Sumatera Utara
mudah dimengerti yang menyangkut hal-hal yang esensial dan informasi yang akurat termasuk didalamnya standar kualitas pelayanan. 9. Standar pelayanan publik wajib disusun sesuai dengan tugas dan kewenangannya dan dipublikasikan kepada ,masyarakat sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. 10. Informasi pelayanan mengenai prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, janji/moto pelayanan, lokasi serta pejabat/petugas yang berwenang dan bertanggung jawab wajib dipublikasikan kepada masyarakat melalui media cetak, media gambar atau penyuluhan langsung kepada masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan sesuai ketentuan perundangan.
2.2. Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan (health service) merupakan salah satu komponen penentu derajat kesehatan masyarakat, disamping faktor lingkungan, perilaku dan keturunan.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara
sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, kelompok, ataupun masyarakat. (Azwar 1996:1)
Universitas Sumatera Utara
Namun masih sering dijumpai kesalahan persepsi dan pemahaman orang terhadap pelayanan kesehatan yaitu hanya berupa pelayanan yang diberikan oleh seorang dokter terhadap pasien. Oleh karena itu menurut Azwar, pengertian pelayanan kesehatan harus diasosiasikan kepada pelayanan medis dan pelayanan kedokteran komuniti, pengelolaan kesehatan lingkungan hidup, upaya pengumpulan data kesehatan, bahkan tata administrasi pelayanan kesehatan itu sendiri. Dengan demikian terdapat perbedaan pelayanan kesehatan dengan pelayanan medis. Benyamin Lumenta mengemukakan bahwa pelayanan medis adalah segala upaya dan kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit serta semua upaya dan kegiatan peningkatan dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli pelayanan medis dengan individu yang membutuhkannya. jadi ruang lingkupnya masih bersifat mikrososial. Sedangkan pelayanan kesehatan bersifat mikrososial dalam arti merupakan upaya atau kegiatan pencegahan, pengobatan, pemulihan, dan peningkatan derajat kesehatan yang dilaksanakan terhadap masyarakat secara keseluruhan.
2. 3. Kualitas Pelayanan Kesehatan Definisi kualitas pelayanan kesehatan banyak menjadi kajian para ahli. Tracendi, (1988:91-94) mengemukakan bahwa salah satu isu yang paling kompleks dalam dunia pelayanan kesehatan adalah penilaian kualitas. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari kemungkinan derajat kesempurnaan (perfectability) teknik intervensi
Universitas Sumatera Utara
klinik sampai peranannya dalam menurunkan angka mortalitas. Ada yang berpendapat bahwa kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dinilai dari mortalitas operasi atau dari angka infeksi nosokomial. Ada pula yang berpegang dari derajat pemanfaatan tempat tidur atau jumlah kunjungan ke poliklinik. Anthony dan Herzlinger menyatakan bahwa organisasi nirlaba, seperti halnya rumah sakit, adalah suatu organisasi yang tujuannya bukanlah semata-mata mencari keuntungan bagi pemiliknya, melainkan memberikan pelayanan sesuai dengan misi yang diembannya (lihat Massie, 1987:262-264). Pada organisasi nirlaba seyogianya pihak manajemen berupaya agar dapat memberi pelayanan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang tersedia. Suksesnya organisasi nirlaba dapat dinilai dari seberapa besar dan berapa baik pelayanan yang diberikan. Menurut Aditama (2000:149-150) disebutkan bahwa banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai mutu pelayanan kesehatan. Misalnya, dapat dinilai dari struktur pelayanan itu sendiri dan bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan. Hal ini meliputi ruang lingkup pelayanan, tingkat pendidikan, dan proses pemberian pelayanan kesehatan. Pada hakekatnya, rumah sakit adalah salah satu jenis industri jasa, dalam hal ini industri jasa kesehatan. Oleh karena itu, rumah sakit harus patuh pada kaidahkaidah bisnis dengan berbagai peran fungsi manajerialnya. Akan tetapi, harus diakui pada kenyataanya rumah sakit mempunyai beberapa ciri khas yang membedakan dengan industri lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Definisi kualitas pelayanan kesehatan banyak menjadi kajian para ahli. Tracendi, (1988:91-94) mengemukakan bahwa salah satu isu yang paling kompleks dalam dunia pelayanan kesehatan adalah penilaian kualitas. Ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari kemungkinan derajat kesempurnaan (perfectability) teknik intervensi klinik sampai peranannya dalam menurunkan angka mortalitas. Ada yang berpendapat bahwa kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dinilai dari mortalitas operasi atau dari angka infeksi nosokomial. Ada pula yang berpegang dari derajat pemanfaatan tempat tidur atau jumlah kunjungan ke poliklinik. Anthony dan Herzlinger menyatakan bahwa organisasi nirlaba, seperti halnya rumah sakit, adalah suatu organisasi yang tujuannya bukanlah semata-mata mencari keuntungan bagi pemiliknya, melainkan memberikan pelayanan sesuai dengan misi yang diembannya (lihat Massie, 1987:262-264). Pada organisasi nirlaba seyogianya pihak manajemen berupaya agar dapat memberi pelayanan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang tersedia. Suksesnya organisasi nirlaba dapat dinilai dari seberapa besar dan berapa baik pelayanan yang diberikan. Menurut Aditama (2000:149-150) disebutkan bahwa banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai mutu pelayanan kesehatan. Misalnya, dapat dinilai dari struktur pelayanan itu sendiri dan bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan. Hal ini meliputi ruang lingkup pelayanan, tingkat pendidikan, dan proses pemberian pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Makna dari Standar Pelayanan Minimal adalah suatu nilai acuan terendah yang harus dilampaui dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat agar pelayanan tersebut memenuhi persyaratan dan kepuasan/kelayakan yang diinginkan atau agar fungsi pelayanan dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Standar Pelayanan Minimal merupakan suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator, dan nilai (bencmark). Tujuan penyusunan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta akuntabilitas pembangunan bidang kesehatan, melalui penyusunan pedoman dan titik acuan yang terukur dan disepakati bersama. Melalui adanya SPM ini diharapkan terjadi keseragaman nilai dan dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan . Yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan
dasar kepada masyarakat yang
mencakup jenis pelayanan, indikator dan nilai (benchmark); Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan urusan wajib oleh Daerah
Universitas Sumatera Utara
adalah merupakan perwujudan otonomi yang bertanggungjawab, yang pada intinya merupakan pengakuan/pemberian hak dan kewenangan Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah. Tanpa mengurangi arti serta pentingnya prakarsa Daerah
dalampenyelenggaraan otonominya
dan
untuk
menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang tertentu, termasuk didalamnya kewenangan bidang kesehatan. Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional atas
keberhasilan
pelaksanaan otonomi, walaupun pelaksanaan operasionalnya diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, menyebutkan bahwa peran pemerintah pusat di era desentralisasi ini lebih banyak bersifat menetapkan kebijakan makro, melakukan standarisasi, supervisi, monitoring, evaluasi, pengawasan dan pemberdayaan ke daerah, sehingga otonomi dapat berjalan secara optimal. Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman dalam pengaktualisasian urusan wajib bidang kesehatan di Kabupaten/Kota seiring dengan Lampiran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA tanggal 8 Juli 2002 tentang Konsep Dasar Pelaksanaan Urusan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal, maka dalam rangka memberikan panduan untuk melaksanakan pelayanan dasar di bidang kesehatan
Universitas Sumatera Utara
kepada masyarakat di Daerah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten/Kota”. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan pada hakekatnya merupakan bentuk-bentuk pelayanan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota Namun demikian mengingat kondisi masing-masing Daerah yang terkait dengan ketersediaan Sumber Daya yang tidak merata, maka diperlukan pentahapan pelaksanaannya dalam mencapai Minimum Service Target 2010 oleh masing-masing Daerah sesuai dengan kondisi/perkembangan kapasitas daerah. Agar Standar Pelayanan Minimal termaksud dapat diselenggarakan sesuai yang diharapkan, perlu disusun suatu Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota. Petunjuk Teknis Standar pelayanan Minimal ini dimaksudkan guna
memberikan panduan kepada daerah dalam melaksanakan perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan Standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota ini bertujuan untuk menyamakan pemahaman tentang definisi operasional, indikator kinerja, ukuran/satuan, rujukan (buku pedoman, Standar teknis), target nasional untuk tahun 2005 dan 2010, cara perhitungan pancapaian kinerja/target/rumus satuan, pembilang dan penyebut dari rumus, sumber data dan
Universitas Sumatera Utara
menu langkah-langkah kegiatan untuk masing-masing SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. 1. Pada dasarnya penetapan urusan wajib dan Standar minimal bidang kesehatan mengacu pada kebijakan dan strategi desentralisasi bidang kesehatan. Tujuan strategis pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan yang erat kaitannya dengan penetapan kewenangan wajib dan SPM bidang kesehatan, adalah : 2. Terbangunnya komitmen antara pemerintah, legislatif, masyarakat dan stakeholder lainnya guna kesinambungan pembangunan kesehatan. 3. Terlindunginya
kesehatan
masyarakat,
khususnya
penduduk
miskin,
kelompok rentan, dan daerah miskin. 4. Terwujudnya komitmen nasional dan global dalam program kesehatan. Sesuai dengan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib menyelenggarakan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah, serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI. Urusan
Wajib
ditetapkan
untuk
melindungi
hak-hak
konstitusional
perorangan/masyarakat, melindungi kepentingan nasional dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, kesejahteraan masyarakat, ketenteraman dan ketertiban umum juga untuk memenuhi perjanjian/konvensi Internasional. Kabupaten/Kota melakukan
Universitas Sumatera Utara
urusan wajib di bidang kesehatan dengan menyelenggarakan SPM Bidang Kesehatan. SPM Bidang Kesehatan telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan Keputuan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003. 1. SPM Bidang Kesehatan disusun dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Diterapkan pada urusan wajib. Oleh karena itu SPM merupakan bagian integral dari Pembangunan Kesehatan yang berkesinambungan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas 2000-2005 – UU RI nomor 25 tahun 2000) dan menyeluruh, terarah dan terpadu sesuai Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. 2. Diberlakukan untuk seluruh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. SPM harus mampu memberikan pelayanan kepada publik tanpa kecuali (tidak hanya masyarakat miskin), dalam bentuk, jenis, tingkat dan mutu pelayanan yang esensial dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 3. Menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar tanpa mengorbankan mutu dan mempunyai dampak luas pada masyarakat(Positive Health Externality). 4. Merupakan indikator kinerja bukan Standar teknis, dikelola dengan manajerial
professional
sehingga
tercapai
efisiensi
dan
efektivitas
penggunaan sumberdaya. 5. Bersifat dinamis., Ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan SPM Bidang Kesehatan untuk jangka waktu tertentu ditetapkan target pelayanan yang akan dicapai ( minimum service target), yang merupakan dengan
spesifikasi
tetap
peningkatan
berpedoman
pada
kinerja
pelayanan
Standar
teknis
yang
yang
harus
ditetapkan
dicapai guna
mencapai status kesehatan yang diharapkan. Dalam Urusan Wajib dan SPM, nilai indikator yang dicantumkan merupakan nilai minimal nasional (Indikator yang ada dalam Indonesia Sehat 2010).
2.5. Kondisi Pelayanan Rumah Sakit Saat ini Pelayanan rumah sakit kita belakangan ini sering jadi sorotan masyarakat dan media. Beberapa issu mulai dibicarakan, mulai dari pelayanan yang kurang ramah, mutu yang tidak baik, dugaan malpraktek, perbandingan dengan rumah sakit di luar negeri, dan sampai belakangan ini banyak dibicarakan tentang privatisasi rumah sakit pemerintah. Di pihak lain, ada juga yang mengatakan bahwa pelayanan di rumah sakit hanyalah merupakan hilir dari masalah kesehatan, kita harus membenahi semua dari hulunya pula. Apa pun komentar yang ada, yang jelas pelayanan di rumah sakit amat diperlukan masyarakat dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian pelayanan kesehatan. Dalam ilmu kesehatan memang upaya promotif (pendidikan kesehatan) dan preventif (pemcegahan penyakit dan masalah kesehatan) langsung di masyarakat
Universitas Sumatera Utara
vital sifatnya, memang ''sedia payung sebelum hujan'' itu mutlak, tetapi upaya kuratif (pengobatan orang sakit) di rumah sakit juga harus terlaksana baik. Masalahnya tentu bagaimana semua pihak mau berupaya agar pelayanan di rumah-rumah sakit kita akan makin baik dari masa ke masa. Dewasa ini tingkat harapan pasien dan masyarakat pada pelayanan kesehatan terasa meningkat. Memang pada dasarnya orang akan terus mengharapkan pelayanan publik yang lebih baik, apalagi di bidang kesehatan yang menjadi sendi dasar penting kehidupan. Bagaimana petugas kesehatan mengantisipasinya, memang masih ada beberapa masalah disini. Di satu pihak rasio petugas kesehatan dengan pasien di negara kita masih kurang, dan dipihak lain ada juga berbagai masalah, salah satunya adalah karena sebagian besar dokter spesialis di Indonesia bekerja di lebih dari satu tempat kerja. Diharapkan dengan diberlakukannya UU Praktek Kedokteran yang baru maka akan ada aturan lebih tegas bahwa seorang dokter hanya boleh praktek di tiga tempat saja. Tetapi, kalau dilihat latar belakangnya, sebenarnya rasanya banyak sekali dokter yang senang bekerja hanya di satu rumah sakit saja, tidak perlu berpindahpindah, apalagi di kota besar yang macet seperti Jakarta. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kalau dia hanya bekerja di satu rumah sakit pemerintah saja tanpa kerja di tempat lain maka penghasilannya tidaklah mencukupi. Di pihak lain ada juga keluhan tentang perawat kita yang ''galak-galak'' dan kurang komunikatif. Ada beberapa hal disini. Pertama, mungkin beban kerja yang
Universitas Sumatera Utara
demikian tinggi membuat faktor keramahan jadi terbelakangkan. Kedua, mungkin memang kurang dirasa bahwa komunikasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan. Ke tiga, mungkin juga para petugas kesehatan menghadapi beban kehidupannya sehari-hari. Karena itu, seyogyanya rumah sakit (apalagi yang pemerintah) , dapat mencukupi kebutuhan para dokter dan petugas kesehatan lainnya sehingga mereka dapat bekerja penuh, mengembangkan profesi secara optimal, tanpa harus memikirkan kebutuhan sehari-hari yang telah terjamin. Kebutuhan ini tentu berupa aspek finansial yang memadai yang ditambah dengan aspek pengembangan ilmu (kesehatan, komunikasi, dan lain-lain) yang dilakukan secara berkala. Di pihak lain, para petugas kesehatan memang dituntut untuk kembali merenungkan hakikat utama pelayanan kesehatan. Salah satu lafal sumpah dokter, misalnya, mengatakan ''kesehatan penderita akan selalu saya utamakan!'' Sementara itu harus diingat bahwa kesehatan adalah hak dan kewajiban setiap individu. Artinya, pemerintah wajib memberi pelayanan kesehatan esensial bagi masyarakat dan masyarakat punya hak mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Tetapi, di pihak lain, masyarakat juga harus melakukan upaya pola atau gaya hidup sehat setiap waktu demi kesehatannya sendiri. Tidak boleh masalah kesehatan hanya diserahkan ke petugas kesehatan dan Departemen Kesehatan semata. Kini banyak pula dibahas tentang perlu tidaknya privatisasi rumah sakit pemerintah. Sebagian pihak beranggapan bahwa privatisasi rumah sakit pemerintah
Universitas Sumatera Utara
bukan kebijakan tepat karena seyogyanya pemerintah bertanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan esensial bagi masyarakat dan rumah sakit pemerintah tidak dibuat sebagai badan untuk mencari untung. Di pihak lain, kalau rumah sakit pemerintah diberi kebebasan untuk mengelola dananya sendiri dan mengembangkan pelayanan secara tidak terlalu terikat aturan negara, asal akuntabel tentu, maka diharapkan pelayanan pada masyarakat dapat berjalan lebih baik. Karyawan rumah sakit pemerintah lebih terjamin kehidupannya, sistem reward and punishment dapat dijalankan secara tegas, tidak tanggung seperti terhadap pegawai negeri dan pelayanan pada orang miskin harus dijamin dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk itulah kini harus dicari bentuk instititusi yang tepat guna pengembangan rumah sakit pemerintah di masa datang. Rumah sakit-sebagai institusi kesehatan yang baik- harus bekerja dengan prinsip umum good corporate governance . Sementara itu, dalam menjalankan tugas kliniknya maka prinsip Clinical Governance harus dijunjung tinggi dan dikembangkan dengan baik. Gabungan antara sehatnya organisasi rumah sakit yang bekerja sesuai prinsip good corporate governance dengan pemberian pelayanan kesehatan sesuai kaidah Clinical Governance akan menjadikan rumah sakit kita sebagai rumah sakit ideal.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Manajemen Strategis Olsen dan Eadie (1982:4) mendefinisikan manajemen strategis sebagai “upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entintas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal seperti itu”. Sedangkan Bryson dan Einsweiler dalam Bryson (1995:4) berpendapat bahwa “manajemen strategis adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat, serta sebagian karena sifat khas praktik perencanaan sektor publik ditingkat lokal”. Dengan melihat beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai suatu sasaran melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pandangan akan pentingnya manajemen strstegis, pada awal mulanya memang hanya berkembang di sektor privat. Hampir semua kegiatan manajemen strategis diabad ini difokuskan pada organisasi privat (Bryson , 1995:5). Pemanfaatan manajemen strategis ke dalam organisasi sektor publik sendiri baru dimulai pada awal tahun 1980-an (Quinn, 1980;Brucker, 1980 dalam Bryson, 1995:7). Sementara itu, Keban (1995:8) mengemukakan bahwa penerapan manajemen strategis sebagai strategic planning belum menjadi suatu tradisi bagi birokrasi. Sedangkan dalam
Universitas Sumatera Utara
rangka memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik dimasa mendatang, tradisi strategic planning bagai birokrasi akan sangat bermanfaat terutama dalam memacu pola berfikir strategis mengenai apa misi utama birokrasi yang hendak dicapai, tujuan jangka panjang dan pendeknya, rencana-rencana strategis, dan rencana-rencana operasional, khususnya program-program dan proyeknya. Relevansi manajemen strategis bagi birokrasi kiranya telah menemukan momentumnya saat ini mengingat sifat interconnectedness di lingkungan birokrasi juga semakin mengemuka dari waktu ke waktu. Menurut Bryson (1995:66-68) terdapat tiga pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis, yaitu : 1.
Pendekatan langsung (direct approach), meliputi jalan lurus dari ulasan terhadap mandat, misi dan SWOTs hingga identifikasi isu-isu strategis. Pendekatan langsung dapat bekerja di dunia yang pluralisti, partisan, terpolitisasi, dan relatif terfragmentasi di sebagian besar organisasi publik, sepanjang ada koalisi dominan yang cukup kuat dan cukup menarik untuk membuatnya bekerja.
2.
Pendekatan tidak langsung (indirect approach), hampir sama dengan pendekatan langsung dan biasanya dilakukan bersama dengan pendekatan langsung, hanya tidak dibentuk tim khusus. Kedua pendekatan ini yang paling banyak digunakan untuk organisasi pemerintah dan organisasi nirlaba.
3.
Pendekatan sasaran (goals approach), lebih sejalan dengan teori pendekatan konvensioanal, yang menetapkan bahwa organisasi harus menciptakan sasaran
Universitas Sumatera Utara
dan tujuan bagi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan ini dapat bekerja jika ada kesepakatan yang agak luas dan mendalam tentang sasaran dan tujuan organisasi, serta jika sasaran dan tujuan itu cukup terperinci dan spesifik untuk memandu pengembangan strategi. 4.
Pendekatan visi keberhasilan (vision of success), di mana organisasi mengembangkan suatu gambar yang terbaik atu ideal mengenai dirinya sendiri di masa depan sebagai organisasi yang sangat berhasil memenuhi misinya. Pendekatan ini lebih mungkin bekerja dalam organisasinirlaba ketimbang organisasi sektor publik. Berdasarkan uraian di atas pendekatan yang paling tepat digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan langsung. Namun yang perlu diingat bahwa proses manajemen strategis apapun akan bermanfaat hanya jika proses manajemen strategis membantu berpikir dan bertindak secara strategis kepada orang-orang penting pembuat keputusan. Proses manajemen strategis menurut Bryson and Roring (1987:10) meliputi delapan langkah, yaitu : 1.
Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis. Tujuan langkah pertama adalah menegosiasikan kesepakatan dengan orangorang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinion leaders) internal (dan mungkin eksternal) tentang seluruh upaya perencanaan strategis dan langkah perencanaan yang terpenting.
Universitas Sumatera Utara
2.
Mengidentifikasi mandat organisasi. Mandat formal dan informal yang ditempatkan pada organisasi adalah “keharusan” yang dihadapi organisasi.
3.
Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi . Misi organisasi yang berkaitan erat dengan mandatnya, menyediakan raison de^etre-nya, pembenaran sosial bagi keberadaannya.
4.
Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman. Mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi oleh organisasi.
5.
Menilai lingkungan internal : Kekuatan dan kelemahan. Untuk mengenali kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau
sumber
daya(inputs),
strategi
sekarang
(process),
dan
kinerja(outputs). 6.
Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi. Isu strategis, meliputi konflik satu jenis atau lainnya. Konflik dapat menyangkut tujuan (apa); cara (bagaimana); filsafat (mengapa); tempat (dimana); waktu (kapan); dan kelompok yang mungkin diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh cara-cara yang berbeda dalam pemecahan isu (siapa).
Universitas Sumatera Utara
7.
Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu. Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut.
8.
Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan Langkah terakhir dari proses manajemen strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu sehingga berhasil mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.
2.7. Analisis SWOT Secara kualitatif alat analisis yang digunakan adalah analisis SWOT, yaitu suatu analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan tantangan (threats). Analisis
SWOT
membandingkan
antara
faktor
eksternal
peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Selanjutnya untuk mengetahui hasil analisis
berada di
posisi mana, dapat dilihat pada gambar berikut ini (Rangkuti, 2000:19-21).
Universitas Sumatera Utara
BERBAGAI PELUANG 3. Mendukung strategi turn around
1. Mendukung strategi agresif KEKUATAN INTERNAL
KELEMAHAN INTERNAL 4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukkung strategi diversifikasi
BERBAGAI ANCAMAN Gambar 1. Analisis SWOT
Kuadran 1 :
Merupakan situasi yang sangat menguntungkan, organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi
ini adalah
mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Kuadran 2 :
Meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus digunakan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang.
Kuadran 3 :
Organisasi menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi dilain pihak, ia menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus
Universitas Sumatera Utara
strategi organisasi adalah meminimalkan masalah-masalah internal organisasi. Kuadran 4 :
Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, organisasi menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan.
Formulasi strategi disusun berdasarkan analisa yang diperoleh dari penerapan model SWOT, tahapan kegiatannya adalah (Rangkuti, 2000:148-149). 1. Menentukan faktor-faktor strategis internal dan faktor-faktor strategis eksternal. 2. Menyusun di dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10) kekuatan dan kelemahan untuk faktor strategis internal serta peluang dan ancaman untuk faktor strategis eksternal. 3. Memberi bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). 4. Menghitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (dibawah rata-rata), berdasarkan pengaruh faktor terhadap organisasi. Nilai rating peluang dan ancaman selalu bertolak belakang, kalau faktor peluangnya lebih besar diberi nilai 4 sedangkan apabila faktor ancamannya lebih besar diberi nilai –4. Begitu pula pemberian nilai untuk kekuatan dan kelemahan. 5. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4.
Universitas Sumatera Utara
6. Menggunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-faktor dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung. 7. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan. 8. Menentukan letak kuadran berdasarkan jumlah skor pembobotan.
Universitas Sumatera Utara