BAB II KAJIAN TEORITIS A. SISWA 1. Definisi Siswa Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengertian siswa berarti orang (anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah). Sedangkan menurut Prof. Dr. Shafique Ali Khan, pengertian siswa adalah orang yang datang ke suatu lembaga untuk memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari mana pun, siapa pun, dalam bentuk apa pun, dengan biaya apa pun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan. Siswa/murid atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Di dalam proses belajarmengajar, murid sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Murid akan menjadi faktor penentu, sehingga dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Siswa atau anak adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses berkembang itu siswa atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya tidak ditentukan oleh guru tetapi oleh siswa itu sendiri, dalam suatu kehidupan bersama dengan individu-individu yang lain.
14
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Dalam proses belajar-mengajar yang diperhatikan pertama kali adalah murid/anak didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat atau fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan/karakteristik murid. Itulah sebabnya murid atau anak didik adalah merupakan subjek belajar. Dengan demikian, tidak tepat kalau dikatakan bahwa siswa atau anak didik itu sebagai objek (dalam proses belajar-mengajar). Memang dalam berbagai statment dikatakan bahwa murid/anak didik dalam proses belajar-mengajar sebagai kelompok manusia yang belum dewasa dalam artian jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, memerlukan pembinaaan, pembimbingan dan pendidikan serta usaha orang lain yang dipandang dewasa, agar anak didik dapat mencapai tingkat kedewasaanya. Hal ini dimaksudkan agar anak didik kelak dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, warga negara, warga masyarakat dan pribadi yang bertanggung jawab. Pernyataan mengenai siswa sebagai kelompok yang belum dewasa itu, bukan berarti bahwa siswa itu sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Siswa/anak didik secara kodrati telah memiliki potensi dan kemampuan-kemampuan atau talent tertentu. Hanya yang jelas murid itu belum mencapai tingkat optimal dalam mengembangkan talent atau potensi dan kemampuannya. Oleh karena itu, lebih tepat kalau siswa dikatakan sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar, sehingga murid/anak didik disebut sebagai subjek belajar.
15
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2. Tugas Siswa / Murid / Peserta Didik Selain guru, siswa/murid pun mempunyai tugas untuk menjaga hubungan baik dengan guru maupun dengan sesama temannya dan untuk senantiasa meningkatkan keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri. Adapun tugas tersebut ditinjau dari berbagai aspek yaitu aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan administrasi. a. Aspek yang berhubungan dengan belajar Kesalahan-kesalahan dalam belajar sering dilakukan murid, bukan saja karena ketidaktahuannya, tetapi juga disebabkan oleh kebiasaankebiasaannya yang salah. Adalah menjadi tugas murid untuk belajar baik yang menghindari atau mengubah cara-cara yang salah itu agar tercapai hasil belajar yang maksimal. Hal-hal yang harus diperhatikan murid agar belajar menjadi efektif dan produktif, di antaranya: i. Murid harus menyadari sepenuhnya akan arah dan tujuan belajarnya, sehingga ia senantiasa siap siaga untuk menerima dan mencernakan bahan. Jadi bukan belajar asal belajar saja. ii. Murid harus memiliki motif yang murni (intrinsik atau niat). Niat yang benar adalah “karena Allah”, bukan karena sesuatu yang ekstrinsik, sehingga terdapat keikhlasan dalam belajar. Untuk itulah mengapa belajar harus dimulai dengan mengucapkan basmalah.
16
UNIVERSITAS MEDAN AREA
iii. Harus belajar dengan “kepala penuh”, artinya murid memiliki pengetahuan dan pengalaman-pengalaman belajar sebelumnya (apersepsi), sehingga memudahkan dirinya untuk menerima sesuatu yang baru. iv. Murid harus menyadari bahwa belajar bukan semata-mata mengahafal. Di dalamnya juga terdapat penggunaan daya-daya mental lainnya yang harus dikembangkan sehingga memungkinkan dirinya memperoleh pengalamanpengalaman baru dan mampu memecahkan berbagai masalah. v. Harus senantiasa memusatkan perhatian (konsentrasi pikiran) terhadap apa yang sedang dipelajari
dan
berusaha menjauhkan
hal-hal
yang
mengganggu konsentrasi sehingga terbina suasana ketertiban dan keamanan belajar bersama dan/atau sendiri. vi. Harus memiliki rencana belajar yang jelas, sehingga terhindar dari perbuatan belajar yang “insidental”. Jadi belajar harus merupakan suatu kebutuhan dan kebiasaan yang teratur, bukan “seenaknya” saja. vii. Murid harus memandang bahwa semua ilmu (bidang studi) itu sama penting bagi dirinya, sehingga semua bidang studi dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Memang mungkin saja ada “beberapa” bidang studi yang ia “senangi”, namun hal itu tidak berarti bahwa ia dapat mengabaikan bidang studi yang lainnya. viii. Jangan melalaikan waktu belajar dengan membuang-buang waktu atau bersantai-santai. Gunakan waktu seefesien mungkin dan hanya bersantai sekadar melepaskan lelah atau mengendorkan uraf saraf yang telah tegang dengan berekreasi.
17
UNIVERSITAS MEDAN AREA
ix. Harus dapat bekerja sama dengan kelompok/kelas untuk mendapatkan sesuatu atau memperoleh pengalaman baru dan harus teguh bekerja sendiri dalam membuktikan keberhasilan belajar, sehingga ia tahu benar akan batas-batas kemampuannya. Meniru, mencontoh atau menyontek pada waktu mengikuti suatu tes merupakan perbuatan tercela dan merendahkan “martabat” dirinya sebagai murid. x. Selama mengikuti pelajaran atau diskusi dalam kelompok/kelas, harus menunjukkan partisipasi aktif dengan jalan bertanya atau mengeluarkan pendapat, bila diperlukan. b. Aspek yang Berhubungan dengan Bimbingan Semua murid harus mendapat bimbingan, tetapi tidak semua murid khususnya yang bermasalah, mempergunakan haknya untuk memperoleh bimbingan khusus. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena berbagai “perasaan” yang menyelimuti murid, atau karena ketidaktahuannya, dan mungkin juga disebabkan oleh karena guru/sekolah tidak membuka kesempatan untuk itu, dengan berbagai alasan. Guru berkewajiban memperhatikan masalah ini dan menjelaskan serta memberi peluang kepada murid untuk memperoleh bimbingan dan penyuluhan. Jika hal itu telah disampaikan guru dengan lurus dan benar, maka menjadi tugas muridlah
kini
untuk
mempergunakan
hak-haknya
dalam
mendapatkan
bimbingan/penyuluhan. Kesadaran siswa/murid akan guna bimbingan belajar serta bimbingan dalam bersikap, agar dirinya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
18
UNIVERSITAS MEDAN AREA
melaksanakan sikap-sikap yang sesuai dengan ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari, amat diharapkan. Dan untuk itu, maka menjadi tugas muridlah untuk berpartisipasi secara aktif, sehingga bimbingan itu dapat dilaksanakan secara efektif. Keikutsertaan itu dibuktikan, di antaranya dengan: 1. Murid harus menyediakan dan merelakan diri untuk dibimbing, sehingga ia memahami akan potensi dan kemampuan dirinya dalam belajar dan bersikap. Kesedian itu dinyatakan dengan kepatuhan dan perasaan senang jika dipanggil atau memperoleh kesempatan untuk mendapat bimbingan khusus. 2. Menaruh kepercayaan kepada pembimbing dan menjawab setiap pertanyaan dengan sebenarnya dan sejujurnya. Demikian pula dalam mengisi “lembaran isian” untuk data bimbingan. 3. Secara jujur dan ikhlas mau menyampaikan dan menjelaskan berbagai masalah yang diderita atau dialaminya, baik ketika ia ditanya maupun atas kemauannya sendiri, dalam rangka mencari pemecahan atau memilih jalan keluar untuk mengatasinya. 4. Berani dan berkemauan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan segala perasaan dan latar belakang masalah yang dihadapinya, sehingga memudahkan dan memperlancar proses penyuluhan. 5. Menyadari dan menginsafi akan tanggung jawab terhadap dirinya untuk memecahkan masalah/memperbaiki sikap dengan tenaganya sendiri, sehingga semua perbuatannya menjadi sesuai dan selaras dengan ajaran Islam.
19
UNIVERSITAS MEDAN AREA
c. Aspek yang Berhubungan dengan Administrasi Aspek ini berkenaan dengan keturutsertaan murid dalam pengelolaan ketertiban, keamanan dan pemenuhan kewajiban administratif, sehingga memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan pengajaran serta keberhasilan belajar itu sendiri. Tugas murid sehubungan dengan aspek administrasi, meliputi: a. Tugas dan kewajiban terhadap sekolah, yaitu: 1. Menaati tata tertib sekolah. 2. Membayar SPP dan segala sesuatu yang dibebankan sekolah kepadanya, sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Turut membina suasana sekolah yang aman, tertib dan tenteram, di mana suasana keagamaan menjadi dominan. 4. Menjaga nama baik sekolah di manapun ia berada dan menjadi “kebanggaan” baginya mendapat kesempatan belajar pada sekolah yang bersangkutan. b. Tugas dan kewajiban terhadap kelas, yaitu: 1. Senantiasa menjaga kebersihan kelas dan lingkungannya. 2. Memelihara keamanan dan ketertiban kelas sehingga suasana belajar menjadi aman, tenteram dan nyaman. 3. Melakukan kerja sama yang baik dengan teman sekelasnya dalam berbagai urusan dan kepentingan kelas serta segala sesuatunya dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat.
20
UNIVERSITAS MEDAN AREA
4. Memelihara dan mengembangkan semangat dan solidaritas, kesatuan dan kebanggaan, suasana keagamaan dalam kelas, sehingga memberi peluang untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dan berlomba-lomba untuk kebaikan. c. Tugas dan kewajiban terhadap kelompok, yaitu: 1. Membentuk kelompok belajar bersama untuk memperoleh berbagai pemahaman dan pengalaman dalam mempelajari bahan pelajaran melalui penelaahan dan diskusi kelompok. 2. Mengembangkan pola sikap keagamaan dan mempergunakan waktu senggang untuk belajar bersama, bersilaturrahmi dengan keluarga dan anggota kelompoknya dan saling membantu, serta melakukan berbagai kegiatan yang bersifat rekreatif. Memelihara semangat dan soladaritas kelompok, saling mempercayai dan saling menghargai akan kemampuan masing-masing anggota kelompok, sehingga belajar menjadi lebih terarah dan bermakna bagi diri masing-masing.
B. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (2007) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai ketrampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain- baik
21
UNIVERSITAS MEDAN AREA
teman maupun orang yang tidak di kenal, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. Biasanya orang yang berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti kesediaan untuk membantu orang lain, meskipun mereka sendiri mengalami kesulitan. Mereka tidak terikat pada diri sendiri. Menurut Jourard (dalam Hurlock, 2007) salah satu indikasi penyesuaian sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang. Davidoff (dalam Siregar, 1998) menjelaskan penyesuaian sosial merupakan suatu proses membimbing anak kearah perilaku, nilai, tujuan hidup dan motivasi yang dipandang tepat oleh masyarakat. Dikatakan oleh Scneirders (dalam Hurlock, 2007) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Selanjutnya Schneiders (1964) menyebutkan bahwa istilah penyesuaian sosial berarti sejauh mana individu mampu bereaksi secara efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada. Eysenck dkk (1972) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai suatu proses untuk mencapai suatu keseimbangan sosial dengan lingkungan dan sebagai proses belajar, yaitu belajar memahami, mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang harus dilakukan dan yang diinginkan oleh individu maupun lingkungan sosialnya.
22
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Pengertian penyesuaian sosial menurut Chaplin dalam Kartini Kartono (1993) menyebutkan bahwa social adjustment (penyesuaian sosial) adalah : (1) penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial; (2) mempelajari tingkah laku yang diperlukan atau mengubah kebiasaan yang ada sedemikian rupa sehingga cocok bagi suatu masyarakat sosial. Mu'tadin (http ://www.e psikologi.com, 2015) menambahkan bahwa penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma - norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan - kebutuhan atau kemampuan menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial (Chaplin, 2002). Penyesuaian sosial merupakan kapasitas untuk bereaksi secara efisien terhadap realita sosial sehingga tuntutan akan kehidupan sosial dapat terpenuhi dengan cara yang tepat dan memuaskan. Untuk mengembangkan kapasitas ini kita harus menghormati hak orang lain, belajar bergaul dengan orang lain, mengembangkan memperhatikan
persahabatan, kesejahteraan
berperan orang
serta
lain,
didalam
bersikap
aktivitas
dermawan.
sosial, Belajar
menghormati dan menghargai nilai integrasi hukum social, kebiasaan dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Bila prinsip ini dijalankan dan ditaati secara konsisten maka penyesuaian sosial akan tercapai ( Mappiare, 1997). Penyesuaian sosial merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial atau penyesuaian dalam hubungan antar manusia. Melalui penyesuaian
sosial,
manusia
memperoleh
pemuasan
akan
kebutuhan-
23
UNIVERSITAS MEDAN AREA
kebutuhannya. Disamping itu, penyesuaian sosial diperlukan oleh setiap individu untuk menjadikan dirinya sebagai manusia dengan segala ciri kemanusiannya. Tidak ada manusia yang mampu hidup sebagai manusia tanpa manusia lain. Dengan kata lain, terdapat saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. (Hurlock, 2007) Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelompok sesuai dengan keinginan diri dan tuntutan lingkungan. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Menurut Hurlock (1995) faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial yaitu penerimaan diri. Penerimaan diri adalah sikap yang melihat dirinya disukai, diinginkan, merasa berharga, mampu memainkan perannya dan mendapatkan kepuasan dari perannya tersebut dan melihat dirinya secara akurat dan realistis. Schneiders (1964) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial antara lain : a. Kondisi fisik. dipengaruhi hereditas, system saraf, system otot dan konstitusi fisik individu yang sehat lebih siap menghadapi permasalahan sehari -hari dibandingkan misalnya yang tidak percaya diri dengan keadaan fisiknya. b. Perkembangan unsur-unsur kepribadian berupa kematangan intelektual, moral, sosial
dan
kematangan
emosional.
Penyesuaian
sosial
yang
kuat
membutuhkan kematangan individu hingga bisa memutuskan secara tepat apa yang harus dilakukan.
24
UNIVERSITAS MEDAN AREA
c. Kondisi lingkungan termasuk situasi rumah dan keluarga. d. Pengaruh budaya, yaitu adat istiadat dan agama yang dianut. e. Kondisi psikologis, adalah kompleks dari pengalaman, kepercayaan, larangan, situasi emosional, hubungan dengan orang lain prasangka dan hal - hal lain yang mempengaruhi reaksi individu ketika melakukan pemenuhan kebutuhan dan memecahkan masalah. Faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi
penyesuaian
sosial
yang
berdasarkan teori Bernard dan Huckins (1989) dan Furhmann (1991) yaitu kepribadian, jenis kelamin, intelligensi, pola asuh dan konsep diri. Salah satu komponen penting dalam konsep diri adalah body image atau persepsi individu terhadap penampilan fisiknya (Burns, 1979). Pola asuh dalam keluarga merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan penyesuaian sosial, pola asuh yang berbeda akan menjadi pribadi
yang
berbeda
pula.
Lazarus
(http://www.e-psikologi.com,2009)
mengatakan bahwa kepribadian terdiri dari sifat-sifat psikologis stabil dan khas. Sifat-sifat ini ikut menentukan dan membedakan bagaimana perilaku individu yang satu dengan individu yang lain dalam berhubungan dengan lingkungan sosial. Karena itu dalam situasi yang sama dua orang sering menunjukkan proses penyesuaian yang berbeda. Hurlock (1995) mengatakan bahwa kepribadian merupakan hasil pengaruh hereditas dan lingkungan. Ada 3 faktor bawaan yaitu pengalaman awal, lingkungan keluarga dan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan selanjutnya. Jenis kelamin mempengaruhi penyesuaian sosial yang ternyata berbeda antara
25
UNIVERSITAS MEDAN AREA
laki-laki dan perempuan, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini juga terlihat dari ciri-ciri kepribadian yang berbeda dimana Erikson (Santrock, 2002) berpendapat bahwa struktur jenis kelamin laki-laki lebih suka rnengganggu dan agresif, perempuan lebih inklusif dan pasif. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah kondisi fisik, perkembangan unsur-unsur kepribadian, kondisi lingkungan, pengaruh budaya dan kondisi psikologis dalam hal ini adalah kematangan emosi, serta faktor-faktor lain yaitu kepribadian, jenis kelamin, inteligensi, pola asuh dan konsep diri. 3.
Aspek-aspek Penyesuaian Sosial Hurlock (1995) mengemukakan empat kriteria untuk menentukan sejauh
mana penyesuaian diri individu secara sosial, sebagai berikut: a. Penampilan nyata Bila perilaku individu yang dinilai dengan standar kelompoknya dianggap memenuhi harapan kelompoknya maka ia akan diterima oleh kelompoknya. Penampilan nyata ini dapat dilihat contohnya yang diungkapkan oleh Hurlock (1995), bahwa sebagian besar remaja mengetahui bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan anggota kelornpok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang
atau
rokok,
maka
remaja
cenderung
mengikutinya
tanpa
mempedulikan perasaan mereka sendiri akan akibatnya.
26
UNIVERSITAS MEDAN AREA
b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik teman sebaya maupun dengan orang dewasa dianggap mampu menyesuaikan diri dengan baik. Salah satu perilaku yang dapat mewakili yaitu tidak mudah merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang dikenal (Hurlock, 1995). c. Sikap sosial Individu menunjukkan sikap yang baik dan menyenangkan terhadap orang lain, bersikap baik dalam menjalankan perannya serta ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Sikap sosial ini dapat juga ditandai dengan adanya perilaku bertanggung jawab, tidak mudah menyerah dan tidak menunjukkan sikap yang agresif (Hurlock, 1995) d. Kepuasan pribadi Penyesuaian diri secara sosial dapat dikatakan baik jika individu merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial. Kepuasan pribadi ini dapat juga ditunjukkan dengan adanya perilaku tidak mencari perhatian dengan menunjukkan kemunduran perilaku ke tingkat sebelumnya, tidak menggunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi, proyeksi, dan berkhayal (Hurlock, 1995) Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa empat aspek-aspek dari penyesuaian sosial adalah penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial dan kepuasan pribadi.
27
UNIVERSITAS MEDAN AREA
4. Tanda-tanda Kemampuan Penyesuaian Sosial Menurut Cole (http://www.e-psikologi.com, 2009) menyebutkan tandatanda kemampuan penyesuaian sosial sebagai berikut : a. Tanda-tanda kemasakan emosional, antara lain berupa perilaku tidak tergantung pada guru, tidak sering minta bantuan, tidak sering meminta perhatian khusus dan minta tolong, tidak berusaha meminat perhatian guru, tidak berusaha mencari nama di depan guru, menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab serta tidak kekanak-kanakan. b. Tanda-tanda kecakapan sosial, antara lain berupa tidak ada perasaan malu yang berlebihan, memiliki rasa percaya diri, suka berkumpul dengan temanteman, diterima oleh murid lain, mampu bergaul dan tidak menghindari teman jenis kelamin lain, mau mengikuti acara-acara atau kegiatan-kegiatan di kampus atau kampus, tidak secara terus menerus merasa cemas atau tidak aman, tidak ada kecenderungan menyendiri pada saat istirahat, tidak mengharapkan hak-hak istimewa, dan rendah hati. c. Tidak memiliki kecenderungan melakukan perbuatan-perbuatan untuk menarik perhatian, antara lain tidak mentraktir teman-teman agar tidak disukai, menolong teman bila memang dibutuhkan, tidak berlebihan dalam sopan santun dan rasa hormat, tidak selalu menyetujui semua yang dikatakan oleh guru, tidak suka membual tentang perbuatan-perbuatan berani, bisa menerima kritik, tidak cenderung membenarkan diri sendiri, serta tidak berlagak dan tidak suka pamer.
28
UNIVERSITAS MEDAN AREA
d. Tanda-tanda kenormalan emosi, antara lain tidak mudah tenggelam dalam lamunan, mau berpartisipasi di kelas, tidak selalu sedih, lesu atau murung, tidak peka berlebihan terhadap gangguan, tidak mudah sakit hati, tidak terlalu khawatir. Berdasarkan uraian diatas terdapat banyak tanda-tanda kemampuan seseorang dalam penyesuaian sosial yaitu, tanda-tanda kemasakan emosional, tanda-tanda kecakapan sosial, tidak memiliki kecenderungan melakukan perbuatan-perbuatan untuk menarik perhatian dan tanda-tanda kenormalan emosi. C. Kematangan Emosi 1. Pengertian kematangan emosi Chaplin (1989) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan atau
kondisi
mencapai
tingkat
kedewasaan
perkembangan
emosional.
Ditambahkan Chaplin (dalam Ratnawati, 2005), kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional seperti anak-anak, kematangan emosional seringkali berhubungan dengan kontrol emosi. Seseorang yang telah matang emosinya memiliki kekayaan dan keanekaragaman ekspresi emosi, ketepatan emosi dan kontrol emosi. Hal ini berarti respon-respon emosional seseorang disesuaikan dengan situasi stimulus, namun ekspresi tetap memperhatikan kesopanan sosial (Stanford, 1965). Sukadji (dalam Ratnawati, 2005), mengatakan bahwa kematangan emosi sebagai suatu kemampuan untuk mengarahkan emosi dasar yang kuat ke penyaluran yang mencapai tujuan, dan tujuan ini memuaskan diri sendiri dan dapat diterima di lingkungan.
29
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Sejalan dengan bertambah kematangan emosi seseorang maka akan berkuranglah emosi negatif. Bentuk-bentuk emosi positif seperti rasa sayang, suka, dan cinta akan berkembang jadi lebih baik. Perkembangan bentuk emosi yang positif tersebut memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan menerima dan membagikan kasih sayang untuk diri sendiri maupun orang lain. Menurut MC Kennedy (dalam Sukadji, 1986), mengatakan bahwa seseorang yang matang emosinya akan sanggup menunjukkan kontrol terhadap emosi dan lingkungannya, serta dapat mengembangkan pandangan hidup secara independent dapat diterima secara sosial. Menurut Cole (1983), emosi yang matang memiliki sejumlah kemampuan utama yang harus dipenuhi yaitu: kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima emosi, menunjukkan kesetiaan, menghargai orang lain secara realitas, menilai harapan dan inspirasi, menunjukkan rasa empati terhadap orang lain, mengurangi pertimbangan-pertimbangan yang bersifat emosional, serta toleransi dan menghormati orang lain. Asmiyati (2001) mengemukakan kematangan emosi adalah suatu kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu. Individu yang telah mencapai kematangan emosi ditandai oleh adanya kemampuan dalam mengontrol emosi, berfikir realistik, memahami diri sendiri dan menampakkan emosi di saat dan tempat yang tepat. Reaksi yang diberikan individu terhadap setiap emosi dapat memuaskan dirinya sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya.
30
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Anderson (dalam Mappiare, 1982), mengatakan bahwa seseorang yang matang secara emosional akan sanggup mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain. Menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu: a.
Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial
b. Pemahaman diri. Individu yang matang, belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat c.
Menggunakan kemampuan kritis mental. Individu yang matang berusaha menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut. Kematangan emosi (Wolman dalam Puspitasari, 2002) dapat didefinisikan
sebagai kondisi yang ditandai oleh perkembangan emosi dan pemunculan perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa dari pada bertingkahlaku seperti anak-anak. Semakin bertambah usia individu diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta dari pada perasaan. Menurut Kartono (1988) kematangan emosi sebagai kedewasaan dari segi emosional dalam artian individu tidak lagi terombang ambing oleh motif kekanak-
31
UNIVERSITAS MEDAN AREA
kanakan. Chaplin (2001) menambahkan emosional maturityadalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas. Menurut pandangan Skinner (1977) esensi kematangan emosi melibatkan kontrol emosi yang berarti bahwa seseorang mampu memelihara perasaannya, dapat meredam emosinya, meredam balas dendam dalam kegelisahannya, tidak dapat mengubah moodnya, tidak mudah berubah pendirian. Kematangan emosi juga dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk mengembangkan cinta secara sempurna dan luas dimana hal itu menjadikan reaksi pilihan individu sehingga secara otomatis dapat mengubah emosi-emosi yang ada dalam diri manusia (Hwarmstrong, 2005). Menurut Ann Landers, (dalam Hwarmstrong, 2005) maturity atau kematangan emosional adalah a. Mampu mengontrol amarah dan menyelesaikan masalah tanpa kerusakan dan kehancuran. b. Sabar, tekun dan bekerja keras jika melakukan sesuatu hal sekecil apapun. c. Tidak egois, memperhatikan apa-apa yang dibutuhkan oranglain. d. Bersedia atau mampu menemui kekecewaan dan ketidaknyamanan tanpa merasa pahit. e. Sederhana, mengakui kesalahan dam bersedia meminta maaf tanpa paksaan.
32
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan suatu kondisi pencapaian tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi pada diri individu yang ditandai oleh adanya kesanggupan mengendalikan perasaan dan tidak dapat dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain. 2.
Karakteristik Kematangan Emosi Menurut Feinberg (2004) ada beberapa karakteristik atau tanda mengenai
kematangan emosi seseorang yaitu kemampuan seseorang untuk dapat menerima dirinya sendiri, menghargai orang lain, menerima tanggung jawab, percaya pada diri sendiri, sabar dan mempunyai rasa humor. Hal ini diuraikan di bawah ini: a. Mampu menerima dirinya sendiri Seseorang yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Individu dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustrasi- frustrasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Individu tidak menginginkan untuk menandingi orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. b.
Menghargai orang lain Seseorang yang bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda.
Individu dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan, dan tidak
33
UNIVERSITAS MEDAN AREA
mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahankelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, maka tidak segan untuk menghentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, dan ketidakinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain. c. Menerima tanggung jawab Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruknya. Bahkan, akan berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasanpembatasan situasi dimana orang tersebut berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada orang
lain
untuk
memecahkan
persoalan
diri
sendiri
adalah
tanda
ketidakdewasaan. Perasaan aman dan bahagia akan dapat dicapai dengan memimiliki kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri. d. Percaya pada diri sendiri Seseorang yang matang dapat menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan suatu keputusan, karena percaya pada dirinya sendiri dapat memperoleh kepuasaan sehingga memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya. Seseorang yang dewasa
34
UNIVERSITAS MEDAN AREA
belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain. e. Sabar Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah, tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama, akan menghargai fakta- fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian. f. Mempunyai rasa humor Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa it u sehat tetapi tidak akan menertawakan atau merugikan atau melukai perasaan orang lain. Seseorang juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor menyatakan sikap seseorang terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.
3. Aspek-Aspek Kematangan Emosi Berbagai ahli telah berusaha mengidentifikasi dan menjabarkan aspekaspek kematangan emosi. Salovey (2000) menempatkan kematangan pribadi sebagai dasar tentang kematangan emosi yang meliputi dua kecakapan utama yang terdiri atas lima aspek yaitu:
35
UNIVERSITAS MEDAN AREA
a. Kecakapan pribadi yang menentukan bagaimana seseorang mengelola dirinya sendiri. Aspek-aspek dari kecakapan ini adalah: 1. Kesadaran diri yaitu kemampuan untuk mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi. 2. Pengaturan diri yaitu kecakapan dalam mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri. 3. Motivasi yaitu kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran. b. Kecakapan sosial yang menentukan bagaimana seseorang menangani suatu hubungan. 1. Empati yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. 2. Keterampilan sosial yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain Pendapat yang senada diungkap oleh Gibbs (1995) membagi kematangan emosi menjadi empat komponen yaitu: kesadaran diri, empati, ketekunan dan kecakapan sosial. Gothman (1997) mengemukakan aspek-aspek emosi dengan adanya kemampuan seperti menyejukkan emosi ketika dilanda kesedihan, mengatur emosi, memusatkan perhatian, mengendalikan emosi ketika meluapluap, berhubungan dengan orang lain secara harmonis, mampu memenuhi tugastugas akademik, dan bersahabat dengan orang lain. Cooper dan Sawaf (1998) membagi kamatangan emosi menjadi empat aspek, yaitu:
36
UNIVERSITAS MEDAN AREA
1. Kesadaran emosi yang bertujuan membangun rasa percaya diri melalui pengalaman emosi yang dialami dan kejujuran emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang dirasakan baik terhadap diri sendiri dan orang lain sekaligus kemampuan untuk mengelola emosi yang sudah dikenalnya membuat seseorang dapat menyalurkan energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif. 2. Kebugaran emosi yang bertujuan mempertegas antusiasme dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan dan perubahan. Kemampuannya mencakup mempercayai orang lain serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang paling konstruktif. 3. Kedalaman emosi yaitu mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja dengan potensi serta bakat unik yang dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini pada gilirannya memiliki potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa paksaan. 4. Alkimia emosi yaitu kemapuan kreatif untuk mengalir bersama masalahmasalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya. Alkimia emosi mencakup keterampilan bersaing dengan lebih peka terhadap kemungkinan solusi yang masih bersembunyi dan peluang yang masih terbuka, untuk mengevaluasi masa lalu, dan menciptakan masa depan. Baron (1997 membagi lima belas aspek kematangan emosi yaitu: a. Komponen Intrapersonal 1. Kesadaran emosi: kemampuan seseorang untuk menyadari dan memahami perasaannya
37
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2. Asertivitas: kemampuan seseorang untuk menyatakan perasaan, kepercayaan/ nilai, pemikiran-pemikiran dan mempertahankan haknya dengan cara yang tidak destruktif. 3. Penghargaan diri: kemampuan seseorang untuk menyadari, memahami, menerima dan menghormati dirinya. 4. Aktualisasi diri: kemampuan seseorang untuk menyadari kapasitas potensialnya dan untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya, ingin dilakukannya dan menikmati hal tersebut. 5. Kemandirian: kemampuan seseorang untuk mengarahkan dan mengontrol dirinya dalam berpikir dan bertindak dan untuk bebas dari ketergantungan. b. Komponen Interpersonal 1. Empati: kemampuan seseorang untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain. 2. Tanggung jawab sosial: kemampuan seseorang untuk menunjukkan sikap sebagai anggota kelompok yang kooperatif, mendukung dan membangun (konstruktif). 3. Hubungan interpersonal: kemampuan untuk mempertahankan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak yang bercirikan adanya kedekatan emosi, keintiman dengan memberi dan menerima afeksi. c. Komponen Penyesuaian Diri 1. Uji realita: kemampuan seseorang untuk mengukur kesesuaian antara apa yang dialami secara emosional dengan apa yang terjadi secara obyektif.
38
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2. Fleksibilitas: kemampuan seseorang untuk menyesuaiakan diri secara emosional, fikiran dan perilaku terhadap perubahan situasi dan kondisi. 3. Pemecahan masalah: kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi, membatasi masalah dan menghasilkan serta menerapkan solusi yang efektif. d. Komponen Manajemen Stres 1. Toleransi stress: kemampuan seseorang untuk menghadapi peristiwa yang menyakitkan, situasi yang penuh tekanan dan emosi yang kuat melalui penanganan stress yang aktif dan positif. 2. Kontrol impulsif: kemampuan seseorang untuk menahan atau menunda dorongan, untuk bertindak dan kemampuan mengontrol emosi. e. Komponen General Mood 1. Optimisme: kemampuan untuk melihat sisi kehidupan yang lebih terang dan mempertahankan sikap positif walaupun dalam perasaan negatif. 2. Happiness: kemampun seseorang untuk merasa puas dengan hidup, dapat menerima dan menikmati keberadaan diri sendiri dan orang lain serta dapat meyatakan perasaan puas. Anderson (dalam Rahma, 2007) mengemukakan bahwa aspek-aspek kematangan emosional ada empat yaitu: a.
Emosi terbuka yakni sikap mau menerima orang lain sehubungan dengan lemahnya yang diperbuat demi pengembangan dari kepuasan pribadinya.
b.
Emosi terarah yaitu individu dengan kendali emosinya sehingga dengan tenang dapat mengarahkan ketidakpuasan konflik-konflik penyelesaiannya yang lebih kreatif dan konstruktif.
39
UNIVERSITAS MEDAN AREA
c.
Kasih sayang yakni individu memiliki kasih sayang yang dalam dan dapat diwujudkan secara wajar terhadap orang lain.
d.
Emosi terkendali, ditandai dengan dapat mengontrol perasaan-perasaannya terhadap orang lain misalnya perasaan marah, cemburu dan ingin merubah pribadi orang lain. Overstreet (dalam Puspitasari dan Nuryoto, 2002), membagi aspek-aspek
kematangan menjadi empat bagian yaitu: a.
Sikap untuk belajar Bersikap terbuka untuk menambah pengetahuan, jujur, mempunyai keterbukaan, serta motivasi diri yang tinggi, bisa memahami agar bermakna bagi dirinya.
b.
Memiliki rasa untuk tanggung jawab Memiliki rasa tanggung jawab untuk mengambil keputusan atau melakukan suatu tindakan dan berani untuk menanggung resikonya. Individu yang matang tidak menggantungkan hidup sepenuhnya kepada individu lain karena individu yang matang tahu bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri-sendiri.
c.
Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif Memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, memilih apa yang akan dilakukan, mengemukakan pendapat, meningkatkan penghargaan pada diri merupakan bentuk komunikasi secara efektif dimana individu sudah matang dan mampu menyesuaikan diri dengan orang lain.
40
UNIVERSITAS MEDAN AREA
d.
Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial Individu yang matang, mampu melihat kebutuhan individu yang lain dan memberikan potensi dirinya. Hal ini dikarenakan individu yang matang mampu menunjukkan ekspresi cintanya kepada individu lain. Jadi secara emosional individu mampu menyesuaikan diri dan hubungan sosial antar individu. Chaplin (1989) menyatakan bahwa kematangan emosional mempengaruhi
suatu keadaan tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi adapaun dalam penelitian ini kematangan emosional dapat dilihat melalui beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi: aspek stabilitas emosi, identifikasi, pengendalian, intimasi, minat dan cinta. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kematangan emosional adalah sikap untuk belajar, memiliki rasa tanggung jawab. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan efektif, memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial, minat dan cinta.
4. Ciri-Ciri Individu yang memiliki kematangan emosional Pendapat Skinner (1977) menyatakan bahwa ciri-ciri individu dengan kematangan emosi, meliputi: a. Kemampuan untuk mempergunakan dan menikmati kekayaan maupun keragaman sumber-sumber emosi yang dimilikinya. b. Menyadari
potensi
dirinya
dan
memiliki
kemampuan
untuk
mengembangkan potensi dirinya tersebut.
41
UNIVERSITAS MEDAN AREA
c.
Kemampuan untuk mencintai baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
d. Kemampuan untuk menerima kesedihan, ketika berhadapan dengan situasi yang mengancam yang dapat merangsang timbulnya rasa marah. e. Kemampuan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul saat menghadapi sesuatu yang menakutkan, tanpa berpura-pura memakai “topeng” keberanian. f. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego; minat orang yang sudah matang berorientasi pada tugas-tugas yang dikerjakannya, dan tidak condong pada perasaan-perasaan diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi. g. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efisien. Seseorang yang telah matang akan melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas dan tujuan-tujuan itu dapat didefinisikan secara cermat dan tahu mana yang pantas dan tidak, serta bekerja secara terencana menuju arah tertentu h. Mengendalikan perasaan pribadi. Individu yang telah matang secara psikologis, akan mampu menyetir dan menguasai perasaan-perasaannya sendiri ketika mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain. Mereka cenderung tidak lagi hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi telah mampu mempertimbangkan perasaan perasaan orang lain.
42
UNIVERSITAS MEDAN AREA
i. Objektif. Individu yang sudah mencapai taraf kematangan psikologis akan mampu bersikap objektif, dalam arti mampu melihat sesuatu secara apa adanya, sehingga ketika mengambil keputusan relative lebih tepat dan dapat diterima orang lain. j. Menerima kritik dan saran dari orang lain. Individu yang sudah mencapai kematangan akan memiliki kemauan yang realistis, menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik, dan saran dari orang lain demi peningkatan kualitas dirinya. k. Bertanggung jawab Individu yang sudah mencapai kematangan akan mampu mempertanggung jawabkan perilakunya, serta selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk ikut maju bersama-sama mencapai tujuan. Individu menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan tidak mungkin bila hanya mengandalkan kerja individual. Meski pun begitu individu tetap bertanggung jawab atas langkah-langkah yang dilakukannya. l. Mampu mengadakan penyesuaian diri terhadap situasi-situasi baru Individu yang telah mencapai kematangan, memiliki ciri fleksibel dan dapat menempatkan diri dimana pun ia berada. m. Memiliki Kepribadian yang Utuh Orang yang dewasa, bukanlah orang yang membuang-buang dan menyianyiakan energinya dengan memakai dan menggerakkan seluruh energinya
43
UNIVERSITAS MEDAN AREA
ke berbagai arah yang tidak menentu, bahkan sering bertentangan arah. Pada umumnya mereka adalah orang yang teratur dan sudah terorganisir serta dapat menangani problemnya dengan efektif. Mereka bukan orang yang mudah beralih perhatian atau menyimpang dari rencana oleh karena keinginan-keinginan yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi mereka dapat dengan mudah beralih dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain tanpa kebingungan dan kekacauan. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Beberapa ahli psikologi menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kematangan emosi seseorang (Astuti, 2005), yaitu: a.
Pola asuh orangtua Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak,
tempat belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Dalam pembentukan kepribadian seorang anak, keluarga mempunyai pengaruh yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak, salah satu faktor tersebut adalah pola asuh orangtua (Tarmudji, 2001). Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendis iplinkan serta melindungi anak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001). Dimana suatu tugas tersebut berkaitan dengan
44
UNIVERSITAS MEDAN AREA
mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya baik secara fisik maupun psikologis (Andayani dan Koentjoro, 2004). Menurut Goleman (2002) cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang mendalam dan permanen pada kehidupan anak. Goleman (2002) juga menemukan bahwa pasangan yang secara emosional lebih terampil merupakan pasangan yang paling berhasil dalam membantu anak-anak mereka mengalami perubahan emosi. Pendidikan emosi ini dimulai pada saat-saat paling awal dalam rentang kehidupan manusia, yaitu pada masa bayi. Idealnya orangtua akan mengambil bagian dalam pendewasaan anak-anak karena dari kedua orangtua anak akan belajar mandiri melalui proses belajar sosial dengan modelling (Andayani dan Koentjoro, 2004). b. Pengalaman traumatik Kejadian-kejadian
traumatis
masa
lalu
dapat
mempengaruhi
perkembangan emosi seseorang, dampaknya jejak rasa takut dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkan dapat berlangsung seumur hidup. Kejadian-kejadian traumatis tersebut dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga (Astuti, 2005). c. Temperamen Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita. Hingga tahap tertentu masing- masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia (Astuti, 2005).
45
UNIVERSITAS MEDAN AREA
d. Jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki- laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya (Astuti, 2005). e. Usia Perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usianya. Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Ketika usia semakin tua, kadar hormonal dalam tubuh turut berkurang, sehingga mengakibatkan penurunan pengaruhnya terhadap kondisi emosi (Moloney, dalam Puspitasari Nuryoto 2001). Namun demikian, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang yang sudah tua, kondisi emosinya masih seperti orang muda yang cenderung meledak- ledak. Hal tersebut dapat diakibatkan karena adanya kelainan- kelainan di dalam tubuhnya, khususnya kelainan anggota fisik. Kelainan yang tersebut dapat terjadi akibat dari pengaruh makanan yang banyak merangsang terbentuknya kadar hormonal.
D. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Untuk memperoleh pengertian mengenai konsep diri secara jelas, maka berikut ini dikemukakan beberapa pengertian konsep diri. Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap diri sendiri (Arini, 2006). Konsep diri adalah ide,
46
UNIVERSITAS MEDAN AREA
pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain (Salbiah, 2008). Menurut Rakhmat (2001) konsep diri adalah gambaran dan penilaian tentang diri sendiri. Konsep diri adalah kesadaran atau pengertian tentang diri sendiri sehingga mampu mengeluarkan kemampuan sendiri dan persepsi mengenai diri (Tuhumena, 2006). Konsep diri adalah pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang diri sendiri atau persepsi terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial dan aspek psikologis yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi terhadap orang lain (Sobur,2009). Konsep diri merujuk pada evaluasi yang menyangkut berbagai bidang-bidang tertentu dari diri (Santrock, 2007). Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
individu
tentang
dirinya
dan
mempengaruhi
individu
dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Agustiani. (2006). Menyatakan konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri ini merupakan bayangan cermin, ditentukan sebagian besar oleh peran dan hubungan dengan orang lain, dan apa yang kiranya reaksi orang lain terhadapnya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita, menyangkut gambaran fisik
47
UNIVERSITAS MEDAN AREA
psikologis yang menyangkut kemenarikan dan ketidak menarikan diri dan pentingnya bagian-bagian tubuh yang berbeda yang ada pada dirinya. Stuart G.W. and Sundeen (1995) mengemukakan bahwa konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian, bagian konsep diri terdiri dari Gambaran Diri (body image), gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu ; Ideal diri, Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu ; harga diri, harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri ; peran, peran adalah sikap dan prilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat identitas, identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh. Konsep diri juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah teori perkembangan, konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir sampai mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam melakukan kegiatan memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada
48
UNIVERSITAS MEDAN AREA
area tertentu yang dinilai pada diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata ; Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat), konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain. Pandangan diri merupakan interprestasi pandangan orang lain terhadap diri. Anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya. Budaya dan sosialisasi juga mempengaruhi konsep diri dan perkembangan diri Self Perception (persepsi diri sendiri), persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah keyakinan, pandangan dan pikiran seseorang terhadap dirinya secara utuh, mencakup aspek fisik, psikologi, dan sosial. 2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri diantaranya faktor orang lain (affective other) dan kelompok rujukan (reference group). Affective other yaitu orang lain yang mempunyai ikatan emosi dengan kita. Mereka perlahan-lahan membentuk konsep diri kita, senyuman, pujian, penghargaan dan
49
UNIVERSITAS MEDAN AREA
pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri secara positif. Sebaliknya, ejekan, cemoohan dan hardikan membuat kita memandang diri kita secara negatif. Dalam kaitannya dengan reference group, dimaksudkan bahwa dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok, misalnya di sekolah ada bermacam-macam kelompok siswa. Setiap kelompok mempunyai norma tertentu. Dengan melihat kelompok ini, orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan diri dengan ciri-ciri kelompoknya termasuk dalam perilaku menjaga dan merawat organ reproduksi (Rakhmat, 2001). Pendapat yang lain menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu usia kematangan, penampilan diri, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas dan cita-cita (Hurlock, 2008). Menurut Rini (2002) ada berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti: a. Pola asuh orangtua Pola asuh orang tua merupakan faktor yang signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
50
UNIVERSITAS MEDAN AREA
b. Kegagalan Kegagalan
yang
terus
menerus
dialami
seringkali
menimbulkan
pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna. c. Depresi Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya "miskin" maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau "termakan" ucapan orang. d. Kritik internal Terkadang,
mengkritik
diri
sendiri
memang
dibutuhkan
untuk
menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik. 3. Derajat Konsep Diri Menurut Satmoko (1995) konsep diri terdiri dari konsep diri positif dan konsep diri negatif. Dalam bentuk ekstrimnya konsep diri negatif adalah bentuk
51
UNIVERSITAS MEDAN AREA
pengetahuan yang tidak tepat terhadap diri sendiri, pengharapan yang tidak yang tidak realistis dan harga diri yang rendah. Ciri konsep diri yang positif adalah dalam pengetahuan yang luas tentang diri, pengharapan yang realistis dan harga diri yang tinggi. Konsep diri positif menurut Rakhmat (2001) ditandai dengan: a. Yakin dalam kemampuannya dalam mengatasi masalah b. Merasa setara dengan orang lain c. Menerima pujian tanpa rasa malu d. Menyadari bahwa setiap orang mampunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya. Sedangkan konsep diri negatif menurut Rakhmat (2001) ditandai dengan: a. Peka terhadap kritik b. Responsif sekali terhadap pujian c. Bersifat hiperkritis terhadap orang lain d. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain e. Bersifat pesimis terhadap kompetensi Menurut Chalhoun dan Acocella yang diterjemahkan oleh Satmoko (1995) menyatakan bahwa konsep diri memiliki tiga dimensi pengetahuan anda tentang diri anda sendiri, pengharapan anda mengenai diri anda dan penilaian tentang diri anda sendiri. Pengetahuan adalah apa yang diketahui tentang diri sendiri misalnya usia, jenis kelamin, suku dan pekerjaan. Pada kelompok sosial mungkin mendapat
52
UNIVERSITAS MEDAN AREA
julukan sebagai orang yang hati-hati atau spontan, tenang atau bertempramen tinggi. Pengharapan adalah pandangan atau tujuan kemungkinan menjadi apa dimasa depan yang menjadi harapan. Penilaian adalah mengukur apakah itu bertentangan dengan standar diri sendiri. Hasil mengukur ini disebut harga diri.
4. Aspek-aspek Konsep Diri Konsep diri sendiri merupakan kombinasi dari berbagai aspek, yaitu citra diri, intensitas afektif, evaluasi diri, dan predisposisi tingkah laku (Burns, 1999). Sedangkan menurut Fuhrmann (1990) konsep diri ini meliputi keseluruhan persepsi diri individu dan penilaiannya terhadap diri pribadi, baik secara fisik, seksual, kognitif, moral, mengenai kemampuannya, nilai-nilai, kompetensi, penampilan, motivasi, tujuan, dan emosi. Selain itu, masih ada beberapa landasan lain dalam pengungkapan aspek konsep diri. Widjajanti (1996) menggunakan teori kebutuhan Maslow sebagai landasan penyusunan angket konsep diri. Seperti yang dikutip oleh Widjajanti, sesuai dengan teori kebutuhan dari Maslow tersebut, dalam konsep diri terdapat beberapa aspek, yang meliputi; 1. Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya, seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan lain sebagainya, 2. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan, dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri,
53
UNIVERSITAS MEDAN AREA
3. Aspek sosial, meliputi peranan sosial yang dimainkan individu dan penilaian individu terhadap peran tersebut, dan 4. Aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang. Bisa dikatakan bahwa konsep diri bukan merupakan suatu kesatuan ataupun generalisasi dari pikiran-pikiran tetapi mencakup bermacam-macam gambaran tentang diri, mulai dari bidang kognitif sampai dengan moral. Selanjutnya Burns (1999) mengemukakan bahwa aspek konsep diri adalah sebagai berikut : 1. Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya, seperti kondisi tubuh, penampilan fisik, keahlian, pakaian, 2. Aspek kognitif, meliputi gambaran yang menyangkut daya ingat, kemampuan mengolah data, kemampuan matematika, verbal, dan akademik secara umum, 3. Aspek emosi, meliputi ketrampilan individu terhadap pengelolaan impuls dan irama perubahan emosinya, 4. Aspek sosial, meliputi kemampuan dalam berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain secara umum, 5. Aspek moral etik yang aspek moral, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang, arti dan nilai moral, hubungan dengan Tuhan, perasaan menjadi orang “baik atau berdosa”, dan kepuasan atau ketidakpuasan terhadap agama yang dianut,
54
UNIVERSITAS MEDAN AREA
6. Aspek seksual, meliputi pikiran dan perasaan individu terhadap perilaku dan pasangannya dalam hal seksualitas, 7. Aspek keluarga, meliputi arti keberadaan diri di dalam keluarga, hubungan dengan dan dalam keluarga, dan 8. Aspek diri secara keseluruhan, meliputi pikiran, perasaan, dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri. Kombinasi dari keseluruhan aspek tersebut adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya. Fits (1993) dalam Pratiwi (2009) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan cara seseorang menilai diri sendiri yang mengandung aspek-aspek sebagai berukut : a. Identitas, yaitu sebagai apakah individu itu b. Kepuasan, yaitu bagaimana individu tersebut merasakan tentang dirinya yang dipersepsikannya. c. Tingkah laku, yaitu bagaimana individu tersebut mempersepsikan tingkah lakunya sendiri. d. Daya fisik, yaitu bagaimana individu memandang kesehatan tubuh, penampilan, kelebihan, dan kekurangan dari segi fisik. e. Diri pribadi, yaitu bagaimana individu memandang dan menilai keberadaan dirinya sendiri.
55
UNIVERSITAS MEDAN AREA
f. Diri sosial, yaitu bagaimana individu memandang dirinya dalam hubungan dengan orang lain dan menilai apakah cukup memadai dalam interaksi sosialnya dengan orang lain. Menurut Berzonsky, 1981 (dalam Sandhaningrum, 2009) bahwa aspek konsep diri adalah a. Aspek fisik, yaitu bagaimana penilaian individu terhadap segala sesuatu yang terlihat secara fisik yang dimilikinya seperti tubuh, kesehatan, pakaian penampilan. b. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang perankan individu mencakup hubungan antara individu dengan keluarga dan individu dengan lingkungan c. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah dalam kehidupan individu dan memandang nilai etika moral dirinya seperti kejujuran, tanggungjawab atas kegagalan yang dialaminya, religiusitas serta perilakunya. Apakah perilaku dalam menjaga kebersihan organ reproduksi sesuai dengan norma yang ada dan tidak mengganggu kepentingan masyarakat sekitar. d. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari konsep diri, aspek fisik, sosial, moral dan psikis.
56
UNIVERSITAS MEDAN AREA
5. Pembagian Konsep Diri Pembagian konsep diri menurut Stuart dan Sudeen yang dikutip oleh Salbiah (2008) terdiri dari: gambaran diri (body image), ideal diri, harga diri, peran dan identitas. Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar, sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk tubuh, kesehatan, fungsi penampilan dan potensi tubuh. Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu. Standart dapat berhubungan dengan cita-cita, nilai-nilai, cara menjaga organ reproduksi dan status kesehatan yang ingin dicapai. Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang kesatuan yang utuh.
E. Hubungan antara Konsep Diri dan Kematangan Emosional dengan Penyesuaian Sosial Siswa Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan. (Havighurst dalam Hurlock, 1996).
57
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Selanjutnya dikatakan bahwa sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga
akan
menentukan
keberhasilan
individu
memenuhi
tugas-tugas
perkembangan pada fase berikutnya. Remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan dalam beberapa aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Pada masa remaja, individu melakukan penyesuaian sosial kepada individu lain atau kelompok agar dapat diterima oleh indifidu dan menjadi bagian dalam kelompok. Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk melakukan kontak sosial dan berperilaku dalam berbagai situasi sosial.
F. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Sosial Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Oleh karena itu, sebagian besar remaja mengalami ketidak stabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekwnsi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.
58
UNIVERSITAS MEDAN AREA
Meskipun emosi remaja sering sangat kuat, tidak terkendali, dan nampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman- teman sebaya, serta aktivitas – aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari – hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat beraktivitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungan (Hurlock, 2000). Kematangan emosi dapat dikatakan sebagai sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah berubah – ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 2000). Sedangkan Yusuf (2001), mendefinisikan kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu me-nyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif. Goleman (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya. sebagaian dari kecerdasan yang dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek emosional.
59
UNIVERSITAS MEDAN AREA
seseorang yang cerdas dalam mengelola emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya. Dalam suatu penelitian Tentrawanti (1989), mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai penyesuaian sosial adalah orang–orang yang mampu melakukan dua hal, yaitu: 1. Mampu menghadapi kondisi – kondisi yang penuh dengan ketegangan, dan. 2. Mampu menarik dan mempertahankan dukungan sosial. Selanjutnya
ia juga mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki
penyesuaian sosial, memiliki ciri – ciri: (a) Pengetahuan sosial, yaitu pengetahuan mengenai keadaan emosi yang memadai dengan konteks sosial tertentu, (b) Kepercayaan diri untuk memulai suatu tindakan dan adanya usaha untuk memecahkan masalah sendiri, (c) Empati, yaitu kemampuan menghargai perasaan orang lain sekalipun orang tersebut tidak dikenalnya atau tidak ada hubungan dengannya, juga mampu memberikan respon-respon emosional, mampu mengendalikan emosi dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang–orang yang bermasalah, (d) Sensitivitas sosial, yaitu kemampuan emosional untuk menangkap kebutuhan – kebutuhan lingkungannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin baik kematangan emosi seorang maka akan semakin baik penyesuaian sosialnya.
G. Hubungan Konsep Diri dengan Penyesuaian Sosial Berkaitan dengan upaya penyesuaian sosial kearah dewasa, remaja mengalami kebingungan dalam menemukan konsep dirinya, karena remaja belum menemukan status dirinya secara utuh. Konsep diri merupakan keseluruhan cara
60
UNIVERSITAS MEDAN AREA
bagaimana individu melihat atau memahami dirinya sendiri. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan “saya” dengan semua perasaan, nilai-nilai dan kepercayaan menyatu dengan semua bagian tersebut. Konsep diri terdiri dari bagaimana individu memandang dirinya sendiri yang biasa disebut dengan gambaran diri (Self Image), bagaimana individu menilai dirinya sendiri yang disebut dengan Self Evaluation, dan bagaimana individu menginginkan dirinya untuk menjadi seperti yang individu harapkan atau yang biasa disebut Ideal Self (Atwater, 1983). Menurut pandangan Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), konsep diri merefleksikan bagaimana individu memandang dirinya dalam hubungannya dengan peran-peran yang individu jalankan dalam kehidupan, peran-peran tersebut diperoleh dari banyaknya interaksi dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri merupakan inti pola kepribadian yang mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Jika konsep diri positif, maka individu akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara apa adanya, sehingga akan mengembangkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya
apabila
konsep
diri
negatif,
maka
individu
akan
mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Remaja merasa ragu dan kurang percaya diri, sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula. Konsep diri sangat berperan dalam perilaku individu karena seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu tersebut dalam mempersepsikan setiap aspek pengalaman-pengalamannya. Suatu
61
UNIVERSITAS MEDAN AREA
kejadian akan dipersepsikan secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena masing-masing individu mempunyai pandangan dan sikap berbeda terhadap diri mereka. Persepsi individu terhadap sesuatu peristiwa banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sendiri. Persepsi negatif terhadap pengalaman disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya (Desmita, 2009). Konsep diri yang melekat pada individu akan berpengaruh terhadap tingkah laku individu di lingkungannya sehingga sangat penting untuk membentuk konsep diri positif pada individu. Individu memandang atau menilai dirinya sendiri dapat dilihat dari seluruh perilaku yang ditunjukkan. Apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakan tugas, maka individu itu akan menampakkan perilaku sukses dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang kurang memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas, maka individu itu akan menunjukkan ketidakmampuan dalam perilakunya. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu sejak masa anak-anak hingga dewasa. Konsep diri yang terbentuk akan semakin stabil seiring dengan bertambahnya usia individu. Terkait dengan peran konsep diri dalam tingkah laku, Rogers (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri memainkan peranan yang sentral dalam tingkah laku manusia, dan bahwa semakin besar kesesuaian di antara konsep diri dan realitas, maka semakin berkurang ketidakmampuan diri. Individu yang bersangkutan dan juga semakin berkurang perasaan tidak puasnya. Hal ini
62
UNIVERSITAS MEDAN AREA
karena cara individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilakunya. Sesuai dengan pemaparan tersebut, maka terlihat bahwa konsep diri merupakan suatu aspek kepribadian yang sangat penting untuk dikembangkan secara positif, namun tidak semua orang mampu memiliki konsep diri positif pada dirinya. Menurut Burns (dalam Hutagalung, 2007) ciri dari individu yang memiliki konsep diri negatif ialah sangat peka dan sulit menerima kritik dari orang lain, sulit berinteraksi dengan orang lain, sulit mengakui kesalahan, kurang mampu mengungkapkan perasaan dengan cara yang wajar, menunjukkan sikap mengasingkan diri, merasa tidak berdaya, tidak menyukai persaingan dan malumalu. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Individu tersebut tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan, mudah menyerah sebelum menghadapi sesuatu dan ketika gagal akan cenderung menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, tapi sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Adanya perbedaan perkembangan konsep diri tersebut memunculkan sebuah pertanyaan pada peneliti mengapa ada individu
63
UNIVERSITAS MEDAN AREA
yang memiliki konsep diri positif sedangkan yang lainnya memiliki konsep diri negatif.
H. Kerangka Konseptual
Kematangan Emosi (X1)
Penyesuaian Sosial (Y)
Konsep Diri (X2)
I. HIPOTESIS Dari uraian teori diatas diajukan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Ada hubungan positif antara kematangan emosi dan konsep diri dengan penyesuaian sosial remaja, dengan asumsi bahwa semakin baik kematangan emosi dan konsep diri maka semakin baik kemampuan penyesuaian sosial siswa, dan sebaliknya
semakin
rendah kematangan emosi dan konsep diri maka semakin rendah kemampuan penyesuaian sosial siswa.
64
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2. Ada hubungan antara kematangan emosi dengan penyesuaian sosial siswa 3. Ada hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian sosial siswa
65
UNIVERSITAS MEDAN AREA