BAB II URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa II.1.1 Pengertian Komunikasi dan Komunikasi Massa Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communications berasal dari bahasa Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama; sama disini artinya sama makna atau sama arti (Effendi, 2007: 9). Menurut Harold Lasswell cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: who (siapa), says what (mengatakan apa), in which channel (dengan saluran apa), to whom (kepada siapa), with what effect (dengan pengaruh bagaimana) (Mulyana, 2005: 62). Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Seperti yang dinamakan Wilbur Schramm yaitu frame of reference atau dapat diartikan sebagai kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian. Selain itu Schramm juga menyatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator tidak sama dengan bidang pengalaman komunikan, maka akan
Universitas Sumatera Utara
timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain dan situasi akan menjadi tidak komunikatif. Studi Joseph A. DeVito, dalam bukunya Communicology, membagi komunikasi menjadi empat macam bagian yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa (Cangara, 2006: 29). Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005: 189). Sedangkan menurut Bittner (Ardianto, 2004: 3) komunikasi massa yakni pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Jadi pada dasarnya, komunikasi massa bertujuan untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan berbagai media yang ada. Studi tentang komunikasi massa termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan yang lebih luas berkenaan dengan komunikasi manusia. Bidang ilmu pengetahuan yang luas tersebut dapat dibagi menurut beberapa cara pembagian. Salah satunya berdasarkan peringkat organisasi sosial yang merupakan tempat berlangsungnya komunikasi. Dari perspektif tersebut, komunikasi massa berada pada puncak piramid (lihat gambar 2).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2 Proses Komunikasi dalam Masyarakat Peringkat Proses Komunikasi: - Masyarakat luas (misalnya komunikasi massa) - Institusi/organisasi (misalnya sistem politik atau badan usaha) - Antarkelompok atau asosiasi (misalnya komunitas setempat) - Dalam kelompok (intragroup) (misalnya keluarga) - Antarpribadi (interpersonal) (misalnya dua orang, pasangan) - Dalam pribadi (intrapersonal) (misalnya proses informasi)
Sedikit terjadi
Banyak terjadi
Sumber: Denis McQuail. 1996
II.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa Orang-orang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasi haruslah memahami karakteristik komunikasi massa. Adapun karakteristik komunikasi massa adalah sebagai berikut: 1. Komunikator terlembagakan. Komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan kumpulan orang-orang. Artinya gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. 2. Pesan bersifat umum. Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. 3. Komunikannya anonim dan heterogen. Komunikan pada komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. 4. Media
massa
menimbulkan
keserempakan.
Jumlah
sasaran
khalayak/komunikan yang relatif banyak dan tidak terbatas merupakan
Universitas Sumatera Utara
kelebihan yang ada pada komunikasi massa. Bahkan, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. 5. Komunikasi massa bersifat satu arah. Merupakan salah satu kelemahan yang ada pada komunikasi massa. Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator.
II.1.3 Fungsi Komunikasi Massa Ada beberapa fungsi komunikasi massa, yaitu: 1. Fungsi pengawasan Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dapat dilakukan untuk aktivitas preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti, pemberitaan bahaya narkoba bagi kehidupan manusia. Sedangkan fungsi persuasif sebagai upaya memberi reward dan punishment kepada masyarakat sesuai dengan apa yang dilakukannya. 2. Fungsi social learning Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung sehingga proses pencerahan itu berlangsung efektif dan efisien dan menyebar secara bersamaan.
Universitas Sumatera Utara
3. Fungsi penyampaian informasi Komunikasi massa yang mengandalkan media massa, memiliki fungsi utama, yaitu menjadi proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas dalam waktu cepat dan singkat. 4. Fungsi transformasi budaya Fungsi informatif adalah fungsi-fungsi yang bersifat statis, namun fungsifungsi lain yang lebih dinamis adalah fungsi transformasi budaya. Fungsi transformasi budaya ini menjadi sangat penting dan terkait dengan fungsifungsi lainnya terutama fungsi social learning, akan tetapi fungsi tranformasi budaya lebih kepada tugasnya yang besar sebagai bagian dari budaya global. 5. Hiburan Fungsi lain dari komunikasi adalah hiburan, bahwa seirama dengan fungsifungsi lain, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa (Bungin, 2008: 79-81).
II.2 Televisi sebagai Media Massa Media massa merupakan saluran atau media yang dipergunakan untuk mengadakan komunikasi dengan massa. Yang termasuk media massa disini adalah televisi, surat kabar, majalah, radio, dan film. Media massa dapat digolongkan sebagai media elektronik dan media cetak yang keseluruhannya sering juga disebut pers.
Universitas Sumatera Utara
Televisi berasal dari dua kata yang berbeda asalnya, yaitu tele (Bahasa Yunani) yang berarti jauh, dan visi (Bahasa Latin-videra) berarti penglihatan. Dengan demikian televisi yang dalam Bahasa Inggrisnya television diartikan dengan “melihat jauh”. Pada awalnya televisi lahir karena perkembangan teknologi. Bermula dari ditemukannya electrische teleskop oleh Paul Nipkov untuk mengirim gambar melalui udara dari satu tempat ke tempat lain. Sejak saat itu, televisi mulai dinikmati oleh publik Amerika Serikat (AS) pada tahun 1939 ketika berlangsungnya “World’s Fair” di New York, namun sempat terhenti ketika terjadi Perang Dunia II. Baru setelah tahun 1946 itulah kegiatan dalam bidang TV tersebut tampak dimulai lagi (Kuswandi, 1996: 5-6). Awalnya di tahun 1945, hanya terdapat delapan stasiun televisi dan 8000 pesawat televisi di seluruh AS. Namun, sepuluh tahun kemudian, jumlah stasiun televisi meningkat menjadi hampir 100 stasiun sedangkan jumlah rumah tangga yang memiliki pesawat televisi mencapai 35 juta rumah tangga atau 67% dari total rumah tangga. Semua program televisi pada awalnya ditayangkan ke dalam siaran langsung (live). Pesawat televisi berwarna mulai diperkenalkan kepada publik pada tahun 1950-an. Siaran televisi berwarna dilaksanakan pertama kali oleh stasiun televisi NBC pada tahun 1960 dengan menayangkan program siaran berwarna selama tiga jam setiap harinya (Morissan, 2008: 6). Sedangkan di Indonesia, televisi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1962 dengan nama TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah. Ketika itu akan dilangsungkan pesta olahraga Asian Games di Jakarta. Waktu itu siarannya terbatas hanya 3 jam sehari dengan wilayah liputan Jakarta dan Bogor.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi sejak 1976, pemilikan media televisi menanjak sangat tajam ketika digunakannya satelit komunikasi Palapa. Diperkirakan sudah ada 26 juta pesawat TV di Indonesia, dimana dua juta diantaranya memakai antena parabola yang bisa menerima siaran-siaran dari luar negeri (Cangara, 2006: 123-124). Selama 27 tahun, penduduk Indonesia hanya bisa menyaksikan satu saluran saja. Namun pada tahun 1989, pemerintah akhirnya mengizinkan RCTI (Rajawali Citra Televisi) sebagai stasiun televisi swasta pertama di Indonesia Hal ini sesuai dengan langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia yang memberi izin pendirian stasiun televisi yang murni komersial dan dimiliki swasta. Kemudian kehadiran RCTI diikuti dengan lahirnya Surya Citra Televisi (SCTV) pada 18 Agustus 1990. Sejak itu bermunculan berbagai stasiun televisi swasta baru seperti ANTV, Indosiar, Trans TV, Trans 7, Metro TV, Global TV, TV One, dan MNC TV. Setelah Undang-Undang Penyiaran disahkan pada tahun 2002, jumlah televisi di Indonesia diperkirakan akan terus bermunculan, khususnya di daerah, yang terbagi dalam empat kategori yaitu, televisi publik, swasta, berlangganan, dan komunitas. Hingga Juli 2002, jumlah orang yang memiliki pesawat televisi di Indonesia mencapai 25 juta (Morissan, 2008: 10). Menurut Skornis dalam bukunya Television and Society: An Incuest and Agenda (1985), dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Ia merupakan gabungan dari media dengar dan gambar. Bisa bersifat informatif, hiburan, dan pendidikan, bahkan gabungan dari unsur diatas (Kuswandi, 1996:
Universitas Sumatera Utara
15). Dengan layar relatif kecil diletakkan di sudut ruangan rumah, televisi merupakan suasana tertentu dimana para pemirsanya duduk dengan santai tanpa kesengajaan untuk mengikutinya. Penyampaian isi pesan juga seolah-olah langsung antara komunikator (pembawa acara, pembawa berita, atau artis) dengan komunikan (pemirsa). Informasi yang disampaikan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan jelas terlihat secara visual. Menurut sosiolog, Marshall McLuhan, kehadiran televisi membuat dunia menjadi “desa global” yaitu suatu masyarakat dunia yang batasnya diterobos oleh media televisi (Kuswandi, 1996: 20). Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa menunjukkan bahwa media tersebut telah menguasai jarak secara geografis dan sosiologis. Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya. Pada intinya, televisi memiliki tiga fungsi utama: 1. Fungsi penerangan Masyarakat menaruh perhatian besar kepada televisi karena televisi dianggap sebagai media yang mampu menyiarkan informasi yang amat memuaskan. Hal ini dikarenakan dua faktor yang terdapat pada media massa audiovisual tersebut, yaitu faktor immediacy dan realism. Faktor immediacy mencakup pengertian langsung dan dekat. Peristiwa yang disiarkan oleh stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh pemirsa pada saat peristiwa berlangsung, seolah-olah pemirsa berada di tempat peristiwa kejadian. Faktor realism mengandung makna kenyataan. Ini berarti bahwa televisi menyiarkan informasinya secara audiovisual dengan perantara
Universitas Sumatera Utara
mikrofon dan kamera apa adanya sesuai dengan kenyataan. Jadi, pemirsa melihat dan mendengar sendiri. 2. Fungsi pendidikan Sesuai makna pendidikan, yakni meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat, televisi menyiarkan acara-acara tertentu secara teratur, misalnya pelajaran bahasa, matematika, dan lain-lain. 3. Fungsi hiburan Dikebanyakan negara terutama masyarakat agraris, fungsi hiburan yang melekat pada televisi tampak dominan. Sebagian besar dari aplikasi waktu masa siaran diisi oleh acara-acara hiburan. Hal ini dapat dimengerti karena pada layar televisi dapat ditampilkan gambar hidup beserta suara bagaikan kenyataan, dan dapat dinikmati oleh khalayak yang tidak mengerti bahasa asing, bahkan tuna aksara.
II.3 Terpaan Media (Media Exposure) Terpaan media diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang diterpa oleh isi media atau bagaimana isi media menerpa audiens. Terpaan media adalah perilaku seseorang atau audiens dalam menggunakan media massa. Perilaku ini menurut Blumler dalam Littlejohn (Rahayu, 2009: 28) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: 1. Surveillance, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui lingkungannya. 2. Curiosity, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui peristiwa-peristiwa menonjol di lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
3. Diversion, yaitu kebutuhan individu untuk lari dari perasaan tertekan, tidak aman, atau untuk melepaskan ketegangan jiwa. 4. Personal identity, yaitu kebutuhan individu untuk mengenal dirinya dan mengetahui posisi keberadaannya di masyarakat. Media exposure menurut Jalaluddin Rakhmat (1989) diartikan sebagai terpaan media, sedangkan Masri Singarimbun (1982) mengartikannya dengan sentuhan media. Menurut Rakhmat, media exposure dapat dioperasionalkan sebagai frekuensi individu dalam menonton televisi, film, membaca majalah atau surat kabar, maupun mendengarkan radio. Selain itu, media exposure berusaha mencari data audiens tentang penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan, maupun durasi penggunaan atau longevity (Ayu, 2007: 9). Sedangkan menurut Rosengren (1974), penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan (Rakmat, 2004: 66). Pakar lainnya, Shore (1985) memberikan definisi sebagai berikut: Media exposure is more complicated than access because is ideal not only with what her a person is within pysical (range of the particular mass medium) but also whether person is actually exposed to the message. Exposure is hearing, seeing, reading, or most generally, experiencing with at least a minimal amount of interest the mass media message. The exposure might occure to an individual or group level (Ayu, 2007: 10). Artinya terpaan media adalah lebih lengkap daripada akses. Terpaan tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa akan tetapi apakah seseorang tersebut benar-benar terbuka dengan pesan-pesan media tersebut. Terpaan merupakan kegiatan mendengar, melihat,
Universitas Sumatera Utara
dan membaca pesan-pesan media massa ataupun pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu maupun kelompok. Menurut Kenneth E. Andersen (1972), perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Sifat menonjol yang menjadi bahan perhatian oleh stimuli, yaitu: 1. Gerakan. Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak. Kita senang melihat huruf-huruf dalam display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan. 2. Intensitas stimuli. Kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Warna merah pada latar belakang putih, tubuh jangkung di tengah-tengah orang pendek, sukar lolos dari perhatian kita. 3. Kebaruan (novelty). Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian. Beberapa eksperimen juga membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat. 4. Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Disini unsur familiarity (yang mudah dikenal) berpadu dengan unsur novelty (yang baru kita kenal. Perulangan juga mengandung unsur sugesti: mempengaruhi bawah sadar kita (Rakhmat, 2007: 52-53). Frank Biocca dalam Littlejohn (Rahayu, 2009: 28) menyatakan bahwa karakteristik terpaan media dapat diukur melalui dimensi-dimensi seperti:
Universitas Sumatera Utara
1. Selectivity (kemampuan memilih) yaitu kemampuan audiens dalam menetapkan pilihan terhadap media dan isi yang akan dieksposnya. 2. Intentionally (kesengajaan) yaitu tingkat kesengajaan audiens dalam menggunakan media atau kemampuan dalam mengungkapkan tujuantujuan penggunaan media. 3. Utilitarianism
(pemanfaatan)
yaitu
kemampuan
audiens
untuk
mendapatkan manfaat dari penggunaan media. 4. Involvement (keterlibatan) yaitu keikutsertaan pikiran dan perasaan audies dalam menggunakan media dan pesan media yang diukur melalui frekuensi maupun intensitas. 5. Previous to influence yaitu kemampuan untuk melawan arus pengaruh media.
II.4 Efek Komunikasi Massa Efek komunikasi merupakan setiap perubahan yang terjadi di dalam diri penerima, karena menerima pesan-pesan dari suatu sumber. Perubahan ini meliputi perubahan pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku nyata. Komunikasi dikatakan efektif apabila ia menghasilkan efek-efek atau perubahanperubahan sebagai yang diharapkan oleh sumber, seperti pengetahuan, sikap, dan perilaku, atau ketiganya. Perubahan-perubahan di pihak penerima ini diketahui dari tanggapan-tanggapan yang diberikan penerima sebagai umpan balik. Umpan balik merupakan unsur yang amat penting. Tanpa umpan balik, kita tidak mengetahui komunikan, tidak mengetahui apakah komunikasi berjalan
Universitas Sumatera Utara
efektif atau tidak. Dalam komunikasi massa yang berkomunikasi melalui saluransaluran media massa, komunikator tidak bertatap muka atau berinteraksi secara langusng dengan khalayaknya. Oleh karena itu, umpan balik juga tidak dapat segera diperoleh. Dengan demikian, efeknya juga tidak segera dapat diketahui. Dalam komunikasi massa, umpan baliknya bersifat delayed dan langka (Wiryanto, 2000: 39-40). Efek pesan media meliputi efek kognitif, efek afektif, dan efek behaviorial. Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau nilai. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku (Rakhmat, 2007: 219). Selain itu, Effendy (1993 : 318) juga menjelaskan mengenai efek komunikasi massa yang meliputi efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif sebagai berikut: a. Efek Kognitif Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatifnya bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini membahas tentang bagaimana media dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Efek Afektif Tujuan dari komunikasi massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, benci, kesal, kecewa, penasaran, sayang, cemas, sinis, kecut dan sebagainya. c. Efek Behaviour Efek behavior merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Behaviour bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha, yang cenderung menjadi suatu kegiatan atau tindakan.
II.5 Budaya Populer Budaya populer (sering juga dikenal sebagai budaya pop) merupakan kumpulan gagasan-gagasan, perspektif-perspektif, sikap-sikap, dan fenomenafenomena lain yang dianggap sebagai sebuah kesepakatan atau konsensus informal dalam sebuah kebudayaan arus utama pada akhir abad kedua puluh hingga abad kedua puluh satu. Menurut McDonalds dalam Populer Culture (Vidyarini, 2008: 30), budaya populer adalah sebuah kekuatan dinamis yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya popuper ini banyak dipengaruhi oleh media massa dan ia mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. Istilah “budaya populer” sendiri berasal dari abad ke sembilan belas, yang penggunaan awalnya merujuk kepada pendidikan dan kebudayaan dari kelas-kelas
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang lebih rendah. Istilah tersebut kemudian mengandung arti sebuah kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah, yang berbeda, dan bertentangan dengan “pendidikan yang sebenarnya” yang ada pada akhir abad tersebut. Makna istilah tersebut saat ini, yaitu budaya konsumsi massa, secara khusus berasal dari Amerika Serikat, yang muncul pada akhir perang dunia kedua. Sedangkan istilah yang lebih singkat “budaya populer” muncul pada tahun 1960 an. Istilah ini juga sering disebut sebagai budaya massa dan sering dikontraskan dengan budaya tinggi (misalnya, musik klasik, lukisan bermutu, novel sastra, dan yang sejenis lainnya). Menurut
Dominic Strinati,
budaya populer
atau
budaya
massa
berkembang, terutama sejak dasawarsa 1920-an dan 1930-an, bisa dipandang sebagai salah satu sumber historis dari tema-tema maupun perspektif-perspektif yang berkenaan dengan budaya populer. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Beberapa karakteritik budaya populer yaitu: 1. Relativisme Budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya: batasan antara budaya tinggi dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang seni, moralitas, dan sebagainya).
Universitas Sumatera Utara
2. Pragmatisme Budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah hal yang diterima tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari benar atau salahnya. 3. Sekularisme Budaya populer mendorong penyebarluasan sekularisme sehingga agama tidak lagi begitu dipentingkan karena agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia pada masa ini. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan. 4. Hedonisme Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenangsenang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu. Bisnis yang berbau pornografi merupakan sebuah bisnis yang mendapatkan penghasilan yang besar. Diperkirakan sekitar 12, 7 milyar dolar Amerika dihasilkan oleh industri hiburan dewasa yang berbau pornografi (termasuk di dalamnya majalah playboy, penthouse, mainan seks (sex toy), dan industri pornografi di internet). 5. Materialisme Budaya populer semakin mendorong paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu diukur berdasarkan hal itu.
Universitas Sumatera Utara
6. Popularitas Budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. 7. Kontemporer Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilainilai yang bersifat sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman). 8. Kedangkalan Kedangkalan (disebut juga banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan berkembangnya teknologi memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi kehilangan makna hidup (karena kemudahan tersebut). Pertemanan dalam Friendster maupun Facebook adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting), tanpa dapat menangis dan berjuang bersama sebagaimana layaknya seorang sahabat yang sesungguhnya. Kedangkalan atau banalisme ini juga terlihat dari semakin banyak orang yang tidak mau berpikir, merenung, berefleksi, bersikap kritis. Sifat-sifat seperti keseriusan, autentisitas, realisme, kedalaman intelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan. Kita dapat melihat contoh-contoh lainnya seperti koran yang dulu penuh dengan berita luar negeri dan dunia, sekarang banyak diisi dengan gosipgosip mengenai selebritis, mengenai tren pakaian wanita muda, dapat halhal dangkal lainnya. Televisi juga telah menggantikan drama-drama dan
Universitas Sumatera Utara
film-film yang berkualitas tinggi dengan acara masak-memasak, opera sabun dan program-program “gaya hidup” yang lain. 9. Hibrid Sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu mempermudah hidup, muncullah sifat hibrid, yang memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk. 10. Penyeragaman Rasa Hampir di setiap tempat di seluruh penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin mendominasi. Budaya tunggal semakin berkembang, keragaman bergeser ke keseragaman. 11. Budaya Hiburan Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah edutainment. Olah raga harus menghibur, maka muncullah sportainment. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment, agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan agama dan budaya populer. Hal ini dapat dilihat sangat jelas khususnya ketika mendekati hari-hari raya keagamaan tertentu. Bahkan kotbah dan ibadah harus menghibur jemaat supaya jemaat merasa betah. 12. Budaya Konsumerisme Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara
Universitas Sumatera Utara
terus menerus.
Sebuah masyarakat konsumtif dan konsumeris yang
membeli bukan berdasarkan kebutuhan maupun keinginan, melainkan gengsi. 13. Budaya Instan Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan, makanan cepat saji, sampai sarjana instan. Budaya ini juga dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan, sehingga banyak orang berlomba-lomba menjadi artis, dengan mengikuti audisi seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, Kontes Dangdut Indonesia (KDI), dll. 14. Budaya Massa Karena pengaruh budaya populer, individu melebur ke dalam massa. Hal ini disebabkan karena segala cara dipakai oleh para produsen untuk mencari pasar baru, mengembangkan pasar yang ada atau paling tidak mempertahankan pasar yang sudah ada sejauh memberikan keuntungan dan memasarkan produk mereka semaksimal mungkin. Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi. Maka muncullah berbagai produk yang diproduksi secara massa. 15. Budaya Visual Budaya populer juga erat berkaitan dengan budaya visual yang juga sering disebut sebagai budaya gambar atau budaya figural. Pada zaman sekarang
Universitas Sumatera Utara
orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya industri film, animasi dan kartun serta komik berkembang pesat pada zaman ini. 16. Budaya Ikon Budaya ikon erat kaitannya dengan budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang berupa manusia sebagai Madonna, Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, dan sebagainya; maupun yang berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan sebagainya, termasuk juga ikon merek seperti Christian Dior, Gucci, Rolex, Blackberry, Apple, Ferrari, Mercedes, dan sebagainya. 17. Budaya Gaya Budaya visual juga telah menghasilkan budaya gaya, di mana tampilan atau gaya lebih dipentingkan daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah “Aku bergaya maka aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang (branding) sangat dipentingkan. 18. Hiperealitas Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan perbedaan antara yang nyata dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas yang asli. Menurut seorang kritikus media, Mark Crispin Miller, tujuan televisi adalah membuat anda tetap menatapnya, sehingga media itu dapat bergerak “mengotakkan” para pemirsa, di dalam atau di luar rumah, menggantikan realitas mereka dengan realitas televisi.
Universitas Sumatera Utara
19. Hilangnya Batasan-batasan Budaya popular menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak antara budaya klasik dan budaya salon, antara seni dan hiburan, yang ada antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan waktu, dan sebagainya.
II.6 Imperialisme Media/Budaya Teori komunikasi massa diklasifikasikan 3 bagian besar, yaitu: 1. Teori mikro, dimana memfokuskan pada kehidupan sehari-hari manusia yang memiliki kemampuan untuk memproses informasi. 2. Teori menengah, dimana teori ini mendukung perspektif efek media yang terbatas. 3. Teori makro, dimana teori ini memberi perhatian pada peranan sosial media dan berpengaruh pada budaya dan masyarakat. Dalam klasifikasi teori massa ini, imperialisme budaya berada pada kategori teori makro yang memberikan penjelasan tentang peranan media dalam pertukaran informasi antar negara dan pengaruh media terhadap kebudayaan asli masyarakat di setiap negara. Kita sedang hidup dalam tatanan dunia baru, setelah datangnya dominasi politik, ekonomi, dan kekuatan budaya. Tantangan dunia baru yang sedang kita jalani adalah tatanan dunia baru setelah runtuhnya Soviet, dimana gaya hidup dan simbol peradaban berkiblat pada Barat. Ada tiga hal yang dapat dibedakan untuk
Universitas Sumatera Utara
melihat tatanan dunia baru saat ini. Pertama, munculnya globalisasi (ditandai dengan kemenangan kapitalisme dan pasar bebas). Kedua, revolusi informasi (ditandai dengan lahirnya revolusi TV, internet, dan ponsel). Ketiga, adanya imperialisme media. Imperialisme media ini merupakan bentuk baru penajajahan melalui media. Imperialisme baru dalam bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik adalah “sesuatu yang menyeramkan”, yang kini tengah mengincar jiwa kita. Nilai-nilai hidup, sesuatu yang kita makan, pakaian yang kita pakai, buku yang kita baca, dan tontonan yang kita lihat adalah bukti hadirnya imperialisme. Imperialisme berarti hegemoni politik, ekonomi, dan budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa lain. Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk memaksakan nilai dan agenda politik, ekonomi, dan budaya mereka pada bangsa dan budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses imperialisme budaya. Teori imperialisme budaya ini pertama kali dikemukakan oleh ekonom politik dari Amerika, Herbert Schiller pada tahun 1969. Gagasan yang mendasari teori ini adalah peranan media dalam pembangunan nasional. Media dapat membantu modernisasi dengan memperkenalkan nilai-nilai barat yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan cara mengorbankan nilai-nilai tradisional sehingga mengakibatkan hilangnya keaslian budaya lokal. Nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilainilai kapitalisme dan karenanya proses imperialistik dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil dibawah kepentingan kapitalistik yang lebih dominan khususnya Amerika Serikat (McQuail, 1994: 99). Beberapa gejala yang menandakan keadaan suatu negara yang telah terkena imperialisme budaya: 1. Pengalaman negara-negara maju dalam bidang ilmu dan teknologi tentang media massa selama puluhan tahun telah menyebabkan anggapan bahwa hanya ada satu macam arus informasi yang sudah dianggap normal dan yang hanya satu-satunya membawa yang tidak pernah berubah yang diproduksi oleh segelintir orang namun diterima oleh semua khalayak, yang dimaksud dengan munculnya upaya-upaya seperti memperbanyak jumlah koran, pesawat televisi, radio, atau bioskop terutama pada negaranegara berkembang tanpa menyadarinya. 2. Adanya arus satu arah dalam komunikasi pada dasarnya adalah pencerminan struktur ekonomi dan politik dunia yang cenderung untuk memelihara dan memperkuat ketergantungan negara miskin kepada negara kaya. 3. Hegemoni dan dominasi tersebut terbukti pada ketidakpedulian media negara maju terutama barat terhadap keluhan dan keinginan negara berkembang. Dasarnya adalah kekuatan teknologi, kultural, industri, dan
Universitas Sumatera Utara
keuangan yang mengakibatkan hampir semua negara berkembang jatuh menjadi konsumen informasi (Purba, Amir, 2006: 88-89). Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep pokok dari imperialisme budaya, yaitu: 1. Sistem dunia modern Merupakan konsep sederhana yang menunjukkan kapitalisme. 2. Masyarakat Konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan. 3. Sistem pusat yang mendominasi Menunjukkan negara-negara maju atau dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat atau kekuatan barat. 4. Struktur dan nilai Menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara yang berkuasa ke negara yang sedang berkembang (Yohana, 2009: 36). Setelah meninjau seluruh penafsiran yang berbeda dari imperialisme budaya. Maka jelas terlihat bahwa intisari dari imperialisme budaya adalah dominasi oleh suatu negara kepada negara lainnya. Hubungannya bisa tak langsung atau langsung berdasarkan pengawasan ekonomi politik. Pertukaran informasi antara bangsa-bangsa merupakan manifestasi dari imperialisme budaya. Walaupun dari teori-teori dan penjelasan yang telah dipaparkan di atas lebih tampak bahwa Amerika Serikat sebagai negara adidaya melakukan imperialisme budaya ke negara-negara dunia ketiga tetapi tak dapat dipungkiri
Universitas Sumatera Utara
budaya Asia yang saat ini lebih banyak condong ke budaya Korea juga secara langsung dan tidak langsung juga terpengaruh dari budaya barat, tetapi tentu saja dengan pemodofikasian yang sesuai dengan ciri anak muda Asia.
II.7 Perilaku Manusia Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berperilaku dalam segala aktivitas. Perilaku mempunyai arti yang konkrit daripada jiwa, karena lebih konkrit, perilaku lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui perilaku dapat dikenal jiwa seseorang. Karakteristik perilaku ada yang terbuka dan ada yang tertutup. Perilaku terbuka adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat bantu. Perilaku tertutup adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode tertentu misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, dan takut. Jadi, perilaku timbul karena dorongan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Perilaku merupakan perwujudan dari adanya kebutuhan. Perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang harus diselaraskan manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan berketuhanan. Perilaku manusia tidak terjadi secara sporadis (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan (kontinuitas) antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya. Perilaku manusia tidak pernah berhenti
Universitas Sumatera Utara
pada suatu saat. Perbuatan yang dulu merupakan persiapan perbuatan yang kemudian merupakan kelanjutan perbuatan sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia (Dahlius, 2009: 31): 1. Keturunan Diartikan sebagai pembawaaan yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, atau biasa disebut heredity. 2. Lingkungan Diartikan sebagai miliu, environment, nature. Lingkungan dalam arti psikologi adalah segala apa yang berpengaruh pada individu dalam berperilaku. Moh. Surya mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu: 1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intentional) Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan,
misalnya
pengetahuannya
semakin
bertambah
atau
keterampilannya semakin meningkat dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. 2. Perubahan yang berkesinambungan (continue) Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap, dan keterampilan
Universitas Sumatera Utara
yang telah diperoleh itu akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berikutnya. 3. Perubahan yang fungsional Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. 4. Perubahan yang bersifat positif Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menunjukkan ke arah kemajuan. 5. Perubahan yang bersifat aktif Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. 6. Perubahan yang bersifat permanen Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. 7. Perubahan yang bertujuan dan terarah Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. 8. Perubahan perilaku secara keseluruhan Perubahan perilaku bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya (Dahlius, 2009: 33).
Universitas Sumatera Utara
II.7.1 Pengaruh Televisi dalam Perubahan Perilaku Remaja Remaja merupakan penggemar film, sinetron, dan drama televisi. Penayangan film, sinetron, maupun acara drama pada siang, sore, dan malam hari membawa perubahan pola kehidupan remaja, terutama menyangkut masalah perilaku yang sudah mapan di masyarakat. Sebelum pengaruh televisi mengubah tatanan masyarakat, pola kehidupan sehari-hari remaja dapat terlihat jelas yakni pagi sekolah, siang/sore membantu orang tua, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler maupun privat. Sedangkan malam hari belajar. Namun kenyataan ini harus sirna dengan adanya televisi. Keberadaan televisi relatif menjadi dasar bagi perubahan tatanan perilaku remaja. Kegemaran mereka dalam berbagai hal semakin hilang, disebabkan munculnya hal-hal baru dengan melihat tayangan-tayangan yang mereka lihat di televisi. Perubahan pada disiplin tidak bisa dihindari. Sebab mereka mulai berani untuk tidak masuk sekolah dan mengikuti pelajaran di sekolah. Bagi mereka tidak menonton berarti tidak akan cerita dengan teman-temannya. Dan mereka tidak mau jika dikatakan ketinggalan informasi. Salah satu keluhan orang tua terhadap anak-anaknya dengan munculnya acara-acara yang digemari adalah semakin jarangnya mereka membaca. Budaya pop dalam menonton televisi ini telah mengagungkan, bahkan memuja keluarga-keluarga yang tidak ada dalam kehidupan nyata. Ketika menjabat
sebagai presiden, George Bush (Sr) pernah berkata, “Saya
menginginkan keluarga-keluarga di Amerika menjadi seperti Keluarga Walton, atau paling tidak seperti Keluarga Simpson”. Presiden Bush menyadari bahwa
Universitas Sumatera Utara
sistem yang dia pimpin telah menciptkan monster yang sangat berbahaya bagi keluarga. Inilah salah satu contoh kontradiksi kapitalisme. Budaya, baik itu bersifat populer atau ilmiah, sangat berpengaruh pada nilai-nilai keluarga. Sementara itu, budaya mendapatkan pengaruh kuat dari sistem pemerintahan yang berjalan saat ini (Fredericks, 2004: 267).
Universitas Sumatera Utara