BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan. Perkawinan adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua umat manusia guna melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh keturunan, maka agama Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini sesuai dengan pasal 2 KHI, bahwa perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau Mitsâqan gholidzân untuk mentaati perintah Allah SWT dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.1 “Perkawinan” menurut istilah Ilmu Fiqh di pakai perkataan “Nikah” dan perkataan “ Ziwâj”. “ Nikah” menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu arti yang sebenarnya (haqîqî) dan arti kias (majâz). Arti yang sebenarnya dari “Nikah”, ialah “dham” yang berarti “menghimpit”, “Menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya ialah “Watha” yang berarti “Setubuh” atau “Aqad” yang berarti “Mengadakan perjanjian Pernikahan”. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “Nikah” lebih banyak dipakai dalam
1
Abdurrahaman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika pressindo, 1992, hlm.114.
21
arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya, bahkan “ Nikah” dalam arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.2 Adapun yang dimaksud dengan nikah dari segi istilah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.3 Sementara ada yang berpendapat bahwa, nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral dan kekal antara seorang lelaki (calon suami) dengan seorang perempuan (calon istri) untuk bersama-sama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketentraman jiwa, dan cinta kasih.4 Meskipun dalam menentukan kaidah perkawinan itu ada perbedaan konsekuensi, perbedaan itu bukanlah perbedaan pendapat. Perkawinan berisi persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyelenggarakan suatu pergaulan hidup dengan dasar-dasar ekonomi dan psikis serta berkewajiban untuk merawat dan memelihara keturunan yang baik dari perkawinan itu. Hukum agama yang shalih dan pikiran yang sehat mengakui perkawinan sebagai suatu hal yang suci dan kebiasaan yang baik dan mulia. Jika diukur dengan neraca keagamaan, perkawinan menjadi dinding yang
2
Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 1. 3 Dinas Hukum POLRI,op.cit., hlm.1. 4 Didi Jubaidi Ismail, Membina Rumah Tangga Islami di bawah Ridha Allah, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 64.
22
kuat, yang memelihara manusia dari dosa-dosa yang disebabkan oleh nafsu seksual di jalan yang haram.5 Allah SWT mensyari’atkan perkawinan kepada manusia karena Dia tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak satu aturan, tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia selaku khalifah Allah di muka bumi, maka diadakanlah hukum yang dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha-meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua sejoli itu telah saling terikat.6 Oleh karena itu, jika seorang pria dan wanita saling menyukai, maka mereka dapat melangsungkan pernikahan dengan acara yang amat sederhana dan acara yang sederhana itu bukannya tercela, namun justru layak untuk mendapatkan pujian.7 Islam dalam memberikan anjuran menikah serta rangsanganrangsangan didalamnya, terdapat motivasi dan tujuan yang jelas, yang tentu saja memberikan dampak positif yang lebih besar dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Sebab berumahtangga merupakan bagian dari nikmat serta tanda keagungan Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia. Dengan berumah tangga berarti mereka telah mempertahankan kelangsungan 5
H.S.M. Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, hlm.14. 6
L.M. Syarifie, Cinta dan Perkawinan, Jatim: CV. Bintang Pelajar, tth, hlm. 7-8.
7
Haidar Abdullah, op.cit., hlm. 98.
23
hidup secara turun-temurun serta melestarikan agama Allah SWT dipersada bumi. Secara terperinci tujuan pernikahan menurut syari’at Islam diantaranya adalah; 1. Mengatur Potensi Kelamin. Manusia diciptakan Allah SWT ada yang laki-laki dan ada pula yang perempuan. Hal ini dimaksudkan agar tercapai suatu tujuan yang agung, yakni agar mereka dapat mengembangkan keturunan, hidup beranak cucu, bahkan berkembang menjadi banyak, sehingga lestarilah sejarah perkembangan hidup manusia. Sedang disyari’atkannya pernikahan adalah merupakan sarana untuk melestarikan keturunan, nikah sebagai alat, sedangkan rumah tangga merupakan wadah yang bersifat agamis, bersih, langgeng dan kokoh untuk menghadapi serta menentukan kelestarikan sejarah perkembangan hidup manusia. Sebab rumah tangga merupakan suatu wadah yang sehat serta mengarahkan umat manusia ke arah keselamatan yang hakiki.8 Dalam hal ini berkaitan dengan hubungan kelamin, Islam memilih pandangan bahwa hubungan seksual merupakan suatu perkara yang suci dan mulia.9 Terjadinya gejolak biologis merupakan pertanda munculnya kecenderungan seksual dalam diri seseorang ibarat api dalam sekam, semua itu akan mempengaruhi
8
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Yogyakarta: Menara Kudus, 2002, hlm. 45-46. 9
Haidar Abdullah, op.cit., hlm. 85.
24
kepribadian
si
pemuda
tersebut,
kecenderungan
seksual
akan
menghidupkan imajinasi dan menggiring orang yang mengalaminya keluar dari alam nyata, untuk kemudian membentuk kecenderungan baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Oleh karena itu para pemuda (yang mengalami masa tersebut) harus segera memperoleh jawaban atas tuntutan baru yang muncul dalam dirinya, apabila kita tidak segera menjawab kebutuhan tersebut, mereka tentu akan terhempas ke dalam jurang kesulitan yang amat dalam dan kelam.10 Dan disinilah fungsi pernikahan dalam meyalurkan kebutuhan seksual manusia. 2. Melahirkan keturunan yang Mulia Pernikahan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan keturunan yang mulia adalah sebuah kebenaran dari ajaran Islam dalam kaitan ini Rasulullah Saw telah bersabda:
ﻭﻋـﻨﻪ ﻗـﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺎﺀ ﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﻟﺒﺄﺓ ﻭﻳﻨﻬﻰ ﻋﻦ ﻰ ﻣﻜﺎ ﺗﺮﺑﻜﻢ ﺍﻻﻧﺒﻴﺎﺀ ﻳﻮﻡﺟﻮﺍﻟﻮﻟﻮﺩ ﺍﻟﻮﺩﻭﺩ ﻓﺎﻧ ﺗﺰ ﻭ،،ﻴﺎ ﺷﺪ ﻳﺪﺍ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺘﺒﺘﻞ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻳﻨﺎﺣﺒﺎﻥ ﻭﻟﻪ ﺷﻬﺪ ﻋﻨﺪ ﺍﰉ ﻭﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻰ ﻭﺍﺑﲎ ﺣﺒﺎﻥ ﻣﻦ ﺣﺪ ﻳﺖ ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ.ﺍﻟﻘـﻴﺎﻣﺔ 11
.( ﻳﺴﺎﺭ
“Dari beliau, yaitu dari Anas, beliau berkata: Rasulullah Saw. Selalu menyuruh kami untuk kawin dan melarang kami pembujangan dengan larangan yang sangat keras dan beliau bersabda: “Kawinilah perempuan yang sangat cinta dan banyak anak, karena sesungguhnya saya membanggakan diri karena banyaknya kamu sebagai umatku pada hari
10
Husain Mazhahiri, Membangun Surga dalam Rumah Tangga, Bogor: Cahaya, 2004,
hlm.31-32. 11
Syaikh Muhammad Ismail Amirul Yamani al- Shan’ani, Subul al-salam Syarh Bulugh al-Marom Juz III, Darl al-Kitab Arabi, tth, hlm. 236-237.
25
kiamat kelak. (diriwayatkan oleh Ahmad dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban. Hadits tersebut mempunyai penguat menurut riwayat Abu Daud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban yang dari Maqol bin Yasar). Dengan demikian, melalui perkawinan, perkembangbiakan manusia berlanjut. Anak-anak adalah hasil perkawinan dan merupakan faktorfaktor penting dalam memantapkan fondasi keluarga dan juga merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orang tua mereka.12 3. Merasakan Penderitaan Hidup. Pada kenyataannya, seorang lelaki banyak sekali menghadapi kerepotan. Diantaranya
kesana
kemari
menegakkan
agama
Allah
mengurus SWT
kehidupannya,
menciptakan
berjuang
perdamaian
dan
keselamatan. Semua tugas tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya pendamping disisinya, yakni seorang istri shalihah yang senantiasa membantu menyertai serta menghiburnya.13 Sehingga penderitaan yang dialami suami maupun istri menjadi penderitaan bersama. 4. Mendidik Generasi Baru. Pendidikan yang baik adalah sebagai tanda terwujudnya keturunan yang mulia, sebab yang dimaksud mencari keturunan, bukan sekedar melahirkan anak kemudian menjadikan mereka tersia-sia tetapi mewarnai kehidupan ini dengan unsur-unsur yang dapat menyemarakkan dan menegakkan prinsipprinsip berkeluarga, serta membekali masyarakat dengan sesuatu yang
12
Ibrahim Amini, Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami-Istri, Bandung: Al-Bayan, 1998, hlm. 1. 13
Ahmad Mudjab Mahalli, op.cit., hlm. 52-53.
26
bersifat membangun. Hal ini hanya akan terwujud apabila masyarakat yang berdiri dari keluarga-keluarga yang tegak di atas pondasi yang kokoh lagi kuat. Sedangkan keluarga yang kuat harus terdiri dari seorang ayah dan ibu serta anak-anak yang shalih. Diantara kewajiban seorang ayah terhadap anak-anaknya, adalah memberikan pendidikan yang layak dan baik kepada mereka.14 Sebagai hadiah dari memberikan anak muslim yang shalih, dirinya akan diganjar pahala atas setiap perbuatan dan perilaku yang baik putra putrinya. Dua rakaat shalat yang dilakukan seorang anak yang shalih, akan menghasilkan pahala, baik bagi sang anak maupun bagi ibu bapaknya.15 5. Memelihara Nasab Nasab merupakan mata rantai dalam hubungan keluarga dari kakek yang dikenal kepada bapak yang dikenal, bahkan sampai kepada anak dan cucu serta keturunan yang dikenal.16 Keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggungjawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga menjadilah ia seorang
muslim
yang
dicita-citakan.
Karena
itu
agama
Islam
mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri, menutup segala pintu
14
Ibid., hlm.53-54.
15
Husain Mazhahiri, op.cit., hlm. 122.
16
Ahmad Mujjab Mahalli, op.cit,. hlm. 58.
27
yang mungkin melahirkan anak diluar perkawinan, yang tidak jelas asalusulnya.17 6. Menjaga Harta Pusaka. Tidak mungkin harta benda akan dapat pindah dari satu generasi ke generasi yang lain. Apabila disana tidak ada wadah yang memelihara nasab, famili dan sanak kerabat. Wadah tersebut tidak lain adalah keluarga.18 Terjaganya harta pusaka karena ada hubungan yang jelas dan pasti tentang hubungan kerabat tersebut. B. Dasar Hukum Perkawinan. Pada dasarnya Islam menganjurkan perkawinan, akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam hukum asal melakukan perkawinan. Adapun dasar hukum yang menjadi landasan syariat Islam yang mengatur masalah perkawinan disini adalah dasar-dasar yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadits yang merupakan sumber hukum Islam itu sendiri. Banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah perkawinan, diantaranya ayat yang menganjurkan perkawinan adalah firman Allah SWT:
ﺍﺀﻮﺍ ﻓﹸ ﹶﻘﺮﻳﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﺇِﻥ ﺎِﺋ ﹸﻜﻭِﺇﻣ ﻢ ﺎ ِﺩ ﹸﻛﻦ ِﻋﺒ ﲔ ِﻣ ﺤ ِ ﺎِﻟﺍﻟﺼﻢ ﻭ ـﻰ ﻣِﻨ ﹸﻜﺎﻣـﻮﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻳﻭﺃﹶﻧ ِﻜﺤ (32 : ﻢ ) ﺍﻟﻨﻮﺭ ﻋﻠِﻴ ﻊ ﺍ ِﺳ ﻭﺍﻟﻠﱠﻪﻀِﻠ ِﻪ ﻭ ﻪ ﻣِﻦ ﹶﻓ ﺍﻟﱠﻠﻐِﻨ ِﻬﻢ ﻳ
17
Kamal Muchtar, op.cit., hlm.14-15.
18
Ahmad Mudjab Mahalli, op.cit., hlm. 65.
28
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas (Pemberian- Nya) Lagi Maha Mengerti”. (Q.s. An-nur: 32). 19 Demiakian juga hadits-hadits nabi yang dapat dijadikan landasan atau dasar disyari’atkan perkawinan, diantaranya yaitu hadits sebagai berikut:
ﻗﺎﻝ ﻟﻨﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ: ﻭﻋﻨﻪ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺗﻌﺎﱃ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﻧﻪ. ﻳﺎﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺒﺄﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭﺝ: ﺍﷲ ﻋﻠـﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ) ﺍﻏـﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ ﻭﺃﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮﺝ ﻭﻣﻦ ﱂ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺎﻧﻪ ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ 20
( ﻣﺘﻘﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai jamaah para pemuda, barang siapa diantara kamu sekalian yang mampu kawin, maka hendaklah dia kawin karena sesungguhnya perkawinan itu lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu baginya laksana pengebirian.” (Mutafaqqun alaih). Mengenai kedudukan hukum pernikahan, terdapat beberapa pendapat segolongan ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan adalah mandub (sunnah). Ahli Zhahir berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Sedangkan, golongan Malikiyah yang kemudian berpendapat bahwa hukum menikah bagi sebagian orang adalah wajib, bagi sebagian yang lain adalah sunnah, dan bagi sebagian yang lain lagi adalah mubah (boleh). Hal tersebut,
19
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 549.
20
Syaikh Muhammad Ismail Amirul Yamani al-Shan’ani, op.cit., hlm. 233.
29
menurut mereka disesuaikan dengan kekhawatiran seseorang untuk berbuat zina.21 Dengan demikian hukum melakukan pernikahan bervariasi tergantung pada keadaan seseorang yang melaksanakannya, untuk menentukan hukum perkawinan harus dilihat dari dua segi, pertama; kemampuan melaksanakan sebelum dan sesudah perkawinan baik sebagai suami maupun sebagai istri, kedua; kesanggupan memelihara diri yaitu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan dirinya untuk tidak jatuh dalam perbuatan zina. Hukum melakukan pernikahan dapat dibedakan ke dalam lima macam, yaitu: 1. Perkawinan wajib (az-zawâj al-wajib), yaitu perkawinan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir benar dirinya akan melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. 2. Perkawinan yang dianjurkan (az-zawâj al-mustahab) yaitu perkawinan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina. 3. Perkawinan yang kurang atau tidak disukai (az-zawâj al makruh) yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtashid, Terj. Mad’ali jilid II, Bandung: Triganda Karya, 1996, hlm. 49.
30
kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. 4. Perkawinan yang dibolehkan (az-zawâj al-Mubah), yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi.22 5. Perkawinan yang dilarang keras (haram) yaitu bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak.23 C. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan. Perkawinan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha’. Rukun perkawinan ada lima yaitu: a. Calon suami. b. Calon Istri. c. Wali. d. Dua Orang saksi. e. Ijab Qabul.24
22
Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 91-92.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Moh. Tholib, “Fiqih Sunnah 6”, Bandung: PT. AlMaarif, 1994. hlm. 24. 24
H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), terj. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 67
31
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam, akan kami uraikan satu persatu sebagai berikut: a. Calon mempelai pria, syarat-syarat: 1. Beragama Islam. 2. Laki-laki. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat memberikan persetujuan. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya: 1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani. 2. Perempuan. 3. Jelas orangnya. 4. Dapat dimintai persetujuannya. 5. Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali Nikah syarat-syaratnya: 1. Laki-laki. 2. Dewasa. 3. Mempunyai hak perwalian. 4. Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Saksi Nikah, syarat-syaratnya: 1. Minimal dua orang laki-laki. 2. Hadir dalam ijab qabul.
32
3. Dapat mengerti maksud akad. 4. Islam. 5. Dewasa. e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya: 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. 2. adanya pernyataan perkawinan dari calon mempelai pria. 3. memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan. 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya. 6. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram atau haji. 7. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi. Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.25 Didalam Undang-Undang nomor: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II pasal 6; 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 25
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 71-72.
33
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang
hukum
34
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.26 D. Asas-asas Perkawinan. Asas-asas perkawinan yang dimuat dalam Undang-undang nomor: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah : 1. Asas Sukarela. Dalam Undang-undang tersebut dicantumkan bahwa “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.27 Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Sesuai dengan hak asasi manusia, suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Pasal tersebut menjamin tidak adanya kawin paksa. 2. Asas Partisipasi Keluarga. Sesungguhnya akad nikah itu pada dasarnya merupakan hak individu calon suami dan istri, tapi karena perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang sangat erat berhubungan dengan orang lain, khususnya keluarga, sangat mudah dimengerti jika sesuai dengan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan tetap mempertahankan asas keterlibatan atau partisipasi aktif keluarga dalam perkawinan.28 3. Asas Perceraian di Persulit. 26
Dinas Hukum POLRI, op.cit., hlm.3-4.
27
Lihat, Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Bab II, pasal 6 ayat
28
Muhammad Amin Summa, op. cit., hlm. 158-159.
(1).
35
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.29 Dalam rangka inilah Undang-undang perkawinan Islam diundangkan diberbagai dunia Islam dengan tujuan antara lain untuk mempersulit penjatuhan talak. Talak tidak lagi boleh dijatuhkan sesuka hati kaum laki-laki atas penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan disampaikan dimuka sidang pengadilan.30 4. Asas Monogami. Asas penting lain yang dianut sistem undang-undang perkawinan Islam di dunia Islam pada umumnya adalah asas monogami, yakni asas yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Namun demikian hukum Islam termasuk hukum dalam bentuk perundang-undangannya memberi kemungkinan atau tepatnya membolehkan poligami bagi orang tertentu, dengan alasan tertentu pula. Diantara syaratsyarat yang dimaksudkan ialah bahwa poligami dilakukan harus atas sepengetahuan istri atau istri yang telah ada berkemampuan secara ekonomis dan memperoleh izin dari pengadilan yang berwenang.31 5. Asas Kedewasaan Calon Mempelai.
29
Ahmad Rafiq, op.cit., hlm. 57.
30
Muhammad Amin-Suma.,op.cit., hlm.161.
31
Ibid, hlm.162.
36
Asas penting lain yang diusung undang-undang perkawinan Islam di dunia Islam adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Maksudnya, undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa setiap calon suami dan calon istri yang hendak melangsungkan akad pernikahan, harus benar-benar telah matang secara fisik maupun psikis (rohani), atau harus sudah siap secara jasmani maupun rohani, berkenaan dengan asas kematangan ini, salah satu standard yang digunakan adalah penetapan usia kawin (nikah)32 bagi laki-laki usia minimal 19 tahun dan wanita 16 tahun. 6. Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita. Dalam hukum keluarga Islam khususnya perkawinan ada titik perbedaan aturan hukum berkenaan dengan soal kewajiban dan hak pria (suami) serta kewajiban dan hak perempuan (istri), itu bukan perbedaan yang diproyeksikan untuk melakukan tindakan diskriminatif oleh siapa dan terhadap siapapun, melainkan harus difahami semata-mata sebagai pembagian tugas yang sangat sistematik dan teratur guna mencapai tujuan dari pelaksanaan akad nikah dan pembentukan rumah tangga yang dikehendaki.33 7. Asas Selektivitas Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa pula dia dilarang (tidak boleh) menikah. Ada sejumlah larangan pernikahan antara seseorang dengan yang lainnya, yaitu:
32
Ibid, hlm. 167.
33
Ibid, hlm. 169.
37
a. Larangan perkawinan karena hubungan nasab. b. Larangan perkawinan dengan saudara tertentu yang memiliki hubungan darah terlalu dekat. c. Larangan perkawinan karena hubungan susuan. d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda. e. Larangan perkawinan terhadap wanita yang pernah di li’an. f. Larangan perkawinan Poliandri. g. Larangan perkawinan dengan bekas istri yang telah ditalak bain kubra. h. Larangan poligami yang melebihi empat orang. i. Larangan perkawinan dengan pezina (laki-laki/perempuan) j. Larangan perkawinan dengan orang musyrik (musyrikah). k. Larangan perkawinan dengan orang yang berlainan agama.34
34
Ibid, hlm. 172-173.
38