24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING
2.1.
Tinjauan Umum Tentang Pekerja
2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Pekerja Pemakaian istilah tenaga kerja, pekerja dan buruh pada dasarnya harus dibedakan.
Berdasarkan
ketentuan
Pasal
1
angka
1
Undang-Undang
Ketenagakerjaan, “ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan, “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutukan sendiri maupun untuk masyarakat”. Pengertian tenga kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut telah menyempurnakan pengertian tenaga kerja karena sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya.1 Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan, “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pengertian setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dapat meliputi setiap orang yang bekerja dengan 1
Lalu Husni, 2010, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 26.
24
25
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain atau setiap orang yang bekerja dengan tidak menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja dapat mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan tenaga kerja meliputi pegawai negeri sipil, pekerja formal, pekerja informal dan lain-lain. Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang telah melakukan kerja, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja (bisa perseroan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya) dan atas jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain tenaga kerja disebut pekerja bila ia melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja dan di bawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah manusia yang juga mempunyai kebutuhan sosial, sehingga perlu sandang, pangan, kesehatan, perumahan, ketentraman, dan sebagainya untuk masa depan dan keluarganya. Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem Eropa Kontinental. Oleh sebab itu, segala sesuatu didasarkan pada hukum tertulis. Sampai saat ini sumber hukum ketenagakerjaan terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan
seperti perjanjian kerja, peraturan
perusahaan dan sebagainya. Namun dalam hal ini payung hukum utama bagi tenaga kerja di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara
26
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu secara umum terdapat pasal-pasal lain yang juga menjadi payung hukum utama bagi pekerja Indonesia yaitu Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2),Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pondasi tersebut, untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan melindungi tenaga kerja Indonesia maka terbentuklah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan)
yang
menjadi
dasar
hukum
utama
dalam
bidang
ketenagakerjaan. Selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak peraturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil. 2.1.2. Hak-Hak dan Kewajiban Pekerja Hak dan kewajiban merupakan unsur pokok didalam melaksanakan suatu pekerjaan oleh pekerja. Tanpa hak dan kewajiban yang jelas maka kegiatan ekonomi dalam suatu perusahaan tidak akan berjalan dengan lancar. “Hak adalah kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum”.2 Sedangkan pengertian “kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang lain ataupun badan hukum”.3 Dengan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dengan melaksanakan suatu kewajiban yang diberikan oleh pengusaha tentu saja pekerja akan memperoleh hak yang merupakan imbalan dari kewajiban yang dilakukan tenaga kerja tersebut. 2 3
Setiawan Widagdo, Op.cit, hlm. 184. Setiawan Widagdo, Op.cit, hlm. 286.
27
Jika dilihat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merupakan dasar hukum bagi ketenagakerjaan di Indonesia, hak dan kewajiban pekerja sudah diatur dengan cukup baik di setiap pasalnya. Mulai dari mengenai pengupahan, jam kerja, kesempatan kerja, serta hal lainnya yang menyangkut mengenai perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Selain itu, dilihat dari KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban tenaga kerja diatur dalam Pasal 1603, Pasal 1603a, Pasal 1603b, Pasal 1603c dan Pasal 1603d KUH Perdata yang pada intinya sebagai berikut : a. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizing pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulahmengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendrinya (PHK demi hukum). b. Buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut. c. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.4 Sedangkan mengenai hak-hak pekerja diatur lebih lanjut dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 9 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, hak-hak tenaga kerja adalah sebagai berikut : 1) Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Salah satu tujuan penting bagi masyarakat 4
Lalu Husni, Op.cit, hlm. 72.
28
2)
3)
4)
5)
Pancasila adalah memberikan kesempatan bagi tiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan pengasilan yang memberikan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tiap tenaga kerja memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Disamping jaminan hidup yang layak, tenaga kerja juga menginginkan kepuasan yang datangnya dari pelaksanaan pekerjaan yang ia sukai dan dpaat dilakukan dengan sebaik mungkin untuk mana ia mendapat penghargaan. Tiap tenaga kerja berhak atas pembinaan keahlian dan kejujuran untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan kerja, sehingga potensi dan daya kreasinya dapat dikembangkan dalam rangka mempertinggi kecerdasan dan keterampilan kerja sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembinaan bangsa. Tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan, moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Maksudnya adalah supaya aman di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas nasional, maka tenaga kerja harus dilindungi dari berbagai persoalan di sekitarnya yang dapat mengganggu dalam pelaksanaan pekerjaannya. Tiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja. Perserikatan tenaga kerja atau yang sekarang disebut serikat pekerja perlu diadakan untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan tenaga kerja.5
Hal-hal yang diuraikan di atas merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak perusahaan agar setiap tenaga kerja dapat mentaati dan melaksanakan pekerjaan yang diberikan sehingga memperoleh apa yang menjadi hak tenaga kerja dan
pekerja/buruh setelah melaksanakan kewajibannya dalam suatu
perusahaan tempatnya bekerja.
5
Bang Fuji, 2015, “Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja”, URL : http://www.trigonalmedia.com/2015/06/hak-dan-kewajiban-tenaga-kerja.html, diakses tanggal 3 Desember 2015.
29
2.2.
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
2.2.1. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, Syarat Sah, Subjek dan Objek Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. “Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu”. 6 Dengan adanya perjanjian tersebut, dapat memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian sengketa, dan perjanjian juga dapat ditujukan guna memperjelas hubungan hukum para pihak.7 Sehingga dapat dikatakan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum dimana yang bersangkutan haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum atau undang-undang. Selain itu dapat juga diberikan pengertian bahwa “Perjanjian juga merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk meaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.8 Menurut Pasal 1601a KUH Perdata, yang dimaksud dengan “Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (buruh), mengikatkan diri
6
Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 28. 7 Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, loc.cit. 8 Salim HS.,H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9.
30
untuk bekerja pada pihak yang lain (majikan), selama waktu tertentu dengan menerima upah”. “Jika dilihat dari pengertian tersebut, maka terkesan hanya sepihak saja, yaitu bahwa buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada majikan (pengusaha)”.9
“Perjanjian
kerja
sebagai
sarana
pendahulu
sebelum
berlangsungnya hubungan kerja, haruslah diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan keadilan baik bagi pengusaha maupun bagi pekerja karena keduanya akan terikat dalam perburuhan kerja”.10 Dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan “perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Maksud dari pengertian tersebut jelas bahwa dalam perjanjian yang diadakan antara pekerja dengan pengusaha harus terdapat syarat-syarat kerja dan juga hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, dan itu harus disebutkan secara jelas didalam perjanjian kerja tersebut.11 Sedangkan pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan menurut Pasal 1601b KUH Perdata yaitu, “pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Namun definisi perjanjian pemborongan tersebut kurang tepat menganggap bahwa perjanjian pemborongan tersebut kurang tepat menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si
9
Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 46. Agung Brahmanda Yoga, 2014, Skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja di Mertha Suci Bangli, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 20. 11 Agung Brahmanda Yoga, loc.cit. 10
31
pemborong hanya mempunyai kewajiban saja, sementara yang memborongkan hanya hak saja.12 Sementara definisi lain diberikan oleh Djumialdji yang menyebutkan bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikat diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.13 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah tindakan perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.14 Perusahaan daoat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan denganperusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat-syarat
yang sesuai
dengan
Pasal
64
ayat
(2)
Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut. a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan;
12
Anonim, “Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dengan Pemerintah Asas Jaminan serta Wanprestasi”, URL : http://googleweblight.com/?lite_url=http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-perjanjianpemborongan.html., diakses tanggal 28 Maret 2016 13 Anonim, Loc Cit. 14 Ilman Hadi, “Definisi Pemborongan Pekerjaan dan Pekerja Borongan”, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt508f92b38cd01/definisi-pemborongan-pekerjaandan-pekerja-borongan.html., diakses pada tanggal 28 Maret 2016.
32
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai bentuk hubungan keja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya, yang dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Suatu perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah memenuhi syarat-syarat tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Syarat yang diatur dalam Pasal 52 UndangUndang Ketenagakerjaan, yaitu terdiri dari : a.
b.
Kesepakatan kedua belah pihak Para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat mengenai halhal yang diperjanjikan Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum Orang yang membuat suatu perjanjian kerja harus cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan pada umumnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan kecuali orang tersebut dikatakan tidak cakap oleh Undang-Undang. Orang yang tidak cakap menurut Undang-Undang ialah : 1) Orang yang belum dewasa. Menurut KUHPerdata orang yang belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. 2) Mereka yang dibawah pengampuan. Yang dimaksud dibawah pengampuan adalah mereka yang sudah dewasa tetapi tidak dapat melakukan perbuatan hukumnya sendiri akibat yang sempurna. 3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
33
c.
d.
melarang membuat perjnjian-perjanjian tertentu. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal tersebut menegaskan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sama. Jadi yang cakap membuat perjanjian kerja adalah laki-laki atau perempuan yang telah berusia 18 tahun baik telah atau belum kawin, selain juga tidak ada dibawah pengampuan. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Objek yang dimaksud dalam perjanjian pemborongan pekerjaan adalah adanya pekerjaan. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan, pekerjaan ini merupakan sesuatu yang diwajibkan kepada debitur dan sesuatu yang menjadi hak dari kreditur. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15
Apabila dikaji lebih jauh, sebenarnya ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Ketenagakerjaan itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)16.
Dapat
dikatakan
bahwa
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
merupakan salah satu bentuk perjanjian sehingga syarat-syarat yang tercantum di dalamnya harus memenuhi ketentuan dari syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, “suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur : 1. Adanya sepakat; 2. Kecakapan berbuat hukum; 3. Hal tertentu; 4. Causa yang dibenarkan”. Subyek perjanjian pemborongan pekerjaan adalah orang-orang yang terikat oleh perjanjian yang dibuatnya yaitu pengusaha yang dalam hal ini dalam perusahaan penerima jasa pekerja atau perusahaan pemberi pekerjaan dan 15 16
hlm. 42.
Agung Brahmanda Yoga, 2014, loc.cit. Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta,
34
perusahaan penyedia jasa serta pekerja. Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai pengertian pengusaha dan pekerja. 1.
Pengertian pengusaha Pengertian pengusaha menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1976 tentang Keselamatan Kerja dan juga Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah : a) Orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b) Orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c) Orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah : a) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2.
Pengertian perusahaan penyedia jasa Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, pengertian dari perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan yang melaksanakan
35
sebagian pekerjaan yang diserahkan Bank melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyedia jasa tenaga kerja. Dapat disimpulkan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja adalah pengusaha yang memasok penyediaan pekerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja. Sehingga perusahaan penyedia jasa wajib berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan. 3.
Pengertian perusahaan penerima jasa atau perusahaan pemberi pekerjaan Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yaitu perusahaan pemberi pekerjaan
adalah
perusahaan
yang
menyerahkan
sebagian
pelaksanaan
pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 4.
Pengertian pekerja Pengertian
pekerja
menurut
Pasal
1
angka
3
Undang-Undang
Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian pemborongan pekerjaan adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja.17 Sehingga atas dasar tenaga yang telah dikeluarkan oleh pekerja/buruh maka ia berhak untuk mendapatkan upah. Selain itu objek dalam perjanjian pemborongan pekerjaan adalah pekerjaan yang
17
Asri Wijayanti, op.cit, hlm. 41.
36
diborongkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa. 2.2.2. Macam-macam Perjanjian dalam Penyerahan Sebagian Pekerjaan (Outsourcing) Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur secara tegas mengenai penentuan macam-macam perjanjian kerja yang menyebutkan “perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu dan waktu tidak tertentu”. Sehingga dapat dilihat dalam implementasinya : hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha terdiri atas hubungan kerja tetap dan hubungan kerja tidak tetap. Dalam hubungan kerja tetap, perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT), sedangkan dalam hubungan kerja tidak tetap antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).18 a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam
Pasal
56
sampai
dengan
Pasal
63
Undang-Undang
Ketenagakerjaan telah diatur secara tegas mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) tidak dapat dilakukan secara bebas oleh pihak-pihak, tetapi harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan.19
18 19
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 48. Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 49.
37
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menurut Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara. Jadi, dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu maksudnya dalam perjanjian telah ditetapkan suatu jangka waktu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.20 Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Payaman Simanjuntak bahwa, “PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama dua tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya”.21 Perjanjian kerja wantu tertentu memiliki syarat yang harus dibuat secara tertulis dan ditulis dalam bahasa Indonesia, dengan ketentuan apabila tidak dibuat dalam bentuk tertulis maka dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga dinyatakan (dianggap) sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). 20 21
Adrian Sutedi, loc.cit. Adrian Sutedi, loc.cit.
38
Dalam
Pasal
59
ayat
(1)
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap sehingga perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bersangkutan. b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pengertian dari “perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”. Pada perjanjian
kerja waktu tidak tertentu
disyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan selama tiga bulan tersebut, pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, mak
39
apengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. 2.2.3. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Berakhirnya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat disebabkan karena beberapa hal seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai berakhirnya perjanjian kerja yaitu : a. Pekerja meninggal dunia; b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan oleh penjualan, pewarisan atau hibah.22 Dalam hal terjadinya pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab perusahaan baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.23 Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.24 Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
22
Asri Wijayanti, op.cit, hlm. 51. Asri Wijayanti, loc.cit. 24 Asri Wijayanti, loc.cit. 23
40
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.25 Selain itu mengenai berakhirnya perjanjian kerja jika ditelusuri lebih lanjut dapat terjadi dikarenakan wanprestasi dan overmacht (keadaan memaksa). Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda wanprestatie yang artinya “tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbuk karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang”.26 Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya yaitu : a) Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. b) Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur, dalam artian debitur tidak bersalah. Untuk menentukan apakah seorang debitur itu bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan yaitu : 1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru; 3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya; 4) Dan Subekti menambahkan lagi dengan, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak bolek dilakukannya.27 Sedangkan dalam keadaan memaksa (overmacht, force majeur) debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbulnya diluar kemauan dan kemampuan pihak debitur. Wanprestasi karena keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi obyek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga 25
Asri Wijayanti, loc.cit. Abdulkadir Muhammad , 1982, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 20. 27 Abdulkadir Muhammad, loc.cit. 26
41
terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang. Keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun tetap. Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam hukum Anglo Saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah frustration artinya halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak, yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.28 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa yaitu: a) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu bersifat tetap. b) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara. c) Peristiwa ini tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur.29 Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolute) contohnya bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat tidak mutlak (relative), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan tetapi dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan harga secara mendadak akibat dari regulasi pemerintah terhadap
28
Abdulkadir Muhammad, hlm. 27. Abdulkadir Muhammad, hlm. 28.
29
42
produk tertentu, krisis ekonomi yang mengakibatkan ekspor produk terhenti sementara, dan lain-lain.30 2.3.
Tinjauan Umum Tentang Outsourcing
2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Outsourcing Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memperoduksi atau melaksanakan suatu pekerjaaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengarah pekerja.31 Artinya ada perusahaan yang secara khusus melatih atau mempersiapkan, menyediakan, memperkerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain. Perusahaan penyedia inilah yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan di perusahaan lain tersebut. Dalam
bidang
manajemen,
outsourcing
diberikan
pengertian
pendelegasian operasi dan manajemen harian suatu proses bisnis pada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing).32 Dapat disimpulkan bahwa outsourcing merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama bagi perusahaan penyedia jasa dan perusahaan pemberi kerja serta memberi peluang kerja bagi masyarakat sehingga mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Dengan adanya sistem outsourcing ini, tentu saja diperlukan ketentuan yang mengatur agar tenaga kerja outsourcing mendapat perlindungan hukum. Maka dari itu, dasar hukum dari sistem outsourcing ini terdiri dari : 1) KUH Perdata
30
Abdul R. Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hlm. 52. 31 Lalu Husni, op.cit, hlm. 187. 32 Lalu Husni, op.cit, hlm. 188.
43
Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjanjian. Dalam Pasal 1601b KUH Perdata disebutkan bahwa “perjanjian pemborongan pekerjaan yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUH Perdata yakni sebagai berikut : a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan. b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong, namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. c. Si pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang yang telah dipekerjakan olehnya. d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu sampai biaya dan upah-upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut.33 2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang ini mengatur dan melegalkan sistem outsourcing di Indonesia. Istilah yang dipakai yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja. Hal tersebut dipertegas melalui ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
33
Lalu Husni, loc.cit.
44
menyebutkan bahwa “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource berdasarkan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah pekerjaan yang harus memenuhi syarat-syarat yaitu : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. Merupakan
bagian
kegiatan
penunjang
perusahaan
secara
keseluruhan; dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja. 3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
45
Selain
KUH
Perdata
dan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan,
pengaturan mengenai outsourcing juga terdapat dalam Keputusan Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal tersebut dikarenakan sebagai pelaksana Pasal 59 ayat (8) Undang-Undang Ketenagakerjaan, perlu diatur lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Sehingga
pengaturan
mengenai
sistem
outsourcing menjadi lebih jelas sebab outsourcing dibuat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memiliki sifat sementara yang maka dari itu dibutuhkan pengaturan lebih lanjut agar hak-hak dan kewajiban pekerja outsourcing tetap terlindungi. 2.3.2. Pengaturan Outsourcing Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, kata outsourcing tidak disebutkan secara langsung, namun disebutkan sebagai “menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain”. Outsourcing sendiri merupakan istilah yang lazim digunakan dalam dunia bisnis dan industry dengan makna yang kurang lebih sama dengan maksud yang diuraikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing tersebut diatur pada Pasal 64, Pasal 65 yang terdiri dari 9 ayat, serta Pasal 66 yang terdiri dari 4 ayat. Pengaturan-pengaturan mengenai sistem outsourcing dalam UndangUndang Ketenagakerjaan ini mengalami perkembangan dari pengaturan yang
46
terdapat dalam KUH Perdata, dimana berawal dari persewaan pelayan dan pekerja yang dimasukkan kedalam buku III KUH Perdata dimana jasa pelayan atau pekerja disamakan dengan harta.34 Dengan pengaturan pada undang-undang, tujuan pengaturan lebih kearah pada aspek manusia atau perlindungan terhadap pekerja. 2.3.3. Hubungan Hukum Dalam Outsourcing Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan mempunyai
akibat
memberikan
peluang
hukum.35 kepada
Dalam
Undang-Undang
perusahaan
untuk
Ketenagakerjaan,
menyerahkan
sebagian
pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Selain itu terdapat beberapa syarat-syarat tertentu seperti perusahaan penerima pekerjaan harus berbentuk badan hukum sedangkan untuk perusahaan penyedia jasa pekerja, selain berbadan hukum juga harus terdaftar pada instansi ketenagakerjaan. Mengenai proses penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam sistem outsourcing, terdapat 2 (dua) hubungan hukum yang terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalam perjanjian yaitu : 1) Hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan penerima jasa pekerja atau perusahaan pemberi kerja; dan
34
Always Cahyo, 2012, “Perlindungan Hukum Outsourcing Tenaga Kerja”, http://angkringanindustrialrelation.blogspot.co.id/p/perlindungan-hukum-outsourcing-tenaga.html, diakses tanggal 4 Desember 2015. 35 Setiawan Widagdo, op.cit, hlm. 206.
47
2) Hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja/buruh. Hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan penerima jasa pekerja adalah dapat dituangkan melalui perjanjian kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian kerjasama tersebut dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian perusahaan penyediaan jasa pekerja (PPJP) yang harus dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Perjanjian yang dibuat haruslah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja yang berbadan hukum begitu pula dengan perusahaan penerima jasa pekerja. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah apabila terjadi perselisihan atau sengketa di bidang hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima jasa pekerja atau perusahaan pemberi kerja harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja/buruh timbul akibat adanya perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja yang merupakan tempat tenaga kerja tercatat sebagai pekerja dengan
48
perusahaan penerima jasa pekerja. Pekerja outsourcing yang ditempatkan di perusahaan penerima/pengguna jasa pekerja wajib mentaati Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku pada perusahaan tersebut. Namun jika dilihat lebih lanjut, peraturan perusahaan adalah peraturan yang berisi hak dan kewajiban bagi perusahaan maupun pekerja. Hak dan kewajiban tersebut timbul dikarenakan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dengan pekerja. Dalam rangka melaksanakan pekerjaan yang timbul dari perjanjian outsourcing, hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan penerima/pengguna jasa pekerja. Yang artinya
pekerja
tidak
memiliki
hubungan
hukum
dengan
perusahaan
penerima/pengguna jasa pekerja melainkan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja (perusahaan outsourcing tempatnya bekerja). Perusahaan penerima/pengguna jasa pekerja dengan pekerja tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Apabila ditinjau dari terminology hakikat pelaksanaan peraturan perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan penerima/pengguna jasa pekerja tidak dapat diterapkan untuk pekerja outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja (perusahaan outsourcing) dengan tenaga kerja outsourcing, sehingga seharusnya pekerja outsourcing menggunakan peraturan perusahaan penyedia jasa pekerja
(perusahaan
outsourcing)
bukannya
penerima/pengguna jasa pekerja outsourcing.
peraturan
perusahaan