BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DEPENALISASI TERHADAP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA 2.1 Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi 2.1.1 Pengertian Penalisasi Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang, dengan sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikatagorikan sebagai perbuatan terlarang atau tindak pidana. Langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman sanksi pidana bagi perbuatan tersebut. Norma pelanggaran tersebut dengan kebijakan kriminalisasi yang kemudian diikuti dengan penalisasi dan ancaman pidana yang teringan sampai dengan yang terberat atau pidana.1 Kebijakan penalisasi terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat dalam cabang ilmu lain, secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi meniscayakan pembahasan mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak pidana dan sanksi pidana merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana.2 Dalam kajian mengenai kriminalisasi terdapat beberapa asas yang digunakan, dimana asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. Dalam konteks kriminalisai, asas diartikan 1
Paul Ricardo, Upaya Penanggulangan Penyalahguna Narkotika oleh Kepolisian, http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/Salman%20Luthan.pdf, diakses pada 27 Oktober 2015. 2 Ibid
sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana.3 Ada tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya yakni: a) Asas legalitas b) Asas subsidiaritas c) Asas persamaan/kesamaan Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, dan dari kriminalisasi tersebutlah muncul penalisasi yang menentukan sanksi apa yang sesuai terhadap perbuatan pidana tersebut.4 2.1.2 Pengertian dan Tujuan Depenalisai Pengertian depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Di dalam proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti sosial itu kepada reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang
3
Ibid Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h, 34
4
termasuk kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan. Demikian pula perbuatan zina dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi diluar proses peradilan.5 Pengertian depenalisai dalam masalah narkotika dibutuhkan pemahaman khusus, salah satu pengertian yang dilakukan oleh Badan Pemerintah Pusat Uni Eropa yang mengkordinasi data kebijakan obat atau European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA), mendefinisikan depenalisasi sebagai berikut.6 Depenalisation means the use of drugs remains a criminal offense, but a prison sentence will not be imposed on the ownership or use even when other criminal sanctions (example, mulct, police records, probation) is possible. Artinya, depenalisasi berarti penggunaan obat tetap menjadi pelanggaran pidana, tetapi hukuman penjara tidak lagi dikenakan atas kepemilikan atau penggunaan bahkan ketika sanksi pidana lain (misalnya, denda, catatan polisi, masa percobaan) tetap dimungkinkan. Kebijakan depenalisasi ini digunakan untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan yang pada awal mula sanksinya adalah sanksi pidana penjara kemudian dirubah menjadi sanksi lain yang berupa tindakan atau treatment demi tercapainya tujuan yang lebih baik lagi. Kebijakan depenalisasi ini tepat digunakan pada tindak pidana narkotika yaitu masalah pecandu dan penyalahgunaan narkotika yang pada awalnya sanksi pidana dijatuhkan kepada pecandu dan penyalahguna kemudian diganti menjadi sanksi lain yang berupa tindakan yaitu rehabilitasi. Kebijakan depenalisai pada pecandu dan korban penyalahguna narkotika sangat penting untuk
5 Supardi. Pro dan Kontra Pidana Mati terhadap Tindak Pidana Narkoba. http/www.bnn.go.id/konten. diakses pada 28 Oktober 2015. 6 Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Nasional Peduli Anti Narkoba dan Tawuran, Membangun Paradigma Dekriminalisasi korban pengguna Narkotika, http://www.gepenta.com, diakses pada 28 oktober 2015. Glenn Greenwald.
diberlakukan karena di Indonesia sendiri jumlah pecandu dan penyalahguna narkotika semakin bertambah dari tahun ke tahun.7 2.2. Tinjauan Umum Tentang Narkotika 2.2.1 Pengertian Narkotika Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis, yang berarti menidurkandan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkam yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa–apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.8 Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulakan rasa mengantuk atau merangsang.9 Sarjono, dalam patologi sosial, merumuskan definisi narkotika sebagai berikut :narkotika adalah bahan–bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran.10 Smith Kline dan French Clinical memberikan definisi narkotika sebagai berikut : Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine, codien, heroin) and synthetic opiates (meperidin, methadone).
7
Amanda Jesicha Nadia Putri, 2015, Kebijakan Depenalisasi tentang Penanganan Pecandu dan Korban Penyalhgunaan Narkotika Oleh Hakim Melalui Lembaga Rehabilitasi, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/, diakses pada 2 November 2015. 8
Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, h. 78 Ibid 10 Ibid h. 79 9
Narkotika adalah zat–zat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja memengaruhi sususan pusat saraf. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu, seperti morpin, cocain dan heroin atau zat-zat yang dibuat dari candu, seperti (merpidin dan methadone).11 Narkotika dalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penutunan atau penambahan kesadaran, hilannya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pada pemberitaan di media massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang menggunakan narkotika ditemukan sudah meregang nyawa dalam penggunaan dosisnya yang berlebihan/over dosis. Terdengar pula baimana seorang anak tega menghabisi nya orang tuanya hanya karena tidak diberi uang padahal sang orangtua mungkin tidak menyadari kalau si anak adalah pecandu narkotika. Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya penggunaan narkotika yang perlu ditanggulangi lebih komprehensif. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa ternyata narkotika sudah dikenal manusia sejak abad prasejarah.kata narkotika pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Kurang lebih tahun 2000 SM di Samarinda ditemukan sari bunga Opion atau kemudian lebih dikenal dengan sebutan opium (candu = papavor somniferitum). Bnga ini tumbuh subur di daerah tinggi
11
Anonim, 2004, Illicit Drugs Policy Using Evidence to get better outcomes,Sydney, Royal Australasian Coleege Of Physicians, The Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrists and Grow Self Help/Mutual Support Group, h. 12
diatas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah kedaerah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. 12 Sampai saat sekarang ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkotika dan obat-obat terlarang, misalnya dari Bandar/pengedar terhitung banyaknya upaya pemberantasan narkoba yang sudah dilakukan oleh pemerintah, namun masih susah untuk menghindarkan narkotika dan obat–obat terlarang dari kalangan remaja maupun dewasa.13 Menjadi bayangan yang telah terewajantahkan dalam bentuk yang mengerikan dimana anak-anak pada usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sudah banyak yang menggunakan bahkan membantu mengedarkan atau memang mengedarkan/menjual narkotika dan obat –obat terlarang.14 2.2.2 Jenis–Jenis Narkotika Zat/obat yang dikatagorikan sebagai narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai sebagai berikut.15 a. Narkotika Golongan I (narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkat ketergantungan), yang menurut lampiran UU. No 35 Tahun 2009 terdiri dari : 1. Tanaman Papavar Someniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya;
12 AR.Sujono, Bony Daniel, 2013, Komentar & Pembahasan Undang –Undnag Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Jakarta, h. 3 13 Ibid 14 Ibid h. 4 15 Ibid h. 49
2. Opium mentah, yaitu getah yag membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya; 3. Opium masak terdiri dari : I.
Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau
tanpa penambahan bahan–bahan lain,
dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan; II.
Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;
III.
Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman yang dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya; 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menhasilkan kokain secara langsung atau melalui oerubahan kimia; 6.
Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina;
7. Kokaina, metal ester-1-bensoil ekgoniba; dan lainnya.16 b. Narkotika golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
16
Ibid
pengetahuan serta mempunyai poyensi tinggi mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU No.35 Tahun 2009 terdiri dari17: alfasetilmetadol, alfameprodina, alfaprodina,
alfentanil,
benzilmorfina, dekstromoramida,
allilprodina,
betameprodina, diampromida,
anileridina,
betaprodina,
asetilmetadol,
betasetilmetadol,
dietilitiambutena,
difenoksilat,
benzetidin, bezitramida, difeknoksin,
dihidromorfina, dimefheptanol, dimenoksadol, dimetiltiambutena, dioksafetil butirat, dipipanona, dan lainnya.18 c. Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU No. 35 Tahun 2009 terdiri dari19: asetilidihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokedeina, etilmorfina, codeína, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari narkotika dalam golongan terssebut diatas, campuran atau cedían difeknosin dengan bahan lain bukan narkotika, campuran atau cedían difeknoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.20 2.3 Pengertian Penyalahguna Narkotika 2.3.1 Pengertian Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 memberi penjelasan mengenai penyalahguna guna. “Penyalah guna yang dimaksud ádalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.” Jika diintepretasikan maka seluruh oknum yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum baik dari
17
Ibid h. 52 Ibid h. 53 19 Ibid h. 56 20 Ibid h. 57 18
golongan I, II atau III adalah Penyalah Guna Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal di bagian ketentuan pidana pada UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan klausul “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum” baik dari menggunakan, menyediakan, meyimpan dan lain sebagainya adalah merupakan Penyalah Guna Narkotika. Pada Pasal 7 Undng-Undang Noi. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”selanjutnya di dalam Pasal 8 Undang-Undang tersebut lebih membatasi penggunaan Narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan hukum sesuai dengan Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut. 2.3.2 Pecandu narkotika Pasal 1 angka 13 menyatkan “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.” Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, definisi ketergantungan adalah: perihal hubungan sosial seseorang yang tergantung kepada oranglain atau msyarakat dan kedaan seseorang yang belum dapat memikul tanggng jawab sendiri. Jadi bila kalimatnya adalah
“ketergantungan narkotika” maka dapat diartikan individu bersangkutan tergantung kepada narkotika baik secara fisik maupun psikisdimana individu bersangkutan belum dapat memikul tanggungjawab sendiri dikarenakan kondisinya yang masih dalam ketergantungan. Secara umum pemakaian napza di masyarakat ditentukan oleh tiga factor, yaitu : a. Khasiat : Zat tersebut harus memiliki khasiat terhadap penggunanya. Misal, parasetamol yang memiliki khasiat mengurangi nyeri akan dikonsumsi seseorang yang sedang sakit kepala.21 b. Individu : Sebelum mengonsumsi suatu zat, seorang individu umumnya mengalami kondisi atau sedang berada dalam kondisi tertentu, baik biologis maupun psikologis. Kondisi-kondisi yang mungkin bisa diatasi dengan mengonsumsi suau zat, misalnya mengantuk, sakit kepala, bengkak (biologis), rasa penasaran, tertantang, kecemasan (psikologis).22 c. Sosial : Lingkungan social juga turut menentukan zat yang dikonsumsi seorang individu. Sebagai contoh, seseorang yang tinggal di daerah yang masyarakatnya lebih akrab dengan pengguna daun jambu daripada norit sebagai obat sakit perut akan mengkonsumsi daun jambu untuk mengatasi sakit tersebut. Pengaruh lingkungan social ini tidak hanya berupa kebiasaan masyarakat, namun bisa saja berbentuk rekomendasi tabib, pengiklakanan, ritual, dan lain–lain.23
21 22
Patri Handoyo, Op.cit., h. 42 Patri Handoyo, Op.cit., h. 42
23
Patri Handoyo, Op.cit., h. 43
Ketiga faktor itu saling terkait, dengan kata lain satu faktor tidak dapat berdiri sendiri ketika suatu zat sudah di identifikasi khasiatnya oleh suatu masyarakat.24 Berikut sejumlah latar penggna napza, kerap pula ditasbihkan sebagai Continuum of Drug Use dimulai dari tidak pakai sama sekali (absistensi) hingga ketergantungan. a. Tidak Pakai (absistensi) b. Eksperimental (coba-coba). Pengguna ini menggambarkan penggunaan untuk pertama kalinya ataupun kalau berulang, jangka pendek. Kebanyakan napza yang digunakan anak-anak remaja masuk ke katagori ini. Anak muda sering mencoba suatu zat karena penasaran atau untuk mengetahui sesuatu yang baru dan berbeda. c. Rekreasioonal/Sosial: Para penggunanya memilih zat-zat yang sesuai dengan tujuan untuk bersenang-senang dan menggunakannya bersama teman atau berlatar social. Obat-obatan pesta seperti ekstasi dan ganja biasanya digunakan untuk tujuan ini. Beberapa orang yang dikarena sudah bekerja dari senin hingga jumat, di khir pecan dating ke bar atau diskotek untuk mengkonsumsi alcohol atau ekstasi bersama teman-temannya. Senin paginya kembali bekerja hingga jumat. d. Kebiasaan : konsumsi zat-zat legal seperti rokok, alcohol, tapi sering menjadi kebiasaan seseorang. Kategori penggunaan ini khususnya ketika penggunanya mengonsumsi dosis yang terukur selama satu hari, missal : sebungkus rokok atau dua cangkir kopi sehari.25 e. Keadaaan/Situasional : kategori pengguna ini ditentkan keadaan seseorang , missal : sakit perut, ingin terjaga karena sedang ronda (siskamling), ingin memuaskan pasangan seks, sakit kulit, dan lain-lain. f. Ketergantungan : seseorang yang ketergantungan tidak dapat berhenti menggunakan suatu zat tanpa mengalami bentuk penderitaan mental atau fisik. Ini kategori penggunaan yang paling sering dipublikasikan. Hal ini terjadi pada peminum kopi, perokok, alkoholik, dan pecandu.26
24
Patri Handoyo, Op.cit., h. 43 Patri Handoyo, Op.cit., h. 44 26 Patri Handoyo, Op.cit., h. 45
25