BAB II PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA
A. Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia terkait dengan Tindak Pidana Narkotika Konvensi Internasional merupakan salah satu bentuk dari perjanjian Internasional. Secara sederhana Perjanjian Internasional dapat diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 59 Dari pengertian yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa konvensi memiliki akibat hukum terhadap subjek hukum yang terikat dalam Perjanjian Internasional tersebut. Perkembangan pengaturan hukum mengenai narkotika di Indonesia tidak terlepas dari akibat hukum dari berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, hampir semua negara di dunia terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. 60Konvensi-Konvensi Internasional tentang Narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia antara lain: Convention on Psychotrophic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971) dan United Nation Convention Against Illicit Traffic
59
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Alumni, 2003 ) hal.117 60 AR. Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hal.8
Universitas Sumatera Utara
in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 ). J.G Starke membagi Perjanjian Internasional ke dalam 2(dua) jenis berdasarkan pengaruhnya yaitu: 61 a. Traktat-Traktat “ yang membuat hukum” (law making treaty), yang menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum; b. “ Traktat-traktat kontrak” (Treaty contracts) misalnya, suatu traktat antara dua atau hanya beberapa negara, yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan khusu yang secara ekslusif menyangkut negara-negara ini. Berdasarkan pembagian tersebut maka kedua Konvensi yang diratifikasi Indonesia tersebut termasuk ke dalam “ law making treaty” karena kedua konvensi tersebut secara tidak langsung telah menjadi sumber hukum terhadap pengaturan narkotika baik dalam masyarakat internasional maupun hukum nasional Indonesia. Kedua konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional Indonesia lewat cara aksesi yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang. Convention
on
Psychtrophic substances 1971 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971). Sedangkan diratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997.
61
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001) hal.51
Universitas Sumatera Utara
Ratifikasi memiliki arti yang penting dalam dunia Hukum Internasional. Dalam Pratek modern, ratifikasi lebih penting dari sekedar konfirmasi saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh suatu traktat. 62 Keterikatan akibat ratifikasi tersebut juga memberi pengaruh terhadap perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap narkotika di Indonesia. Pengaruh hukum Internasional terhadap hukum pidana nasional juga dinyatakan oleh Romli Atmasasmita dalam pendapatnya mengenai defenisi Hukum Pidana Internasional berikut: “Pengertian yang kedua dari hukum pidana internasional ini adalah menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional (treaties) atau dari kewajiban-kewajiban negara-negara yang diatur di dalam hukum kebiasaan internasional” 63 1. Convention on Psychotrophic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971)
Perkembangan teknologi dan transportasi yang kiat pesat membuat peredaran psikotropika dan narkotika menjadi kejahatan yang bersifat transnasional serta berdimensi internasional. Melihat hal tersebut, masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama, tindakan, serta koordinasi universal melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa
62
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001) hal.601 Romli Atmasamita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Eresco, 1995),
63
hal.29
Universitas Sumatera Utara
Perhatian masyarakat internasional terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia merupakan faktor utama yang mendorong terciptanya konvensi ini. Perhatian terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia tersebut menuntut perhatian secara khusus terhadap psikotropika yang memiliki dua sisi. Dalam mukadimah konvensi ini diakui bahwa satu sisi psikotropika sangat bermanfaat bagi dunia medis dan ilmu pengetahuan sehingga ketersediaannya perlu dijamin. Namun di sisi lain, psikotropika sangat berbahaya jika disalahgunakan karena selain merusak tubuh si penyalahguna juga dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang sangat pelik. Atas dasar pertimbangan di atas maka dibuatlah Convention on Psychotrophic substances 1971. Convention on Psychtrophic substances 1971 juga mengatur mengenai
Kebijakan
Hukum
Pidana
untuk
memaksimalkan
pencegahan
penyalahgunaan narkotika.
a. Tinjauan umum terhadap Convention on Psychotropic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971) Convention on Psychtrophic substances 1971 merupakan hasil kesepakatan dari 71 negara yang mengikuti The United Nations Conference for the Adoption of a Protocol on Psychotropic Substances di Vienna pada tanggal 11 January sampai 21 February 1971.Konvensi ini sendiri dilaksanakan berdasarkan resolusi The United Nations Economic and Social Council (Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa) Nomor 1474 (XLVIII), tanggal 24 Maret 1970.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971 ) terdapat delapan pokok pikiran yang mendorong lahirnya Konvensi Psikotropika 1971 yaitu : 1. Perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia 2. Perhatian terhadap kesehatan masyarakat dan masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. 3. Tekad untuk mencegah dan memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika 4. Pertimbangan bahwa tindakan yang tepat diperlukan untuk membatasi penggunaan psikotropika hanya untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan. 5. Pengakuan bahwa penggunaan psikotropika untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan sangat diperlukan sehingga ketersediannya perlu terjamin. 6. Keyakinan bahwa tindakan efektif untuk memerangi penyalahgunaan psikotropika tersebut memerlukan koordinasi dan tindakan yang universal. 7. Pengakuan adanya kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melakukan pengawasan psikotropika dan keinginan bahwa badan internasional yang melakukanpengawasan tersebut beradadalam kerangka organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. 8. Pengakuan bahwa diperlukan konvensi internasional untuk mencapai tujuan ini. Indonesia menjadi bagian dari konvensi ini melalui piagam aksesi tanggal 02 Desember 1996 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
Universitas Sumatera Utara
menteri luar negeri Ali Alatas yang saat itu menjabat yang kemudian di ratifikasi melalui 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971 ). Indonesia menganggap materi dalam Konvensi Psikotropika 1971 selaras dengan usaha pemerintah dalam mengendalikan peredaran dan penyalahgunaan psikotropika bahkan memperbesar kemungkinan kerjasama dengan negara-negara lain dalam melakukan pengawasan serta pemberantasan peredaran psikotropika. Sementara dari aspek kepentingan dalam negeri dengan menjadi pihak pada konvensi tersebut Indonesia dapat lebih mengkonsolidasikan upayanya dalam mencegah dan melindungi kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda, terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. Secara umum pokok-pokok materi yang diatur dalam konvensi psikotropika 1971 adalah : 1. Pengertian Di dalam Konvensi ini yang dimaksud dengan psikotropika adalah setiap bahan, baik alamiah maupun sintetis, sebagaimana tertuang di dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV yang dilampirkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Konvensi ini. Psikotropika ini mempunyai manfaat untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan, tetapi dapat menimbulkan kecenderungan untuk disalah-gunakan sehingga akan dapat mengganggu kesehatan dan menimbulkan masalah sosial lainnya. 2. Lingkup Pengawasan
Universitas Sumatera Utara
Para Pihak diminta aktif melakukan pengawasan terhadap psikotropika yang terdapat dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV. Selain psikotropika yang tercantum di dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV tersebut agar Para Pihak juga diminta aktif melaporkan beserta data pendukungnya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila mempunyai informasi berkenaan dengan psikotropika yang belum berada di bawah pengawasan internasional, yang menurut pendapatnya perlu dimasukkan ke dalam Daftar Psikotropika. Demikian pula apabila diperlukan pemindahan dari satu golongan ke golongan lain ataupun penghapusan dari daftar. 3. Penggunaan, Penandaan, dan Periklanan Penggunaan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau diberikan oleh tenagalain yang diberi wewenang. Untuk keselamatan pemakai, diperlukan penandaan mengenai petunjuk penggunaan dan peringatan yang dicantumkan pada kemasan psikotropika. Periklanan psikotropika bagi masyarakat umum pada prinsipnya dilarang. 4. Perdagangan Internasional Para pihak diminta agar produksi, perdagangan, pemilikan, dan pendistribusian psikotropika yang tertuang pada Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV didasarkan atas izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Berkenaan dengan psikotropika dalam Daftar Psikotropika Golongan I, II, III, dan IV, Para Pihak diminta agar produsen dan semua yang diberi we-wenang untuk memperdagangkan dan mendistribusi psikotropika, menye-lenggarakan pencatatan
Universitas Sumatera Utara
yang menunjukkan rincian, jumlah yang dibuat, psikotropika yang ada dalam sediaan, nama penyalur, dan penerima. Konvensi ini menghendaki agar Para Pihak melakukan pengaturan yang sebaik-baiknya berkenaan dengan ekspor impor Psikotropika. Para Pihak melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dapat menyatakan bahwa negara tersebut melarang pemasukan ke dalam negaranya atau salah satu wilayahnya, psikotropika yang tercantum dalam Daftar Psikotropika Golongan II, III dan IV. 5. Tindakan untuk Pertolongan Pertama dan Keadaan Darurat Psikotropika yang termasuk dalam Daftar Psikotropika Golongan II, III, dan IV, yang dibawa melalui pengangkutan internasional untuk tujuan pertolongan pertama pada kecelakaan atau untuk keadaan darurat, tidak dianggap sebagai kegiatan ekspor-impor atau perlintasan melalui negara. 6. Pemeriksaan Para Pihak akan menegakkan suatu sistem pemeriksaan atas para produsen, eksportir, importir, serta distributor psikotropika, sarana pelayanan kesehatan dan lembaga ilmu pengetahuan yang menggunakan psikotropika tersebut. 7. Pelaporan Kewajiban Para Pihak melaporkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai : a. Penerapan Konvensi di negaranya, perubahan-perubahan penting dalam hukum dan peraturan perundang-undangan psikotropika;
Universitas Sumatera Utara
b. Nama-nama pejabat pemerintah dan alamat yang menangani perda-gangan internasional psikotropika; c. Kasus lalu-lintas gelap atau penyitaan dari lalu-lintas gelap yang dianggap penting; d. Ekspor, impor, dan produksi.
8. Pencegahan Penyalahgunaan Para Pihak akan mengambil langkah pencegahan penyalahgunaan psikotropika, identifikasi dini, pengobatan dan rehabilitasi secara terkoordinasi serta akan meningkatkan kemampuan personal melalui pelatihan. 9. Peredaran Gelap Dengan memperhatikan sistem konstitusi, hukum, dan administrasinya, Para Pihak akan melakukan pencegahan penyalahgunaan dengan : a. Membuat peraturan-peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk kepada suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut; b. Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap psikotropika; c. Mengadakan kerja sama antar Para Pihak dan organisasi internasional yang berwenang. 10. Penerapan Ketentuan Tentang Pengawasan Yang Lebih Ketat
Universitas Sumatera Utara
Para Pihak dapat mengambil langkah pengawasan yang lebih ketat atau lebih tegas daripada yang ditetapkan dalam Konvensi ini, dengan tujuan untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara menurut H.Siswanto dalam bukunya Politik Hukum Pidana dalam Undang-Undang Narkotika, substansi materi konvensi tentang psikotropika yang berkaitan dengan aspek hukum internasional sebagai bahan pengaturan psikotropika dalam undang-undang nasional adalah diantaranya :
64
a. Masalah perizinan dalam kaitannya dengan tindakan pengawasan psikotropika Golongan II,III, dan IV dan menngatur tentang ketentuanketentuan perdagangan internasional meliputi izin ekspor-impor psikotropika, b. Ketentuan-ketentuan khusus mengenai pengangkut psikotropika dalam kotak obat pertolongan pertama di kapal laut, pesawat terbang, atau sarana angkutan umum lain yang melaksanakan lalu-lintas internasional. c. Mengatur masalah pemeriksaan terhadap para produsen, eksportirimportir, pedagang besar, distributor, lembaga medis dan lembaga ilmu pegetahuan. d. Mengatur tentang tindakan-tindakan penyalahgunaan psikotropika termasuk tindakan terhadap peredaran gelap dengan memperhatikan sistem perundangan, hukum, dan pemerintah negara yang bersangkutan. e. Mengatur tentang ketentuan-ketentuan pidana.
b. Kebijakan Hukum Pidana dalam Convention on Psychotropic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971) Ketentuan Pidana dalam Convention on Psychotropic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971) tercantum dalam Pasal 22. Meskipun demikian, halhal yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana tidak hanya terpaku pada pasal 64
Siswanto. S, Politik Hukum Pidana dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), ( Jakarta: Rineka Cipta, 2012 ) hal.34
Universitas Sumatera Utara
22 konvensi tersebut. Secara garis besar kebijakan hukum pidana dalam konvensi tersebut yang juga mempengaruhi perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana psikotropika dan narkotika di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Penggolongan psikotropika ke dalam IV golongan sesuai dengan manfaat dan dampak penyalahgunaan masing-masing psikotropika tersebut. Pada umumnya jenis psikotropika yang termasuk golongan I merupakan psikotropika yang tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis serta menimbulkan potensi ketergantungan dan kerusakan yang sangat tinggi apabila disalahgunakan. Jenis psikotropika yang termasuk dalam golongan II adalah psikotropika yang dapat digunakan
untuk
kepentingan
medis
namun
masih
memiliki
potensi
ketergantungan serta kerusakan yang cukup parah apabila disalahgunakan. Selanjutnya untuk golongan III dan IV digolongkan berdasarkan urutan besarnya manfaat dan tingkatan potensi kerusakan serta ketergantungan apabila disalahgunakan. Penggolongan ini merupakan salah satu langkah yang revolusioner
dalam
perkembangan
hukum
psikotropika
dan
narkotika.
Penggolongan tersebut membuat pengaturan mengenai psikotropika menjadi lebih sederhana dan sistematis. Sedangkan terhadap perkembangan hukum pidana psikotropika dan narkotika, penggolongan ini mendorong formulasi pemidanaan yang lebih efektif dan efisien. Perumusan tindak pidana terkait psikotropika maupun narkotika tentunya menjadi lebih cermat dan proporsional. Tindak pidana terkait golongan I tentu akan diancam dengan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana yang berkaitan golongan II, III, maupun
Universitas Sumatera Utara
golongan IV. Hal ini disesuaikan dengan asas ultimum remedium dalam hukum pidana yang mensyaratkan harmonisasi antara jahatnya perbuatan dengan beratnya sanksi. Penggolongan ini juga membuat hukum pidana psikotropika menjadi lebih kuat dan lengkap mengingat sudah digolongkannya 109 jenis psikotropika dalam konvensi ini. Dengan penggolongan yang sudah relatif banyak tersebut tentulah kepastian hukum serta eksistensi asas legalitas lebih terjamin. Namun di sisi lain, penggolongan ini sebenarnya dapat berakibat buruk dan melemahkan hukum pidana. Dengan adanya penggolongan tersebut, maka hukum pidana akan menjadi lebih kaku terhadap perkembangan jenis-jenis baru psikotropika ataupun narkotika. Potensi pelemahan tersebut sebenarnya sudah disadari oleh pihak yang menyepakati konvensi ini. Dalam article 2, paragraph 1Convention on Psychotropic Substances dinyatakan : “If a Party or the World Health Organization has information relat substance not yet under international control which in its opinion may the addition of that substance to any of that Schedules of this Conver shall notify the Secretary-General and furnish him with the information support of that notification.The foregoing procedure shall also apply Party or the World Health Organization has information justifying the tra a substance from one Schedule to another among those Schedules deletion of a substance from the Schedules.” Artikel tersebut mengamanatkan bahwa apabila para pihak memiliki informasi terkait psikotropika jenis baru yang berpotensi disalahgunakan, maka para pihak harus memberitahunya kepada Sekretatis Jenderal untuk selanjutnya mengalami proses penelitian oleh World Health Organization ( WHO ) apakah jenis tersebut dapat digolongkan psikotropika serta dimasukkan dalam golongan I, II, III, atau
Universitas Sumatera Utara
IV. Hal yang diutarkan dalam article 2, paragraph 1tersebut ternyata cukup efektif dalam mengatasi kelemahan penggolongan tersebut. Terbukti jumlah psikotropika yang digolongkan dalam konvensi tersebut meningkat cukup banyak dari 32 jenis pada saat pertama kali disahkan menjadi 109 jenis pada saat ini. Hal ini berarti para pihak sebagai subjek hukum dalam konvensi tersebut turut bersikap aktif dalam meminimalisisr kelemahan penggolongan psikotropika tersebut. Maka dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kelemahan dari suatu substansi peraturan hukum dapat ditutupi oleh para pihak terkait peraturan tersebut. 2. Convention on Psychotropic Substances mengharuskan para pihak merumuskan sebagai tindak pidana setiap tindakan sengaja yang bertentangan dengan peraturan hukum yang merupakan kewajiban dari konvensi tersebut sebagai tindak pidana. Hal ini membuat para pihak harus lebih detail merumuskan tindak pidana demi mengawal kewajiban-kewajiban yang merupakan amanat dari konvensi tersebut. Berbagai tindak pidana pasti akan dirumuskan mengingat begitu luas dan lengkapnya kewajiban para pihak yang diatur dalam konvensi psikotropika 1971. Kewajiban tersebut meliputi proses produksi, pelaporan, periklanan, penggunaan, penyalahgunaan hingga ekspor dan impor. Banyaknya kewajiban tersebut tidak hanya mengakibatkan banyaknya tidak pidana tetapi juga menuntut variasi rumusan delik. 3. Convention on Psychotropic Substances memprioritaskan pidana perampasan kemerdekaan. Article 22, paragraph 1 a menyatakan :
Universitas Sumatera Utara
“Subject to its constitutional limitations, each Party shall treat as a punishable offence, when committed intentionally, any action contrary to a law or regulation adopted in pursuance of its obligations under this Convention, and shall ensure that serious offences shall be liable to adequate punishment, particularly by imprisonment or other penalty of deprivation of liberty.” Prioritas penggunaan sanksi pidana tersebut mengandung kekurangan mengingat mulai maraknya peredaran gelap psikotropika ataupun narkotika yang bersifat transnasional yang sangat merugikan negara tujuan peredaran. Keuntungan yang sangat menjanjikan dari peredaran psikotropika ataupun narkotika membuatnya menjadi mata pencaharian dari para pengedar. Belum lagi masalah sosial dan kesehatan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika ataupun narkotika bahkan sampai bisa mengancam pembangunan suatu negara. Uraian-uraian kengerian di atas rasanya cukup untuk mengancam tindak pidana berat yang terkait psikotropika ataupun narkotika dengan hukuman mati. Keterbatasan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat eksekusi dari pidana perampasan kemerdekaan juga harus menjadi bahan pertimbangan dari memprioritaskan pidana perampasan kemerdekaan. 4. Pemberian tindakan ( maatregel ) sebagai langkah alternatif maupun tambahan pemidanaan berupa pengobatan, pendidikan, pascaparawatan, rehabilitasi dan resosialisasi. 5. Tindak Pidana yang dilakukan di beberapa negara yang berbeda dianggap sebagai suatu tindak pidana terpisah. Kebijakan ini dirumuskan demi menjamin bahwa pelaku tindak pidana transnasional mendapat pidana yang maksimal. Pertimbangan lain dirumuskannnya kebijakan ini adalah untuk menghindari lolosnya pelaku
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana psikotropika ataupun narkotika dari jeratan hukum pidana dengan memanfaatkan celah-celah hukum di berbagai negara. Keberadaan kebijakan ini juga harus ditanggapi dengan hati-hati karena dalam beberapa negara berlaku konsep “gabungan tindak pidana” yang jika diterapkan berpotensi meloloskan pelaku tindak pidana dari jeratan hukum pidana negara lain karena bertentangan dengan asas nebis in idem. 6. Penyertaan, Percobaan, Permufakatan jahat maupun pembantuan dalam melakukan tindak pidana sebagaimana yang diamanatkan dalam article 22 paragraph 1 konvensi psikotropika 1971 dapat dihukum. 7. Tindak Pidana terkait article 22 paragraph 1 konvensi psikotropika 1971 yang dilakukan di negara lain dianjurkan dapat dijadikan bahan pertimbangan residivisme untuk menentukan dasar pemberatan pidana. Kebijakan ini sangat baik untuk dilaksanakan oleh para pihak. Pengulangan tindak pidana menunjukkan tidak adanya perubahan ataupun kejeraan. Apalagi pengulangan tersebut dilakukan di negara yang berbeda yang mengindikasikan si pelaku semakin mengembangkan tindak pidana yang ia lakukan. Pemberatan atas dasar residivisme sudah sepatutnya dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana psikotropika ataupun narkotika. Namun demikian penerapan residivisme ini harus disertai dengan penyesuaian hukum nasional para pihak. Hal ini dikarenakan residivisme pada dasarnya merupakan pengulangan tindak pidana yang sejenis dalam kurun waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengklasifikasian tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana yang sejenis menjadi hal yang sangat krusial mengingat beragamnya sistem hukum pidan serta jenis-jenis delik yang dirumuskan masing-masing pihak. 8. Convention on Psychotropic Substances 1971 sangat mengedepankan asas territorial dalam pemberlakuan hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari article 22, paragraph 4 yang berbunyi : “The provisions of this article shall be subject to the provisions of the domestic law of the Party concerned on questions of jurisdiction” Namun dalam memberlakukan asas territorial Konvensi Psikotropika tidak terlalu kaku dengan tidak semata-mata membebankan kewenangan untuk menuntut tindak pidana psikotropika ataupun narkotika kepada pihak tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan ( locus delicti ). Dalam hal tindak pidana yang cukup serius, diberikan kewenangan penuntutan tehadap pihak dimana si pelaku ditemukan berdasarkan article 22 paragraph 2 (a) (iv) yang menyatakan: “Serious offences heretofore referred to committed either by nationals or by foreigners shall beprosecuted by the Party in whose territory the offence was committed, or by the Party inwhose territory the offender is found if extradition is not acceptable in conformity with thelaw of the Party to which application is made, and if such offender has not already beenprosecuted and judgement given.” Kebijakan ini patut diapreisasi karena selain sangat menghormati hukum nasional para pihak, juga dapat menghindarkan lolosnya si pelaku dengan melarikan diri ke negara lain sementara antar negara tersebut belum diadakan perjanjian ekstradisi. Namun demikian perjanjian ekstradisi merupakan hal yang krusial untuk dibuat demi menghindari sengketa mengadili pelaku tindak pidana. Yang terutama, para
Universitas Sumatera Utara
pihak harus menetapkan tindak pidana seperti apa yang patut di-ekstradisi-kan serta tindak pidana seperti apa yang dapat diadili di tempat pelaku ditemukan. 9. Melakukan penyitaan dan perampasan terhadap barang bukti berupa psikotropika hasil tindak pidana dan/atau alat-alat yang dipergunakan. Kebijakan ini seharusnya dilengkapi dengan “pemusnahan” barang bukti tersebut. Jika barang bukti psikotropika tidak dimusnahkan maka berpotensi untuk diselewengkan ataupun disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. 2. United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 ) Setelah disepakatinya Convention on Psychotropic Substances pada Tahun 1971, peredaran Narkotika semakin berkembang dan berbahaya.Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya pemakaian secara tidak sah bermacam-macam narkotika dan psikotropika. 65 Perkembangan tersebut ditandai dengan peningkatan yang signifikan terhadap produksi, permintaan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika bahkan anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar sasaran produksi dan distribusi perdagangan gelap. Peningkatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika tidak terlepas dari kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional yang beroperasi di berbagai negara dalam suatu jaringan kejahatan internasional. Hal iu dilakukan karena keuntungan yang diperoleh sangat
65
Ibid, hal.43
Universitas Sumatera Utara
besar,
organisasi
kejahatan
tersebut
berusaha
dengan
segala
cara
untuk
mempertahankan dan mengembangkan terus usaha peredaran gelap narkotika dan psikotropika
dengan
cara
menyusup,
mencampuri,
dan
merusak
struktur
pemerintahan, usaha perdagangan dan keuangan yang sah serta kelompok-kelompok berpengaruh dalam masyarakat. Maka untuk mengantisipasi peredaran gelap tersebut disepakatilah Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988.
a. Tinjauan Umum terhadap Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 ) Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 merupakan hasil kesepakatan 106 negara peserta konvensi di Wina, Austria pada tanggal 20 Desember 1988. Latar belakang utama yang mendorong lahirnya konvensi ini adalah rasa keprihatinan terhadap perdagangan gelap narkotika.Karena itulah Negara-negara peserta konvensi merasa perlu memberikan perhatian utama dan kesatuan tekad dalam memberantas peredaran narkotika. Indonesia meratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut diuraikan secara lebih teperenci
Universitas Sumatera Utara
mengenai pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances yaitu : 1. Masyarakat bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 2. Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula. 3. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, protokol 1972 Tentang perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan Konvensi Psikotropika 1971, perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 4. Perlunya memperuat dan meningkatkan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjsama internasional di bidang kriminal untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
b. Kebijakan Hukum Pidana dalam United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) Terkait kriminalisasi, Konvensi ini menganjurkan agar para negara peserta konvensi menetapkan sebagai kejahatan ( tindak pidana ) setiap peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Peredaran gelap yang dimaksud dalam konvensi ini adalah
Universitas Sumatera Utara
mencakup berbagai kegiatan terkait narkotika dari awal sekali yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu-lintas, pengedaran, pemakaiannya termasuk untuk pemakaian pribadi, bahkan organisasi serta aliran uang dari kejahatan narkotika tersebut. Kriminalisasi tehadap organisasi serta aliran uang terkait menunjukkan bahwa salah satu tujuan konvensi ini adalah untuk memberantas kejahatan narkotika yang semakin terorganisir sampai ke akar-akarnya. Hal ini dapat dilihat dari article 3 paragraph 1 United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 yang menyatakan : 1. Each Party shall adopt such measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally: a. i) The production, manufacture, extraction; preparation, offering, offering for sale,distribution, sale, delivery on any terms whatsoever, brokerage, dispatch,dispatch in transit, transport, importation or exportation of any narcotic drug orany psychotropic substance contrary to the provisions of the 1961 Convention,the 1961 Convention as amended or the 1971 Convention; ii) The cultivation of opium poppy, coca bush or cannabis plant for the purpose ofhe production of narcotic drugs contrary to the provisions of the 1961Convention and the 1961 Convention as amended; iii) The possession or purchase of any narcotic drug or psychotropic substance forthe purpose of any of the activities enumerated in i) above; iv) The manufacture, transport or distribution of equipment, materials or ofsubstances listed in Table I and Table II, knowing that they are to be used in orfor the illicit cultivation, production or manufacture of narcotic drugs orpsychotropic substances; v) The organization, management or financing of any of the offences enumeratedin i), ii), iii) or iv) above; b. i) The conversion or transfer of property, knowing that such property is derivedfrom any offence or offences established in accordance with subparagraph a) ofthis paragraph, or from an act of participation in such offence or offences, forthe purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or ofassisting any person who is involved in the commission of such an offence oroffences to evade the legal consequences of his actions; ii) The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,movement, rights with respect to, or ownership of property,
Universitas Sumatera Utara
knowing that suchproperty is derived from an offence or offences established in accordance withsubparagraph a) of this paragraph or from an act of participation in such anoffence or offences;” Kebijakan kriminalisasi dalam konvensi ini juga lebih memberikan perhatian khusus terhadap kejahatan perdagangan narkotika yang bersifat transnasional. Hal ini dapat dilihat dimana secara detail konvensi ini mengatur secara detail tentang “ commercial carriers pada article 15, illicit traffic by sea pada article 17, serta free trade zones and free ports pada article 18 “. Kebijakan kriminalisasi dalam Konvensi ini juga mengharuskan para pihak menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat berwenang lainnya yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), merupakan kejahatan serius, seperti: a. keterlibatan di dalam kejahatan dari kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; b. keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional; c. keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut; d. penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e. kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabtannya;
Universitas Sumatera Utara
f. .menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; g. kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial, atau tempat-tempat lain anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial; h. sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing Pihak; Semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika yang pada umumnya melibatkan sarana transportasi seperti kapal dan pesawat terbang membawa permasalahan terkait yurisdiksi.. Termasuk yurisdiksi negara manakah suatu kapal ataupun pesawat terbang yang sedang melintas?. Persoalan mengenai yurisdiksi ini menjadi hal yang semakin krusial mengingat yurisdiksi ini mempengaruhi hukum pidana yang akan diterapkan terhadap para pelanggar norma hukum pidana di atas kapal ataupun pesawat yang melintas. Untuk menjawab persoalan tersebut konvensi ini telah menyatukan serta memperluas pemahaman mengenai yurisdiksi tidak terbatas pada wilayah territorial suatu negara tetapi juga terhadap kenderaan yang berbendera salah satu negara para pihak. Dengan kata lain para pihak bertanggung jawab terhadap kenderaan yang didaftarkan di negaranya masing-masing. Pemahaman mengenai yurisdiksi ini sama persis dengan asas teritorial yang dianut dalam Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan hukum pidana mengenai pengenaan sanksi terhadap kejahatan dalam konvensi ini ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu lewat pengenaan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sendiri terdiri dari: pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan lainnya, denda serta perampasan atau penyitaan aset hasil kejahatan.. Perampasan ditujukan terhadap seluruh kekayaan sebagai hasil kejahatan dapat dirampas dan apabila hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka perampasan hanya dikenakan sebatas nilai taksiran hasil kejahatan yang telah tercampur. Namun demikian, perampasan tersebut baru dapat berlaku setelah diatur oleh hukum nasional Negara Pihak. Sanksi tindakan ( maatregel ) yang diatur dalam Konvensi ini yaitu antara lain: pembinaan, purnarawat, rehabilitasi, atau reintegrasi sosial. Dengan demikian kebijakan hukum pidana dalam konvensi ini di bidang pengenaan sanksi telah memungkinkan dikenakannya double track system. Lembaga peradilan atau pejabat (penyidik dalam hukum acara pidana Indonesia) diberikan kewenangan untuk memeriksa bahkan menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan
66
. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut
tidak dapat menolaknya dengan alasan kerahasiaan badan tersebut. Kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisikan dalam perjanjian ekstradisi yang diadakan di antara para Pihak.Apabila Para Pihak tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum ekstradisi bagi kejahatan yang termasuk dalam lingkup berlakunya pasal ini. 66
Ibid hal.48
Universitas Sumatera Utara
Konvensi ini juga mengatur mengenai kebijakan hukum pidana dalam kerangka kerjasama internasional. Konvensi ini mengenal mutual legal assistances atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia disebut bantuan hukum timbal balik. Para Pihak akan saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan, dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Bantuan Hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan: a. mengambil alat bukti atau pernyataan dari orang; b. memberikan pelayanan dokumen hukum; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. memeriksa benda dan lokasi; e. memberikan informasi dan alat bukti; f. memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan yang disahkan dan catatannya, termasuk catatan-catatan bank, keuangan, perusahaan, atau perdagangan; atau g. mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, perlengkapan atau benda lain untuk kepentingan pembuktian; Konvensi ini juga membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk mengalihkan proses acara dari negara satu ke negara lain. Pengalihan proses acara tersebut dapat dilakukan jika pengalihan proses acara tersebut dipandang perlu untuk kepentingan pelaksanaan peradilan yang lebih baik. Selain pengalihan proes acara,
Universitas Sumatera Utara
Konvensi ini juga mengatur mengenai pennyerahan yang diawasi ( controlled delivery ) terkait narkotika atau psikotropika. Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini, para pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya.Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetujuan Para Pihak yang bersangkutan, dapat diperiksa, dan dibiarkan lewat dengan membiarkan narkotika atau psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian. Menyadari kejahatan narkotika dilakukan secara terorganisir maka Konvensi ini mengharuskan para pihak untuk saling bekerjasama dalam memberantas kejahatan narkotika. Kerjasama bertujuan untuk meningkatkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum termasuk penerapan hukum pidana untuk memberantas kejahatan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini. Kerjasama tersebut meliputi : 1. membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masingmasing yang berwenang, untuk memudahkan pertukaran informasi;
Universitas Sumatera Utara
2. saling kerjasama dalam melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; 3. membentuk tim gabungan; 4. menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; 5. mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya termasuk pabean yang bertugas memberantas kejahatan tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini; dan 6. merencanakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.
B. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Dalam sub-bab sebelumnya telah diuraikan mengenai konvensi-konvensi Internasional mengenai Narkotika. Lahirnya beberapa konvensi dalam lingkup multilateral menandakan bahwa penyalahgunaan narkotika merupakan gejala global yang dihadapi oleh negara-negara di berbagai belahan dunia..Tampaknya gejala tersebut berpengaruh di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan bahkan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia pada awal tahun 1970 sudah meluas di semua lapisan masyarakat dan jenis narkotika beredar sudah semakin banyak. 67 Hal tersebut dapat dilihat dari masuknya masalah penyalahgunaan narkotika ke dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 kepada kepala Badan
67
AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hal.8
Universitas Sumatera Utara
Koordinasi Interlijen Nasional. 68Namun pelaksanaan Inpres tersebut dirasa masih belum
maksimal,
bahkan
mendorong
bangsa
Indonesia
berpikir
untuk
menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika peninggalan Belanda yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordannantie, Stbl.1927). Atas dasar itu, muncullah regulasi terkait narkotika hasil legislasi bangsa Indonesia yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Selanjutnya Indonesia terus berusaha menyempurnakan regulasi-regulasi narkotika untuk mengimbangi perkembangan dunia narkotika melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
1. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merupakan pengganti dari peraturan tentang narkotika zaman Belanda yaitu Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 Nomor: 28 jo No.53. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah sehubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya
68
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional untuk menanggulangi 6 (enam) pokok permasalahan nasional di antaranya adalah: 1. Pemberantasan uang palsu; 2. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; 3. Penanggulangan penyelundupan; 4. Penanggulangan subversi; 5. Pengawasan orang asing; Lihat Ibid, hal.8
Universitas Sumatera Utara
penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia. 69Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara umum dapat digambarkan sebagai berikut 70 : a. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. b. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut. c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya. d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan narkotika. e. Acara pidananya bersifat khusus. f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan narkotika. g. Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika. h. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP. i. Ancaman Pidana lebih berat.
a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. 69
Hari Sasangka, Op.Cit hal.165 Ibid hal.164
70
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan perundangundangan. 71 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976. Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula kriminalisasi di dalamnya. Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi menggunakan saran penal (hukum pidana) menyangkut 2 (dua) pokok pemikiran yaitu masalah penentuan: 72 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan; 2. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar. Dalam sub-bab ini akan fokus dipaparkan mengenai perbuatan apa saja yang dijadikan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang
71
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Nusa Media, 2011 )
hal.133 72
Ibid, hal.134
Universitas Sumatera Utara
Narkotika, sedangkan terkait sanksi akan dibahas secara khusus dalam sub-bab berikutnya.Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1. Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. ( Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1); 2. Perbuatan
secara
tanpa
hak
memproduksi,
mengolah,
mengekstraksi,
mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika ( Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2) ; 3. Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika ( Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3) ; 4. Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. ( Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 ); 5. Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika ( Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ) ; 6. Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 23 ayat 6 dan Pasal 36 ayat 6 ); 7. Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri ( Pasal 23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 );
Universitas Sumatera Utara
8. Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya; 9. Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976; 10. Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan ( Pasal 24 dan Pasal 40 ) ; 11. Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 42 ) ; 12. Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ( Pasal 42 ) ; 13. Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 43) ; 14. Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika ( Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 ). 15. Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang berwajib ( Pasal 48 ).
Universitas Sumatera Utara
16. Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran ( Pasal 50 ).
Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik. Kelemahan utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Hal ini menyebabkan Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai narkotika jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis narkotika yang belum diatur dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif terhadap kemunculan berbagai jenis narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.
Universitas Sumatera Utara
Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai pengawasan terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar belakang perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika seharusnya menjadi dasar yang cukup untuk meng-kriminalisasi-kan berbagai tindak pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.
b. Kebijakan Hukum Pidana terkait Pertanggungjawaban Pidana dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Pada umumnya dalam setiap rumusan delik dicantumkan unsur kesalahan baik itu dalam bentuk kesengajaan (opzet ) ataupun dalam bentuk kealpaan ( culpa). Hal ini sesuai dengan asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ yang umumnya dikenal dalam ilmu hukum pidana. Ilmu Hukum Pidana juga mengenal bahwa syarat pemidanaan adalah unsur objektif dan unsur subjektif. Hal tersebut berusaha dirumuskan oleh A.Z. Abidin sebagai berikut: 73 Actus reus (delictum) – perbuatan criminal sebagai syarat pemidanaan objektif
73
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.90
Universitas Sumatera Utara
Mens rea – pertanggungjawaban criminal sebagai syarat pemidanaan subjektif A ditambah B= C (syarat pemidanaan) Pertanggungjawaban pidana sering juga disebut sebagai kesalahan dalam arti luas dan. Andi Hamzah menyatakan bahwa Kesalahan dalam arti luas meliputi:74 1. Sengaja, atau 2. Kelalaian (culpa); 3. Dapat dipertanggungjawabkan Ditambahkan lagi oleh Andi Hamzah bahwa ketiga-tiganya merupakan unsur subjektif atau jika kita mengikuti golongan yang memasukkan unsur kesalahan dalam arti luas ke dalam pengertian delik (strafbaar feit). 75 Namun dalam beberapa rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak dicantumkan unsur kesengajaan maupun kealpaan. Sebagai contoh dalam Rumusan Pasal 36 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Barangsiapa secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja”
Satu sisi dapat dipahami bahwa unsur kesalahan dalam pasal tersebut telah tersirat dalam unsur “ tanpa hak” yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut. Peniadaan unsur “ kesengajaan” memang dapat menguntungkan para penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana narkotika serta memperkecil kemungkinan para
74
Ibid hal. 103 Ibid,
75
Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana untuk berkelit. Pelaku dianggap bersalah apabila tidak memiliki hak/izin dalam memiliki, menyimpan atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. Namun di sisi lain, sebenarnya metode perumusan ini berpotensi menghukum pelaku yang tidk bersalah. Metode perumusan seperti ini ada baiknya ditinjau kembali demi menjaga asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga dicantumkan rumusan delik dengan bentuk kesalahan “ kesengajaan” yaitu : a. Dokter yang dengan sengaja menggunakan dan memberikan narkotika kecuali untuk pengobatan ( Pasal 40 ) b. dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika ( Pasal 45 ). c. Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika ( Pasal 46 ). Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika terdapat tindak pidana dengan kesalahan dalam bentuk kelalaian yaitu kelalaian yang menyebabkan terjadinya perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja di atas tanah yang dimilikinya ataupun yang dikuasainya.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan mengenai pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai korporasi sebagai subjek hukum. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 42 dan Pasal 49 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam Pasal 42 secara tegas disebutkan “pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan” sebagai unsur “subjek” dari tindak pidana tersebut. Sementara dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika diatur secara umum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi jika melakukan tindak pidana narkotika. Pasal 49 menyebutkan : “Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.” Jika merujuk pada redaksi pasal 49 tersebut, maka ada dua tujuan pencantuman pasal tersebut yaitu : a. Memperluas subjek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak hanya sebatas manusia (natural person ) tetapi juga mencakup korporasi ( legal person ) b. Mempertegas pengenaan pertanggungjawaban pidana apabila dilakukan oleh korporasi ( legal person ) maka dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengurus/manusia ( natural person ) dan/atau korporasi ( legal person ).
Universitas Sumatera Utara
Tujuan yang tercantum dalam poin a sebagaimana diuraikan di atas kiranya agak sukar tercapai mengingat penggunaan redaksi kata “ Barangsiapa” dalam mayoritas rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Penggunaaan kata “ Barangsiapa” merupakan terjemahan dari kata “hij”yang lazim digunakan dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) agaknya lebih mengarah kepada manusia ( natural person ). Hal tersebut dapat disimpulkan dari :76 1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah : barangsiapa, warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Penggunaan istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2-9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur terutama dalam Pasal 44-45, 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang antara lain mensyaratkan kejiwaan petindak/pelaku. 3. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang.
Pasal 1 yang merupakan ketentuan umum dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak mencantumkan pengertian dari “Barangsiapa” tersebut. Maka penggunaan redaksi kata “ Barangsiapa” menjadi multitafsir apakah hanya merujuk pada manusia (natural person) ataukah merujuk juga pada korporasi (legal person) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tersebut. Perumusan korporasi sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika patut diapresiasi karena merupakan suatu langkah yang
76
Mohammad Eka Putra, Op.Cit hal.23
Universitas Sumatera Utara
sangat esensial dan revolusioner dalam hukum pidana Indonesia terkhusus dalam penanggulangan tindak pidana narkotika. Perumusan korporasi sebagai subjek hukum menyebabkan korporasi tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana bahkan lebih jauh dapat dikenakan sanksi pidana. Pengenaan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi menjadi kian krusial mengingat bahwa tindak pidana narkotika sudah meulai dilakukan secara terorganisisr, transnasional dan canggih. Oleh karena itu hukum pidana harus beradaptasi untuk memberantas hal tersebut. Pentingnya pertanggungjawaban korporasi tersebut dapat dilihat dari uraian Mohammad Ekaputra sebagai berikut: “ Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (Corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (Crimes for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana ( corporate criminal responsibility )”
c. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan pidana.77 Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan 77
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.5
Universitas Sumatera Utara
perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.
78
Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan
mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer berikut mengenai sanksi pidana: 79 1) Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana; 2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya; 3) Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.
Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu: a. 1. 2. 3. 4. 5.
Pidana Pokok yaitu: pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; pidana tutupan.
b. pencabutan hak-hak tertentu; 1. perampasan barang-barang tertentu; 2. pengumuman putusan hakim. 78
Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.1 Tongat,Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004) hal.9 79
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa sanks pidana (straf) tetapi juga sanksi tindakan (maatregel). Untuk memberdakan antara sanksi pidana dengan maatregel dapat dipakai pendapat Roeslah Saleh berikut sebagai pedoman: “Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidan, sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah untuk dididik di dalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit.” 80
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi
yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk
memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.
80
Mohammad Eka Putra, Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal.9
Universitas Sumatera Utara
2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (4) dan (5) sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976. 3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merumuskan dua (2) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif. 4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika ( pelaku yang melanggar pasal 36 ayat (7) ) dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian undang-undang nomor 9 tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan. 5. Percobaan ( poging ) melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari
Universitas Sumatera Utara
aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan ( poging ). 6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 1/3 dengan batasan maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasa 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) . 7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 (dua) bagi pelaku yang melakukan pengulangan ( recidive ) terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7). 8. Pencabutan hak terhadap importir, Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang diundangkan pada tanggal 1 September 1997 dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67 serta tambahan Lembaran Negara Nomor 3698. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya , karena adanya
Universitas Sumatera Utara
perkembangan kualitas kejahatan yang sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.81 Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapid an sangat rahasia.82 Selain itu, Indonesia juga sudah terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika yang mengharuskan Indonesia menyesuaikan hukum nasionalnya dengan Konvensi tersebut. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang diperberat. 83 Pembentukan 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sejak awal pembentukannya dari bentuk masih Rancangan Undang-Undang memiliki semangat antara lain: 84 1. Undang-Undang Narkotika yang baru menggantikan 9 Tahun 1976 tentang Narkotika harus mampu melahirkan persamaan persepsi, mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika beserta akibat yang ditimbulkannya, baik terhadap perseorangan dan masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara; 2. Harus mampu mencegah, menghentikan dan sekaligus memberantas semua bentuk peredaran dan perdagangan gelap narkotika, serta bersama-sama dengan masyarakat internasional berupaya untu menanggulangi permasalahannya;
81
Gatot Supramono,Hukum Narkoba Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 2004 ) hal.155 Hari Sasangka, Op.Cit hal.166 83 Ibid 84 AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hal.13 82
Universitas Sumatera Utara
3. Harus mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat tanpa membedabedakan status dan kedudukan, untuk dapat menjamin terciptanya kepastian hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan, dalam peran sertanya menumbuhkankembangkan perwujudan disiplin nasional; 4. Harus mampu memberikan sanksi yang terberat terhadap pelanggar tindak pidana narkotika, baik yang dilakukan secara perseorangan, maupun secara kelompok, secara terorganisir maupun secara korporasi, dalam skala nasional, maupun internasional, sehingga bobot tindakan represif yang melekat pada undang-undang, mampu menghasilkan efek psikologis yang lebih nyata, untu digunakan sebagai sarana preventif; 5. Harus mampu menjamin terselenggaranya kelangsungan pengadaan narkotika secara legal yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan pelayanan kesehatan maupun pengembangan ilmu pengetahuan; 6. Harus mampu menjamin terselenggaranya upaya pengobatan dan rehabilitasi, bagi pasien yang mejadi korban penyalahgunaan narkotika; 7. Kesadaran bahwa bisnis narkotika secara ekonomis sangat menguntungkan dan menggiurkan sehingga dampak akibat dan sindroma apapun yang ditimbulkan olehnya tidak dipedulikan oleh pengedar dan jaringannya. Oleh karena itu, pengaturan dan pelaksanaannya secara ketat dan terpadu harus dapat benar-benar diberlakukan; 8. Kesadaran bahwa narkotika jika disalahgunakan bisa menjadi racun yang merusak fisik dan jiwa manusia. Apabila penyalahgunaan itu meluas disertai dengan peredaran gelap yang tidak terkendali, maka narkotika dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya generasi muda, dan memperlemah ketahanan nasional.
a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya Undang-Undang tersebut terutama tujuan pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika dan tujuan pemberantasan peredaran gelap narkotika.85 Hal tersebut memang sesuai dengan
85
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum… Op.Cit hal.188
Universitas Sumatera Utara
Konvensi Psikotropika 1971 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika 1988 yang telah diratifikasi Indonesia. AR.Sujono dan Bony Daniel mencoba mengelompokkan kejahatan yang menyangkut narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yaitu: 86 1. Menyangkut produksi narkotika. Di dalamnya diatur bukan hanya mengenai produksi narkotika, melainkan juga termasuk perbuatan dalam lingkup mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan menyediakan narkotika; 2. Menyangkut pengangkutan dan transito narkotika. Di dalamnya diatur perbuatan yang termasuk dalam kategori membawa, mengirim dan mentransito narkotika. Ada pula tindak pidana khusus ditujukan kepada nakhoda atau kapten penerbang karena tidak melakukan tugasnya dengan baik; 3. Menyangkut jual-beli narkotika. Tidak hanya kategori jual-beli dalam arti sempit, melainkan juga sudah termasuk dalam perbuatan ekspor,impor, tukar-menukar, menyalurkan dan menyerahkan narkotika; 4. Menyangkut penguasaan narkotika; 5. Menyangkut penyalahgunaan narkotika; 6. Menyangkut kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak melaporkan pecandu narkotika; 7. Menyangkut label dan publikasi narkotika; 8. Menyangkut proses hukum terhadap tindak pidana narkotika Adapun Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1.
Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan sehingga tindak pidana narkotika menjadi lebih lengkap, sistematis dan sederhana.
2.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika ( dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman) ( Pasal 78-79).
86
AR.Sujono, Bony Daniel, Op.Cit, hal.22
Universitas Sumatera Utara
3.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstasi, mengkonvensi, merakit, atau menyediakan narkotika ( Pasal 80)
4.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa mengirim, mengangkut, mentransito narkotika ( Pasal 81)
5.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. ( Pasal 82 )
6.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan, narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 84 )
7.
Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika untuk diri sendiri ( Pasal 85 )
8.
Orang tua/wali pecandu belum cukup umur yang sengaja tidak lapor. ( Pasal 86 )
9.
Pecandu sudah cukup umur atau keluarganya ( orang tua/wali) sengaja tidak lapor. ( Pasal 88)
10. Menggunakan anak belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika ( Pasal 87 ) 11. Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Pasal 89 ) 12. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan ( Pasal 92 )
Universitas Sumatera Utara
13. Nahkoda dan kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Pasal 93 ) 14. Penyidik ( PPNS/Polri ) yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ( Pasal 94 ) 15. Saksi yang memberikan keterangan tidak benar di muka siding pengadilan ( Pasal 95 ). 16. Melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah Indonesia ( Pasal 97 ). Pasal ini merupakan kekhususan dari berlakunya hukum pidana Indonesia di dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia ( Pasal 2-9 KUHP). Warga Negara Indonesia yang melanggar Pasal 78-84 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di luar wilayah Indonesia tetap dapat dihukum menurut peraturan hukum pidana Indonesia. Hal ini dikenal sebagai “ asas nasionalitas aktif “ . Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia sebenarnya telah menganut asas ini dalam Pasal 5 namun diperluas lewat Pasal 97 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 17. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak memberikan kualifikasi terkait tindak pidana narkotika dalam undang-undang tersebut. Tidak adanya penetapan kualifikasi yuridis dikhawatirkan akan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
masalah/konsekuensi yuridis dalam praktik,baik konsekuensi yuridis materiil maupun konsekuensi yuridis formal87. 18. Keseluruhan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika merupakan delik formil. Penggunaan satu jenis delik saja membuat formula kriminalisasi dalam Undang-Undang ini menjadi kurang efektif karena sama sekali tidak mempertimbangkan akibat-akibat materiil dari sebuah rumusan delik materiil. 19. Membuat perbedaan antara tindak pidana yang dimulai dengan permufakatan jahat dengan tindak pidana yang dilakukan dengan permufakatan jahat.
b.
Kebijakan Hukum Pidana terkait Petanggungjawaban Pidana dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sebagaimana telah dibahas dalam Sub-bab “Kebijakan Hukum Pidana dalam
Undang-Undang
Nomor
9
Tahun
1976
tentang
Narkotika”,
Kebijakan
pertanggungjawaban pidana meliputi subejk hukum serta kesalahan (unsur subjektif dari rumusan delik). Subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Manusia (natural person) .Hal ini tercermin dari penggunaan redaksi “Barangsiapa” serta perumusan sanksi pidana perampasan kemerdekaan yang hanya bisa diterapkan pada manusia. Selain manusia secara umum, terdapat juga delik yang diancamkan kepada manusia secara khusus yaitu: 87
Ibid hal.190
Universitas Sumatera Utara
a. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur, Pecandu narkotika yang belum cukup umur ( Pasal 86 ); b. Pecandu narkotika yang telah cukup umur, Pecandu narkotika yang telah cukup umur ( Pasal 88 ; c. Pengurus pabrik obat ( Pasal 89 ); d. Nakhoda maupun kapten penerbang ( Pasal 93) e. Penyidik baik Penyidik PPNS maupun Penyidik Polri ( Pasal 94 ); f. Saksi di muka persidangan ( Pasal 95 ); g. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan pabrik obat tertentu, pimpinan pedagang besar farmasi ( Pasal 99 ) 2. Korporasi ( Legal Person ) dapat dilihat dari rumusan Pasal 79 – 82 yang mengatur delik yang dilakukan oleh korporasi. Sebenarnya pengenaan redaksi “barangsiapa” untuk menggambarkan korporasi sebagai subjek tindak pidana kurang tepat sebagaimana telah diruaikan pada pembahasan sebelumnya. Namun hal ini tidak menjadi masalah yang terlalu krusial karena dalam uraian Pasal tersebut juga langsung disebutkan secara eksplisit apabila delik tersebut dilakukan oleh korporasi. Sebagai contoh dapat dilihat dalam rumusan Pasal 78 ayat (1) berikut : “ (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
Universitas Sumatera Utara
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Sementara dalam Pasal 78 ayat (4) tersebut diuraikan lebih khusus dan eksplisit jika delik tersebut juga mencakup korporasi sebagai subjeknya : “ (4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”
Rumusan tersebut tentu lebih baik dibandingkan rumusan yang dipakai dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika juga memberikan defenisi khusus tentang korporasi dalam Pasal (1) angka (19) yaitu : “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan “ Kesalahan dalam tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak berbeda jauh dengan rumusan kesalahan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dimana mayoritas tindak pidana tidak mencantumkan unsur kesalahan dalam arti bentuk baik kesengajaan (opzet) maupun kealpaan (culpa). Dalam rumusan tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 umumnya memakai unsur “tanpa hak dan melawan hukum “. Sebenarnya hal ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Boleh saja kita menganggap terpenuhinya unsur tersebut sudah cukup untuk menyatakan dapat dicelanya perbuatan tersebut. Namun niat batin berupa kesengajaan maupun kealpaan adalah unsur yang sangat mendasar dan pokok dari
Universitas Sumatera Utara
suatu tindak pidana. Jan Remmelink dalam Mohammad Eka Putra juga menyatakan hal yang senada yaitu : “Banyak unsur rumusan delik mencakup unsur-unsur yang sifatnya psikis, misalnya
dengan
maksud
(oogmerk),
kesengajaan
(opzet),
kelalaian/culpa
(onachtzaamheid). Dalam bentuk kejahatan, penyebutan unsur-unsur ini mutlak ada. Sebaliknya, dalam pelanggaran merupakan pengecualian.” 88 Berdasarkan uraian di atas, tidak dicantumkannya unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan dalam rumusan pasal perlu dipertimbangkan kembali demi menjaga nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Namun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika juga ditemuka 2 (dua) tindak pidana yang mencantumkam unsur kesengajaan yaitu Pasal 86 dan Pasal 88.
c. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak begitu berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dari segi jenis sanksi, sanksi yang digunakan dalam Undang-Undang22 Tahun 1997 tentang Narkotika berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan ( maatregel).
88
Mohammad Eka Putra,Dasar-Dasar Hukum…,Op.Cit, hal.108
Universitas Sumatera Utara
Sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda serta pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu kecuali untuk tindak pidana yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan perampasan hasil tindak pidana narkotika. Sedangkan sanksi tindakan (maatregel)
berupa : rehabilitasi yang meliputi pengobatan dan perawatan serta
pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana. Sanksi pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika umumnya diancamkan secara kumulatif bersama dengan pidana denda. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan hukuman sehingga menimbulkan efek jera yang lebih nyata dalam aplikasinya. Pemaksimalan hukuman tersebut dapat juga dilihat dengan adanya ancaman pidana minimal khusus (penjara maupun denda ) dalam ketentuan pidana Undang-Undang tersebut. Pemaksimalan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika semakin terlihat dengan adanya pemberatan terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan ( recidive ) Pemberatan ini dapat dikatakan sangat membebani para pelanggar mengingat cukup beratnya sanksi pidana yang diancamkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bervariasi: untuk pidana denda
berkisar
antara
Rp.1.000.000,00
(satu
juta
rupiah)
sampai
Universitas Sumatera Utara
Rp.7.000.000.000,00. (tujuh milyar rupiah) dan untuk pidana penjara berkisar antara 3 (tiga) bulan sampai 20 (dua puluh) tahun. Ketentuan lain mengenai kebijakan terkait sanksi pidana, pemidanaan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah dengan dipidananya Percobaan dan permufakatan jahat dengan ancamana yang sama dengan melakukan tindak pidana. Perumusan kebijakan terkait sanksi yang sangata memberatkan bagi pelanggar dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diharapkan dapat memaksimalkan peranan Undang-Undang ini dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.
3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 89Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika serta sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.Bahkan,
demi
mengefektifkan
pencegahan
dan
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). a. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut : 1. Sama seperti dalam Undang-Undang sebelumnya, narkotika dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah digolongkan ke dalam 3
89
Ibid, hal. 59
Universitas Sumatera Utara
(tiga) golongan berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan masing-masing golongan; 2. Mayoritas tindak pidana narkotika dirumuskan dengan konsep delik formil.Tidak ditemukan akibat konstitutif yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hanya Pasal 116, Pasal 121 dan Pasal 126yang dirumuskan dengan rumusan delik dengan akibat yang dikualifisir. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang larangan pemberian Narkotika golongan I, golongan II, maupun golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang lain untuk digunakan. Dalam Pasal-pasal tersebut terdapat akibat yang dilarang yaitu mati ataupun cacat permanennyaorang lain mati . Apabila akibat yang dilarang terjadi maka akan dikenakan pemberatan; 3. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam Undang-Undang ini apakah tergolong pada kejahatan atau pelanggaran; 4. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan adanya Pasal 145 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal tersebut mengatur bahwa ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
5. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan bukan tanaman, narkotika golongan II, golongan III( Pasal 111, 112, 117, 122); 6. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum emproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III ( Pasal 113, 118, 123 ); 7. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (Pasal 114, 119, 124 ); 8. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, Narkotika Golongan II, narkotika golongan III ( Pasal 115, 120, 125); 9. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain Narkotika Golongan II, narkotika golongan III ( Pasal 116, 121, 126); 10. Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain Narkotika Golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri (Pasal 127); 11. Perbuatan Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor (Pasal 128 );
Universitas Sumatera Utara
12. memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan,
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima,menjadi
perantara
dalam
jual
beli,
menukar,
ataumenyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatanNarkotikamembawa, mengirim, mengangkut, atau mentransitoPrekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. ( Pasal 129 ); 13. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 111-129 ( Pasal 131); 14. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika yang diatur dalam Pasal 111-126, dan Pasal 129. ( Pasal 133 ); 15. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut ( Pasal 134 ); 16. Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 45 ( Pasal 135 ); 17. Pencucian uang terkait Tindak Pidana Narkotika ( Pasal 137 ). 18. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan ( Pasal 138 ); 19. Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 ( Pasal 139 ) ;
Universitas Sumatera Utara
20. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan UndangUndang Noo 35 Tahun 2009 ( Pasal 140-142 ); 21. Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan ( Pasal 143 ) ; 22. Perbuatan pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan ( Pasal 147 huruf (a) ); 23. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan ( Pasal 147 huruf (b) ) 24. Perbuatan pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan ( Pasal 147 huruf (c) ); 25. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.( Pasal 147 huruf (d) ).
Universitas Sumatera Utara
b. Kebijakan Hukum Pidana terkait Pertanggungjawaban pidana dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebagaimana telah dijelaskan dan dibahas sebelumnya dalam sub-bab Kebijakan Hukum Pidana terkait Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika serta sub-bab Kebijakan Hukum Pidana terkait Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, kebijakan Pertanggungjawaban pidana meliputi subjek hukum dan kesalahan. Kebijakan Hukum Pidana terkait pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak begitu berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Subjek hukum dalam tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dengan redaksi “ setiap orang “. Jika dilihat dari perumusan tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang ini, redaksi “setiap orang” mengarah pada manusia (natural person) dan juga korporasi ( legal person) sebagai subjek hukum. Manusia sebagai subjek hukum dapat dilihat dari sanksi yang diancamkan dalam tindak pidana tersebut yaitu pidana mati dan pidana perampasan kemerdekaan yang hanya bisa diterapkan pada manusia. Meskipun manusia pada umumnya dirumuskan dengan redaksi “ setiap orang”, dalam undang-undang ini terdapat juga delik yang ditujukan terhadap manusia secara khusus yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, keluarga Pecandu Narkotika ( Pasal 134 ); 2. Pengurus Industri Farmasi ( Pasal 135 ); 3. Nakhoda atau kapten penerbang ( Pasal 139 ); 4. Pejabat penegak hukum ( Pasal 140-142 ); 5. Saksi yang dihadapkan di muka persidangan ( Pasal 143 ); 6. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotek, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan Industri Farmasi, pimpinan pedagang besar farmasi (Pasal 147); Sementara penggunaan korporasi sebagai subjek hukum dapat dilihat dari pasal 130 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berbunyi : 1.) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. 2.) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum Dari pasal tersebut secara eksplisit dapat kita simpulkan bahwa korporasi merupakan salah satu subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut juga memberikan pengertian tentang korporasi menurut Pasal 1 angka 21 yaitu :
Universitas Sumatera Utara
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” Selain korporasi yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, pengurus dari korporasi tersebut juga dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila memang terbukti melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 130 ayat (1) undang-undang ini. Maka demikian terkait korporasi terdapat 2 (dua) metode pertanggungjawaban pidana yaitu : 1. Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap keduanya yaitu baik korporasi maupun pengurusnya yang terlibat. 2. Pertanggungjawaban pidana dikenakan hanya terhadap salah satunya apakah terhadap korporasi saja ataupun hanya terhadap pengurusnya. Terkait kesalahan dalam rumusan dalam tindak pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga memiliki kesamaan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.Mayoritas rumusan delik dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak mencantumkan unsur kesalahan baik berupa kesengajaan ( opzet) maupun kealpaan ( culpa). Hal ini masih menjadi polemikmengingat dalam sistem hukum pidana civil law dikenal unsur subjektif sebagai syarat mutlak dapat dipidananya seseorang atau yang lebih sering disebut dengan“asas tiada pidana tanpa kesalahan”. Para pembentuk undang-undang masih menganggap bahwa unsur kesalahan sudah termasuk dalam unsur melawan hukum. Harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas
Universitas Sumatera Utara
pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum itu unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk ke dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.90 Dalam beberapa tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada yang sama sekali tidak mencantumkan baik unsur kesalahan berupa kesengajaan/kealpaan maupun unsur melawan hukum. Salah satu contohnya adalah pasal 138 berikut : “Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Rumusan pasal seperti ini tentu sangat berpotensi menghukum orang yang tidak bersalah. Walaupun demikian, masih terdapat rumusan pasal yang mencantumkan unsur kesengajaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu Pasal 131 tentang Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 111-129. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur mengenai alasan pemaaf terkait tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Alasan pemaaf ini yaitu berupa pelaporan terhadap pihak yang terkait dan telah menjalani rehabilitasi. Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 128 ayat (2) dan (3).
90
Siswanto , Op.Cit, hal.198
Universitas Sumatera Utara
c. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi, pemidanaan, dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kebijakan Hukum Pidana terkait sanksi pidana, pemidanaan, tindakan dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah: 1. Sanksi yang digunakan yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan (maatregel) 2. Untuk sanksi pidana meliputi pidana pokok yaitu berupa : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda serta pidana tambahan berupa: pencabutan hak tertentu terhadap korporasi berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. 3. Untuk sanksi tindakan (maatregel) berupa : rehabilitasi medis dan sosial serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia setalah menjalani sanksi pidana. 4. Jumlah/lamanya sanksi pidana bervariasi: untuk pidana denda berkisar antara Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Apabila kejahatan dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan pemberatan sebanyak 3(tiga) kali lipat dari pidana dendayang diancamkan. Dan untuk pidana penjara berkisar antara 1(satu) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun. 5. Sanksi pidana dirumuskan dalam 4 (empat) bentuk yaitu : 91 a. Dalam bentuk tunggal ( penjara atau denda saja ); b. Dalam bentuk alternatif ( pilihan antara penjara atau denda ); c. Dalam bentuk kumulatif ( penjara dan denda );
91
AR Sujono, Bony Daniel, Op.Cit hal.213
Universitas Sumatera Utara
d. Dalam bentuk kombinasi/campuran ( Penjara dan/atau denda ); 6. Terdapat ancaman pidana minimal khusus (penjara maupun denda); 7. Pemberatan terhadap tindak pidana berdasarkan pada jumlah ataupun narkotika, akibat yang ditimbulkan, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak yang belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan ( recidive )dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pemberatan ini dikecualikan terhadap pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun 8. Percobaan dan permufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan tindak pidana. 9. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindakpidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika,pelaku dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahunsebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
Universitas Sumatera Utara