SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA GOLONGAN I (Studi Kasus Pengadilan Militer III-16 Makassar Putusan No.50K/PM.III-16/AL/IV/2015)
OLEH : FHEMY ARISKA B 111 12 166
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
HALAMAN JUDUL
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA GOLONGAN I (Studi Kasus Pengadilan Militer III-16 Makassar Putusan No.50K/PM.III-16/AL/IV/2015)
SKRIPSI Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Oleh FHEMY ARISKA B 111 12 166
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i
ii
iii
iv
ABSTRAK FHEMY ARISKA (B11112166), dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Penyalahguna Narkotika Golongan I (Studi Kasus Pengadilan Militer III-16 Makassar Putusan No.50-K/PM.III-16/AL/IV/2015)”. Dibawah bimbingan Muhadar sebagai pembimbing I dan Nur Azisa sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap oknum prajurit TNI yang telah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I dalam putusan Nomor: 50-K/PM.III16/AL/IV/2015 dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana kepada oknum prajurit TNI yang telah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I dalam putusan Nomor: 50-K/PM.III-16/AL/IV/2015. Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar dengan lokasi di Pengadilan Militer III-16 Makassar. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung atau dengan teknik tanya jawab (wawancara) langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara membaca dokumen ataupun peraturan serta buku-buku literature yang beerhubungan dengan materi yang akan dikemukakan dalam skripsi. Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah bahwa (1) Pertanggungjawaban pidana dalam putusan hakim dengan nomor perkara 50-K/PM.III-16/AL/IV/2015, dengan dakwaan yang diberikan oleh Oditur Militer kepada Terdakwa dengan sanksi pidana pokok berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Hal ini karena Terdakwa telah terbukti dalam proses pemeriksaan di dalam persidangan telah memenuhi unsure-unsur rumusan delik tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Perbuatan Terdakwa mengandung unsure kesalahan dan kemampuan mempertanggungjawabkan pidananya. Hal ini terbukti bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana secara sengaja dan dalam keadaan jiwa dan pikiran yang sehat. (2) Pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa dalam menjatuhkan pemidanaan telah tepat karena Hakim dalam perkara No. 50-K/PM.III-16/AL/IV/2015 menjatuhkan pemidanaan berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya alatalat bukti tersebut mendukung fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang meyakinkan Hakim bahwa tindak pidana penyalahguna narkotika golongan I yang dilakukan oleh Terdakwa benar-benar terjadi.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT, karena atas petunjuk serta hidayah-Nya lah sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan. Juga berkat bimbingan-Nya pula sehingga dalam proses penulisan skripsi ini, berbagai rintangan baik fisik maupun mental berhasil diatasi dengan sebaik-baiknya oleh Penulis. Salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini Penulis persembahkan kepada ibunda tercinta Ibu Hj. Asma Jufri yang dengan cinta dan kasih sayangnya membesarkan dan mendidik Penulis, dan doanya yang selalu menyertaiku agar tidak salah dalam mengambil langkah dan bisa menjadi orang yang sukses. Juga kepada ayahandaku tercinta Bapak H. Jufri yang telah membantu dan menafkahiku dalam menyelesaikan studi dengan penuh kesabaran dalam setiap keterbatasannya. Juga kepada kakakku Fheny Anggriyani S.Sos, Fhiqy Asjuwita S.Ked dan adikku tercinta Fhiqa Arismawidya yang telah memberikan banyak sumbangsih dalam penyelesaian skripsi ini.
vi
Penulis sebagaimana manusia biasa tentunya tidak luput dari kekurangan-kekurangan
dan
kesalahan
serta
keterbatasan
akan
pengetahuan, sehingga Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini, baik materi, teknis maupun penyusunan kata-katanya belum sempurna sebagaimana diharapkan. Namun demikian, Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat
bermanfaat. Akhir kata,
Penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam upaya penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada: 1.
Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.
2.
Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Ahmadi Miru, S.H., M.H selaku Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Syamsuddin Muhtar, S.H., M.H selaku Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3.
Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Nur Azisa, S.H., M.H selaku pembimbing II yang mengarahkan Penulis dengan baik sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, juga kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H, Bapak H. M. Imran Arief, S.H., M.S., dan juga
vii
kepada Bapak Dr. Abd. Asis, S.H., M.H. selaku tim Penguji Penulis
yang
telah
memberikan
masukannya
dalam
penyelesaian skripsi ini. 4.
Bapak Dr. Anshori Ilyas S.H. M.H., selaku Pembimbing Akademik Penulis yang selalu membantu dalam program rencana studi.
5.
Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin serta segenap
civitas akademika
Fakultas Hukum
Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan ilmu, nasehat, melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya. 6.
Teman-teman Petitum 2012 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
7.
Bapak Letkol Chk Moch. Suyanto, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya selama masa penelitian di Pengadilan Militer III-16 Makassar.
8.
Staf Pengadilan Militer III-16 Makassar yang membantu Penulis selama masa penelitian.
9.
Kepada Bapak Djabal Nur Basir, S.Si., M.Si. selaku supervisor KKN
UNHAS
Gelombang
90
Kecamatan
Ujung
Bulu,
Kabupaten Bulukumba . 10.
Kepada Kepala Kelurahan Caile, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba Bapak Andi Luthfi Manfaluthy, S,Sos., M.Si. beserta keluarga.
viii
11.
Teman-teman KKN UNHAS Gelombang 90 Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, khususnya teman-teman Posko Caile.
12.
Teman-teman Scietus 2012, Windy Kusrina, Amelia Ningsih, alm. Lucky Daniar Inggarvani, Iin Fitrianing Wulandari, Novita Dwi Anggraini, Dennis Irawan, Dhaniellas, Nasa Pakili.
13.
Teman-teman Neighbor’s Blanket Fiqhi Fitrianti Masri, A. Anugrah Tenri Ola, Intan Sari Kurnia Ramlin, Fenty Tesman.
14.
Teman-teman IG0 Tari, Septi, Cindy, Rama, Uzi, Ade, Alam, Arul, Wandy, Alul, Yudhi, Waris.
15.
Teman terspesial Andi Kanzul Chaer.
16.
Teman-teman Genggeus Intan, Tamy, Tari, Ayi, Ndole, dan teman-teman Eksmud Maipa, Kak Jaya, Intan.
17.
Teman-teman Kudu’s geng Nyoman Suarningrat, Ekarini Septiana, Andy Kiki Juliarno, Intan Sari Kurnia Ramlin dan Andi Nur Rezki Lestari.
Terakhir Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan kerendahan hati, Penulis terbuka menerima kritik yang membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini sehingga kedepannya dapat bermanfaat bagi kita semua.
ix
Akhir kata, tiada yang penulis patut ucapkan selain doa semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Ridho dan berkah-Nya atas amalan kita. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Makassar, Maret 2016 Penulis
x
DAFTAR ISI SAMPUL HALAMAN JUDUL .........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ............................
iv
ABSTRAK ......................................................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH ...............................................................
vi
DAFTAR ISI .....................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................
1
a. Latar Belakang ......................................................................
1
b. Rumusan Masalah ................................................................
6
c. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
d. Kegunaan Penelitian .............................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
8
A. Tindak Pidana .......................................................................
8
1. Pengertian Tindak Pidana ...............................................
8
2. Jenis – Jenis Tindak Pidana ...........................................
10
3. Unsur –Unsur Tindak Pidana ..........................................
14
B. Pidana dan Pemidanaan .......................................................
17
1. Arti Pidana dan Pemidanaan ..........................................
17
2. Teori Pemidanaan ...........................................................
19
3. Jenis – Jenis Pidana dan Pemidanaan ...........................
22
xi
C. Narkotika ...............................................................................
34
1. Pengertian Narkotika.......................................................
34
2. Jenis – Jenis Narkotika ...................................................
36
3. Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika .....................
37
D. Militer (Tentara Republik Indonesia) .......................................
39
1. Sejarah Militer (Tentara Republik Indonesia) ..................
39
2. Pengertian Militer ............................................................
45
3. Perkembangan Militer .....................................................
46
4. Tugas Pokok Militer (Tentara Republik Indonesia) .........
49
5. Tindak Pidana Militer.......................................................
50
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................
54
A. Lokasi Penelitian ...................................................................
54
B. Jenis dan Sumber Data .........................................................
54
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................
54
D. Analisis Data .........................................................................
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................... A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Penyalahguna Narkotika Golongan I Oleh Oknum Prajurit TNI Dalam Perkara No. 50K/PM.III-16/AL/IV/2015 .........................................................
56
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Atas Pelaku Penyalahguna Narkotika Golongan I yang Dilakukan Oleh Oknum Prajurit TNI Dalam Perkara No. 50-K/PM.III-16/AL/IV/2015 .......................................................................................... 60
xii
BAB V PENUTUP ...........................................................................
79
A. Kesimpulan ..........................................................................
79
B. Saran ....................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
83
LAMPIRAN .....................................................................................
86
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertahanan negara merupakan segala usaha yang di lakukan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta keselamatan segenap bangsa Indonesia dari segala bentuk ancaman, baik dari dalam (separatisme) maupun dari luar (kolonialisme) terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Pertahanan negara sejatinya adalah
elemen terpenting bagi kelangsungan negara. Terlebih lagi di Indonesia sebagai negara dengan struktur geografis negara kepulauan, dan memiliki sumber daya alam serta sumber daya
manusia yang besar, tentu
pertahanan negara menjadi hal yang mutlak untuk dijalankan dan harus diatur secara tepat. Pertahanan negara sendiri menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Salah satu alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentara Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), dan Tentara 1
Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama sebagai alat pertahanan negara, dimana tugas
pokok
dari
TNI
adalah
menegakkan
kedaulatan
negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Setiap anggota TNI haruslah memiliki sikap disiplin serta bisa menjadi panutan bagi masyarakat disekitarnya. Akan tetapi TNI juga merupakan manusia biasa, terkadang mereka melakukan perbuatan pribadi yang sifatnya buruk dan tercela. Pada era globalisasi, masyarakat akan berkembang mengikuti zaman, dimana perkembangan ini selalu diikuti proses penyesuaian diri dan terkadang dalam penyesuaian tersebut tidak terjadi keseimbangan seperti yang diharapkan. Dengan kata lain, di dalam tidak terjadinya keseimbangan terdapat pelanggaran norma-norma seperti terjadinya berbagai bentuk kejahatan. Misalnya tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Kini narkotika sudah tak asing lagi bagi masyarakat, mengingat begitu banyaknya yang memberitakan tentang penggunaan narkotika dari berbagai kalangan. Dalam kasus narkotika pada umumnya para pelaku tindak pidana tersebut terutama kelompok pemakai adalah orang-orang
2
yang berusia muda, bahkan ada juga yang melibatkan alat pertahanan negara. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika
telah merasuki
kalangan militer (TNI). Padahal sejatinya mereka merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dan merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, serta diharapkan mampu memberikan contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, mengingat TNI di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang berlaku. Namun dalam kenyataannya masih banyak anggota TNI yang melakukan tindak pidana tersebut. Pelanggaran yang dilakukan oleh setiap anggota TNI akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku, yaitu diproses dan diajukan ke pengadilan militer. Perbuatan yang melanggar hukum tersebut membawa konsekuensi bagi anggota TNI untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di dalamnya diatur sanksi hukumnya. Dengan undangundang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap oknum TNI yang telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Efektifitas berlakunya undang-undang ini sangatlah bergantung pada seluruh jajaran penegak hukum khususnya penegak hukum militer. Dalam hal ini seluruh instansi yang terkait
3
langsung, yakni penyidik Polisi Militer serta para penegak hukum militer lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh jajaran TNI guna
menegakkan
kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Peranan penyidik Polisi Militer bersama penegak hukum militer lainnya sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika di lingkungan TNI. Meningkatnya tindak pidana narkotika ini pada umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu : pertama, bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan. Kedua, janji yang diberikan narkotika itu menyebabkan rasa takut terhadap risiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Keadaan semacam itulah yang menyebabkan terciptanya kemudahan bagi terbentuknya mata rantai peredaran narkotika.. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, diharapkan dapat memberantas setiap penyalahgunaan narkotika di Indonesia, bagaimanapun besar pemanfaatan narkotika, selain untuk tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) dan kesehatan, maka setiap penyimpangannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Namun pada kenyataannya setelah berlakunya undang-
4
undang narkotika ini, tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan obatobat terlarang yang lain tampaknya masih juga belum dapat ditekan secara maksimal, baik kualitas maupun kuantitas, dan ini merupakan tugas serta tanggung jawab semua pihak guna mengatasinya.1 Dari banyaknya kasus penyalahgunaan narkotika, berikut merupakan contoh kasus adanya penyalahgunaan narkotika golongan I jenis shabu-shabu oleh oknum prajurit TNI yang bernama Agus Slamet dengan pangkat Serma Tku dari kesatuan Denmal Lantamal VI. Dari hasil pemeriksaan tes urine yang dilakukan di Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sulawesi Selatan ia terbukti telah mengkonsumsi Amphetamine (AMP), Methamphetamine (MET) yang terdaftar sebagai narkotika golongan I nomor urut 53 dan 61 dalam lampiran I UndangUndang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Serma Tku Agus mengetahui jika perbuatan mengkonsumsi narkotika atau menyalahgunakan narkotika jenis shabu-shabu tanpa seizin dokter atau petugas medis itu dilarang dan diancam oleh undangundang, namun terdakwa tidak mengindahkan larangan tersebut dan tetap mengkonsumsinya dengan alasan mengkonsumsi shabu-shabu untuk menghilangkan stress karena terlalu banyak memikirkan permasalahan hutang piutangnya. Perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dan diancam dengan pidana yang tercantum 1
Moh. Taufik Makaro, dkk, 2005, Tindak Pidana Narkoba, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, hlm.7
5
dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 26 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Pasal 190 ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Berangkat dari uraian diatas, mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji lebih jauh mengenai tindak pidana narkotika, sehingga penulis memilih judul “Pertanggungjawaban Pidana Penyalahguna Narkotika Golongan I (Studi Kasus Putusan Pengadilan Militer III-16 Makassar No.50-K/PM.III-16/AL/IV/2015)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakan g masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahguna narkotika golongan I oleh oknum prajurit TNI dalam Perkara No. 50-K/PM.III-16/AL/IV/2015 ? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan atas pelaku penyalahguna narkotika golongan I yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI dalam perkara No. 50-K/PM.III16/AL/IV/2015 ?
6
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap oknum prajurit TNI yang menyalahgunakan narkotika golongan I. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada oknum prajurit TNI yang menyalahgunakan narkotika
golongan
I
dalam
putusan
No
:
50-K/PM.III-
16/AL/IV/2015.
D. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana pada khususnya mengenai hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika oleh oknum prajurit TNI. 2. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi aparat militer khususnya prajurit TNI untuk tidak terjerumus dalam berbagai
bentuk
tindak
pidana,
khususnya
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA B. Tindak Pidana 1.
Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Pasal 1 KUHP
mengatakan
bahwa
perbuatan
yang
pelakunya
dapat
dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan didalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.2 Pengertian tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana adalah setiap perbuatan yang mengandung unsur-unsur : perbuatan tersebut dilarang oleh undangundang (mencocoki rumusan delik), memiliki sifat melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar.3 Tindak pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “Strafbaarfeit”, yang terdiri dari dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. “Straf” berarti pidana, “baar” berarti dapat atau boleh, “feit” adalah perbuatan.4
2
Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Jakart : Rajawali Pers, hlm.47 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Edication, hlm.28 4 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.69 3
8
Istilah Strafbaarfeit diterjemahkan oleh para pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah delik peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan diancam dengan pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat tersebut dikemukan oleh : 1. Moeljatno Bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang bilamana larangan tersebut tidak dipatuhi maka dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana. Dengan kata lain, kata Strafbaarfeit diartikan sebagai bentuk perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang tidak dibenarkan secara hukum dan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya5 2. R. Tresna Bahwa Tindak Pidana atau Strafbaarfeit adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.6 3. Hazewinkel Bahwa tindak pidana Strafbaarfeit merupakan suatu perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.7 Para ahli hukum dari Negara lain memiliki pendapat yang berbedabeda mengenai arti dari Strafbaarfeit, yaitu : 1. Simons 5
Ibid., hlm.71 Ibid., hlm.72 7 P.A.F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, hlm.172 6
9
Bahwa Strafbaarfeit adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. 2. Vos Strafbaarfeit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam pidana. 3. Pompe Bahwa Strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.8
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan , yaitu menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana. KUHPidana sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik ke dalam dua kelompok besar yaitu dalam Buku Kedua dan Ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan menurut sasaran yang hendak dilindungi oleh KUHPidana terhadap tindak pidana tersebut. Secara umum tindak pidana dapat dibedakan kedalam beberapa bagian : 8
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem- Patahaem, hlm.205
10
1) Kejahatan dan Pelanggaran KUHPidana menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya. Dalam perbedaan bahwa kejahatan merupakan rechtdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang. Di sini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan. 2) Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil) Pada umunya rumusan delik di dalam KUHPidana merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan kata lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 KUHPidana (pencurian), Pasal 160 KUHPidana (penghasutan) dan Pasal 209-210 KUHPidana (penyuapan). Jika seseorang telah melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik
11
pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu. Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya berada pada akibat yang di larang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. 3). Delik Dolus dan Delik Culpa Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan tersendiri di belakang. a. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas…dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada, seperti… diketahuinya, dan sebagainya. b. Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata… karena kealpaannya. Di dalam beberapa terjemahan
kadang-kadang
dipakai
istilah…
karena
kesalahannya. 4). Delik Commissionis dan Delik Omissionis Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan; to omit = meniadakan).
12
a. Delik commissionis tidak terlalu sulit untuk dipahami, misalnya berbuat, mengambil, menganiaya, menembak, mengancam dan sebagainya. b. Delik omissionis terdapat pada Pasal 522 KUHPidana (tidak datang menghadap ke pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 KUHPidana
(tidak
melaporkan
adanya
pemufakatan
kejahatan).9 5). Delik Aduan Delik aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan
atau
korban.
Dengan
demikian,
apabila
tidak
ada
pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu: a. Tindak Pidana Aduan Absolut, adalah tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya; b. Tindak Pidana Aduan Relatif, pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah merupakan jenis tindak pidana aduan. Jadi dasarnya tindak pidana aduan relatif merupakan tindak pidana laporan (tindak pidana biasa) yang karena dilakukan
9
Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm.57-60
13
dalam lingkungan keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan. c. Tindak Pidana Bukan Aduan, adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Soedarto, unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi 2 (dua), yaitu : a. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsure-unsur yang melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi : a)
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
b)
Niat atau maksud (Voornemen) dengan segala bentuknya pada suatu percobaan (Pogging) seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHPidana;
c)
Macam-macam maksud (Oogmerk) seperti yang terdapat misalnya
di
dalam
kejahatan-kejahatan
pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d)
Ada atau tidaknya perencanaan, merencanakan terlebih dahulu (Voorbedachte raad) seperti yang terdapat di dalam
14
kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHPidana; dan e)
Adanya perasaan takut yang antara lain terapat di dalam ratusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHPidana.
b.
Unsur Objektif Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan-keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur Objektif tindak pidana meliputi : a)
Sifat melanggar hukum atau wederrechttelicjkheid;
b)
Kualitas dari si pelaku;
c)
Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.10
Dalam KUHPidana, diketahui ada 8 unsur tindak pidana, yaitu : 1. Unsur tingkah laku; 2. Unsur melawan hukum; 3. Unsur kesalahan; 4. Unsur akibat konstitutif; 5. Unsur keadaan yang menyertai;
10
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, hlm.192-194
15
6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Menurut D. Simons, unsur tindak pidana adalah : 1)
Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2)
Diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld);
3)
Melawan hukum (onchmatig);
4)
Dilakukan dengan kesalahan (Met schuld in verband stand);
5)
Oleh
orang
yang
mampu
bertanggung
jawab
(Toerekeningsvatbaar person). 1. Ada perbuatan (Mencocoki Rumusan Delik) Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit), yakni : 1)
Perbuatan (feit) yaitu terjadinya kejahatan (delik);
2)
Perbuatan (feit) yaitu perbuatan yang didakwakan; dan
3)
Perbuatan (feit) yaitu perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat.
2. Ada sifat melawan hukum : Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum, yaitu: 1)
Menurut
Simons,
melawan
hukum
diartikan
sebagai
“bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak
16
orang lain, melainkan juga mencakup Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara. 2)
Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain”.
3)
Menurut Hoge Raad dengan keputusannya tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum artinya “tanpa wenang atau “tanpa hak”.
C. Pidana dan Pemidanaan 1. Arti Pidana dan Pemidanaan Menurut Van Hamel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah : “suatu penderitaan yang sifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.”11
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman, yaitu : “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman 11
Lamintang, 1994, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, hlm.47
17
dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.”12 Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakantiada lain adalah 22 berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana (strafbaar feit: tindak pidana), di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. Sedangkan pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict) maupun pelanggaran (wetsdelict).
12
Ibid. hlm.49
18
2. Teori Tujuan Pemidanaan Dalam hukum pidana, yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat teori yaitu: a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah
melakukan
penyerangan
dan
perkosaan
pada
hak
dan
kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi.
Tindakan
pembalasan
di
dalam
penjatuhan
pidana
mempunyai dua arah, yaitu : 1. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan). 2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan). Oleh sebab itulah dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. b. Teori relatif atau teori tujuan (doel teorien) Teori relatif atau tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan suatu tindakan yang dapat menimbulkan rasa takut
19
untuk melakukan kejahatan. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu: 1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking). 2. Bersifat memperbaiki (verbefering/reclasering). 3. Bersifat membinasakan (onscadelijk moken). Menurut sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu: 1. Pencegahan umum (general preventive) Teori pidana yang bersifat menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan pada orang-orang (umum) men jadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Khalayak menjadi takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dengan dilakukan di muka umum agar setiap orang akan mengetahuinya. Penjahat yang dipidana itu dijadikan tontonan orangbanyak dan dari apa yang dilihatnya inilah yang akan membuat semua orang takut berbuat serupa. 2. Pencegahan Khusus (special preventie) Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
20
mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam, yaitu : 1. Menakut-nakutinya; 2. Memperbaikinya; 3. Membuatnya menjadi tidak berdaya. Maksud menakut-nakuti adalah bahwa pidan harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya. Pidana yang dijatuhkan kepada orang yang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidak lagi diperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjad tidak berdaya atau bersifat membinasakan. c. Teori Gabungan (vernegings theorien) Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut: 1. Teori gabungan ini mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannyatata tertib masyarakat.
21
2. Teori golongan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
3. Jenis-jenis Pidana dan Pemidanaan Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHPidana) pemidanaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian jenis, yaitu : a. Pidana Pokok, yang terdiri dari : 1)
Pidana mati
2)
Pidana penjara
3)
Pidana kurungan
4)
Pidana denda
b. Pidana Tambahan, meliputi : 1)
Pencabutan hak-hak tertentu
2)
Perampasan barang-barang
3)
Pengumuman putusan hakim
Selain jenis sanksi sebagaimana tersebut diatas, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa dalam hukum pidana positif juga dikenal jenis sanksi berupa tindakan, misalnya : a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab karena jiwanya cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP)
22
b. Bagi anak yang belum berumur enam belas tahun melakukan tindak pidana,
hakim
dapat mengenakan
tindakan-tindakan
berupa: 1) Mengembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya 2) Memerintahkan
agar
anak
tersebut
diserahkan
kepada
pemerintah. c. Penempatan di tempat bekerja Negara (Landwerkinrichting) bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum. d. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi. Perbedaan antara pidana dan tindakan adalah bahwa pidana dimaksudkan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap kesalahan si
pembuat,
masyarakat
sedang terhadap
tindakan orang
dimaksudkan yang
untuk
melakukan
perlindungan
perbuatan
yang
membahayakan masyrakat dan untuk pembinaan dan perawatani pembuat. Secara dogmatic, pidana itu dikenakan kepada orang yang normal jiwanya atau orang yang mampu bertanggungjawab, sedang tindakan dikenakan kepada orang yang tidak mampu bertanggungjawab. Stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHPidana dalam bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan, yaitu:
23
1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan LN 1948 No. 77); 2. Ordonasi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749); 3. Reglemen Pendidikan paksaan (Stb 1917 No. 741); 4. UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan. KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. a. Pidana pokok, terdiri dari : 1. Pidana mati. Pidana mati adalah pidana yang terberat, diantara semua jenis pidana yang ada dan juga merupakan jenis pidana yang tertua, terberat dan sering dikatakan sebagai jenis pidana yang paling kejam. Di indonesia, penjatuhan pidana mati diancamkan dalam beberapa pasal tertentu dalam KUHP. Dalam hal ini, Adami Chazawi berpendapat bahwa kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat terbatas, seperti : a) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (104, 111 ayat (2), 124 ayat (3) jo 129). b) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau kejahatan dengan faktor-faktor pemberat (104 ayat (3), 340).
24
c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat (4), 368 ayat (2)). d) Kejahatan-kejahatn pembajakan laut, sungai dan pantai (444). Di luar ketentuan KUHP, pidana mati diancamkan pula dalam beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM),
dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika. Pidana mati dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 (PNPS) Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Menurut undang-undang tersebut Pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati.
2. Pidana penjara Pidana
penjara
merupakan
pidana
pokok
yang
berwujud
pengurangan atau perampasan kemerdekaan seseorang. Namun demikian, tujuannya hanya untuk memberikan pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan dengan memberikan penderitaan kepada terpidana karena telah dirampas atau dihilangkan kemerdekaan bergeraknya. Selain itu, juga untuk membina dan membimbing terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Adami
25
Chazawi, stelsel pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP, dibedakan menjadi : a) Pidana penjara seumur hidup, diancamkan pada kejahatankejahatan yang berat, yakni : 1. Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 368 ayat (2) KUHP, dan 2. Berdiri sendiri, dalam arti tidak sebagi alternatif pidana mati, tetapi sebagi alternatifnya adalah pidana sementarasetinggitingginya 20 (dua puluh) tahun, misalnya Pasal 106 KUHP dan Pasal 108 ayat (2) KUHP. b) Pidana penjara sementara waktu, ancamannya paling rendah 1 hari dan paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun [Pasal 12 ayat (2) KUHP]. Pidana penjara dapat dijatuhkan melebihidari 15 tahun secara berturutturut yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3) KUHP, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih : Apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun, misalnya Pasal 104, 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP; Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang diancam dengan pidana penjara maksimum 20 tahun sebagai alternatif pidana penjara maksimum 20 tahun sebagaialternatif pidana penjara seumur hidup [Pasal 106 KUHP dan Pasal 108 ayat (2) KUHP].
26
2. Dalam hal telah terjadi: perbarengan, atau pengulangan atau kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan Pasal 52 KUHP pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidanapenjara sementara, maksimum 15 tahun seperti Pasal 338 KUHP, Pasal 365 ayat (3) KUHP dan Pasal 140 ayat (1) KUHP.
3. Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya bisa dijatuhkan oleh hakim bagi orangorang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkanoleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran. Menurut Adami Chazawi, dalam beberapa hal pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara, yaitu sebagai berikut : a) Sama-sama berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak. b) Mengenal maksimum umum. Maksimum umum pidana penjara adalah 15 tahun yang karena alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, sedangkan maksimum pidana kurungan adalah 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum umumpidana penjara maupun pidana kurungan sama yaitu 1 hari. Sementara itu, maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri yang tidak sama bagi setiap tindak pidana,
27
bergantung diri pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan. c) Orang yang dipidana kurungan dan dipidana penjara diwajibkan untuk
menjalankan
(bekerja)
pekerjaan
tertentu
walaupun
narapidana kurungan lebih ringan daripada narapidana penjara. d) Tempat menjalani tempat pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (Pasal 28 KUHP). e) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai hukum tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa
memasukkan
terpidana
ke
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan. Akan tetapi, apabila pada saat putusan hakim dibacakan, terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam tahanan sementara, maka putusan itu mulai berlaku (dijalankan) pada hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (in karcht van gewijsdezaak).
4. Pidana denda Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran (Buku III) baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun
28
kejahatan culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternative dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri. Dalam praktik hukum selama ini, pidana denda jarang sekali dijatuhkan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif sajadalam rumusan tindak pidan yang bersangkutan. Kecuali tindak pidana itu memang hanya diancam pidana denda saja, sehingga tidak mungkin hakim menjatuhkan pidana lain selain denda. Berdasarkan hal tersebut, jika denda tidak dibayar maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurunganpengganti denda ini ditetapkan lamanya berkisar antara 1 hari sampai 6 bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas waktu maksimum 6 bulan ini dapat dilampaui sampai paling tinggi menjadi 8 bulan [Pasal 30 ayat (5) dan (6) KUHP]. Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, apabila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan pengganti.
5. Pidana tutupan
29
Pidana tutupan ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan”. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta segala sesuatu yang perlu melaksanakan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dalam PP No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan, tampaknya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaannya hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana. Pidana tutupan hanya dijatuhkan bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam undangundang maupun peraturan pemerintah, tidak dijelaskan tentang maksud yang patut dihormati. Karena itu dalam menilainya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
b. Pidana tambahan. Pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Oleh karena itu, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam
30
hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidaklah harus. Ada hal-hal tertentu dimana pidana tambahan bersifat imperiatif, yaitu dalam Pasal 259 bis, Pasal 261 dan Pasal 275 KUHP. Pidana tambahan disebut dalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari: 1. Pencabutan hak-hak tertentu Pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk delik-delikyang tegas ditentukan oleh undang-undang. Kadang-kadang dimungkinkan oleh undang-undang untuk mencabut berupa hak bersamaan dalam satu perbuatan, misalnya Pasal 350 KUHP. Lima jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu, pada pidana seumur hidup lamanya adalah seumur hidup. Pada pidana penjara atau kurungan sementara dan pidana denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidan pokoknya. Dalam pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling lam 5 tahun. Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan (Pasal 38 KUHP). Keistimewaan pencabutan hak ini adalah berlaku juga pada terpidana mati dapat berubah. Karena terpidana lari dari eksekusi atau juga mungkin mendapat pengampunan (grasi). Hak-hak yang dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP yaitu : a. Hak memegang jabatan pidana umumnya atau jabatan tertentu. b. Hak memasuki angkatan bersenjata.
31
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. d. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atau orang yang bukan anak sendiri. e. Hak menjalani kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri. f. Hak menjalankan mata pencaharian sendiri.
2. Perampasan barang-barang tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan dikenal sejak sekian lama. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang diperoleh karena kejahatan dan kedua adalah barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal itu, berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana dan adapun pengecualian terdapat di dalam Pasal 250 bis KUHP dan juga di dalam perundangundangan di luar KUHP. Dari ketentuan Pasal 250 bis KUHP tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal kejahatan mata uang, maka pidana perampasan menjadi imperiatif. Berbeda dengan yang umum dan bersifat kumulatif, dapat pula dirampas walaupun bukan kepunyaan terpidana.
32
Benda yang dirampas dieksekusi dengan jalan dilelang di muka umum oleh jaksa, kemudian harga disetor ke kas negara sesuai dengan pos hasil dinas kejaksaan. Kalau benda itu tidak disita sebelumnya, maka barang itu ditaksir dan terpidana boleh memiliki, menyerahkan, atau harganya berupa uang yang diserahkan. 3. Pengumuman putusan hakim Di
dalam
Pasal
43
KUHP
ditentukan
bahwa
apabila
hakim
memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan aturan tersebut di dalamnya atau aturan umum lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Contohnya sebagai berikut : a. Pasal 206 ayat (2) KUHP (menunjuk Pasal 204 dan Pasal 205 KUHP, yaitu menjual dan seterusnya, atau karena kealpaannya menyerahkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawaorang atau kesehatan orang). b. Pasal 261 KUHP (menunjuk Pasal 359 sampai Pasal 360 KUHP, yaitu karena kealpaannya menyebabkan orang mati atau luka berat). c. Pasal 377 ayat (1) KUHP (menunjuk Pasal 372, Pasal 374, dan Pasal 375 KUHP, yaitu kejahatn penggelapan), Pasal 395 ayat (1) KUHP [menunjuk Pasal 402 ayat (2) KUHP, yaitu kejahatan curang].
33
Berdasarkan delik-delik yang dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana ini adalah agar masyarakat waspada terhadap kejahatankejahatan seperti penggelapan, perbuatan curang dan sebagainya.
D. Narkotika 1)
Pengertian Narkotika Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat
yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruhu-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu : a. Mempengaruhi kesadaran; b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa : 1. Penenang; 2. Perangsang (bukan rangsangan sex);
34
3. Menimbulkan
halusinasi
(pemakainya
tidak
mampu
membedakan antara khayalaln dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).13 Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 angka 1 yaitu “ Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan bahwa : Yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zatzat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulant.14 Narkotika pada Pasal 4 V.M.O. staatblad 1927 No. 278 jo. No. 536 adalah tujuan pengobatan atau ilmu pengetahuan. Obat bius kecuali candu olahan, cocaine kasar, codeine hanya dapat diolah dan dikeluarkan oleh mereka yang ditentukan undang-undang, yaitu : 1. Apoteker dan ahli kedokteran; 2. Dokter hewan; 13
Soedjono D., 1976, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Bandung: PT. Karya Nusantara, hlm.1 14 Ibid., hlm.481
35
3. Pengusaha pabrik obat.15
2) Jenis-Jenis Narkotika Jenis narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terbagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu : 1. Narkotika Golongan I Jenis
narkotika
yang
hanya
dapat
digunakan
untuk
tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai
ketergantungan,
potensi
contohnya
sangat
seperti
tinggi
mengakibatkan
Papaversomnferum,
Opium,
Kokain, Ganja, Tetrahydrocannabinol.16 2.
Narkotika Golongan II
Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, contohnya seperti Morfina, Normorfina, Petidina, Rasemorfan, Tilidina.17 3.
Narkotika Golongan III
Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan,
15
Soedjono D., Op.Cit, hlm.150 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hlm.lampiran I 17 Ibid., hlm.lampiran I 16
36
contohnya seperti Etilmorfina, Kodeina, Nikokodina, Polkodina, Propiram.18
3) Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Penyalahgunaan
narkotika
merupakan
tindak
pidana
yang
mengancam keselamatan bagi si pemakai baik dari fisik maupun jiwa, ataupun lingkungan sekitarnya. Penyebab dari terjadinya penyalahgunaan narkotika adalah merupakan delik materiil, sedangkan perbuatannya untuk dituntut pertanggungjawaban pelaku, merupakan delik formil.19 Penyalahgunaan Narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat patologik dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial. 20 Apabila seorang dengan tanpa hak, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan narkotika merupakan suau tindak pidana khusus yang dapat diancam dengan sanksi hukum yang berat. Penyalahgunaan narkotika dan penyalahgunaan obat (drug abuse) artinya mempergunakan narkotika/obat yang baik untuk tujuan pengobatan.21 Para pengguna penyalahgunaan narkotika akan memiliki rasa ketagihan atau kecanduan terhadap narkotika yang telah mereka gunakan.
18
Ibid., hlm. Lampiran I M. Taufik Makoro, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.49 20 Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.2 21 M. Ridha Ma’ruf, 1976, Narkotika Masalah dan Bahayanya, Jakarta: CV. Marga Jaya, hlm.9 19
37
Kecanduan
tersebut
menimbulkan
ketergantungan
dimana
tubuh
mengalami proses secara psikologis membutuhkan narkotika. Moh. Taufik Makarao mengemukakan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal, antara lain : 1) Penyalahgunaan/melebihi dosis Hal ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain : b. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional; c. Menghilangkan rasa frustasi; c. Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
d.
Hanya sekedar ingin tau atau iseng;
2) Pengedaran Narkotika Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional; 3) Jual beli narkotika 4) Pada umumnya
dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari
keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.22
Undang-undang
Nomor
35
Tahun
2009
tentang
Narkotika
menentukan beberapa tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
22
Moh. Taufik Makarao, Op.Cit, hlm 44-45
38
Narkotika. Dalam Pasal 111 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang ketentuan pidana dikemukakan bahwa : 1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah) 2. Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melibihi 5 (lima) batang pohon, pelaku di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)
Pasal 127 ayat (1) disebutkan bahwa : 1. Setiap Penyalah Guna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
E. Militer (Tentara Nasional Indonesia) 1. Sejarah Militer (Tentara Republik Indonesia) Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober
39
1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongrongan-rongrongan baik yang berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka
melalui
Pepolit,
Biro
Perjuangan,
dan
TNI-Masyarakat:.
Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi
pergolakan
bersenjata
di
beberapa
daerah
dan
pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi
40
dan persenjataan yang lebih modern. Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat. Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang RI (APRI). Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain, campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di
41
Bandung
(pemberontakan
Angkatan
Perang
Ratu
Adil/APRA),
di
Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Pada
tahun
1958
Pemerintah
Revolusioner
Republik
Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional. Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa lainnya. Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan. Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politiknya.
42
Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI, mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya
bersama-sama dengan
kekuatan-kekuatan
masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia. Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya. Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Sementara itu,
ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal. Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD). Peran, Fungsi dan Tugas TNI (dulu ABRI) juga mengalami perubahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor: 34 tahun 2004. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI
43
sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Tugas
pokok
TNI
adalah
menegakkan
kedaulatan
negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok itu dibagi 2(dua) yaitu: operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Operasi militer selain perang meliputi operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang,
44
membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue) serta membantu pemerintah dalam pengamanan
pelayaran
dan
penerbangan
terhadap
pembajakan,
perompakan dan penyelundupan.23
2. Pengertian Militer Dalam lingkungan Militer ada yang disebut dengan Prajurit, Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan
dan
diangkat
oleh
pejabat
yang
berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, dan rela berkorban jiwa raga untuk negaranya, dan berperan serta dalam pembangunan nasional, dan tunduk pada hukum yang mengaturnya yaitu Hukum Militer. Militerisme di Indonesia yang didasarkan pada doktrin Sapta Marga dan Sumpah Prajurit merupakan manifestasi ideologi Pancasila yang harus dipahami bahwa militer tidak selalu melibatkan diri dalam kancah wilayah sipil.24 Pengertian Militer di Indonesia adalah kekuatan angkatan perang dari suatu Negara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan 23
http://tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html Supriyadi, 2009, Hubungan Sipil – Militer Bagi Kesejahteraan Rakyat (Civil Society – Military Relationships for Civil Society Welfare) , Spirit Publik Volume 5 Nomor 1 ISSN. 24
45
Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Bahwa seorang Prajurit Militer ditandai dengan mempunyai Nomor Registrasi Pusat (NRP), pangkat, jabatan, dan kesatuan didalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan Matranya lengkap dengan tanda Pangkat, Lokasi Kesatuan dan Atribut lainnya.
3. Perkembangan Militer (Tentara Republik Indonesia) Tentara Nasional Indonesia (TNI) terdiri dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima TNI, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan. Dalam
sejarahnya,
TNI
pernah
digabungkan
dengan
POLRI.
Gabungan ini disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang menggunakan slogan "Catur Dharma Eka Karma" disingkat "CADEK". Sesuai Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Peran POLRI maka pada tanggal 30 September 2004 telah disahkan RUU TNI oleh DPR RI yang selanjutnya ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Oktober 2004. Seiring berjalannya era reformasi di Indonesia, TNI mengalami proses reformasi internal yang signifikan. Di antaranya adalah perubahan doktrin "Catur" menjadi "Tri" setelah terpisahnya POLRI dari ABRI. Berdasarkan
46
Surat Keputusan Panglima TNI nomor Kep/21/I/2007, pada tanggal 12 Januari 2007, doktrin TNI ditetapkan menjadi "Tri Dharma Eka Karma", disingkat "TRIDEK". Pasal 5 Undang-Undang Displin Prajurit TNI, menegaskan bahwa pelanggaran disiplin prajurit adalah ketidaktaatan dan ketidakpatuhan yang sungguh-sungguh pada diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit. Selain doktrin, ada beberapa prinsip-prinsip TNI dalam menjalankan fungsi, tugas, kewajiban dan tanggungjawab, yang terdapat dalam KUHPM, yaitu: 1)
Sapta Marga TNI a. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. b. Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. c. Kami Kesatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan. d. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia. e. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.
47
f. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa. g. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit. 2) Sumpah Prajurit Demi Allah saya bersumpah/berjanji: a. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan. c. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan. e. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia. f. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeraskerasnya. 3) Wajib TNI Demi Allah saya bersumpah/berjanji : a. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat. b. Bersikap sopan santun terhadap rakyat.
48
c. Menjunjung tinggi kehormatan wanita. d. Menjaga kehormatan diri di muka umum. e. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. f. Tidak sekali-kali merugikan rakyat. g. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat. h. Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
4. Tugas Pokok Militer (Tentara Republik Indonesia) Tugas
pokok
Militer
adalah
menegakkan
kedaulatan
negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia dilakukan dengan: a. Operasi Militer untuk perang; b. Operasi militer selain perang yaitu untuk: i.
Mengatasi gerakan separatis bersenjata.
ii.
Mengatasi pemberontakan bersenjata.
iii.
Mengatasi aksi terorisme.
iv.
Mengamankan wilayah perbatasan.
v.
Mengamankan objek vital nasional yang bersifat stategis.
49
vi.
Melaksanakan
tugas
perdamaian
dunia
sesuai
dengan
kebijakan politik luar negeri. vii.
Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarga.
viii.
Memberdayakan
wilayah
pertahanan
dan
kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta. ix.
Membantu tugas pemerintahan daerah.
x.
Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
xi.
Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia
xii.
Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, pemberian bantuan kemanusiaan.
xiii.
Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan.
xiv.
Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan
terhadap
pembajakan,
perampokan,
dan
penyelundupan.
5. Tindak Pidana Militer Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota militer. Tindak pidana militer dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
50
1) Tindak Pidana Militer murni (Zuiver Militaire Delict) Tindak Pidana Militer Murni yaitu tindakan-tindakan terlarang atau yang diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. 2) Tindak Pidana Militer Campuran (Germengde Militaire Delict) Tindak Pidana Campuran (Gemengde Militaire Delict) yaitu tindakan-tindakan terlarang atau yang diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam Undang-Undang lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM karena adanya suatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat bahkan mungkin lebih berat dari ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan tersebut dalam pasal 52 KUHP. Sedangkan pembagian jenis tindak pidana menurut peradilan militer sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 6 Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) pemidanaan juga dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian atau jenis, sebagai berikut : a. Pidana Utama terdiri dari : 1) Pidana mati 2) Pidana penjara 3) Pidana kurungan
51
4) Pidana tutupan b. Pidana Tambahan terdiri dari : 1) Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk menjadi atau memasuki Angkatan Bersenjata atau TNI. 2) Penurunan pangkat. 3) Pencabutan hak-hak tertentu. Pidana penjara sementara atau pidana kurungan termasuk pidana kurungan pengganti yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer dijalani di bangunan-bangunan yang dikuasai oleh militer. Militer yang menjalani salah satu pidana tersebut, melaksanakan suatu pekerjaan yang ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan pengganti oleh para terpidana, dalam keadaan dan dengan cara yang ditentukan dengan undang-undang dapat dijalankan di suatu tempat lain sebagai pengganti dari bangunan yang seharusnya disediakan bagi penjalanan pidana tersebut. Apabila seorang dinyatakan bersalah karena melakukan suau kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana
52
tersebut dijalani sebagai pidana kurungan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan militer. Tata cara pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat dari dinas militer diatur dalam Pasal 26 KUHPM (1997 : 72), sebagai berikut : “1) Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata atau TNI, dapat dijatuhkan oleh hakim berbarengan dengan setiap putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada seorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan dipandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer. 2) Pemecatan tersebut menurut hukum yang berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari Angkatan Bersenjata atau TNI selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pension hanya akan hilang dalam hal-hal disebutkan dalam peraturan pension yang berlaku bagi terpidana. 3) Apabila pemecatan tersebut berbarengan dengan pencabutan hak untuk untuk memasuki Angkatan Bersenjata atau TNI, menurut hukum juga berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan memakai dan memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan, medali-medali atau tanda-tanda pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya yang dahulu.”
53
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Militer III-16 Makassar. Alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai lokasi penelitian ini adalah karena Pengadilan Militer III-16 Makassar merupakan tempat memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dalam objek kajian ini. B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden yang berasal dari pengamatan dan wawancara dengan pihakpihak yang berkompeten dibidangnya. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi dokumen yang dihimpun dari undang-undang, buku-buku, arsip atau sumber lain yang dapat menjadi faktor penunjang dalam penelitian ini. C. Teknik Pengumpulan Data Dalam
penulisan
penelitian
ini,
terdapat
2
(dua)
teknik
pengumpulan data yang akan digunakan, yaitu : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
54
Sasaran penelitian kepustakaan ini terutama untuk mencari landasan teori dari objek kajian dengan cara : a. Mempelajari
buku-buku
yang
berhubungan
langsung
dengan objek dan materi penulisan penelitian ini; b. Mempelajari
peraturan
perundang-undangan
yang
berhubungan dengan pembuktian dalam perkara pidana ini; c.
Mempelajari materi kuliah, seminar-seminar dan tulisantulisan para sarjana yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan (Field Research) Dalam penelitian ini Penulis langsung ke lokasi penelitian untuk meminta data-data dan melakukan wawancara dengan pihakpihak yang menyangkut dengan objek penelitian.
D. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskripsi,
yaitu
dengan
menggambarkan,
memaparkan,
dan
menjelaskan serta menjawab permasalahan yang ada.
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyalahguna Narkotika Golongan I Oleh Oknum Prajurit TNI. 1. Pertanggungjawaban Pidana Sebelum
Penulis
membahas
lebih
lanjut
mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika golongan I oleh oknum prajurit TNI, Penulis terlebih dulu ingin menjelaskan bahwa perkara dalam putusan nomor 50K/PM.III-16/AL/IV/2015 yang pelakunya adalah Serma Agus Slamet, dimana kasus tersebut terjadi pada tanggal 15 Juli 2014, tanggal 19 Juli 2014 serta tanggal 5 Agustus 2015 yaitu berada di Kesatuan Lantamal VI Makassar yaitu di dalam kamar Mess Saugi No. 5 Denma Lantamal VI Makassar, Terdakwa merakit alat untuk menghisap shabu-shabu di dalam kamar menggunakan bahan satu buah
botol
aqua
dengan
dilubangi
bagian
tutupnya
serta
dimasukkan pipet atau sedotan dan menggunakan pirex/pipet kaca dan
setelah
merakit
alat
tersebut
kemudian
Terdakwa
mengkonsumsi narkotika jenis shabu-shabu. Jenis shabu-shabu yang digunakan merupakan narkotika golongan I. Yang dimana
56
setiap penyalahguna narkotika golongan I dikenakan Pasal 127 ayat (1) huruf a yang berbunyi: (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Ketentuan di atas menunjukkan, bahwa siapapun yang melakukan perbuatan tindak pidana penyalahguna narkotika dan perbuatannya telah memenuhi unsure-unsur suatu tindak pidana, maka dapat dijatuhi sanksi pidana. Dengan konsep pertanggungjawaban pidana, pada dasarnya Terdakwa dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perbuatannya. Adapun persyaratan delik untuk dipidana, yaitu: 1. Manusia pada umumnya tidak terganggu jiwanya dan oleh karena itu dianggap mampu bertanggungjawan; 2. Barang siapa mewujudkan strafbar feit, dengan itu juga melakukan sesuatu yang disebut melawan hukum.
Adapun pidana tambahan yang dikenakan kepada Terdakwa yaitu berupa pemecatan dari dinas militer yang terdapat dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang berisi: (1)
Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, selain daripada yang ditentukan dalam Pasal 39, dapat dijatuhkan oleh hakim bersamaan dengan setiap putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada seorang militer yang berdasarkan kejahatan yang dilakukan, dipandangnya tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer.
57
(2)
(3)
Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari Angkatan Bersenjata selama dinasnya terdahulu, dengan pengecualian bahwa hak pension hanya akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pension yang berlaku bagi terpidana. Apabila pemecatan tersebut bersamaan dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, menurut hukum juga berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan, medali-medali, atau tanda-tanda pengenalan sepanjang kedua-duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya yang dahulu
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Letkol Chk Moch. Suyanto, S.H., M.H. selaku Hakim Ketua dalam perkara No. 50K/PM.III-16/AL/IV/2015, beliau mengatakan bahwa: “kasus narkotika yang melibatkan prajurit TNI harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan harus pula mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan.” Penerapan sanksi pidana pada Terdakwa, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa pidana pokok berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a dan Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. 2. Analisis Penulis Menurut Penulis, kasus narkotika termasuk kasus pelanggaran berat TNI, karena sejatinya TNI merupakan komponen utama dalam system pertahanan Negara dan merupakan alat Negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan Negara, serta diharapkan mampu memberikan contoh
58
kepada
masyarakat
untuk
tidak
melakukan
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika, mengingat TNI di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu, tindak pidana penyalahgunaan
narkotika
yang
dilakukan
TNI
harus
dipertanggungjawabkan. Penulis berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa telah sesuai dengan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a, Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, Pasal 190 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Diharapkan hukuman pidana pokok yaitu berupa penjara selama tambahan
10 (sepuluh) bulan yang telah ditentukan dan pidana berupa
pemecatan
dari
dinas
militer
ini
dapat
memberikan efek jera kepada setiap oknum TNI yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Sesuai pengakuan Terdakwa menggunakan narkotika jenis shabu-shabu hanya bersifat insidentil saja, dan selama ini Terdakwa dapat mengendalikan diri dan tidak merasa sangat membutuhkan narkotika tersebut, karena hanya bersifat ingin insidentil saja serta selama ini dapat menjalankan dinasnya dengan baik tanpa hambatan. Oleh karenanya, dari keadaan-keadaan yang diterangkan oleh Terdakwa tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa bukanalah seorang pecandu narkotika serta bukan pula sebagai
59
orang yang mengalami ketergantungan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 dan 14 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sehingga Terdakwa tidak wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.
B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Atas Pelaku Penyalahguna Narkotika Golongan I Oleh Oknum Prajurit TNI 1. Pertimbangan Hakim Putusan hakim biasa juga disebut putusan pengadilan adalah penyertaan hakim yang diucapkan dalam pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu putusan yang diambil oleh hakim didasarkan pada fakta – fakta yang ada dengan bukti – bukti yang dihadirkan dipersidangan sehingga dalam menjatuhkan suatu keputusan tidak menyimpang dari yang seharusnya dan tidak melanggar hak asasi yang dimiliki oleh Terdakwa. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Militer III-16 Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama Terdakwa Agus Slamet Serma Tku NRP 91602, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, sebagaimana diatur dan diancam
60
pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika berdasarkan tindak pidana yang didakwakan oleh Oditur Militer yang disusun secara alternative mengandung unsur – unsur sebagai berikut : Pertama: Unsur Kesatu
: “Setiap Penyalah Guna”.
Unsur Kedua
: “Narkotika Golongan I”.
Unsur Ketiga
: “Bagi Diri Sendiri”.
Atau Kedua : Unsur Kesatu
: “Setiap Orang”.
Unsur Kedua
:“Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”.
Unsur Ketiga
: “Narkotika Golongan I bukan tanaman”.
Bahwa oleh karena dakwaan Oditur Militer disusun secara alternative, maka Majelis Hakim akan langsung memilih dan membuktikan dakwaan yang paling tepat / bersesuaian dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan untuk dan Majelis Hakim memilih membuktikan dakwaan Alternatif Kesatu dengan mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Mengenai unsur kesatu
: “Setiap Penyalah Guna”.
Yang dimaksud dengan “penyalah guna” sesuai dengan ketentuan umum UU No. 35 Tahun 2009 pasal 1 angka 15 adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa dan alat bukti surat yang terungkap dalam persidangan, terungkap fakta-fakta sebagai berikut: 1.
Bahwa benar Terdakwa masuk menjadi Prajurit TNI AL pada tahun 1999 melalui Pendidikan dasar Secaba PK TNI AL Angkatan XVII di Surabaya kemudian setelah lulus dan dilantik Pangkat Serda kemudian Terdakwa tugaskan di
61
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lantamal VI sampai dengan sekarang dengan Pangkat Serma NRP 91602 Bahwa benar saksi Puji Nugroho pada saat tinggal satu kamar dengan Terdakwa pernah melihat secara langsung Terdakwa mengkonsumsi Narkotika jenis shabu-shabu sebanyak 2 (dua) kali. Bahwa benar pada hari Selasa tanggal 15 Juli 2014 pada saat Terdakwa nongkrong di Warkop sekitar Paotere, Terdakwa diperkenalkan oleh teman Terdakwa dengan orang sipil atas nama Sdr. Awal yang katanya bias mencarikan barang Narkotika jenis shabu-shabu kemudian Terdakwa minta nomor HP Sdr. Awal dengan nomor 081355072132. Bahwa benar setelah perkenalan tersebut pada sore harinya Terdakwa melalui Hand Phonennya nomor 081342940173 memesan shabu kepada Sdr. Awal paket shabu seharga Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan Sdr. Awal menyetujui dan menjanjikannya untuk diambil dan bertemu di depan pintu masuk Kuburan Panampu. Bahwa benar Terdakwa setelah menghubungi Sdr. Awal tersebut Terdakwa langsung keluar Mess dan menuju Kuburan Panampu dengan menaiki Pete-pete (Angkot) dan setibanya di depan Kuburan Panampu Terdakwa bertemu dengan Sdr. Awal dan Sdr. Awal memberikan satu paket shabu-shabu kepada Terdakwa dan Terdakwa memberikan uang sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada Sdr. Awal dan masih kurang Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) lagi. Bahwa benar setelah Terdakwa selesai bertransaksi dengan Sdr. Awal selanjutnya Terdakwa kembali ke Mess Lantamal dengan naik becak dan setelah tiba di Mess Bintara Saugi Lantamal VI Makassar Terdakwa tidak langsung mengkonsumsi barang narkotika jenis shabu-shabu tersebut karena dalam Mess tersebut masih banyak teman-temannya yang asik nonton TV di Loongrom Mess Saugi. Bahwa benar Terdakwa juga ikut melihat acara TV di Loongrom Mess Saugi sambil minum kopi, sedangkan Narkotika jenis shabu-shabu tersebut disimpan oleh Terdakwa didalam kantong celana jeans yang Terdakwa pakai pada saat itu. Bahwa benar tidak lama kemudian setelah Mess Saugi dalam kondisi sepi sekira pukul 18.30 Wita Terdakwa masuk didalam kamar Mess Saugi No. 5 kemudian Terdakwa merakit alat untuk menghisap shabu-shabu tersebut di dalam kamar dengan menggunakan bahan satu buah botol aqua dengan dilubangi bagian tutupnya serta dimasukkan pipet
62
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
atau sedotan dan menggunakan pirex/pipet kaca dan setelah selesai merakit alat tersebut kemudian Terdakwa mengkonsumsi narkotika jenis shabu-shabu tersebut. Bahwa benar Terdakwa pada saat mengkonsumsi shabu tersebut dilakukan dengan cara memasukkan shabushabu tersebut kedalam pirex/pipet kaca lalu pirex/pipet kaca tersebut dibakar dengan korek api kemudian asap shabushabu tersebut dihisap oleh Terdakwa sendirian. Bahwa benar pada saat Terdakwa mengkonsumsi shabu tiba-tiba saksi Puji Nugroho masuk kedalam kamar dan begitu saksi Puji Nugroho mengetahui Terdakwa mengkonsumsi shabu di kamar nomor 5 Mess Bintara Saugi Denma Lantamal VI langsung menegurnya dimana pada saat itu posisi Terdakwa duduk melantai sambil menghisap asap yang keluar dari pipet/sedotan. Bahwa benar pada saat itu Saksi Puji Nugroho memberanikan diri menegur Terdakwa dengan mengatakan “Mohon ijin Bang, jangan disini Bang kalau mau begini, kami takut kalau terjadi apa-apa, kami kena imbasnya” kemudian Terdakwa hanya menjawab “Westalah….”Selanjutnya Saksi Puji Nugroho bergegas meninggalkan Terdakwa dan menuju ke Longroom nonton TV. Bahwa benar setelah saksi Puji Nugroho keluar dari kamar tersebut Terdakwa tetap melanjutkan menghisap shabu sampai dengan habis dan Terdakwa pada saat menghisap shabu tersebut sebanyak 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) kali hisapan kurang lebih selama 6 (enam) menit, kemudian setelah selesai menghisap shabu Terdakwa tidur sampai pagi. Bahwa benar pada tanggal 19 Juli 2014 sekitar pagi hari Sdr. Awal menghubungi Terdakwa menanyakan kekurangan uang sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan Terdakwa menjawab belum ada uangnya. Bahwa benar selanjutnya Sdr. Awal juga menawarkan paket shabu seharga Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada Terdakwa dan nanti dibayar sekalian dengan hutangnya sehingga menjadi Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan Terdakwa menyetujuinya. Bahwa benar setelah Terdakwa menyetujuinya kemudian Sdr. Awal memberitahukan untuk mengambil paket shabu tersebut di depan pintu masuk Kuburan Panampu seperti biasanya dan tidak lama kemudian Terdakwa bertemu dengan Sdr. Awal di depan pintu masuk Kuburan Panampu dimana Sdr. Awal menyerahkan satu paket shabu dan selanjutnya Terdakwa kembali ke Mess Saugi Lantamal VI Makassar.
63
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Bahwa benar setelah berada di dalam kamar Mess Saugi No. 5 Lantamal VI Makassar, Terdakwa tidak langsung mengkonsumsinya dan baru sore harinya sekitar pukul 16.30 Wita Terdakwa berada didalam kamar Mess Saugi No. 5 Lantamal VI Makassar merakit peralatan untuk mengkonsumsi shabu seperti halnya merakit shabu tanggal 15 Juli 2014, dan setelah selesai merakit Terdakwa langsung mengkonsumsi shabu. Bahwa benar pada saat Terdakwa mengkonsumsi shabu tiba-tiba saksi Pudji Nugroho bangun dari tidurnya dan melihat Terdakwa duduk melantai sambil menghisap Narkotika jenis shabu-shabu. Bahwa benar Terdakwa dalam mengkonsumsi shabu tersebut dilakukan dengan cara tangan kiri Terdakwa memegang botol ukuran kecil dan tangan kanan memegang korek api sambil membakar bagian pipa pirex. Bahwa benar pada saksi Pudji Nugroho mengetahui perbuatan Terdakwa tersebut, Saksi Pudji Nugroho kembali menegur Terdakwa agar berhenti dan tidak mengkonsumsi shabu-shabu namun Terdakwa tidak mengindahkannya selanjutnya Saksi meninggalkan Terdakwa dan menuju lapangan untuk melakukan olahraga. Bahwa benar setelah Saksi Pudji Nugroho keluar kamar, selanjutnya Terdakwa kembali meneruskan menghisap shabu sampai dengan habis. Bahwa benar pada hari Selasa tanggal 5 Agustus 2014 sekitar pukul 20.00 Wita Terdakwa menelpon Sdr. Awal untuk memesan barang Narkotika jenis shabu-shabu paket seharga Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan janjian bertemu lagi di depan pintu masuk Kuburan Panampu, sekitar lima belas menit kemudian Terdakwa bertemu dengan Sdr. Awal di Jalan masuk Kuburan Panampu Kota Makassar selanjutnya Sdr. Awal memberikan satu paket shabu-shabu kepada Terdakwa dan Terdakwa memberikan uang Rp. 200.000,- (Dua ratus ribu rupiah) selanjutnya paket shabu-shabu tersebut disimpan didalam kantong celana yang dipakai Terdakwa. Bahwa benar setelah Terdakwa selesai bertransaksi dengan Sdr. Awal selanjutnya Terdakwa kembali ke Mess Bintara Saugi Denma Lantamal VI dengan naik becak dan tiba di Mess sekira pukul 21.00 Wita namun Terdakwa tidak langsung mengkonsumsi barang narkotika jenis shabushabu tersebut karena di Mess masih banyak orang dan ramai asik nonton TV di Loongrom sehingga Narkotika jenis shabu-shabu tersebut disimpan oleh Terdakwa didalam kantong celana jeans yang Terdakwa pakai pada saat itu.
64
23.
24.
25.
26.
27. 28.
29. 30.
31.
Bahwa benar setelah Mess dalam kondisi sepi sekitar pukul 24.00 Wita Terdakwa merakit alat untuk menghisap shabushabu di dalam kamar Mess Saugi No. 5 Denma Lantamal VI Makassar sebagaimana merakit peralatan shabu dengan menggunakan bahan satu buah botol aqua dengan dilubangi bagian tutupnya serta dimasukkan pipet atau sedotan dan menggunakan pirex/ pipet kaca dan setelah selesai merakit alat tersebut kemudian Terdakwa menuju kamar mandi dan mengkonsumsi narkotika jenis shabu-shabu tersebut dengan cara memasukkan shabu-shabu tersebut kedalam pirex/pipet kaca lalu pirex/pipet kaca tersebut dibakar dengan korek api kemudian asap shabu-shabu tersebut dihisap oleh Terdakwa sendirian sebanyak 5 sampai 10 kali hisapan kurang lebih selama 6 menit. Bahwa benar setiap kali Terdakwa selesai mengkonsumsi narkotika jenis shabu shabu Terdakwa merasakan badan segar dan prima namun efeknya tidak bisa tidur, istirahat serta nafsu makan kurang. Bahwa benar Terdakwa mengetahui jika perbuatan mengkonsumsi atau menyalahgunakan narkotika jenis shabu-shabu tanpa seizin dokter atau petugas medis itu dilarang dan diancam oleh undang-undang namun Terdakwa tetap mengkonsumsinya dengan alasan untuk menghilangkan stress karena terlalu banyak memikirkan permasalahan hutang piutangnya sebab dalam usaha minyak nilam mengalami kerugian sebesar Rp. 500.000.000,- (lima juta rupiah). Bahwa benar Terdakwa menerangkan mengetahui kalau narkotika tidak boleh dikonsumsi secara bebas karena zat narkotika di larang oleh undang-undang. Bahwa benar Terdakwa tidak mempunyai izin dari pihak berwenang untuk mengkonsumsi narkotika. Bahwa benar Terdakwa mengetahui ada larangan dari pimpinan TNI agar setiap prajurit dilarang terlibat narkotika secara tidak sah, namun Terdakwa tetap menghisap shabu sebanyak 4 (empat) kali. Bahwa benar pada tanggal 12 Agustus 2014 Terdakwa di bawa ke kantor BNN Makassar untuk diperiksa urinenya. Bahwa benar setelah selesai melaksanakan pemeriksaan urine dan dinyatakan positif, Terdakwa kemudian dibawa kembali ke Satprov Denma Lantamal VI Makassar dan atas perintah Kasatprov Denma Lantamal VI Terdakwa langsung dimasukkan ke Sel Tahanan Denma Lantamal VI untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Bahwa benar oleh karena sejak semula Terdakwa tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang untuk
65
menggunakan narkotika, maka secara hukum Terdakwa tidak berhak dan tidak berwenang untuk menggunakan narkotika, oleh karenanya rangkaian perbuatanperbuatan Terdakwa tersebut di atas merupakan lingkup perbuatan tanpa hak dan melawan hukum. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa unsure kesatu “Setiap Penyalahguna” telah terpenuhi. Mengenai unsur kedua
: “Narkotika Golongan I”.
Bahwa menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan 1” adalah Narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa dan alat bukti surat yang terungkap dalam persidangan, terungkap fakta-fakta sebagai berikut: 1.
2.
3.
Bahwa benar Terdakwa telah menggunakan shabu 4 (empat) kali yang pertama pada bulan November 2013 di Mess Dewa Kembar Lantamal VI Makassar, kedua tanggal 15 Juli 2914, ketiga tanggal 19 Juli 2014 di Mess Bintara Saugi No. 5 Denma Lantamal VI Makassar dan keempat tanggal 5 Agustus 2014 di dalam kamar mandi Mes Bintara Saugi Denma Lantamal VI Makassar. Bahwa benar setiap Terdakwa menggunakan shabu dilakukan dengan cara menghisapnya melalui alat pengisap yang telah disediakannya dan setiap Terdakwa selesai menghisap shabu, Terdakwa merasakan badan segar dan prima namun efeknya tidak bias tidur, istirahat serta nafsu makan kurang. Bahwa benar pada saat mengkonsumsi Narkotika Golongan I (satu) jenis shabu-shabu Terdakwa tidak tertangkap tangan namun ketika pihak Kesatuan mensinyalir adanya indikasi Terdakwa telah mengkonsumsi Narkotika Golongan I (satu) jenis shabu-shabu sehingga pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014 sekira pukul 12.30 Wita Terdakwa diperintahkan Dandenma Lantamal VI melalui Kasatma Denma Lantamal VI untuk menghadap Kasatprov Denma Lantamal VI selanjutnya Kasatprov memerintahkan Kapten Heru (Kasatminpers) bersama 3 (tiga) orang anggota mengantar Terdakwa ke Kantor BNN Provinsi Sulawesi Selatan untuk dilakukan tes urine. 66
4.
5.
6.
Bahwa benar setelah dilakukan pemeriksaan urine milik Terdakwa pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2914 pukul 14.50 Wita di Kantor BNN Provinsi Sulawesi Selatan, Terdakwa dinyatakan positif mengkonsumsi Narkotika Golongan I (satu) jenis shabu-shabu. Bahwa benar berdasarkan barang bukti berupa surat yaitu Surat Keterangan dari BNN Provinsi Sulawesi Selatan Nomor K/85/VII/Ka/Pm.00/2014/BNNP tanggal 13 Agustus 2014 yang ditanda tangani oleh petugas pemeriksa (Analis) an. Sdri Fitri Apriliani, A.Md,AK dan Kasie Peran serta Masyarakat an. Hj. Husnaeni Husain, SKM,M,Kes. Dan diketahui Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Selatan dengan hasil pemeriksaan Ampthemine (AMP) Positif (+) dan Methamphetamine (MET) Positif (+). Bahwa benar berdasarkan lampiran Undang-undangan Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Ampthemine (AMP) dan Methamphetamine (MET) yang merupakan jenis Narkotika golongan I dan terdaftar pada nomor urut 53 dan nomor urut 61 Lampiran I Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa unsure kedua ”Narkotika golongan I” telah terpenuhi. Mengenai unsur ketiga
: “Bagi diri sendiri”.
Bahwa yang dimaksud dengan “Bagi diri sendiri” dalam unsure merupakan lanjutan atau rangkaian dari unsure pertama dan unsure kedua yaitu setiap penyalah guna narkotika golongan I tersebut diperuntukan bagi dirinya sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Berdasarkan keterangan para Saksi dibawah sumpah, keterangan Terdakwa dan alat bukti surat yang terungkap dalam persidangan, terungkap fakta-fakta sebagai berikut: 1.
2.
Bahwa benar yang dilakukan oleh Terdakwa ketika bertamu Sdr. Awal di depan Kuburan Panampup pada bulan Mei 2014 dan bulan Agustus 2014 adalah menerima narkotika jenis shabu untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk diperjualbelikan kepada orang lain. Bahwa benar yang dilakukan Terdakwa pada tanggal 15 Juli 2014, tanggal 19 Juli 2014 dan tanggal 5 Agustus 2014 setelah mendapatkan shabu dari Sdr. Awal, Terdakwa langsung menuju Mess Bintara Saugi Denma Lantamal VI
67
3.
4.
Makassar merakit peralatan untuk mengkonsumsi shabu dan setelah selesai Terdakwa langsung mengkonsumsinya sendirian. Bahwa benar sesuai keterangan saksi Pujo Kustowo Jati, Saksi Catur Wahyu Rusdianto dan pengakuan Terdakwa, Terdakwa tidak pernah menerima shabu dari Sdr. Awal lalu diperjualbelikan kepada orang lain dan bila Terdakwa mendapatkan shabu tersebut langsung digunakan untuk dirinya sendiri. Bahwa benar oleh karena yang dilakukan oleh Terdakwa ketika bertamu Sdr. Awal di depan Kuburan Panampu hanyalah menerima shabu kemudian Terdakwa kembali ke Mess Bintara Saugi Denma Lantamal VI Makassar lalu menghisap shabu tersebut sendirian dan bukan menerima shabu dari Sdr. Awal untuk diperjualbelikan kepada orang lain, kesemuanya ini dipandang sebagai perbuatan Terdakwa menggunakan shabu untuk diri Terdakwa sendiri.
Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa unsure ketiga “Bagi dirinya sendiri” terpenuhi. Berdasarkan berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas yang merupakan fakta-fakta yang ditemukan didalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Alternatif Kesatu: “Setiap penyalah guna narkotika golongan I bagi diri sendiri”, sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti bersalah dan selama pemeriksaan dipersidangkan Majelis tidak menemukan alasan pemaaf maupun pembenar pada diri terdakwa, maka sudah selayak dan seadilnya Terdakwa harus dipidana. Bahwa sebelum sampai pada pertimbangan terakhir dalam mengadili perkara ini, Majelis Hakim akan menilai sifat hakekat dan akibat dari perbuatan terdakwa serta hal-hal lain yang mempengaruhi sebagai berikut: 1.
Bahwa sifat dari perbuatan Terdakwa yang telah menyalahgunakan narkotka jenis shabu adalah kesengajaan ingin mencari kesenangan dan kepuasan diri semata serta Terdakwa tidak mampu mengendalikan diri dari pengaruh negative pergaulan.
68
2.
Bahwa pada hakekatnya perbuatan Terdakwa merupakan pencerminan dari sikap dan perilaku Terdakwa yang hanya mementingkan diri sendiri untuk memperoleh kesenangan pribadi tanpa mempertimbangkan akibat lebih jauh dari tindakannya dan juga Terdakwa yang tidak menghiraukan lagi aturan hukum yang berlaku yang melarang penyalahgunaan narkotika padahal Terdakwa mengetahui akan adanya efek yang merusak mental dan kejiwaan pemakainya, seharusnya Terdakwa selaku prajurit TNI yang berdinas di Lantamal VI Makassar ikut membantu aparat penegak hukum dalam memberantas penyalahgunaan narkotika. 3. Bahwa akibat dari perbuatan Terdakwa tersebut dapat merusak mental, kejiwaan, dan daya juang Terdakwa selaku prajurit TNI dan perbuatan Terdakwa juga dapat berpengaruh negative terhadap pembinaan disiplin dan moral prajurit lain di kesatuannya, dan juga telah mencemarkan citra TNI di mara masyarakat dan juga perbuatan Terdakwa tersebut dapat merugikan diri Terdakwa karena narkotika dapat merusak kesehatan Terdakwa. a. Bahwa hal-hal yang mempengaruhi Terdakwa melakukan perbuatan tersebut adalah Terdakwa banyak hutang dikarenakan usaha minyak nilam yang mengalami kerugian sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sehingga Terdakwa stress dan melampiaskan dengan cara mengkonsumsi narkotika jenis shabu agar pikirannya biar tenang. Bahwa tujuan Majelis Hakim tidaklah semata-mata hanya memidana orang yang bersalah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan untuk mendidik agar bersangkutan dapat insaf dan kembali pada jalan yang benar menurut falsafah Pancasila. Oleh karena itu sebelum Majelis menjatuhkan pidana atas diri Terdakwa dalam perkasa ini perlu lebih dahulu memperhatikan halhal yang dapat meringankan dan memberatkan pidananya yaitu : Hal-hal yang meringankan : 1. Terdakwa sopan dan berterus terang dipersidangan sehingga memperlancar proses persidangan. 2. Terdakwa belum pernah dihukum. 3. Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Hal-hal yang memberatkan : 1. Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan Sumpah Prajurit ke-2.
69
2.
Perbuatan Terdakwa dapat merusak citra TNI AL khususnya kesatuan Terdakwa dimata masyarakat.
Bahwa terhadap permohonan Penasihat Hukum untuk hukuman yang seringan-ringannya Majelis Hakim berpendapat untuk menentukan lamanya pidana penjara yang dianggap setimpal untuk dijatuhkan terhadap diri Terdakwa sesuai dengan perbuatan dan kadar kesalahannya maka, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk membina prajurit tentunya tidak harus dengan hukuman yang berat namun pada asasnya tujuan penghukuman, bagi yang bersalah harus ada sanksi yang tegas, tujuan penghukuman juga bukan untuk balas dendam akan tetapi supaya dapat menimbulkan efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Oleh karena itu sesuai hal-hal yang meringankan dan memberatkan pada diri Terdakwa dan setelah Majelis Hakim mempertimbangkan serta menilai kualitas perbuatan dan dengan dilandasai rasa keadilan. Sehingga dianggap sesuai dan setimpal untuk dijatuhkan terhadap diri Terdakwa, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang dimohonkan Oditur Militer dipandang masih terlalu berat, sehingga Majelis perlu mengabulkan permohonan Penasihat Hukum sekedar hanya sebatas lamanya pidana yaitu dengan cara mengurangi lamanya pidananya dijatuhkan pidana penjara yang lebih ringan dan requisitoir Oditur Militer. Bahwa terhadap permohonan Penasihat Hukum supaya Terdakwa tetap dipertahankan dalam dinas militer disatu sisi Oditur Militer dalam tuntutannya memohon agar Terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer, Majelis akan berpendapat sekaligus yang pada pokoknya sebagai berikut : 1.
2.
Bahwa dilihat dari latar belakang sehingga Terdakwa menggunakan shabu karena Terdakwa mangalami kerugian dalam usaha minyak nilam sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan sebagai pelampiasannya Terdakwa mengkonsumsi shabu sebanyak 3 (tiga) kali dan Sdr. Awal seharga paket Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan paket Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Sehingga dari keadaan ini menunjukkan bahwa Terdakwa pada dasarnya adalah sering menyalahgunakan narkotika apalagi sebelumnya pada bulan November 2013 Terdakwa juga pernah mengkonsumsi shabu secara bersama-sama dengan teman-temannya. Bahwa dilihat dari kuantitas dan kualitas perbuatan Terdakwa menggunakan shabu adalah dilakukan oleh Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali dan perbuatan Terdakwa menghisap shabu dilakukan dengan tenggang waktu yang
70
3.
4.
5.
6.
relative pendek yaitu tanggal pertama bulan November 2013, kedua tanggal 15 Juli 2014, ketiga tanggal 19 Juli 2014 dan terakhir tanggal 5 Agustus 2014. Keadaan ini menunjukkan bahwa Terdakwa sering mengkonsumsi shabu tidak sekedar ingin mencoba saja akan tetapi sudah merupakan hal yang sering dilakukan oleh Terdakwa. Bahwa dilihat dari sikap dan perbuatan Terdakwa mengkonsumsi shabu, dimana pada saat Terdakwa mengkonsumsi di dalam Mess Bintara Saugi No. 5 Denma Lantamal VI Makassar diketahui oleh Saksi Pudji Nugroho dan pada saat Terdakwa telah ditegur / diingatkan oleh saksi Pudji Nugroho untuk tidak memakai, menghindar dan menjauh dari bahaya narkotika, akan tetapi Terdakwa tidak mengindahkannya dan Terdakwa tetap melakukannya sampai berulang kali, hal ini menunjukkan bahwa Terdakwa sudah tidakmemperdulikan lagi aturan dimana untuk seluruh Prajurit TNI untuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan narkotika dan membantu pemerintah untuk memberantas Narkotika tersebut apalagi asrama TNI seharusnya bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika. Bahwa dilihat dari Tempat Terdakwa pada saat mengkonsumsi shabu pada tanggal 15 Juli 2014 dan tanggal 19 Juli 2014 serta tanggal 5 Agustus 2015 yaitu berada di Kesatuan Lantamal VI Makassar yaitu di dalam kamar Mess Bintara Saugi No. 5 Denma Lantamal VI Makassar dan di dalam kamar mandi padahal Terdakwa mengetahui bahwa kesatuan tersebut bukan merupakan tempat untuk mengkonsumsi shabu dan kesatuan Lantama VI tidak boleh atau zona bebas daerah terlarang dari peredaran / penggunaan narkotika. Bahwa selain itu dilihat dari lamanya Terdakwa menjadi prajurit, ternyata Terdakwa masuk menjadi prajurit TNI AL sejak tahun 1999 sehingga Terdakwa tergolong sebagai prajurit yang sudah lama berdinas atau sudah senior dan seharusnya Terdakwa memberikan contoh yang baik dan ikut membantu program pemerintah dalam memberantas narkotika bukan justru memberikan contoh yang buruk dengan melibatkan diri mengkonsumsi shabu. Bahwa dari hal-hal yang diuraikan diatas, Majelis berpendapat bahwa Terdakwa tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagai prajurit TNI AL. Bersamaan dengan itu Permohonan Oditur dapat diterima dan keberatan Penasihat Hukum berkaitan dengan keadaan tersebut harus dinyatakan tolak.
71
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 127 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 mengatur bahwa dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, hakim wajib memperhatikan ketentuan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009. Sehingga apabila ketentuan Pasal 127 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tersebut dihubungkan dengan fakta yang terungkap dipersidangan dari keterangan Terdakwa yang menerangkan bahwa Terdakwa telah mengkonsumsi shabu sebanyak 4 (empat) kali dan sesuai pengakuan Terdakwa menggunakan shabu-shabu hanya bersifat insidentil saja, dan selama ini Terdakwa dapat mengendalikan diri dan tidak merasa sangat membutuhkan shabu-shabu karena hanya bersifat ingin insidentil saja serta selama ini dapat menjalankan dinasnya dengan baik tanpa hambatan. Oleh karenanya dari keadaankeadaan yang diterangkan oleh Terdakwa tersebut menunjukkan bahwa Terdakwa bukanlah Pecandu Narkotika serta bukan pula sebagai orang mengalami Ketergantungan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 dan angka 14 UU Nomor 35 Tahun 2009, sehingga Terdakwa tidak wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana ditentukan dalam Pasal 127 ayat (2) jo Pasal 54 jo Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun 2009. Bersamaan dengan keberatan Penasihat Hukum yang berkaitan dengan keadaan tersebut Majelis Hakim tidak menerimanya. Bahwa setelah meneliti dan mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana sebagaimana tercantum pada dictum ini adalah adil dan seimbang dengan kesalahan Terdakwa. Bahwa oleh karena Majelis Hakim tidak mempertahankan Terdakwa dalam dinas militer dan kawatir Terdakwa melarikan diri, mengulangi perbuatannya dan akan membuat keonaran oleh karena itu memerintahkan Terdakwa untuk ditahan. Bahwa oleh karena Terdakwa harus dipidana, maka ia harus dibebani untuk membayar biaya perkara. Bahwa selama waktu Terdakwa berada dalam tahanan sementara perlu dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan. Bahwa barang-barang bukti dalam perkara ini berupa : a. Barang-barang :
72
1 (satu) buah Handphone Merk Samsung tipe GT-E1205T. Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti Handphone tersebut merupakan milik Terdakwa yaitu Serma Agus Slamet yang digunakan untuk memesan 1 (satu) paket Narkotika jenis shabu kepada Sdr. Awal pada tanggal 15 Juli 2014 dan barang bukti ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan supaya tidak dipergunakan lagi untuk melakukan tindak pidana serta untuk memutus mata rantai antara Terdakwa dengan teman-teman tempat Terdakwa memperoleh shabu-shabu, maka Majelis berpendapat bahwa barang bukti 1 (satu) buah Handphone Merk Samsung tipe GT-E1205T tersebut perlu ditentukan statusnya yaitu dirampas untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. b. Surat-surat : 1) Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan dari BNN Nomor : K/95/VIII/Ka/Pm.00/2014 BNNP tanggal 13 Agustus 2014 atas nama Agus Slamet. Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti surat tersebut sebagai bukti yang menunjukkan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dan bersesuaian dengan alat bukti lain serta berhubungan antara satu dengan yang lainnya, sejak semula merupakan kelengkapan administrasi dari berkas perkara dan mudah penyimpanannya, maka Majelis berpendapat bahwa barang bukti Surat tersebut perlu ditentukan statusnya yaitu tetap dilekatkan dalam berkas perkara. 2) Foto kamar Mess Bintara Saugi No. 05 Denma Lantamal VI tempat Terdakwa merakit alat dan mengkonsumsi barang narkotika jenis shabu-shabu Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti surat tersebut di atas merupakan bukti adanya tempat yang digunakan Terdakwa pada saat mengkonsumsi shabu pada tanggal 15 Juli 2014 dan tanggal 19 Juli 2014 dan foto tersebut berhubungan antara satu dengan yang lainnya serta sejak semula merupakan kelengkapan administrasi dari berkas perkara dan mudah penyimpanannya, maka Majelis berpendapat bahwa barang bukti tersebut perlu ditentukan statusnya yaitu tetap dilekatkan dalam berkas perkara.
73
Bahwa dengan mendasari fakta hukum. Mengenai pertimbangan-pertimbangan, pembuktian, unsur – unsur tindak pidana dalam putusan tingkat pertama Nomor 50-K/PM.III16/AL/IV/2014 tanggal 26 Juli 2015 yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri sebagaimana di atur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Majelis Hakim berpendapat putusan tersebut sudah tepat dan benar sesuai dengan fakta perbuatan dan fakta hukum. Bahwa mengenai lamanya pidana pokok dan pidana tambahan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, Majelis Hakim berpendapat bahwa pertimbangan tersebut sudah adil dan seimbang dengan kesalahan Terdakwa oleh karena itu perlu dikuatkan dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Bahwa motif terdakwa melakukan tindak pidana hanya ingin menikmati narkotika jenis shabu – shabu hanya ingin untuk menghilangkan stress karena Terdakwa sedang terlilit hutang. 2. Bahwa perbuatan Terdakwa tidak mencerminkan jati diri sebagai seorang prajurit TNI, yang seharusnya membantu aparat penegak hukum untuk memberantas peredaran narkotika dan perbuatan Terdakwa sangat mencemarkan nama baik TNI di kalangan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas. Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa sudah tidak layak lagi tetap dipertahankan dalam dinas Militer karena apabila Terdakwa tetap dipertahankan di dinas militer, maka perbuatan Terdakwa dapat ditiru oleh prajurit TNI lainnya. Untuk itu terdakwa perlu dijatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas Militer. Bahwa waktu selama terdakwa berada dalam tahanan sementara perlu dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Bahwa oleh karena itu terdakwa harus dipidana maka biaya perkara dibebankan kepada terdakwa. Mengingat Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, Pasal 190 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 dan ketentuan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
74
2. Analisis Penulis Proses peradilan diakhiri dengan suatu putusan akhir yang di dalamnya terdapat suatu penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan kepada Terdakwa yang terbukti secara sah melakukan tindak pidana. Dalam penjatuhan putusan, Hakim hendaknya melihat 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang berisi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Beberapa alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah: (1) a. b. c. d. e.
Alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Pertunjuk; Keterangan terdakwa.
Berikut merupakan beberapa alat bukti yang diajukan oleh Oditur Militer, yaitu:
1). Barang: 1 (satu) buah Handphone merk Samsung tipe GT-E1205T. Untuk dimusnahkan. 2). Surat-surat: a. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan dari BNN Nomor : K/95/VII/Ka?pm.00?2014 BNNP tanggal 13 Agustus 2014
75
atas nama Agus Slamet setelah dilaksanakan tes urine dengan hasil sebagai berikut :
Amphetamine (AMP) Methaphetamine (MET) Marijuana (THC) Morphine (MOP) Benzodiazpines (BZO) Cocain (COC)
+ (Positif) + (Positiff) - (Negarif) - (Negatif) - (Negatif) - (Negatif)
b. Foto kamar Mess kamar mandi Mess Bintara Saugi No. 05 Denma Lantamal VI tempat Terdakwa merakit alat dan mengkonsumsi barang narkotika jenis shabu-shabu. c. Foto kamar Mess kamar mandi Mess Bintara Saugi No. 05 Denma Lantamal VI tempat Terdakwa mengkonsumsi barang narkotika jenis shabu-shabu. Dalam peradilan militer, Hakim akan mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia yang diatur dalam Pasal 188 Undangundang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer , yang berisi: 1.
2.
3.
4.
5.
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5), Hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia. Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, Hakim Ketua mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pada asasnya putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali apabila hal itu sesudah diusahakan dengan sungguh – sungguh tidak dapat dicapai, berlaku ketentuan sebagai berikut: a) putusan diambil dengan suara terbanyak; b) apabila ketentuan tersebut pada huruf a tidak dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa. Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat dalam buku himpunan putusan yang 76
6.
disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada Oditur, Terdakwa, atau Penasihat Hukumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Letkol Chk Moch.
Suyanto, S.H., M.H. selaku Hakim Ketua dalam perkara No. 50K/PM.III-16/AL/IV/2015 di Pengadilan Militer III-16 Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara pada
Pengadilan Tingkat
Pertama, menyatakan bahwa: “beberapa hal yang menjadi pertimbangan terakhir hukum hakim yaitu Majelis Hakim akan menilai sifat, hakekat dan akibat dari perbuatan Terdakwa serta hal-hal lain yang mempengaruhi dalam melakukan suatu tindak pidana. Sebagai prajurit TNI, hendaknya menjadi panutan bagi masyarakat dan ikut membantu aparat penegak hukum dalam memberantas narkotika, bukan ikut terlibat dalam tindak pidana tersebut. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika membawa pengaruh negative terhadap pembinaan disiplin dan moral prajurit lain di kesatuannya dan juga telah mencemarkan citra TNI di mata masyarakat dan perbuatan terdakwa dapat merusak kesehatannya.” Kesimpulan dari wawancara yang telah dilakukan adalah Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran filosofis yang berarti keadilan, kebenaran yuridis (hukum), dan kebenaran sosiologis (sosial). Oleh karena itu, sebelum memutus perkara, hakim harus melihat beberapa aspek tersebut, agar putusan yang dihasilkan oleh Hakim tidak mengesampingkan rasa keadilan dan juga tidak mengesampingkan hak – hak yang di miliki oleh Terdakwa. Karena aspek yang ingin dicapai ialah untuk membuat
77
efek jera kepada seseorang yang terbukti melakukan suatu tindak pidana.
78
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahguna narkotika golongan I oleh oknum TNI dalam perkara No. 50-K/PM.III16/AL/IV/2015 telah tepat, karena Terdakwa telah terbukti dalam proses pemeriksaan di dalam persidangan telah memenuhi unsure-unsur rumusan delik tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Perbuatan Terdakwa mengandung unsure kesalahan dan kemampuan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini terbukti bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana secara sengaja dan dalam keadaan jiwa dan pikiran yang sehat, Terdakwa juga meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahguna
narkotika
golongan
I
bagi
diri
sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dianggap Hakim tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan kalangan militer, karena Terdakwa sudah tidak memperdulikan lagi aturan yang berlaku padahal Terdakwa mengetahui aturan dimana untuk seluruh Prajurit TNI untuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan 79
narkotika dan membantu memberantas
narkotika,
aparat maka
penegak hukum dari
itu
Majelis
untuk Hakim
memutuskan agar Terdakwa dikenakan pidana tambahan yaitu berupa pemecatan dari dinas militer berdasarkan Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. Namun dalam Pasal 26 Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana
Militer
tidak
mencantumkan secara eksplisit mengenai syarat yang harus dipenuhi
dalam
penjatuhan
pidana
tambahan
berupa
pemecatan dari dinas militer. Serta Majelis Hakim juga tidak mempertahankan Terdakwa dalam dinas militer dan khawatir Terdakwa melarikan diri, mengulangi perbuatannya dan akan membuat keonaran oleh karena itu memerintahkan Terdakwa untuk ditahan berdasarkan Pasal 190 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. 2. Pertimbangan
hukum
hakim
terhadap
penyalahguna narkotika golongan I
tindak
pidana
yang dilakukan oleh
Terdakwa dalam menjatuhkan pemidanaan telah tepat karena Hakim
dalam
menjatuhkan
perkara
pemidanaan
No.
50-K/PM.III-16/AL/IV/2015
berdasarkan
keterangan
saksi,
keterangan terdakwa, dan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya alat-alat bukti tersebut mendukung fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang meyakinkan Hakim bahwa tindak
80
pidana penyalahguna narkotika golongan I yang dilakukan oleh Terdakwa benar-benar terjadi sesuai dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
B. Saran Berdasarkan dari kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran, yaitu : 1. Dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer ukuran layak atau tidak layak tidak diberikan definisi yang jelas dalam Undang-undang serta tidak mencantumkan secara eksplisit
mengenai
syarat
yang
harus
dipenuhi
dalam
penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer, sehingga Hakim diberikan kebebasan untuk menafsirkan ukuran layak atau tidak layak yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Hendaknya di dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer dicantumkan secara eksplisit mengenai syarat yang harus dipenuhi dalam penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. 2. Lingkungan militer, khususnya TNI dan instansi terkait agar lebih mengintensifikasikan pengawasan terhadap jalur-jalur yang diduga sebagai tempat keluar masuknya peredaran narkotika dan diharapkan Majelis hakim dalam menjatuhkan
81
sanksi terhadap terdakwa dalam suatu perkara hendaknya memperhatikan secara cermat aspek psikologis dari terdakwa sehingga ketika terdakwa kembali ke masyarakat tidak akan mengulangi kembali perbuatannya tersebut, karena terdakwa sudah merusak citra TNI dan juga perbuatan terdakwa bertentangan dengan sendi-sendi disiplin TNI yang berpengaruh buruk bagi anggota yang lain.
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Edication Amiroeddin Sjarif, Hukum Displin Militer Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta M. Ridha Ma’ruf, 1976, Narkotika Masalah dan Bahayanya, Jakarta: CV. Marga Jaya Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkotika Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Rajawali Pers Moh. Taufik Makarao, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia _________________, 2005, Tindak Pidana Narkoba, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti ______________, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers
83
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem- Patahaem Soedjono D., 1976, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Bandung: PT. Karya Nusantara Supriyadi, 2009, Hubungan Sipil – Militer Bagi Kesejahteraan Rakyat (Civil Society – Military Relationships for Civil Society Welfare) ,Spirit Publik Volume 5 Nomor 1 ISSN W. Widjaya, 1985, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico
Perundang-undangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Hukum Pidana Militer Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Internet http://tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html . Diakses pada tanggal 08/11/2015 Pukul 20.21 WITA
84
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Tentara_Nasional_Indonesia#Tentara _Nasional_Indonesia . Diakses pada tanggal 08/11/2015 Pukul 20.25 WITA http://harunarcom.blogspot.co.id/2013/01/perkembangan-tni-tentaranasional.html Diakses pada tanggal 15/11/2015 Pukul 23.47 WITA
85
LAMPIRAN
86
87
88