Percobaan Menjual Narkotika Golongan I dan Percobaan Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri Hendra Syafutra Sitakar, Gandjar Laksmana Bonaprapta Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas percobaan tindak pidana narkotika, yaitu percobaan tindak pidana menjual Narkotika Golongan I dan percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan unsur percobaan pada tindak pidana menjual Narkotika Golongan I atas Pasal 114 ayat (1) dan penerapan unsur percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri atas Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Pada dasarnya kedua percobaan itu sendiri sudah pasti memenuhi untuk salah satu unsur perbuatan di dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara narasumber. Kesimpulan yang penulis dapatkan adalah untuk percobaan menjual narkotika Golongan I perbuatan tersebut harus memenuhi unsur percobaan tindak pidana, yaitu unsur niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Sedangkan di dalam percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, penulis menemukan tiga pandangan yang berbeda. Dari kedua percobaan tersebut, pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. Kata kunci: percobaan;
menjual; penyalahgunaan; dikualifisir.
Attempt to Sell Narcotics Category I and Attempt to Abuse Narcotics Category I for Themselves Abstract This thesis discuss about attempt of narcotics offense, namely attempt to sell Narcotics Category I and attempt to abuse Narcotics Category I for themselves. This thesis aims to find out how to know the application of criminal attempt element to the criminal offense of sell Narcotics Category I of Article 114 paragraph (1) and the application criminal attempt element to the criminal offense of narcotics abuse for themselves of Article 127 paragraph (1) letter a Narcotics Act. Basicly, both of that criminal attempt had certainly meet for one element acts in Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) Narcotics Act. This thesis using literature research method and combined with sources interviews. The conclusion that writers get for attemp to sell narcotics must be meet with the element of criminal attempt, namely intention, beginning of completion and the unfinished completion not solely because of the will from the perpetrator. While for attempt to abuse Narcotics Category I for themselves, writers found three different views. Basicly, both of that criminal attempt can still be imposed by Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) on the basis of exacerbated attempt as the opinion of E.Y. Kanter and S.R. Sianturi, Utrecht and Atang Ranoemmihardja. Keywords: attempt; sell; abuse; exacerbated.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
I. Pendahuluan Menurut kata sehari-hari yang diartikan sebagai percobaan adalah menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai.1 Apabila perumusan tindak pidana atau delict itu dihubungkan dengan percobaan tindak pidana (poging), maka tampak bahwa poging tidak mengandung unsur seperti yang terkandung oleh delict. Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa poging bukan merupakan suatu tindak pidana atau delict.2 Poging sendiri adalah perluasan dapat dipidananya seseorang.3 Pengaturan percobaan melakukan tindak pidana pada dasarnya akan merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP), yaitu Pasal 53 dan 54 KUHP. Unsur dari percobaan tindak pidana itu sendiri terdiri dari niat, permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri. Pidana yang diancamkan terhadap percobaan tindak pidana sesuai dengan pengaturan yang terdapat di dalam KUHP adalah dikurangi sepertiga dari ancaman pidana maksimum dan untuk kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di dalam Undang-Undang Narkotika juga diatur mengenai percobaan melakukan tindak pidana. Pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Terdapat pengaturan berbeda dari segi pidana yang diancamkan antara percobaan tindak pidana narkotika dengan percobaan tindak pidana di dalam KUHP. Di dalam Undang-Undang Narkotika diatur bahwa ancaman pidana untuk percobaan tindak pidana narkotika adalah sama sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut4. Tindak pidana narkotika merupakan the most serious crime yang dipersamakan efeknya dengan tindak pidana terorisme, korupsi dan pelanggaran HAM berat. Hal ini terdapat di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 bertanggal 30 Oktober 2007.5 Salah satu tindak pidana yang diatur dalam Undang -Undang Narkotika 1
R. Soesilo (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal , (Bogor: Politeia, 1991), hal. 69. 2
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara S.H dan Pendapat2 Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Satu, (s.l: Balai Lektur Mahasiswa, s.t), hal. 364. 3
Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbitan Jakarta, 1996), hal. 5. 4
Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062, Ps. 132 ayat (1). 5
Komisi Yudisial Republik Indonesia, “Hak dalam Kemelut Hukum,” Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 (Agustus 2013): 22.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
adalah tindak pidana mengenai perbuatan melawan hukum atau tanpa hak menanam, memelihara, memiliki, menguasai, menyimpan , menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (Pasal 111 ayat (1)) dan perbuatan melawan hukum atau tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman (Pasal 112ayat (1)). Ancaman pidana yang terdapat di dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Suatu permasalahan kemudian timbul, karena setiap tindak pidana atau percobaan tindak pidana narkotika setidak-tidaknya pasti dilakukan dengan cara menyimpan, menguasai, menyediakan atau bahkan memiliki narkotika secara melawan hukum atau tanpa hak. Misalkan saja percobaan menjual Narkotika Golongan I (selanjutnya disebut percobaan menjual Narkotika) sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. 132 ayat (1). Setiap percobaan menjual narkotika sudah pasti memenuhi salah satu unsur dari Pasal 111 ayat (1) dan pasal 112 ayat (1). Walaupun sebenarnya di dalam percobaan menjual narkotika si pelaku memenuhi salah satu unsur perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika, bukan berarti si pelaku tepat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1). Ketika perbuatan pelaku telah memenuhi syarat niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku sendiri di dalam percobaan menjual narkotika, maka sudah sepatutnya seorang pelaku dipidana atas Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1). Ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Terlihat jelas bahwa ancaman pidana yang ditujukan kepada pengedar narkotika merupakan ancaman pidana yang relatif lebih berat apabila dibandingkan dengan ancaman pidana yang terdapat di dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1). Ketika pelaku yang melakukan percobaan menjual narkotika hanya dipidana atas Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1), maka hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. ketidakadilan ini tercermin dari ancaman pidana yang relatif berbeda dari Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) dengan ancaman pidana yang terdapat di dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1). Ketidakpastian hukum tercermin dari suatu perbuatan yang seharusnya dipidana atas Pasal 114 ayat (1) jo. 132 ayat (1), tetapi dipidana atas pasal lain yang tidak tepat untuk memidana pelaku yang melakukan percobaan menjual narkotika, yaitu
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, pembahasan akan dikaitkan dengan analisis penerapan ajaran percobaan tindak pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Rantau Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu, di mana terdakwa dijatuhi pidana atas Pasal 114 ayat (1) jo. 132 ayat (1). Selain itu, penelitian ini juga membandingkan Putusan Pengadilan Negeri Rantau tersebut yang memiliki kemiripan dari posisi kasusnya dengan Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 157/Pid.B/2013/PN-KIS, tetapi terdakwa dipidana atas Pasal 112 ayat (1). Pembahasan ini sekaligus membahas bagaimana sebenarnya penerapan Pasal 111 ayat (1) atau 112 ayat (1) untuk percobaan menjual narkotika. Selanjutnya adalah mengenai percobaan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri (selanjutnya disebut percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri). Pasal yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri adalah Pasal 127 ayat (1) huruf a. Apa yang menjadi permasalahan dalam hal ini berawal dari tidak diaturnya percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri di dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Di dalam praktek, terdapat putusan pengadilan yang mengakui percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Penerapan pasal tersebut tentu menimbulkan suatu permasalahan yang perlu untuk dibahas lebih lanjut. Karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaturan ancaman sanksi untuk percobaan tindak pidana di dalam KUHP dan Undang-Undang Narkotika berbeda dan pada dasarnya setiap percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri sudah pasti memenuhi salah satu unsur perbuatan yang diatur dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Meskipun demikian, terhadap pelaku yang melakukan percobaan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri apabila dipidana atas Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) pada dasarnya dapat menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan tersebut dapat terjadi dalam dua keadaan. Pertama, apabila seorang pelaku dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas perbuatan memiliki, menguasai atau menyimpan narkotika yang beratnya kurang dari 1 gram (relatif kecil), maka pelaku akan mendapatkan ancaman pidana penjara empat sampai dengan dua belas tahun ditambah denda. Pidana ini pada dasarnya relatif berat. Kedua, ketika pelaku mencoba melakukan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri kemudian dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1), maka terancam hukuman minimum empat tahun dan maksimum dua belas tahun penjara ditambah dengan denda, sedangkan terhadap pelaku sendiri yang benar-benar sudah pernah memakai narkotika
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
mendapatkan ancaman hukuman yang lebih ringan, yaitu maksimum hanya empat tahun penjara ditambah kemungkinan untuk direhabilitasi. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, pembahasan akan dikaitkan dengan analisis penerapan ajaran percobaan tindak pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 14/Pid.Sus/2011/PN.Tgl, di mana terdakwa dijatuhi pidana atas Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Selain itu, skripsi ini juga membandingkan Putusan Pengadilan Negeri Tegal tersebut yang memiliki kemiripan dari posisi kasusnya dengan Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 574/Pid.B/2011/PN.BB, tetapi terdakwa dijatuhi pidana atas Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Pembahasan ini sekaligus membahas bagaimana sebenarnya penerapan Pasal 111 ayat (1) atau 112 ayat (1) untuk percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Adapun yang menjadi rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur percobaan pada tindak pidana menjual Narkotika Golongan I atas Pasal 114 ayat (1) dan penerapan unsur percobaan pada tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri atas Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika? 2. Bagaimanakah penerapan ajaran percobaan di dalam putusan pengadilan untuk percobaan
tindak
pidana
menjual
Narkotika
Golongan
I
dan
percobaan
penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri? Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk membahas lebih lanjut mengenai pengaturan percobaan tindak pidana narkotika dan penerapan unsur-unsur percobaan tindak pidana dari pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa pasal di dalam undang-undang ini yang juga memenuhi untuk perbuatan percobaan tindak pidana yang diatur pada pasal lainnya.
II. Tinjauan Teoritis Menurut Jan Remmelink, percobaan melakukan kejahatan adalah suatu tindakan yang diikhtiarkan untuk mewujudkan apa yang oleh undang-undang dikategorikan sebagai kejahatan, namun tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan yang semula hendak
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
dicapai.6 Unsur dari percobaan tindak pidana terdiri dari niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan karena pengaruh dari luar diri pelaku. Niat atau maksud memiliki arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.7 Permulaan pelaksanaan menunjukkan bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki. 8 Khusus mengenai permulaan pelaksanaan ini dapat ditinjau dari dua teori, yaitu teori subjektif dan teori objektif. Permulaan pelaksanaan menurut teori subjektif adalah permulaan pelaksanaan dari niat jahat pelaku. 9 Sedangkan permulaan pelaksanaan menurut teori objektif adalah permulaan pelaksanaan dari kejatahatan. Dalam hal ini perlu diperhatikan permulaan pelaksanaan untuk delik formil. Delik formil adalah delik yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. 10Menurut Simons permulaan pelaksanaan untuk delik formil terdapat ketika perbuatan pelaku sudah termasuk ke dalam sebagian dari perbuatan yang dirumuskan (terlarang) oleh undang-undang. 11 Menurut Barda Nawawi Arief, permulaan pelaksanaan pada delik formil menurut teori objektif dititikberatkan kepada sifat berbahaya perbuatan itu terhadap tata hukum. Delik dikatakan menjadi suatu rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang terlarang. Jadi ketika seseorang telah melakukan sebagian dari rangkaian tersebut, maka ia telah dianggap membahayakan tata hukum.12 Unsur ketiga adalah pelaksanaan yang tidak selesai hanya karena keadaan dari luar kehendak si pelaku. Maksudnya adalah tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.13
6
Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia)[Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht], diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono dkk, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 285. 7
P.A.F. Lamintang (1), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 537. 8 9
Ibid., Loqman, Op.Cit., hal. 18.
10
Adami Chazawi (1), Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 125-126. 11
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 320. 12
Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Semarang: Universitas Diponegoro 1999), hal. 4.
13
Lamintang, Loc.Cit., hal. 537.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Perlu diperhatikan bahwa penerapan teori subjektif dan objektif di dalam percobaan tindak pidana tidak boleh diterapkan secara kaku. Sesuai dengan pendapat Van Bemmelan yang menyatakan bahwa ketika pelaku telah menciptakan sejumlah keadaan yang menurut pengalaman manusia tanpa memerlukan banyak hal lain lagi dapat menimbulkan keadaan yang lain, maka hal tersebut merupakan petunjuk sebagai suatu perbuatan pelaksanaan atas percobaan kejahatan.14 Selain itu, menurut Wirjono, ketika niat pelaku sudah nyata ada dari tindakannya untuk menyelesaikan kejahatan dan kejahatan itu sendiri akan diselesaikan apabila tidak ada penghalang dari luar pelaku itu sendiri, maka hal tersebut sebenarnya merupakan petunjuk bahwa perbuatan pelaku tersebut merupakan suatu tindakan pelaksanaan. 15 Dengan demikian penerapan teori percobaan subjektif atau objektif harus diterapkan secara kasuistis untuk mencapai suatu keadilan yang memuaskan semua pihak. Di dalam percobaan tindak pidana, terdapat jenis percobaan yang berasal dari doktrin ahli pidana. Percobaan tersebut adalah percobaan dikualifisir. Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai definsi dari percobaan ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa percobaan yang dikualifisir adalah bilamana petindak membatalkan lanjutan tindakan yang diniatinya secara sukarela untuk melakukan suatu tindak pidana (kejahatan) tertentu, tetapi telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana lainnya. 16 Pelaku dalam hal ini masih dapar dipidana atas tindak pidana lain tersebut. Ahli pidana yang menyatakan demikian adalah E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa percobaan yang dikualifisir merupakan percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju, tetapi pelaku tidak tepat apabila dipidana atas tindak pidana selesai lain yang bukan dituju dari pelaku tersebut. 17 Pendapat ini diutarakan oleh Adami Chazawi.
14
Ibid., hal. 570.
15
Kanter, Op.Cit., hal. 323.
16
Ibid.,
17
Adami Chazawi (2), Percobaan RajaGrafindoPersada, 2011), hal. 63.
&
Penyertaan,
Pelajaran
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Hukum
Pidana,
(Jakarta:
III. Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Penelitian yuridis normatis bertujuan untuk menelaah norma hukum tertulis.
18
Penelitian yuridis-normatif didasarkan atas studi
kepustakaan. Studi kepustakaan (library studies) dilakukan dalam rangka memperdalam pengetahuan akan teori-teori yang melandasi permasalahan dari objek penelitian. Studi kepustakaan di dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier.19 Untuk melengkapi data sekunder tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber. Narasumber tersebut adalah Pihak Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, yaitu Bapak Eryan Noviandi selaku Kasi Konsultasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Ibu Sriana selaku Kasubdit Prekursor Direktorat Psikotropika dan Prekursor, Deputi Bidang Pemberantasan BNN Republik Indonesia. Pihak Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yaitu Bapak R. Dea Rhinofa selaku Kasi Advokasi BNNP DKI Jakarta, dr. Silvia Febrina Iraman selaku Kasi Desiminasi Informasi Bidang Pencegahan BNNP DKI Jakarta Lukman Haryono selaku Analis Intelijen Produk Narkotika, Seksi Intelijen, Bidang Pemberantasan BNNP DKI Jakarta. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara melalui email dengan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej selaku akademisi.
IV. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan hasil penelitian dengan cara narasi di mana peneliti menjelaskan secara mendetail hal-hal terkait dengan pengaturan kartel publik oleh Pemerintah.
V. Pembahasan 1. Percobaan Menjual Narkotika Golongan I dan Percobaan Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri
18
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10. 19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 52.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Tindak pidana menjual narkotika diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Narkotika. Pasal 114 tersebut merupakan delik formil, yaitu delik yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan menjual apabila barang sudah diserahkan atau setidak-tidaknya kekuasaan barang sudah tidak lagi pada penjual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inti dari perbuatan yang dilarang dari menjual narkotika adalah perpindahan penguasaan atau penyerahan narkotika dari satu orang ke orang lain.20 Apabila dikaitkan dengan karakter dari pasal 114 ayat (1) sebagai delik formil, maka perbuatan menjual narkotika sudah terpenuhi sebagai delik selesai apabila perbuatan pelaku sudah menyerahkan narkotika yang ada padanya kepada pembeli dari narkotika itu sendiri. Perbuatan menjual narkotika pasti terdiri dari beberapa rangkaian tindakan. Perbuatan tersebut bisa dilakukan mulai dari tindakan untuk mendapatkan narkotika yang dilakukan dengan membeli narkotika, menerima atau memperoleh dari pihak lainnya. Setelah itu, penguasaan atau kepemilikan narkotika ada pada pelaku tersebut. Perbuatan tersebut kemudian dilanjutkan dengan menjual narkotika tersebut dalam paket besar atau dilakukan dengan membagi-bagi narkotika menjadi beberapa paket kecil narkotika. Perbuatan terakhir adalah penyerahan narkotika kepada calon pembeli. Berbicara mengenai percobaan menjual narkotika, maka unsur niat yang dimaksud dalam hal ini niat pelaku untuk menyerahkan narkotika yang ada pada pelaku dan dari penyerahan tersebut pelaku akan mendapatkan sejumlah uang. Unsur selanjutnya adalah permulaan pelaksanaan. Ditinjau dari teori subjektif, sejak pelaku mewujudkan niat jahatnya dengan mencari atau mendapatkan narkotika, maka perbuatan pelaku sudah dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan atas percobaan menjual narkotika. Permulaan pelaksanaan atas percobaan tindak pidana ditinjau dari teori objektif terdapat pada perbuatan pelaku yang telah membahayakan kepentingan hukum. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Pasal 114 ayat (1) merupakan delik formil, yaitu delik yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Menurut Simons, permulaan pelaksanaan untuk delik formil terdapat ketika perbuatan pelaku 20
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 256.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
sudah termasuk ke dalam sebagian dari perbuatan yang dirumuskan (terlarang) oleh undang-undang.
21
Selain itu, Barda Nawawi mengatakan bahwa permulaan
pelaksanaan pada delik formil sudah terjadi ketika seseorang telah melakukan sebagian dari rangkaian perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan perbuatannya tersebut dianggap membahayakan tata hukum.22 Di dalam hal ini penulis mengaitkan pendapat ahli sebelumnya dengan inti dari perbuatan yang dilarang dari tindak pidana menjual narkotika. Perbuatan tersebut adalah perpindahan atau penyerahan penguasaan narkotika dari penjual ke si pembeli. Sehingga, permulaan pelaksanaan dari tindak pidana menjual narkotika ditinjau dari teori objektif terdapat pada perbuatan yang terjadi sebelum perbuatan menyerahkan narkotika yang dilakukan pelaku kepada calon pembeli. Unsur ketiga adalah tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Di dalam percobaan menjual narkotika, dapat dikatakan bahwa syarat ketiga ini merupakan hal yang menyebabkan penjual tidak berhasil menyerahkan narkotika yang ada padanya kepada calon pembeli. Mengenai percobaan menjual narkotika diatur dalam Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Terhadap pelaku yang melakukan percobaan menjual narkotika diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Suatu percobaan menjual narkotika pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat dari E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. Selanjutnya adalah percobaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Di dalam hal ini penulis menemukan tiga pandangan yang berbeda berkaitan dengan pembahasan percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Berikut adalah penjelasan masing-masing pandangan:
21
Kanter, Loc.Cit., hal. 320.
22
Arief, Loc.Cit, hal. 4.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
A. Pandangan Pertama Pandangan ini merupakan pendapat dari Pihak BNN Republik Indonesia dan BNNP DKI Jakarta. Pendapat pertama ini menyatakan bahwa penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP merupakan suatu hal yang tidak tepat. Ada dua solusi yang diberikan di dalam menyikapi penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu:23 a. Terhadap tersangka dikenakan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Narkotika dengan catatan tersangka belum mengonsumsi narkotika tersebut dan tersangka bukanlah orang yang terkait jaringan pengedar narkotika. b. Terhadap tersangka dikenakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika tetapi harus didukung dengan tes urin atau tes darah yang menyatakan bahwa tersangka ini adalah orang yang memakai narkotika (mengonsumsi narkotika untuk dirinya sendiri). B. Pandangan Kedua Pandangan kedua ini merupakan hasil studi pustaka yang penulis lakukan atas Buku Karangan AR. Sujono dan Bony Daniel (Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) serta Putusan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 atas nama terdakwa Sidiq Yudhi Arianto. Pandangan ini berpendapat bahwa terhadap pelaku (bukan pengedar narkotika) yang bermaksud untuk mengonsumsi narkotika yang ada padanya tetapi sudah tertangkap pada saat memiliki, menguasai atau menyimpan narkotika, maka langsung dipidana atas Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Dengan demikian terhadap pelaku yang belum sempat mengonsumsi narkotika bukanlah dikenakan Pasal 127 ayat (1) jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atas dasar percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. C. Pandangan Ketiga Pendapat yang cukup berbeda diutarakan oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej. Beliau berpendapat, jika Undang-Undang Narkotika tidak mencantumkan percobaan terkait Pasal 127 ayat (1) huruf a, hal tersebut 23
Wawancara dengan Eryan Noviandi selaku Kasi Konsultasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, bertempat di Kantor Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, pada tanggal 28 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
menunjukkan pembentuk undang-undang menghendaki ketentuan percobaan dalam tindak pidana narkotika harus merujuk pada Pasal 53 KUHP. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan niat seorang penyalah guna adalah niat untuk mengonsumsi narkotika. Permulaan pelaksanaan di dalam pandangan ketiga ini dipersyaratkan menggunakan teori objektif. Apabila perbuatan pelaku adalah percobaan penyalahgunaan ganja, permulaan pelaksanaannya terdapat perbuatan pelaku sebelum menghisap ganja yang sudah dilinting menjadi rokok atau dalam bentuk lainnya. Untuk shabu sendiri, permulaan pelaksanaan terdapat pada perbuatan pelaku sebelum menghisap asap dari shabu yang dibakar di atas aluminium foil. Setiap perbuatan yang terjadi sebelum permulaan pelaksanaan itu sendiri dapat dikategorikan sebagai perbuatan persiapan dan perbuatan yang terjadi tepat setelah permulaan pelaksanaan itu sendiri merupakan perbuatan pelaksanaan dari bentuk percobaan ini. Syarat ketiga adalah tidak selesainya pelaksanaan disebabkan pengaruh dari luar diri pelaku. Syarat ketiga ini merupakan hal yang membuat pelaku tidak berhasil atau tidak sampai mengonsumsi narkotika yang ada pada diri pelaku. Suatu percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat dari E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja.pelaku yang melakukan percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri akan dipidana atas Pasal 127 ayat (1) jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimum tiga tahun. 2. Analisis Putusan atas Kasus Percobaan Menjual Narkotika dan Percobaan Penyalahgunaan Narkotika bagi Diri Sendiri Apabila dikaitkan dengan kasus yang terdapat di dalam Putusan Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu, maka yang menjadi niat pelaku adalah maksud untuk menjual sebelas paket kecil shabu kepada Dina dan dari tiap paketnya yang laku terjual, pelaku akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 800.000,00. Apa yang menjadi tujuan terdakwa merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang Narkotika, hal ini diatur dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Unsur kedua adalah permulaan pelaksaan. Menurut teori subjektif, suatu permulaan pelaksanaan pada percobaan tindak pidana adalah permulaan pelaksanaan
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
dari niat jahat pelaku.24 Sehingga ketika pelaku sudah mewujudkan niatannya melalui suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan. Dari rangkaian perbuatan terdakwa pada kasus ini dapat dikatakan bahwa permulaan pelaksanaan atas percobaan menjual shabu sudah ada sejak terdakwa membeli shabu dari Satrianoor. Pada dasarnya, suatu permulaan pelaksanaan dari teori objektif terdapat pada perbuatan pelaku yang telah membahayakan kepentingan hukum. Menurut Barda Nawawi, suatu permulaan pelaksanaan pada delik formil sudah terjadi ketika seseorang telah melakukan sebagian dari rangkaian perbuatan tersebut dan perbuatannya tersebut dianggap membahayakan tata hukum. 25 Dari penjelasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa suatu permulaan pelaksanaan dari percobaan menjual narkotika terdapat pada perbuatan yang terjadi sebelum penjual menyerahkan narkotika kepada calon pembeli narkotika. Dari rangkaian tindakan yang dilakukan terdakwa pada Putusan Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu dapat disimpulkan bahwa permulaan pelaksanaan atas percobaan menjual shabu yang dilakukan terdapat pada perbuatan terdakwa menunggu calon pembeli di Salon Paramita. Unsur ketiga adalah tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Syarat ketiga ini merupakan hal yang mengakibatkan pelaku tidak berhasil untuk menyerahkan narkotika kepada calon pembeli. Apabila dikaitkan dengan kasus yang terdapat di dalam Putusan Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu, maka tidak selesainya pelaksanaan pelaku untuk menjual narkotika disebabkan oleh tindakan polisi yang melakukan penggeledahan dan penangkapan pelaku pada saat pelaku menunggu di Salon Paramita. Perbuatan terdakwa dalam putusan ini merupakan suatu percobaan menjual narkotika. Hal ini sejalan dengan pendapat Van Bemmelen dan Wirjono yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pada putusan ini terdakwa sudah berhasil menciptakan sejumlah keadaan (dengan cara membagi shabu menjadi paket kecil, membawa timbangan dan sampai dengan menunggu calon pembeli di Salon Paramita) untuk menyelesaikan kejahatan dan kejahatan itu sendiri akan diselesaikan apabila tidak ada penghalang dari luar pelaku. Dengan demikian, sudah tepat apabila terdakwa dipidana
24
Loqman, Loc.Cit., hal. 19.
25
Arief, Loc.Cit, hal. 4.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
dengan Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika atas percobaan menjual narkotika. Dengan kasus posisi yang memiliki kemiripan dari proses terjadinya, maka sudah sepatutnya terdakwa dipidana atas Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika atas percobaan menjual narkotika, bukan dipidana dengan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar perbuatan melawan hukum atau tanpa hal memiliki, menguasai, menyimpan, menyediakan narkotika.Tetapi hal inilah yang terjadi untuk Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 157/Pid.B/2013/PNKIS. Dengan diterapkannya Pasal 112 ayat (1) untuk percobaan menjual narkotika sebagaimana sudah dijelaskan juga sebelumnya, maka hal tersebut dapat mengakibatkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Ketidakadilan dalam hal ini terlihat ketika untuk Putusan Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu, terdakwa dikenakan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Sedangkan untuk Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 157/Pid.B/2013/PN-KIS, terdakwa dikenakan pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan. Ketidakpastian hukum terlihat dari penerapan pasal yang kurang tepat, karena terhadap terdakwa yang melakukan percobaan menjual narkotika sudah sepaturnya dipidana atas Pasal Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Putusan selanjutnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tegal. Pembahasan dari Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 14/Pid.Sus/2011/PN.Tgl akan dikaitkan dengan tiga pandangan atas percobaan penyalahgunaan narkotik bagi diri sendiri. Berikut adalah penjelasannya: a. Pandangan Pertama Penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP untuk putusan ini tidaklah tepat. Pelaku pada putusan ini bukanlah lagi sebagai orang yang mencoba menyalahgunakan narkotika bagi dirinya sendiri, melainkan memang sudah menjadi penyalah guna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Hal ini didukung oleh tes laboratorium yang menyatakan bahwa urin terdakwa
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
positif mengandung metamfetamina yang terdaftar sebagai Narkotika Golongan I di dalam Undang-Undang Narkotika.26 b. Pandangan kedua Apabila dikaitkan dengan pandangan kedua ini, penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP pada putusan ini merupakan hal yang tidak tepat. Dari pandangan kedua ini dapat disimpulkan bahwa terhadap terdakwa seharusnya dikenakan Pasal 127 ayat (1). c. Pandangan Ketiga Apabila ditinjau dari pandangan ini, maka penerapan Pasal Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP di dalam Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 14/Pid.Sus/2011/PN.Tgl merupakan suatu hal yang tidak tepat. Karena perbuatan terdakwa bukanlah suatu percobaan tindak pidana, terlebih terdakwa ditangkap pada saat saat hendak pulang ke rumah kos terdakwa setelah membeli narkotika dari Amar. Adapun niat terdakwa di dalam kasus ini adalah untuk menggunakan atau mengonsumsi bagi diri sendiri shabu yang dibeli dari Amar. Hal ini dilarang oleh Undang-Undang Narkotika, yaitu pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Permulaan pelaksanaan di dalam penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP didasarkan atas permulaan pelaksanaan dari teori objektif. 27 Untuk shabu sendiri, cara pengonsumsiannya dapat dilakukan dengan membakar shabu di atas aluminium foil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permulaan pelaksanaan diatas percobaan penyalahgunaan shabu terdapat pada perbuatan pelaku sebelum menghisap asap dari shabu yang dibakar di atas aluminium foil. Di dalam hal ini perbuatan terdakwa yang ditangkap pada saat akan pulang ke rumah kos terdakwa belum dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan ditinjau dari teori objektif. 26
Hal ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial di angka ke-2 huruf c. 27
Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej melalui email, pada tanggal 5 Mei 2014, pukul 10.00 WIB.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Meskipun demikian, bukanlah suatu hal yang tepat apabila terdakwa pada kasus tersebut dipidana atas Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika terdakwa pada kasus ini seharusnya dipidana atas Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Karena pelaku dalam putusan ini adalah seorang penyalah guna narkotika bagi dirinya sendiri. Tetapi hal inilah yang terjadi untuk Putusan Bandung Nomor 574/Pid.B/2011/PN.BB, di mana terdakwa dipidana atas Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Penerapan Pasal 111 ayat (1) untuk seoragn penyalah guna narkotika bagi diri sendiri menunjukkan belum terdapat pemahaman yang seragam dari penegak hukum dalam mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan penyalah guna itu sendiri.
VI. Kesimpulan 1. Penerapan unsur percobaan untuk tindak pidana menjual narkotika dapat terjadi apabila niat pelaku adalah niat untuk menyerahkan narkotika kepada orang lain dan dari penyerahan tersebut pelaku akan mendapatkan sejumlah uang. Unsur permulaan pelaksanaan dapat dilihat dari teori subjektif dan teori objektif. Berdasarkan teori subjektif, permulaan pelaksanan terdapat ketika pelaku telah mewujudkan niat jahatnya melalui perbuatan untuk mendapatkan narkotika. Sedangkan menurut teori objektif, permulaan pelaksanaan terdapat pada perbuatan pelaku sebelum perbuatan menyerahkan narkotika kepada calon pembeli. Untuk unsur terakhir harus dipastikan bahwa tujuan pelaku untuk menyerahkan narkotika tidak tercapai disebabkan oleh pengaruh dari luar diri pelaku. Dari hasil wawancara dan studi pustaka yang penulis lakukan, terdapat tiga pandangan yang berkaitan dengan percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Pandangan pertama menolak untuk menerapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atas dasar percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri. Pandangan kedua berpendapat bahwa setiap penyalah guna bagi diri sendiri (bukan pengedar narkotika) langsung dipidana atas Pasal 127 ayat (1), meskipun pelaku ditangkap pada saat membeli, memiliki, menguasai atau menyimpan narkotika. Menurut pandangan ketiga, penerapan unsur percobaan atas Pasal 127 ayat (1) huruf a dapat terjadi. Unsur niat di dalam percobaan ini adalah niat untuk mengonsumsi narkotika bagi diri pelaku sendiri. Menurut teori objektif,
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
permulaan pelaksanaan untuk penyalahgunaan ganja terdapat pada perbuatan pelaku sebelum menghisap ganja yang sudah dilinting menjadi rokok. Untuk shabu sendiri, permulaan pelaksanaan terdapat pada perbuatan pelaku sebelum menghisap asap dari shabu yang dibakar di atas aluminium foil. Di dalam unsur terakhir adalah pelaksanan yang tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku, harus dipastikan bahwa tujuan pelaku untuk mengonsumsi narkotika tidak tercapai disebabkan oleh pengaruh dari luar diri pelaku. Mengenai percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri dilakukan dengan menerapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Dari percobaan menjual narkotika dan percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat dari E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. 2. Penerapan ajaran percobaan pada putusan pengadilan di dalam praktek belum menunjukkan suatu pemahaman yang seragam. Dari putusan yang di bahas dalam skripsi ini terdapat satu putusan yang sudah menerapkan ajaran percobaan dengan tepat, tetapi untuk putusan lainnya terdapat putusan yang belum menerapkan ajaran percobaan dengan tepat. Penerapan ajaran percobaan pada Putusan Pengadilan Negeri Rantau Nomor 177/Pid.sus/2012/PN.Rtu sudah tepat dan sesuai dengan ajaran percobaan tindak pidana. Adapun yang menjadi niat terdakwa adalah maksud untuk menyerahkan narkotika kepada Dina. Apabila ditinjau dari teori subjektif, maka perbuatan terdakwa membeli narkotika dari Satrianoor merupakan permulaan pelaksanaan. Sedangkan apabila ditinjau dari teori objektif, maka perbuatan terdakwa untuk menunggu calon pembeli di Salon Paramita merupakan permulaan pelaksaan. Ketika terdakwa ditangkap oleh petugas kepolisian, maka hal tersebut merupakan unsur tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Di dalam putusan ini terdakwa sudah berhasil menciptakan sejumlah keadaan (dengan cara membagi shabu menjadi paket kecil, membawa timbangan dan sampai dengan menunggu calon pembeli di Salon Paramita) untuk menyelesaikan kejahatan dan kejahatan itu sendiri akan diselesaikan apabila tidak ada penghalang dari luar pelaku. Dengan demikian, sudah tepat apabila terdakwa dipidana dengan Pasal 114 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika atas percobaan menjual narkotika.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Penerapan ajaran percobaan tindak pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 14/Pid.Sus/2011/PN.Tgl atas dasar percobaan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri merupakan hal yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan ajaran percobaan tindak pidana. Perbuatan terdakwa di dalam putusan tersebut bukanlah suatu percobaan penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Terdakwa sudah menjadi penyalah guna narkotika. hal ini didukung dengan adanya fakta dari uji laboratorium yang menyatakan urin terdakwa mengandung metamfetaminaTerhadap terdakwa sudah sepantasnya dipidana atas Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika.
5.2
Saran 1. Seorang penyidik, jaksa dan hakim harus tepat dalam menerapkan pasal dari UndangUndang Narkotika dan menggali lebih dalam apa yang menjadi niat jahat sebenarnya dari pelaku. Hal ini dikarenakan, terdapat pasal yang memiliki rumusan yang luas dan pasal itu sendiri memenuhi untuk perbuatan lain yang yang diancam dengan pidana di dalam Undang-Undang Narkotika. 2. Diperlukan suatu pemahaman yang seragam dari penyidik, jaksa dan hakim di dalam menerapkan pasal di dalam Undang-Undang Narkotika. Pemahaman yang seragam dalam hal ini berkaitan dengan penanganan pelaku tindak pidana narkotika yang sudah menjadi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Narkotika.
VII. Daftar Referensi Buku Arif, Barda Nawawi. (1999). Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Universitas Diponegoro. Chazawi, Adami. (2011). Percobaan & Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindoPersada. _______- (2011), Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
Kanter, E.Y. & S.R. Sianturi. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika. Kartanegara, Satochid. (s.t). Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara S.H dan Pendapat2 Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Satu. s.l: Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang. P.A.F. (1997). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Loqman, Loebby. (1996). Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana. Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbitan Jakarta Mamudji, Sri et.al.,. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Remmelink, Jan. (2003). Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia)[Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht], diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono dkk. Jakarta: Gramedia. Soekanto, Soerjono. (2010). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soesilo, R. (1991). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia. Sujono, AR. dan Bony Daniel. (2011). Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika. Jurnal Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2013). “Hak dalam Kemelut Hukum,” Jurnal Yudisial, 6. 2. Undang-Undang Indonesia. Undang-Undang Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009. LN No. 143 Tahun 2009. TLN No. 5062. Wawancara Wawancara dengan Eryan Noviandi S.H selaku Kasi Konsultasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dilakukan tanggal 28 Maret 2014, bertempat di Kantor Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. Wawancara dengan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej melalui email, pada tanggal 5 Mei 2014.
Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014