BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEJAHATAN, KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN RUANG LINGKUP DAN BATASAN MENGENAI “KUMPUL KEBO”
2.1 Pengertian dan Perkembangan Kejahatan Kejahatan merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat, dimana ada masyarakat disitulah hadir kejahatan. Eksistensi kejahatan sudah ada semenjak masyarakat itu ada, menurut Benedict S. Alper kejahatan dikatakan sebagai “The oldest social problem” (permasalahan sosial terlama yang pernah ada). Perkembangan kejahatan yang semakin meningkat, bentuk penyelesaiannya juga harus mengalami perkembangan dan diperbarui1. Kejahatan dipandang sebagai persoalan pribadi atau persoalan keluarga yang harus diselesaikan secara pribadi atau kekeluargaan, sesuai dengan yang diderita dan dirasakan oleh korban kejahatan tersebut. Kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan secara individu, juga merupakan masalah sosial. Marc Ancel menyebut sebagai “a human and social problem” (manusia dan permasalahan sosial). Selain itu Bonger juga mengemukakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definition) mengenai kejahatan.2 Kejahatan atau tindak kriminal dianggap sebagai prilaku yang menyimpang dan merupakan suatu ancaman bagi masyarakat. Hal ini pernah dikemukakan oleh Saparinah Sadli, yang menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma 1
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief 2), CV. Ananta, Semarang, hal. 11 2 Soerjono Soekanto, 2001, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 21
21
22
yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi ketertiban sosial.3 Mardjono Reksodiputro juga mengemukakan bahwa masyarakat memerlukan aturanaturan yang mengatur hubungan antar warganya dan karena itu adanya penyimpangan dari aturan tersebut dianggap mengacaukan tatanan masyarakat (tertib sosial) walaupun ia juga mengakui bahwa tidak semua perilaku yang menyimpang berdampak disfungsional terhadap tatanan masyarakat.4 Kejahatan merupakan perbuatan manusia dan merugikan masyarakat, maka perlu diberi sanksi. Untuk dapat dikatakan suatu perbuatan adalah sebagai kejahatan (tindak pidana) perlu ditetapkan sebagai demikian oleh penguasa dan dapat dikenakan sanksi.5 Kejahatan merupakan tindakan atau perbuuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diperlukan sanksi jika melakukannya. Penjatuhan sanksi tersebut didasarkan pada suatu alasan bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan dianggap telah mengganggu ketertiban sosial. Oleh karena itu perlu kiranya untuk mencari pemecahan dalam menanggulangi kejahatan yang mengganggu ketertban sosial (masyarakat) ini. Untuk menjaga ketertiban masyarakat, maka hukum harus dijalankan dengan seksama dengan dukungan oleh perangkatnya. I.S. Soesanto mengajukan empat unsur yang dapat mepengaruhi kualitas penegakkan hukum, khususnya dalam konteks penegakkan hukum pidana, yaitu : 1. Undang-Undang, 3
Saparinah sadli, 1976, Persepsi Mengenai Perilaku Yang Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 56 Mardjono Reksodiputro, 1997, Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 41-43 5 Soedarto, 1996, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 107 4
23
2. Pelanggar, 3. Korban (masyarakat), 4. Aparat penegak hukum itu sendiri. 6 Empat komponen tersebut berada dalam hubungan yang saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah struktur politik sosial, budaya dan ekonomi pada suatu situasi tertentu. Pemberantasan atau penanggulangan kejahatan banyak cara atau usaha yang dilakukan oleh setiap masyarakat. Namun usaha tersebut tidak menghapuskan secara tuntas kejahatan yang ada, mungkin hanya dapat mengurangi kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Berkaitan dengan pembahasan tulisan ini, maka digunakan istilah “tindak pidana” yang artinya untuk menggantikan istilah kejahatan atau pelanggaran. Sebagaimana diketahui bahwa KUHP membagi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran. Namun dalam perkembangan khususnya dalam konsep KUHP baru sudah tidak ada lagi membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran dan yang ada hanya kejahatan.
2.2 Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah "policy" (Inggris) atau "politiek" (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagi prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidangbidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam 6
I.S. Soesanto, 1992, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial dalam Masalah-Masalah Hukum No. 9, UNDIP, Semarang, hal. 5
24
suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (warga negara).7 Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, menterjemahkan “policy” juga dengan kebijakan, yaitu suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif.8 Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain "penalpolicy", "criminal law policy" atau "strafrechtspolitiek".9 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.10 Berdasarkan pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaruan perundang-undangan hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat 7 8
9
Lilik Mulyadi 1, Op.cit, hal. 389 Barda Nawawi Arief 2, Op.cit, hal. 59. Barda Nawawi Arief 3, Op.cit, hal. 24. Soedarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana (selanjutnya disebut Soedarto 1), Alumni, Bandung, hal.159.
10
25
dijelaskan bahwa, hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur (structural) dan substansi (substantive) hukum.Karena undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaruan hukum pidana, di samping memperbarui perundangundangan, juga mencakup pembaruan ide dasar dan ilmu hukum pidana.11 Kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana dapat diartikan sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksi berupa pidana. Sanksi pidana dalam hukum pidana berupa pidana merupakan sistem sanksi yang bersifat negatif, yang berarti dipandang sebagai suatu penderitaan.12 Pemberian sanksi ini memang sangatlah diperlukan, akan tetapi juga harus mempertimbangkan seperti apa yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yang menyatakan bahwa : 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan. Kita tdak dapat hidup sekkarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana. 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari perawatan (treatment) dari pidana. 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau yang terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manuusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.13 Pemidanaan berhubungan dengan pemidanaan itu sendiri. Para sarjana berpendapat berbeda-beda masalah teori tujuan pemidanaan ini, yang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : 1.
Teori absolut atau teori pembalasan (retributive teory) 11
Lilik Mulyadi 1, Op.cit., hal. 390. Soedarto 1, Op. cit, hal. 106 13 Barda Nawawi Arief 3, Op.cit, hal.28 12
26
Teori ini menganggap pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.14 Nigel Walker, menyatakan bahwa teori retributive ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu : a. Teori retributif murni (the pure retributivist) yang berpendapat pidana harus cocok dengan kesalahan si pembuat. b. Teori retributif tidak murni (dengan modifkasi) yang dapat dibagi dalam : - Teori retributif terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa. - Teori retributif yang distributif (retributivist in distribution), teori retributif yang distributif disingkat dengan teori distributif berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa adanya kesalahan dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.15 Mengenai pengertian praktis, kebijakan hukum pidana merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi pembentukan undangundang dan aktivitas aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Petugas Lapas/Pelaksana Eksekusi), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pada akhirnya kebijakan hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, karena berhubungan dengan penegakan hukum baik hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaruan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap seperti konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari : a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undangundang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif.
14 15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 10-11 Ibid, hal. 10-11
27
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana in conreto oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif. c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.16 Tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dalam keseluruhan proses kebijakan untuk dapat menerapkan dan mengoperasionalisasikan sanksi pidana dan pemidanaan. Tahapan ini diawali dengan merumuskan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, sehingga menjadi pedoman dalam menentukan garis kebijakan bagi tahapan berikutnya yaitu tahapan penerapan pidana oleh badan peradilan (tahapan aplikasi yang merupakan proses peradilan/judicial, sehingga disebut juga tahapan yudikasi), dan tahapan pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.17 Selain itu, tahapan formulasi/legislasi dianggap tahapan yang penting menurut G.P. Hoefnagels, karena merupakan tahapan dalam menentukan kebijakan dalam hukum penitensier (hukum pemidanaan) atau sentencing policy. Namun pada akhirnya, seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana baik tahapan formulasi/legislasi, aplikasi/yudikatif dan eksekusi, semuanya merupakan suatu kebijakan penanggulangan hukum pidana, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan dapat tercapai apabila proses dan mekanismenya dijalankan sesuai prosedur.18
16
Muladi, 2002, Kapita Selekta Hukum Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 13. 17 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 73. 18 Henny Nuraeny, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, hal.61.
28
Pada hakikatnya usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dariusaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).19 Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).20 Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa 19
Ibid, hal. 74.
20
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 73.
29
terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui berbagai strategi, sesuai dengan kebijakan pembangunan masyarakat/social global yang mengacu pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diantaranya yaitu : 1. Strategi dasar/pokok penanggulangan kejahatan, ialah meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. 2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistemik. 3. Perlu memperhatikan beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang sifatnya transnasional, regional dan internasional, yang berhubungan dengan kejahatan modern. 4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum. 5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan managemen organisasi/managemen data. 6. Perlu disusunnya Guidelines, Basic Principle, Rules, Standard Minimum Rules (SMR). 7. Perlu ditingkatkan kerja sama internasional dan bantuan teknis, dalam rangka memperkukuh the rule of law dan management of criminal justice system.21 Berdasarkan dimensi diatas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya berhubungan dengan pembaruan hukum pidana yang menyeluruh yaitu mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materiil (substantif), di bidang hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.22 Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materiil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perumusan delik, unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana, serta perumusan pidana dan pemidanaan. Kebijakan yang termasuk 21 22
Henny Nuraeny, Op.cit., hal. 65. Barda Nawawi Arief 3, Op.cit., hal.28.
30
ke dalam hukum pidana formil erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana seperti halnya pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan, pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan dan pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan. Terakhir kebijakan yang terkait dengan hukum pelaksanaan pidana berhubungan dengan eksekusi (pelaksanaan putusan pengadilan). Pelaksanaan kebijakan hukum pidana dapat dilakukan oleh badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki, yang dapat diperkirakan, yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat, dan untuk mencapai apa yang di citacitakan. Untuk itu kebijakan hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang– undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu tertentu dan untuk masa yang akan datang. Atas dasar itu kebijakan hukum pidana akan mempunyai pengaruh untuk mengatur atau mengendalikan masyarakat guna mencapai tujuan tertentu.
2.3
Kebijakan Kriminalisasi Secara etimologis kriminalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Criminalization yang
mempunyai padanan dalam Bahasa Belanda “Criminalisatie”. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana.23 Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau 23
Teguh Prasetyo, 2011, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cet-2, Nusamedia, Bandung, hal. 32.
31
membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.24 Di samping itu, pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak dituntutpidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.25 Dasar pembenaran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana lebih banyak terletak di luar bidang hukum pidana artinya dasar pembenaran tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang termasuk dasar pembenaran tersebut adalah faktor nilai, ilmu pengetahuan, dan faktor kebijakan. Nilai-nilai atau kaidah-kaidah sosial yang menjadi sumber pembentukan kaidah hukum pidana meliputi nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama, serta norma-norma budaya yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Kriminalisasi tersebut menurut Sudarto harus memiliki kriteria diantaranya: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi denganhukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat c. Penggunaan hukum pidana haru pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” 24
Soerjono Soekanto, 1981, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
25
Hugh D. Barlow, 1984, Introduction to Criminology, Third Edition, Boston: Little Brownand Company, hal.
62.
9.
32
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas.26 Sehingga kriminalisasi muncul ketika terjadi suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Persoalan kriminalisasi timbul karena terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sedangkan dalam simposium Pembaruan Hukum Nasional di Semarang pada bulan Agustus 1980, ditentukan kriteria kriminalisasi yaitu : 1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. 2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengurusan dan penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban selaku pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3. Apakah makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya. 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.27 Dalam realita ada kesulitan dalam menentukan perbuatan tertentu dapat dikatakan perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana. Hal ini dikarenakan perubahan sosial, pandangan dari masyarakat, kemajuan teknologi, dan arus globalisasi yang terjadi, menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu perbuatan tertentu, sehingga untuk menentukan ukuran tersebut diperlukan inventarisasi atau pendefinisian yang akan menimbulkan akibat hukum yaitu
26 27
Barda Nawawi Arief 3, Op.cit., hal. 31. Lilik Mulyadi 1, Op.cit., hal. 397.
33
berupa kriminalisasi (penciptaan delik baru) atau pembaruan hukum terhadap perbuatan tertentu agar terciptanya kedamaian dan kesejahterakan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
2.4 Ruang Lingkup dan Pengertian Mengenai “Kumpul Kebo” Sebelum membahas mengenai “kumpul kebo”, akan dibahas terlebih dahulu mengenai zina. Pengertian zina menurut hukum adat atau yang disebut sumbang adalah persetubuhan antara pria dan wanita di luar perkawinan yang sah, baik sudah kawin maupun belum kawin. Jika perbuatan itu sudah jelas dilakukan, maka pelaku-pelaku harus dihukum yang berat ringan hukumannya tergantung dari hukum adat yang berlaku di lingkungan adat setempat.28 Kata zina itu sendiri berasal dari kata-kata yang berarti sebagai berikut : 1. Perbuatan senggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh tali perkawinan (pernikahan). 2. Perbuatan bersenggama antara seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang terikat perkawinan dengang seseorang laki-laki yang bukan suaminya.29 Zina dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu perbuatan persetubuhan yang tidak sah dan bersundal, bermukah dan bergendak.30 Perbuatan zina itu bermacam-macam bentuk dan salah satu bentuknya adalah perbuatan zina dengan nama “kumpul kebo”. Kumpul kebo (cohabitation) yaitu hidup sebagai suami istri, tetapi tidak diikat oleh perkawinan.31 Kumpul kebo dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah cohabitation. Dalam Black Law Dictionary kata cohabitation diartikan : to live together as husband and wife. The mutual assumption of those rights, duties and obligations wich are ussualy manifested by married 28
Fauzan, 2002, Hukum Bagi Pezinah dan Penuduhnya, Khairul Bayan, Jakarta, hal. 10 Majalah Hukum dan Masyarakat Kertha Patrika, No. 20 Tahun Ke VI 1980, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana, hal. 28 30 Ibid. 31 Ranuhandoko, 1996, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 33 29
34
people,
including
but
not
necessary
dependet
on
sexual
relation.32
(hidup bersama sebagai suami dan istri. Asumsi bersama orangorang yang hak, tugas,dan kewajiban yang sering diwujudkan oleh orang-orang
yang
sudah
menikah, termasuk tidak tergantung pada hubungan seksualnya). Orang Indonesia mempunyai sebutan yang unik untuk pasangan yang hidup bersama sebelum menikah yaitu ”kumpul kebo” yang artinya pasangan yang telah tinggal serumah sebelum menikah, sama halnya dengan binatang (yang kemudian diidentifikasikan dengan kerbau), yang tinggal satu atap tanpa ikatan resmi. Istilah kumpul kebo yang menganalogikan hubungan manusia dengan binatang itu tentu saja menunjukkan bagaimana masyarakat menilai negatif keputusan untuk hidup bersama tanpa menikah. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas maka pada kasus yang pernah terjadi pada tahun 2003 sampai 2005 timbullah desakan agar kumpul kebo dijadikan salah satu delik kesusilaan.33 “Kumpul kebo” dianggap merupakan suatu perbuatan yang merusak rasa susila masyarakat dan hukum adat serta hukum agama manapun tidak menyetujui keberadaannya. Untuk itu maka para ahli hukum pidana dalam merancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 yang nantinya akan dimasukan ke DPR sebagai Rancangan KUHP baru berupaya merumuskan ”kumpul kebo” dalam salah satu pasal delik kesusilaan. Rancangan KUHP 2012 Pasal 485 tentang “kumpul kebo” dalam perumusan delik yang bunyinya antara lain sebagai berikut:
32
Bryan A. Garner (ed), 1999, Black’s Law Dictionary, Sevent Edition, West Group, St. Paul. Hal. 1011 Firmansyah, 2008, Pasangan Kumpul Kebo Diminta Taat Hukum, KOMPAS, URL : http://regional.kompas.com/read/2013/03/31/1026338/Pasangan.Kumpul.Kebo.Diminta.Taat.Hukum?utm_source=n ews&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&, diakses tanggal 12 Mei 2015 33
35
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Penjelasan Pasal 485 menyatakan bahwa: “Ketentuan dalam pasal ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpul kebo”. Pembaharuan hukum pidana Indonesia berupaya agar undang-undang yang akan berlaku di Indonesia merupakan undang-undang yang berisikan nilainilai yang ada dan tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai itu bermuara pada pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar pembentukan negara Indonesia.