RUANG KAJIAN
KEBIJAKAN MENGENAI PEMERIKSAAN PAJAK Irawati Abstract Tax audit and investigation is with refer to activity musters and process data, description and evidence executed objectively professional and based on an inspection standard to test accomplishment compliance of obligation of taxation or for purpose of other for the agenda of executing law and regulation rule of taxation presumably can be made a part of taxation system only. All important is how Taxpayer can execute the taxation rights and fulfils all the taxation obligations according to contents and soul of law taxation. Kata Kunci: Kebijakan, Perpajakan, Pemeriksaan Pajak
Pendahuluan Usaha agar target pajak dapat tercapai sangat berkaitan dengan tugas pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pembinaan terhadap Wajib Pajak. Pemeriksaan pajak merupakan hal pengawasan pelaksanaan sistem Self Assessment yang dilakukan oleh wajib pajak, harus berpegang teguh pada Undang-undang Perpajakan. Dalam sistem Self Assessment pemberdayaan masyarakat adalah hal yang pokok, dimana prinsip itikad baik merupakan tuntunan moral menyelenggarakan pembukuan untuk keperluan pajak. Berdasarkan sistem ini pula setiap Wajib Pajak harus: (1) mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak, (2) kewajiban me-
mahami peraturan yang berlaku, (3) menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan untuk keperluan administrasi pajak dengan disertai oleh moral dan etika yang bertanggung jawab.1 Pelaksanaan peraturan perundangan, diperlukan adanya penegakan hukum (law enforcement) untuk menjamin kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan UU. Bagi Wajib Pajak, tidak ada pilihan lain kecuali untuk patuh dalam melaksanakan UU kecuali ingin mendapatkan atau dikenakan sanksi/ denda. Pemerintah melalui Ditjen Pajak, mempunyai sarana untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak yaitu melalui pemeriksaan pajak. Dengan pemeriksaan pajak, diharapkan Wajib Pajak patuh melaksanakan ketentuan perundang1
JURNAL EKONOMI & BISNIS. 2002. No. 2 Jilid 7.
an yang ada. Untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut salah satunya adalah melalui tindakan pemeriksaan pajak, maka mutlak diperlukan tenaga pemeriksa pajak dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Sedangkan untuk mendapatkan jaminan mutu atas hasil kerja pemeriksaan selain diperlukan kuantitas dan kualitas yang memadai diperlukan juga prosedur pemeriksaan, serta norma dan kaidah yang mengatur seorang Pemeriksa Pajak. Norma dan kaidah tersebut diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. Se-04/Pj.7/2000 tanggal 4 Desember 2000. Menurut N.A.Barr, S.R. dalam Moh. Zein (2005), pada dasarnya tidak ada satu pun dari verifikasi/ pemeriksaan atau metode teknis lainnya dapat diperluas sampai mencapai jumlah wajib pajak cukup, agar dapat diperoleh efek langsung yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak atau menjamin tercapainya kepatuhan membayar pajak yang cukup tinggi, tetapi sebenarnya yang diharapkan adalah agar prosedur tersebut dapat membantu pembentukan akal sehat para Wajib Pajak untuk lebih memenuhi kewajibannya.
Sapri Nurmanto (2000:1) menyatakan administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan manajemen publik. Dalam arti sempit, administrasi pajak adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajibankewajiban dan hak-hak Wajib Pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor Wajib Pajak. Yang termasuk dalam kegiatan piñatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan 2 (filing) . Menurut Norman D. Nowak (1970:3) administrasi pajak merupakan kunci dari kebijakan pajak yang efektif. Jika administrasi pajak lemah, maka tingkat penyelundupan pajak (tax evasion) akan tinggi dan keputusan atas kebijakan pajak menjadi sia-sia. Leon Yudkin mengenai administrasi yang efektif menyatakan: Effective administration requires much more than a legal system: An efficient administrative organization staffed by welltrained and reasonably well-paid employees A top governmental policy that supports and encourages effective and impartial administration A substantive tax system that is equitable toward taxpayers and that is reasonably fitted to level of economic and cultural development of the people And an administrative and judicial attitude that looks upon tax
Administrasi Perpajakan Fungsi utama sistem pajak adalah pengumpulan penerimaan negara dalam jumlah yang cukup, stabil, elastis dan berkesinambungan. Seberapa baik dan canggihnya sistem pajak serta efektivitas administrasi pelaksanaannya selalu diukur dengan capaian target penerimaan.
2
Sapri Nurmantu. 2000. Dasar-dasar Perpajakan. Fakultas Ekonomi UNPAD. Bandung. 39 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
evasion as a social wrong and that is not hospitable to hyper technical tax avoidance 3. (Administrasi yang efektif lebih dibutuhkan dibanding suatu undang-undang: Administrasi suatu organisasi yang efisien yang dilaksanakan oleh karyawan yang terlatih dan layak bergaji baik Puncak suatu kebijakan pemerintah yang mendukung dan mendorong administrasi tak berat sebelah dan efektif Substansi suatu sistem perpajakan adalah diarahkan kepada Wajib Pajak dan itu layak dicoba menaikkan tingkat pengembangan ekonomi dan budaya orang-orang Dan suatu perilaku pengadilan dan administrasi yang menganggap pengelakan pajak sebagai masalah sosial dan tidak membiarkan teknis penghindaran pajak semakin tidak terkendali. Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspects of Income Tax Avoidance or Evasion. Upaya untuk mengurangi tax evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah diadakan oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak yakni The Dialogue between the tax administration and
the taxpayer up to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara 4 melawan hukum atau tax evasion. Kebijakan Pajak
Pemeriksaan
Bentuk pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan pasal 29 Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menyatakan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain untuk melaksanakan ketentuan peraturan yang berlaku. Pemeriksaan pajak menurut UU KUP baru yaitu Undang-Undang No. 28/2007 yang disahkan 17 Juli 2007 dan mulai berlaku 1 Januari 2008 merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6/1983. Perubahan tersebut disambut positif oleh kalangan swasta karena lebih transparan dan terdapat keseimbangan antara hak-hak wajib pajak dan kewajibannya sehingga hal ini diharapkan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Pasal 1 angka 25 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 16 Tahun 2000 memberikan pengertian tentang pemeriksaan: ”Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk me-
3
Yudkin., Leon.1971. A Legal Structure for Effective Income Tax Administration. International Tax Program, Harvard Law School.
4
40 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
Dalam
Sapri Nurmantu. Opcit Hal 7.
nguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”. Salah satu perubahan sangat besar adalah proses pemeriksaan pajak yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur di batang tubuh dari undang-undang dimaksud. Sebelum perubahan undang-undang dimaksud, tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 123/PMK.03/2006. Jenis pemeriksaan berdasarkan ketentuan yang sekarang berlaku dibedakan menjadi dua, yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan sederhana atau pemeriksaan dengan korespondensi. Pemeriksaan lapangan dilakukan di tempat wajib pajak, dapat mencakup suatu jenis pajak tertentu atau semua jenis pajak, sedangkan pemeriksaan kantor dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, dan hanya meliputi suatu jenis pajak tertentu. Di dalam Peraturan MK No. 123 disebutkan hak-hak wajib pajak dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak, yaitu: 1. Dalam hal pemeriksaan lapangan wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan surat perintah pemeriksaan, dan minta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan; 2. Wajib pajak berhak minta kepada pemeriksa pajak rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT;
3. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan pembahasan oleh tim pembahas dalam hal terdapat perbedaan antara pendapat wajib pajak dengan hasil pembahasan atas tanggapan wajib pajak oleh tim pemeriksa pajak. Adapun kewajiban wajib pajak adalah: a. Wajib memenuhi permintaan peminjaman dokumen dalam rangka pemeriksaan harus dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan. b. Wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui. c. Wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui. d. Wajib memenuhi ketentuan pasal 29 UU KUP. Pemeriksaan pajak berbeda dengan pemeriksaan pajak berdasarkan undang-undang yang berlaku sampai 2007, yaitu UU No. 16/2000, pemeriksaan di dalam UU No. 28/2007 diatur di pasal 31. Pasal 31 UU No. 16/2000 mengatur tata cara pemeriksaan pajak dengan peraturan Menteri Keuangan. Pasal tersebut diubah dalam undangundang baru dengan menyebutkan hal-hal yang harus diatur di dalam peraturan pelaksanaan yang dimaksud antara lain: a. jangka wak tu pemeriksaan; b. kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak; c. hak wajib pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan. 41 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
Hal-hal tersebut juga diatur di dalam peraturan pelaksanaan yang sekarang. Namun, di dalam undangundang baru ditegaskan bahwa dalam hal hak wajib pajak tersebut tidak dipenuhi oleh pemeriksa pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan untuk membatalkan hasil pemeriksaan pajak ataupun surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: a. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau b. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak. Ketentuan tersebut diatur di pasal 36 ayat (1) huruf d dan berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1c) Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak tanggal permohonan diterima. Dalam proses pemeriksaan, biasanya pemeriksa pajak memerlukan dokumendokumen dan wajib pajak harus memenuhinya. Berdasarkan ketentuan sekarang permintaan tersebut harus dipenuhi dalam waktu tujuh hari setelah permintaan diajukan. Di dalam undang-undang baru permintaan dokumen harus dipenuhi paling lama satu bulan sejak permintaan disampaikan, sebagaimana diatur di Pasal 29 ayat (3a). Jangka waktu ini memang lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku sekarang. Namun, apabila wajib pajak tidak dapat memenuhi permintaan tersebut sehingga dokumen yang diminta tidak dapat disampaikan, maka itu akan membawa akibat. Dampaknya, seandainya, di proses keberatan dokumen dimaksud disampaikan, maka tidak akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Direktorat Jenderal Pajak
untuk memutus kasusnya, sebagaimana diatur di pasal 26A ayat (4). Berbeda dengan ketentuan yang sekarang berlaku menyangkut kewajiban membayar pajak yang terutang pada saat mengajukan keberatan, di dalam Undang-Undang KUP baru diatur bahwa pada saat wajib pajak mengajukan keberatan, maka pajak yang harus dibayar adalah hanya sebatas koreksi pemeriksa yang disetujui oleh wajib pajak. Apabila keberatannya ditolak maka wajib pajak dikenai denda 50% dari jumlah yang terutang. Jika wajib pajak melanjutkan prosesnya dengan mengajukan banding maka jumlah yang seharusnya dibayar berdasarkan keputusan keberatan, tidak ditagih sampai dengan kasusnya diputus. Di dalam Undang-Undang KUP yang baru tidak secara tegas menyebutkan dua macam pemeriksaan seperti yang berlaku sekarang. Namun, secara implisit dua jenis pemeriksaan tetap ada yaitu pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan. Indikasi tersebut tecermin dalam ketentuan pasal 29A yang mengatur bahwa terhadap perusahaan publik (terdaftar di pasar modal) akan dilakukan pemeriksaan kantor bila memenuhi syarat-syarat berikut: a. Laporannya diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; b. Surat Pemberitahuan Tahunan menyatakan lebih bayar; atau terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko. Pemeriksaan kantor yang dilakukan terhadap perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek merupakan dorongan bagi 42
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
perusahaan-perusahaan yang sahamnya belum terdaftar di bursa efek. Dengan pemeriksaan kantor proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana sehingga perusahaan semakin cepat mendapatkan kepastian hukum jika dibandingkan dengan pemeriksaan lapangan. Secara umum Undang-Undang KUP lebih menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban wajib pajak. Di satu sisi, wajib pajak diberikan waktu yang agak longgar dalam memenuhi permintaan dokumen. Akan tetapi di sisi lain bila dokumen yang diminta tidak diserahkan pada saat pemeriksaan maka dokumen tersebut tidak akan dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam proses keberatan. Dokumen yang harus diserahkan tersebut merupakan dokumen yang merupakan dokumen yang dimiliki oleh wajib pajak. Artinya, dokumen yang berada di pihak ketiga tidak masuk dalam kategori ini, misalnya surat keterangan domisili. Perubahan yang sangat penting adalah wajib pajak harus hadir di dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan wajib diberitahu oleh pemeriksa pajak mengenai hasil pemeriksaan pajak. Apabila hal ini tidak dipenuhi, maka ketetapan pajak sebagai hasil pemeriksaan dianggap batal.
a. SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. b. SPT tahunan pajak penghasilan menunjukkan rugi. c. SPT tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan. d. SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak untuk diperiksa. e. Adanya indikasi kewajiban pajak yang tidak dipenuhi. 2. Tujuan lain, meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka: a. Pemberian NPWP (secara jabatan). b. Penghapusan NPWP. c. Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan PKP. d. Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding. e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. f. Pencocokan data dan atau alat keterangan. g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di tempat terpencil. h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN Berdasar pada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika wajib Pajak tidak sependapat, maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut, maka wajib pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang bisa dilakukan oleh wajib pajak dalam
Tujuan Pemeriksaan Tujuan pemeriksaan pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut: 1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, dilakukan dalam hal: 43
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
rangka sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak. Selain itu, jika dalam pemeriksaan biasa dokumen yang dipinjam harus dikembalikan, sebaliknya dalam pemeriksaan bukti permulaan dokumendokumen yang dipinjam oleh pemeriksa tidak akan dikembalikan kepada Wajib Pajak tetapi akan ditahan dan disimpan ditempat yang aman. Dokumen-dokumen dan keterangan lainnya akan dijadikan barang bukti untuk penyidikan pajak. Jika dalam pemeriksaan biasa pemeriksa cukup menghitung pajak terutang, dalam pemeriksaan bukti permulaan pemeriksa juga harus melaporkan: Posisi kasus Modus operandi Uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana di bidang perpajakan Rincian macam dan jenis barang bukti yang diperoleh (diamankan) Nama dan identitas tersangka dan saksi, serta Kesimpulan dan usul pemeriksa. Ada dua kemungkinan usul pemeriksa. Pertama, pemeriksa mengusulkan agar dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Kesimpulan ini sebenarnya sama saja dengan pemeriksaan biasa. Tetapi jika memang pemeriksa tidak mendapatkan bukti yang cukup, usul ini paling masuk akal. Kedua, pemeriksa mengusulkan agar dilanjutkan dengan penyidikan pajak. Usul mana yang dipilih oleh pemeriksa, selain ditentukan oleh keadaan obyektif di lapangan, juga ditentukan oleh subyektivitas pemeriksa. Sebelum Surat Perintah Penyidikan Pajak dikeluarkan, pemeriksa diharuskan membuat Laporan
Penutup Dalam perkembangannya, pemeriksaan pajak sering mengalami permasalahan. Salah satunya adalah pada saat melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Seseorang tidak dapat disangka melakukan perbuatan pidana kecuali dengan cukup bukti atau tertangkap tangan (bukan tertangkap basah). Tertangkap tangan maksudnya, seseorang yang sedang melakukakan pidana langsung diamankan oleh petugas. Contohnya: seorang perampok ditangkap oleh polisi ketika sedang beraksi. Karena tertangkap tangan, perampok tersebut dapat langsung disidik. Tidak perlu penyelidikan terlebih dahulu. Dalam bidang perpajakan, mungkin tertangkap tangan tidak dapat dilakukan karena sulitnya menentukan saat (jam, hari dan tanggal) tindak pidana pajak dilakukan. Karena itu, penyidikan pajak selalu didahului dengan penyelidikan. Istilah resmi penyelidikan pajak adalah pemeriksaan bukti permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Prosedur dan tata cara pemeriksaan bukti permulaan sama dengan pemeriksaan pajak lainnya. Hanya saja hasil pemeriksaan tidak diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui SPHP tetapi laporannya disampaikan langsung ke Direktur 44 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008
Nurmantu, Sapri. 2000. Dasar-dasar Perpajakan. Bandung: Fakultas Ekonomi UNPAD
Kejadian. Laporan ini merupakan bagian dari syarat penyidikan seperti yang dilakukan oleh polisi. Intinya, pelapor (pemeriksa) melaporkan telah terjadi tindak pidana pajak kepada penyidik. Isi Laporan Kejadian sendiri mirip dengan laporan pemeriksaan bukti permulaan. Hanya saja, kalau laporan pemeriksaan bukti permulaan lebih kepada keperluan intern, bawahan melaporkan hasil kerjanya kepada atasan, maka kalau Laporan Kejadian merupakan laporan (pelapor dalam hal ini pemeriksa bukti permulaan) kepada penyidik (yang akan melakukan penyidikan). Laporan Kejadian ini diperlukan untuk bukti perlunya dilakukan penyidikan oleh penyidik dan salah satu dokumen wajib untuk pemeriksaan di pengadilan.
Waluyo. 2008. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat Yudkin, Leon.1971. A Legal Structure for Effective Income Tax Administration. International Tax Program, Harvard Law School Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan. Edisi Kedua. Jakarta: Salemba Empat Peraturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
Daftar Pustaka Devano, Sony dan K.R, Siti. 2006. Perpajakan Konsep, Teori dan Isu. Jakarta: Kencana Gunadi. 1997. Akuntansi Jakarta: PT. Grasindo
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 Perihal Tata Cara Pemeriksaan Pajak
Pajak. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER19/PJ./2008 Perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan
Hutagol, John. 2005. Sekilas Pemeriksaan Pajak. Jurnal Perpajakan Indonesia Vol.4 No. 6, Maret 2005
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER20/PJ./2008 Perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor
JURNAL EKONOMI & BISNIS. 2002. No. 2 Jilid 7
45 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2008