ORASI ILMIAH Dalam Rangka Wisuda XV Sarjana Strata I dan Dies Natalis XVIII Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mulia Pratama Tahun 2016
“KEBIJAKAN PAJAK PASKA AMNESTI”
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.
BEKASI, 22 OKTOBER 2016
KEBIJAKAN PAJAK PASKA AMNESTI Oleh: GUNADI1 PENDAHULUAN Self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak paling efektif dan efisien2. Lebih 30 tahun Indonesia menerapkan dan menyerahkan inisiasi kegiatan pemajakan pada warga. Kenyataanya masih banyak warga belum patuh sehingga penerimaan dan tax ratio masih rendah. Anton Hendranata menyebut rerata tax ratio Indonesia 2010-2015 baru 11,8%, sedang Malaysia (15,5%), Thailand (17%), Filipina (14,4%), dan India (17,7%)3. WP terdaftar 30.161.673 [orang pribadi 26.918.401 atau 23,60% dari pekerja 2013 menurut data BPS (114,02 juta); badan 2.473.471], dan kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh (SPT) 58,87%4 . Realisasi penerimaan 2014 sebesar 91,86% target, 2015 turun jadi 83% dan 2016 berpotensi mleset Rp 218T5, sehingga pemerintah terpaksa memotong belanja. Pemotongan tiap tahun tanpa solusi efektif, dapat menggerus kredibilitas APBN dan menggoyahkan kepercayaan investor pada obligasi pemerintah. Solusi sementara bersifat ad hoc berupa pengampunan pajak (PP). PP amat signifikan dan krusial untuk menyehatkan APBN sehingga perekonomian bergerak lincah dan dapat memberi stimulus pajak pendorong pertumbuhan dan peningkat penghasilan serta kesejahteraan. Konsep dasar PP adalah meringankan Wajib Pajak (WP) dari kewajiban masa lalu dalam rangka pindah kepada perilaku perpajakan dan kepatuhan lebih baik. Keringanan dapat berupa penghapusan sebagian atau seluruh kewajiban seperti pokok pajak dan/atau sanksi administrasi dan/atau pidana. PP Indonesia bersifat tombstone (penguburan) kewajiban PPh dan PPN serta PPnBM sampai dengan tahun 2015 dan menggantinya dengan uang tebusan (UT) atas harta neto. Pendekatan PP bersifat tax-rate-cut-cumbase-broadening, yaitu penurunan tarif (menjadi 2-10%) dengan dasar pungutan berupa harta neto yang dimiliki sejak 1 Januari 1985 s/d 31 Desember 2015 yang belum dilapor dalam SPT berdasar nilai wajar akhir 2015. Pencapaian program PP triwulan pertama (Juli-Sept 2016) berhasil melampaui prakiraan banyak pihak, dengan UT Rp 97,2T (58,91% target) dan repatriasi dana Rp 142T dari deklarasi hartaRp 3.666T (luar negeri Rp 976 dan dalam negeri Rp 2.690)6. Pendekatan penurunan tarif pajak PP, selaras dengan teori Kurva Laffer7 yang mendalilkan bahwa makin rendah tarif makin tinggi kepatuhan pajak sehingga penerimaan dan tax ratio naik. Kurva Laffer merupakan salah satu kerangka teoretis utama konsep pro-pertumbuhan dari supply-side economics. Kurva menggambarkan hubungan tarif, penghasilan kena pajak dan penerimaan. Kenaikan tarif (dalam wilayah normal) menaikkan penerimaan sampai puncak dan setelah itu (tarif berada pada wilayah larangan) penerimaan menurun. Penurunan tarif (pada wilayah larangan) menghasilkan perkembangan ekonomi dan penerimaan besar. Analisisnya, terdapat dua pengaruh perubahan tarif atas penerimaan: (1) aritmatika (statis, penurunan tarif akan menurunkan penerimaan sebesar tarif), dan (2) ekonomika (positif pada ekonomi, tarif turun menaikkan investasi dan kegiatan ekonomi serta basisdan penerimaan pajak). Guna mengatasi defisit pengeluaran selaras dengan dinamika pembangunan untuk meningkatkan interkoneksi wilayah, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan kesejahteraan, salah satu tantangan PPh adalah peningkatan penerimaan. Selain itu, menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), persaingan pajak (tax competition), adil mendapat bagian penerimaan dari kegiatan lintas-batas (cross-border activities) terutama dari ecommerce, memperkuat daya saing domestik, mempercepat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi, perlu penyesuaian regulasi perpajakan, sedang paska amnesti pajak agar mampu deteksi dini tidak patuh sehingga WP makin patuh perlu reformasi administrasi perpajakan selaras era digital ekonomi. 1 2 3
Makalah disampaikan pada Upacara Wisuda Sarjana STIE Mulia Pratama Bekasi 22 Oktober 2016. Alink, Matthijs and Victor van Kommer, 2015, Handbook on Tax Administration, IBFD. Kompas 13 September 2016.
Laporan Tahunan 2014 Ditjen Pajak. Kompas 19 September 2016. 6 Kompas 11Oktober 2016. 7 Laffer, Arthur B, 2004, The Laffer Curve: Past, Present and Future, Heritage Foundation, Backgrounder. 4 5
2
HAMBATAN PENINGKATAN PENERIMAAN Regionalisasi dan globalisasi ekonomi serta perkembangan cepat teknologi, memaksa sesama administrasi pajak sekawasan mencari peluang saling bekerja sama dan berbagi pengetahuan dan pengalaman meningkatkan keadilan, efektivitas dan penurunan biaya administrasi dan kepatuhan pajak. Berfungsi-penuhnya sistem pajak dan efektivitas serta efisiensi administrasi pajak merupakan prasyarat berfungsi-baiknya sistem ekonomi pasar. Kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia belum mampu membiayai pengeluarannya dengan pajak. Biasanya tax ratio mereka jauh di bawah negara maju, mungkin kurang dari 50% nya. Akibatnya, mereka tidak mampu secara signifikan menurunkan angka kemiskinan, mencapai pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan tanpa mobilisasi dana domestik. Karena itu, dalam theory of tax level determinants 8 ,Musgrave mendalilkan perbaikan struktur ekonomi akan meningkatkan struktur pajak dan penerimaannya. Agar bagian besar objek pajak merapat ke sektor formal atau easy-to-tax sector, sehingga dengan tax handles yang tepat mudah dimobilisasi, maka stimulus pajak harus tersedia untuk mendorong kemajuan ekonomi dan percepatan pertumbuhan menuju struktur lebih baik dan tertib. Dari paham supply-side economy, great sale PPh dan PPN serta PPnBM dalam amnesti pajak dengan tarif 2% menghasilkan UT Rp 97,2T. Jumlah itu jauh melampaui hasil ordinary enforcement tahunan, yaitu Rp 24,4 dari pencairan pemeriksaan, dan Rp 12,3 T dari pencairan tunggakan)9. UT diharap dapat menambal defisit dan menyehatkan APBN sehingga meningkatkan daya belanja pembangunan pemerintah. Ditambah dengan dana repatriasi modal luar negeri sebanyak Rp 142T dapat merupakan tambahan belanja pembangunan pemerintah agar mempercepat roda perekonomian dan memperluas lapangan kerja dan menaikkan pendapatan sehingga mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Pada gilirannya, kegiatan pembangunan infrastruktur dan proyek pembangunan fisik lainnya merupakan objek PPN, sedang hasil usaha dari kegiatan ekonomi, laba usaha dan peningkatan pendapatan warga merupakan objek PPh sehingga dapat menaikkan penerimaan pajak. Berbagai masalah keuangan negara berkembang termasuk: (1) defisit anggaran, (2) penerimaan tidak stabil, dan (3) pertumbuhan penerimaan dari waktu ke waktu lambat bahkan stagnan 10 . Beberapa hambatan kenaikan penerimaan pajak di negara berkembang, termasuk11: (1) lemahnya kelembagaan termasuk administrasi perpajakan, (2) korupsi dan rendahnya transparansi, (2) sistem pajak penuh berbagai eksemsi dan pembebasan serta pengutamaan pada kepabeanan, (3) eksistensi sektor informal dan underground economy yang meluas, (4) derasnya arus dana ke jurisdiksi pajak rendah, (5) tingginya tekanan penanam modal asing besar dan perusahaan multinasional dalam rangka persaingan pemajakan cenderung menurunkan pajak global.Selain itu, juga adanya (1) ketidak patuhan WP dalam berbagai bentuk, dan (2) fenomena Base Erosion Profits Shifting (BEPS). Deklarasi Doha merekomendasikan 4 unsur perbaikan sistem pajak negara berkembang 12 : (a) peningkatan penerimaan pajak dengan modernisasi sistem pajak, (b) perbaikan efektivitas dan efisiensi pemungutan, (c) perluasan basis, dan (4) efektif memberantas pengelakan pajak. Tujuan dari kebijakan pajak dan administrasi pelaksananya terutama menghasilkan penerimaan untuk mencukupi komitmen belanja pemerintah. Tambahan belanja tumbuh terus tiap tahun, walau tidak ada reformasi kebijakan pajak, karena ingin berbuat lebih banyak dalam berbagai bidang kehidupan dan juga pertumbuhan jumlah penduduk memerlukan jasa dan manfaat negara. Tekanan untuk dapat lebih banyak berbelanja tiap tahun negara berkembang lebih besar dari negara manapun, karena selain peningkatan jasa dan layanan umum, juga melakukan pembangunan ekonomi agar negara makin maju dan pendapatan perkapita meningkat serta rakyat makin sejahtera 13 . Tujuan utama pembangunan ekonomi negara berkembang, terutama kenaikan substansial pertumbuhan ekonomi dengan harapan segera menaikan penghasilan per kapita sejajar negara maju. Alex Radian, 1980, Resource Mobilization in Poor Countries, Transaction Inc, New Brunswick. Laporan Tahunan DJP 2014. 10 Alex Radian, 1980. 11 Alink & van Kommer, 2015. 12 International Conference on Financing for Development, Doha, Qatar, 2008. 13 Alex Radian, 1980. 8 9
3
Misalnya dari beberapa tax ratio negara sekawasan, seperti Malaysia (15,5%), Thailand (17%), dan Filipina (14,4%), Indonesia dapat meningkatkan tax ratio mendekati Filipina (14%). Hasilnya dengan asumsi UT Rp 97,2 = 0,8% PDB14, maka akan terkumpul penerimaan pajak sekitar Rp 1.771T atau sekitar Rp 400T lebih besar dari APBNP. Dengan penerimaan pajak lebih besar, akan tersedia tambahan dana belanja ke pemerintahan dan pembangunan. Dengan multiplier effectnya, tambahan belanja pembangunan dapat meningkatkan struktur ekonomi sehingga sesuai teori tax level determinants struktur pemajakan akan terangkat dan objek pajak merapat dari sektor informal dan underground economy (sektor hard-to-tax) pada easy-to-tax sector sehingga mempermudah pemungutan pajak. Pertanyaanya adalah bagaimana cara mencapainya? Mobilisasi sumber dana dalam negeri mensyaratkan kesiapan dan dukungan lingkungan, peningkatan produktivitas, pengurangan pelarian modal (capital flight), dukungan pada sektor privat, menarik dan mengefektifkan pemanfaatan modal dan bantuan asing. Merujuk pada sinyalemen Alink & van Kommer tentang beberapa hambatan kenaikan penerimaan pajak negara berkembang, makaharus dilakukan perbaikan pada beberapa bidang dimaksud, seperti: (1) penguatan administrasi perpajakan, (2) pencegahan dan pemberantasan korupsi dan meningkatkan transparansi keuangan, data dan informasi perpajakan, (3) perbaikan sistem pajak dengan tujuan perluasan basis, dan minimalisasi eksemsi serta pembebasan, (4) penyederhanaan pemajakan sektor informal dan underground economy, (4) reformasi PPh menghadapi arus dana ke jurisdiksi pajak rendah dengan pola tax-ratecut-cum-base-broadening, lebih adil, berkepastian hukum dan lebih dipatuhi, (5) mempertahankan insentif penanaman modal dan usaha pemula, mikro, kecil dan menengah, dan (6) menggalang kerjasama antar administrasi pajak sekawasan menghadapi fenomena BEPS dan penghindaran lainya. Berikut ini akan membahas beberapa dari berbagai bidang dimaksud. PENGUATAN ADMINISTRASI PAJAK Administrasi pajak amat berperan dalam capaian penerimaan guna restorasi keseimbangan makro ekonomi dan kebijakan pajak (tax policy) dan pengaruhnya pada ekonomi 15 . Administrasi pajak berperan besar dalam mewujudkan kebijakan pajak riel (penerimaan) disandingkan dengan kebijakan pajak statuter (UU Pajak)16. Terdapat keyakinan beberapa ahli kebijakan pajak di negara berkembang bahwa tidak ada artinya perubahan kebijakan pajak tanpa perubahan administrasi pajak dan perubahan kebijakan pajak harus kompatibel dengan kapasitas administrasi pajak, maka dalam bahasa terang di negara berkembang administrasi pajak adalah kebijakan pajak. Administrasi pajak efektif bukanlah yang mampu mencapai target saja, karena capaian penerimaan mungkin merupakan hasil dari: (a) upaya pencapaian penerimaan secara adil, (b) keberuntungan politis pemerintah, (c) kemakmuran ekonomi, dan (d) dukungan seluruh lapisan warga dan lembaga. Administrasi pajak berkualitas rendah mungkin dapat saja memperoleh penerimaan besar dari easy-to-tax sector, seperti PPh Pasal 21 dan potongan serta pungutan PPh lainnya, namun kurang mampu memungut pajak dari usahawan dan profesional. Level pemungutan pajak mungkin bukan menjadi ukuran kecanggihan efektivitas administrasi pajak. Administrasi pajak dapat efisien (biaya pungut pajak rendah), tetapi tidak efektif jika tidak mampu menegakkan kepatuhan (enforce compliance) 17 . Compliance gap (celah/beda kepatuhan) merupakan beda antara potensi dengan realisasi penerimaan pajak, sebagai ukuran umum efektivitas administrasi pajak. Administrasi pajak efektif jika mampu mengatasi 4 kesenjangan: (1) WP tidak terdaftar (beda antara potensi dan yang nyata terdaftar), (2) WP tidak menyampaikan SPT (WP seharusnya dengan yang nyata menyampaikan SPT), (3) penghindar pajak (beda antara pajak yang dibayar dengan seharusnya sesuai UU), dan (4) pengemplang pajak (ketetapan pajak dengan yang nyata dibayar). Selain unsur ekonomi, politik, sosial dan budaya, 2 unsur penentu capaian target penerimaan adalah kebijakan pajak dan administrasi pajak. Beberapa unsur administrasi pajak penentu capaian target, termasuk: (1) Anton Hendranata, Kompas, 7 Oktober 2016. Bird, Richard M & Milka Casanegra de Jantscher, 1992, Improving Tax Administration in Developing Countries, IMF. 16 Vito Tanzi, 1987, dari Richard M Bird & Milka Casanegra de Jantscher. 17 Silvany, Carlos, 1992, dalam Richard M Bird & Milka Casanegra de Jantscher. 14 15
4
informasi, (2) personel dan ahli, (3) sarana-prasarana, dan (4) implementasi (pemeriksaan, penagihan, dan enforcement). Dengan jumlah pemeriksa pajak sekitar 4.628 atau 12,10% pegawai, maka jika tanpa bantuan IT data based dan otomasi administrasi, kapasitas penegakan hukum amat terbatas. Dengan audit coverage kurang dari 0,5%/th, maka atasWP tidak patuh formal 41% saja kalau diperiksa makan waktu lama, padahal SPT berlanjut tiap tahun. Tanpa IT data base, otomasi administrasi pajak dan pemeriksaan analisis data secara random sampling berdasar analisis risiko, pemeriksaan atas semua WP dan menggunungya tunggakan pajak akan merupakan mission impossible dan tidak selaras dengan sistem self assessment (audit and enforcement by exception). Dari beberapa penelitian perilaku WP mengidentifikasi berbagai penyebab ketidakpatuhan saling berkelindan mempengaruhi perilaku patuh tidak patuh pajak. Berdasar model murni kalkulasi risiko ekonomis rasional, Allingham dan Sandmo menyebut ketidakpatuhan merupakan produk risiko deteksi dan sanksi 18 . Namun jika dilakukan penegakan hukum secara meluas dan tegas, berbagai penelitian lainnya, selain kurang efektif dan efisien, bahkan dapat bersifat kontraproduktif19. Tindakan koersif seperti penagihan aktif bisa mengundang perlawanan fisik WP, seperti terjadi di Sumatera Utara. Penelitian P Webley tahun 2002 menemukan beberapa unsur determinan ketidakpatuhan termasuk: (1) kesempatan (sebagai unsur dominan), (2) persepsi keadilan dan kesamaan perlakuan, (3) beda personalitas individu manusia, (4) norma sosial tentang kepatuhan dan disiplin, dan (5) pemahaman system perpajakan esensi dan prosedur pemenuhannya. Sementara itu, penelitian persepsi hambatan kepatuhan termasuk 20 : (1) kompleksitas ketentuan pajak, (2) kesulitan prosedur dan komunikasi dengan petugas, (3) beban berat pelaporan, (4) beratnya sanksi dan beban bunga, (5) kurang dorongan pelaporan dan pembayaran tepat waktu, (6) kurangya skala prioritas dan urgensi, dan (7) berbagai unsur lain, seperti kurangnya kepercayaan pada pemerintah. Karena unsur dominan ketidakpatuhan adalah terbukanya kesempatan tidak patuh dalam sistem perpajakan, maka secara sistematis peluang tersebut harus dipersempit atau ditutup sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan lain bagi WP selain patuh perpajakan. UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak mengharapkan reformasi perpajakan yang lebih berkeadilan dengan perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi. Konsep dasar perubahan UU Perpajakan paska pengampunan harus lebih memberikan kepastian hukum, kemanfaataan, dan mendahulukan kepentingan nasional lebih memberikan kepastian hukum, kemanfaataan, dan mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan individu, kelompok, dan daerah dan diarahkan semaksimal mungkin mengurangi unsur determinan ketidakpatuhan dan hambatan kepatuhan syukur bisa dieliminir. Keadilan perpajakan harus diarahkan dalam perumusan kebijakan dan UUnya, pelaksanaan serta pemanfaatan perolehan dananya untuk kemanfaatan warga (benefit principle) dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Beban penerimaan harus terbagi pada seluruh subjek dan objek (equality), sama rata (horizontal equity) dan sama rasa (vertical equity). Komprehensivitas, keluasan sumber dan akses data, validitas dan integratasi data memungkinkan deteksi dini ketidakpatuhan. Tindakan deteksi dini di beberapa negara maju, seperti Eropa dan Australia dilakukan melalui program proforma SPT (pre-populated tax return 21 ). Program itu memerlukan pembentukan data-base komprehensif dan otomasi administrasi pajak, pembatasan cash economy dan transparansi perbankan yang memerlukan waktu dan kematangan situasi dan kondisi politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengenalan deteksi dini ketidakpatuhan dan proforma SPT, di Indonesia dapat dimulai dengan otomasi sistem PPN (interkoneksi IT antara PKP Penjual-PKP Pembeli-KPP) agar mampu mengawasi flow of goods and servicesantar PKP, dan otomasi sistem potongan dan pemungutan pajak (interkoneksi IT antara Pemotong Pajak-Pihak Terpotong-KPP) agar mampu mengawasi flow of money income and expenditures kena pajak secara real time. Kemampuan pengawasan flows of goods and service as well as money income and expenditures secara online sistem, komprehensivitas dan keluasan data base serta akses data secara terintegrasi memungkinkan 18
Alink&van Kommer. Kirchlerdan Tyler, serta Blumenthal dan Slemrod, dari Alink&van Kommer. 20 Whitlock, 2007, dariAlink& van Kommer. 21 Prasyaratmampumelaksanakanpre-populated tax return termasuk:laporankomprehensif data pihak ketiga, identitas WP berintegritas tinggi, kerangka hukum kompatibel, derajat otomasi tinggi para pemasok data dan KPP, proses data dan informasi berskala besar, dan otomasi KPP dengan online system transaksi WP dan minimalisasi interaksi. 19
5
deteksi dini ketidakpatuhan melalui pre-populated tax return sehingga mempersempit kesempatan tidak patuh semoga dapat meningkatkan kepatuhan, penerimaan, tax ratio dan daya belanja negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. KEBIJAKAN PAJAK PENGHASILAN UUKUP saat ini (UU No 6/1983 sttd UU 16/2009) nampak sudah selaras dengan konsep dasarself assessment, seperti tidak dimilikinya kuasa eksekutorial atas SKPKB yang disengketakan (diajukan keberatan dan banding) tetapi menunggu putusan pengadilan 22 . Pasal 2 UU 11/2016 menyatakan bahwa tujuan dari amnesti pajak termasuk mendorong reformasi perpajakan kepada sistem yang lebih berkeadilan. Penjelasan menyebut keadilan berarti menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak terlibat (WP dan administrasi pajak). Webley mendapatkan beberapa unsur determinan tidak patuh, termasuk23: kesempatan, persepsi keadilan pajak, personalitas pribadi, norma sosial pribadi (perilaku kebanyakan), dan pemahaman sistem pajak serta tata caranya. Sementara itu, penelitian Whitlock 24 menyebut banyak unsur penghambat kepatuhan WP, seperti: kompleksitas ketentuan pajak dan tata cara pelaksanaannya, beban pelaporan dan pematuhan, beban sanksi berat tidak beralasan, kesulitan prosedur pelaporan dan pembayaran tepat waktu, kurangnya program prioritas, kekurangpercayaan pada pemerintah, dan unsur lainnya. Kompleksitas dan labilitas ketentuan pajak mempersulit pelaksanaan dan kepatuhan WP. Dua unsur penyebab keruwetan dan labilitasketentuan pajak 25 : (1)kenaikan target lebih mudah dicapai dengan merubah regulasi ketimbang perbaikan administrasi. Akibatnya, setiap potensi defisit ditutup melalui perubahan atau kreasi regulasi, dan (2) unsur politik memperlambat penyesuaian kebijakan pajak. Berbagai pertimbangan dalam reformasi UUPPh, antara lain termasuk: (1) lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, (2) tax-rate-cut-cum-base-broadening untuk meningkatkan penerimaan guna restrukturisasi ekonomi dan peningkatan pertumbuhan, (3) kemanfaatan dan kepentingan nasional, (4) efektivitas dan efisiensi pemungutan PPh, (5) efektif meningkatan kepatuhan dan dini mencegah pengelakan pajak, terutama sector e-commerce, (6)tarif kompetitif sekawasan sehingga mampu menarik investor asing, meminimalisir pelarian modal (capital flight) dan pelarian pajak (tax flight) serta BEPS, (7) pengembangan sektor start up, UMKM, informal dan underground economy, dan (8) memberi ruang kebijakan fiskal untuk stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dengan sistem sama (consumption type-invoice system VAT) dan tarif sama (10%) dengan Vietnam, tax ratio PPN Indonesia 2012 adalah 3,96% (Vietnam 6,28%) merupakan pekerjaan rumah para pembuat kebijakan PPN untuk mendisain sistem yang efektif dan efisien sehingga mampu menghasilkan penerimaan yang memadai. Jika mampu mencapai tax ratio 50% dari tarif atau 5%26 berarti dapat diperoleh penerimaan PPN 2016 sekitar Rp 600T, naik lebih dari Rp 100T dari APBNP sehingga ruang belanja pemerintah semakin longgar. Dengan mengubah pengertian objek pajak dari barang hasil pabrikasi menjadi semua barang kecuali ditentukan lain dalam UU, sejak perubahan dengan UU No 11/1994 Indonesia telah memberlakukan Goods and Services Tax (GST), sehingga tanpa perhatikan nilai tambah, termasuk yang diambil langsung dari alam, semua barang dan jasa, selain yang dikecualikan (Pasal 4A UUPPN), dapat dikenai PPN. Selain itu, PMK-62/PMK.03/2002 mengubah DPP penyerahan hasil tembakau pabrikan, seperti rokok, dengan harga eceran. Walaupun tetap melestarikan mekanisme PM-PK, PPN telah memasukkan unsur Retail Sales Tax. 22
Konon, dengan alasan menghambat capaian target, konsep dasar ini mau dikembalikan ke prinsip official asessment, yaitu bahwa ketidak setujuan dalam pembahasan akhir, pengajuan keberatan dan banding tidak menunda penagihan.Sebagai negara hukum, kita harus menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum. Sistem pajak yang berkeadilan merupakan sasaran dari UU Pengampunan Pajak. Apakah pengembalian prinsip dasar penagihan jalan terus walau dalam sengketa sesuai dengan prinsip pemajakan yang lebih berkeadilan di negara hukum? Selain harus melaksanakan kewajiban, keadilan juga menuntut perlindungan hak WP. 23 Dari Alink & van Kommer. 24 Idem. 25 Alex Radian, 1980. 26 OECD, 1998, Comparative Survey and Evaluation VAT in Central and Eastern European Countries, menyebut tiap 1% tarif VAT minimal harus hasilkan 0,4% penerimaan dari PDB.
6
Dengan konsep dasar PPN untuk tujuan perolehan penerimaan, maka disain PPN harus: 27 (1) meningkatkan penerimaan dengan perluasan objek pajak mencakup sebanyak mungkin barang dan jasa, serta dengan titik pemungutan sedekat mungkin dengan konsumen agar mencakup nilai tambah besar, (2) minimalisasi distorsi pilihan produsen atas bentuk dan metode bisnis dengan pengkreditan PM komprehensif pada semua PKP atas bahan mentah, barang antara, barang jadi, dan barang modal (termasuk tanah), restitusi cepat, dan sedapat mungkin rasio pajak pada pelanggan uniform; (3) penguatan prinsip destinasi dengan pemantapan pemajakan PPN atas impor sebesar tarif domestik dan pengembalian pajak domestik ats barang ekspor dengan penyederhaanaan prosedur namun kuat pengawasannya; (4) UU harus sederhana mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan DPP berdasar harga jual nyata atau sebanding, pembebasan terbatas pada barang pokok dengan alasan sosial atau yang menimbulkkan kompleksitas, tarif pajak uniform, dan tarif 0% hanya berlaku untuk ekspor; (5) biaya pungut dan penegakan hukum rendah dengan self assessment dan voluntary compliance, online system berdasar IT based administrasi, pengecualian pengusaha kecil, informal dan undeground economy, uniformity faktur pajak dan komersial dengan otomasi kreit pajak berdasar laporan dan pembayaran PKP Penjual dan pemungut PPN; dan (6) mudah dipatuhi dan sekecil mungkin intervensinya pada bisnis, produksi dan distribusi, sehingga disain prosedur pemajakan transparan dengan proses bisnis dan metode pembukuan, penjual selalu memungut PPN pada lawan transaksi, selain yang ditentukan lain, pengawasan pajak sedapat mungkin secara otomatis dengan IT dan teknologi atau pembukuan. Menghadapi MEA untuk menghindari harmful tax competition yang merugikan semua pihak perlu harmonisasi pemajakan PPh dan PPN seperti di Uni Eropa. Harmonisasisasi PPh diperlukan untuk menghindari kompetisi pajak yang kurang sehat. Fenomena race (rush) to bottom rate yang berujung banting harga tarif pajak besar-besaran amat merugikan kita semua. Penurunan tarif pajak signifikan pengorbanan penerimaan pajak negara para pihak. Karena batas negara amat dekat, terbuka lebar kesempatan seseorang punya dual residence status. Misalnya, seseorang tinggal di Batam bekerja dan hari-hari tinggal di Singapura. Orang Malaysia tiap hari bekerja di Singapura. Kondisi seperti ini berpotensi resident ganda bagi ybs. Mungkin perlu duduk bersama dengan kepala dingin cari solusi pemajakan atas seseorang dengan residen ganda tersebut. Berbeda dengan system PPN yang umumnya mengikuti prinsip destinasisemuanya, dalam PPh prinsip pajak berbasis residen dan sumber keduanya diikuti hampir semua negara ASEAN. Sedikit pembatasan terjadi di Malaysia dan Singapura, karena atas penghasilan luarnegeri hanya kena pajak sepanjang direpatriasi ke negara domisili. Harmonisasi mungkin mengambil prinsip pemajakan, seperti penentuan residensi subjek, cakupan geografis pemajakan (global atau teritorial, atau teritorial plus penghasilan luar negeri dikirim ke negeri domisili). Penyederhanaan sistem pemungutan PPN atas transaksi lintas batas para anggota Asean apakah berdasar prinsip destinasi tanpa restitusi dengan pemberian kredit fiktif pada importir, clearing account system ala Israel-Jalur Gaza, atau sistem lain yang sederhana untuk mengurangi beban administrasi pemungutan atas impor dan restitusi atas ekspor antar anggota. Transaksi lintasbatas dengan selain anggota MEA berlaku mekanisme normal. MEA, PERSAINGAN PAJAK DAN KEBIJAKAN PAJAK INTERNASIONAL Walaupun dikodifikasi dalam UU domestik, namun kebijakan pajak bukanlah masalah domestik belaka. Regionalisasi dan integrasi ekonomi serta kawasan ekonomi bersama membatasi kewenangan politis dan disain kebijakan pajak domestik. Mobilitas investasi dan modal serta tenaga kerja dan profesional menimbulkan kompetisi pajak antar negara, karena tiap negara berusaha menariknya, termasuk basis pajaknya. Investor asing, heavy-wealthy individuals (HWI), dan profesional trampil secara geografis lebih fleksibel dan sensitif pada beda beban pajak. Pembuat kebijakan pajak bekerja dalam lingkungan regional dan global pendorong kompetisi pajak dengan risiko lari ke bawah (rush to bottom). Akibatnya untuk menarik investor asing dan basis pajaknya, sementara reformasi pajak 27
OECD, 1998.
7
negara OECD pada dekade 90an menurunkan tarif statuter dari 50 ke 30% plus perluasan basis pajak, di Asean saat ini turun dari 35% ke lebih rendah dari 25%. Konsep kompetisi pajak berasal dari Tiebout, dengan asumsi mobilitas warga tinggi dan memilih tinggal di kota yang memberi layanan publik sepadan dengan pembayaran pajak sehingga beberapa kota bersaing menyelaraskan beban pajak dan layanan publiknya28. Kompetisi tidak seluruhnya salah, karena dapat mendorong efisiensi belanja pemerintah dan mendisain sistem pajak yang efektif dan efisien. Selain itu, walau menciderai kontrak sosial negara dan warga, kompetisi juga merangsang WP mengambil putusan rasional dan ekonomis plus hemat pajak kemana akan tinggal, bekerja atau berinvestasi. Namun, kompetisi pajak harus sehat dan tidak merusak (harmful) melalui kesempatan penghindaran dan kecurangan lewat suaka pajak (tax haven) dan program preferensial.The Global Economic Forum2013 merekomendasikan 12 unsur pendorong produktivitas dan daya saing, seperti 29 : kelembagaan, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, tingkat diklat, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar modal, kesiapan teknologi, besaran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi. Arnold dan McIntyremenyebutbeberapa kebijakan pajak internasional, termasuk30: (1) peroleh bagian penerimaan darikegiatan transnasional WPDN dan WPLN melalui penguatan jurisdiksi pemajakan dan penghindaran pembentukan P3B yang menggerus hak pemajakan, (2) mendorong keadilan dengan pemajakan atas semua penghasilan dari sumber manapun, (3) meningkatkan daya saing domestik melalui instrumen fiskal dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan (4) menjaga keseimbangan antara netralitas ekspor modal (perlindungan pasar investasi domestik dengan menerapkan regulasi domestik atas semua investasi manapun) dengan netralitas impor modal (menjaga pasar investasi manca negara dengan menghilangkan beban pajak melebihi negara importir modal). Penguatan jurisdiksi pemajakanagar terdapat inter-nation equity dari penghasilan kegiatan lintas batas WPDN dan WPLN terutama dalam kegiatan bisnis e-commerce, seperti kasus Google. Tax connecting factor pemajakan, seperti pengenalan deemed taxable presence dengan mengharuskan tiap pengusaha atau profesi manca negara pemeroleh penghasilan dari Indonesia harus mempunyai BUT, atau ketentuan sumber atas penghasilannya karena dibayar WPDN atau menjadi pengurang penghasilan kena pajak negeri ini(pengenalan deductibility-taxability rule). Pegenalan deemed taxable presence (BUT) harus diikuti dengan atribusi objek pajak dengan alasan apapun, seperti perluasan ketentuan force of attraction Pasal 5(1)(b) UUPPh. Kriteria BUT merupakan all-or-nothing rule of taxation atau zero-sum game criteria, artinya jika tidak memenuhi kriteria maka tidak dapat memajaki, namunmemajaki semuanya jika memenuhi kriteria. Alternatifnya, agar selalu berhak mengenakan pajak atas penghasilan e-commerce yang dibayarkan WPDN/BUT atau dibebankan padakegiatan di Indonesia, dapat saja penghasilan tersebut ditentukan bersumber di Indonesia dan kena potongan PPh.Karena WPLN pebisnis e-commerce, secara geografis administratif, berada di luar jangkauan administrasi pajak Indonesia boleh jadi tidak mau menanggung beban pajak dan akhirnya membebani warga kita. Berdasar net-loan method31, misalnya penghasilan kegiatan e-commerce S$ 100 dengan potongan pajak 10%, maka S$ 100 dianggap telah dipotong PPh 10% ditanggung pemanfaat jasa e-commerce sehingga pajak S$ 11 harus dibayar. Untuk meringankan beban pemanfaat WPDN misalnya pajak S$11 dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak sehingga mendapat keringanan $ 2,75 (25% x $11). Pajak dapat dipungut melalui bank pembayaratau penyelenggara kartu kredit. Kepada administrasi pajak berbagai negara, secara legal OECD (2001) merekomendasikan, beberapa praktik tindakan perpajakan internasional seperti: konsisten penerapan ketentuan P3B; mendorong alokasi adil hak pemajakan dan pengembangan regulasi domestik; tidak memfasilitasi penghindaran pajak;untuk tujuan pertukaran informasi perbaiki akses informasi finansial; aplikasi ketentuan nondiskriminasi; perlindungan kerahasiaan informasi negara mitra; dan memberi kesempatan 28
Dari Alink& van Kommer. Idem. Arnold, Brian J & Michael J McIntyre, 2002, International Tax Primer, Kluwer Law International. 31 M Surrey, dari Gunadi, 1991, Taxation of Inbound Investment in Indonesia. 29 30
8
renegosiasi P3B seperlunya. Sementara itu, beberapa rekomendasi administratif, termasuk: fasilitasi pertukaran informasi aktif dan berikan umpan balik; lakukan pertukaran data spontan informasi dari pemeriksaan; hanya meminta informasi mitra perjanjian yang relevan, penting, tersedia dan bermanfaat; informasikan WP tentang progres dan hasil MAP; dan dukung prinsip harga sebanding (arms-length principle)dan Pedoman TP OECD. Terkait BEPS, pada 5 Oktober 2015 OECD telah merelease Laporan Final pada BEPS Action Plan, dengan 15 rekomendasi: (1) perlakuan pajak atas ekonomi digital; (2) netralisasi pengaruh missmatch regulasi; (3) penguatan regulasi korporate mancanegara terkendali; (4) batasi erosi basis dengan pengurangan bunga dan pembayaran finansial lain; (5) pencegahan praktik persaingan pajak tidak sehat; (6) hindari pemberian benefit P3B dalam kondisi kurang tepat; (7) pencegahan penghindaran status artifisial BUT; (8-10) aspek Transfer Pricing; (11) menghimpun dan analisis data BEPS; (12) pengungkapan perencanaan pajak agresif; (13) pedoman dokumentasi TP; (14) menyusunmekanisme solusi efektif sengketa; dan (15) pengembangan instrumen multilateral pemodifikasi P3B. PENUTUP Pemusatan inisiasi kegiatan pemajakan pada warga, bagi administrasi pajak, self assessment berdasar voluntary compliance, merupakan sistem pemungutan pajak yang efektif dan efisien. Agar berfungsi semestinya,Rizal Palil32 dan Benno Torgler33 menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) kesadaran pajak, (iii) kejujuran, (iv) hasrat membayar pajak, (v) disiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) kemauan membayar pajak. Inisiasi awal penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP, dengan asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima penghasilan objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Sementaraitu, agar sistemself assessment efektif, DJP harus: (i) menjadikan WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan laksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan WP, (v) mengelola data base secara komprehensif dan mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan melalui proforma SPT. Dengan penjagaan tingkat kepatuhan WP maka beberapa tantangan masa depan PPh dan PPN dapat diatasi sehingga kebijakan baru tetap mampu menghasilkan penerimaan cukup membiayai belanja pemerintah dan pembangunan dalam rangka mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
32 33
Palil, Rizal Mohad, 2010, Factors Influencing Individual Compliance in Self Assessment System. Dari Alink & van Kommer.
9
CURRICULUM VITAE NAMA NIP TEMPAT/TGL.LAHIR PANGKAT/GOLONGAN JABATAN ALAMAT KANTOR ALAMAT RUMAH
: : : : :
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. 194808151975101001 Yogyakarta, 15 Agustus 1948 Pembina Utama/ IV e Guru Besar Universitas Indonesia (mantan Wakil Kepala PPATK) : Universitas Indonesia - Depok : Jl. Bhakti I No. 1, Kemanggisan Jakarta Barat 11480
I.
RIWAYAT PENDIDIKAN - Perguruan Tinggi S-1 : Tahun 1974, Fakultas Ekonomi (Akuntansi) Universitas Gajah Mada - Pasca Sarjana S-2 : Tahun 1985, Institut Of Public Finance Den Haag Netherland - S-3 : Tahun 1991, University Of Leiden (International Taxation, Law)
II.
RIWAYAT PEKERJAAN SAAT INI : 1. Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan 2. Ketua Tax Centre FISIP UI 3. Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP Universitas Indonesia (SK Mendiknas No.41659/ A4.5/KP/2003, tanggal 25 Juli 2008 ) 4. Senior Advisor pada Kantor Konsultan Triguna Budi Wiryawan 5. Senior Advisor pada Kantor Konsultan MUC 6. Senior Advisor pada Kantor Konsultan J & L. 7. Ketua Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia SEBELUMNYA : 1. 2006 - 2011, Wakil Kepala PPATK 2. 2006 - 2006, Direktur Peraturan Perpajakan 3. 2001 - 2006, Direktur Pemeriksaan, Penagihan dan Penyidikan Pajak 4. 2001 - 2001, Kepala Kanwil XV DJP (Maluku dan Irian Jaya) 5. 2000 - 2001, Direktur Pajak Penghasilan 6. 1999 - 2000, Kepala Kanwil VIII DJP (Jawa Tengah dan Yogyakarta) 7. 1996 - 1999, Direktur Perencanaan dan Potensi Perpajakan 8. 1995 - 1996, Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana 9. 1992 - 1995, Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan TransaksiInternasional 10.1992 - 1992, Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan PPh dan PBB 10
III.
Pekerjaan Lain 1. Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP UI 2. Dosen Luar Biasa S2, Maksi Fakultas Ekonomi UI, 3. Dosen Luar Biasa S2 Universitas Trisakti, Universitas Tarumanegara 4. Dosen Luar Biasa STPI 5. Mantan Anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI 6. Anggota International Fiscal Association 7. Anggota Asosiasi Fiskal Indonesia 8. Aktif memberikan Seminar baik di dalam maupun luar negeri 9. Ketua Tim Editor Majalah Jurnal Perpajakan Indonesia 10. Dosen Luar Biasa Universitas Prof. DR. Hamka 11. Dosen Luar Biasa Universitas Gajah Mada 12. Dosen Luar Biasa Universitas Riau 13. Ketua Umum Indonesian Fiscal & Tax Administration Association (IFTAA)
11