BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA MENGENAI PERDAGANGAN ORGAN TUBUH UNTUK TUJUAN TRANSPLANTASI
A. Kebijakan Hukum Pidana sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Kejahatan Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekpresikan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan.52 Sebagaimana telah dibahas terlebih dahulu bahwa Politik Hukum Pidana adalah bagian dari Politik Hukum. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari suatu politik hukum maupun dari politk kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
52
Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal. 66
Universitas Sumatera Utara
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki ynag diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.53 Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. 54 Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum maka Politik Hukum Pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan
suatu
perundang-undangan
pidana
yang
baik.
Maka
melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syart keadilan dan dayaguna.55 Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).56
53
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 1 Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal. 66 55 M.Hamdan, Op.cit, hal. 20 56 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 24 54
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, A. Mulder berpendapat bahwa Politik Hukum Pidana (Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan : 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.57 Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, kerena sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substansive) hukum. 58 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini
57 58
M.Hamdan, Loc.cit Lilik Mulyadi, Op.cit, hal. 390
Universitas Sumatera Utara
yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.59 Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa politik hukum pidana tersebut adalah bagian dari politik kriminal. Sedangkan politik kriminal itu sendiri menurut Sudarto dapat diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu :60 1.
Dalam Pengertian yang sempit: Politik Kriminal itu digambarkan sebagi keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2.
Dalam arti yang lebih luas: Politik kriminal itu merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3.
Dalam arti yang paling luas: Politik kriminal itu merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu, kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). Secara skematis hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut :
59 60
M.Hamdan, Op.cit hal. 21 ibid , hal. 23
Universitas Sumatera Utara
Skema 1 : Hubungan Politik Kriminal dengan Politik Sosial
Social Welfare Policy Social Policy
Tujuan Social Defence Policy
Penal Criminal Policy Non Penal
Sehubungan dengan skema di atas, G.Peter Hoefnagels mengemukakan : “criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy. ... The legislative enforcement policy is in turn part of social policy”. "(Kebijakan kriminal sebagai ilmu kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih besar: Kebijakan penegakan hukum. ... Kebijakan penegakan legislatif pada gilirannya bagian dari kebijakan sosial)".61 Beberapa hal yang harus kita perhatikan lainnya adalah pendapat Teguh Prasetyo yang menyatakan bahwa politik (kebijakan) hukum pidana itu, pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan
61
Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).62 Berdasarkan dimensi di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup kebijakan pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaruan hukum pidana. Aspek ini berorientasi pada kenyataan bahwa kebijakan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan
tahap-tahap
konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi
hukum
pidana yang terdiri dari: a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif. b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum muali dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif. c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.63
Menurut Teguh Prasetyo, kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat perundang-undangan pidana hendak dibuat maka sudah ditentukan tujuan yang hendak dicapai, dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Kebijakan legislatif memang dilandasi oleh tujuan yang jelas, yaitu : 62
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2010 dalam bukunya Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 2 63 Lilik Mulyadi, Op.cit hal. 391
Universitas Sumatera Utara
1. Mendukung upaya ke arah mewujudkan supremasi hukum, terutama penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat 2. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini namun tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat;dan 3. Membentuk peraturan perundang-undangan baru yang sesuai dengan tuntutan dari, dan memenuhi kebutuhan hukum di dalam, masyarakat.64
Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal law policy atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total. Karena itu, diharapkan ketiga tahapan tersebut merupakan satu jalinan mata rantai yang berkorelasi dalam sebuah kebulatan sistem. Dengan demikian, kebijakan legislatif adalah tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi hukum pidana dan merupakan fundamen tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Menurut Wisnobroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dealam hal-hal: a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana. b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat. 64
Aziz Syamsuddin, Op.cit, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana. d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan lebih besar.65 Herman Mannheim mengemukakan bahwa dalam hukum pidana terdapat dua masalah utama yang dihadapi, yaitu : a. Penentuan pandangan tentang nilai-nilai terpentingnya (the most important values) manakah yang ada pada masa pembangunan ini; b. Penentuan apakah nilai-nilai itu diserahkan untuk dipertahankan oleh hukum pidana ataukah diserahkan pada usaha-usaha lain untuk mempertahankannya.66 Dalam kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah sentral yang harus ditentukan, yaitu : a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.67 Berkaitan dengan perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana menurut Sudarto adalah perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip) yang terwujud secara in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Suatu peristiwa itu dapat 65
Lilik Mulyadi, Op.cit, hal.391 Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2005, hal. 108 67 ibid, hal. 108 66
Universitas Sumatera Utara
atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat umum. Menurut R.Tresna perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh undang-undang sebagai peristiwa pidana, merupakan perbuatanperbuatan tertentu yang oleh undang-undang yang (dapat) membahayakan kepentingan umum.68 Menurut D.Schaffmeister, suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik tidak dapat dijatuhkan pidana. Hal ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan pidana tercantum dalam rumusan delik. Untuk dapat menjatuhkan pidana diperlukan dua syarat : 69 (1) perbuatan itu, bersifat melawan hukum dan (2) dapat dicela. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana trertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.70 Moeljatno membedakan dengan tegas antara dapat dipidananya perbuatan (criminal act) dengan dapat dipidananya orang (criminal responsibility atau criminal liability). Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.71 Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan 68
Mohammad Eka Putra, Op.cit, hal 77 ibid, hal 79 70 ibid, hal. 79 71 ibid, hal. 80 69
Universitas Sumatera Utara
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang trhadap tindak pidana yang dilakukannnya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.72 Menurut Martiman, pertanggungjawaban pidana dapat ditinjau dalam 2 (dua) arti, yakni :73 1. Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas (schuld in ruime zin) yang terdiri dari 3 (tiga) unsur : a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan (toerekenings vatbaarheid); b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, baik sengaja ataupun culpa; c. Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat 2. Pertanggungjawaban pidana dalam arti sempit (schuld in enge zin) yang terdiri dari 2 (dua) undur : a. sengaja (dolus) b. alpa (culpa) Secara doktriner, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal, yaitu : 1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak. 2. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.74 72
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,2011, hal. 156 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal.33 73
Universitas Sumatera Utara
Syarat pertama diatas merupakan faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Sedang syarat kedua merupakan faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan terhadap mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. 75 Ketentuan Pasal 44 KUHP mengatur apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya atau tidak. Seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatanny apabila jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit. Pertanggungjawaban pidana dalam arti sempit yaitu apabila melakukan kesalahan, yang terdiri dari sengaja (dolus) dan alpa (culpa). Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij mogelijkheidwustzijn) dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids).76 Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud di sini adalah maksud menimbulkan akibat tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana. Sedangkan kesengajaan 74
A. Fuat Usfa dan Tongat, Op.cit, hal. 76 ibid, hal. 76 76 Mahrus Ali, Op.cit, hal. 175 75
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.77 Mengenai kealpaan (culpa) D.Simons menerangkan bahwa umumnya “kealpaan” itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul akibat yang dilarang undang-undang78 Berkaitan dengan masalah ini, menurut doktrin ditentukan, bahwa culpa harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 1. Tidak ada kehati-hatian/ketelitian yang diperlukan. 2. Akibat yang dapat diduga sebelumnya, yang memebuat perbuatan itu menjadi dapat diduga sebelumnya, yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum.79 Tahapan formulasi dalam kebijakan hukum pidana juga berkaitan dengan dengan perumusan sanksi. Apabila seseorang telah melakukan tindak pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban maka akan dikenakan sanksi kepadanya. Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya dikarenakan tujuan dari pemberian sanksi pada hukum pidana adalah untuk memelihara keamanan.
77
ibid, hal. 175 Leden Marpaung, Op.cit, hal. 25 79 A.Fuat dan Tongat, Op.cit, hal. 87 78
Universitas Sumatera Utara
Digunakannya sarana non penal dalam hukum pidana saja tetap memiliki keterbatasan didalamnya ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat berfungsinya/bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain :80 a. secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu, juga sering disebut sebagai ultimum remedium); b. secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain : berbagai undangundang organik, lembaga/aparat pelaksana dan lebih menuntut biaya tinggi); c. sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung unsur sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur/atau efek samping yang negatif; d. pengguaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana; e. hukum/sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya); f. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g. keefektifan pidana masih bergantung kepada banyak faktor, karena itu masih sering dipermasalahkan
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan ini telah berlangsung beratus-ratus tahun. Barda Nawawi Arief mengungkapkan bahwa penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara
80
Barda Nawawi Arief dalam bukunya Lilik Mulyadi, Op.cit, hal. 394
Universitas Sumatera Utara
paling tua, setua dengan peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “older phylosophy of crime control”81 Sanksi hukum pidana yang digunakan selama ini bukanlah obat (remidium) untuk memberantas sumber penyakit (kejahatan), melainkan hanya sekedar mengatasi gejala atau akibat penyakit. Artinya sanksi hukum pidana bukanlah suatu pengobatan yang kausatif, melainkan hanya sekedar yang simptomatik. Penerapan sanksi pidana
kepada pelaku kejahatan dapat
memberikan pencegahan kepada pelaku dan masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan kembali.82 Usaha menemukan asas philosophis tujuan hukum pidana ini, maka akan memebawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini, Pembabakan tentang tujuan pemidanaan retributif, deterrence, treatment dan social defence. a. Teori Retributif Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebgai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
81
Barda Nawawi Arief dalam bukunya Marlina. Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 27 (selanjutnya disebut Buku I) 82 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
dibalas dengan menjatuhakan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan ini diarahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.83 Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif atau teori absolut ini, adalah sebagai berikut:84 1. Tujuan Pemidanaan hanya untuk pembalasan; 2. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim), dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare); 3. Kesalahan moral (moral guilt) merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana; 4. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahn moral pelaku; 5. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, memdidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut : 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak mengahrgai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudnkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness;
83
Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal. 69 M.Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Refika Aditama, Bandung, 2013, hal. 54 84
Universitas Sumatera Utara
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan ada kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.85 b. Teori Deterrence Teori ini mengungkapkan tujuan pidana adalah untuk prevensi atau pencegahan terjadinya kejahatan Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandnagan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan ( ... the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency ). Penganut reductivism menyakini bahwa pemidanaan menyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini: 1. Pencegahan terhadap si pelaku kejahatan (deterring the offender) yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terehadap pelaku yang potensial (deterring potential imitator), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan 85
Romli Atmasasmita, kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1995, hal. 83-84 dalam bukunya Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal. 71
Universitas Sumatera Utara
kepada si pelaku sehinga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkannya pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.86 Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penaggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1938-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menjelaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat.87
3. Teori Treatment Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 86 87
ibid, hal. 72 ibid, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (rehabilitation).88 Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkofirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinism yang menyatakan
bahwa
seseorang
melakukan
kejahatan
bukan
berdasarkan
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologisnya maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku.89 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban sipembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Jadi aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran positif melihat kejahatan tidak dari sudut pandang perbuatannya, melainkan pelakunya sendiri 88 89
Marlina (buku I), Op.cit, hal, 59 Mahmud Mulyadi, Op.cit hal. 80
Universitas Sumatera Utara
yang harus dilihat dan didekati secara nyata dan persuasif. Tujuan pendekatan kepada pelaku ini adalah untuk memepengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan diperbaiki.90 Demikianlah pula dengan rehabilitasi dan prevensi (sebagai tujuan utama dari jenis sanksi tindakan/treatment). Meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat berintegrasi lagi dalam masyarakat, namun terbukti kurang efektif memperbaiki seorang penjahat karena dianggap terlalu memanjakannya.
Justru
seperti
dikatakan
C.S.Lewis,
rehabilitasi
yang
pendekatannya melalui treatment telah mengundang tirani individu dan penolakan terhadap hak asasi manusia.91 4. Teori Social Defence Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence ini (setelah Kongres ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Pandangan radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The Fight Punishment” (La Lotta Contra La Pena). Gramatica berpendapat bahwa : “Hukum perlindungan sosial harus 90
ibid , hal. 81 Yong Ohoitimur Teori Etika tentang Hukum Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1997, hal. 41 dalam bukunya Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2005 hal. 100 91
Universitas Sumatera Utara
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”92 Pandangan moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sosiale Nouvelle” atau “New Sosial Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan–peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat : 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.93
92
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, hal. 35 dalam bukunya Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 88 93 ibid
Universitas Sumatera Utara
B. Perdagangan Organ Tubuh untuk Tujuan Transplantasi dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pengaturan mengenai larangan perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi telah ada di dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagai salah satu tindak pidana khusus, maka pengaturan mengenai tindak pidana tersebut lebih lanjut diatur di luar KUHP. Satu hal yang harus diketahui bahwa perkembangan dari tindak pidana yang terjadi di masyarakat menuntut lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang berada di luar KUHP. Kedudukan Undang-Undang Hukum Pidana Khusus dalam sistem hukum pidana adalah pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Suatu kodifikasi hukum pidana betapa pun sempurnanya pada suatu saat akan sulit memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat.94 Dalam mengantisipasi tindak pidana perdagangan manusia yang memprihatinkan dan kerap kali terjadi menimpa Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di Negara lain, juga yang terjadi di dalam Negeri sendiri, serta desakan dunia internasional, pemerintah Indonesia menyusun, membuat, mensahkan dan memberlakukan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebetulnya dalam peraturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 telah disebutkan larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Akan tetapi bunyi pasal 94
Aziz Syamsuddin, Op.cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
297 ini belum mencakup landasan hukum yang kuat. Untuk itu Undang-undang No. 21 Tahun 2007 merupakan kekhususan (lex specialis) dari ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut. Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal larangan perdagangan organ tubuh adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Ketentuan Pelarangan tersebut ada dalam rumusan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan pasal 7 dalam undang-undang tersebut. Pengaturan dalam hal pelarangan tertera pada pengaturan Pasal 2 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 yang berbunyi : (1)
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,-(Enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pada penjelasan undang-undang ini disebutkan : Ayat (1) : Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan Pasal 2 undang-undang ini dijelaskan bahwa rumusan kata “untuk tujuan” dalam rumusan pasal ini menjelaskan bahwa pasal tersebut masuk dalam kategori delik formil. Delik formil adalah yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakanitu. Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa dirugikan atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak.95 Berdasarkan pasal ini maka ketika unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang terpenuhi maka sudah dapat dikenakan pidana tanpa harus menimbulkan akibat. Dari rumusan pasal di atas dapat diambil kesimpulan mengenai unsurunsur dari pasal tersebut, yaitu : a. unsur subyektif : setiap orang, sengaja melakukan. b. unsur obyektif : melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
95
Mohammad Ekaputra, Op.cit, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan unsur-unsur yang dapat dipenuhi dari rumusan Pasal 2 di atas yang mendukung delik formil adalah unsur obyektif. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, berupa tindakan, akibat, keadaankeadaan dan sifat melawan hukum. Dalam rumusan pasal ini apabila seseorang melakukan kegiatan seperti perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat untuk tujuan transplantasi di wilayah Republik Indonesia akan mendapat hukuman penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Jadi, satu saja dari perbuatan-perbuatan yang diuraikan di atas terpenuhi sudah dapat dipidana tanpa harus dilihat dulu akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Sedangkan pengaturan pada ayat dua pasal ini mengancam untuk tindak pidana yang menimbulkan akibat seseorang merasa tereksploitasi. Bila dapat dibuktikan suatu tindak pidana yang berakibat atau yang membuat seseorang merasa tereksploitasi maka pelaku tindak pidana tersebut akan diancam pidana sama seperti pada ketentuan ayat satu. Hal ini sesuai pada delik materiil 96 yaitu untuk dapat dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, selain daripada tindakan yang dilakukan adalah tindakan terlarang itu, masih harus ada akibat yang timbul karena tindakan itu. 96
Delik materiil adalah perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana adalah yang menimbulkan akibta tertentu. Perbuatannya meskipun disini juga sangan penting, sudah terkandung di dalamnya, misalnya menyebabkan matinya orang lain (Pasal 359 KUHP). Pada saat berbicara delik materiil maka yang dibicarakan adalah tentang akibat “konstitutif”.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya, dalam tindak pidana pembakaran harus timbul akibatnya, yaitu kebakaran, tindak pidana pembunuhan harus timbul akibatnya, yaitu matinya si korban, dan dalam tindak pidana penipuan harus timbul akibatnya, yaitu pemberian sesuatu barang. 97 Maka dengan demikian ketika pada ayat dua, seseorang itu bisa dikenakan pidana bila dapat dibuktikan ada akibat dari perbuatannya yaitu si korban merasa tereksploitasi. Berkaitan dengan eksploitasi, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 dijelaskan tentang definisi eksploitasi, yaitu: Eksploitasi adalah Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik semacam perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Pada undang-undang ini pengaturan mengenai perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi diletakkan pada definisi eksploitasi. Hal ini dikarenakan dalam definisi eksploitasi terdapat rumusan perbuatan yang dapat dipidana berupa pemindahan atau mentransplantasikan organ/atau jaringan tubuh untuk mendapat keuntungan baik materiil maupun immateriil. Dari rumusan tersebut apabila ada seseorang yang memnidahkan organ tubuh miliknya kepada orang lain secara melawan hukum demi mendapat keuntungan akan mendapat pidana. Selain eksploitasi, dijelaskan juga mengenai tindakan eksploitasi. Tindakan ekspoitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan, dan 97
Mohammad Ekaputra, Op.cit, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan fisik, seksual, tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil ataupun nonmateriil.98 Kejahatan perdagangan orang dewasa ini telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi bahkan dilakukan dengan cara canggih dan terkadang dilakukan secara lintas negara, dilakukan oleh perorangan, kelompok yang terorganisasi, maupun korporasi. Korban diperlakukan seperti barang yang dapat dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali sebagai obyek komoditas yang menguntungkan pelaku tindak pidana, sebagaimana sesuai dengan definisi dari eksploitasi yang tertera dalam undang-undang ini. Hal ini juga berlaku bahkan untuk organ tubuh manusia. Untuk itulah lahirlah undang-undang ini untuk mencegah semakin berkembangnya tindak pidana ini dan dicegah dengan menggunakan rumusan dari definisi perbuatan eksploitasi. Bentuk-bentuk perdagangan organ tubuh itu sendiri bisa saja dilakukan dengan terselubung misalnya dengan kedok perdagangan orang maupun perdagangan anak juga masih banyak modus lain yang bisa dilakukan untuk menyembunyikan tindak pidana perdagangan organ tubuh ini. Sehingga rumusan mengenai perdagangan organ tubuh tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi dimuat dalam rumusan definisi eksploitasi. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mencegah bentuk-bentuk perdagangan organ tubuh dengan metode baru. Definisi eksplotasi memiliki cakupan yang cukup luas dan diharapkan dapat mencegah perdagangan organ tubuh ini. 98
Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pelarangan lainnya tertera pada rumusan Pasal 3 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007, yang berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). Unsur-unsurnya : a. Unsur Subjektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Objektif : memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia, dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau di wilayah negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud pada konteks ini adalah :99 1. Kesengajaan, terdiri dari tiga bentuk, yaitu: a. sengaja sebagai maksud; b. sengaja sebagai kepastian c. sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis) 2. Kealpaaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu : 99
ibid, hal. 111-112
Universitas Sumatera Utara
a. tidak berhati-hati b. tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. Oleh karena rumusan pasal ini menggunakan kalimat “dengan maksud” maka unsur subyektif dari rumusan pasal ini adalah sengaja sebagai maksud. Maka setiap orang yang dengan sengaja dan memang memiliki maksud untuk “memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain” akan terkena pidana sesuai rumusan pasal ini. Memperhatikan unsur obyektif dan bila dikaitkan dengan perdagangan organ tubuh manusia, maka berdasarkan ketentuan pasal ini yang akan dihukum bukan hanya perbuatan mengeksploitasi atau menjual organ tubuh manusia ke luar negeri akan tetapi mendatangkan seseorang ke Indonesia dengan tujuan dieksploitasi (dalam hal ini memperdagangkan organ tubuh) di Indonesia juga mendapat ancaman pidana. Sebagaimana penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa ketentuan pasal ini adalah untuk mencegah Indonesia menjadi negara tujuan atau transit.
Pada
ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini
berbunyi : Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam rumusan pasal ini adalah: a. Unsur Subyektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Obyektif : membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia, untuk diekploitasi di luar wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan pasal ini maka unsur kesengajaan sebagai maksud yang menjadi unsur kesalahan pada rumusan pasal ini. Sedangkan perbuatan yang dikhusukan pada rumusan pasal ini adalah membawa warga negara Republik Indonesia untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Indonesia. Mengenai tempat terjadinya delik/tindak pidana (locus delicti) Undang-Undang Indonesia berdasarkan asas teritorialitas
100
, undang-undang pidana yang berlaku di
Indonesia, tidak menyebutkan mengenai tempat terjadinya delik/tindak pidana (locus delict). Hal ini diserahkan pada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menjawab.
101
Walaupun kita menganut asas teritorial akan tetapi seiring
perkembangannya, asas ini sudah mengalami pengecualian dan tidak lagi dianut secara murni. Sehingga memungkinkan adanya rumusan pasal ini yang menjerat pelaku yang melakukan tindak pidananya di luar wilayah Republik Indonesia.
100
Asas teritoriaal dijadikan sebagai dasar, bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas teritorial diatur dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Kedaulatan negara dijadikan sebagai dasar hukum dari asas teritorial, karena setiap negara yang berdaulat wajib menjaga ketertiban hukumnya. Jika seseorang yang berada di wilayahnya melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang negara itu, maka perbuataan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap ketertiban hukum negara, oleh karena itu negara berhak untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang itu. 101 Andi Hamzah, Op.cit, hal. 139
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pasal ini mengatur bahwa pengeksploitasian warga negara Indonesia tetap akan mendapat hukuman sekalipun tidak dilakukan di negara Indonesia. Bila dikaitkan dengan perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi apabila dilakukan kepada warga negara Indonesia sekalipun dilakukan di luar negeri tetap ada pidana yang mengancam. Misalnya, terjadi suatu kasus dimana seorang warga negara Indonesia dibawa ke luar wilayah dengan maksud untuk dieksploitasi dalam hal ini untuk dipindahkan organ/jaringan tubuh untuk mendapatkan keuntungan materiil maupun immateriil, bila terbukti akan diancam pidana. Pasal 5, berbunyi: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah)
Unsur-unsurnya : a. Unsur Subyektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Obyektif : pengangkatan anak, menjanjikan sesuatu atau memberi sesuatu, dipenjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa perbedaan definisi mengenai siapa yang dapat dikatakan sebagai anak. Menurut convention on the right of the child (Konvensi Hak anak) yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
anak adalah : “ semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undangundang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal.” Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 292,294,295 dan Pasal 297 KUH Pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengklasifikasikan anak adalah yang telah mencapai usia 8 tahun akan tetapi belum mencapai 18 tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang dimaksudkan dibagi menjadi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Mengenai pengertian anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum dan dapat dimintai pertanggungjawabannya adalah seseorang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Rumusan pasal ini mengungkapkan dengan jelas larangan mengangkat anak dengan maksud (sengaja) untuk mengeksploitasi. Termasuk untuk mengambil dan memperdagangan organ tubuhnya bahkan untuk ditransplantasi. Dalam hal ini karena rumusan pasal ini adalah rumusan delik formil maka tanpa perlu dibuktikan akibat dari perbuatan itu apabila memang telah terbukti unsurunsur dari rumusan pasal tersebut maka sudah dapat diancam pidana. Ketika pengangkatan anak disertai dengan memberikan sesuatu padahal tujuannya adalah
Universitas Sumatera Utara
untuk mengeksploitasi, maka perbuatan tersebut akan dipidana ketika pun anak tidak merasa dieksploitasi. Dalam
kaitannya
dengan
perdagangan
organ
tubuh
maka
bila
pengangkatan seorang anak tujuannya adalah agar dapat mengekspoitasi berupa menjual-belikan organ tubuh anak tersebut maka orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dipidana. Pengaturan lain mengenai perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi dumuat juga dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu :
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,-(Enam ratus juta rupiah)
Dalam ketentuan pasal ini bila ada akibat yang dirasakan anak yaitu si anak merasa tereksploitasi maka orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam maupun ke luar negeri dengan cara apapun akan diancam pidana. Rumusan pasal ini merupakan rumusan dari delik materiil yang harus dibuktikan dulu akibat dari perbuatan tersebut. Oleh karena sesuai dengan rumusan delik materiil yang harus dibuktikan terlebih dahulu akibat dari tindak pidana tersebut, maka ancaman pidana hanya akan diberikan apabila anak merasa terksploitasi. Ketika anak merasa tereksploitasi, maka orang yang mengirim anak ke luar ataupun ke dalam negeri akan terancam terkena pidana selama paling singkat tiga tahun dan paling lama 15
Universitas Sumatera Utara
tahun. Ketika pun maksud dari orang yang melakukan pengiriman bukanlah sebagaimana untuk mengeksploitasi akan tetapi bila anak merasa tereksploitasi maka pelaku akan dipidana. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 berbunyi : (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 (2) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.00.00,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.00,- (Lima milyar rupiah). Penjelasan mengenai ketentuan Pasal 7 adalah : Ayat (1) Yang dimaksud dengan “luka berat” dalam ketentuan ini adalah: a. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; c. kehilangan salah satu pancaindera; d. mendapat cacat berat; e. menderita sakit lumpuh; f. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau g.gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
Menurut Jonkers bahwa dasar umum strafverhogingsgroden, atau dasar pemberatan penambahan pidana umum adalah :102 1. Kedudukan sebagai pegawai negeri 102
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 324
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur pegawai negeri sebagai berikut : a.Pengangkatan oleh pejabat yang berwenang; b.Memegang suatu jabatan tertentu; c.Melaksanakan sebagian tugas Negara dan badan-badannya; d.Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. 2. Residive (pengulangan delik) 3. Semenloop (gabungan atau pembarengan dua atau lebih delik) atau concurus.
Pada rumusan Pasal 7 undang-undang tersebut memang tidak memuat dasar pemberatan pidana sebagaimana diungkapkan Jonkers. Akan tetapi, dalam rumusan pasal tetap dimuat ketentuan penambahan hukuman pidananya. Ketentuan pasal ini memberikan pemberatan apabila korban menderita luka berat, kriteria luka berat itu sendiri telah dijelaskan dalam penjelasan Pasal tujuh undang-undang ini. Pemberatan pidana diberikan dengan menambah ancaman pidana sepertiga dari ancaman pidana untuk dari ketentuan Pasal 2 ayat2, Pasal 4,5,
dan
Pasal
6.
Sedangkan
apabila
perbuatan
pengeksplotasian
ini
mengakibatkan korban meninggal dunia maka ancaman hukuman bagi pelaku bertambah menjadi paling singkat 5 tahun dan paling lama penjara seumur hidup. Pada dasarnya, apabila korban mengalami luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular yang mebahayakan jiwa maupun fungsi reproduksinya maka sudah sepantasnya pelaku mendapat ancaman hukuman yang ditambah sepertiga mengingat luka/cidera yang jauh lebih berat dan mungkin membekas bagi korban
Universitas Sumatera Utara
dibanding dengan korban ekploitasi biasa. Sehingga ketika pun tindak pidana itu tidak dilakukan oleh pegawai negeri sipil, residivis maupun perbuatan pembarengan, akan tetapi perbuatan pengeksploitasian terutama yang berkaitan dengan perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi sebagaiman dimuat dalam rumusan pasal 2 ayat 2, pasal 4,5, dan Pasal 6 yang mengakibatkan korban menderita luka berat maupun meninggal dunia sepantasnya mendapat penambahan ancaman hukuman.
C. Perdagangan Organ Tubuh untuk Tujuan Transplantasi dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kesehatan adalah bagian penting dalam hidup manusia. Pasal 4 Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Sehat juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang termasuk dalam hak hidup (Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 28H ayat 1). Betapa pentingnya kesehatan sehingga banyak orang melakukan usaha untuk mencapai sehat. Akan tetapi ada hal-hal tertentu harus tetap diatur oleh konstitusi guna mencegah terjadinya suatu penyimpangan. Dalam hal ini adalah adanya pelanggaran yang menyangkut bidang kesehatan, untuk itulah perlu pengaturan yang tertuang dalam undang–undang ini. Membaca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimulai dari poin menimbang, terdiri dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, 2.Prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. 3. Kesehatan adalah investasi. 4. Pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 ke Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengakibatkan sehingga bergesernya upaya pembangunan kesehatan menjadi berparadigma sehat. Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat,bukan berwawasan sakit.103 Dalam undang-undang ini mengatur beberapa hal misalnya hak dan kewajiban setiap warga negara berkaitan dengan kesehatan, bagaimana kualifikasi tenaga kesehatan dan fasilitan kesehatan yang dibuthkan dan hal-hal lain yang harus diatur dalam undang-undang ini guna mencapai tujuan dari undang-undang ini. Salah satu yang diatur dalm undang-undang ini adalah masalah perdagangan organ tubuh.
103
http:/medizton.wordpress.com/2011/06/144/study-komparatif-undang-undang-ri-no36-tahun-2009-dengan-undang-undang-ri-no-23-tahun-1992-tentang-kesehatan/ diakses Minggu, 26 Januari 2014 Pukul 00.16
Universitas Sumatera Utara
Perdagangan organ tubuh untuk tujuan transplantasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 64 ayat 1,2 dan 3. Pasal 65 ayat 1,2 dan 3. Pasal 66, pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 192. Sedangkan ketentuan sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 192 pada undang-undang ini. Pasal 64 Undang-Undang ini berbunyi : (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. (2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. (3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Pada Pasal 64 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini mengatur tentang penyembuhan penyakit maupun pemulihan penyakit melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implant obat dan/atau alat kesehatan serta bedah plastik dan rekonstruksi maupun penggunaan sel punca (stem cell). Selain itu juga ada tujuan kemanusiaan. Pada ayat (3) merupakan penjelasan tentang perbuatan jual beli organ dan/atau jaringan tubuh yang dilarang dan dijelaskan sanksi pidananya pada Pasal 192.104 Berdasarkan Pasal 64 pada ayat 1 dan 2 telah dijelaskan sebelumnya di atas, bahwa ada pelarangan untuk perdagangan organ tubuh manusia untuk tujuan apapun, bahkan transplantasi guna mencapai kesembuhan dari suatu penyakit hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak untuk dikomersilkan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahkan perdagangan organ tubuh dilarang 104
Trini Handayani, Op.cit, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
bahkan untuk walaupun organ tubuh tersebut ditujukan untuk transplantasi yang menunjang kesehatan. Pada dasarnya transplantasi diperbolehkan apabila dilakukan oleh donor yang adalah keluarga dan tidak dengan mengeluarkan biaya atau kompensasi untuk mendapatkan organ itu (cuma-cuma). Donor juga dapat diperoleh dari bank donor organ yang menampung organ tubuh yang didonorkan oleh orang yang telah meninggal. Akan tetapi pada kenyataannya donor organ yang terdapat dalam bank organ sangat sedikit jumlahnya dan hal inilah yang membuka peluang terjadinya jual beli organ tubuh demi memenuhi kebutuhan organ tubuh bagi pasien. Sampai saat ini tercatat baru 63 orang yang terdaftar sebagai donor organ tubuh di Instalansi Pusat Biomaterial Bank Jaringan RSUD Dr. Soetomo berdasarkan data dari Fanpage Palang Merah Indonesia. Mengingat banyaknya kebutuhan akan organ tubuh dan hanya sedikitnya organ tubuh yang tersedia di bank donor membuat semakin rentannya terjadi perdagangan organ tubuh untuk memenuhi kebutuhan organ tubuh untuk transplantasi guna mencapai kesehatan. Untuk itulah ketentuan Pasal 64 ini menegaskan bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan hanya dapat dilakuakn untuk tujuan kemanusiaan dan tidak untuk dikomersilkan. Ketentuan lainnya yang mengatur mengenai transplantansi diatur dalam undang-undang ini terdapat pada Pasal 65 yang berbunyi : (1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya. (3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 65 ayat 1 ini menjelaskan bahwa dalam melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian serta memiliki kewenangan untuk melakukan transplantasi. Mengenai tempat melakukan transplantasi harus dilakukan di fasilitas kesehatan tertentu dalam hal ini peenjelasan undang-undang kesehatan ini menjelaskan fasilitas kesahatan adalah fasilitas kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri yang telah memenuhi persyaratan anatara lain peralatan, ketenagaan dan penunjang lainnya untuk dapat melaksanakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh. Ayat dua dari rumusan pasal ini menjelaskan perlu adanya pemeriksaan kesehatan untu memastikan bahwa donor dalam keadaan sehat, perlunya informed consent (persetujuan tindakan medis setelah mendapat penjelasan dari dokter) baik dari pendonor, ahli waris maupun keluarganya. Pendonor adalah setiap orang yang dinyatakan sehat dan dinyatakan oleh dokter yang kemudian menyatakan kesiapannya berdasarkan surat pernyataan dan lainnya yang dianggap perlu agar dapat mendonorkan organ tubuhnya bagi orang lain.105
105
https://www.facebook.com/palangmerah Diakses pada : Selasa, Maret 2013 Pukul
22.29
Universitas Sumatera Utara
Pada ayat (3) menjelaskan tentang penetapan Paraturan Pemerintah yang berkaitan dengan syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.106 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, berbunyi : Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya. Dalam Pasal 66 ini dijelaskan bahwa transplantasi hanya diperbolehkan bila memang telah terbukti aman dan manfaatnya. Ini berlaku untuk transplantasi dari manusia ke manusia atau dari hewan ke manusia. Contohnya adalah transplantasi dari hewan ke manusia yang biasa disebut dengan xenotransplantasi. Berdasarkan ketentuan pasal ini hal ini baru boleh dilakukan hanya bila memang telah terbukti aman. Untuk itu maka sebelum dilakukann transplantasi dari hewan ke manusia harus terlebih dahulu dilakukan uji coba dan harus dapat dibuktikan aman maka hal tersebut baru bisa dilakukan. Pada 9 Desember 2009, National Health and Medical Research Council dari pemerintahan Australia menyatakan bahwa xenotransplantasi boleh dilakukan jika memenuhi kondisi tertentu, dimana dilakukan pengawasan ketat dan pemberian standar operasional akan tetapi yang perlu ditekankan adalah xenotransplantasi ini tidak boleh diterapkan sebagai pengobatan rutin terhadap suatu penyakit. Sebelumnya, pada tahun 2004 dikeluarkan peraturan yang melarang adanya tindakan xenotransplantasi di Australia untuk 5 tahun ke depan. Akan tetapi, pada tahun 2009 banyak yang meminta agar peraturan ini ditinjau 106
ibid, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
kembali dan akhirnya xenotransplantasi dinyatakan boleh dilakukan dengan situasi tertentu.107 Dalam hal ini pasien memiliki hak untuk mengetahui apakah operasi yang akan dilakukan tersebut telah terbukti aman atau tidak. Dalam hal ini salah satu hak pasien adalah berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindak medik yang akan dilakukan, resiko dilakukan atau tidak dilakukannya tindak medik tersebut. Informasi medik juga wajib diketahui oleh pasien108 Pasal 67 Undang-Undang ini berbunyi : (1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal ini menjelaskan bahwa kompetensi tenaga kesehatan sangat penting. Hanya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi yang mumpuni dan memiliki kewenangan yang boleh melakukan pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh. Oleh karena itu tidak semua tenaga kesehatan boleh melakukan operasi transplantasi organ tubuh mengingat amanat undang-undang bahwa proses ini hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang ahli. Selain itu tidak
107
http://health.kompas.com/read/2010/02/18/08575312/Debat.Internasional.Mengenai.Xe notransplantasi. Judul Artikel : Debat Internasional Mengenai Xenotransplantasi, Diakses Pada Selasa 4 Maret 2014 108 Chrisdiono M.Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2004, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
dapat dipungkiri bahwa operasi transplantasi merupakan temuan baru dan masih sulit untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan pasal ini, dinyatakan bahwa proses pengambilan organ tubuh untuk tujuan trainsplantasi juga harus dilakukan di fasilitas kesehatan tertentu yang telah ditentukan oleh Menteri telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Mengenai syarat fasilitas kesehatan itu membuktikan bahwa belum semua rumah sakit yang ada di Indonesia siap untuk melakukan operasi ini sehingga harus ada standar tersendiri. Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini menyebutkan bahwa Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dilakukan dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan,
pelayanan
kesehatan,
pendidikan
serta
kepentingan
lainnya.
Kepentingan lainnya adalah surveilans, investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB), baku mutu keselamatan dan keamanan laboratorium kesehatan sebagai penentu diagnosis penyakit infeksi, upaya koleksi mikroorganisme, koleksi materi, dan data genetik dari pasien dan agen penyebab penyakit. Pengiriman ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai maksud dan tujuan pemeriksaan tidak mampu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri, maupun untuk kepentingan kendali mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi kemampuan standar diagnostik dan terapi oleh kelembagaan dimaksud. Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dimaksud harus dilegkapi dengan Perjanjian Alih Material dan dokumen pendukung yang relevan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan ayat dua pasal tersebut syarat-syarat lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh seperti yang telah dijelaskan di ayat satu akan diatur lebih lanjut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini juga mengatur ketentuan pidana mengenai pelanggaran menyangkut perdagangan organ tubuh manusia ini. Pasal 192 Undang-Undang ini berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-Unsur yang terdapat dalam rumusan pasal ini adalah : a. Unsur Subjektif : Dengan sengaja b. Unsur Objektif : Memperjual belikan organ tubuh atau jaringan tubuh Ketentuan pasal ini menjelaskan bahwa memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun akan mendapat sanksi. Sanksi pidana berupa pidana paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah. Pada pasal ini merupakan perumusan kumulatif dari Pasal 64 ayat (3) yang mengatur tentang larangan jual beli organ tubuh, sedangkan sanksinya dirumuskan pada pasal 192 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.109 Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Sanksi ini menjadi alat untuk menghadapi kejahatan, dalam hal ini maka pasal ini menjadi alat untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan organ 109
ibid , hal. 99
Universitas Sumatera Utara
tubuh manusia untuk tujuan transplantasi. Pasal ini menjerat setiap orang tanpa terkecuali yaitu mereka yang melakukan tindak pidana perdagangan organ tubuh yang didasari unsur kesengajaan. Walaupun perdagangan organ dilakukan dengan dalih membantu sebagai rasa iba karena adanya orang yang sakit dan membutuhkan organ tubuh untuk upaya penyembuhan berupa atau apapun sesuai rumusan pasal ini seharusnya mendapat hukuman. Sebagaimana dari rumusan Pasal 64 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap perbuatan perdagangan dengan dalih apapun diancam pidana. Pasal ini merupakan ketentuan pidana dari rumusan Pasal 64 ayat 2 yang telah mengatur mengenai larangan perdagangan organ tubuh. Pada kenyataannya ancaman sanksi pidana yang ada masih sangat ringan karena hanya mengancam maksimal sepuluh tahun penjara saja. Dengan demikian membuka kemungkinan untuk dihukum selama satu hari saja. Apabila terjadi perbuatan perdagangan organ tubuh ini dilakukan oleh suatu sindikat yang telah terorganisir dan melakukan kejahatannya selama bertahun-tahun, tentulah sanksi ini sangatlah ringan bila mengingat kesalahan yang telah dilakukan. Berkaitan dengan sanksi pidana yang ada untuk menanggulangi kejahatan maka Indonesia haruslah berkaca pada negara-negara yang memiliki hukum yang tegas tentang perdagangan organ tubuh. Di negara-negara tersebut tindak pidana perdagangan organ sangat jarang terjadi. Ketika perdagangan organ terjadi, tindakan hukum yang berlaku juga jelas. Contoh kasus terjadi pada negara Inggris dan Singapura. Kedua negara tersebut menerapkan hukum yang jelas melarang perdagangan organ tubuh manusia. Sedangkan, tindak perdagangan organ masih sering terjadi di negara-negara yang hukumnya jelas tentang perdagangan organ,
Universitas Sumatera Utara
namun pelaksanaannya masih minim seperti di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan,
hukum
yang
jelas
dan
lugas
akan
mengurangi
bahkan
menghilangkan perdagangan organ tubuh di suatu negara. Pada akhirnya adanya sanksi pidana pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan upaya untuk memberantas dan mencegah kasus perdagangan organ tubuh manusia ini. Rumusan pasal ini pun menjadi bukti bahwa Indonesia ingin bersikap tegas untuk menegakkan hukum dengan memberikan ancaman sanksi pidana pada rumusan peraturan yang ada guna menjerat pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh ini. Dari kedua undang-undang yang mengatur perdagangan organ tubuh ini dapat dilihat bahwa materi yang terdapat dalam kedua undang-undang ini sudah cukup baik dan harusnya dapat digunakan untuk mencegah tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia ini. Akan tetapi dari kedua undang-undang ini terdapat perbedaan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 larangan mengenai perdagangan organ tubuh tidak diatur secara terang akan tetapi secara tersirat dan dijelaskan dengan definisi eksploitasi. Sehingga dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini untuk melihat pelarangan perdagangan organ tubuh harus dilihat dari rumusan mengenai eksploitasi. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 menjelaskan larangan mengenai perdagangan organ tubuh dengan lebih terang-terangan yaitu dalam rumusan Pasal 64 yang menjelaskan bahwa transplantasi hanya diperkenankan untuk tujuan kemanusiaan dan perdagangan organ tubuh dengan dalih apapun tidak diperkenankan.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 juga tidak secara khusus diatur tetapi masuk dalam setiap rumusan pasal yang menyangkut mengenai eksploitasi sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pengaturan pidana terhadap tindak pidana perdagangan organ tubuh diatur secara jelas dalam ketentuan Pasal 192. Melihat hal tersebut maka alangkah lebih baiknya ketentuan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang lebih banyak dipakai dalam pencegahan dan menindaklanjuti perdagangan organ tubuh ini. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 lebih jelas dan lebih konkrit mengatur perdagangan organ tubuh tersebut sehingga tidak diperlukan penafsiran yang lebih dalam seperti yang harus dilakukan apabila menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara