BAB II KEBIJAKAN PIDANA (PENAL POLICY) DI INDONESIA MENGENAI TINDAK PIDANA MEREK
A. Tinjauam Umum Tentang Tindak Pidana Ekonomi 1.
Kejahatan Ekonomi Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP),
dikenal dua pengertian yang berhubungan dengan kejahatan, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam Buku II, yang dimulai dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 488 KUHP, sedangkan pelanggaran diatur dalam Buku III mulai dari Pasal 489 sampai dengan Pasal 569. Adanya pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut, di dalam Memorie van Toelichting (MvT),62 dijelaskan sebagai berikut63: 1. Bahwa kejahatan adalah rechts delicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai on recht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. 2. Pelanggaran adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang menentukan demikian. Dengan demikian, dalam konsep kejahatan tersebut KUHP hanya menetapkan saja apa yang menurut masyarakat dianggap sebagai kejahatan 64 atau dengan kata lain dapat disebut sebagai mala perse. Sedangkan pelanggaran, 62
Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda Tahun 1886 merupakan sumber KUHP
Indonesia. 63
Mulyatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta, 1993), hlm. 71. Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada Universitas Indonesia, 30 Oktober 1993, hlm. 23. 64
Universitas Sumatera Utara
merupakan ketetapan pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan itu merupakan pelanggaran hukum pidana yang sebelumnya oleh masyarakat tidak dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana, atau disebut juga mala prohibita. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, mengenai pengertian kejahatan ditegaskan dalam Pasal 2 yang pada prinsipnya dilakukan dalam rangka membedakannya dengan pelanggaran. Dikatakan kejahatan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja maka perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai pelanggaran. Memperhatikan pengertian kejahatan seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat disimpulkan bahwa kejahatan dimaksud dilihat dari sisi pertanggungjawaban pidananya (unsur kesalahan). Mengenai apakah secara sosiologis masyarakat menganggap hal itu sebagai kejahatan atau bukan, tidak menjadi pertimbangan pembentuk undang-undang. Menurut Mardjono Reksodiputro, 65 kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan
yang
melanggar
peraturan
perundang-undangan
dalam
bidang
perekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana. Lebih lanjut diakui bahwa pengertian ini hanyalah merupakan pengkajian ilmiah, hal ini dikemukakan karena pengertian ini sangat luas. Apabila pengertian di atas
65
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hlm. 50.
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan dengan pengertian kejahatan, maka pengertian kejahatan ekonomi di atas bersifat yuridis. 66 Selanjutnya perlu juga dikemukakan tentang pengertian ekonomi itu sendiri untuk melandasi pengertian kejahatan ekonomi. Menurut Deliarnov yang dimaksud dengan ekonomi adalah 67: 1. Ilmu yang mempelajari bagaimana tiap rumah tangga atau masyarakat mengelola sumberdaya yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan mereka. 2. Ilmu yang berkaitan dengan azas-azas produksi, distribusi dan konsumsi serta kekayaan seperti pengaturan keuangan, perindustrian dan perdagangan dan pemanfaatan ruang, tenaga, waktu dan sebagainya yang berharga. 3. Tata kehidupan perekonomian suatu negara. Dari apa yang dikemukakan oleh Deliarnov tentang pengertian ekonomi sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang mempunyai sanksi pidana dan atau dirasakan oleh masyarakat sebagai kejahatan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata perekonomian suatu negara untuk mencapai tujuan berkesejahteraan dan berkeadilan.
2.
Tindak Pidana Ekonomi Perbedaan antara kejahatan dan tindak pidana adalah bahwa kejahatan itu
adalah sebagaian dari perbuatan a moral (tanpa susila) dan perbuatan ini adalah juga anti sosial tetapi menolak adanya perbuatan yang menurut kodratnya adalah jahat.
66 67
Ibid., hlm. 1-2. Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hlm. 2-5.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan mana yang merupakan kejahatan ditentukan berdasarkan rasa kesusilaan masyarakat karena masyarakat selalu berubah, maka pengertian kejahatan juga akan berubah menurut perasaan kesusilaan masyarakat. 68 Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Marjono Reksodiputro mengemukakan bahwa bagi sebagaian besar masyarakat kita mengartikan kejahatan sebagai pelanggaran atas hukum pidana. 69 Dalam undang-undang pidana maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dirumuskan perbuatan ataupun perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman (pidana). Hukum pidana dilihat sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dan karena itu telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan sosial. Kemudian, pengertian tindak pidana berasal dari istilah Belanda yaitu strafbaar feit, yang diartikan sebagai kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 70 Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kejahatan mempunyai pengertian yang lebih luas, karena disamping mencakup tindak pidana (perbuatan yang dilarang undang-undang) juga mencakup perbuatan yang anti sosial dan a moral. Sedangkan tindak pidana
68
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada Universitas Indonesia, Jakarta, 30 Oktober 1993, hal. 23. 69 Ibid., hal. 1. 70 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
merupakan konsep yuridis, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum pidana. Merujuk pada pengertian tindak pidana seperti diuraikan di atas, maka yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan peraturan hukum pidana ekonomi. Adapun tindak pidana ekonomi itu terdiri dari 71: a. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti sempit, yaitu perbuatan yang melanggar aturan Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1995; dan b. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas, yaitu perbuatan yang melanggar aturan hukum pidana di bidang ekonomi (Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1995 dan undang-undang lainnya). 3.
Bentuk-Bentuk Kejahatan Ekonomi Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dimana secara nyata perkembangan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu sama lain, maka jika dilihat adari aspek hukumnya khususnya di bidang hukum pidana ekonomi perkembangan teknologi dan perekonomian ini justru menentukan perkembangan kejahatan ekonomi itu sendiri. 72 Hubungan dialetika antara
71
H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17-27. 72 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya turut ditentukan oleh kemajuan di bidang ekonomi karena perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tidak dapat disangkal sangat membutuhkan dana, khususnya untuk riset atau transfer dari negara lain. Di lain pihak kemajuan teknologi itu sendiri merupakan pendorong kemajuan ekonomi karena teknologi memberikan nilai tambah yang besar dalam setiap kegiatan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan teknologi dan ekonomi dihubungkan dengan perkembangan kejahatan ekonomi dikemukakan bahwa 73: Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tersebut akan memacu pertumbuhan jenis-jenis kejahatan tertentu, karena setiap perkembangan budaya manusia selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas, crime is a shadow of civilization. Hukum pidana harus mengikuti perkembangan kriminalitas itu, sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta hukum tidak ketinggalan zaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi kejahatan-kejahatan yang bakal muncul. Dalam kaitan antara ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (selanjutnya disebut IPTEK) dan kejahatan, maka dapat dikemukakan bahwa perkembangan kejahatan sebagai akibat dari kemajuan ekonomi dan IPTEK dapat dilihat dari segi pelaku atau siapa yang melakukannya dan modus operandi (cara melakukan dan sasarannya). Dari segi modus operandi, maka pengaruh ekonomi dan IPTEK itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Pemanfaatan kemajuan IPTEK terhadap cara melakukan dan alat yang digunakan melakukan kejahatan (sebagai sarana melakukan kejahatan); b. Menjadikan institusi-institusi baru karena kemajuan ekonomi dan IPTEK sebagai sasaran melakukan kejahatan.
B. Tinjauan Umum Tentang Merek Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan 73
Bakat Purwanto, Bentuk-Bentuk Kejahatan Baru Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Makalah pada Seminar Tentang White Collar Crime dan Perkembangan IPTEK, (Jakarta: BPHN, 1994), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). 74 World Intellectual Property (WIPO) sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memakai istilah intellectual property yang mempunyai pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusasteraan, artistik maupun ilmu pengetahuan (scientific), pertunjukan oleh para artis, kaset, dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and designation), dan perlindungan terhadap persaingan curang. 75 Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usulnya (Indication of Origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda dari barang-barang dan jasa-jasa yang lain. 76 Pemberian merek terhadap barang dan jasa akan mempengaruhi citra perusahaan di mata konsumen atau dapat dikatakan akan menaikkan citra perusahaan. Pemberian merek ini juga akan menunjukkan 74
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 1. 75 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 20. Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual. Namun, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights ini dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang disingkat HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon. 76
Budi Agus Riswandi dan Syamsudin M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 84
Universitas Sumatera Utara
jaminan kualitas (quality quarantee) dari barang dan jasa tersebut dan juga berusaha mencegah terjadinya peniruan. Merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. 77 Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengkaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu. 78 Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, bahkan merek suatu perusahaan dapat lebih berharga dibanding dengan aset riil sebuah perusahaan. Begitu pentingnya merek dalam kegiatan perdagangan, Insan Budi Maulana menyebut merek sebagai “roh” bagi suatu barang atau jasa. 79
1. Pengertian Merek Bagi beberapa kalangan, merek diartikan sebagai nama, istilah, logo, tanda atau lambang dan kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut yang dimaksud untuk mengidentifikasikan barang-barang atau jasa dari seorang penjual atau kelompok penjual untuk membedakannya dari produk pesaing. Sedangkan Bill Gates mengatakan bahwa merek adalah salah satu faktor terpenting bagi keberhasilan penguasaan pasar. Tidak heran jika banyak produsen dan pengusaha yang rela menghabiskan miliaran rupiah untuk berpromosi. Semua barang pada dasarnya
77
Ibid. Indonesia-Australia, Intellectual Property Rights (Elementary), (AusAID, Asian Law Group Pty Ltd, 2001), hal. 152. 79 Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipt (Bandung: PT. Citra Aditya, 1997), hal. 60. 78
Universitas Sumatera Utara
dikaitkan dengan merek, seperti Coca-Cola, FedEx, StarMild dan lain-lain. Suatu merek adalah label yang mengandung arti dan asosiasi. Merek yang hebat dapat berfungsi lebih dalam memberikan warna dan getaran pada produk atau jasa. 80 Dari apa yang telah terurai diatas, maka dapat disimpulkan bahwa merek tidak sekedar nama, bukan juga sebuah logo atau simbol. Jadi keliru jika Anda beranggapan bahwa merek itu hanya sekedar sebuah nama merek dapat menjadi “payung (umbrella)” yang mampu mempresentasikan produk atau layanan Anda. Meskipun merek adalah nama atau tanda tetapi merek mempunyai arti yang penting dalam pemasaran. Karena merek sangat “efektif” sebagai alat untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah penjualan. 81 Pengertian merek secara umum dapat dikatakan sebagai “pengenal, ciri bukti atau lambang” atau seperti yang disebutkan dalam The Grolie International Dictionary, “mark is: a sign, symbol or visualimpression or a visble trace impression on something”. 82 Lebih lengkap lagi mengenai pengertian merek adalah sebuah tanda dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang-barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badanbadan perusahaan lain. 83
80
Jacki Ambadar, Miranty Abidin dan Yanty Isa, Mengelola Merek, (Jakarta: Yayasan Bina Karsa Mandiri, 2007), hal. 2. 81 Ibid., hal. 2-3. 82 Poerwadarminto, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1976), hal. 1008. 83 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), hal. 149.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian tentang merek yang dikemukakan di bawah ini yang pada dasarnya menunjukkan pengertian yang hampir sama dengan pengertian di atas, adalah sebagai berikut: suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu barang yang bersangkutan dengan diberi tadi mempunyai tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya. 84 Selanjutnya merek dikatakan sebagai “The word, bedge or symbol which a manufacturer uses to mark to denote their origin”. 85 Menurut Insan Budi Maulana, merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu produk barang atau jasa. 86 Merek sebagai tanda pengenal dan tanda pembeda akan dapat menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang adan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan. 87 Dari pengertian-pengertian sebagaimana tersebut di atas, merek mengandung arti sebagai cap, tanda atau lambang dengan berbagai bentuk yang melambangkan sesuatu, dan pada merek setiap tanda atau lambang yang mampu memberi kesan pada penglihatan. Setiap merek sebagai tanda mempunyai “ciri khusus”, dan tujuan dari adanya ciri khusus tersebut adalah untuk membedakan milik seseorang dari tanda
84
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hal. 84, bandingkan dengan pendapat Purwo Sitjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1984), hal. 82. (dikatakan; Merek adalah suatu tanda, dengan nama suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lainnya sejenis). 85 Brenda J Fowlston, Understanding Commercial and Industrial Licencing, (London: Waterflow Publisher Limited, First Edt, 1984), hal. 11. 86 Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan hak Cipta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 60. 87 Wiratmo Dianggoro, Pembaharuan Undang-Undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 2, 1997), hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
atau cap orang lain. 88 Lambang atau cap yang melekat dalam suatu produk dipakai dalam dunia perdagangan untuk menunjukkan suatu asal-usul barang, mutu maupun kualitas produk. Secara yuridis, pengertian atau definisi merek dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek 2001 yang berbunyi : “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama ,kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”
2. Unsur-Unsur Merek Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek yang mewakili stelsel deklaratif tidak membahas dalam satu pasalnya mengenai unsur-unsur merek, namun mengatur tentang merek yang tidak dapat didaftar terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) : “Lukisan-lukisan atau perkataan-perkataan yang telah menjadi milik umum atau yang bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum tidak dapat didaftar sebagai merek di dalam Daftar Umum Kantor Milik Perindustrian” Menurut Pasal 5 ayat (2) (1) Tidak mempunyai daya pembeda atau hanya terdiri atas angka-angka dan/atau huruf-huruf, atau yang hanya terdiri atas kata-kata yang mengandung keterangan tentang macam, waktu atau tempat pembuatan, jumlah, bentuk, tujuan, ukuran harga atau berat barang;
88
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1996), hal. 177.
Universitas Sumatera Utara
(2) Mengandung atau menyerupai bendera-bendera negara lambang-lambang Negara,
lambang-lambang,
nama-nama,
singkatan-singkatan
lembaga
internasional atau lambang-lambang badan pemerintah daerah di dalam negeri, kecuali atas persetujuan yang berhak; (3) Merupakan tanda pengesahan suatu Badan Pemerintah, kecuali atas persetujuan yang berhak. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mewakili stelsel konstitutif dijelaskan unsur-unsur merek yang tidak dapat didaftarkan adalah : Pasal 5 a. Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; b. Tidak memiliki daya pembeda; c. Telah menjadi milik umum; dan d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran. Penolakan permintaan pendaftaran merek menurut Pasal 6 ayat (1) “Permintaan pendaftaran merek ditolak oleh Kantor Merek apabila mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa sejenis termasuk dalam satu kelas” Untuk dikatakan sebagai merek terdiri dari unsur-unsur tertentu, menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa unsur-unsur merek adalah berupa gambar, nama, kata-kata, angkaangka, susunan warna dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Selanjutnya, menurut
Universitas Sumatera Utara
para ahli unsur-unsur merek adalah merek lukisan (build-merek), merek kata (wordmerek), merek bentuk (worm-merek), merek bunyi-bunyian (klasik-merek), merek judul (title-merek). 89 Kemudian, unsur-unsur merek adalah setiap tanda yang dapat dilihat tertera pada suatu barang atau jasa diartikan sebagai merek. 90 Penjabaran dari unsur-unsur merek adalah 91: a. Gambar Adalah semua obyek yang dapat dilukis/digambar, hasil karya berupa lukisan, gambar teknik baik dihasilkan dengan tangan atau elektronik. Dengan asas tidak terlalu rumit dan sederhana pada gambar dari jenis diagram, diagonal, diameter, dial dan sirkel. b. Nama Adalah meliputi segala jenis benda budaya, barang ekonomi, makhluk hidup atau benda mati, meliputi juga nama perorangan, keluarga dan badan hukum termasuk diambil dari geografi seperti gunung, kota, daerah, sungai atau nama tempat. Dari uraian di atas menunjukkan banyaknya macam nama : 1. Nama keluarga (family name); Sering dipergunakan sebagai unsur merek, merupakan hak yang melekat secara alami yang pada tahap orang. Suatu nama juga ada mengandung berbagai
89
R. Soerjatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal. 150. Ibid., hal. 100. 91 M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Op.Cit., hal. 182. 90
Universitas Sumatera Utara
ragam pengertian sesuai azas yang pertama nama yang tidak banyak mengandung pengertian. Macam nama berikutnya nama yang sangat umum dipakai masyarakat, nama dimaksud tidak boleh dijadikan merek, karena potensial dapat mengaburkan identitas khusus seseorang sebab banyak nama yang sama. Nama orang terkenal bersifat relatif untuk memakai sebagai nama merek harus ada persetujuan tertulis terhadap yang mempunyai nama. Nama jenis (generic name) adalah mengandung kata-kata, tulisan maupun gambar yang dijadikan merek dengan jenis barang atau jasa. 2. Nama dagang (trade name) identifikasi dari Corporate Name. 3. Nama bisnis (business name); 4. Nama badan hukum terdaftar (registered company names) yang disingkat Company Names. c. Kata Yang dimaksud kata adalah pengertian perkataan baik asing, nasional, maupun daerah, bisa kata sifat, kata kerja dan kata benda, diambil dalam bidang tertentu. Yang mempunyai patokan harus memiliki daya pembeda, cukup sederhana, susunan huruf dianggap perkataan, kata-kata keterangan barang atau jasa, perkataan sugestif dan perkataan yang mengandung fantasi. d. Angka-angka Angka-angka yang dimaksud adalah angka-angka bersifat majemuk tidak boleh terdiri dari satu angka saja, harus lebih dari dua angka memerlukan kombinasi
Universitas Sumatera Utara
dengan unsur lain. Pada prinsipnya merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak dapat dijadikan merek. 92 Merek yang terdiri dari angka-angka saja tidak jelas akan daya pembedanya, tidak mampu untuk berdiri sendiri sebagai identitas mandiri yang terlalu umum. Merek yang hanya terdiri dari titik-titik, garis, angka-angka, huruf-huruf, lingkaran, segi tiga dianggap tidak mempunyai daya pembeda karena terlampau sederhana bentuknya. 93 Dari uraian di atas merek yang serupa angka saja merupakan salah satu unsur merek yang tidak memerlukan kombinasi dengan unsur tanda yang lain. e. Susunan warna Susunan Warna adalah kombinasi gambar atau lukisan geometris, sirkel, diagonal yang melekat pada gambar persegi panjang, siku-siku atau bundaran. Dari uraian di atas unsur warna lebih mempunyai karakter identitas yang lebih potensial memiliki daya pembeda. f. Atau kombinasi dari unsur-unsur Kombinasi unsur-unsur adalah suatu unsur yang dapat dipakai sebagai tanda untuk mencipta suatu merek barang dan atau jasa. Unsur-unsur yang dimaksud di atas adalah gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka dan susunan warna yang masing-masing unsur dapat berdiri sendiri tanpa kombinasi antara satu dengan lainnya atau seluruh unsur dapat dikombinasikan begitu salah satu unsur dapat dikombinasikan. 92
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 32. Djoko Prakoso, Hukum Merek dan Paten Sederhana Indonesia, (Jakarta: Dhara Prize, 1991), hal. 51. 93
Universitas Sumatera Utara
3. Ruang Lingkup Merek Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ruang lingkup merek masuk dalam Pasal 1 ayat 2, 3, 4 yaitu : Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan barang dan atau jasa sejenis lainnya. Merek kolektif sebenarnya bukan merupakan jenis merek tersendiri pada merek dagang dan merek jasa, hanya sifat penggunaannya yang sejak awal terikat pada peraturan yang dibuat untuk itu menjadikan sebagai merek kolektif.
C. Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek 1.
Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Tindak Pidana Ekonomi Kebijakan hukum pidana tertuang dalam kebijakan legislasi dan kebijakan
bidang penegakan hukum suatu aturan di dalam negara. Tindak pidana di bidang ekonomi sebagai suatu bentuk hukum yang berkembang dan dinamis terdapat dalam
Universitas Sumatera Utara
berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk membahas kebijakan hukum pidana tentu harus dibahas terlebih dahulu kebijakan legislasi atau pengaturan dalam perundang-undangan terkait dengan tindak pidana ekonomi. Selanjutnya untuk melakukan pengkajian kebijakan tersebut dapat dilihat kebijakan hukum pidana. Untuk melakukan analisis tentang kebijakan hukum pidana terlebih dahulu dengan melakukan inventarisasi aturan hukum pidana dalam hal ini undang-undang terkait dengan tindak pidana ekonomi. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dapat dihimpun aturan-aturan terkait dengan tindak pidana di bidang ekonomi seperti di bawah ini 94: 1. Undang-undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif; 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang no. 16 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan; 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan; 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; 8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang Nmor 3 Tahun 2004; 11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa; 12. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; 13. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten; 14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Hak Merek;
94
http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukum-pidana-dalamupaya.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 23.00. WIB.
Universitas Sumatera Utara
15. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang; 16. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan 18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi Elektronik. Dari analisis yuridis yang dilakukan terhadap beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana di bidang ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, kebijakan hukum pidana itu terlihat dalam pengaturan baik hukum pidana materil ataupun hukum pidana formil. Kebijakan yang termuat dalam hukum pidana materil mengatur prinsip-prinsip yang berkaitan dengan : a. Ruang lingkup pengaturan; b. Perumusan delik; c. Unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana; d. Perumusan pidana dan pemidanaan; dan e. Hubungan sanksi administratif dan sanksi pidana. Selanjutnya, kebijakan yang termasuk ke dalam hukum pidana formil adalah : a. Pengaturan tentang penyidik, penyidikan dan wewenang penyidikan; b. Pengaturan tentang penuntut umum, penuntutan dan kewenangan penuntutan; c. Koordinasi antara penyidik dengan penyidik dan penyidik dengan penuntut umum; dan d. Pengaturan tentang peradilan atau pemeriksaan di persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun kecenderungan kebijakan hukum pidana yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut 95: 1. 2. 3. 4. 5.
Ruang lingkup pengaturan; Perumusan delik; Unsur Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (unsur kesalahan); Pertanggungjawab Korporasi; Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran; Klasifikasi tindak pidana atas kejahatan dan pelanggar sangat menentukan pengaturan lembaga hukum lain dalam hukum pidana seperti perbuatan percobaan dan melakukan. Namun dalam tindak pidana ekonomi tidak semua undang-undang khusus tersebut mengatur dengan tegas perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hanya terdapat enam aturan yang mengatur tentang adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Undang-Undangan Lingkungan Hidup dan Pencucian uang mengatur pembedaan antara delik kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan dalam undang-undang Hak Kekayaan Intelektual dan Undang-Undang Perpajakan tidak diatur apakah suatu delik adalah kejahatan atau pelanggaran. 6. Pengaturan Percobaan dan membantu melakukan; 7. Perumusan sanksi Pidana/jenis pidana; Sanksi pidana merupakan suatu dasar pembentukan hukum pidana khusus khususnya di bidang ekonomi karena kebijakan pidana dan pemidanaan yang ada tidak sejalan lagi dengan kebutuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu aturan pidana dan pemidanaan dibuat menyimpang dari aturan khusus dengan menggunakan asas kumulasi. Ternyata pengaturannya sangat beragam. Terdapat 7 (tujuh) undangundang yang menggunakan kumulasi atau penggabungan dua pidana pokok. Kemudian 3 (tiga) peraturan lainnya menganut kumulasi tidak murni atau terserah kepada hakim untuk menggunakan alternatif atau kumulatif. Terdapat 2 (dua) peraturan yang masih menggunakan sistem alternatif. Tindak Pidana Ekonomi misalnya masih menggunakan sistem alternatif, sedangkan tindak pidana perpajakan dan pasar modal menggunakan sistem kumulasi. Sebaliknya Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) menggunakan kumulasi tidak murni (alternatif-kumulatif). 8. Sanksi Pidana Dihubungkan dengan lamanya atau besarnya pidana, undang-undang pidana khususnya sebenarnya menghendaki agar sanksinya lebih berat dengan sedikit membatasi kebebasan hakim dalam menentukan lamanya 95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pidana. Hal itu dilakukan dengan menerapkan stelsel minimum khusus. Ternyata dari penelitian terlihat bahwa tidak satupun aturan yang menerapkan minimum khusus yang murni. Hanya terdapat 5 (lima) undang-undang yang menggunakan minimum dan maksimum khusus artinya pilihan hakim masih antara minimum dan masksimul lamanya/besarnya pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan 6 (enam) aturan masih menggunakan maksimum khusus, artinya terdapat luasnya kebebasan hakim menjatuhkan lama/besarnya pidana. Selanjutnya, tidak ada satu aturanpun yang menerapkan minimum khusus. Undang-Undang Pasar Modal dan Perpajakan masih menggunakan stelsel maksimal khusus. Undang-Undang Perbankan dan HAKI menggunakan minimal khusus dan maksimal khusus. 9. Hubungan sanksi Administratif dan Pidana; 10. Penyidikan; 11. Koordinasi Penegak hukum; Koordinasi penegakan hukum khususnya di bidang penyidikan terlihat bahwa terdapat 4 (empat) undang-undang yang harus ada koordinasi anatar penyidik khusus dengan penyidik Polri, misalnya dalam undangundang Kehutanan dan HAKI. Terdapat 5 aturan yang hanya mengatur koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan penuntut umum, seperti undang-undang perpajakan dan kepabeanan. Terdapat 7 peraturan yang menetapkan bahwa koordinasi dengan penuntut umum harus melalui penyidik Polri. 12. Pengaturan Penuntutan; 13. Pengadilan Khusus; 14. Aturan Persidangan.
2.
Kebijakan Pidana (Penal Policy) Dalam Penanggulangan Kejahatan di Bidang Merek Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana). 96 Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana 96
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal.51.
Universitas Sumatera Utara
biasa disebut juga politik hukum pidana. 97 Menurut Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum Pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. 98 Kemudian, Sudarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 99 A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 100 Penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik hukum pidana adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.
97
Ibid., hal.65. Ibid., hal.66. 99 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 161. 100 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 28. 98
Universitas Sumatera Utara
Salah satu upaya penanggulangan kejahatan (khususnya kejahatan di bidang ekonomi) melalui jalur penal dinilai bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Hal ini terungkap dari keprihatinan yang diungkapkan dalam Kongres PBB ke 6 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1980 di Caracas Venezuela. Dinyatakan dalam satu laporan Komisi II, bahwa bentuk-bentuk pelanggaran atau penyalahgunaan di bidang ekonomi (economic abuses) termasuk bentuk-bentuk pelanggaran yang sulit dijangkau oleh hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan
yang
diidentifikasikan
dalam
laporan
itu
antara
lain
:
pelanggaran/penghindaran pajak (tax evasion), penipuan/kecurangan di bidang perkreditan dan bea cukai (credit and customs fraud), penggelapan dana-dana masyarakat (embezziement of public funds), penyelewengan/penyalahgunaan danadana masyarakat (misappropriation of public funds), pelanggaran terhadap peraturanperaturan keuangan (violations of currency regulations), spekulasi dan penipuan dalam
transaksi
tanah
(speculation
and
swinding
in
land
transactions),
penyelundupan (smuggling), delik-delik lingkungan (environmental offences), menaikkan harga (over princing), melebihi faktur (over invoicing), eksploitasi tenaga kerja (labour exploitation), penipuan konsumen (consumer fraud), mengekspor dan mengimpor barang-barang di bawah standard an bahkan hasil-hasil produksi yang membahayakan (export and import of substandard and dangerously unsafe products). 101 101
Six United Nation Congress Report, Caracas Venezuela, 1980, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
Keterbatasan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal terungkap pula dari pendapat beberapa sarjana antara lain : a. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki), sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. 102 b. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahanperubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat. 103 c. Karl O. Christiansen pada waktu membicarakan beberapa pertimbangan mengenai kemungkinan suatu politik criminal yang rasional, mengemukakan antara lain 104: “Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective colidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketagangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya. d. Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah menyatakan, bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompokkelomppok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efesien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum. 105
102
Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 3. Ibid. 104 Karl O. Christiansen, Some Consideration on the Posibility of a Rational Criminal Policy, (Tokyo: Resource Material Series No. 7 UNAFEI 1974), hal. 58. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 3. 105 Donald R. Taft and Ralph W. England, Criminology, 1954, Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 4. 103
Universitas Sumatera Utara
e. Barda Nawawi Arief, menyatakan hukum pidana memiliki keterbatasan kemampuan dalam penanggulangan kejahatan, hal ini dapat dilihat sebagai berikut 106: 1. Sifat/hakekat dan fungsi hukum pidana Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial, banyak faktor yang menyebabkan kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangat kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan dalam menanggulanginya. Sanksi (hukum) pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Dengan kata lain sanksi (hukum) pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik. 2. Sifat/fungsi pemidanaan Pendekatan hukum pidana selama ini sangat terbatas dan fragmentair, yaitu terfokus dipidananya si pembuat. Dengan demikian efek preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan agar orang tidak melakukan tindak pidana (prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi. 3. Dilihat dari jenis sanksi Hukum pidana sangat kaku dan sangat terbatas jenis pidana (sebagai obat/remedium) yang dapat dipilih. Tidak sedikit dalam perundangundangan selama ini digunakan sistem perumusan sanksi pidana yang sangat kaku dan bersifat imperatif, seperti halnya perumusan sanksi pidana secara tunggal dan kumulatif. Sistem demikian tentunya kurang memberi peluang atau kelonggaran bagi hakim untuk memilih pidana (obat) mana yang dianggap paling tepat bagi si terpidana. Terlebih pidana (obat) itu sendiri mengandung juga sifatsifat kontradiktif/paradoksal dan unsur-unsur negatif yang membahayakan atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan efek sampingan yang negatif. Dari beberapa pendapat di atas dapatlah kiranya diidentifikasikan sebabsebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut : 106
Barda Nawawi Arief, Batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Tentang Pendekatan Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1996), hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
a. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana; b. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks; c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif. d. Sanksi
hukum
pidana
merupakan
remedium
yang
mengandung
sifat
kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. e. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. Namun demikian persoalan yang timbul adalah apakah hal ini berarti bahwa hukum pidana dengan sanksi pidananya sudah tidak diperlukan lagi dalam upaya menanggulangi timbulnya kejahatan. Ada pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu lagi dikenakan pidana, dimana menurut pendapat ini pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Sejalan dengan pendapat tersebut paham determinisme menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungan
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang abnormal sehingga si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang memperbaiki. 107 Kemudian, terkait dengan ambivalensi sikap dalam penegakan hukum ekonomi juga seringkali didasarkan atas skala prioritas pembangunan. Dalam sistem ekonomi yang berimbang dimana faktor ekonomi merupakan primadona karena leverage effect yang diharapkan terhadap bidang-bidang pembangunan yang lain, seringkali pendekatan non penal dikedepankan dari penggunaan sarana penal. Misalnya, dalam penyelesaian tindak pidana perpajakan yang lebih dominan menggunakan pendekatan administratif daripada pendekatan pidana. Dalam menggunakan sarana penal, diperlukan adanya prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) 108 yang seharusnya mendapat perhatian, yaitu: 1. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan; 2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; 3. Jangan menciptakan hukum pidana untuk mencapai sesuatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; 4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar dari kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; 107
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), hlm. 19. 108 Nigel Walker, Sentencing in A Rational Society, (London: Pelican Book, 1972), hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
5. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih bahaya dari perbuatan yang akan dicegah; 6. Hukum pidana memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan dari publik. Demikian pula dengan penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu pengancam yang utama (prime threatner). 109 Selanjutnya berkaitan dengan kriminalisasi perbuatan, Soedarto mengatakan bahwa harus diperhatikan hal-hal berikut ini 110: 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan-tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila sehingga sehubungan dengan ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan spiritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dari hasil (cost and benefit principle). 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overlasting). Berdasarkan hal di atas terlihat bahwa sebenarnya penggunaan upaya penal (sanksi/hukum
pidana)
masih
diperlukan
keberadaannya,
meskipun
dalam
penerapannya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, cermat, selektif dan limitatif.
109
Herbert L. Packer, The Limit of Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hal. 366. 110 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya terkait dengan kejahatan merek sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) yaitu merupakan salah satu jenis kejahatan yang menjadi permasalahan nasional, regional maupun internasional. Untuk itu dalam hubungan dengan masalah yang sangat kompleks inilah lewat kongres-kongres PBB mengenai “the prevention of crime and the treatment of offenders”, membicarakan masalahmasalah bentuk-bentuk dan dimensi kejahatan dengan tema Crime Against Development (Kejahatan dan Pembangunan), Crime Against Social Welfare (Kejahatan terhadap kesejahteraan sosial) dan Crime Against the Quality of Live (Kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup). Termasuk dalam kategori kejahatankejahatan yang demikian adalah kejahatan ekonomi. Perhatian yang cukup besar dari bangsa-bangsa terhadap kejahatan itu sangatlah wajar oleh karena kejahatan tersebut secara langsung berhadapan dan mengancam program pembangunan ekonomi sebuah negara. Secara khusus dikemukakan bahwa pengaruh atau dampak negatif dari kejahatan dimaksud sangat merintangi bahkan mengagalkan program pembangunan negara-negara yang sedang berkembang. Pengaruh negatif dari delik-delik di bidang ekonomi terutama di negaranegara sedang berkembang telah dikemukakan dalam laporan kongres PBB ke 7, bahwa kejahatan sebagai produk sosial disebabkan oleh beraneka ragam faktor dan diantaranya faktor ekonomilah yang memegang peranan utama. 111
111
Seventh United Nations Congress On the Prevention of Crime and the Treatment Offenders Report, (New York: United Nations, 1986), hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dikemukakan pula, bahwa pengaruh atau dampak negatif dari kejahatan-kejahatan terhadap program pembangunan nasional di negara-negara sedang berkembang sangatlah jelas dan berbahaya. Di negara-negara sedang berkembang, program-program pembangunan nasional sangat dirintangi dan semakin meningkatnya kejahatan-kejahatan ekonomi (economic crimes) seperti penggelapan, penipuan, penyelundupan, penghindaran pajak, penyalahgunaan bantuan (milik umum dan negara), korupsi yang merajalela, penyuapan dan penyalahgunaan kekuatan-kekuatan ekonomi oleh korporasi nasional dan transnasional. 112 Mengenai kejahatan ekonomi seperti sudah dijelaskan sedikit diawal bab dari tesis ini lebih merupakan sebuah konsep tentang kejahatan di bidang ekonomi yang meliputi bidang yang sangat luas. 113 Oleh karena itu muncul berbagai istilah seperti : economic crimes, economic criminality, business crime, abuse of economic power atau economic abuse, yang pada prinsipnya hendak menggambarkan apa yang disebut kejahatan ekonomi itu. Dengan demikian hingga sekarang belum ada satu defenisipun yang secara umum dianggap cukup memadai untuk menggambarkan secara lengkap tentang kejahatan tersebut.
112
Ibid., hal. 113. Apabila kita bandingkan dengan perumusan dalam Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1995 bisa dikelompokkan dalam economic crime dalam arti sempit. Hal ini disebabkan undang-undang tersebut secara substansil hanya memuat ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Bahkan relevansi dari ketentuan tersebut masih harus dipersoalkan terutama dalam konteks kegiatan ekonomi di era globalisasi. 113
Universitas Sumatera Utara
Dengan berpijak pada uraian di atas berkaitan dengan bentuk-bentuk kejahatan ekonomi ada yang mengelompokkan kedalam tiga jenis pokok kejahatan ekonomi (three major types of economic crime), yaitu 114: 1. Property crimes, yaitu perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan harta benda/kekayaan seseorang atau negara (acts that threaten property held by private persons or by state); 2. Regulatory crimes, yaitu perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan pemerintah (actions that violate government regulations); dan 3. Tax crimes, yaitu pelanggaran mengenai pertanggungjawaban atau pelanggaran syarat-syarat yang berhubungan dengan pembuatan laporan menurut undang-undang pajak (violations of the liability or reporting requirements of the tax law). Terkait dengan kejahatan merek digolongkan sebagai property crimes yang artinya suatu perbuatan yang mengancam keselamatan harta benda atau kekayaan seseorang atau negara. Adapun unusr-unsur dari property crimes ini adalah sebagai berikut 115: 1. Perbuatan dilakukan dalam kerangka ekonomi. 2. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya kepentingan individu saja. 3. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang merugikan perusahaan lain atau individu lain. 4. Perbuatan bisa dilakukan seseorang atau korporasi, di dalam pekerjaannya yang sah, atau dalam usahanya di bidang industri atau perdagangan. 5. Perbuatan tersebut biasanya bertujuan untuk memperoleh uang atau kekayaan, menghindari pembayaran uang atau kehilangan kekayaan. Selanjutnya, pemilik merek diberikan kebebasan untuk mempergunakan mereknya namun tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan 114
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 156. 115 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1982), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan yang berlaku, ada 4 (empat) prinsip dalam sistem hak atas kekayaan intelektual (HAKI), yakni 116: 1. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice), merupakan hal yang wajar apabila pencipta sebuah karya memperoleh imbalan baik berupa materi maupun pengakuan dari kemampuan intelektualnya atau hasil karyanya. Agar tercipta rasa keadilan, hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta demikian pula halnya dengan pemegang merek juga dilindungi oleh hukum berupa kekuasaan bertindak dalam rangka kepentingan pemegang merek yaitu berupa hak. Perlindungan hukum terhadap pemegang merek tidak hanya terbatas di dalam negeri melainkan juga perlindungan tersebut meliputi perlindungan di luar batas negaranya. 2. Prinsip Ekonomi (The Economic Argument), dimana hak atas kekayaan intelektual merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif dan suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk yang memberikan manfaat dalam menunjang kehidupan manusia. Pemilikan hak atas kekayaan intelektual termasuk di dalamnya pemegang merek berhak mendapatkan keuntungan dalam bentuk pembayaran royalti. 3. Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument), dimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf hidup dan memberikan manfaat dan kegunaan bagi masyarakat, bangsa dan negara, oleh karena itu hak atas kekayaan intelektual mendapat perlindungan hukum tidak terkecuali juga dengan merek. 4. Prinsip Sosial (The Social Argument), dalam hal ini hukum hanya mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat suatu negara sehingga antara kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya terkait dalam suatu ikatan kemasyarakatan. Oleh karena itu suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum baik subyek hukum manusia maupun subyek hukum badan hukum tidak boleh diberikan hanya untuk kepentingan perorangan atau badan hukum. Dengan diberikannya hak tersebut kepada subyek hukum maka kepentingan seluruh masyarakat akan dapat terpenuhi. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk juga perlindungan hukum terhadap merek maka akan 116
Gloria Gita Putri Ginting, Perlindungan Hukum Dalam Bidang Merek, Jurnal Suloh Vol. III No. 1 April Tahun 2005, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
memberikan kepastian hukum, memberikan manfaat dalam segi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Keuntungan dan manfaat dengan adanya perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), demikian juga keuntungan dan manfaat perlindungan hukum terhadap merek, yakni 117: 1. Dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi (technological base) nasional guna pengembangan teknologi yang lebih cepat dari sebelumnya. 2. Upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya pencipta atau penentu sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. 3. Mendapat pengakuan dari negara atas hasil karya dan temuan seseorang dan juga dapat menciptakan suasana yang sehat untuk dapat menarik penanaman modal asing serta memperlancar perdagangan internasional. Perbuatan melakukan pemalsuan merek atau peniruan merek tanpa hak dapat dituntut atau digugat berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yakni dalam Pasal 76 yang menyebutkan tentang pelanggaran terhadap merek, berbunyi : (1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa sejenis berupa : a. gugatan ganti rugi, dan/atau b. penggunaan merek tersebut 117
Ibid., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga. Ganti kerugian merupakan sanksi yang harus diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pemalsuan atau peniruan merek, baik ganti kerugian materil maupun ganti kerugian immaterial. Kerugian materil maksudnya kerugian yang dapat dinilai dengan uang, seperti sedikitnya produk barang yang terjual yang diakibatkan karena dilakukannya pemalsuan atau peniruan terhadap jenis produk barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah dari harga jenis produk barang yang sama pula. Kerugian yang diderita oleh pemilik merek terdaftar seperti ini harus dilakukan ganti rugi kepada pihak-pihak yang melakukan pemalsuan atau peniruan terhadap merek yang jenis produk barang yang sama. Sedangkan kerugian immaterial maksudnya pemakaian merek dengan tanpa hak yang menyebabkan kerugian sehingga mengakibatkan kerugian secara moril, seperti kualitas dan kuantitas produk barang yang lebih rendah dan dijual dengan harga yang rendah pula sehingga pemakai dari produk tersebut tidak mempergunakan merek itu lagi.
3.
Fungsionalisasi Hukum Pidana Untuk mengantisipasi problematika masyarakat industri sangat diperlukan
kewaspadaan, mengingat Indonesia sedang berkembang ke arah industri modern dan melalui bekerjanya teknologi canggih dalam bidang informasi antar bangsa termasuk niaga internasional telah menyebabkan berkembangnya kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap
Universitas Sumatera Utara
konsumen, dan berbagai pola kejahatan koorporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran. 118 Selanjutnya, problema yang kita hadapi dalam rangka pembentukan sistem hukum HAKI adalah masalah kesadaran hukum HAKI sebagai perwujudan budaya hukum. Budaya hukum yang ada dalam mayarakat kita kurang mendukung, dan inilah yang perlu mendapat perhatian. Di dalam kegiatan ekonomi perdagangan yang dilakukan para pelaku ekonomi tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum HAKI. Dalam hal ini, terdapat perilaku menyimpang sebagai pelanggaran di bidang HAKI. 119 Dalam masyarakat masih sering beredar barang-barang bermerek palsu, dan ironisnya barang tersebut laku di pasaran yang sebetulnya ini merugikan konsumen dari segi kualias barang. Di samping itu, juga berkonsekuensi Indonesia ditempatkan sebagai kelompok negara priority watch list. Pelanggaran ataupun perilaku menyimpang di bidang HAKI akan selalu terjadi berkaitan dengan perilaku bidang bisnis yang menghendaki persaingan dan orientasi profit. Hal ini membuka potensi aktivitas bisnis yang curang atau melanggar hukum. Pelanggaran di bidang HAKI telah memperoleh perhatian negara-negara anggotaa WTO. Terjadinya globalisasi membuat ketidakpastian bagi negara-negara untuk memberikan perlindungan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran tersebut. 118
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 3. 119 http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/08/kebijakan-hukum-pidana-dalam-rangkapenanggulangan-tindak-pidana-hak-kekayaan-intelektual/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011, pukul 23.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Pelanggaran di bidang HAKI dimungkinkan diselesaikan melalui proses peradilan pidana, yang ditempatkan sebagai perilaku yang termasuk dalam kategori sebagai tindak pidana. Dalam hal ini, berarti pemanfaatan hukum pidana dengan memberikan formulasi pelanggaran di bidang HAKI sebagai perbuatan terlarang, dan bagi pelakunya diancam dengan sanksi pidana. Perkembangan perdagangan dunia sangat dipengaruhi oleh standar yang berlaku di berbagai negara terhadap perlindungan HAKI beraneka ragam. Penegakan hukum yang tidak efektif dapat memicu terjadinya pemalsuan dan pembajakan yang pada dasarnya dapat merusak kepentingan-kepentingan perdagangan yang sah. 120 Antisipasi terhadap perkembangan tersebut perlu dilakukan, dengan upaya penanggulangan kejahatan yang di antaranya dengan memanfaatkan pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal. Sudarto menjelaskan bahwa politik kriminal dimaksudkan sebagai usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 121 Politik/kebijakan kriminal termasuk pula kebijakan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 122 Pendayagunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, termasuk pelanggaran di bidang HAKI memerlukan perencanaan yang baik agar berlaku
120
Muladi, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hal. 55. 121 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Ibid., hal. 158. 122 Ibid., hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
efektif. Hal ini tercakup dalam kebijakan hukum pidana, yang merupakan suatu proses yang terdiri dari tahap formulasi atau legislatif, tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif/administratif. Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal, juga merupakan kebijakan perundang-undangan. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tahap formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan perubahan tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Pendayagunaan hukum pidana tersebut tercermin dalam kebijakan perundang-undangan
yang
memfokuskan
permasalahan
sentral
menyangkut
penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak pidana, dan sanksi pidana apa yang sebaiknya dikenakan. Dalam hukum pidana materiil kedua hal tersebut termasuk perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum pidana materiil dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana, pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana. 123 Penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam undang-undang tidak lain merupakan proses kriminalisasi. Permasalahan yang muncul menyangkut tolok ukur dan bentuk riil secara teknis perbuatan pelanggaran suatu kejahatan, termasuk dalam pelanggaran di bidang HAKI. Hal ini terkait dengan jenis 123
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang, Pidato Pengukuhan Guru Besar di Bidang Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
pelanggarannya merupakan kejahatan ekonomi, dan dikategorikan pula sebagai kejahatan kontemporer. Masalah tersebut bersangkut-paut dengan kegiatan-kegiatan penjahat
berdasi,
kejahatan
korporasi
yang
memang
menimbulkan
kerugian/kerusakan yang lebih luas daripada kejahatan konvensional. Kegiatan mereka menampakkan diri semacam metamorfosa ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan dunia normal, sehingga tidak mudah untuk mengenalinya karena melakukan kegiatan ekonomi yang sah sebagaimana masyarakat umumnya. 124 Dalam penentuan tindak pidana, perlu kejelasan siapa yang berkedudukan sebagai
pembuat/pelaku
tindak
pidana,
dan
kemudian
siapa
yang
dipertanggungjawabkan. Di sini berhubungan dengan subyek hukum pidana. Masalah pertanggungjawaban juga menyangkut pelakuknya mempunyai kesalahan atau tidak, sehubungan dengan itu dikenal dalam hukum pidana Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Asas ini tentu sulit jika diterapkan pada korporasi, karena umumnya kesalahan terdapat pada orang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kejahatan ekonomi dengan melihat sifat dan bentuknya, maka perlu digunakan asas pertanggungjawaban yang lain, berdasarkan fakta penderitaan yang ditimbulkan terhadap si korban, yang dikenal sebagai asas res ipsa loquitur (fakta sudah berbicara sendiri). Dalam hal ini doktrin yang diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi adalah strict liability (pertanggungjawawaban pidana
124
Satjipto Rahardjo, Beberapa Persoalan Sosiologis Pembangunan Ekonomi Indonesia Khususnya Dalam Hubungannya Dengan Rekayasa Hukum, Dalam Seminar Nasional Peranan Hukum Pidanan Dalam Menunjang Kebijakan Ekonomi, Semarang, 7 Desember 1990, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
tanpa kesalahan), dan vicarious liability (pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada seseorang atas perbuatan orang lain). 125 Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan perundang-undangan merupakan kegiatan yang strategis, karena di sini akan mendasari dan mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana in concrito. Sehubungan dengan tindak pidana di bidang HAKI, yang dapat dimasukkan sebagai kejahatan kontemporer dan kejahatan di bidang ekonomi, maka pendayagunaan hukum pidana harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan. Yang utama bukanlah rehabilitasi atau resosialisasi melainkan justru efek moral dan pencegahan dari sanksi pidana. Dikarenakan pelaku tindak pidana dinilai telah mengkhianati kepercayaan masyarakat, sehingga pidana harus mencerminkan beratnya kejahatan yang dicela masyarakat. 126 Pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa datang. Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil. 127
125
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 1990), hal. 28. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Ibid., hal. 5. 127 Ibid. 126
Universitas Sumatera Utara