BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Permasalahan Ketenagakerjaan Salah satu persoalan bangsa yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah masalah pengangguran. Masalah pengangguran ini akan tetap mewarnai ketenagakerjaan Indonesia hingga beberapa tahun kedepan. Pengangguran akan terus betambah dari tahun ketahun, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai 7 persen. Pada tahun 2008 yang akan datang saja target pemerintah hanya mematok pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitanya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi 6,5 persen maka diperkirakan penyerapan tenaga kerja hanya 2,6 juta orang, sedangkan angka pengangguran melebihi dari daya serap dunia usaha tersebut. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut rencana tenaga kerja nasional Departeman Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2004-2009 menyatakan faktor tersebut diantaranya adalah stabilitas politik, masih sulitnya arus masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah
negara-negara
maju
dalam
menerima
ekspor
negara-negara
berkermbang, iklim investasi, pasar global, berbagai regulasi dan perilaku birokrasi yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan
9
upah di tengah dunia usaha yang masih lesu. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan etonomi daerah yang dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja atau tidak ramah terhadap tenaga kerja. Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia yang sangat multi-dimensi ini tentunya memerlukan cara yang multi-dimensi pula. Masalah ketenagakerjaan yang dikenal selama ini secara kuantitatif menggunakan indikator penganggur dan setengah penganggur, sehingga pada tahun 2003 diketahui penganggur berjumlah berjumlah 37.998.196 orang yang terdiri atas 9.531.090 penganggur terbuka dan 28 467106 setengah penganggur. Penganggur (unemployment) menurut Kusumosuwidho (1981:208) adalah “mereka yang tidak bekerja dan sekarang ini sedang aktif mencari pekerjaan menurut referensi waktu tertentu” dan pengertian setengah pengangguran menurut Kusumosuwidho (1981:209) mengatakan bahwa “setengah penganggur adalah perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul dikerjakan seseorang dalam pekerjaanya dengan jumlah pekerjaan yang seacara normal mampu dan ingin dikerjakannya”. Data tentang penganggur tersebut bersumber dari hasil survey yang diselenggarakan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik melalui Survey Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Masalah lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah kualitas tenaga kerja yang masih rendah. Walaupun angka pengangguran lulusan perguruan tinggi terus meningkat, tetapi sebagian besar tenaga kerja Indonesia merupakan lulusan pendidikan dasar (SD-SMP) yang tentunya memiliki daya saing yang relatif rendah. Bila dilihat menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan menurut data
10
dari BPS tahun 2004, maka sebagian besar atau 34.4 persen dari pemuda yang bekerja, berpendidikan SD kebawah, baik yang berusia 15-19 tahun maupun yang berusia 20-24 tahun. Lainnya sebesar 39.5 persen (3,6 juta orang) berpendidikan SMP dan 24,9 persen berpendidikan SMA (3,15 juta orang), sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya sebesar 1,2 persen atau 152 ribu orang. Penduduk yang bekerja berpendidikan perguruan tinggi masih sangat kecil, kondisi ini sangat tidak menguntungkan dan menunjukan daya saing yang rendah dari penduduk Indonesia. Sebagian besar dari pemuda yang bekerja hanya berpendidikan SD ke bawah maka mereka bekerja hanya terbatas pada status pekerjaan informal dibandingkan formal, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini Tabel 2.1 Penduduk Usia Kerja Menurut Pendidikan di Indonesia Tahun 2003 (x 1.000 orang) Kategori SD SMP SMA DIPL& Univ Jumlah
Golongan Umur 15-19 tahun 20-24 tahun 6.981 6.707 9.988 5.717 2.421 7.506 17 460 19.406 20.389
Jumlah 13.687 15.705 9.926 477 39.796
34,4% 39,5% 24,9% 1.2% 100 %
Sumber : BPS, Sakernas 2003
Terbatasnya lapangan kerja yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja yang setiap tahun bertambah sehingga berdampak pada tingginya jumlah penganggur. Akibat dari sempitnya lapangan kerja serta faktor lilitan kemiskinan, telah menjadi faktor pendorong utama terhadap terjadinya migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Kalaupun saat ini banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri, tetapi data menunjukan bahwa
11
mereka yang dikirim itu sebagian besar adalah kaum wanita dan bekerja pada sektor jasa pelayanan rumah tangga atau pembantu rumah tangga.
B. Kebijakan Ketenagakerjaan 1. Kebijakan Umum Masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimensi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pendekatan yang multi-dimensi pula. Masalah ketenagakerjaan yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang fleksibel. Melalui kebijakan itu, pihak pengusaha diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyelesaian tingkat upah, bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan sektor informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan. Lapangan usaha pertanian juga perlu diperkuat karena sebagian besar pekerja Indonesia masih mengandalkan lapangan usaha tersebut. Namun perlu dicatat bahwa pertanian tidak mudah dijangkau oleh kebijakan ketenagakerjaan secara langsung, tetapi perlu ditempuh melalui upaya tidak langsung yaitu melalui pengaturan tata niaga produk pertanian dan harga input pertanian seperti pupuk, pestisida, dan sebagainya, serta penyesuaian harga jual pertanian yang layak bagi petani jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan berdampak sangat luas dan
12
serius terhadap kesejahteraan petani miskin dan petani serta pedagang berskala kecil, serta akan memberikan dampak yang tidak baik pula bagi memburuknya peluang kerja pada musim panen ataupun musim tanam bagi buruh tani. Perhatian lebih besar perlu juga diberikan kepada sektor industri manufaktur yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Industri yang tidak terlalu tergantung pada bahan impor (yakni industri-industri yang berbasis alamiah) atau berorientasi pasar domestik dapat memberikan input bagi industri-industri yang bergantung pada bahan impor. Hal ini karena diperkirakan 90 persen industri di Indonesia termasuk kategori itu, sehingga jelas merupakan lapangan usaha andalan dalam menyediakan lapangan kerja setelah pertanian. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa upaya ke arah ini dalam prakteknya menghadapi sejumlah kendala sejak dari proses permohonan ijin usaha, permohonan kredit bank sampai sejumlah jenis "retribusi" pada tingkat propinsi atau kabupaten/kota. Sejauh perekonomian dalam negeri masih terlalu terbatas untuk menyediakan kesempatan kerja atau usaha bagi angkatan kerja yang berjumlah besar, maka pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri masih tetap akan strategis. Kebijaksanaan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap mereka tampaknya masih perlu disempurnakan. Kondisi tersebut mendorong pemerintah agar berupaya menangani masalah ketenagakerjaan dengan sungguh-sungguh. Oleh karenanya pemerintah mengharapkan adanya kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta dalam mengimplementasikan kebijakan program yang komprehensif dan
13
responsif
dalam
penciptaan
lapangan
kerja.
Untuk
mengurangi
angka
pengangguran yang dari tahun ketahun terus meningkat, maka dalam rencana tenaga kerja yang dikemukakan oleh Mentri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia pada acara sosialisasi Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) tahun 2004 menetapkan kebijakan dan program pembangunan diarahkan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan yang berorientasi kebutuhan pembangunan, untuk mengisi kesempatan kerja yang ada dan untuk mengembangkan penciptaan kesempatan kerja; 2. Peningkatan peran pertumbuhan ekonomi nasional yang kondusif terhadap penciptaan kesempatan kerja pada sektor-sektor lapangan usaha; 3. Implementasi otonomisasi di daerah telah membuat pemerintah daerah ingin melaksanakan segala aktivitas ekonomi di daerahnya sehingga berdampak pada tidak terintegrasinya pengentasan pengangguran. Hal ini terutama disebabkan kebijakan pemerintah pusat dan program sektoral yang belum responsif terhadap penciptaan lapangan kerja. Untuk itu perlu mensinergiskan kebijakan dan program pusat dan daerah. Mengingat pelaksanaan pembangunan yang nyata adalah daerah, maka program-program kesempatan kerja melalui pembangunan ada di tangan gubernur, bupati dan walikota. Untuk itu diperlukan komitmen pimpinan tertinggi di daerah untuk menyusun dan mewujudkan target-target penciptaan kesempatan kerja di daerah masing-masing dalam upaya mengatasi pengangguran di daerah masing-masing.
2. Penciptaan Kesempatan Kerja Lapangan usaha pertanian sangat dominan dalam penyerapan kesempatan kerja. Kegiatan produksi lapangan usaha pertanian sebagian besar masih mengikuti pola tradisional dengan tingkat produktifitas dan tingkat pendidikan
14
tenaga kerjanya masih sangat rendah. Walaupun demikian, karena perannya masih sangat dominan dalam menyerap tenaga kerja, maka pengembangan lapangan usaha ini masih perlu diprioritaskan. Kebijaksanaan dan strategi itu menghendaki dipertahankannya konsep padat karya dengan dukungan berupa kemudahan untuk mengakses modal bagi petani penggarap, serta sejumlah peraturan yang diarahkan pada peningkatan kegiatan produksi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Selain sektor pertanian bidang industri juga di harapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selama kurun 2005-2009 lapangan usaha industri pengolahan diharapkan dapat tumbuh sebesar 6,2 persen per tahun dan diharapkan mampu menyediakan sekitar 2,1 juta kesempatan kerja baru. Pada tahun 2009 diperkirakan akan terdapat sekitar 15 juta orang yang bekerja di lapangan usaha ini. Upaya untuk meningkatkan daya serap lapangan usaha ini diperlukan kebijakan restrukturisasi industri, teknologi dan ketenagakerjaan. Untuk mendukung kebijakan kearah itu, menurut Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) Depnakertrans tahun 2004 beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan meliputi antara lain : a. lebih mengintensifkan penyebaran informasi di tingkat daerah, b. menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan dapat bersaing di pasar kerja dengan memperhatikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, c. penyederhanaan birokrasi, prosedur perijinan dan prosedur ekspor-impor, dan d. upaya menstabilkan harga, nilai tukar rupiah dan pajak. Untuk mendukung pembangunan sektor industri ini diperlukan sarana infrastruktur yang memadai. Untuk itu pemerintah saat ini lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang diharapkan dapat menyerap
15
tenaga kerja yang banyak seperti pada bidang listrik, gas dan air. Selain menciptakan lapangan kerja baru, pada pembangunan infrastruktur ini berkembang pula bidang konstruksi. Arah kebijakan dan strategi yang diperlukan bagi pengembangan lapangan usaha ini adalah tetap melanjutkan dan mengembangkan kegiatan pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik yang mampu menyerap pekerja dalam jumlah yang memadai. Sarana dan prasana fisik yang memadai diharapkan investor asing dapat lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan masuknya modal asing ke Indonesia tentunya akan membuka lapangan kerja baru, sehingga pengangguran dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat sekitar akan ikut terdorong. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja banyak lainya adalah usaha kecil menengah (UKM). Usaha kecil ini terbukti dapat bertahan pada masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun yang lalu. Kebijakan bidang keuangan dan perbankan dalam memfasilitasi pemberian kredit UKM, misalnya akan sangat mendukung kebijakan lapangan usaha industri yang ramah ketenagakerjaan. Sama halnya kebijakan dalam hal kemudahan untuk memperoleh kredit usaha pertanian dan nelayan berskala kecil atau menengah. Untuk itu pemerintah memberi perhatian pada bidang ini dengan menginstruksikan perbankan nasional agar memberi kemudahan kredit bagi usaha ini. Karena dengan adanya bantuan keuangan ini diharapkan usaha kecil menengah ini dapat mengembangkan usahanya lebih baik lagi.
16
Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan lapangan usaha perlu dirumuskan secara hati-hati karena melibatkan angkatan kerja dalam jumlah yang besar. Kehati-hatian juga diperlukan karena dalam masa desentralisasi yang masih berlangsung, isunya dapat menjadi sensitif jika berkaitan dengan jasa pemerintahan dan kemasyarakatan. Sejauh berkaitan dengan jasa perorangan dan rumah tangga, arah kebijakan yang relevan seharusnya berupa peningkatan dan pemeliharaan iklim usaha yang kondusif bagi perluasan aktivitas usaha dan dapat merangsang pemain baru memasuki bidang usaha ini.
C. Mobilitas Tenaga Kerja ke Luar Negeri dan Permasalahanya 1. Mobilitas Tenaga Kerja ke Luar Negeri Kondisi perekonomian Indonesia masih belum mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang ada. Menjadi faktor utama pendorong migrasi penduduk yang bersifat menetap atau disebut dengan migrasi permanent biasanya dipicu oleh ketertarikan migran terhadap berbagai faktor menguntungkan yang dimiliki daerah tujuan. Secara spontan penduduk akan bergerak menuju negara-negara kaya yang membutuhkan tenaga kerja. Fenomena ini mau tidak mau menuntut setiap negara mampu mendorong penduduknya untuk memanfaatkan peluang kerja secara kompetitif, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan sosio-kultur di negara tujuan. Orang yang berasal dari kategori sosial yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama serta mempunyai kesempatan dan menghadapi rintangan yang relatif sama untuk bermigrasi tidak selalu memutuskan untuk pergi. Logikanya, suatu daerah yang tidak menjanjikan
17
kesempatan ekonomi yang lebih baik merupakan daerah penyuplai migran terbesar. Sedangkan menurut Bandiono (1996:76) mengatakan bahwa yang mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja yaitu: Migrasi tenaga kerja terjadi karena adanya perbedaan antara negara, terutama dalam memperoleh kesempatan ekonomi. Sebagai respon masyarakat terhadap perbedaan kemampuan ekonomi telah menimbulkan kesadaran adanya “tekanan” untuk melakukan migrasi ke daerah yang menjanjikan adanya kesempatan kerja yang lebih baik. Pada umumnya migrasi, tenaga kerja berasal dari daerah yang kelebihan tenaga kerja dan berpenghasilan rendah menuju daerah yang kekurangan tenaga kerja dan dapat menawarkan upah yang lebih tinggi Faktor faktor yang mempengaruhi TKI bekerja ke luar negeri : 1. Status Pernikahan, Hampir 80 % lebih TKI berjenis kelamin perempuan. Selain itu, status kawin bagi perempuan seperti janda atau gadis yang lebih memilih bekerja ke luar negeri karena adanya keinginan untuk mensejahterakan keluarganya. Lain pula dengan status mereka yang telah menikah, ia berkerja karena selain untuk mensejahterakan keluarganya tapi ada juga yang karena suaminya tidak bekerja atau pendapatan suaminya kurang mencukupi. 2. Lama Tinggal, Lamanya waktu tinggal menjadi faktor mempengaruhi kenapa TKI bekerja di luar negeri. Rata-rata bekerja keluar negeri selama dua tahun itu dirasa cukup bagi para calon TKI untuk mengubah status sosial keluarga. Pada faktor ini lebih di dominasi para TKI yang berkerja di negara-negara maju. 3. Pendapatan, Bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong mereka untuk berusaha mencari pekerjaan keluar negeri yang biasa dikenal migran
18
pekerja, diketahui bahwa di kampungnya sebagian besar dari mereka adalah petani. Penghasilan yang diperoleh rata-rata berkisar antara Rp.200.000Rp.300.000 sebulan. Penghasilan yang rendah dan belum pasti setiap bulan mendapat pekerjaan, sehingga mendorong keinginan mereka untuk merubah nasib di perantauan walaupun sampai keluar negeri.
2. Permasalahan Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Pemerintah dan rakyat Indonesia sebetulnya sangat menyadari tentang peran tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri terutama bagi peningkatan devisa negara. Menurut data dari Depnakertrans pada tahun 2003 penerimaan devisa negara dari TKI sebesar 75,6 juta dollar AS tiap tahun. Selain itu sebelum diberangkatkan negara sudah menikmati keuntungan yang sangat besar dari pengiriman TKI, yakni sebesar 15 dollar AS per orang. Uang tersebut masuk dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Apabila tiap tahun dikirim 100.000 orang TKI keluar negeri, maka negara telah mendapat PNBP senilai 1,5 juta dollar AS. Penerimaan terus meningkat sesuai dengan jumlah TKI yang dikirim. Perjalanan TKI mulai dari perekrutan, penerimaan, penempatan hingga pemulangan selalu menjadi sumber rejeki banyak pihak. Uang yang dikirim dari luar negeri juga merupakan pemasukan bagi negara. Akan tetapi pemerintah tidak pernah serius dan konsisten dalam menangani persoalan yang dihadapi TKI secara integrative, konfrehensif , tuntas dan manusiawi.
19
Salah satu kasus yang tidak pernah ditangani serius adalah program asuransi bagi TKI. Program ini sebetulnya bagian dari aksi perlindungan sepeti yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. dalam asuransi ini telah diatur berbagai klaim bagi TKI kalau menghadapiu masalah seperti meninggal karena kecelakaan, penganiayaan. Namun banyak PJTKI yang membayar premi jauh di bawah ketentuan, yakni Rp 15.000-Rp 30.000 per orang. Anehnya lagi, perusahaan asuransi yang dipakai seringkali tidak jelas alamtnaya. Maka ketika TKI ini dapat masalah tidak mudah mengurus klaim asuransi. Selain perasuransian, system perekrutan TKI dari daerah asal dan pemeriksaan kesehatan yang lengkap harus segera dibenahi total. Selain itu setiap PJTKI juga harus harus diwajibkan memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) yang dilengkapi kurikulum dan fasilisator serta melakukan pelatihan secara teratur. Tanpa adanya BLK, izin usaha PJTKI harus dicabut. Pemberian ketrampilan bagi TKI merupakan bagian dari upaya meningkatkan nilai tawar dan gaji pekerja, serta mencegah kemungkinan tindak kekerasan majikan. Apalagi, fakta membuktikan TKI terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pelaya restoran yang tidak dibekali dengan ketrampilan mudah diperlakukan kasar serta tidak manusiawi dari majikan. Sebagian besar dari TKI tidak memiliki daya saing di pasar tenaga kerja tempat mereka bekerja karena mereka relatif tidak beerkualitas. Menurut Wawa (2005:20) kualitas TKI ini dapat diukur dari profil TKI yang rata-rata sebagai berikut :
20
a. Tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan sesuai yang dibutuhkan jenis pekerjaannya. b. Tidak memiliki kepribadian yang tangguh sehingga cenderung tidak dapat membawa diri, c. Tidak memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan perundangan yang menyangkut posisi dirinya sebagai tenaga migran, d. Tidak memahami budaya di tempat mereka bekerja, e. Tidak piawai menggunakan teknologi, misalnya peralatan elektronik yang sering digunakan di tempat mereka bekerja, f. Tidak menguasai bahasa yang digunakan mitra kerjanya Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri No. 39 Tahun 2004 bahwa PJTKI berkewaiban : (a) mengurus dokumen TKI, (b) mengurus TKI ketika berada di tempat penampungan, (c) mengurus perjalanan TKI, dan (d) menjadi mediator dalam perjanjian kerja antara TKI dengan mitra kerjanya. Kewajiban ini cenderung tidak dijalankan dengan baik oleh PJTKI dengan pertimbangan efisiensi biaya. Masalah yang dihadapi TKI ini tidak saja di dalam negeri. Di luar negeri perlindungan terhadap TKI di tempat mereka bekerja yang semestinya dilakukan oleh perwakilan pemerintah Republik Indonesia melalui KBRI di masing-masing negara belum dilaksnakan sepenuhnya. Tingginya intensitas tragedi penyiksaan TKI oleh para majikannya, menjadi bukti minimnya perlindungan yang selama ini dberikan kepada TKI. Kondisi di dalam negeri sendiri, masalah yang paling marak adalah pemalsuan data pribadi dari para calon TKI. Pemalsuan data ini mulai umur calon TKI, kemudian ijin dari pemerintahan desa dimana mereka tinggal serta surat ijin kerja dari Depnaker yang ada di Kabupaten dimana calon TKI berada. Calon TKI ini tidak tahu menahu soal surat ijin kerja dari Depnaker dengan dalih telah diurus
21
oleh pihak PJTKI. Maka jangan heran jika TKI ini mendapat masalah di luar negeri, identitas dari TKI ini tidak sesuai dan juga di kantor Depnaker dimana TKI ini berasal tidak akan terdata.
D. Dampak TKI Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Seseorang memutuskan untuk mencari pekerjaan ke luar negeri adalah karena dorongan ekonomi. Tentunya dengan bekerja ke luar negeri diharapkan dapat memperoleh pendapatan yang lebih untuk kesejahteraan keluarga di dalam negeri. Menurut Yani (Abrar dan Tamtiari, 2003) mengatakan alasan utama para TKI bekerja ke luar negeri adalah alasan ekonomi, disamping untuk mencari pengalaman kerja keluar negeri. Faktor ekonomi merupakan pendorong yang paling kuat seseorang memutuskan untuk bekerja ke luar negeri. Kondisi sosial ekonomi dapat diartikan sebagai kondisi kehidupan dan tingkat kesejahteraan dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi sosial ekonomi penduduk dapat dilihat dari dua indikator yaitu tingkat pendidikan, kepemilikan fasilitas hidup, dan kesehatan.
1.
Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan masyarakat. Terciptanya masyarakat yang memiliki pendidikan cukup, tentunya diharapkan mampu bersaing dan bekerja secara mandiri tanpa tergantung pada orang lain. Tingkat pendidikan yang memadai diharapkan setiap orang akan memiliki keahlian dan keterampilan yang dapat
22
digunakan dalam aktifitas sehari-hari untuk menunjang kebutuhan hidup yang tiap hari semakin meningkat. Menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003, pendidikan dapat diartikan sebagai: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memenuhi kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan pada masyarakat pada saat ini sangatlah penting sebagai upaya peningkatan kualitas tenaga kerja dalam era globalisasi. Dalam ero globalisasi saat ini setiap penduduk dituntut untuk dapat bersaing untuk menempati bidang pekerjaan yang ada. Tingkat pendidikan yang meningkat diharapkan keterampilan dan pengatahuan penduduk meningkat pula. Sehingga kedepan TKI yang bekerja ke luar negeri tidak hanya bekerja pada sektor jasa rumah tangga saja atau pembantu rumah tangga, tetapi pada sektor lain yang lebih baik seperti di sektor industri, bidang kesehatan, perhotelan dan lainya.
2.
Pengasuhan Anak Suatu keluarga tentunya akan berharap untuk cepat-cepat punya anak yaitu
untuk kesempurnaan kehidupan keluarga. Namun pada keluarga yang istri menjadi TKI, berarti harus meninggalkan suami dan anak-anaknya. Orang tua tentunya berkewajiban untuk mengasuh membimbing anak-anaknya hingga dewasa.
23
3.
Kepemilikan Fasilitas Hidup Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mendorong
penduduk untuk lebih meningkatkan kondisi sosial ekonomi mereka di tengah persaingan hidup yang ketat dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas, antara lain kebutuhan akan tempat tinggal atau rumah, kendaraan pribadi, alat komunikasi, dan kesehatan.
E. TKI dan Kondisi Perceraian Meningkatnya arus pengiriman TKI berkeluarga ke luar negeri secara signifikan memiliki pengaruh terhadap keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Walaupun secara ekonomis keluarga dan masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih besar tetapi secara psikologis dan sosial tidak dapat dipenuhi, sehingga keseimbangan jiwa masayrakat terganggu yang mengakibatkan timbulnya ekses yang lebih buruk dan lebih dari apa yang dapat kita duga sebelumnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan Yani (2004:41) menyatakan bahwa “keluarga TKI umumnya sering terjadi konflik, runyam dan banyak pertengkaran baik antar suami istri, antar mertua dan menantu, dan pertengkaran dalam pengasuhan anak”. Dari konflik tersebut dapat berujung pada perceraian keluarga TKI tersebut, yang mereka anggap merupakan jalan terbaik bagi keluarga mereka daripada terus menerus terjadi konflik. Selain itu lebih lanjut penelitian Yani (2004:42) menyatakan bahwa: Bayaknya pengiriman TKI berkeluarga akan memunculkan keluarga yang tidak utuh tanpa istri/ibu. Walaupun penghasilan keluarga meningkat karena kiriman dari luar negeri, tetapi pada keluarga yang tidak utuh teryata menyuburkan prostitusi (bahkan perjudian). Jika keluarga TKI
24
sudah terjerat pada dua penyakit masyarakat diatas maka dapat diduga terjadi kekacauan dan konflik keluarga Penelitian yang dilakukan oleh siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazra'atul Ulum Paciran yaitu Hamid dan kawan-kawan (2003:45) tentang meningkatnya jumlah perceraian pada keluarga TKI menyatakan bahwa penyebab terjadinya perceraian yaitu: Kasus perceraian pada keluarga TKI di Paciran diakibatkan oleh faktorfaktor penyebab antara lain persoalan ekonomi, perselingkuhan, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah tangan. Semua faktor ini menimbulkan suasana keruh dan akhirnya meruntuhkan kehidupan rumah tangga Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazra'atul Ulum Paciran yaitu Hamid dan kawan-kawan (2003:47) juga terungkap bahwa, hampir 75 persen penyebab perceraian pada keluarga TKI akibat perselingkuhan, suami menikah lagi dengan perempuan lain, dan istri hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya. Pokok persoalan terjadinya perceraian adalah komunikasi yang terputus. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor rumah tangga lebih sulit dalam melakukan komunikasi, dibandingkan dengan sektor lain. Bagi TKI, sering kali majikan di rumah tangga tidak memberikan izin untuk berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia. Komunikasi dengan keluarga hanya bisa dilakukan melalui surat atau telepon. Ini pun masih banyak menemui kendala. Komunikasi lewat surat sifatnya searah. Komunikasi lewat telepon dapat dilakukan dengan menghubungi teman atau kerabat di desa yang mempunyai telepon, minta disampaikan kepada keluarganya untuk menelpon kembali pada waktu yang ditentukan. Keadaan seperti inilah yang membuat banyak keluarga TKI seakan-
25
akan lupa daratan. Dengan latar belakang mayoritas hanya lulus SD dan rasa kesepian, sehingga saat memperoleh kesempatan akan dengan mudah melakukan perkawinan di bawah tangan melalui proses yang secara hukum tidak sah.
1. Pengertian Perceraian Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”, dapat ditafsirkan bahwa prinsip perkawinan itu adalah untuk seumur hidup (kekal) dan tidak boleh terjadi suatu perceraian. Mengarungi kehidupan perkawinan penuh dengan dinamika dan romantika yang tidak selamanya
menyenangkan.
Adakalanya bergelimang dengan
kenikmatan dan kesenangan, kadang terperangkap dalam kesulitan dan kesusahan. Di satu saat begitu rindu, cinta terhadap lawan jenis (kepada istri atau suami), di lain waktu malah sebaliknya, marah dan benci seperti layaknya roda kehidupan, semuanya datang silih berganti. Ancaman-ancaman terhadap perkawinan sangat beragam, tidak hanya yang bersifat intern dalam rumah tangga, namun juga banyak faktor ekstern, materil atau nonmaterial. Faktor-faktor penyebab kericuhan rumah tangga itu datang silih berganti atau mungkin datang secara bersamaan. Perceraian dibedakan menjadi dua yaitu cerai talak dan cerai gugat. Talak diambil dari kata ithlaq artinya melepaskan atau irsal memutuskan atau tarkun, meninggalkan. Sedangkan yang dimaksud dengan talak adalah melepaskan ikatan
26
perkawinan dengan lafazh talak atau sebangsanya. Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam, talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama karena suatu sebab tertentu. Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang terjadi karena gugatan salah satu pihak dari suami istri tersebut. Perceraian atau putusnya perkawinan menurut UU No.1/1974 karena tiga hal, pertama, karena kematian, kedua, karena perceraian, dan ketiga, karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf a, b, dan c). Menurut Peraturan Pemerintah No. 9/1975 menggunakan istilah cerai talak, untuk perceraian. Adapun perceraian karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf c) PP/1975 menggunakan isitilah cerai gugatan. Perbedaan antara perceraian atau cerai talak dengan karena putusana pengadilan (cerai gugatan) adalah cerai talak adalah ikrar suami di depan sidang pengadilan, sedangkan cerai gugatan adalah perceraian yang terjadi karena gugatan salah satu pihak dari suami atau istri tersebut, atau suatu perceraian akibat putusan pengadilan. Dalam agama islam gugatan dilakukan dari pihak istri, sedangkan suami tidak perlu melakukan gugatan, namun memakai cara lain, yaitu talak. Adapun menurut selain Islam, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh kedua pihak, baik istri maupun suami yang ditujukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 210 PP dan Penjelasannya).
2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan Salah satu yang tidak disenangi oleh istri dalam perkawinan adalah perceraian. Ini disebabkan bahwa selama ini perceraian sering dipergunakan lakilaki dengan semena-mena kepada istrinya. Penggunaan hak cerai yang
27
serampangan tersebut bukan saja merugikan kedua belah pihak, tetapi juga terutama anak turunan dan juga masyarakat. Banyaknya anak yang kehidupanya orang tuannya berantakan tumbuh menjadi anak-anak nakal dan masalah-masalah lainya. Untuk mengatasi masalah ini, Undang-undang berusaha mengatasinya dengan memberikan aturan, baik tata cara, alasan serta usaha lainya. Uasaha tersebut pada hakikatnya berupaya menekan intensitas perceraian dan segala eksesnya. Bahkan Pengadilan berupaya untuk menutup pintu kearah perceraian suami-istri tersebut bila alasan untuk perceraian tidak terpenuhi serta masih adanya harapan untuk dapat hidup rukun damai kembali. Talak yang hendak dijatuhkan suami kepada istrinya harus terlebih dahulu mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu kemudian Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan talak suami tersebut, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia pasal 129 dan pasal 130. Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab VIII tentang putusnya perkawinan serta akibatnya, pasal 38 yang mengatakan bahwa “ perkawinan dapat putus karena : a) Kematian, b) Perceraian dan c) atas putusan Pengadilan”, kemudian dalam pasal 39 juga disebutkan bahwa: 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-istri
28
3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Dari peraturan perundangan di atas dapat kita disimpulkan bahwa perceraian hanya terjadi di depan sidang pengadilan, pengadilan sebelumnya telah berusaha mendamaikan, harus cukup alasan, dan kemungkinan rukun sangat kecil. Ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang Perkawinan, seperti halnya hukum Islam berusaha mempersulit perceraian. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 116 Kompilasi Hukum Isla (KHI) pasal 116, menjelaskan yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian yaitu : a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemapuannya; c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri; f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g) Suami melanggar taklik-talak; h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dari Peraturan Pemerintah diatas seperti yang tercantum dalam bagian (g) yaitu suami melanggar taklik talak, adapun taklik talak itu sendiri seperti yang tercamtum dalam buku nikah dan disetujui oleh suami yang menyatakan bahwa jika :
29
Sewaktu-waktu saya : 1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut 2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduanya dibenarkan serta ditrima oleh Pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.00,00 (seribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya Suami istri dapat bercerai jika memang diantara keduanya tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang alasan perceraian pasal 39 ayat (2), mengatakan bahwa
“Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Kompilasi Hukum Islam, sebagai referensi keputusan pengadilan agama memberikan perhatian lebih teknis dan lebih detil terhadap masalah ini, terlihat banyaknya pasal yang berkaitan dengan perceraian,dari mulai tempat perceraian itu dilaksanankan, alasan-alasan perceraian, teknis sampai bentuk-bentuk perceraian.
30