P
ersoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia yang belum tentu disadari oleh sebagian masyarakat hingga kini adalah masalah pengungkapan sejarah yang belum tentu benar adanya. Peristiwa yang terjadi pada masa lalu bagaikan ketika kita menginjak sebuah duri, belum tentu duri yang tertanam telah tercabut seluruhnya. Walaupun luka luar telah terasa sembuh, tetapi rasa perih terkadang masih terasa apabila bagian kulit dengan duri yang masih tersembunyi terbentur. Salah satu peristiwa yang dianggap kontroversial dan mengandung ketidakbenaran dengan terindikasi adanya manipulasi sejarah adalah tentang PKI dan apa yang dilakukannya pada 30 September 1965. Berbagai versi telah dibuat dengan mengarah ke kiri maupun kanan, dengan tujuan tertentu dari pihak terkait. Pada masa Orde Baru digambarkan PKI merupakan pihak antagonis yang sangat kejam, tetapi setelah masa berganti muncul penggambaran bahwa PKI hanya menjadi korban kejahatan politik. Seolah semuanya telah mengabaikan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan mengerikan dengan banyak korban dari berbagai pihak, akibat adanya peristiwa balas-membalas kekejaman yang terjadi pada saat itu. Di balik suatu peristiwa terdapat realita, di balik realita tersimpan fakta. Oleh karena itu, dalam edisi VI bulan September, wepreventcrime mengangkat tema umum tentang berbagai polemik terkait dengan PKI, berusaha membersihkan duri yang masih tertanam dalam daging sehingga rasa perih tidak akan terasa lagi. Redaksi
REFLEKSI
Komunisme ?
KRIMINOLOG BERBICARA Kejahatan Negara dan Memori Kolektif
KAJIAN KITA
Penumpasan PKI, Heroik ? atau Bengis ?
RISET
G30S/PKI: Hanya Mereka yang Mengetahui
REPORTASE
Monumen Pancasila Sakti, Penghormatan Terakhir Untuk Dewan Jenderal
PROFIL Kisah yang Tidak Terungkap
“It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and expose lies” -Noam Chomsky-
OPINI POJOK Untuk Propagandis
Anekdot
#AskMasduki : Anda Bertanya Mas Duki Menjawab
INFO WPC TIPS AND TRICK CERBUNG
Garis -Garis Titik Part #6
PUBLIKASI HIMAKRIM PO & JOX
Buaya sih, Tapi....
Komunisme ? Kejam? Jahat? Pengkhianat? Beberapa kata yang (mungkin) pernah terlintas di benak kita semua ketika pihak-pihak tertentu melontarkan kata Komunisme. Dalam rekam jejak sejarah Indonesia, komunisme pernah menjadi sebuah terminologi yang dicinta sekaligus dicerca sedemikian rupa oleh masyarakat dan pemerintah. enk Sneevliet adalah orang yang dapat dikatakan berjasa dalam mengenalkan ideologi ini di Indonesia. Sempat populer namanya dalam berbagai literatur sejak Lenin memperkenalkannya setelah kejadian Februari 1917, yang akhirnya dikenal sebagai Revolusi Rusia, terminologi komunisme menjadi begitu populer. Paham komunisme sendiri sebenarnya telah dikenal jauh sebelum daulat seremonial Uni Soviet tersebut pecah. Engels dan Marx pernah beberapa kali menyinggung, dan bahkan merancang sebuah manifesto bertitel komunis, dalam penulisan-penulisan mereka. Di Indonesia, paham ini dipercaya beberapa sumber dikenalkan oleh sebuah organisasi bertitel Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang disinyalir memupuksuburkan ajaran komunisme di dalam pertemuan-pertemuannya. Meskipun demikian, banyak pula pihak yang yakin bahwa benih-benih ajar komunisme sebenarnya telah eksis sejak maraknya perdagangan buku-buku asing ke Semenanjung Malaka yang merupakan celah ekonomi ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Terlepas dari asal muasal komunisme yang diidentikan dengan perjuangan melawan kelas penguasa modal tersebut, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki cerita dan romantisme dengan klausa ideologi komunis. Dalam buku-buku pelajaran yang beredar di sekolah dasar hingga menengah, gelagat komunis dan para tokohnya seringkali disejajarkan dengan sebuah tindakan revolusioner yang memecah belah ketenteraman negara. Ada pula sisipan sejarah yang menuliskan, walau sedikit yang rinci dan menjadi referensi masyarakat, bahwa pernah ada ‘hubungan’ mesra antara penguasa pertama negara ini dengan para petinggi ajaran yang dikenal dengan lambang silangan palu arit ini. Bahkan, terdapat sumber tak bertanggungjawab yang mengatakan bahwa bapak pelopor bangsa tersebut juga diinspirasi oleh semangat komunisme ketika ia mematenkan konsep marhaenisme karyanya. Kebanyakan orang dengan angkuh mengatakan bahwa cita-cita komunisme telah runtuh, baik di dunia Internasional ataupun di Indonesia, pasca ‘menyerahnya’ Gorbatchev kepada seterunya waktu itu Amerika
H
Tubagus R. Ramadhan, Kriminologi 20120, Pimpinan Redaksi Buletin Gerbatama SUMA UI
Serikat. Kita, masyarakat Indonesia kebanyakan, bahkan mungkin sudah ‘antipati’ kepada paham, bahkan mungkin sekedar kata komunisme, sejak tahun 1966. Ditambah 32 tahun penuh dengan propaganda anti komunisme dari pemerintah The Smilling General, komunisme dicap sebagai ‘common enemy’ di negara ini. Satu hal yang perlu kita ingat dan kita teliti, selama 32 tahun itu pula pola pikir kita telah disetir mengenai pemahaman komunisme ini. Selama itu pula kita jarang untuk menelisik bahwa stigmatisasi itu masih ada bagi mereka yang pernah berkaitan dengan konteks komunisme. Lantas, kedigdayaan demokrasi dapatkah dikatakan mentok ketika membicarakan hal yang pernah terjadi sebelum ia muncul dengan hebatnya? Satu hal yang dapat dipastikan, bahwa pemikiran seharusnya tidak boleh dibatasi oleh sebuah entitas yang bahkan dapat dikatakan imaginer community beserta aparat-aparat yang mengatasnamakan kekuasaan imajiner pula. Tubagus R. Ramadhan Pemimpin Redaksi Buletin Gerbatama Suara Mahasiswa UI
Kejahatan Negara dan Memori Kolektif Hari-hari ini, apakah masih ada yang ingat Peristiwa G-30-S/PKI? Kemungkinan besar anak muda sekarang akan mengatakan, itu topik jadul (jaman dulu), nggak penting dan nggak berdampak. Walau anggapan itu ada kebenarannya, namun adalah kewajiban bagi kita semua, khususnya kalangan intelektual negeri ini, untuk terus mengkritisi kasus tersebut.
K
esempatan untuk itu terbuka lebar. Ada yang melihat Peristiwa G-30-S/PKI sebagai percobaan kudeta yang gagal. Kalangan yang lebih kritis melihatnya dari sisi dugaan rekayasa pematangan situasi guna memungkinkan militer mendesak Soekarno. Selain itu, jika kita melihatnya dalam konteks yang lebih luas lagi, maka terkait dengan kejadian susulan segera setelah peristiwa itu terjadi, berupa pengejaran terhadap anggota PKI dan simpatisannya, perspektif kekerasan negara dapat dilekatkan. Bahkan, ketika amatan diteruskan dengan pembantaian massal yang memerahkan Sungai Bengawan Solo, tak berlebihan apabila dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah terjadi. Kalangan militer, atau maksimal para pemerhati sejarah konvensional, tentu lebih memilih untuk fokus pada dugaan kudeta yang gagal tadi. Berbagai kejanggalan yang ada, seperti mengapa kudeta harus dimulai dengan cara yang demikian, kemudian cenderung dijadikan dinamika saja tanpa pernah sampai pada dugaan bahwa ada pihak-pihak yang tengah mematangkan situasi, baik untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Sebaliknya, dibutuhkan sikap kritis dan kesediaan untuk turut menanggung azab apabila perspektif kita bentangkan hingga mencakup pada pengejaran anggota dan simpatisan PKI dan diakhiri dengan pembantaian mereka. Cukup banyak cerita serta fakta, sebagaimana terekam melalui foto dan aneka peninggalan yang faktual, bahwa kekejaman yang melampaui batas telah terjadi di negeri ini. konon, setengah juta orang meregang nyawa pasca perburuan mereka. Kematian mereka tidak hanya di ujung bayonet tentara, tetapi juga oleh masyarakat yang telah dikondisikan untuk mengejar anggota dan simpatisan partai yang pernah ditakuti pada masanya. Pantaskah kita merasa malu? Tentu saja. Memahami pembantaian tersebut, hanya ada satu pisau analisa yang pantas yakni kejahatan negara (state crime). Secara teoritik, kejahatan negara dapat
dilihat dari dua hal: bentuknya (yang hampir pasti berbentuk masif dan sistematik) dan juga dari pelakunya (yang pasti dilakukan oleh aparat negara dengan mempergunakan sumberdaya negara dan atas perintah penguasa yang sah). Tak terbayangkan, memang, entitas negara yang diciptakan untuk merepresentasikan kita sebagai anggota masyarakat dalam rangka menjadi lebih sejahtera, malah berbalik menjadi begitu kejam terhadap pihak-pihak yang pada dasarnya adalah pemberi mandatnya. Konteks kejahatan negara ini memang tidak bisa melihat bahwa yang dibunuh itu adalah orang atau orangorang yang pernah mencoba mendongkel kekuasaan yang sah. Artinya, tidak boleh ada justifikasi dibalik pembunuhan massal, pembantaian etnis, pembumihangusan total atau aneka jenis situasi yang kerap diasosiasikan dengan kejahatan negara. Ketika sampai detik ini tidak pernah ada pengakuan resmi dari negara mengenai pembantaian pasca
Peristiwa G-30-S/PKI, bagaimana memahaminya? Janganjangan, juga telah dan sering terjadi kejahatan negara yang lain, yang menahan sedemikian rupa agar apa yang sebenarnya terjadi itu tidak pernah terungkap. Selanjutnya, pihak-pihak yang telah berbuat, tidak perlu mengakui kesalahan, apalagi dimintai pertanggungjawaban. Selanjutnya pula, orang akan melupakan. Benarkah demikian? Studi kejahatan negara juga memperlihatkan, alih-alih melupakan, yang kemudian terjadi adalah ingatan atau memori kolektif yang mengeras bak batu. Ingatan ini seolah tidak ada, tetapi pada kenyataannya hidup. Pada suatu waktu dan keadaan yang tidak terprediksi, ingatan kolektif ini bisa pecah dan luber kemana-mana. Apa bentuknya kemudian, penulis tidak tahu.
Prof. Drs. Adrianus Meliala, M. Si., M. Sc., Ph. D. Staf Pengajar Departemen Kriminologi UI
Penumpasan PKI, Heroik atau Bengis? Sejarah mencatat, awal Orde Baru semua terlihat heroik. Namun dibalik itu semua, masih berwarna abu-abu. Saat itulah, terjadi kejahatan terbesar di bumi pertiwi. Hingga akhirnya, kita tidak tahu siapa yang harus dikutuk dalam catatan kelam ini. ada tanggal 30 September hingga 1 Oktober, tercatatlah suatu sejarah kelam dengan tinta darah di negara ini; aksi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh dewan jendral yang dilakukan oleh PKI. Kondisi mencekam ini membuat membuat banyak pihak bingung dan bertanya, apa yang terjadi pada saat itu? Apa yang harus dilakukan? Sejak tersiarnya pidato Mayjen Soeharto di seluruh radio di Indonesia, yang menjelaskan tentang ditemukannya jenazah korban penculikan pada 4 Oktober 1965, serta adanya siaran upacara pemakaman pahlawan revolusi, sehari setelahnya, berhasil memancing emosi masyarakat. Secara serentak terjadi aksi massa menduduki kantor-kantor PKI serta ormas-ormasnya, kondisi tegang dan kontak fisik tak dapat dihindari. Atas perintah Mayjen Soeharto, ABRI melakukan langkah-langkah demi menjaga ‘stabilitas’ nasional. Diperkirakan 500.000 hingga dua juta jiwa anggota PKI dan mereka yang diduga sebagai simpatisan Komunis melayang. Bahkan, majalah Time menggambarkan akibat dari pembuangan mayat pembunuhan ini di Sumatera Utara, hingga membuat masalah sanitasi yang serius serta transportasi sungai-sungai yang terhambat akibat bendungan mayat-mayat. Tidak hanya itu, semenjak adanya Tritura, baik anggota ataupun simpatisan PKI yang berada dalam strukur pemerintahan langsung diberhentikan, warga negara asing yang diduga menganut paham komunis segera dideportasi, bahkan setiap orang yang ingin mendapatkan pekerjaan ataupun layanan publik akan kesulitan karena adanya identitas yang diturunkan. Mereka semua tersdiskriminasi, dan tidak diperlakukan selayaknya warga negara Indonesia. Sesuai dengan Green dan Ward (2004), yang mendefinisikan state crime sebagai “state organisational deviance involving the violation of human rights.”., dalam pembersihan negara dari unsur-unsur PKI sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh negara. Dengan menanamkan teror
P
dan rasa takut, pendudukan basis-basis PKI, mengusirnya, hingga akhirnya ada pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI. Semenjak awal Orde Baru, setiap tanggal 30 September akan diputar, baik di TV nasional maupun swasta, sebuah film yang akan membuat kita mengarah-
kan jari telunjuk kita kepada PKI. Bagaimana polosnya Ade Irma Suryani, anak dari Jendral A.H. Nasution yang tertembak dan mati. Mayjen D.I Panjaitan yang ditembak dengan pakaian dinas beserta atribut yang lengkap, kemudian istrinya mengusap darah kematian sang suami ke wajahnya sembari histeris. Semua membuat kita membenci simbol palu dan arit. Semua aspek film “Penumpasan Penghianatan G-30-S/PKI” tersebut, baik pemain utama dan figuran, musik latar yang sangat khas, latar cerita yang berhasil menggambarkan kondisi tahun 60-an yang mencekam,
dialog yang benar-benar jelas dan membuat penontonnya merinding, siapa yang tidak hafal kalimat ‘Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri” menjelaskan detail dan memudahkan untuk mengingat alur sejarahnya, semua berhasil disatukan oleh Arifin C. Noer menjadi
kesempurnaan film yang takkan terulang kembali tersebut. Tidak hanya sampai disitu. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), menulis surat kepada Mendiknas No. 088/BSNP/I/2006 antara lain berbunyi sebagai berikut: ‘Perlu dimasukkan ke dalam pendidikan sejarah peristiwa Madiun 1948 dan mencantumkan kata PKI setelah kata G.30.S hingga menjadi G.30.S PKI’. Berdasarkan keputusan itu pula maka sejumlah buku yang ‘menghilangkan peristiwa Madiun Gerakan 30 September tanpa PKI’ ditarik dari peredaran. Dibalik semua itu, terdapat suatu propaganda
yang mengubah pemahaman pemikiran kita tentang siapa dibalik terjadinya tumpahan darah tersebut. Melvin DeFleur (1975) menjelaskan tentang instinctive S-R theory, atau juga disebut teori peluru, yaitu media menyajikan stimulus perkasa yang secara sengaja kemudian diperhatikan oleh massa. Dalam kasus ini, media memberikan stimulus yang membangkitkan desakan, emosi, ataupun proses lain yang sulit untuk dikontrol. Kemudian, semua memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus media massa tersebut. Teori ini juga disebut teori peluru karena menganalogikan massa yang tidak berdaya karena tertembak peluru stimuli oleh media massa. Begitupun dalam kasus ini, kedua hal tersebut dijadikan ‘peluru’ untuk mengubah cara pandang seluruh lapisan masyarakat. Film dan kebijakan ini dibuat karena kepentingan pemerintah Orde Baru, dengan maksud propaganda; memojokkan PKI, dan tindakan heroik yang menaikkan pamor Soeharto beserta TNI. Propaganda yang paling berhasil adalah propaganda yang akan mendorong manusia untuk beraksi, dan pemerintah berhasil; menciptakan stereotype kepada komunis yang berujung pada kebencian, dan mengarah pada hate crime. Sebagai penjelasan, Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR) mendefinisikan hate crime sebagai: tindakan kriminal berupa penyerangan, baik terhadap orang ataupun harta benda, dengan alasan bahwa target memang atau dirasa memiliki koneksi, perlengkapan, keanggotaan sebagai pendukung atau anggota suatu kelompok (yang dalam kasus ini adalah Partai Komunis Indonesia). Kita yang tinggal di negara penganut demokrasi, dimana informasi mudah diakses dan bisa disebar tanpa hambatan, dimana setiap orang bebas berspekulasi dengan opininya, kita harus kritis dalam menanggapi setiap kejadian yang ada. Setiap argumen yang diucapkan harus berlandaskan dengan fakta, agar tidak terjadi kesesatan. Biarkan ini menjadi catatan kelam, namun jangan sampai menyasar didalamnya. Gusmara Agra Utama, Yanuar Permadi, Suci Khairunnisa Nabbila
G30S-PKI, Hanya “Mereka” yang Mengetahui Tanggal 30 September merupakan momentum yang dikenal sebagai hari G-30-S/PKI dimana saat itu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia. Jendral-jendral tinggi di culik oleh PKI, di eksekusi dan mayatnya di sembunyikan di dalam lubang buaya. Setidaknya itu lah secuil sejarah yang kita ketahui, terutama melalui film propagandanya yaitu G-30-S/PKI. Dahulu film tersebut di putar di TVRI setiap tanggal 30 September. Namun mimpi buruk yang sebenarnya baru terjadi ketika tanggal 30 September berlalu. im Riset WPC telah melakukan survei selama dua hari (13-14 September 2012) terhadap mahasiswa di lingkungan kampus FISIP UI, melalui pertanyaan tertutup dengan kuesioner. Survei ini memiliki tujuan untuk mengetahui tanggapan responden mengenai peristiwa G-30-S/PKI dan PKI itu sendiri. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan pada 100 orang responden yang terlibat secara accidental dalam penelitian (validitas data 99%), menunjukkan bahwa 62 % responden menganggap adanya diskriminasi oleh masyarakat kepada anggota/keluarga PKI, 9% menganggap tidak ada dan 29% tidak mengetahui.
T
Kemudian kami meminta tanggapan kepada responden tentang siapa yang bersalah pada peristiwa G-30-S/PKI, sebanyak 42,11% menyetujui bahwa pemerintah yang bersalah, 26,32% PKI, dan 11,58% TNI/ABRI. Mengenai film G-30-S/PKI yang dahulu selalu ditayangkan pada tanggal 30 September, ternyata mayoritas responden, sebanyak 47,96% tidak percaya dengan apa yang ada dalam film tersebut. Sedangkan yang mempercayai sebanyak 21,43% responden. Selain itu, yang menarik dari 100 orang responden, 19% di antaranya masih menyetujui dengan kembalinya PKI sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Dari hasil survey sederhana ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden tidak meyakini penyebab utama peristiwa G30S hanyalah PKI. Pemerintah dan TNI/ABRI juga ikut berperan menyebabkan peristiwa itu terjadi. Hal itu juga di dukung dengan jumlah korban yang masih belum terhitung pastinya pasca peristiwa G30S-PKI. Diperkirakan saat itu jumlah korban meninggal yang dituduh sebagai anggota PKI berkisar antara 2 juta hingga 3 juta jiwa, belum ditambah dengan banyaknya korban yang hilang.
Riefky Bagas, Tua Maratur, Drajat Supangat
Monumen Pancasila Sakti, Penghormatan Terakhir Untuk Dewan Jenderal Dulu, aroma amis darah itu sangat menusuk Di lain hal animo pengunjung di Monumen hidung. Di sekitaran lubang dan tepat di lubang. Amis Pancasila Sakti tidaklah terlalu besar. Agus dari korban pembantaian yang diisukan menjadi De- mengatakan banyak perbedaan yang signifikan wan Jenderal. Tempat yang menjadi saksi bisu kebena- dalam kedatangan pengunjung saat zama Orde Baru rannya. Tempat penghormatan terakhir untuk korban dan Reformasi. “Masyarakat sangat antusias datang keganasan politik pada saat itu. 1965. PKI. ke sini, terlebih saat zaman Orde Baru. Mulai dibuka engan sejarah kelam yang pernah jam 06.00 WIB, tapi sebelum dibuka pengunjung sudimiliki Indonesia pada tahun 1965 dah datang, sampai harusnya jam 16.00 WIB sudah demi mempertaruhkan Pancasila seb- tutup tapi sampai maghrib juga masih ada. Setelah agai ideologi bangsa, baiknya kita perlu mengenang Orde Baru tumbang, dan ditambah lagi dengan krisis kembali perjuangannya. Sebuah peristiwa yang moneter, masyarakat jadi berkurang untuk berkunmengegerkan bangsa serta melibatkan banyak orang jung ke museum ini,” kata Agus. penting di Indonesia. G-30-S/PKI, pemberontakan Pemerintah bukan tanpa peran. Terbukti, yang berimterdapat acara plikasi pada yang digelar tiap banyak hal. tahunnya per Termasuk kotanggal 1 Oktorban jiwa dan ber di lapangan moral. Juga Monumen Panpemberoncasila Sakti. Acatakan yang mera ini biasanya dimiliki syarat kehadiri oleh kepala curigaan politis negara beserta di dalamnya. wakilnya. Hal Monuini menunjukkan men Pancasila bahwa pemerintah Sakti meruturut andil dalam pakan bentuk pelestarian mudari penghorseum ini, meskimatan terakhir pun hanya beryang diberikan bentuk upacara. pemerintah Selain itu Agus Patung Pahlawan Revolusi, TMP Lubang Buaya atas perjuangan yang dikobarkan pahlawan revolusi. mengatakan bahwa terdapat acara lain yaitu, Pengorbanan yang bukan diraih dengan mudah, tapi doa bersama yang biasa dilakukan pada tanggal 30 berdarah. Nyawa adalah taruhannya. September malam. Keluarga korban biasanya hadir Berdiri pada tanggal 1 Oktober 1967 sebagai dalam kedua acara tersebut. Mereka diberikan tempeletakan batu pertama dan 1 Oktober 1972 se- pat istimewa. “Setelah upacara, biasanya mereka bagai peresmian, Monumen Pancasila Sakti didatangi Presiden dan disalami satu per satu,” ujar memiliki tempat sejarah kelam. Tempat dimana 7 Agus. orang yang diisukan menjadi Dewan Jenderal dibanBaiknya kita perlu paham dan mengerti bahwa tai habis oleh PKI. Menurut Agus Siswanto, selaku sejarah bukan sekadar benda yang diwariskan. Tapi pemandu wisata, Monumen Pancasila ini memiliki 3 lebih kepada apresiasi serta reduplikasi semangat fungsi yaitu, rekreasi, edukasi dan aspirasi. “Dengan juang. Terlebih sejarah itu melibatkan bangsa. Indorekreasi hati kita akan jadi senang datang ke sini, ke- nesia. Tempat dimana kita bisa hidup dan dilahirkan. mudian dengan pendidikan bisa menanamkan rasa Bebas dan tidak terpenjara. cinta tanah air, kalo aspirasi dengan datang ke sini alam pikiran kita akan dibawa ke masa lampau, kemudian akan Andreas Meiki, Hardiat Dani Satria, muncul ide-ide atau gagasan dari pengunjung,” jelasnya. Kahfi Dirga Cahya
D
Kisah Yang Tidak Terungkap Jelang 47 tahun peristiwa G-30-S, trauma mendalam masih melanda bangsa ini. Mulai dari korban, pelaku hingga siapapun mengetahui mengenai peristiwa tersebut. Akan tetapi, dibalik semua kisah yang sering diceritakan dalam buku sekolah dasar, masih terdapat kisah yang belum terungkap, yaitu kisah tentang keluarga dari anggota partai yang dianggap haram ini. isah YH (61) adalah salah satunya. Beliau tak akan pernah mengira peristiwa yang masih misterius tersebut akan mengubah hidupnya. Beliau masih mengingat bagaimana ayahnya, yang sebelumnya merupakan seorang PNS di tingkat kecamatan, ditangkap oleh aparatur negara dengan hanya satu alasan: ayahnya merupakan anggota dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ayah YH menjadi salah satu dari sekian banyak korban dari pembantaian yang dilakukan oleh pihak militer yang dibantu beberapa golongan masyarakat terhadap pihak-pihak yang dicurigai menjadi anggota PKI. Peristiwa itu terjadi di Rejuno, Kecamatan Karangjati, Kabupaten Ngawi, Madiun, hanya berjarak dua kilometer dari kediaman YH. Keluarga beliau sendiri turut menerima dampak tak langsung dari peristiwa tersebut. Hanya beberapa hari setelah meletusnya G-30-S, YH yang saat itu masih berusia 14 tahun langsung mendapat hukuman skorsing 3 bulan dan dikenakan wajib lapor ke Koramil selama setahun penuh hanya karena beliau menjadi anggota dari sebuah kelompok siswa yang dicurigai sebagai underbow PKI. Hal ini masih
K
ditambah dengan teror berupa kedatangan aparat negara yang secara berkala datang ‘mengunjungi’ kediaman keluarga YH dan ejekan dari orang-orang yang berada di lingkungan sekitar, yang melabelnya sebagai ‘anak anggota PKI’. Seperti kebanyakan anggota keluarga dari anggota PKI, YH dan adik-adiknya mempunyai kesulitan untuk dapat bekerja di sektor pemerintahan seperti PNS atau militer. Untuk dapat melanjutkan hidupnya, beliau pun akhirnya memutuskan untuk pindah ke ibukota. Di rumah barunya ini, beliau pun berusaha memulai hidup baru, meski diskriminasi terus menerjang, seperti hanya dapat melanjutkan jenjang pendidikan perkuliahan di perguruan swasta, tidak bisa mengikuti berbagai organisasi atau kelompok secara bebas, dan lain sebagainya. Era reformasi, yang dimulai setelah demonstrasi besar mahasiswa seluruh Indonesia tahun 1998 seolah membawa harapan agar pemerintah kemudian mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kasus dan pembersihan nama baik para keluarga mantan anggota PKI. Sayangnya harapan itu hanya tinggal harapan. “Makam ayah saya saja baru ditemukan 3 tahun yang lalu. Saya mencarinya bersama adik saya, tidak ada bantuan dari pemerintah sama sekali.” kata beliau. Di akhir wawancara, beliau mengungkapkan harapannya kedepan. “Perasaan dendam tentu sempat ada, namun sekarang, yang saya inginkan hanyalah pemulihan nama baik dari ayah saya. Saya harap peristiwa yang berujung pembantaian dari orangorang yang tidak berdosa tersebut jangan sampai terjadi lagi.” Gerald Radja Ludji, M. Ridha Intifadha
Untuk Propagandis Mungkin kita sudah kenal dengan yang namanya PKI dari SD atau SMP lah, dan kebanyakan dari kita setelah mendengar sejarahnya akan timbul rasa benci, sakit hati, takut, jijik, najis, mual dan muntah terhadap PKI. Tetapi apakah kita sadar bahwa itu adalah suatu bentuk keberhasilan propaganda pemerintah untuk mengubah persepsi kita terhadap PKI? enurut Ellul (1965) dalam Wikipedia, arti kata dari propaganda adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk mepengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk mempegaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Tetapi pesan yang disampaikan kebanyakan malah menyesatkan dimana hanya menyampaikan fakta-fakta tertentu yang bertujuan untuk mengubah suatu pandangan dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu. Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda. G-30-S/PKI dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kekuatan politik di Indonesia pada saat itu, yakni PKI dan Angkatan Darat (AD) Indonesia. Kedekatan PKI dengan presiden Soekarno dianggap membahayakan kedudukan Angkatan Darat Indonesia dalam persaingan politik pada saat itu. Di dalam tubuh AD pun terjadi perpecahan karena sebagian dari perwira menengahnya adalah anggota PKI. Untuk mengamankan posisi mereka (PKI) dalam perpolitikan pada saat itu, Letkol Untung dan anggota PKI lainnya merencanakan sebuah gerakan jika kelak Presiden Soekarno wafat. Gerakan itulah yang kita
M
sebut sebagai G-30-S. Hingga sekarang kita tidak pernah tahu pasti bagaimana peristiwa itu bisa terjadi, siapa sebenarnya tokoh utama dibalik semuanya. Tetapi anehnya dalam waktu satu tahun yakni 1965-1966 menurut Robert Cribb sekitar 500.000 jiwa dibunuh karena dianggap sebagai aktifis dan simpatisan PKI. Penangkapan dan pembunuhan itu masih terjadi hingga tahun 1973. Entah sudah berapa banyak nyawa yang hilang akibatnya. Selain itu keanehannya adalah pemerintah pada orde baru menghancurkan film dokumenter yang asli tentang G-30-S/PKI karya Arifin C. Noer dan merenovasi ulang Lapas Salemba dan Bukit Duri untuk menutupi kejahatan terhadap korban 1965. Keanehan yang terjadi dapat dikatakan suatu bentuk propaganda sekaligus hasil dari propaganda tersebut. Dapat kita simpulkan propaganda pemerintah terhadap PKI merupakan suatu keberhasilan, karena hingga sekarang pun pada umunya masyarakat masih menganggap PKI merupakan organisasi yang berisikan orangorang licik, pembunuh, tidak beragama dan tidak berperikemanusiaan. Padahal pemerintah yang melakukan pembunuhan besar-besaran itulah yang tidak memiliki perikemanusiaan. Sudah saatnya kita sadar dan mengubah persepsi kita tentang hal tersebut dengan melihat fakta-fakta yang ada. Tapi menurut gue kita nggak usah terlalu takut dengan yang namanya propaganda, karena pada saat ini terlalu banyak orang yang berusaha membuat orang lain percaya dengan apa yang dipercayainya karena dia sendiri masih ragu dengan apa yang dipercayainya sebelum orang lain juga ikut percaya dengan apa yang dipercayainya. Jadi selow aja.. Kita terkadang suka terjebak dengan istilah yang kita buat sendiri. Rangga Donyta Putra
#AskMasDuki: Anda Bertanya, Mas Duki Menjawab
Sesi tanya jawab dibuka demi menambah pengetahuan anda tentang G-30-S. bersama Jansen van Duki, mari kita membengkokkan yang lurus, dan mengecilkan yang besar. Karena meluruskan dan membesarkan itu terlalu ‘mainstream’. Q: Mas Duki apa itu G30S? Bukannya kita lebih familiar dengan G-30-S/PKI? A: Wah itu sih mirip tulisan alay yah, bacanya GEOS, mungkin 30 anak yang suka main sepeda, atau perserikatan tukang odong-odong. Nah kalo G30-S/PKI itu kudeta yang bisa dibilang kejahatan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Saya pribadi prefer ke G30S aja, kan masih abu-abu, belom tentu pelakunya PKI. Q: Main sepeda itu GOWES, aaah dasar hordeng warteg. Mas. Selanjutnya, menurut Mas Duki, pelakunya siapa? Dan apa motivasinya?
A: Aaah dasar centong bubur. Wah, berdasarkan referensi, ada beberapa kemungkinan pelaku dibalik layar, Soekarno, Soeharto, PKI, dan CIA. Motivasinya sih adanya luka di hati. Satu yang pasti, pelakunya bukan Mas Anang, meskipun dia bilang “memang lukaku belum sembuh semua, juga dukaku belum hilang semua” saya yakin bukan dia pelakunya. Q: Tapi Mas Anang ada salahnya gak, Mas? A: Iya, disaat Foke dan Jokowi minta dipilih, eh dia dari dulu bilang, “jangan memilih aku”. Gayagayaan dia hahaha. Q: Udah pernah nonton film “Pengkhianatan G30-S/PKI”? gimana komentar Mas Duki? A: Oh udah dong, ada beberapa scene yang aneh. Liat deh scene perempuan berkata “silet ini tajam, jendral”. Wah kalo gue sih lebih setuju perkataannya Imam Ghazali kalo yang paling tajam di dunia ini adalah lidah manusia. Dengan lidah, mereka bisa menyayat hati saudara mereka sendiri, dan itu tidak bisa disembuhkan atau dilupakan. Q: Iya yah, aneh. Eh Mas Duki, kenapa kudetanya pas tengah malem ya? Kenapa gak siang aja? A: Yaiyalah tengah malam biar seru dan menegangkan. Coba kudetanya siang, pas orang PKI bentak bertanya “dimana Nasution?”, masa jawabnya “lagi kondangan, kawinan saudara, datengnya ntar sorean aja yah.”, mana seru. Q: Ada pesan gak buat mahasiswa/i terkait dengan G30S ini? A: Bongkar, bongkar, bongkar. Biasakanlah cari fakta sebelum berbicara, dan lihatlah dari beberapa sisi. Ungkap misteri G30S ini. Ya bisalah ngetweet #MenolakLupa, jangan ngetweet galau sama ngeluh terus. Hahaha salam gang damai \m/ Yanuar Permadi
Jawaban TTS Edisi V Bulan Agustus Across
Down
1. 4. 9. 10. 11. 12. 13.
2. 3. 5. 6. 7. 8.
HATECRIME—Tindakan kejahatan karena kebencian MUSSOLINI—Pemimpin Fasisme Italia MARHAEN—Petani yang menjadi Inspirator Soekarno ISME—Paham PANDJI—Pengarang buku NASIONAL.IS.ME HASANTIRO—Pendiri GAM (alm) MUSSAMAKO—Pemimpin Revolusioner Bangsa Papua Barat (alm)
AMIRFATAH—Tokoh membidani DI/TII SUNYATSEN—Bapak Negara China Modern NICHOLASJOUWE—Pendiri Organisasi Papua Merdeka DEWISARTIKA—Pendiri “Sekolah Isteri” HELSINKI—Perjanjian NKRI dan GAM SARINAH—Pembantu yang menjadi inspirator Soekarno
Simpang Siur Tentang Peristiwa G-30-S/PKI
S
udah menjadi rahasia umum bahwa ada hal-hal aneh yang berkaitan dengan peristiwa yang sering dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September/PKI. Kesimpangsiuran menarik itu, berdasarkan hasil telusuran berbagai sumber online dan obroloan tongkrongan, antara lain adalah: 1. Menurut pengakuan dr. Arif (Lim Joe Thay) dan anggota-anggota tim forensik yang mengotopsi jenazah para petinggi TNI yang menjadi korban pada G-30-S/PKI, ditemukan fakta bahwa hasil forensik menunjukkan bahwa sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang digosipkan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika itu. 2. Sebuah catatan resmi menyebutkan bahwa, setidaknya, 2 juta orang tewas dalam pembantaian massal yang terjadi dalam beberapa tahun itu. 3. Propaganda Orde Baru menyebutkan bahwa kudeta yang akan dilaksanakan oleh PKI terjadi karena sebuah kesempatan, yaitu, Bung Karno mengalami sakit keras. Namun demikian,
sumber lain mengatakan (meskipun masih diragukan kebenarannya) bahwa pada saat itu, Bung Karno hanya menderita sakit masuk angin. 4. Sebuah jurnal kritik film online menafsirkan film propaganda Peristiwa G-30-S/PKI yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru. Hasil kritik dari jurnal ini sedikit berbeda, yang menyebutkan bahwa meskipun pada kenyataannya film tersebut adalah propaganda dari Soeharto, sang Sutradara, Afrin C. Noer, memberikan sebuah statement yang menegaskan bahwa dia sendiri meragukan kebenaran sejarah dari peristiwa G30-S/PKI tersebut. Demikian beberapa kesimpangsiuran dari Peristiwa G-30-S/PKI. Kita, saat ini, belum bisa menyebutnya sebagai fakta karena kecacatan sejarah menjadikan peristiwa itu sebuah kekelaman yang penuh tanda tanya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu inisiatif dari kita yang muda-muda untuk menolak lupa akan kebenaran sejarah yang sesungguhnya, dan melakukan aksi-aksi konkret untuk mengembangkan pengetahuan dalam rangka memperbaiki sejarah kita. Manshur Zikri
Pencegahan Kejahatan Kebencian
G
erstenfeld mengungkapkan bahwa kejahatan kebencian merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan sebagian dengan motivasi adanya kelompok afiliasi korban. Dampak yang ditimbulkan mempunyai efek yang lebih berat terhadap korban, yaitu dampak psikologis serta emosi yang meliputi perasaan terhina, terisolasi, hingga ada yang membenci kodrat dirinya. Kejahatan kebencian dapat berwujud tindakan otoritas negara yang mencurigai maupun melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan kelompok yang secara sepihak tidak disukai. Perlakuan tidak adil terhadap orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan PKI merupakan salah satu contoh adanya kejahatan kebencian. Untuk itu, wepreventcrime akan memberikan berbagai tips agar tidak terdapat banyak korban kejahatan kebencian terkait dengan adanya labeling terhadap PKI. • PKI Baru. Apabila kita melabel individu sebagai PKI dan melabelnya jahat, maka individu tersebut cenderung mengidentifikasikan dirinya seperti label yang diberi
kan kepadanya. Mendingan kita ganti label PKI menjadi Pemuda Keren Indonesia. • ‘Revisi’ Film Apabila kita merasa film G-30-S/PKI banyak mengandung ketidakbenaran, kenapa tidak ada ‘revisi’ dari film tersebut? Seluruh masyarakat Indonesia pastinya masih terus menunggu bagaimana kebenarannya. • Bukan Turunan KTP ditandain, gak boleh jadi PNS, dan masih banyak lagi halangan lain hanya karena keturunan PKI. Perlu diingat bahwa air cucuran atap bisa jatuh kemana saja, meski keturunan tindakan yang akan dilakukan belum tentu sama, jadi jangan ada diskriminasi lagi. • Usut Tuntas Sekarang sudah gak jaman lagi menulis sejarah palsu di buku anak sekolah, sekarang saatnya mengisi pengetahuan berdasarkan realita yang ada. Persoalan Pelanggaran HAM 1965-1966 juga harus dituntaskan karena terindikasi adanya sembilan kejahatan kemanusiaan. Firman Setyaji
Garis-Garis Titik #Part 6 Pemeriksaan sudah hampir setengah jalan dilakukan oleh Toni dan Galias. Benita sudah menuturkan apa yang ia ketahui, Dewita menjawab seadanya penuh isak tangis, Morsa dan Deni menjadi yang berikutnya. ewita tidak menjawab, ia menatap wajah Galias dalam-dalam. Dengan mata yang masih berkaca-kaca ia menggelengkan kepalanya. Akhirnya Toni mengambil alih pembicaraan, “Baiklah kalau kau memang tidak tahu apa-apa kami akan meminta keterangan darimu lain waktu, sekarang kau boleh keluar, terima kasih untuk waktunya”, ucapnya dengan rasa iba. Dewita berjalan menuju pintu keluar dengan langkah yang terlihat berat. Saat pintu kayu yang terlihat antik itu terbuka, Morsa sudah menunggu di luar pintu. “Apakah sekarang giliranku tuan-tuan yang cerdas?” katanya dengan nada menyindir. “Silahkan masuk pak Morsa”, jawab Toni dengan santai. Morsa pun duduk di hadapan mereka berdua. Setelah dihujani pertanyaan formal oleh Toni, Galias pun mulai menanyakan pertanyaan yang sama. Morsa pun menjawab dengan tegas, “Aku tidak punya ide tentang siapa pembunuh ayahku, dan kalaupun aku punya, aku tidak akan memberitahumu. Tapi camkan satu hal, kalau kau macam-macam dengan adikku, ‘adik-adikku’, seperti memaksa mereka mengaku karena kau kehabisan ide, kau akan tahu akibatnya”, ucapnya dengan nada mengancam. Ia lalu pergi meninggalkan ruangan itu. “Dia orang yang keras, sepertinya”, ucap Galias pelan. “Fyuh, dengan ini hanya tinggal satu orang lagi”, ucap Toni seraya menghela nafas. Deni menjadi orang yang terakhir masuk keruangan tersebut untuk ditanyai. Dia melangkah dengan tegap, pandangan matanya lurus dan tajam menatap Galias. Ia duduk di tempat yang sama dengan tempat yang diduduki ketiga orang sebelumnya. Toni mulai melemparkan pertanyaannya hingga akhirnya sampai pada pertanyaan, “Apakah kau ingat siapa saja yang meninggalkan ruangan ini setelah kalian semua sampai disini?” “Aku tidak begitu ingat dengan hal-hal seperti itu”, jawabnya singkat. Namun ia menambahkan, “Memang aku tidak dapat mengingat, namun satu hal yang aku ingat jelas. Orang ini, orang yang duduk di sebelah anda”, matanya kembali menatap Galias.
D
“Dialah orang pertama dan satu-satunya orang yang paling kuingat meninggalkan ruangan. Dia berkata bahwa ia keluar untuk mengambil handphonenya padaku saat ia kembali keruangan, namun aku ingat dengan jelas, sangat jelas, handphonenya menyembul keluar dari kantongnya saat ia meninggalkan ruangan. Jadi apa yang anda lakukan saat itu? Ceritakan pada saya tuan sok pintar”, ucapnya ketus. Mata Toni menatap tajam penuh keheranan kepada Galias. Tanpa bertanya maksud Toni, Galias sudah mengerti maksud dari tatapan itu. “Aku tidak bisa menjelaskannya disini, aku akan menjelaskannya kepada pak Toni di sebelahku ini, namun tidak didepanmu, karena kurasa kamu tidak punya hak untuk tahu”, jawabnya lagi-lagi dengan nada meremehkan. Toni hanya tersenyum, kelihatannya ia sudah percaya sepenuhnya pada laki-laki berkumis di sebelahnya itu. Galias membetulkan posisi duduknya. Ia menatap Deni dengan senyum di bibirnya. “Deni, lalu menurut anda, siapa yang melakukan hal keji ini terhadap ayah anda?” Deni terdiam sesaat, amarah masih terlihat di kedua matanya. Dengan tegas ia menjawab, “Kau masih menanyakan siapa pelakunya kepadaku? Di saat seperti ini aku pasti condong kepada seseorang yang berbohong. Kalau ditanya siapa pelakunya, sudah jelas aku akan menuduhmu!” “Sayang sekali sepertinya tuduhanmu salah”, jawab Galias tenang. “Seperti yang kau ketahui aku hanya keluar kurang dari sepuluh menit…” “Omong kosong, sepuluh menit lebih dari cukup untuk membunuh seseorang, hentikan pembelaanmu!” Galias menghela nafas. “Jangan potong dulu omonganku, lagipula belati yang digunakan untuk menusuk pak Yira, menurut kesaksian para pelayan, adalah belati yang biasanya berada di salah satu rak kamar almarhum sebagai hiasan. Sampai sekarang belum ditemukan keberadaan sarung belati tersebut. Jadi mana mungkin aku yang baru pertama kali kesini bisa dengan cepat menemukan tempat belati itu dan mengetahui bahwa itu belati asli pada kunjungan pertamaku. Lain halnya dengan kalian yang sudah sering sekali kesini.” bersambung... Gilar Nandana Cerbung Part 1-6 terdapat dalam buletin yang dapat diunduh di wepreventcrime.wordpress.com
Buaya sih, Tapi.....