BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bisnis restoran dan kafe hingga saat ini masih diyakini sebagai salah satu bisnis yang memiliki prospek yang cukup bagus, bahkan mampu bertahan dalam kondisi krisis. Sustainabilitas bisnis restoran dapat dilihat dalam tabel berikut ini yang menunjukkan pertumbuhan usaha restoran di Indonesia sejak tahun 2007 hingga 2010. Tabel 1. 1 Perkembangan Usaha Restoran/Rumah makan Skala Menengah dan Besar 2007-2010 Tahun 2007 2008 2009 2010
Jumlah Restoran/Rumah makan 1.615 2.235 2.704 2.916
Pertumbuhan (%) 38,39 20,98 7,84
Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2010) www.budpar.go.id
Meskipun mengalami penurunan, pertumbuhan usaha restoran di Indonesia cenderung positif pasca krisis ekonomi global 2008. Jumlah restoran di Indonesia tahun 2010 mencapai 2.916 restoran, bertambah sebanyak 212 restoran dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan semakin intensifnya persaingan dalam
1
2
industri ini. Ditetapkannya Indonesia sebagai negara layak investasi oleh lembaga pemeringkat internasional Fitch dan Moody pada akhir tahun 2011 akan membangkitkan antusiasme investor asing untuk membangun bisnis di Indonesia, dan tak tertutup kemungkinan bahwa mereka akan mengembangkan usaha di bidang kuliner seperti restoran atau kafe. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah restoran skala menengah dan besar terbanyak berdasarkan kategori provinsi terdapat di DKI Jakarta yang mencapai 1.359 unit usaha, dan diikuti oleh Jawa Barat (286 unit usaha) dan Jawa Timur (231 unit usaha). Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi pusat bisnis dan investasi yang potensial baik bagi investor domestik maupun dari luar negeri, khususnya bisnis restoran.
Gambar 1. 1 Jumlah Usaha Restoran di Indonesia Menurut Provinsi 2010 Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)
3
Meskipun usaha restoran dianggap berprospek cerah karena pada dasarnya makan adalah kebutuhan fisiologis manusia, banyak restoran yang gulung tikar akibat tidak mampu mempertahankan dan meningkatkan jumlah pelanggannya. Bisnis restoran sangat rentan, khususnya terhadap masalah konsistensi rasa, kualitas dan pelayanan. Konsumen saat ini memiliki kekuatan tawar menawar yang besar, terutama karena di industri ini telah banyak kompetitor-kompetitor yang memiliki potensi dan kreativitas yang mampu menyajikan menu makanan dan pelayanan yang terdiferensiasi bagi konsumen sehingga konsumen memiliki beragam pilihan kuliner yang memperbesar kemungkinan terjadinya customer switching. Biasanya dalam usaha restoran dan kafe sulit untuk menentukan loyal tidaknya seorang pelanggan, karena konsumen cenderung selalu ingin mencoba menikmati menu baru yang ditawarkan. Hanya sedikit orang yang sepenuhnya loyal pada satu restoran hingga restoran itu adalah satu-satunya yang mereka kunjungi. Restoran atau kafe modern di Indonesia mengarah pada segmen konsumen muda yang selalu ingin mencoba hal baru dan menjadikan restoran bukan hanya sekedar tempat memuaskan rasa lapar, tetapi sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi dengan teman, keluarga, atau kerabat lainnya. Dengan demikian, di zaman yang modern ini tidak cukup dengan hanya berfokus pada fitur dan manfaat (konsep traditional marketing), dalam hal ini makanan yang rasanya lezat yang dapat mengenyangkan perut. Perubahan gaya hidup ini membawa perubahan strategi pemasaran dalam bisnis restoran untuk
4
memperhatikan suasana, desain interior dan eksterior, keramah-tamahan (hospitality), dan faktor intangible lainnya. Fokus usaha restoran dan kafe saat ini telah berorientasi pada penciptaan pengalaman yang berkesan bagi konsumen agar kesan tersebut senantiasa melekat dalam benak mereka yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku mereka dalam jangka panjang. Strategi ini disebut dengan experiential marketing. Konsep experiential marketing masih relatif baru sehingga literatur mengenai konsep ini pun masih terbatas. Namun, experiential marketing menjadi sangat penting untuk diimplementasikan karena berdasarkan pendapat Pine dan Gilmore (Chou, 2009:993) perusahaan-perusahaan saling bersaing untuk dapat menciptakan pengalaman yang bernilai bagi konsumennya. Experiential marketing dideskripsikan oleh Schmitt (1999) sebagai rangsangan terhadap panca indera, perasaan, pemikiran, perilaku, serta bagaimana konsumen dapat mengintegrasikan dan menghubungkannya dengan kelompok sosial. Experiential marketing diimplementasikan dengan unik oleh Nanny’s Pavillon, sebagai salah satu pemain di industri restoran Indonesia. Yulianti dalam ulasan pada situs www.okezone.com menuliskan bahwa “kekuatan Nanny’s Pavillon terletak pada menu yang disajikan dan ambience, sehingga konsumen mendapat pengalaman tak terlupakan”. Berdiri pada tahun 2009 di Bandung, Nanny’s Pavillon yang menu andalannya adalah pancake dan waffle hingga saat ini telah memiliki 11 outlet yang tersebar di Bandung, mall-mall besar di Jakarta, dan Bali dengan konsep
5
yang berbeda-beda untuk masing-masing outlet. Setiap outlet didesain seperti salah satu area dalam rumah tinggal, dengan gaya dan menu khas ala FrenchAmerican yang menampilkan budaya yang inspiratif dan kreatif. Data yang diolah BPS (2010) juga menunjukkan jumlah restoran di Indonesia berdasarkan jenis masakannya. Jumlah restoran yang menyajikan menu khas Indonesia mencapai 55,16%, masakan khas Amerika/Eropa mencapai 24,42%, masakan China mencapai 7,65%, masakan Jepang 7,25%, dan sisanya adalah jenis masakan lain. Data tersebut menunjukkan bahwa Nanny’s Pavillon sebagai restoran Eropa-Amerika masih memiliki peluang yang luas untuk berkembang karena jumlah restoran dalam kategori ini yang masih relatif sedikit. Salah satu cabang restoran ini yang berada di Central Park Mall menampilkan konsep teras rumah dengan taman buatan yang ditata dengan menarik dan disesuaikan dengan lokasinya di mall yang menghadap kolam, mampu menarik perhatian pengunjung mall untuk mencicipi kuliner sekaligus melepas penat setelah beraktivitas. Bukan hanya pengalaman yang diperoleh konsumen, tetapi Nanny’s Pavillon juga secara tidak langsung membangun hubungan dengan pelanggannya melalui pengalaman yang diberikan. Sesuai dengan misinya yaitu untuk menjadi restoran yang menyenangkan di mana pelanggan merasakan atmosfer yang unik dari budaya French-America. Nanny’s juga menciptakan suasana seperti di rumah sendiri dengan memberikan pelayanan yang baik bagi pelanggan dan menganggap pelanggan seperti keluarga.
6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chou (2009), strategi experiential marketing dan relationship marketing dapat mempengaruhi nilai yang diterima pelanggan atas pengalaman yang diperolehnya (experiential value), dan penelitian Wong dan Tsai (2010) menunjukkan bahwa nilai pengalaman mempengaruhi perilaku konsumen. Hal ini penting untuk dapat mengukur sejauh mana konsumen menampilkan perilaku yang mengarah pada loyalitas, karena berdasarkan penjelasan sebelumnya, sulit untuk mengukur loyal atau tidaknya seorang konsumen terhadap restoran atau kafe. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Chen dan Chen (2010) bahwa dalam praktiknya tindakan loyalitas sulit untuk diukur dan karenanya banyak peneliti yang menggunakan behavioral intention (minat perilaku) untuk mengatasi persoalan tersebut. Dengan mengacu pada uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh experiential marketing dan relationship marketing terhadap experiential value serta dampaknya terhadap customer behavioral intention pada restoran Nanny’s Pavillon Terrace-Central Park Mall. Dalam penelitian ini, studi kasus akan dilakukan pada restoran Nanny’s Pavillon Terrace yang terletak di Central Park Mall dengan alasan bahwa outlet tersebut memiliki lokasi yang strategis, dengan jumlah pengunjung yang signifikan seperti dikatakan oleh Executive Director Central Park Mall, Veri Y. Setiadi dalam Sindoweekly (Mei 2012) bahwa pengunjung Central Park Mall pada hari biasa mencapai 60.000-70.000 pengunjung, sedangkan pada hari libur mencapai 90.000-120.000 pengunjung. Di samping itu, berdasarkan wawancara dengan pihak Marketing Communication dari Nanny’s Pavillon, Irfina Indriyani,
7
beliau mengklarifikasi bahwa outlet di Central Park Mall memiliki pelanggan terbanyak dan yang paling kritis dibanding outlet-outlet lainnya serta menyumbang sekitar 40% dari penjualan Nanny’s Pavillon secara keseluruhan.
1.2 Identifikasi Masalah 1. Apakah experiential marketing memiliki pengaruh terhadap relationship marketing? 2. Apakah experiential marketing dan relationship marketing secara simultan atau parsial mempengaruhi experiential value? 3. Apakah experiential value memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention? 4. Apakah experiential marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value? 5. Apakah relationship marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah experiential marketing memiliki pengaruh terhadap relationship marketing (T-1).
8
2. Untuk mengetahui apakah experiential marketing dan relationship marketing secara simultan atau parsial mempengaruhi experiential value (T-2). 3. Untuk mengetahui apakah experiential value memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention (T-3). 4. Untuk mengetahui apakah experiential marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value (T-4). 5. Untuk mengetahui apakah relationship marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value (T-5).
1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Perusahaan (Nanny’s Pavillon):
Dapat mengetahui seberapa besar kontribusi experiential marketing dan relationship marketing yang selama ini diterapkan terhadap experiential value serta dampaknya terhadap customer behavioral intention.
Hasil penelitian ini kiranya dapat memberikan tambahan informasi mengenai efektivitas penerapan experiential marketing dan relationship marketing serta sebagai bahan pertimbangan untuk menerapkan
program-program
pemasaran
selanjutnya
agar
9
meningkatkan
nilai
pengalaman
pelanggan
untuk
dapat
mempengaruhi minat perilaku pelanggan guna meningkatkan keuntungan perusahaan.
2. Manfaat bagi penulis:
Sebagai pengalaman dalam mengaplikasikan pengetahuan dalam melakukan penelitian di bidang pemasaran.
Sebagai pengalaman dalam mengaplikasikan metode analisis kuantitatif menggunakan Structural Equation Modeling dalam menyelesaikan permasalahan di bidang pemasaran.
Membandingkan pengetahuan teori dengan kenyataan yang ada dalam praktek sehari-hari .
3. Manfaat bagi pihak lain:
Menambah
wawasan
mengenai
pengaplikasian
experiential
marketing dan relationship marketing dalam praktik nyata untuk dapat memberikan nilai bagi pelanggan dan mempengaruhi minat perilaku pelanggan.
Menambah
wawasan mengenai metode analisis
Structural
Equation Modeling dalam melakukan penelitian kuantitatif.
Sebagai bahan referensi dan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.