BAB II MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA A. Pengertian Umum Tentang Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. 19 Para ahli mengemukakan makna mediasi secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin “ mediare “ yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa. 20
19
Khotibul umam, penyelesaian sengketa di luar pengadilan(Yogyakarta, penerbit pustaka yustisia,2010) hlm.10 20 Syahrizal Abbas, mediasi dalam perspektif hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional (Jakarta,kencana prenada media group, 2009) hlm.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi memberikan arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian tersebut mengandung tiga unsur penting, yaitu : 21 1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih. 2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak bersengketa. 3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. Penjelasan mediasi secara etimologi ini lebih menekankan keberadaan pihak ketiga atau pihak yang bertugas sebagai penengah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan hanya menjelaskan sifat bagaimana mediasi itu, tanpa ada menjelaskan mediasi secara mendalam. Pihak ketiga ini menjembatani para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Hal ini juga memberikan perbedaan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Pihak ketiga ini mempunyai sifat yang netral di antara kedua belah pihak yang bersengketa dan memberikan atau menemukan kesepakatan yang dapat memuaskan para pihak. Penjelasan mediasi secara terminologi yaitu berdasarkan pengertian mediasi menurut para pihak, yaitu : Gary H. Barnes menyatakan “mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak netral. Peranan pihak netral adalah melibatkan diri 21
Ibid hlm.3
untuk membantu para pihak, baik secara pribadi atau kolektif, untuk mengidentifikasikan
masalah-masalah
yang
dipersengketakan
dan
untuk
mengembangkan proposal untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tidak seperti arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap sengketa, melainkan
mediator
dapat
mengikuti pertemuan-pertemuan
rahasia
dan
pembahasan khusus bersama dengan pihak-pihak yang bertikai.” 22 Gary Goodpaster mengemukakan “ mediasi adalah proses negosiasi pemecahan (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbitrase, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak. Namun, dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. 23 Goodpaster mengemukakan pendapat mengenai mediasi tidak hanya mengenai pengertiannya saja, tetapi mengeksplorasi lebih jauh lagi makna mediasi dengan menggambarkan proses kegiatan mediasi, kedudukan dan peran pihak ketiga serta bagaimana tujuan diadakannya mediasi. Mediasi ini merupakan negosiasi yang dilakukan pihak ketiga dengan melakukan dialog untuk mencapai kesepakatan bersama dengan tujuan menyelesaikan sengketa perdata tanpa harus melalui proses peradilan dan memperoleh kesepakatan yang memuaskan. Laurence Bolle menyatakan “mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator; the mediator attempt to improve the 22
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 hlm.240 23 Ibid hlm.241
process of decision making and to assist the parties the reach an out-come to wich of them can assent.”.24 (mediasi adalah proses pembuatan keputusan dimana para pihak
yang dibantu oleh seorang
mediator. Mediator berusaha untuk
meningkatkan proses dari pembuatan kesepakatan dan untuk membantu para pihak untuk menjangkau hasil dari persetujuan diantara mereka). Bolle menekankan bahwa mediasi merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yaitu mediator. Bahwa kewenangan pengambilan keputusan sepenuhnya adalah ditangan para pihak bersengketa dan posisi mediator hanyalah membantu para pihak dalam mengambil keputusan tersebut. J. Folberg dan A. Taylor memaknai “… the processby which the participants, together with the assistance of a neutral persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider alternative, and reach consensual settlement that will accommodate their needs.” 25 (suatu proses antara para pihak, bersama-sama dengan bantuan seorang yang netral, yang secara sistematis mengisolasikan perselisihan dalam rangka mengembangkan pilihan, mempertimbangkan alternatif, dan menjangkau konsensual penyelesaian yang akan mengakomodasi kebutuhan mereka) J. Folberg dan A. Taylor menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh para pihak bersengketa dan dibantu oleh pihak ketiga yaitu pihak netral. Pihak netral atau mediator dapat
24
Laurence Bolle, Mediation: Principles, Process, and Practice dalam buku syahrizal abbas. hlm.4 25 J. Folberg dan A. Taylor, mediation : A Comprehensive guide to resolving conflict without litigation dalam buku syahrizal abbas, Op.Cit hlm.4
mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa dan para pihak dapat mempertimbangkannya tawaran mediator sebagai alternatif menuju kesepakatan dalam penyelesaian sengketa. Mediasi dapat membawa para pihak mencapai kesepakatan tanpa merasa ada pihak yang menang atau pihak yang kalah (win-win solution). Kata mediasi juga berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, dimana yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah. Stephen R. Marsh, seorang mediator ahli dari Amerika, dalam artikelnya yang berjudul “What is Mediation?“ memberikan beberapa pengertian mediasi sebagai berikut : 26 1. Mediation is school yard intervention. From pre-school playgroup thourg twelve grade, mediation is part of education community and is supervise by school teachers and accomplish by specially trained per group mediators in the same classes as the parties in conflict. In a growing number of schools, a mediator is a student in a federally support initiative to reduce conflict and violence in school. (mediasi adalah bentuk intervensi sekolah. Mediasi adalah bagian dari masyarakat berpendidikan, yang mana dikontrol oleh guru-guru sekolah, dan dilakukan oleh seorang spesialis yang telah dilatih oleh beberapa mediator untuk mengatasi sengketa antar kelas. Dalam hal ini, yang berperan sebagai mediator adalah seorang siswa yang mempunyai inisiatif sendiri untuk mengurangi sengketa dan kekerasan di sekolah) 2. Mediation is a part of the juvenile criminal justice system. For non-violent offender, victim – offender, mediation is a process where community volunteers, under the control of the criminal justice system caseworks, help both sides humanize and rehabilitate each other.
26
Stephen R. Marsh, “ What is mediation?” , artikel, http://www.adrr.com/, hlm.1-3 diakses 31 Agustus 2012
In many communities, mediator is an unpaid volunteer with three to six hours of training in a state support program who helps get back on the right track. (mediasi adalah bagian dari system peradilan kejahatan anak. Bagi pelaku kriminal tanpa kekerasan, korban kejahatan, mediasi adalah sebuah proses, di mana komunitas sukarela yang berada di bawah pengawasan dari pegawai system peradilan pidana, yang membantu kedua belah pihak untuk menjadi lebih manusiawi dan merehabilitasi mereka satu sama lain. Di banyak komunitas, mediator merupakan tenaga sukarela tanpa bayaran, telah melewati tiga sampai enam jam program pelatihan yang mendukung, yang mana menolong anak-anak untuk kembali ke jalan yang benar) 3. Mediation is a part of family counseling for people getting divorced. Mediation is a way for families who are break up into parts to learn to deal with the changes in roles, duties and accasion and face thase changes with emotionalbalance. To many mediation is a special form af family counseling handled by licensed family counselors and therapist. (mediasi adalah bagian dari usaha konseling keluarga bagi orang-orang yang mengalami perceraian. Mediasi adalah sebuah jalan bagi para keluarga yang terpecah dalam hal mempelajari bagaimana menghadapi perubahan peranan, kewajiban-kewajiban dan keadaan-keadaan. Mediasi juga memberi pelajaran tentang bagaimana mereka/para pihak yang bercerai mengahadapi perubahan tersebut dengan keseimbangan emosi. Dalam hal ini mediasi adalah bentuk spesial dari konseling yang ditangani oleh konselor keluarga yang berlisensi dan ahli terapi) 4. Mediation is the part of the civil law system where parties to lawsuit are support in resolution negotiations aimed at helping find their own best interest. To most bar association, mediation is something practiced by attorneys who have been through a fourty hour program and who go faster negotiations. (mediasi adalah bagian dari sistem hukum pidana, di mana para pihak dalam suatu perkara hukum didukung untuk menegosiasikan penyelesaian perkara yang bertendensi untuk membantu para pihak tersebut menemukan keinginan mereka sendiri. Banyak asosiasi hukum memandang mediasi sebagai sesuatu hal yang dipraktekkan oleh seorang pengacara yang telah melalui program pelatihan selama lebih kurang empat puluh jam dan dapat melakukan negosiasi dengan lebih cepat) 5. Mediation is a port of community accomplishment and conflict resolution, a place where volunteers, often with the better Bussiness Bureau or Community Alternative Dispute Resolution Centers, resolve conflicts and problems that if not would end in small claim court.
To many, mediation is an alternative to the formal justice system, not a part of it, accomplish by “real human being” rather than attorneys. (mediasi adalah bagian dari aksi komunitas dan penyelesaian sengketa, satu tempat di mana para sukarelawan dari kantor bisnis atau dari komunitas pusat alternatif penyelesaian sengketa, yang menyelesaikan sengketa masalah yang tidak dapat terselesaikan melalui pengadilan. Dalam banyak hal mediasi adalah suatu alternatif dari sitem peradilan yang formal, mediasi bukan bagian dari sistem peradilan formal tersebut. Hanya dilakukan oleh seorang individu yang benar-benar mampu bertindak lebih seru dari hanya sebagai pengacara) 6. Mediation is a labor conflict resolution tool expected at finding a better way. Drawing from a wide group of talent and skills, labor mediation seeks to end conflict and improve feelings in the workplace. To many, mediation is a way to get the bottom line and to find compromise without fighting using a group of mediators who disregard definition other than experience. (mediasi adalah alat penyelesaian sengketa perburuhan yang bertujuan untuk menemukan jalan yang lebih baik. Dikontrol oleh sekelompok besar orang-orang yang memiliki talenta dan keahlian, mediasi perburuhan mendorong untuk diakhirnya konflik dan meningkatkan perasaan di tempat kerja. Dalam banyak hal, mediasi adalah jalan untuk menemukan kesepakatan tanpa harus berkelahi dengan menggunakan sekelompok mediator yang tidak memperhatikan defenisi lebih dari pengalaman) 7. Institutional mediation is conflict avoidance, a form of human resources management that aims to resolve conflict and improve communication between those served and the institution and between the different members of the institution. To many in large hospital, churches and other diverse organization, mediation is a method of make sure communication and that problem are resolved rather than disregarded, make well rather than allowed to irritate. (mediasi institusional adalah alat mencegah sengketa, sebuah bentuk manajemen dari sumber daya manusia yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa dan meningkatkan komunikasi di antara para pihak dan institusi tersebut dan antara anggota-anggota yang berbeda-beda dengan institusi tersebut. Di banyak rumah sakit, gereja dan organisasi lainnya, mediasi dianggap sebagai satu metode yang memudahkan komunikasi dan mengutamakan pemecahan masalah daripada tidak menghiraukannya, mediasi juga bertujuan membuat keadaan menjadi tentang daripada menyakiti orang lain) 8. mediation is what diplomat do to prevent countries from going to war or to help countries at war find peace. From the Middle East to Bosnia, mediation is the resolution, by political means, of armed conflict.
(mediasi adalah suatu hal yang dilakukan oleh para diplomat sebagai usaha untuk mencegah peperangan diantara negara-negara atau untuk membantu negara-negara yang berperang dalam hal menemukan titik perdamaian) Mediasi adalah suatu proses, dimana seorang pihak ketiga netral, yang disebut dengan “mediator” mendengarkan sengketa di antara dua pihak atau lebih dan mencoba untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka tanpa memikirkan keuntungan dari adanya kasus itu. Makna mediasi sering dikaitkan dengan makna arbitrase. Arbitrase adalah bentuk lain dari pada penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga (sebagai lawan dari proses litigasi dan penilaian hakim juri). Dalam arbitrase, arbiter mendengarkan fakta-fakta yang dihadirkan oleh setiap pihak dan kemudian membuat sebuah keputusan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguat, dan berapa banyak orang yang harus bertanggung jawab membayar kerugian tersebut kepada penggugat, jika ada pembayaran yang dapat dibayar. 27 Di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, juga terdapat defenisi mediasi yakni terdapat pada Pasal 1 Angka 7, yang isinya “ Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. 28
27
Adrianne Krikorian, “Litigate or Mediate? : Mediation as an alternative to lawsuits” artikel http://www.mediate.com hlm.1 diakses 7 September 2012 28 PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan dalam Pasal 1 Angka 7
Defenisi mediasi yang terdapat di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 ini tidak jauh berbeda dengan defenisi para ahli. Namun, di dalam PERMA No.1 Tahun 2008 ini mediasi lebih menekankan bahwa yang penting di dalam sebuah mediasi itu adalah mediator. Mediator harus mampu mencari alternatif-alternatif penyelesaian sengketa tersebut. Apabila para pihak sudah tidak menemukan lagi jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa tersebut maka mediator tersbut harus dapat memberikan solusi-solusi kepada para pihak. Solusi-solusi tersebut haruslah kesepakatan bersama dari si para pihak yang bersengketa. Disinilah terlihat jelas peran penting mediator. Mengenai jenis kasus yang dapat di mediasi di pengadilan terdapat dalam artikel Steven Rosenberg yang bejudul “ What Type of Dispute can be Mediated?” yang menyebutkan sebagai berikut : 29 1. Civil Litigation a. Contractual Dispute ( sengketa perjanjian ) b. Insurance Claims ( klaim asuransi ) c. Personal Injury ( kerugian individu/ ganti kerugian ) d. Property Damage ( kerusakan bangunan ) 2. Business and Professional a. Internal Dispute ( sengketa internal ) b. Partnerships ( sengketa kerjasama bisnis ) c. Employer/Employee ( masalah buruh dan majikan ) 29
Stephen Rosenberg, “What Type of Disputes Can be Mediated?”, artikel, http://www.nolo.com/legal-encyclopedia diakses 8 September 2012
d. Dissolution and Buy Outs ( konklusi dan pekerjaan ) 3. Real Estate a. Commercial Leases ( sewa guna komersial ) b. Non-Disclosure c. Boundary Disputes ( sengketa pembatasan ) d. Neighbor disputes ( sengketa bertetangga ) 4. Probate & Will Contests ( masalah pernyataan kehendak ) 5. Pre-Marinal Agreements ( masalah persetujuan pra nikah ) 6. Divorce and Separation ( perpisahan dan perceraian ) a. Child Support Agreements ( perjanjian pengurusan anak) b. Spousal Support Agreements c. Determining, valuing, and dividing marital property ( mendeterminasi,
menilai
dan
membagi
persoalan
pernikahan ) d. Possession and/or disposition of the family residence ( pergeseran posisi rumah keluarga 7. Custody ( perlindungan ) a. Parenting plans ( rencana pengurusan orang tua ) b.Visitation agreements ( perjanjian mengenai waktu mengunjungi anak ) c. Changes to prior agreements ( mengubah perjanjian yang utama )
d. Compliance with prior agreements ( keluhan akan perjanjian utama ) e. Compliance with court orders ( menyelesaikan persoalan dengan bantuan pengadilan ) Ada beberapa batasan mediasi yang dikemukakan oleh para ahli. Gary Goodpaster, mengemukakan : “ Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak luar yang tidak memihak ( “impartial” ) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan”. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif, dan dengan demikian membantu para sengketa untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dipersengketakan”. 30 Christoper W. Moore juga mengemukakan hal yang senada mengenai batasan mediasi sebagai berikut : “ Mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan”. 31
30 31
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.79 Christoper W. Moore dalam skripsi ririn bidasari tahun 2006. Op.Cit
Jacqualin M. Nolan Haley juga mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut : “ Mediation is generally indestood to be a short-term structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. Unlike the adjudication process, where a third party intervenor imposes a decision, no such compulsion exist in mediation. The mediator aids the parties in reaching a consensus. It is the parties themselves who shape their agreement”. 32 ( penyelesaian sengketa dengan penengahan biasanya dipahami untuk menjadi struktur singkat, tugas yang diorientasikan, para pihak memiliki andil dalam proses. Membantu para pihak bekerja dengan suatu pihak ketiga netral, mediator, untuk menjangkau suatu persetujuan yang bisa diterima. Tidak sama dengan proses putusan hakim, dimana pihak ketiga memaksakan suatu keputusan, tidak ada paksaan seperti itu di dalam penyelesaian sengketa dengan mediasi. Mediator menopang para pihak di dalam mencapai suatu kesepakatan. Dimana para pihak lah yang menentukan sendiri kesepakatan diantara mereka ) Stephen R. Marsh dalam artikelnya yang berjudul “Current Issues In Court Annexed Mediation”, menyebutkan batasan mediasi dipengadilan adalah sebagai berikut: 33 There are three different definition of court Annexed Mediation 1. The narrowest definition is mediation that has been specifically ordered by a court. (mediasi di pengadilan adalah suatu bentuk mediasi khusus yang distrukturisasi oleh badan pengadilan) 2. The middle ground is mediation that occurs for every general court orders (e.g. standing orders all family law cases will be mediated before a trial date is set) (mediasi di pengadilan adalah suatu peristiwa yang terjadi pada setiap kegiatan peradilan (misalnya : kasus rumah tangga akan dimediasi terlebih dahulu sebelum akhirnya diperiksa pokok perkaranya melalui litigasi)
32
Jacqualine M. Nolan Haley dalam skripsi ririn bidasari Op.Cit Stephen R. Marsh, Current Issues In Court Annexed Mediation, artikel http://www.adrr.com// hlm.1 diakses pada 10 September 2012. 33
3. The most expansive definition is the mediation of any and all matters that will of necessity be litigated (e.g. damage awards to minors, divorce action) (mediasi di pengadilan dapat dilakukan terhadap beberapa atau semua jenis kasus yang tergolong ke dalam kasus yang dapat diselesaikan di pengadilan) Mark E. Roszkowski, dalam buku Business Law, Principle, cases and Policy mengemukakan : “mediation is a relatively informal process in wich a neutral third party, the mediator, helps to resolve a dispute. In many respect, therefore, mediator can be considered as structured negotiation in wich the mediator facilitates the process”. 34 (mediasi adalah suatu proses informal yang didalamnya terdapat suatu pihak ketiga yang netral, mediator, membantu memecahkan suatu perselisihan. Di dalam rasa saling menghargai, oleh karena itu, penengah dapat menyusun untuk memperlakukan sebagai negosiasi di mana penengah untuk memudahkan proses) Dari
beberapa
rumusan
mengenai
batasan
mediasi
yang
dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi merupakan cara penyelsaian sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dirundingkan para pihak sengketa yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak berpihak kepada siapa pun. Pihak ketiga itu disebut dengan mediator, dalam mediasi ini mediator tidak mempunyai hak untuk memutus sengketa tersebut. Mediator hanya membantu para pihak sengketa dengan memberikan solusi-solusi yang dapat membuka pikiran para pihak dalam penyelesaian sengketa tersebut. Solusi-solusi tersebut diperundingkan oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama tanpa ada paksaan dari pihak mana 34
Mark E. Roszkowski, dalam buku business Law, principle cases and policy sebagaimana dikutip Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2000. hlm. 13
pun. Dengan kata lain mediator merupakan penengah di dalam sebuah persengketaan.
B. Sejarah Perkembangan Mediasi di Indonesia Penyelesaian konflik ( sengketa ) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat
Indonesia
berabad-abad
yang
lalu.
Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan ( komunalitas ) dalam masyarakat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual. 35 Setiap masyarakat Indonesia atau pun masyarakat dunia lainnya, merasakan bahwa suatu sengketa yang muncul di dalam kehidupannya tidak boleh dibiarkan begitu saja, melainkan harus adanya upaya penyelesaian sengketa tersebut. Harus adanya penyelesaian sengketa karena suatu sengketa memiliki dampak yang negatif, misalnya memperburuk hubungan antarpihak yang bersengketa sehingga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa, yang artinya bahwa para pihak lebih leluasa untuk mengkreasi 35
Timothy Lindsey, Introduction: An Overview of Indonesian Law, dalam buku syahrizal abbas Op.Cit hlm.283 36 Syahrizal Abbas Op.Cit hlm.284
kemungkinan opsi yang dapat ditawarkan dalam proses penyelesaian sengketa.36 Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa.
Musyawarah
mufakat
sebagai
nilai
filosofi
bangsa
diterjemahkan dalam dasar negara, yaitu Pancasila. Dalam sila keempat Pancasila
disebutkan,
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Nilai tertinggi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
di
bawahnya.
Prinsip
musyawarah
mufakat
merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di jalur luar pengadilan. Nilai musyawarah mufakat ini terdapat dalam sejumlah bentuk penyelesaian seperti mediasi dan arbitrase. Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan perdata di Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa. 36 Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-
36
Stephen B. Green, dalam buku syahrizal abbas Op.Cit hlm.285
Belanda maupun dalam sejumlah produk hukum Indonesia merdeka sampai hari ini. Pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum amat penting, mengingat /Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaat ). Dalam negara hukum tindakan lembaga negara dan aparatur negara harus memiliki landasan hukum, karena tindakan negara atau aparatur negara yang tidak ada dasar hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim ( aparatur negara ) di pengadilan atau pihak lain di luar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum. 37
1. Sejarah Mediasi Masa Kolonial Belanda Pada masa Kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai di lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Kolonial Belanda cendrung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini bahwa hukum adat mampu menyelesaikan sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda. Hukum adat adalah hukum yang hidup ( living law ) dan keberadannya menyatu dengan masyarakat pribumi. Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan
untuk
mendamaikan
para
pihak
yang
bersengketa.
Kewenangan mendamaikan hanya sebatas kasus-kasus keluarga dan
37
Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar dalam buku syahrizal abbas, Op.cit hlm.287
perdata pada umumnya seperti perjanjijan, jual beli, sewa menyewa, dan beberapa aktivitas bisnis lainnya. 38 Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa. Hakim yang baik berusaha maksimal dengan memberikan sejumlah saran agar upaya perdamaian berhasil diwujudkan. Kesepakatan damai tidak hanya bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga memberikan kemudahan bagi hakim dalam mempercepat penyelesaian sengketa yang menjadi tugasnya. Pada masa Kolonial Belanda penyelesaian sengketa pada proses damai diatur dalam Pasal 130 HIR ( Het Herziene Indonesich Reglement, Staatblad 1941 : 44 ) atau Pasal 154 R.Bg ( Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927 : 27 ) atau Pasal 31 Rv ( Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1874 : 52. Disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Ketentuan pasal ini adalah :
39
− Jika pada hari yang ditentukan, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka. − Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menempati perjanjian yang
38 39
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm 289 Syahrizal Abbas Op.cit, hlm. 287
diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa. − Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diizinkan banding. − Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu. Ketentuan dalam Pasal 130 HIR / 154 RBg menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai, maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian sehingga memudahkan para pihak melaksanakan kesepakatan itu. Akta damai memiliki kekuatan hukum sama dengan vonnies hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika salah satu diantara mereka enggan melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. dalam sejarah hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan “dading”. 40
40
Reno Soeharjo, dalam buku Syahrizal Abbas Op.Cit hlm.288
2. Sejarah Mediasi Kemerdekaan Sampai Sekarang Dalam Pasal 24 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan ( litigasi ). Sistem Hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan ( nonlitigasi ). Green menyebutkan dua model penyelesaian sengketa ini dengan metode sengketa dalam bentuk formal dan informal. 41 Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat ( 2 ) UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetetntuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan telah diubah dengan ketentuan UU No.4 Tahun 2004 demikian telah diubah kembali dengan diterbitkannya UU No.48 Tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya.
41
Syahrizal abbas. Op.Cit hlm 292
Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan ( acces ti justice )
guna
mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia. 42 Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Di lingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, di mana hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase, mediasi, negosiasi atau fasilitasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. 43 Ketentuan hukum yang menegaskan mengenai mediasi terdapat dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah ( PP ) No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
42 43
Ibid, h.296 Ibid, h.297
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan ( win-win solution ), dimana penyelesaian sengketa tersebut berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan di mana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukkan iktikad baik, karena tanpa iktikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1 menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu sengketa perdata. Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 dapat dipahami beberapa hal antara lain :
1) Objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan sngketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat diadakan perdamaian. 2) Sengketa tersebut baru dapat diselesaikan melalui arbitrase bila dalam perjanjian pokok tertulis secara tegas menyatakan bahwa bila terjadi sengketa atau beda pendapat timbul atau mungkin timbul dari suatu hubungan hukum akan diselesaikan melalui arbitrase. Pengaturan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga ditemukan dalam undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dimana dalam Pasal 52A dinyatakn sebagai berikut: “Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.” Dan dapat ditemukan juga dalam Peraturan Pemerintah RI No.54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan Pemerintah ini mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Peraturan Pemerintah ini telah meletakan konsep yang jelas mengenai mediasi, mediator, persyaratan mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan
hidup. Jadi, pengaturan mediasi dalam Peraturan Pemerintah ini jauh lebih lengkap bila dibandingkan dengan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan perundang-undangan di atas, yaitu UU No.30 Tahun 1999, UU No.8 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan. Ketentuan mediasi di pengadilan pada mulanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kemudian Mahkamah Agung menyempurnakan dengan mengeluarkan PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedr Mediasi di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan. Hakim tidak secara langsung menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan ( litigasi ), tetapi harus terlebih dahulu diupayakan mediasi ( nonlitigasi ). Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus ditempuh hakim dalam memutus perkara di pengadilan.
C. Kekuatan dan Kelemahan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata 1. Kekuatan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa memiliki kekuatankekuatan sehingga medasi menjadi salah satu pilihan yang dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang tengah bersengketa. 44 Banyaknya masyarakat Indonesia yang memakai mediasi sebagai penyelesaian sengketa karena adanya kelebihan tertentu memakai mediasi ini. Beberapa kekuatan-kekuatan mediasi, yaitu : Pertama, penyelenggaraan proses mediasi tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak memiliki kebebasan dan tidak terperangkap dalam bentuk-bentuk formalism, seperti halnya dalam proses litigasi. Dalam literature sering disebutkan bahwa fleksibilitas dari proses mediasi dibandingkan dengan proses litigasi, merupakan unsur yang menjadi daya tarik dari mediasi karena para pihak dapat dengan segera membahas masalah-masalah atau memperdebatkan hal-hal teknis hukum. Dalam litigasi, pihak tergugat selalu menyerang gugatan penggugat dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan aspek formal dari surat gugatan, misalnya gugatan samar/kabur, posita tidak mendukung petitum atau pengadilan tidak berwenang, sementara pokok perkara belum menjadi perhatian. Selain itu dalam sengketa yang melibatkan banyak pihak, jika hanya beberapa pihak saja yang sepakat atas hasil perdamaian, sementara satu atau beberapa pihak lain tidak sepakat, maka perdamaian tetap dapat berlangsung antara dua pihak yang menyetujui hasil kesepakatan perdamaian. Di Belanda, dalam sebuah sengketa yang melibatkan dua atau lebih masalah, kesepakatan perdamaian dapat dicapai hanya untuk masalah-masalah tertentu, sedangkan sisa 44
Laurence Boulle, dalam buku Takdir Rahmadi, Mediasi penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat hlm. 21
masalah yang tidak disepkati, penyelesaiannya diserahkan kepada hakim untuk diputus sehingga di Belanda dikenal kesepakatan perdamaian penuh dan kesepakatan perdamaian sebagian. 45 Kedua, pada umumnya mediasi diselenggarakan secara tertutup atau rahasia. Artinya adalah bahwa hanya para pihak dan mediator yang menghadiri proses mediasi, sedangkan pihak lain tidak diperkenankan untuk menghadiri proses mediasi. Kerahasian dan ketertutupan ini juga sering menjadi daya tarik tertentu bagi kalangan tertentu, terutama para pengusaha
yang
tidak
menginginkan
masalah
yang
dihadapinya
dipublikasikan di media massa. Ketiga, dalam proses mediasi, pihak materil atau prinsipal dapat secara langsung berperan serta dalam melakukan perundingan dan tawarmenawar untuk mencari penyelesaian masalah tanpa harus diwakili oleh kuasa hukum masing-masing. Karena prosedur mediasi amat leluasa dan para pihak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum atau advokat dapat berperan serta dalam proses mediasi. Para pihak dalam proses mediasi dapat menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan, dan sebaliknya tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah hukum seperti yang lazim digunakan oleh para advokat dalam beracara di persidangan pengadilan. Keempat, para pihak melalui proses mediasi dapat membahas berbagai aspek atau sisi dari perselisihan mereka, tidak hanya aspek
45
Bert Niemeiyer, Op.Cit hlm. 22
hukum, tetapi juga aspek-aspek lainnya. Pembuktian merupakan aspek hukum terpenting dalam proses litigasi. Pernyataan tanpa dukungan bukti yang kuat, maka posisi seseorang akan lemah. Dalam proses mediasi bisa saja aspek pembuktian dikesampingkan demi kepentingan lain, misalnya demi terpeliharanya hubungan baik, maka satu pihak bersedia memenuhi permintaan pihak lain walau tanpa dukungan bukti kuat, ataupun situasi sebaliknya terdapat bukti kuat adanya keterlambatan pembayaran, namun pihak
berpiutang
tetap
bersedia
menjadwalkan
ulang
kewajiban
pembayaran demi hubungan bisnis yang baik di masa depan. Proses pengadilan tidak dirancang atau dibangun untuk menyelesaikan sengketasengketa dengan multiaspek, tetapi lebih fokus pada aspek hukum semata. Sebaliknya, mediasi karena keleluasaan dan sifatnya yang mufakat dapat digunakan untuk membahas berbagai sisi sebuah sengketa. Kelima, sesuai sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi dapat menghasilkan penyelesaian menang-menang bagi para pihak ( win-win solution ). Sebaliknya litigasi dan arbitrase cendrung menghasilkan penyelesaian menang-kalah ( win-lose solution ) karena prosesnya bersifat permusuhan dan memutus. Keenam, mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang relatif murah dan tidak makan waktu jika dibandingkan proses litigasi atau berperkara di pengadilan. Hasil mediasi berupa kesepakatan merupakan penyelesaian yang diupayakan oleh para pihak sendiri, sehingga para pihak tidak akan mengajukan keberatan atas hasil kerjanya sendiri.
2. Kelemahan Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Perdata 46 Di sisi lain kekuatan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu disadari oleh peminat mediasi. Pertama, bahwa mediasi hanya dapat diselenggarakan secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk menyelesaikan sengketa secara konsensus. Jika hanya salah satu pihak saja memiliki keinginan menempuh mediasi, sedangkan pihak lawannya tidak memiliki keinginan yang sama, maka mediasi tidak akan pernah terjadi dan jika terlaksana tidak akan berjalan efektif. Keadaan ini terutama jika penggunaan mediasi bersifat sukarela. Kedua, apabila para pihak yang tidak memiliki itikad baik maka memanfaatkan proses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sengketa, misalnya dengan tidak mematuhi jadwal sesi-sesi mediasi atau berunding sekedar untuk memperoleh informasi tentang kelemahan lawan. Ketiga, beberapa jenis kasus mungkin tidak dapat dimediasi, terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologis dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi-kompromi. Keempat, mediasi dipandang tidak tepat untuk digunakan jika masalah pokok dalam sebuah sengketa adalah soal penentuan hak ( right ) karena sengketa soal penentuan hak haruslah diputus oleh hakim,
46
Takdir Rahmadi, Op.cit hlm.27
sedangkan mediasi lebih tepat untuk digunakan menyelesaikan sengketa terkait dengan kepentingan ( interests ). Kelima, secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum privat tidak dalam lapangan hukum pidana. Larangan ini didasarkan pada pembedaan kategoris antara hukum privat dan hukum pidana, khususnya terhadap delik biasa.
D. Faktor-Faktor Yang Mendorong Para Pihak Sengketa Melakukan Mediasi Ada dua pandangan komperatif yang dapat menjelaskan apa yang menjadi faktor yang mendorong para pihak sengketa melakukan mediasi. Pandangan teoritis merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan. Berdasarkan pandangan ini, cara-cara penyelesaian konsensus seperti negosiasi dan mediasi dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara pandang kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mewarisi tradisi kebudayaan yang menekankan nilai penting keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan akan lebih dapat menerima dan menggunakan cara-cara konsensus dalam penyelesaian sengketa. Kebudayaan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain agama. 47 Para sarjana Amerika Utara juga melihat keberadaan praktik mediasi dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual konfusius, yang lebih
47
Ibid hlm.40
menekankan nilai penting keharmonisan dan penyelesaian secara damai daripada penyelesaian dengan pengunaan paksaan dan pendekatan permusuhan. Bangsa Jepang yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Konfusius memiliki
ungkapan
yang
menggambarkan
betapa
pentingnya
keharmonisan dan perdamaian dalam masyarakat, yaitu : “ keharmonisan atau perdamaian adalah sesuatu yang paling berharga”. 48 Faktor ini lah yang membuat hukum Jepang sangat maju membangun berbagai cara sengketa secara damai. Pandangan teoritis kedua lebih melihat kekuatan yang dimiliki oleh para pihak yang bersengketa sebagai faktor dominan. Karena kekuatan yang dimiliki para pihak yang relatif dan seimbang maka para pihak bersedia menempuh jalan mediasi. ditempuhnya jalan perundingan bukan karena merasa belas kasihan pada pihak lawan atau juga bukan karena terikat nilai spiritual atau nilai budaya, melainkan karena para pihak memang membutuhkan kerja sama dari pihak lawan agar mencapai tujuan yaitu untuk mewujudkan kepentingannya. Menurut Moore, 49 jika para pihak sama-sama memiliki kekuatan yang simetris dan seimbang, mereka cenderung menempuh perundingan dan perundingan dapat berjalan secara lebih efektif. Jika para pihak tidak memiliki kekuatan yang tidak seimbang, perundingan dapat juga
48 49
Yoshiro Kusani, dalam buku Syahrizal Abbas hlm.41 Moore,Op.Cit,hlm. 43
berlangsung,
tapi pihak
yang
kuat
mungkin
memanipulasi dan
mengeksploitasi pihak yang lemah. Dalam proses mediasi, ada pihak penengah atau yang disebut dengan mediator yang dapat membantu salah satu pihak atau para pihak untuk menilai, menganalisa, dan mengevaluasi kekuatan mereka sehingga salah satu para pihak tidak mengambil kesimpulan dan keputusankeputusan yang salah, yang merugikan kepentingan mereka dan menggagalkan proses mediasi. Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan politik, cara-cara negosiasi dan mediasi tidak akan berjalan efektif karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apa pun dapat memenangkan sengketa. Maka peradilan yang mandiri dan pemerintahan yang bersih cendrung memiliki sifat positif dengan penggunaan pola-pola negosiasi dan mediasi dalam penyelesaian sengketa karena para pihak tidak dapat memanipulasi proses pemerintahan dan peradilan sehingga tidak dengan mudah mereka memprediksi bahwa kemenanga akan berada pada pihak mereka jika masalah diselesaikan melalui litigasi atau proses administratif. 50 Dalam ketidakmampuan para pihak untuk memprediksi menang kalah dalam proses litigasi, maka para pihak pun akan menghitung-hitung
50
Albert K. Fiadjoe, Alternative Disputes Resolution (2004) hlm. 23
biaya, baik bersifat finansial maupun non-finansial dalam berperkara. Jika mediasi dapat mewujudkan kepentingan mereka dengan biaya yang lebih rendah, maka para pihak cendrung memilih mediasi daripada proses litigasi. Mediasi
dijadikan
sebagai
pilihan
jalan
damai
dalam
menyelesaikan sengketa perdata antara lain disebabkan sebagai berikut:52 1. Penyelesaian melalui mediasi tidak hanya dilakukan diluar pengadilan saja, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan. 2. Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar. 3. Adapun pertimbangan dari Mahkamah Agung, mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan. 4. Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas engketa yang dihadapai. 5. Di samping itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).
Dari penjelasan diatas maka terlihat jelas bahwa mediai merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang memiliki manfaat yang sangat besar dalam menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan. Mediasi ini akan sangat terasa manfaatnya apabila pelaksanaan mediasi tersebut berhasil, bahkan apabila mediasi gagal dan belum ada penyelesaian sengketanya mediasi yang sebelumnya berlangsung dapat mempersempit persoalan dan perselisihan. Selain karena adanya pandangan teoritis, alasan kekuatan dari mediasi merupakan salah satu faktor yang mendukung para pihak untuk melakukan mediasi. Kekuatan mediasi yang digemari oleh para pihak sengketa adalah biaya yang ringan dan waktu yang singkat. Dengan kata lain bahwa mediasi ini merupakan penyelesaian sengketa yang efektif, singkat dan terjangkau. Dan hal ini yang menjadi nilai lebih bagi mediasi. Para pihak sengketa tidak mungkin ada yang mau untuk menyelesaikan sengketa dengan cara yang bertele-tele, yang membuang waktu para pihak saja. Karena masih banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh para pihak bukan hanya untuk berperkara di pengadilan. Sama juga dengan hal nya biaya, para pihak sengketa pasti tidak mau mengeluarkan biaya yang terlalu banyak untuk menyelesaikan sengketa. Untuk membuat segala persengketaan menjadi lebih mudah maka para pihak lebih memilih dan lebih tertarik untuk melakukan penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi. Walaupun di dalam mediasi ini tidak ada yang menang atau
kalah, tetapi para pihak sengketa tetap lebih memilih untuk melakukan mediasi.