BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan atas kinerja produk atau jasa dalam memenuhi harapan pelanggan (Irawan, 2010). Pelanggan akan merasa puas apabila harapannya terpenuhi atau akan sangat puas jika harapannya terlampaui. Harapan yang dimaksud di sini adalah persepsi pelanggan sebelum dan sesudah menggunakan suatu produk. Persepsi didefinisikan sebagai proses di mana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang diterima alat inderanya menjadi suatu makna (Rangkuti, 2006). Meskipun demikian, makna dari proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu itu sendiri. Proses persepsi terhadap suatu jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan jasa tersebut terlebih dulu. Menurut Garbiano (1999) dalam Surianto (2009) menyatakan bahwa “kepuasan secara keseluruhan berdasarkan pada pembelian dan pengalaman mengkonsumsi barang atau jasa”. Menurut Farisya (2012) konsumen yang puas adalah konsumen yang akan berbagi kepuasan dengan pemasar atau penyedia jasa, bahkan dengan konsumen lain, dan akan membawa dampak pada kegiatan pembelian berulang. Hal ini akan menjadi referensi bagi perusahaan. Pelanggan bukan hanya dipuaskan oleh produk
10
atau jasa yang mereka konsumsi, tetapi dari pengalaman dan emosional yang mereka dapatkan dari awal mereka menjejakkan kaki hingga pulang. Perusahaan harus melakukan pemasaran dengan banyak menyentuh sisi psikologi pelanggan, sehingga siapapun yang pernah berkunjung disanaakan memperoleh pengalaman yang tidak biasa (Dharmawansyah, 2013). Oleh karena itu, baik konsumen maupun pemasar akan sama-sama diuntungkan apabila kepuasan konsumen itu akan tercapai (Farisya, 2012). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelanggan atas suatu jasa adalah. 1) Harga. Harga yang rendah menimbulkan persepsi bahwa produk tidak berkualitas, sehingga pembeli tidak percaya pada penjual. Sebaliknya, harga yang tinggi menimbulkan persepsi produk tersebut berkualitas, namun bisa juga diartikan bahwa penjual tidak percaya kepada pembeli. 2) Citra. Citra yang buruk menimbulkan persepsi bahwa produk tidak berkualitas, sehingga konsumen mudah marah untuk kesalahan kecil sekalipun. Citra yang baik
menimbulkan
persepsi
produk
berkualitas,
sehingga
pelanggan
memaafkan suatu kesalahan, meskipun tidak untuk kesalahan selanjutnya. 3) Tahap pelayanan. Ketidakpuasan yang diperoleh pada tahap awal pelayanan menimbulkan persepsi berupa kualitas pelayanan yang buruk untuk tahap pelayanan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluruhan.
11
4) Momen pelayanan (situasi pelayanan). Berhubungan erat dengan kondisi internal pelanggan sehingga memengaruhi kinerja pelayanan, yang ditentukan oleh: pelayan (orang yang melayani), proses pelayanan dan lingkungan fisik tempat pelayanan diberikan.
Pengukuran Kepuasan Pelanggan Ada 3 metode untuk mengukur tinggi tidaknya kepuasan pelanggan terhadap suatu perusahaan menurut Kotler dan Keller (2009:166), yaitu. 1) Periodic survey (survei berkala). Survei berkala mampu melacak kepuasan pelanggan secara langsung dan juga mengajukan pertanyaan tambahan untuk mengukur niat pembelian kembali atau kesediaan responden untuk merekomendasikan suatu perusahaan dan merek kepada orang lain. 2) Customer loss rate (tingkat kehilangan pelanggan). Pengukuran tingkat kehilangan pelanggan dapat dilakukan dengan mengamati secara langsung konsumen yang merupakan pelanggan tetap.Pencegahan yang dapat dilakukan kepada konsumen yang tidak datang lagi ke perusahaan kita adalah dengan menghubungi pelanggan tersebut. 3) Mystery shoppers (pelanggan misterius). Pelanggan misterius merupakan seseorang yang berperan sebagai pembeli potensial dan melaporkan titik kuat dan titik lemah yang dialaminya dalam
12
berbelanja produk di perusahaan tersebut ataupun saat berbelanja di perusahaan kompetitor. 2.1.2 Experiential Marketing Experiential marketing berasal dari dua kata yaitu experience dan marketing. Experience adalah ”pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya stimulus tertentu (misalnya yang diberikan oleh pihak pemasar sebelum dan sesudah pembelian barang atau jasa)” (Schmitt, 1999:60). Experience juga didefinisikan sebagai sebuah bagian subjektif dalam konstruksi atau transformasi dari individu, dalam penekanan pada emosi dan indra secara langsung selama perendaman dengan mengorbankan dimensi kognitif (Grundey, 2008:138). Pengertian marketing adalah “suatu aktivitas untuk melakukan antisipasi, pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen melalui proses pertukaran” (Evans and Berman, 1995:10). Marketing adalah “suatu proses sosial dan manajerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain” (Kotler dan Keller, 2009:6). Menurut Holbrook dan Hirschman (1982) “Comsumption has begun to be seen as involving a steady flow of fantasies, feelings and fun encompassed by what we call the experiential view”. Pengalaman merupakan sarana membuat konsumen merasa memiliki keterkaitan secara fisik, mental, emotional, sosial atau spiritual dalam mengkonsumsi produk atau jasa, membuat jalinan interaksi yang berarti bagi konsumennya. Nigam
13
(2012) menjelaskan bahwa kemampuan dari pemasaran yang berorientasi pada pengalaman akan mampu membangun pengalaman tertentu bagi pelanggan. Pelanggan mendapatkan sesuatu yang baru karena sentuhan konsep pemasaran yang dilakukan pelaku usaha menyentuh emosi dan pemikiran. Pine dan Gilmore (1998) menjelaskan konsep experiential marketing merupakan konsep di mana ketika konsumen membeli sebuah jasa, satu set aktivitas yang tidak dapat dinyatakan secara jelas. Perkembangan konsep pemasaran telah berkembang pesat dimana sekarang konsep pemasaran tidak lagi berfokus pada produknya tetapi kini konsep pemasaran berfokus pada konsumen. Sehingga, sebuah pengalaman menarik akan memberikan sesuatu yang berbeda bagi konsumen dalam menikmati produk/jasanya (Hendarsono, 2013). Lin, et al. (2011) menyatakan bahwa experiential marketing didesain untuk bisa menciptakan pengalaman layanan yang tidak terlupakan. Konsep experiential marketing adalah sentuhan baik secara fisik maupun psikologis yang bisa memberikan kenyamanan bagi pelanggan terhadap layanan yang didapatkan pelanggan selama berinteraksi dengan perusahaan. Ketika penerapan experiential marketing menyentuh perasaan pelanggan maka pelanggan memiliki pengalaman khusus ketika berhubungan dengan layanan perusahaan. Kusumawati (2011) menyatakan melalui experiental marketing, pemasar berusaha untuk mengerti, berinteraksi dengan konsumen dan berempati terhadap kebutuhan mereka. Singh dan Sirdeshmukh (2000) menyatakan bahwa penerapan experiential marketing dapat menghasilkan kesetiaan jangka panjang pelanggan dan ikatan hubungan erat
14
perdagangan antara kedua belah pihak. Konsumen menghasilkan keakraban, hubungan
dan
kedekatan
setelah
pengalaman
praktik
pemasaran
dan
mengakibatkan peningkatan jumlah pelanggan yang ingin membeli kembali produk dan jasa. Experiential marketing dibagi menjadi empat kunci karakteristik antara lain (Schmitt, 1999:12). 1) Fokus pada pengalaman konsumen. Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilainilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Adanya pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya. 2) Menguji situasi konsumen. Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut. 3) Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi. Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.
15
4) Metode dan perangkat bersifat elektik. Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Tujuan sesungguhnya dari experiential marketing adalah untuk menciptakan sebuah holistic experiential marketing melalui implementasi kelima modul strategic experiential Modules (SEMs). Menurut Hasan (2013:9) berpendapat bahwa experiential marketing dapat diukur dengan menggunakan lima faktor utama, yaitu. (1) Panca Indera (sense). Sense
Experience
didefinisikan
sebagai
upaya
pemasaran
untuk
menciptakan stimulus yang dapat memiliki daya tarik indrawi (sense or sensory) konsumen dengan tujuan menciptakan pengalaman personal melalui penglihatan, suara, sentuhan, rasa dan bau. (2) Perasaan (feel). Feel Experience adalah strategi dan implementasi untuk memberikan pengaruh merek kepada konsumen melalui komunikasi (iklan), produk (kemasan dan isinya), identitas produk (co-branding), lingkungan, website, orang yang menawarkan produk. Setiap perusahaan harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai cara penciptaan perasaan melalui pengalaman konsumsi yang dapat menggerakkan imajinasi konsumen yang diharapkan konsumen dapat membuat keputusan untuk
16
membeli. Feel experience timbul sebagai hasil kontak dan interaksi yang berkembang sepanjang waktu, di mana dapat dilakukan melalui perasaan dan emosi yang ditimbulkan. Selain itu juga dapat ditampilkan melalui ide dan kesenangan serta reputasi akan pelayanan konsumen. Tujuan dari Feel experience adalah untuk menggerakkan stimulus emosional (events, agents, objects) sebagai bagian dari feel strategies sehingga dapat memengaruhi emosi dan suasana hati konsumen. (3) Berpikir (think/creative cognitive experience) Tujuannya adalah mendorong konsumen sehingga tertarik dan berpikir secara kreatif sehingga dapat menghasilkan evaluasi kembali mengenai perusahaan dan merek tersebut. Think experience lebih mengacu pada future, focused, value, quality dan growth dan dapat ditampilkan melalui inspirational, high technology, surprise. Ada beberapa prinsip yang terkandung dalam think experience yaitu. a. Surprise, merupakan dasar penting dalam memikat konsumen untuk berpikir kreatif. Suprise timbul sebagai akibat jika konsumen merasa mendapatkan sesuatu
melebihi dari apa yang diinginkan atau
diharapkan sehingga timbul satisfaction. b. Intrigu, merupakan pemikiran yang tergantung tingkat pengetahuan, hal yang menarik konsumen, atau pengalaman yang sebelumnya pernah dialami oleh masing-masing individu.
17
c. Rovocation, sifatnya menciptakan suatu kontroversi atau kejutan baik yang menyenangkan maupun yang kurang berkenan. (4) Tindakan (act). Merupakan teknik pemasaran untuk menciptakan pengalaman konsumen yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, pola perilaku, dan gaya hidup jangka panjang serta pengalaman yang terjadi dari interaksi dengan orang lain. Dimana gaya hidup sendiri merupakan pola perilaku individu dalam hidup yang direfleksikan dalam tindakan, minat dan pendapat. Act experience yang berupa gaya hidup dapat diterapkan dengan menggunakan trend yang sedang berlangsung atau mendorong terciptanya trend budaya baru. Tujuan dari act experience adalah untuk memberikan kesan terhadap pola perilaku dan gaya hidup, serta memperkaya pola interaksi sosial melalui strategi yang dilakukan. (5) Hubungan (relate). Relate experience merupakan gabungan dari keempat aspek experiential marketing yaitu sense, feel, think, dan act. Pada umumnya relate experience menunjukkan hubungan dengan orang lain, kelompok lain (misalnya pekerjaan, gaya hidup) atau komunitas sosial yang lebih luas dan abstrak (misalnya negara, masyarakat, budaya). Tujuan dari relate experience adalah menghubungkan konsumen tersebut dengan budaya dan lingkungan sosial yang dicerminkan oleh merek suatu produk.
18
2.1.3 Pembelian Ulang Pembelian ulang merupakan salah satu perilaku setelah pembelian yang sebelumnya didasari dengan kepuasan. Jika pelanggan merasa puas untuk selanjutnya dia akan memperlihatkan peluang membeli yang lebih tinggi dalam kesempatan berikutnya (Kotler,1997:176). Oliver (1993) mengatakan bahwa dalam banyak penelitian yang membahas mengenai kepuasan konsumen atau pelangan terlihat adanya hubungan yang positif antara kepuasan dan pembelian ulang, dimana apabila konsumen memperoleh kepuasan akan pelayanan dan jasa yang dikonsumsi maka akan cenderung untuk melakukan pembelian ulang. Menurut Swastha (2007:131) menyatakan bahwa pembelian ulang merupakan suatu sikap perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk/jasa secara berulang-ulang tanpa menyertakan aspek kesukaan di dalamnya, sehingga tercipta loyalitas konsumen yang merupakan suatu komitmen terhadap suatu merk atau produk tertentu, toko, pemasok atau perusahaan berdasarkan sikap positif yang tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Pembelian ulang menurut Swasta dan Irawan (2008:340), dipengaruhi oleh sikap orang lain, iklan (promosi), harga dan manfaat yang diharapkan. Sedangkan menurut Rismiati dan Suratno (2006:198) ada 3 (tiga) sifat seseorang melakukan tindakan pembelian ulang, yaitu: citra merek, atribut produk, efektifitas iklan. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur pola pembelian ulang konsumen yaitu (Shaw dan Reed, 1999:59).
19
1) Period-to-period repeat buying, yaitu jika suatu produk X paling tidak telah dibeli pada kuartal 1, maka akan terjadi pembelian ulang pada kuartal 2, 3, 4, dan seterusnya. Hal ini bisa dianalisis dalam periode yang berbeda, misalnya per hari, per minggu, pertahun, dan sebagainya. 2) Purchase-to-purchase
repeat
buying,
yaitu
pengukuran
yang
merefleksikan masalah yang luar biasa dalam sebuah analisis, karena ada konsumen yang melakukan pembelian dalam kategori berat, menengah, dan ringan, serta apa yang terjadi di pasar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pembelian ulang akan diukur dengan menggunakan period-to-period buying, dengan asumsi bahwa produk yang diamati merupakan produk yang rutin dikonsumsi oleh konsumen.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Kepuasan Pelanggan Experential Marketing menurut Schmitt (1999) dalam Amir Hamzah (2007:22) menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur – unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Dalam pendekatan experiential marketing produk dan layanan harus mampu membangkitkan sensasi dan pengalaman yang akan menjadi basis loyalitas pelanggan (Kartajaya, 2004:168). Penelitian yang dilakukan oleh Tetanoe (2014) menunjukan bahwa experiential marketing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan
20
pelanggan.Dimana kepuasan pelanggan dapat dipengaruhi oleh bagaimana suatu perusahaan tersebut dapat memberikan pengalaman berupa emotional benefit yang bisa dirasakan oleh pelanggannya ketika membeli produk/jasa yang dijual. Hasil penelitian serupa ditemukan oleh Citra (2015) yang menyatakan bahwa experiental marketing mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan secara parsial terhadap kepuasan pelanggan. Hasil penelitian Natasha (2013) dan Christian (2013) experiential marketing mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. H1 : Experiental marketing berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. 2.2.2 Pengaruh Kepuasan Pelanggan Terhadap Pembelian Ulang Menurut Guiltinan (1997:7) salah satu manfaat dari kepuasan konsumen adalah dapat menimbulkan pembelian ulang. Besarnya tingkat kepuasan konsumen akan berdampak pada meningkatnya perasaan loyal oleh konsumen dan mengakibatkan konsumen akan kembali ke tempat yang sama untuk melakukan pembelian ulang. Pelanggan akan merasa puas apabila harapannya terpenuhi atau akan sangat puas jika harapannya terlampaui. Hasil penelitian Tetanoe (2014) menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembelian ulang. Penelitian yang dilakukan oleh Benny (2007) mendapat hasil bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian ulang. Hasil serupa dikemukakan oleh Agustin (2011) bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap pembelian ulang.
21
H2 : Kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap pembelian ulang. 2.2.3 Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Pembelian Ulang Apabila produk/jasa tersebut mampu untuk menghadirkan pengalaman positif yang tak terlupakan (memorable experience) yang menyentuh sisi afeksi mereka, konsumen akan selalu mengingat produk/jasa tersebut ketika Apabila produk/jasa tersebut mampu untuk menghadirkan pengalaman positif yang tak terlupakan (memorable experience) yang menyentuh sisi afeksi mereka, konsumen akan selalu mengingat produk/jasa tersebut ketika akan mengkonsumsi produk yang sejenis (Balqiah, 2002). Konsumen akan menjadi fanatik dan secara sadar (atau tidak sadar) akan mengajak orang lain untuk mengkonsumsi produk tersebut. Hasil penelitian Valentino (2014) menunjukkan bahwa experiential marketing memiliki dampak yang signifikan terhadap pembelian ulang. Hal serupa terlihat dari hasil penelitian dari Hendarsono (2013) dan Tetanoe (2014) bahwa experiential marketing memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pembelian ulang. H3 : Experiential Marketing berpengaruh positif terhadap pembelian ulang. 2.2.4 Peran Kepuasan Pelanggan dalam Memediasi Experiential Marketing Terhadap Pembelian Ulang. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hellier et al (2002), dimana pembelian ulang merupakan keputusan konsumen untuk melakukan pembelian kembali suatu produk atau jasa berdasarkan apa yang telah dilakukan sebelumnya dari perusahaan yang sama. Perilaku setiap pembelian dapat menimbulkan sikap 22
puas atau tidak puas dari konsumen. Kepuasan konsumen dapat menjadi faktor penentu dalam melakukan pembelian ulang di waktu yang akan datang. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Farisya (2012) menunjukkan bahwa experiential marketing mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel pembelian ulang yang diperantarai oleh kepuasan pelanggan. Pengaplikasian experiential marketing dengan tepat dapat diperantarai oleh kepuasan konsumen agar memiliki pengaruh lebih besar untuk menarik minat konsumen untuk melakukan pembelian kembali. H4 : Kepuasan pelanggan secara simultan memediasi pengaruh Experiential marketing terhadap pembelian ulang. Berdasarkan hipotesis diatas maka desain penelitian dapat digambarkan sebagai berikut. Kepuasan Pelanggan (Y1)
Experiential Marketing (X)
Pembelian Ulang (Y2)
Gambar 2.1 : Kerangka Berpikir Sumber : Replikasi dari jurnal penelitian Tetanoe (2014)
23