BAB II TINJAUAN TEORI
2.1.
Perawat dan Keperawatan
2.1.1. Pengertian Menurut
Permenkes
HK.02.02/Menkes/148/1/2010,
bahwa
No. perawat
adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat yang mencakup siklus hidup manusia (Soemantri, 2006).
2.1.2. Peran dan Fungsi Perawat 2.1.2.1. Peran Perawat Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dan sistem, hal ini dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi
perawat
maupun
dari
luar
profesi
keperawatan yang bersifat menetap. Peran perawat menurut Hidayat (2004), terdiri dari : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan. Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan
dengan
menggunakan proses keperawatan. b. Peran sebagai advokat pasien. Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien
dan
keluarganya
dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi
pelayanan
atau
informasi
lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada
pasien.
Juga
dapat
berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya dan hak atas privasi. c. Peran sebagai pendidik. Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku
dari
pasien
setelah
dilakukan
pendidikan kesehatan. d. Peran sebagai koordinator. Peran
ini
mengarahkan,
dilaksanakan
dengan
merencanakan
serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim
kesehatan
sehingga
pemberian
pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien. e. Peran sebagai kolaborator. Peran
perawat
disini
dilakukan
karena
perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengindentifikasi
pelayanan
keperawatan
yang
diperlukan
termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. f.
Peran sebagai konsultan. Perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang
tepat
untuk
diberikan.
Peran
ini
dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi
tentang
tujuan
pelayanan
keperawatan yang diberikan. g. Peran sebagai pembaharu. Peran
ini
dapat
mengadakan perubahan
dilakukan
perencanaan, yang
sistematis
dengan
kerja
sama,
dan
terarah
sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. 2.1.2.2. Fungsi Perawat Fungsi
ialah
suatu
pekerjaan
yang
harus
dilaksanakan sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain. Ada tiga jenis fungsi perawat dalam melaksanakan perannya, yaitu : independen,
dependen dan interdependen. (Potter & Perry, 2005). 1. Independen Merupakan
fungsi
mandiri
dan
tidak
tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (KDM). 2. Dependen Merupakan
fungsi
perawat
dalam
melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. 3. Interdependen Fungsi perawat ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan
kerjasama
tim
dalam
pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun profesi lainnya (Potter & Perry, 2005). 2.2.
Pendidikan Keperawatan a. Definisi Pendidikan Menurut
UU
No.
20
Tahun
2003
tentang
SISDIKNAS, yakni : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. b. Pengertian Keperawatan Keperawatan
adalah
suatu
bentuk
pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiospiritual
yang
komprehensif,
ditujukan
kepada
individu, keluarga kelompok dan masyarakat, baik
sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. c. Pengertian Pendidikan Dalam Keperawatan Pendidikan
dalam
keperawatan
adalah
proses
pendidikan yang diselenggarakan di Perguruan Tinggi untuk menghasilkan berbagai lulusan Ahli Madya Keperawatan, Ners, Magister Keperawatan, Ners Spesialis, dan Doktor Keperawatan (PPNI, AIPNI, AIPDiKI, 2012). 2.3.
Peran Pendidikan Keperawatan dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Keberadaan ditujukan
untuk
terhadap
pelayanan
Permasalahan
pendidikan
memenuhi
yang
keperawatan
kebutuhan
kesehatan ada
tinggi
yang
adalah
masyarakat berkualitas.
distribusi
dan
pendayagunaan tenaga kesehatan /lulusan pendidikan tinggi belum tertata dengan baik. Hal ini mengakibatkan belum meratanya jangkauan pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh para lulusan pendidikan tinggi. Lulusan dari berbagai jenjang pendidikan ini perlu diatur pendayagunaannya secara baik berdasarkan asas keadilan dan pemerataan keterjangkauan. Masalah kesehatan
yang
semakin
kompleks
menyebabkan
semakin tingginya kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh para perawat untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini pula yang mendasari perlu peningkatan jenjang pendidikan spesialis dan program pendidikan doktor keperawatan
untuk
mengembangkan
IPTEKS
Keperawatan melalui pengembangan penelitian. Penyelenggaraan khususnya
pada
Pendidikan
pembelajaran
Keperawatan
klinik
merupakan
serangkaian kegiatan yang mewujudkan interaksi antara pembimbing
klinik,
mentor/preceptor
dengan
mahasiswa, dalam melakukan pelayanan keperawatan berdasarkan standar prosedur operasional berkontribusi untuk peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan pelayanan kesehatan melalui praktik terbaiknya (PPNI, AIPNI, AIPDiKI, 2012). 2.4.
Fasilitas Pengertian fasilitas adalah segala sesuatu benda fisik yang dapat tervisualisasi oleh mata maupun teraba oleh panca-indera dan dengan mudah dapat dikenali oleh pasien dan (umumnya) merupakan bagian dari suatu bangunan gedung ataupun bangunan gedung itu sendiri (Permenkes RI, 2010).
Fasilitas
menjadi salah satu pertimbangan
konsumen dalam menentukan pilihan. Pada tingkat harga yang hampir sama, semakin lengkap fasilitas yang disediakan pihak rumah sakit, maka akan semakin puas pelanggan dan ia akan terus memilih perusahaan tersebut sebagi pilihan prioritas berdasarkan persepsi yang ia peroleh terhadap fasilitas yang tersedia. Persepsi yang diperoleh dari interaksi pelanggan dengan fasilitas berpengaruh terhadap kualitas jasa tersebut di mata pelanggan (Tjiptono, 2006). Fasilitas merupakan sarana penunjang yang digunakan perusahaan atau instansi tertentu dalam usaha
untuk
meningkatkan
kepuasan
pelanggan.
Semakin baik fasilitas yang diberikan kepada konsumen, maka akan semakin meningkatkan kepuasan konsumen. Kotler (2001) menyatakan bahwa salah satu upaya yang dilakukan
manajemen
perusahaan
terutama
yang
berhubungan langsung dengan kepuasan penerima atau pemberi layanan
yaitu dengan memberikan fasilitas
sebaik-baiknya demi menarik dan mempertahankan klien. Fasilitas merupakan sarana maupun prasarana yang penting dalam usaha meningkatkan kepuasan seperti memberi kemudahan, memenuhi kebutuhan dan
kenyamanan bagi pengguna jasa. Apabila fasilitas yang disediakan sesuai dengan kebutuhan, maka konsumen akan merasa terpenuhi. 2.5.
Apendiktomi
2.5.1.
Pengertian Apendiktomi Apendiktomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memotong jaringan appendiks yang mengalami peradangan. Apendiktomi dilakukan sesegera
mungkin
untuk
menurunkan
risiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, 2001). 2.5.2.
Komplikasi Apendiktomi Komplikasi yang terjadi pada pasien post apendiktomi menurut Mansjoer, (2000) : Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan,
tetapi
peyakit
ini
mempunyai
kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, maka observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum, terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi.
Sedangkan
tindakan
lain
sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT (Naso Gastric Tube), puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada. Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin,
gentamisin,
metronidazol,
atau
klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan
fruktuasi
positif
juga
perlu
dibuatkan
drainase. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan. 2.5.3.
Intervensi Post Apendiktomi Pasien ditempatkan pada posisi semi fowler. Posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen, yang membantu mengurangi nyeri. Opioid, biasanya sulfat morfin, diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila pasien dapat mentoleransi. Pasien
yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan secara intravena. Makanan dapat diberikan sesuai keinginan pada hari pembedahan bila dapat ditoleransi (Brunner & Suddarth, 2002). 2.5.4.
Penutupan Luka Apendiktomi Insisi abdomen ditutup dalam lapisan dengan benang yang tak dapat diabsorbsi. Bila apendiks ganggrenosa atau perforasi dan ada kontaminasi hebat, maka jaringan subcutis dan kulit harus ditampon
ringan
dengan
kasa
pembalut
dan
dibiarkan terbuka. Setelah beberapa hari tampon dilepaskan dan jika jaringan granulasi sehat, maka tepi
kulit
Penutupan
didekatkan primer
dengan
tertunda
pita
kupu-kupu.
jarang
diperlukan.
Beberapa ahli bedah lebih suka meninggalkan kateter dengan beberapa lubang di dalam ruang subcutis dan menutup kulit. Pengisapan pada kateter menghilangkan ruang mati dan kumpulan cairan di dalam jaringan subcutis serta memberikan jalan untuk infus antibiotika ke daerah ini beberapa kali sehari selama 4-5 hari. Tanpa memandang metode penutupan luka yang digunakan dalam kasus supuratif, teknik bedah harus cermat dan harus hati-
hati untuk mencegah kontaminsi luka yang tak seharusnya (Sabiston, D.C.,1994). 2.6.
Standar Operasional Prosedur (SOP)
2.6.1.
Pengertian Menurut Potter & Perry (2005), Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Sedangkan
menurut
BAA
(Biro
Administrasi
Akademik) Sanata Dharma Yogyakarta, 2012 bahwa SOP pada dasarnya adalah pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di Rumah Sakit yang digunakan untuk memastikan bahwa
semua
keputusan
dan
tindakan
yang
dilakukan oleh perawat berjalan secara efisien dan efektif, konsisten, standar dan sistematis. SOP membantu mengurangi kesalahan dan pelayanan di bawah standar dengan memberikan langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam melaksanakan berbagai kegiatan.
2.6.2.
Tujuan dan Manfaat SOP Adapun tujuan dari penyusunan SOP sesuai PermenPAN no : PER/21/M.PAN/11/2008 tentang Pedoman
Penyusunan
Standar
Operasional
Prosedur Administrasi Pemerintah adalah : a. Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap–tiap posisi dalam organisasi. b. Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas atau pegawai terkait. c. Untuk
menghindari
kesalahan,
keraguan,
kegagalan duplikasi
atau dan
inefisiensi. d. Memberikan keterangan tentang dokumendokumen yang dibutuhkan dalam suatu proses kerja. e. Agar
petugas
atau
pegawai
menjaga
konsistensi dan tingkat kinerja petugas atau pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja. f.
Melindungi organisasi atau unit kerja dan petugas atau pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi lainnya.
Manfaat pembuatan SOP menurut PermenPAN no : PER/21/M.PAN/11/2008 diantaranya adalah :
a. Efisiensi
waktu,
karena
semua
proses
menjadi lebih cepat ketika pekerjaan itu sudah terstruktur secara sistematis dalam sebuah dokumen tertulis. Semua kegiatan sudah tercantum di dalam SOP sehingga perawat tahu apa yang harus dilakukan selama melakukan tindakan perawatan luka apendiktomi. b. Memudahkan diberikan
tahapan
kepada
pelayanan
masyarakat
yang
sebagai
konsumen dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan. c. Kesungguhan
perawat dalam memberikan
pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu
kerja
berlaku.
Ini
sesuai
ketentuan
merupakan
bagaimana
seorang
yang
standardisasi karyawan
menyelesaikan tugasnya. d. Dapat
digunakan
mengkomunikasikan
sebagai
sarana
untuk
pelaksanaan
suatu
e. Dapat digunakan sebagai sarana
acuan
pekerjaan.
dalam melakukan penilaian terhadap proses
pelayanan perawatan luka apendiktomi. Jika perawat bertindak tidak sesuai dengan SOP berarti dia memiliki nilai kurang dalam melakukan pelayanan. f.
Dapat
digunakan
sebagai
sarana
mengendalikan dan mengantisipasi apabila terdapat suatu perubahan sistem. g. Dapat
digunakan
sebagai
daftar
yang
digunakan secara berkala oleh pengawas ketika diadakan audit. SOP yang valid akan mengurangi beban kerja. Bersamaan dengan itu dapat juga meningkatkan comparability, credibility dan defensibility. h. Membantu perawat menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung pada intervensi manajemen, sehingga
akan
mengurangi
keterlibatan
pimpinan dalam pelaksanaan proses seharihari. i.
Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang
mungkin
perawat
dalam
dilakukan
oleh
seorang
melaksanakan
tindakan
perawatan luka post apendiktomi. 2.6.3.
Prinsip SOP
2.6.3.1.
Prinsip Penyusunan SOP menurut PermenPAN no : PER/21/M.PAN/11/2008 :
a. Penyusunan SOP harus mengacu pada SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja), TUPOKSI (Tugas, Pokok dan Fungsi), serta alur dokumen. b. Prosedur kerja menjadi tanggung jawab semua anggota organisasi. c. Fungsi dan aktivitas dikendalikan oleh prosedur, sehingga perlu dikembangkan diagram alur dari kegiatan organisasi. d. SOP didasarkan atas kebijakan yang berlaku. e. SOP
dikoordinasikan
kemungkinan
untuk
terjadinya
mengurangi kesalahan/
penyimpangan. f.
SOP dibuat sesederhana mungkin.
g. SOP tidak tumpang tindih, bertentangan atau duplikasi dengan prosedur lain. h. SOP
ditinjau
ulang
secara
periodik
dan
dikembangkan sesuai kebutuhan. 2.6.3.2.
Prinsip Pelaksanaan SOP sesuai PermenPAN no : PER/21/M.PAN/11/2008 : Pelaksanaan SOP harus memenuhi prinsip sebagai berikut :
1) Konsisten. SOP harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapa pun dan dalam kondisi apa pun oleh seluruh pejabat
dan
Inspektorat
pelaksana
di
Jenderal
lingkungan Departemen
Kesehatan. 2) Komitmen. SOP harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dari seluruh jajaran organisasi, dari level yang paling rendah sampai yang tertinggi. 3) Perbaikan berkelanjutan. Pelaksanaan SOP harus
terbuka
terhadap
penyempurnaan
untuk
segala
memperoleh
prosedur yang benar-benar efisien dan efektif. 4) Mengikat. SOP harus mengikat pelaksana dalam dengan
melaksanakan prosedur
tugasnya
standar
sesuai
yang
telah
ditetapkan. 5) Seluruh
unsur
memiliki
peran
penting.
Seluruh perawat berperan dalam setiap prosedur
yang
distandarkan.
Jika
ada
perawat yang tidak melaksanakan perannya
dengan baik, maka akan mengganggu keseluruhan proses, yang akhirnya juga berdampak pada proses pencapaian tujuan instansi kesehatan. 6) Didokumentasikan
dengan
baik.
Seluruh
prosedur yang telah distandarkan harus didokumentasikan dengan baik, sehingga dapat selalu dijadikan referensi. 2.6.3.3.
SOP Pelayanan Profesi : dalam hal ini terdapat dua
kelompok
sesuai
PermenPAN
no
:
PER/21/M.PAN/11/2008 : a. SOP untuk aspek keilmuan adalah SOP mengenai proses kerja untuk diagnostik dan terapi, meliputi : Pelayanan medis, meliputi : Komite medik /
SMF,
Rawat
Inap,
Rawat
Jalan,
Pelayanan Gawat Darurat, ICCU/ICU, Kamar Bedah dan sebagainya. Contoh : SOP untuk perawatan luka bedah. Pelayanan Laboratorium, Medis,
penunjang,
meliputi :
Radiologi,
Rehabilitasi
Farmasi,
dan
sebagainya.
Contoh :
SOP
Pemeriksaan
(teknis)
Laboratorium. Pelayanan
keperawatan.
Contoh :
SOP/Standar Asuhan Keperawatan, SOP Persiapan Operasi Pasien. b. SOP untuk aspek manajerial adalah SOP mengenai proses kerja yang menunjang SOP keilmuan
dan
pelayanan
pasien
non-
keilmuan. Contoh : Prosedur Dokter Jaga Ruangan, Prosedur Konsultasi Medis 2.6.3.4.
SOP Merupakan Produk Hukum Menurut Wakhinuddin (2006), SOP harus diyakini
sebagai
persetujuan
yang
dibuat
lembaga pemerintahan dalam aturan, surat keputusan, memo yang secara juridis sah. Dengan kata lain suatu SOP yang hendak dipakai harus terlebih dulu dibuat SK-nya. Ini penting, karena SOP merupakan suatu produk hukum, atau paling tidak merupakan petunjuk teknis
dalam
internal
lembaga
tersebut.
Pengingkaran terhadap SOP dapat merupakan pelanggaran hukum dan dapat dituntut secara
hukum,
untuk
menilai
mengidentifikasi
pengingkaran
pelaksanaan
SOP
perlu dan
pembuktiannya. Dalam pelaksanaan perawatan luka post apendiktomi apabila perawat pelaksana tidak mencuci tangan sebelum perawatan luka merupakan pelanggaran prosedur karena dapat mengakibatkan
resiko
infeksi
luka
operasi
terhadap pasien yang ditangani oleh perawat tersebut. 2.7.
Mengganti Balutan Steril atau Bersih Prosedur teknik pembalutan aseptic menurut Aziz Alimul (2006), adalah : a. Mendapatkan persetujuan tindakan dari pasien dan menjelaskan perlunya pembalutan ulang terhadap luka. b. Menyiapkan
alat
di
atas
troli
balutan
bersih/permukaan/meja bersih: -
Menyiapkan sarung tangan steril.
-
Apron.
-
Larutan NaCl 0,9%.
-
Set balutan steril dengan kantong sekali pakai dan balutan yang sesuai.
-
Plester dan gunting bila perlu.
c. Memposisikan pasien dengan tepat, memperhatikan privasi dan martabatnya. d. Memakai apron dan cuci tangan, sementara asisten membuka lapiran luar set balutan. e. Membuka pembungkus bagian dalam dengan hanya menyentuh
tepi
kertas;
asisten
menyorongkan
sarung tangan steril di atas bidang steril. f.
Melonggarkan balutan lama yang sudah ada, meletakkan kantong sekali pakai di atas tangan dan melepas balutannya.
g. Membalikkan berada
di
kantong dalamnya,
sehingga kemudian
balutan
bekas
menggantung
kantong tersebut di bagian samping troli sebagai tempat sampah. h. Melakukan penggosokan tangan dan memakai sarung tangan. i.
Mengkaji luka; bila diperlukan pembersihan, asisten menuangkan larutan NaCl 0,9% ke dalam mangkok.
j.
Membersihkan luka dengan busa atau kain kasa dengan
tangan
yang
bersarung
tangan,
memindahkan apusan dari tangan “bersih” ke tangan “kotor”.
k. Melakukan apusan dengan tangan ‘kotor’, satu kapas untuk satu kali apusan, dari dalam ke luar. l.
Membuang kapas bekas apusan.
m. Mengulangi sesuai kebutuhan. n. Mengeringkan kulit di sekelilingnya. o. Memasang dan mengencangkan balutan. p. Membuang peralatan bekas dengan benar. q. Membuat pasien senyaman mungkin; mendiskusikan hasil dan perawatan selanjutnya. r.
Mengembalikan troli ke area yang bersih, cuci jika perlu.
s. Mencuci tangan. t.
Mendokumentasikan
hasilnya
dan
melakukan
tindakan yang sesuai. 2.8.
Pelaksanaan Perawatan Luka pada Pasien Post Apendiktomi Apabila apendiktomi tidak mengalami komplikasi, pasien dapat dipulangkan pada hari itu juga, bila suhu dalam batas normal dan area operatif terasa nyaman. Pengangkatan jahitan akan dilakukan antara hari kelima dan ketujuh post apendiktomi. Oleh karenanya pasien diinstruksikan untuk membuat janji menemui ahli bedah yang
akan
mengangkat
jahitan.
Aktivitas
normal
biasanya dapat dilakukan dalam 2 sampai 4 minggu. Apabila terdapat kemungkinan peritonitis, drain dibiarkan di
tempat
komplikasi
insisi.
Pasien
dipertahankan
yang di
berisiko
rumah
terhadap
sakit
selama
beberapa hari dan dipantau dengan ketat terhadap adanya tanda-tanda obstruksi usus atau hemoragi sekunder. Abses sekunder dapat terbentuk di pelvis, di bawah diagfragma, atau di hati yang menyebabkan peningkatan suhu dan frekuensi nadi, serta peningkatan pada jumlah leukosit (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Sabiston (1994), perawatan minimum diperlukan setelah apendiktomi bagi apendisitis akut sederhana. Kebanyakan pasien cepat pulih dan siap dipulangkan dari rumah sakit pada hari ketiga atau keempat post apendiktomi. Sebaliknya pasien-pasien apendisitis supurativa dan berkomplikasi memerlukan perawatan intensive sampai sepsis, ileus paralitik dan masalah lain telah mereda. Antibiotika yang dimulai prabedah dalam kasus berkomplikasi diteruskan 3 sampai 10 hari setelah operasi dengan lama terapi disesuaikan
dengan
besar
infeksi
intra-abdomen.
Komplikasi post apendiktomi berkembang dalam sekitar 5 persen kasus tak berkomplikasi dan dalam 20 sampai
30 persen kasus berkomplikasi. Kekuatiran utama adalah infeksi luka, abses intraperitoneum (pelvis subfrenikus dan subhepatikus) serta jarang fistula fekal, pileflebitis dan abses hati. Tomografi komputerasasi atau ultrasonografi secara tepat melokalisasi banyak abses dan
tindakan
manapun
dapat
digunakan
untuk
membimbing drainase perkutis. Bila pendekatan ini tak berhasil atau tak cepat, maka diindikasikan drainase bedah segera.