BAB II TINJAUAN TEORI
A. Partai Politik 1. Pengertian Partai Politik Berdasarkan teori yang telah banyak diterima secara luas, Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 116) menyebutkan bahwa infrastruktur politik terdiri atas komponen-komponen: 1. 2. 3. 4. 5.
Partai politik (Political Party), Kelompok kepentingan (Interest group), Kelompok penekan (Pressure group), Media komunikasi politik (Political communication media), Tokoh politik (Political figure),
Jadi, partai politik (parpol) merupakan salah satu bagian dari sistem politik yang ada dalam suatu negara. Parpol merupakan salah satu infrastruktur politik, yaitu struktur politik kemasyarakatan yang memiliki peran cukup penting dalam arah kebijakan politik. Partai politik maupun infrastruktur politik yang lain sama-sama memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Tetapi ada pembeda yang membedakan partai politik dengan infrastruktur politik yang lain. Salah satunya adalah partai politik merupakan organisasi resmi yang bisa menjadi peserta dalam pemilihan umum. Banyak batasan atau definisi yang diberikan oleh para ahli terhadap partai politik. Carl J Friedrich (Budiardjo, 1993 : 161) mendefinisikan parpol sebagai : Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut dan mempertahankan pengawasan terhadap pemerintahan bagi
13
pimpinan partainya dan berdasarkan pengawasan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material
Definisi tersebut menekankan bahwa tujuan dari partai politik adalah merebut dan mempertahankan fungsi pengawasan terhadap pemerintahan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menempatkan orang-orangnya dalam parlemen yang terlebih dahulu harus berusaha memenangkan pemilihan umum. Definisi tersebut sejalan dengan pendapat dari Roger H. Soltau (Budiardjo, 1993 : 161), yang mengatakan bahwa Partai politik terdiri dari sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Dalam perkembangan studinya, definisi konsep partai politik mengalami perubahan dalam setiap jaman, sehingga tidak ada definisi tunggal yang bisa diterima secara universal di seluruh dunia tentang konsep partai politik. Tetapi secara prinsipil, menurut Joseph Schumpeter (Faturohman dan Sobari, 2004 : 113), definisi partai politik memiliki kesamaan dalam hal tujuan umum (general aim), yaitu, “ The first and foremost aim of each political party is to prevail over the others in order to get into power or to stay in it”. Jadi, menurutnya dalam setiap definisi partai politik akan mengandung kekuasaan sebagai tujuan umum pada setiap partai politik di manapun. Beberapa definisi tentang partai politik dari para ahli, ternyata memperkuat gagasan dari Joseph Schumpter. Mari kita lihat beberapa contoh definisi yang memperkuat pendapat tersebut. •
Sigmund Neumann (Budiardjo, 1993 : 162)
14
Partai poitik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. •
Leon D. Epstein (Faturohman dan Sobari, 2004 : 113) Setiap kelompok-kelompok, meskipun terorganisasi secara sederhana, yang bertujuan untuk mendapatkan jabatan publik dalam pemerintahan, dengan identitas-identitas tertentu. Neumann dan Epstein memberikan definisi tentang partai politik
menggunakan redaksi yang berbeda. Tetapi dari dua definisi yang berlainan tersebut dapat kita ambil pokok persamaannya, yaitu partai politik merupakan organisasi atau kelompok manusia yang memiliki tujuan merebut kekuasaan. Sedangkan Austin Raney (Faturohman dan Sobari, 2004 : 113) membuat karakteristik-karakteristik fundamental yang setidaknya dimiliki oleh organisasi partai politik, yaitu : 1. They are groups of people ─ whom labels, are generally applied by both themselves and others (Berwujud kelompok-kelompok masyarakat yang beridentitas) 2. Some of people are organized, ─ that is, they deliberately act together to achieve party goals (Terdiri dari beberapa orang yang terorganisasi, yang dengan sengaja bertindak bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan partai) 3. The larger society recognizes as legitimate the right of parties to organize and promote their causes (Masyarakat mengakui partai politik memiliki legitimasi berupa hak-hak untuk mengorganisasikan dan mengembangkan diri mereka) 4. In some of their goal ─ promoting activities, parties work through the mechanisms of representatif government (Beberapa tujuannya diantaranya, mengembnagkan aktivitas- aktivitas, partai bekerja melalui mekanisme “pemerintahan yang mencerminkan pilihan rakyat”. 5. A key activity of parties is thus selecting candidates for elective publik office (Aktivitas inti partai politik adalah menyeleksi kandidat untuk jabatan publik.
15
Deden Faturohman dan Wawan Sobari sendiri menilai bahwa lima kriteria dari Raney tersebut bukan menjadi satu-satunya indikator untuk menilai apakah suatu organisasi dikatakan sebagai partai politik atau bukan. Karena menurut mereka partai politik dalam konteks yang dimaksud Raney berada dalam satu iklim implementasi ideologi yang mengakui kekuatan rakyat, artinya rezim yang berkuasa adalah rezim yang demokratis. Sementara, tidak semua negara memiliki ideologi dan sistem pemerintahan yang sama. Dalam konteks partai politik di Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 menyebut partai politik sebagai suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada pasal 1 tentang ketentuan umum yang menyebutkan partai politik sebagai … organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Tujuan dan Fungsi Partai Politik Tujuan dari partai politik di Indonesia tercantum dalam undang-undang. Pengaturan tujuan ini adalah supaya partai politik di Indonesia yang berjumlah sangat banyak itu bisa berdiri dan bergerak ke arah yang sama ─ yaitu mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur ─ walaupun dibungkus dengan ideologi dan flatform yang berbeda. Tujuan dari partai politik di Indonesia, dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 dibagi menjadi tujuan khusus dan tujuan umum yang tercantum dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), yaitu:
16
(1) Tujuan umum partai politik adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus partai politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sedangkan fungsi partai politik berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh partai politik, dan dampaknya terhadap sistem politik. Setiap aktivitas partai politik, terutama partai mayoritas, akan mengalami dampak terhadap struktur dan fungsi pemerintahan secara proses politik di dalamnya. Sehingga wajar apabila sarjana-sarjana ilmu politik menaruh perhatian cukup besar terhadap partai politik, terutama di negara-negara demokratis, dan negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi. Keberadaan Partai politik di Indonesia salah satunya diatur oleh UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik. Undang-undang tersebut mengatur tentang fungsi dari parpol di Indonesia yang tertuang dalam pasal 11, yaitu : Pasal 11 (1) Partai politik berfungsi sebagai sarana : a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
17
b. penciptaan ikim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik Warga Negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Sudah banyak ahli yang memberikan pendapatnya perihal fungsi partai politik. Umumnya pendapat mereka saling menguatkan dan melengkapi. Untuk memudahkan pembahasan mengenai fungsi partai politik, lebih baik kita lihat pendapat-pendapat dari beberapa ahli. •
Menurut Macridis (Cecep Darmawan, 2008 : 68) a. b. c. d. e. f. g. h.
•
Menurut Maurice Duverger (Teuku May Rudi, 1992 : 66) a. b. c. d. e. f.
•
Pendidikan politik Seleksi Politik Penghimpun (kegiatan) politik Saluran pernyataan kepentingan Pengawasan/pengendalian konflik Komunikasi politik
Menurut Miriam Budiardjo (1993 : 163-164) a. b. c. d.
•
Representatif atau perwakilan Konvensi dan agregasi Integrasi/partisipasi, sosialisasi, atau mobilisasi Persuasi Represi Rekrutmen Perumusan kebijakan Kontrol terhadap pemerintah
Sebagai sarana komunikasi politik Sebagai sarana sosialisasi politik Sebagai sarana rekrutmen politik Sebagai sarana pengatur konflik
Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 116 – 121)
18
a. b. c. d. e. f. g.
Sosialisasi Politik Rekrutmen Politik Partisipasi Politik Pemandu Kepentingan Komunikasi Politik Pengendalian Konflik Kontrol Politik Dari beberapa pendapat ahli mengenai fungsi partai politik, terdapat
beberapa fungsi yang tampaknya selalu terkandung, baik secara eksplisit maupun implisit. Fungsi-fungsi tersebut adalah : a. Fungsi Rekrutmen Politik Fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik adalah bahwa partai politik berperan dalam mempersiapkan calon-calon pemimpin dalam sistem politik. Partai politik harus mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (Budiardjo, 1993 : 164). Cecep Darmawan (2003 : 230) menyebutkan bahwa “partai politik berfungsi sebagai rekrutmen politik artinya mempersiapkan anggota masyarakat untuk menduduki jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan”. Parpol memiliki peran strategis dalam pengisian jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan. Parpol merekrut anggota masyarakat yang dianggap berbakat untuk menjadi kadernya, kemudian parpol mempersiapkan kadernya untuk menempati jabatanjabatan kepemimpinan dalam suprastruktur politik.
b. Fungsi Pendidikan Politik
19
Partai politik, terutama dalam negara berkembang ─ yang masih membutuhkan pembentukan karakter warga negara yang kuat, memiliki amanat yang cukup berat. Mereka dituntut untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang melek politik (political literacy). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 memberikan amanat kepada partai politik di Indonesia untuk menjalankan fungsi pendidikan politik. Dalam UU tersebut pendidikan politik yang dimaksud adalah “… proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Partai politik diharapkan mampu untuk memberikan suatu pendidikan kepada masyarakat dengan cara-cara yang sesuai dengan kebijakan internal masing-masing supaya masyarakat sadar akan hak-hak yang bisa ia terima dan kewajiban yang harus ia laksanakan yang nantinya akan membentuk warga negara yang bertanggungjawab. c. Fungsi Sosialisasi Politik Sosialisai politik menurut Miriam Budiardjo (1993 : 163) adalah “proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada”. Jadi sosialisasi politik menurutnya adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik seseorang. Proses sosialisasi politik ini berlangsung secara terus menerus seumur hidup yang bisa diperoleh secara sengaja, seperti melalui pendidikan formal,
20
nonformal, dan informal, atau juga secara tidak sengaja seperti pengalaman hidup sehari-hari (Ramlan Surbakti, 1992 : 117). Dalam usaha memenangkan pemilu, tentunya partai politik memerlukan dukungan masyarakat. Untuk itu parpol harus berusaha menciptakan “image” bahwa mereka adalah partai politik yang layak dipilih masyarakat. Untuk itu parpol harus menyosialisasikan pesan politik mereka kepada mayarakat. Berdasarkan segi penyampaian pesan, sosialisai politik menurut Ramlan Surbakti (1992 : 117) dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Dalam pendidikan politik parpol berusaha menyampaikan pesan-pesan ─ entah itu berupa simbol, program, visi misi atau yang lainnya ─ terbaiknya dalam berbagai kegiatan yang diharapkan mampu dinilai sendiri dengan penuh kesadaran oleh masyarakat. Sedangkan indoktrinasi politik dilakukan ketika partai politik melakukan mobilisasi
dan memanipulasi
masyarakat untuk memilih mereka. d. Fungsi Komunikasi Politik Fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik menurut Miriam Budiardjo (1992 : 163) adalah proses penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat, yang sebelumnya sudah melewati proses agregasi dan perumusan kepentingan, kepada pemerintah. Selain itu partai politik pun berperan untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Pendapat itu senada dengan pendapat Kantaprawira (Muhtadi, 2008 : 10) yang menilai bahwa “Komunikasi politik berguna untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut,
21
asosiasi,
ataupun
sektor
kehidupan
politik
masyarakat
dengan
sektor
pemerintahan”. Partai politik dalam hal penyampaian pendapat masyarakat kepada pemerintah harus terlebih dahulu menyerap berbagai kepentingan masyarakat dan selanjutnya dituangkan menjadi ide-ide, visi dan kebijakan. Kemudian disampaikan kepada pemerintah dengan harapan ide, visi dan kebijakan tersebut dapat mempengaruhi atau bahkan dapat menjadi kebijakan kenegaraan (Rully Chairul Azwar, 2007). Selain berperan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, partai politik pun berkewajiban menyampaikan kebijakan-kebijakan ataupun program-program pemerintah kepada masyarakat. Untuk menjalankan fungsi ini, Ramlan Surbakti (1992 : 120) berpendapat Partai politik tidak menyampaikan begitu saja segala informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Jadi, segala kebijakan pemerintah yang biasanya diungkapkan dalam bahasa teknis yang rumit harus dikemas ke dalam bahasa yang sederhana yang mampu dicerna dengan mudah oleh masyarakat, terutama lapisan bawah. e. Fungsi Pengatur Konflik Dalam kehidupan tidak bisa dielakaan terjadinya sebuah konflik. Konflik disebabkan oleh keberagaman pandangan dari setiap individu manusia atau kelompok. Dalam negara demokrasi setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya yang mungkin antara satu dengan yang lainnya saling berbeda atau bertolak belakang.
22
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan aspirasi dan permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik. Oleh kerena itu dibutuhkan kesediaan berkompromi di antara para wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik (Ramlan Surbakti, 1992 : 120). 3. Partai Politik pada Pemilu 2009 Pada 7 Juli 2008, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009. 18 di antara 34 partai politik nasional yang diumumkan adalah partai politik baru yang pertama kalinya mengikuti pemilu. Tetapi berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta No. 104/VI/2008/PTUN.JKT yang mengabulkan gugatan 4 partai politik peserta Pemilu 2004 untuk menjadi peserta Pemilu 2009, KPU menetapkan partai-partai politik tersebut sebagai peserta Pemilu 2009 sehingga jumlah partai politik yang mengikuti menjadi peserta Pemilu 2009 berjumlah 38 partai. Berikut nama 38 partai politik nasional peserta Pemilu Legislatif 2009 beserta nomor urutnya. Tabel 1 Partai Politik yang akan menjadi peserta pada pemilu 2009
No urut 1 2 3 4
Nama Partai Politik Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
23
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 41 42 43 44
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Barisan Nasional (Barnas) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB) Partai Kedaulatan Partai Persatuan Daerah (PPD) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Pemuda Indonesia (PPI) Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Partai Karya Perjuangan (PKP) Partai Matahari Bangsa (PMB) Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Partai Republika Nusantara (Republikan) Partai Pelopor Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Damai Sejahtera (PDS) Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia Partai Bulan Bintang (PBB) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Bintang Reformasi (PBR) Partai Patriot Partai Demokrat (PD) Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) Partai Indonesia Sejahtera (PIS) Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Partai Merdeka Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Partai Serikat Indonesia Partai Buruh
Sumber : KPU
KPU juga mengumumkan enam partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak mengikuti Pemilu Anggota DPR untuk Daerah Pemilihan Aceh dan Pemilu Anggota DPRD di Provinsi NAD.
24
B. Pemilihan Umum 1. Pengertian Pemilu Dalam suatu negara demokrasi rakyat memegang kekuasaan tertinggi, artinya kedaulatan dalam negara berada di tangan rakyat. Demokrasi yang dipraktekan di semua negara yang mengaku negara demokratis sudah dapat dipastikan berupa demokrasi perwakilan, bukan lagi demokrasi langsung yang pernah dipraktekan pada Negara Yunani Kuno dahulu. Konsekwensi dari sistem demokrasi perwakilan adalah harus diadakannya pemilihan umum (pemilu) yang ditujukan untuk memilih para wakil rakyat. Pemilihan umum adalah suatu keharusan dalam kehidupan negara demokrasi karena pemilu merupakan pengejawantahan sistem demokrasi. Oleh karena itu hampir sebagian besar negara di dunia ini menjalankan pemilu. Hal ini dikarenakan “hampir tidak ada sistem politik yang bersedia menerima cap tidak demokratis, maka tak ada sistem politik yang tidak menjalankan pemilu, kecuali sejumlah kecil saja …” (Eef Saefulloh Fatah, 2000 : 116). Melalui pemilu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan struktur pemerintahan. Dalam berbagai negara, peranan pemilu bisa beragam, tetapi tujuannya tetap satu yaitu memilih wakil rakyat. Pemilu bisa digunakan hanya untuk memilih anggota parlemen saja, tetapi pada beberapa negara, pemilu ditujukan juga untuk memilih para pejabat tinggi negara (Teuku May Rudi, 2007 : 87). Dari berbagai praktek pemilu yang telah ada, Eef Saefulloh Fatah (2000 : 117) membagi pemilu menjadi dua tipe, yaitu pemilu sebagai formalitas belaka
25
dan pemilu sebagai alat demokrasi. Pemilu yang hanya dijadikan formalitas politik adalah pemilu yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis ─ yang biasanya penuh dengan intervensi dan manipulasi, ia hanya dijadikan suatu formalitas politik yang sebenarnya bertujuan untuk melanggengkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Hasil dari pemilu ini biasanya sudah dapat diketahui sebelum pemilu tersebut berlangsung. Sedangkan pemilu sebagai alat demokrasi adalah sebuah pemilu yang dijalankan secara jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Adanya praktek pemilu yang hanya merupakan formalitas politik belaka menjadi suatu indikasi bahwa adanya pemilu tidak berarti suatu negara sudah melaksanakan demokrasi. Karena pemilu yang dikehendaki demokrasi adalah pemilu yang jujur, bersih, bebas, kompetitif dan adil. Kalau pemilu hanya sebagai formalitas, maka suatu negara tersebut dikatakan belum menjalankan demokrasi secara penuh. Jadi “ada tidaknya pemilu, adalah benar sebagai indikator kedemokrasian sebuah negara, tetapi kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh proses pemilunya” (Cecep Darmawan, 2003 : 231). Lebih jauh, Eef Saefulloh Fatah (2000 : 118-119) memberikan syarat bagi sebuah pemilu yang bisa dikatakan sebagai pemilu yang demokratis, yaitu : 1. Ada pengakuan terhadap hak pilih universal 2. Ada keleluasaan untuk membentuk “tempat penampungan” bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih 3. Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon wakil rakyat yang demokratis
26
4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan 5. Ada komite atau pemilihan yang independen 6. ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat 7. Netralitas birokrasi Dengan syarat-syarat tersebut pemilu boleh dikatakan sebagai pemilu yang demokratis karena pelaksanaan kedaulatan rakyat berjalan dengan alami tanpa adanya manipulasi yang mengakibatkan suara-suara rakyat yang memilih dalam pemilu menjadi suara yang tidak didasari kesadaran dan kematangan pilihan. 2. Sistem Pemilu Lijphart (Afan Gaffar, 1999 : 255) mengatakan bahwa dalam ilmu politik, sistem pemilihan umum diartikan sebagai satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Menurut Lijphart, sistem pemilihan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan, karena alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, sistem pemilihan membawa konsekwensi yang sangat besar terhadap proporsional hasil pemilihan juga terhadap sistem kepartaian, terutama yang menyangkut banyaknya partai dalam sistem kepartaian. Sistem pemilihan juga menentukan macam kabinet yang akan dibentuk. Apakah kabinet dibentuk atas dasar koalisi atau tidak? Demikian juga dengan akuntabilitas pemerintahan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sistem pemilihan menentukan derajat keutuhan dan kesatuan partai politik.
27
Kedua, sistem pemilihan merupakan dimensi yang paling mudah diutakatik dibandingkan dengan elemen lain dari demokrasi, yaitu apabila seseorang hendak mengubah wajah demokrasi dalam sebuah negara, misalnya dengan mengubah sistem pemilihan dari sistem perwakilan berimbang menjadi sistem distrik. Sistem pemilihan umum yang ada di dunia ini sangat beragam jenisnya, tetapi umumnya sistem-sistem pemilihan yang ada tersebut selalu berkutat kepada dua prinsip pokok, yaitu sistem single-member constituency atau dikenal dengan sebutan sistem distrik dan sistem multi-member constituency atau sistem perwakilan berimbang (proporsional). a. Sistem Single-Member Constituency atau Sistem Distrik Secara sederhana sistem distrik bisa diartikan sebagai pemilihan satu orang dalam setiap distrik. Dalam sistem ini setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam lembaga perwakilan. Untuk keperluan itu negara dibagi ke dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam lembaga perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam suatu distrik memperoleh suara terbanyak berhak memperoleh kursi di lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan suara yang ditujukan kepada calon lain dianggap hilang. Dalam hal ini tidak ada nomor urut berdasarkan tanda gambar parpol tertentu. Para calon dinilai secara perorangan oleh para pemilih pada masingmasing distrik. Tidak pula ada penjumlahan atau penggabungan nilai suara antara satu distrik dengan distrik yang lain.
28
Sistem distrik ini memiliki berbagai kelemahan jika dibandingkan dengan sistem lainnya. Miriam Budiardjo (1993 : 177 – 178) menilai bahwa kelemahan sistem ini yaitu : 1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. 2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongangolongan yang merasa dirugikan. Sedangkan Teuku May Rudy (2007 : 89 – 90) berpendapat bahwa kelemahan/kerugian sistem distrik ini adalah : 1. Calon yang terpilih kurang merasa terikat kepada kepentingan parpol yang mengajukannya sebagai calon, karena ia terpilih berdasarkan kemampuan pribadinya menarik simpati rakyat (walaupun faktor kredibilitas dan reputasi parpol ikut membantu keberhasilan calon tersebut) 2. Cara seperti ini kurang memberi kesempatan bagi para calon dan bagi parpol yang hanya didukung oleh kelompok minoritas. Kemungkinan tidak ada kursi bagi parpol kecil dan untuk mewakili kelompok minoritas, karena tidak ada penjumlahan suara baik secara nasional maupun daerah. Jumlah perolehan suara dihitung pada distrik yang bersangkutan
Dari pendapat Miriam Budiardjo dan Teuku May Rudy itu bisa kita lihat bahwa yang menjadi titik lemah dari sistem distrik adalah tidak terakomodirnya partai-partai kecil dengan calonnya. Suara partai kecil dianggap hilang begitu saja ketika sudah didapat calon dengan suara terbanyak pada suatu distrik. Sudah hampir dapat dipastikan partai kecil dengan calonnya tidak akan mendapatkan
29
kursi di parlemen, karena secara mesin politik, mereka belum atau tidak kuat untuk memperoleh suara terbanyak dalam suatu distrik. Di samping kelemahan-kelemahan yang ada, sistem distrik juga memiliki kelebihan/keunggulan. Mari kita lihat pendapat dari Miriam Budiardjo (1993 : 178) tentang kelemahan sistem ini. 1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting. 2. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika, sistem ini memperkuat berlangsungnya sistem dwi partai. 3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partaipartai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional. 4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan. Sistem distrik ini akan berdampak kepada terpilihnya orang-orang yang memang didukung oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu distrik. Hal ini tentu saja berdampak pula kepada ikatan emosional yang lebih antara calon terpilih dengan masyarakat distriknya. Calon yang terpilih sedikit banyak akan merasa bahwa peran dirinya dan masyarakat distrik setempatlah yang paling berjasa mengantarkan dirinya kepada kursi di parlemen.
30
b. Sistem Multi-Member Constituency atau Sistem Proporsional Sistem pemilu multi-member constituency atau sistem proporsional adalah sistem pemilu yang dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Hal utama dari sistem ini adalah jumlah kursi yang diperoleh suatu partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan sesuatu perimbangan, missal 1 : 500.000, yang berarti bahwa setiap 500.000 pemilih memiliki satu wakil dalam parlemen. Negara dianggap sebagai suatu daerah pemilihan besar, tetapi untuk kemudahan teknik-administratif dibagi ke dalam beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar daripada distrik dalam sistem distrik), dimana setiap daerah pemilihan (dapil) memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam dapil tersebut. Jumlah jatah wakil tiap dapil ditentukan oleh jumlah penduduknya dibagi yang dibagi oleh jumlah perimbangan (Miriam Budiardjo, 1993 : 177). Ada beberapa langkah yang perlu dipersiapkan dalam menyelenggarakan pemilu dengan sistem ini. Afan Gaffar (1999 : 259) menyebut beberapa langkah tersebut. Pertama, menentukan alokasi jumlah kursi pada suatu dapil. Penentuan jumlah jatah kursi ini dikenal dengan istilah “district magnitude”. Kedua, menentukan besarnya quota untuk dapat dipenuhi oleh sebuah partai politik guna mendapatkan satu kursi di DPR. Sistem ini terdiri dari berbagai macam variasi, diantaranya dengan sistem daftar tertutup (closed list system), sistem daftar terbuka (open list system), The single transferable vote dan The single nontransferable vote (Afan Gaffar, 1999 : 261-263). Tetapi sepertinya yang harus kita ketahui adalah dua sistem yang
31
pertama disebutkan, karena kedua sistem tersebut pernah dilaksanakan di Indonesia. Sistem pemilu dengan variasi daftar tertutup (closed list system) mengharuskan pemilih memilih tanda gambar partai politik saja, bukan calegnya. Dengan memilih tanda gambar parpol berarti pemilih hanya akan mempengaruhi jumlah jatah kursi yang diperoleh suatu parpol, sedangkan untuk penentuan caleg yang akan mendapat kursi ditentukan oleh parpol itu sendiri dengan sebelumnya membuat suatu daftar dan rangking calon. Dalam hal ini peranan pimpinan partai sangat dominan dalam proses rekrutmen. Pemilu dengan sistem inilah yang dipraktekan Indonesia pada tahun 1971 sampai 1997 (pada masa orde baru). Sistem pemilu dengan sistem daftar terbuka (open list system) berbeda dengan sistem daftar tertutup, dalam sistem ini pemilih bukan hanya memilih tanda gambar partai tetapi sekaligus calon yang dipilihnya. Jadi, dalam sistem ini pemilih juga turut serta dalam penentuan caleg mana yang akan mendapatkan jatah kursi. Sistem ini dipraktekan di Indonesia mulai Pemilu 1999, tetapi menurut pengamatan penulis dan juga pendapat dari para ahli bahwa sistem yang digunakan di Indonesia saat ini justru tidak beda jauh dengan sistem closed list system karena adanya sistem perangkingan. Seperti halnya sistem distrik, sistem proporsional pun memiliki berbagai kelemahan dan kelebihan. Miriam Budiardjo (1993 : 179) menyebutkan berbagai kelemahan dari sistem ini, yaitu : 1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partaipartai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacammacam golongan dalam masyarakat; mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong
32
untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai. 2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan oleh karena dianggap dalam pemilihan partai semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai. 3. Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih. Dikarenakan dimungkinkannya partai-partai kecil memperoleh kursi di parlemen, maka sistem proporsional ini akan mengakibatkan bermunculannya partai-partai. Hal ini mungkin saja bersifat positif, tetapi dampak negatifnya adalah dalam pemerintahan yang nantinya terbentuk umumnya selalu didasari oleh koalisi dari dua partai atau lebih yang mengakibatkan akan seringnya terjadi tarik menarik kepentingan di pemerintahan itu sendiri sehingga sulit membentuk pemerintahan yang stabil. Wakil rakyat yang dipilih melalui sistem ini pun akan merasa bahwa peran partai politik sangat dominan. Hal ini menyebabkan kadangkala mereka lebih loyal kepada partainya ketimbang mayarakat yang memilihnya. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Teuku May Rudy (2007 : 91) yang menyebutkan bahwa “keterikatan (komitmen) para calon lebih terarah kepada partainya dibanding kepada publik pemilih…” Sistem proporsional ini pun memiliki keunggulan, yaitu bersifat representatif, karena setiap suara diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang. Partaipartai, bagaimanapun kecilnya, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang heterogen sifatnya, umumnya lebih tertarik
33
kepada sistem ini karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing partai (Miriam Budiardjo, 1993 : 179-180).
C. Rekrutmen Politik 1. Pengertian Rekrutmen Politik Menurut Gabriel Almond (Lili Romli, 2005 ) proses rekrutmen merupakan kesempatan rakyat untuk menyeleksi kegiatan-kegiatan politik dalam jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, pendidikan dan latihan. Sedangkan rekrutmen politik menurut Lili Romli (2005) adalah “menunjukan pada pengisian posisi-posisi formal dan legal, serta peranan-peranan yang tidak formal”. Untuk posisi formal seperti jabatan presiden dan anggota dewan, sedangkan yang tidak formal adalah aktivis partai atau propaganda. Lebih jauh Ramlan Surbakti (1992 : 118) menjelaskan rekrutmen politik sebagai seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem-sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Menurutnya fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik yang demokratis. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan hidup sistem politik.
34
Afan Gaffar (1999 : 155) menambahkan bahwa Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam sebuah negara, agar sistem politik dapat memfungsikan dirinya dengan sebaikbaiknya, guna memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat Satu hal yang perlu mendapat sorotan dari pendapat tersebut adalah rekrutmen politik pada akhirnya harus mampu menciptakan suatu sistem politik yang dapat memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat dengan cara mengisi jabatan politik yang ada dalam sebuah negara. Untuk menghasilkan suatu sistem politik yang diharapkan tentunya orang-orang yang ada dalam sebuah lembaga infra maupun suprastruktur politiknya harus memiliki kualitas yang mumpuni. Oleh karena itu, berdasarkan definisi dari Afan Gaffar, apabila sebuah rekrutmen politik ingin disebut berhasil maka ia harus mampu melahirkan orang-orang yang memiliki kualitas untuk mengisi suatu jabatan agar bisa menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Oleh karena itu, menurut Afan Gaffar, untuk memilih orang yang betul-betul memiliki integritas pribadi yang baik, berakhlak mulia, sehingga menjadi pemimpin yang amanah tehadap jabatannya maka rekrutmen harus dijalankan dengan terbuka. Rush dan Althoff (2005 : 23) menyebut bahwa proses rekrutmen politik merupakan proses dua arah yang bisa bersifat formal maupun nonformal. Apabila seseorang direkrut dengan cara terbuka, melalui mekanisme institusional dengan cara seleksi atau pemilihan, maka rekrutmen tersebut bersifat formal. Tetapi apabila seseorang direkrut dengan tidak melalui cara yang institusional ─ seperti patronage atau atas dasar hubungan darah, daerah, kekerabatan, dan sebagainya ─ disebut rekrutmen yang nonformal. Peristiwa sedemikian ini juga mencakup
35
beberapa pertimbangan apakah mereka yang mengendalikan jabatan tadi bisa dengan tugas merupakan kelompok politik tertentu atau merupakan kelompok elit. Tujuan dari rekrutmen politik sebagaimana kita ambil dari definisi konseptual mengenai rekrutmen politik adalah untuk mengisi suatu jabatan kepemimpinan. Dalam pembahasannya dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Rush dan Althoff menguraikan bahwa jabatan yang dimaksud bisa jabatan politik, administratif atau jabatan hukum. Sedangkan menurut Ramlan Surbakti jabatan yang dimaksud adalah peranan-peranan dalam sistem politik secara umum dan pemerintahan (dalam arti yang luas) secara khusus. Jadi rekrutmen politik tidak hanya difokuskan mengisi jabatan politik saja, tetapi jabatan kekuasaan yang lainnya. Orang-orang yang direkrut untuk untuk jabatan-jabatan politik, menurut Gabriel Almond (1986 : 50), “cenderung berasal dari orang-orang yang memiliki latar belakang kelas menengah atau kelas atas, dan orang-orang kelas rendah yang berhasil memperoleh pendidikan”. Hal ini bisa dimaklum, karena untuk mengisi jabatan-jabatan polititik dan pemerintahan diperlukan kecakapan dan pengetahuan yang cukup, dan tentu saja ini akan sulit diperoleh lewat cara di luar pendidikan. Almond mengemukakan bukti-bukti yang memperkuat pendapatnya. Ia menunjukan bahwa dalam partai-partai kiri pun, jabatan-jabatan tingginya cenderung dipegang oleh seorang yang professional dan berpendidikan formal daripada oleh anggota kelas buruh. Negara-negara komunis yang berpegang pada ideologi revolusi kaum buruh pun tidak bisa mengindari hal ini. Begitu mereka
36
maju menuju industrialisme, mereka mungkin akan tergantung kepada teknisiteknisi yang terlatih dan cakap. Berdasarkan pendapat Almond, maka kesempatan orang yang memiliki latar belakang kelas bawah ataupun mereka yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal yang layak akan sangat sulit mendapat kesempatan dalam mengisi jabatan-jabatan politik atau pemerintahan. Tetapi itu tidak berarti kesempatan kelas bawah sesuatu hal yang mustahil, karena demokrasi seharusnya tidak memandang orang dari kelas mana, tetapi memandang orang dari kemampuannya. 2. Sistem Rekrutmen Politik Sistem rekrutmen politik yang ada di dunia ini sangatlah banyak. Rekrutmen
politik,
yang
merupakan
proses
pengisian
jabatan-jabatan
kepemimpinan, memiliki jenis yang beragam. Salah satu metode tertua yang dipergunakan untuk memperkokoh kedudukan pemimpin-pemimpin politik adalah dengan cara penyortiran atau penarikan undian. Metode ini digunakan oleh Yunani Kuno. Untuk mencegah dominasi jabatan dari posisi-posisi yang berkuasa oleh orang atau kelompok individu tertentu digunakan sistem giliran atau rotasi. Sistem giliran ini bertujuan untuk membatasi masa jabatan posisi berkuasa. Indonesia, seperti halnya beberapa negara lain di dunia, juga pada dasarnya menggunakan metode ini yaitu dengan membatasi masa jabatan presiden lewat konstitusi. Pasca amandemen UUD 1945.
37
Tidak selamanya pengisian jabatan kepemimpinan dilakukan dengan caracara yang halus. Rekrutmen politik pun bisa dilakukan dengan cara yang keras. Salah satunya adalah dengan cara perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan atau mengancam kekuasaan, entah itu lewat coup d’etat, revolusi, intervensi militer dari luar, atau pembunuhan atau kerusuhan rakyat. Hasil dari metode-metode itu adalah pergantian pemegang jabatan politik. Sistem rekrutmen yang lain adalah dengan cara patronage, yaitu suatu sistem yang tetap penting di banyak negara berkembang yang terdapat pada zaman dahulu. Sistem patronage menuntut orang-orang yang memiliki keinginan menduduki suatu jabatan memiliki patron/pelindung terlebih dahulu. Sistem ini merupakan “… sistem dimana kenaikan pangkat dapat dibeli oleh individuindividu yang mencari jabatan” (Rush dan Althoff, 2005 : 187). Pemimpin-pemimpin yang ada juga bisa melaksanakan proses rekrutmen politik. Mereka bisa merekrut orang-orang untuk menduduki jabatan yang masih kosong. Sistem perekrutan ini dinakaan “koopsi” (co-option). Althoff dan Rush (2005 : 187) mendefinisikan sistem koopsi sebagai “… pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada”. Sistem pengangkatan pun seringkali dipraktekan. Biasanya, sistem ini dilakukan untuk rekrutmen jabatan birokratis yang kewenangannya biasanya ada pada diri top leader dari hierarki jabatan tersebut, misal presiden. Tetapi dalam sejarah Indonesia, jabatan politik pun pernah menggunakan sistem pengangkatan ini. Seperti pada masa demokrasi terpimpin, dimana Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) anggotanya dipilih langsung oleh presiden Soekarno.
38
Juga ketika masa orde baru, dimana 100 dari 500 anggota DPR direkrut dengan cara diangkat langsung oleh presiden tanpa melalui mekanisme pemilihan umum. Semuanya adalah sedikit contoh dari sistem rekrutmen yang pernah ada di dunia ini. Tetapi yang dianggap paling penting adalah sistem perekrutan dengan cara pemilihan melalui ujian serta latihan. Kedua cara ini, tentu saja memiliki banyak keragaman dan banyak diantaranya mempunyai implikasi penting bagi perekrutan politik. 3. Proses Rekrutmen Politik Sebelum membahas tentang proses rekrutmen politik sebaiknya kita ketahui dulu tentang siapa-siapa yang direkrut dalam rekrutmen politik. Hal ini akan memudahkan dalam pembahasan selanjutnya. Pembahasan tentang siapa-siapa yang direkrut untuk menduduki jabatanjabatan politik atau administratif bisa dilakukan dengan pendekatan teori-teori elit dan kelas. Teori-teori ini membahas tentang siapa yang mampu menduduki jabatan-jabatan politik beserta alasan-alasannya. Vilpredo Pareto (Varma, 2003 : 200) percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Elit merupakan kelompok-kelompok yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mendeskripsikan pengertian elit dengan berbagai penuturan dan contoh yang bervariasi, tetapi sebenarnya yang dimaksudkan adalah bahwa bakat dan kemampuan setiap individu berbeda-beda dalam setiap lapisan sosial. Untuk
39
itulah kemudian dikenal pengelompokan struktur sosial ke dalam dua kelompok. Pertama, lapisan yang lebih rendah, yakni sekelompok massa yang tidak merupakan golongan elit yang mungkin berpengaruh juga dalam pemerintah. Kedua, lapisan yang lebih tingi yakni golongan elit yang terdiri dari elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah. Sementara itu Gaetano Mosca (1858 – 1941) menolak adanya klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk monarki, aristokrasi dan demokrasi. Dia menegaskan hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu oligarki. Dalam suatu masyarakat selalu muncul dua kelas yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas pertama, yang biasanya berjumlah lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh yang pertama (Varma, 2003 : 202 – 203). Pareto dan Mosca memberikan suatu pengertian terhadap elit sebagai sekelompok orang yang merupakan minoritas dalam suatu masyarakat, yang dengan segala keunggulan-keunggulannya, mampu menduduki jabatan-jabatan penting dalam masyarakat yang memberinya kewenangan untuk berkuasa. Laswell lebih lanjut mengartikan konsep elit sebagai suatu kelas yang terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan dominasi dalam masyarakat dalm arti bahwa nilai-nilai yang mereka ciptakan, hasilkan, mendapat penilaian tinggi dalam masyarakkat yang bersangkutan. Nilai-nilai itu mungkin berupa kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan lain-lain. Artinya elit berhasil memiliki sebagaian terbanyak dari nilai-nilai karena kecakapan-
40
kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka (Sudijono Sastroatmodjo, 1995 : 146). Inti dari teori elit adalah menunjukan bahwa kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat itu diwakili secara tidak sebanding di kalangan para pemegang jabatan politik dan administratif. Kenyataan ini oleh Rush dan Althoff, dalam proses rekrutmen politik, sering dihubungkan dengan kekuatan permintaan. Hal tersebut jelas karena secara terbatas dibuktikan dengan kualifikasi formal yang kadang-kadang ditetapkan bagi calon pada pemilihan-pemilihan;dan lebih luas lagi pada kualifikasi yang ditetapkan pada fungsionaris pemegang jabatan administratif. Mungkin juga ada permintaan yang kurang normal dengan latar belakang pribadi, kemampuan atau keterwakilannya, umpamanya. Tetapi Rush dan Althoff (2005 : 241) mengatakan “… harus diakui , bahwa perekrutan politik adalah juga merupakan masalah pengadaan …”. Permintaan dalam konteks rekrutmen menurut Rush dan Althoff adalah orang dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan atau dibutuhkan oleh negara atau partai politik. Sedangkan pengadaan adalah orang-orang yang melamar dengan berbagai orientasi, ekspektasi, dan latar belakang yang beragam. Daya penyediaan dan permintaan juga dipengaruhi oleh berbagai badan seperti agensi perekrutan politik, kriteria yang mungkin digunakan, dan oleh kadar sejauh mana proses itu dapat dikontrol. Beberapa agensi ini sedikit atau banyak bekerja secara formal (seperti komisi-komisi perekrutan administratif); yang lainlain seluruhnya bersifat informal (seperti “keluarga-keluarga” politik atau kelompok-kelompok kepentingan tertentu). Partai politik jelas merupakan sarana
41
yang paling penting dalam kebanyakan sistem politik untuk merekrut sebagian besar pemegang jabatan politik, walaupun seperti yang kita lihat, cara-cara mereka melakukannya berbeda sekali. Pentingnya partai-partai sebagai agensi perekrutan dilukiskan sejauh mana partai-partai tertentu merupakan wahana perekrutan para pemegang jabatan kelas pekerja: fungsi demikian dilakukan umpamanya oleh Partai Buruh di Inggris, Partai Komunis dan Sosialis di Perancis. Badan-badan agensi perekrutan biasanya akan menetapkan beraneka ragam kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap layak dan harus dikuasai oleh pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini, tentu saja akan mencerminkan permintaan, tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem pengadaan. Sejauh mana perekrutan politik itu mengalami berbagai tipe pengawasan, adalah juga penting dalam mempengaruhi sistem pengadaan dan permintaan. Mungkin
ada
kualifikasi-kualifikasi
formal
yang
dituntut
dari
calon-
calon/pemegang jabatan tadi. Beberapa diantaranya mungkin ditetapkan oleh agensi itu sendiri, sedang yang lainnya mungkin ditetapkan oleh negara. Bagaimanapun juga peristiwa itu mempengaruhi proses perekrutan secara mendalam. Kualifikasi pendidikan yang biasanya diperlukan untuk posisi birokrasi, tidak hanya mencerminkan permintaan untuk satu tipe pelamar khusus saja, akan tetapi merupakan batas bagi pengadaan pelamar-pelamar tadi. Proses rekrutmen politik ada yang bersifat terbuka dan ada yang bersifat tertutup. Menurut Lili Romli (2005) suatu rekrutmen dikatakan terbuka apabila seluruh warga negara tanpa kecuali mempunyai kesempatan yang sama untuk direkrut apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang telah
42
ditentukan. Sedangkan
rekrutmen tertutup adalah proses rekrutmen secara
terbatas, yaitu hanya individu-individu tertentu saja yang dapat direkrut untuk menduduki jabatan politik atau jabatan pemerintahan. Dalam konteks rekrutmen secara tertutup ini maka individu-individu yang dekat dengan penguasa atau pemimpin politiklah yang mempunyai kesempatan untuk masuk dalam partai politik atau menduduki jabatan politik. Kedekatan itu bisa berdasarkan hubungan darah, persamaan darah, golongan, etnis, persahabatan, almamater, dan sebagainya. Rekrutmen jabatan birokratis relatif lebih tertutup, sedangkan untuk jabatan-jabatan politis, seperti anggota parlemen, lebih bersifat terbuka. Terkait dengan ini Sutoro Eko (2003), dalam makalahnya “membuat rekrutmen legislatif yang bermakna” yang dijadikan bahan diskusi untuk Forum Kajian Analisis Sosial tentang “Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilu 2004 di Provinsi DIY”, menyebutkan bahwa : Antara rekrutmen untuk birokrasi dan rekrutmen untuk jabatan-jabatan politik (eksekutif dan legislatif) mempunyai perbedaan mendasar. Secara teoretis rekrutmen birokrasi membutuhkan model teknokratis, yang lebih mengedepankan prinsip profesionalitas, kualifikasi teknis, keahlian, pengalaman atau sering disebut merit sistem. Kalau terjadi KKN dalam proses rekrutmen birokrasi berarti mengingkari model teknokratis itu, dan dampaknya adalah birokrasi yang tidak profesional. Sedangkan rekrutmen jabatan politik membutuhkan model demokratis, yang mengedepankan proses pemilihan secara terbuka, kompetitif, dan partisipatif. Persetujuan dan legitimasi rakyat menjadi unsur utama dalam proses rekrutmen jabatan-jabatan politik, sebab pejabat politik itulah yang kemudian bakal membuat kebijakan dan memerintah rakyat. Model teknokratis dan model demokratis di atas harus ditempatkan pada tempatnya. Perekrutan anggota legislatif tidak mungkin menggunakan model teknokratis, karena akan berakibat kepada tidak adanya legitimasi masyarakat
43
kepada orang terpilih. Begitu juga sebaliknya, jabatan birokratis tidak mungkin menggunakan model demokratis karena hanya akan menimbulkan tarik menarik kepentingan yang berlarut-larut. Jabatan tersebut akan menjadi tempat tarik menarik yang sangat rumit sehingga tidak akan membuatnya maksimal. Pendapat yang bisa menambah penjelasan mengenai alasan rekrutmen anggota legislatif harus menggunakan model demokratis adalah pendapat dari Maswardi Rauf (1996). Menurutnya seorang calon anggota legislatif perlu dikenal dengan baik oleh rakyat di daerah pemilihannya karena hubungan yang dekat antara
caleg
dengan
rakyat
di
daerah
pemilihannya
adalah
konsep
representativeness (keterwakilan), dimana konsep ini tidak terlalu penting dalam rekrutmen untuk birokrasi pemerintahan. Maswardi Rauf (1996) mengingatkan bahwa fungsi utama dari lembaga legislatif adalah untuk mewakili rakyat. Fungsi ini tidak akan bisa dijalankan dengan maksimal apabila para anggotanya sendiri tidak memahami serta mendalami masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan masyarakat daerah yang
ia
wakili.
Oleh
karena
itu,
ada
baiknya
orsospol mengadakan seleksi terhadap para caleg berdasarkan
bila
setiap
pemahaman
mereka terhadap daerah pemilihan masing-masing, dengan melihat riwayat hidup mereka dan pengetahuan mereka tentang masyarakat di daerah pemilihan Terkait masalah rekrutmen anggota legislatif yang menggunakan model demokratis, Sutoro Eko, masih dalam tulisan yang sama, memberikan lima prinsip dasar untuk menunjang rekrutmen legislatif dengan model demokratis ini, yaitu :
44
1. Partai politik harus mempromosikan orang-orang yang memiliki kapasitas, integritas, legitimasi dan populer di masyarakat. 2. Proses rekrutmen harus bersifat terbuka. 3. Proses rekrutmen harus bersandar pada partisipasi elemen-elemen masyarakat sipil 4. Partai politik mau tidak mau harus mengembangkan basis atau jaringan dengan komunitas atau organisasi masyarakat sipil 5. Penerapan rekrutmen politik dengan model demokratis membutuhkan dukungan pendidikan politik yang memadai kepada rakyat Dalam prakteknya tidak semua rekrutmen politik untuk jabatan politik benar-benar terbuka. Seringkali partai politik yang diberikan kewenangan untuk melaksanakannya mempraktekan praktek-praktek oligarkis, dimana elit partai kadangkala hanya merekrut atau memprioritaskan orang-orang yang dekat dengan mereka. Hal ini membuat individu-individu yang sebetulnya memiliki kemampuan yang memadai tetapi tidak dekat dengan pimpinan partai terganjal jalannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pareto bahwa Pada dasarnya semua orang yang berbakat memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi elit, tetapi mereka kadangkala dihalangi oleh elit politik yang sedang berkuasa yang membentuk oligarki-oligarki kekuasaan (Maurice Duverger, 1993 : 180). Sudah menjadi suatu agenda yang mendesak bagi negara-negara yang menginginkan terciptanya suatu keadaan demokrasi untuk memperbaiki sistem rekrutmen politiknya. Sistem rekrutmen tertutup harus segera ditinggalkan dan sistem rekrutmen terbuka yang memberikan kesempatan bagi semua warga negara
45
yang memiliki kapasitas dan terdapatnya keterlibatan masyarakat umum harus dipraktekan. 4. Partai Politik sebagai sarana Rekrutmen Politik Rekrutmen
politik
bisa
diartikan
sebagai
suatu
proses
seleksi
kepemimpinan atau jabatan. Dalam hal ini partai politik memiliki peran dalam mempersiapkan kader-kader tangguh untuk menjalankan peranan partai yang lain maupun ditempatkan dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Caranya dengan merekrut orang-orang yang dianggap berbakat. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam merekrut individu-individu yang berbakat. Miriam Budiardjo misalnya, ia memberikan contoh cara rekrutmen politik yang bisa digunakan yaitu dengan cara kontak pribadi, persuasi atau lainnya. Tentu saja mekanisme rekrutmen politik yang digunakan partai berbeda-beda sesuai dengan kebijakan internal partai politik itu sendiri. Menjalankan fungsi dari sistem politik dalam suatu negara membutuhkan keahlian yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Oleh karena itu Ramlan Surbakti (1992 : 118) menjelaskan betapa pentingnya fungsi rekrutmen politik dari parpol. Ia mengatakan bahwa kelangsungan hidup sistem politik akan terancam jika tanpa elit yang mampu menjalankannya. Sedangkan elit dilahirkan dari rekrutmen politik oleh parpol. Partai politik sebagai organisasi yang diberikan kewenangan untuk mnegajukan calon legislatif dalam pemilihan umum memiliki peran dalam mencetak pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang berkualitas ini tentu saja
46
tidak bisa diciptakan secara instan, tetapi perlu proses pendidikan yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin yang kuat. Sehubungan dengan ini, Firmanzah (2008 : 71) memberikan pendapatnya yaitu : Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Mendapatkan pemimpin yang baik harus dimulai dari sistem rekrutmen. Dengan adanya sistem ini, nantinya akan dapat diseleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai dan ideologi sama serta memiliki potensi
Jadi rekrutmen politik merupakan suatu proses yang cukup kompleks dari seleksi sampai kepada proses pendidikan guna mempersiapkan pemimpin yang memiliki kecakapan dan bertanggungjawab atau dengan kata lain memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh. Dalam hubungan dengan masalah kepemimpinan ini, Finer (Sudijono Sastroatmodjo, 1995 : 122-123) menyebutkan beberapa sifat ideal seorang pemimpin, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kesadaran (consciousness) Kebulatan pandangan (coherence) Ketetapan jiwa (constancy) keyakinan (conviction) kreativitas (creativeness) kepekaan hati nurani (conscientiousness) keberanian (courage) kemampuan memukau, dan Kepandaian
Seleksi kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan secara terencana dan teratur sesuai dengan kaidah, norma-norma yang ada, serta harapan masyarakat. Beberapa persyaratan diperlukan untuk dapat menduduki jabatan pimpinan, baik persyaratan menyangkut aspek fisik, mental spiritual, serta aspek intelektual. Seorang pemimpin diharapkan mampu memberikan keteladanan
47
kepada orang-orang yang dipimpin, mengembangkan semangat untuk berusaha mencapai kemajuan, serta mampu memberikan pengarahan kepada orang-orang yang dipimpinnya demi tercapainya tujuan. Kondisi sosial ekonomi sampai batasbatas tertentu juga sering menjadi bahan pertimbangan dalam seleksi kepemimpinan. Hal itu bisa jadi karena untuk mendukung kegiatannya seorang pemimpin terkadang harus berkorban secara pribadi, walaupun banyak juga terjadi sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan mampu mengerti dan menghayati aspirasi serta kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan pemenuhan berbagai persyaratan tersebut, seorang pemimpin benar-benar dapat diterima oleh masyarakat, dan pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam segala program yang dilaksanakan. Salah satu dari tiga teori tentang asal-usul kepemimpinan yang dikemukakan oleh Sondang (Kartakusumah, 2006 : 28) menyatakan bahwa kepemimpinan seseorang pada dasarnya dibentuk oleh tiga aspek pembentuk kepemimpinan yang meliputi : (1) bakat yang dibawa sejak lahir, (2) pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang terarah, intensif, dan berkelanjutan, (3) kesempatan menduduki, mempraktikan, dan mengembangkan bakat dan kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh sesorang. Dari tiga unsur pembentuk kepemimpinan seseorang yang dikemukakan Sondang tersebut terdapat dua unsur yang bisa didapatkan oleh seorang bakal calon anggota legislatif dari partainya, yaitu unsur kedua dan ketiga. Jelaslah sudah bahwa partai politik memainkan peranan penting dalam ikut serta menentukan kualitas kepemimpinan. Partai politik dituntut untuk bisa
48
melakukan kaderisasi sebagai bagian dari rekrutmen politik yang bertujuan untuk mempersiapkan para pemimpin yang berkualitas. Hal ini senada dengan pendapat dari Ramlan Surbakti (2003 : 52), ia mengatakan bahwa Agar orang-orang yang direkrut ke dalam berbagai posisi kenegaraan itu memiliki kualitas kepemimpinan yang diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partaipolitik melakukan kaderisasi kepemimpinan baik dalam visi dan misi (ideologi) perjuangan partai maupun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan. Dari pendapat tersebut, idealnya partai politik merupakan suatu sarana bagi para anggotanya untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas kepemimpinan. Hal ini tentunya akan memudahkan bagi partai politik dalam merekrut orang-orang yang berkompeten, karena mereka sudah memilikinya, di dalam tubuh parpol itu sendiri, yaitu anggota internal partai. Tetapi tampaknya saat ini partai-partai politik di Indonesia belum bisa menjalankan fungsi ini dengan maksimal. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya partai politik yang mencalonkan orang-orang di luar partai politik sebagai calon anggota legislatif, terutama dari kelompok masyarakat yang dinilai populer dan mampu mendongkrak suara. Partai politik, secara ideal, harus mampu mempersiapkan kader-kadernya menjadi individu-individu yang siap dan memiliki kualitas untuk menjadi seorang pemimpin, sehingga ketika terdapat tuntutan bagi parpol unuk melakukan rekrutmen terhadap anggota-anggota dari lembaga suprastruktur politik tidak perlu lagi mencari dari luar (eksternal) partai. Tetapi pada kenyataannya, kaderisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia belum berjalan
49
dengan maksimal sehingga partai politik kadangkala menempatkan individuindividu dari eksternal partai untuk dijadikan calon. Menurut Cecep Darmawan (2008) keunggulan dari rekrutmen yang berasal dari internal partai adalah dapat memberikan jaminan internalisasi nilai visi dan misi partai politik kepada caleg. Sedangkan kelemahan dari rekrutmen yang berasal dari eksternal parpol adalah kadangkala partai merekrut individuindividu yang memiliki latar belakang yang irisannya sangat kecil dengan politik yang hanya akan menghambat akselerasi gerak pembangunan dan reformasi bangsa Indonesia Menurut hemat penulis, terjadinya rekrutmen caleg yang berasal dari eksternal partai disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, aturan main yang memperbolehkan hal tersebut; kedua, kurang maksimalnya kaderisasi yang dilakukan oleh parpol; ketiga, parpol-parpol yang ada sedikit sekali memiliki kader yang populer. 5. DPRD dan Perekrutan Aggotanya a. Kedudukan DPRD dalam Sistem Politik Indonesia Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ia merupakan lembaga legislatif di tingkat daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) yang menjadi lembaga penyalur aspirasi masyarakat daerahnya setempat dalam sistem pemerintahan daerah.
50
Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD memiliki beberapa hak dan kewajiban yang semuanya diatur oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut hak lembaga DPRD, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 43 ayat (1), antara lain: a. Interpelasi, b. Angket, c. Menyatakan pendapat Hak-hak tersebut dimiliki oleh lembaga DPRD dan penggunaannya daiatur dalam peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundangundangan. Sementara itu, pasal 44 ayat (1) memuat hak-hak anggota DPRD yang meliputi hak: a. b. c. d. e. f. g. h.
Mengajukan rancangan Perda Mengajukan pertanyaan Menyampaikan usul dan pendapat Memilih dan dipilih Membela diri Imunitas Protokoler Keuangan dan administratif
Sedangkan kewajiban anggota DPRD diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 pasal 43 ayat (1) yang mencakup kewajiban untuk: a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD RI Tahun 1945, dan mentaati segala peraturan perundang-undangan b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI d. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah e. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
51
f. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan g. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya h. Mentaati tata tertib, kode etik, dan janji anggota DPRD i. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait
Selain dilengkapi dengan hak dan kewajiban, DPRD pun menyandang beban tugas serta wewenang yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya guna kemajuan daerah. Tugas dan wewenang tersebut tercantum dalam pasal 42 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yaitu sebagai berikut. a. Membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama b. Membahas dan menyutujui rancangan perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda, dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala daerah kepada presiden melalui mentri dalam negeri bagi DPRD Provinsi, dan kepada mentri dalam negeri melalui gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah i. Membentuk panitia pengawas dan pemilihan kepala daerah j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah k. Memberikan persetujuan atas rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
52
Undang-undang sendiri memberikan fungsi terhadap lembaga DPRD yaitu: Pertama, fungsi untuk membuat Peraturan Daerah (fungsi legislasi). Kedua, bersama-sama dengan pemerintah daerah merumuskan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (fungsi anggaran). Ketiga, fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dari uraian mengenai hak, kewajiban, tugas dan wewenang, serta fungsi DPRD dapat disimpulkan bahwa peran yang dimainkan oleh DPRD sangatlah penting dalam suatu pemerintahan daerah, terutama menyangkut nasib masyarakat. Bisa tidaknya para legislator daerah tersebut dalam memainkan perannya dengan baik akan sangat mempengaruhi terhadap kualitas dari pemerintahan daerah. Oleh karena itu, perlu adanya suatu rekrutmen yang mampu melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berkualitas dan berintegritas. b. Rekrutmen Anggota DPRD Provinsi berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Pemilihan umum anggota DPR, DPRD, dan DPD tahun 2009 diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undangundang dengan jumlah pasal sebanyak 320 ini mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemilu legislatif yang akan diselenggarakan pada April 2009. Berkaitan dengan rekrutmen politik anggota legislative, khususnya DPRD Provinsi di Indonesia, ada beberapa hal yang bisa kita ketahui dari UU Nomor 10 Tahun 2008, diantaranya mengenai :
53
1. Syarat-syarat bakal calon anggota legislatif Dalam UU No. 10 tahun 2008 ini, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi bakal calon anggota DPR adalah : a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; d. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; e. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. sehat jasmani dan rohani; h. terdaftar sebagai pemilih; i. bersedia bekerja penuh waktu; j. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; k. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan; l. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; m. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
54
2. Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota DPRD Sebelum terdapat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang akan berjuang dalam pemilu untuk memperebutkan suara masyarakat, terlebih dahulu terdapat seleksi bakal calon anggota. Agensi yang bertugas untuk untuk melaksanakan seleksi bakal calon ini adalah partai politik. Mereka yang mempersiapkan calon-calon anggota legislatif tersebut sesuai dengan mekanisme perekrutan internal parpol masing-masing. Jadi, seleksi bakal calon anggota yang dilakukan oleh parpol bisa beragam caranya tergantung kepada kebijakan masing-masing partai. Hal ini bisa kita lihat dari bunyi pasal 51, yaitu : (1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. (2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.
Setelah melaksanakan seleksi, partai politik mengajukan daftar bakal calon anggota legislatifnya yang telah ditetapkan partai. Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus pusat partai, calon anggota DPRD Provinsi ditetapkan oleh pengurus partai tingkat provinsi, dan daftar bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan oleh pengurus partai tingkat kabupaten/kota. Daftar bakal calon ini harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dan pada setiap daerah pemilihan (dapil) partai politik hanya bisa mengajukan 120 % bakal calon dari jatah jumlah kursi pada dapil tersebut. Misal, pada daerah pemilihan A terdapat jatah kursi sebanyak 10 orang anggota DPRD Provinsi,
55
maka setiap partai politik hanya bisa mengajukan bakal calon ke KPUD Provinsi maksimal sebanyak 120% dari 10 tadi, yaitu 12 orang. Daftar bakal calon anggota DPRD Provinsi yang diajukan oleh partai politik disusun berdasarkan nomor urut. Setiap tiga bakal calon yang diajukan harus terdapat minimal satu orang perempuan bakal calon. Hal ini bertujuan untuk tercapainya keterwakilan perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. 3. Proses penetapan calon anggota DPRD Provinsi Setelah partai politik menyerahkan daftar bakal calon anggota DPRD Provinsi ke KPUD Provinsi, selanjutnya adalah tahap verifikasi. Tahap verifikasi ini adalah tahap dimana KPUD Provinsi memeriksa kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Provinsi. Selain itu, dalam proses verifikasi ini KPUD Provinsi memeriksa apakah sudah terpenuhinya keterwakilan perempuan dalam daftar yang diajukan minimal 30% (tiga puluh persen). Apabila dalam proses verifikasi KPUD Provinsi menemukan kelengkapan dokumen persyaratan belum terpenuhi, maka KPUD Provinsi mengembalikan dokumen kelengkapan administrasi bakal calon kepada partai politik yang bersangkutan. Partai politik diberikan kesempatan untuk melengkapi atau memperbaiki dokumen kelengkapan administrasi bakal calon itu. Apabila dalam proses verifikasi KPUD Provinsi menemukan adanya bakal calon yang memalsukan dan menggunakan dokumen palsu, KPUD Provinsi meminta kepada partai politik yang bersangkutan untuk mengganti atau
56
mengajukan nama baru sebagai bakal calon pengganti. Pengajuan bakal calon pengganti ini dilakukan paling lama tujuh hari sejak partai politik menerima surat permintaan dari KPUD Provinsi. Tetapi jika pemalsuan dan penggunaan dokumen palsu itu diketahui setelah dikeluarkannya Daftar Calon Tetap (DCT), partai politik yang bersangkutan tidak bisa mengajukan bakal calon pengganti. Proses verivikasi bakal calon anggota DPRD Provinsi yang diajukan partai politik dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi. Apabila panwaslu provinsi menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian dari KPUD Provinsi selama proses verifikasi yang mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap bakal calon, maka panwaslu provinsi menyampaikan temuannya kepada KPUD Provinsi. Temuan tersebut wajib ditindaklanjuti oleh KPUD. Setelah proses verifikasi selesai, KPUD Provinsi mengumumkan bakal calon yang lulus verifikasi yang disusun menjadi daftar calon sementara (DCS) anggota DPRD Provinsi yang disertai nomor urut dan pas poto terbaru. Daftar calon yang diumumkan oleh KPUD Provinsi ini masih bersifat sementara dan masih bisa berubah. Daftar calon sementara ini diumumkan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari. Setelah keluarnya daftar calon sementara, maka tahap selanjutnya adalah uji public, di mana masyarakat diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, saran, atau teman-temuan terkait orang-orang yang masuk menjadi
57
calon anggota DPRD Provinsi sementara. Tanggapan dari masyarakat ini harus disampaikan ke KPUD Provinsi dalam jangka waktu 10 hari sejak DCS diumumkan. KPUD Provinsi meminta klarifikasi kepada partai politik terkait setiap tanggapan yang dilayangkan kepada calonnya. Partai politik tersebut terlebih dahulu harus meminta klarifikasi dari calon yang bersangkutan. Apabila dalam klarifikasi partai politik kepada KPUD Provinsi menyatakan bahwa calon yang bersangkutan tidak memenuhi syarat, maka KPUD Provinsi memberikan kesempatan kepada partai politik untuk mengajukan calon pengganti. Jika tidak, maka urutan nama dalam daftar calon sementara diubah oleh KPUD provinsi sesuai dengan urutan berikutnya. Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPRD Provinsi, maka KPUD Provinsi, berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah uji publik selesai, maka tahap selanjutnya adalah penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota DPRD Provinsi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Provinsi. Orang-orang yang ada di dalam daftar calon tetap inilah yang bisa dipilih oleh masyarakat pada pemilihan umum nanti. 4. Penentuan anggota DPRD Provinsi terpilih Berbeda dengan pemilihan eksekutif, hasil pemilihan umum legislatif tidak bisa dinikmati langsung karena harus melalui berbagai tahapan
58
penghitungan kursi yang diperoleh partai politik dan mekanisme penetapan calon legislatif terpilih. Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui sebelum mengetahui calon mana yang berhak mendapatkan kursi. Tahap pertama untuk menentukan calon anggota DPRD Provinsi terpilih adalah dengan penentuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) DPRD Provinsi dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah partai politik peserta pemilu untuk anggota DPRD Provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD Provinsi di daerah pemilihan masing-masing. Setelah didapat BPP DPRD Provinsi, akan dihitung perolehan kursi DPRD Provinsi untuk tiap partai politik di dapil terkait. Caranya adalah dengan membagi jumlah suara sah parpol tersebut dengan BPP DPRD Provinsi dapilnya. Apabila jumlah kursi yang diperoleh parpol lebih sedikit dibandingkan jumlah kursi tersedia, sisa kursi akan dibagikan berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis. Sementara itu, penetapan calon legislatif terpilih dari partai politik yang mendapatkan kursi ditentukan oleh suara terbanyak. Kursi akan diberikan kepada seorang caleg dengan urutan suara terbanyak sesuai jatah kursi yang diperoleh partai politiknya.
Ketentuan ini merupakan hasil Keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008.
59