BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Boediono, 1999 : 8). Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu : proses, output perkapita dan jangka merupakan
suatu
proses,
bukan
gambaran
panjang. Pertumbuhan ekonomi ekonomi
pada
suatu
saat.
Mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Dalam hal ini berkaitan dengan output total (GDP) dan jumlah penduduk, karena output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan output total disatu pihak, dan jumlah penduduk di pihak lain. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi mencakup pertumbuhan GDP total dan pertumbuhan penduduk. Aspek ketiga dari definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka waktu suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila dalam waktu yang cukup lama (10, 20 atau 50 tahun, atau bahkan lebih lama lagi) mengalami kenaikan output per kapita. Tentu saja dalam waktu tersebut bisa terjadi kemerosotan output per kapita, karena gagal panen misalnya, tetapi apabila dalam waktu yang cukup panjang tersebut output per kapita menunjukkan
89
kecenderungan menaik maka dapat kita katakan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi. Beberapa ekonom berpendapat bahwa adanya kecenderungan menaik bagi output per kapita saja tidak cukup, tapi kenaikan output harus bersumber dari proses intern perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan ekonomi harus bersifat self-generating, yang berarti bahwa proses pertumbuhan itu sendiri menghasilkan kekuatan bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan dalam periode-periode selanjutnya.
2.2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Teori pertumbuhan Solow-Swan telah dikategorikan sebagai teori pertumbuhan
neoklasik.
Model
pertumbuhan
Solow
dirancang
untuk
menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi jangka panjang ditentukan secara exogen, atau dengan kata lain ditentukan di luar model. Model ini memprediksi bahwa pada akhirnya akan terjadi konvergensi dalam perekonomian menuju kondisi pertumbuhan steady-state yang bergantung hanya pada perkembangan teknologi dan pertumbuhan tenaga kerja. Dalam hal ini, kondisi steady-state menunjukkan equilibrium perekonomian jangka panjang (Mankiw, 2007).
90
Asumsi utama yang digunakan dalam model Solow adalah bahwa modal mengalami diminishing returns. Jika persediaan tenaga kerja dianggap tetap, dampak akumulasi modal terhadap penambahan output akan selalu lebih sedikit dari penambahan sebelumnya, mencerminkan produk marjinal modal (marginal product of capital) yang kian menurun Jika diasumsikan bahwa tidak ada perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja, maka diminishing return pada modal mengindikasikan bahwa pada satu titik, penambahan jumlah modal (melalui tabungan dan investasi) hanya cukup untuk menutupi jumlah modal yang susut karena depresiasi. Pada titik ini perekonomian akan berhenti tumbuh, karena diasumsikan bahwa tidak ada perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi menurut model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa menuju pertumbuhan steady-state yang bergantung hanya pada perkembangan teknologi dan pertumbuhan tenaga kerja. Kenaikan tingkat tabungan akan mengarah ke tingkat pertumbuhan ekonomi output yang tinggi hanya jika kondisi steady-state dicapai. Saat perekonomian berada pada kondisi steady-state, tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat perkembangan teknologi. Hanya perkembangan teknologi yang bisa menjelaskan peningkatan standar of living yang berkelanjutan.
91
Model solow diawali dari fungsi produksi Y/L = F(K/L) dan dituliskan sebagai y = f(k), dimana y = Y/L dan k = K/L produksi ini menunjukkkan bahwa jumlah output per pekerja (Y/L) adalah fungsi dari jumlah modal per pekerja (K/L) fungsi produksi mengasumsikan diminishing return terhadap modal yang mencerminkan dari kemiringan dari fungsi produksi tersebut. Kemiringan fungsi produksi menggambarkan produk marjinal modal (marginal product of capital) yang menggambarkan banyaknya output tambahan yang dihasikan seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan ( Mankiw, 2007). Model solow secara matematis sebagai berikut : Δk = sf (k)-(n+ δ+g)k (2.1) dimana : y = f(k) = F(K/L) n = tingkat pertumbuhan penduduk δ = depresiasi k = modal per pekerja = K/L y = output per pekerja = Y/L s = tingkat tabungan g = tingkat perkembangan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja Pada model Solow tanpa perkembangan teknologi, perubahan modal per pekerja ditentukan oleh tiga variabel berikut, yaitu investasi (s), pertumbuhan penduduk (n) dan depresiasi atau penyusutan (δ). Dalam kondisi steady-state, Δk harus sama dengan nol sehingga sf(k) = (n+ δ)k,
92
sf(k) = (n + δ+ g) k (2.2) Pada kondisi steady-state, output per tenaga kerja dan konsumsi per tenaga kerja masing- masing adalah y = f (k )
(2.3A) C = y −i = f (k ) − sf (k ) = f (k ) − (n + δ + g )k
(2.3B) Pada kondisi golden-rule, diketahui bahwa produk marginal modal per tenaga kerja adalah MPK = (n + δ + g )k
Secara grafik, model pertumbuhan solow( tanpa perkembangan teknologi) y,i
(n + δ+ g) k y = f(k) i = sf (k)
k Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.1. Model Pertumbuhan Solow
93
Jika sf (k) > (n+ δ+g)k , atau jika tabungan lebih besar daripada tingkat pertumbuhan penduduk ditambah tingkat depresiasi dan kemajuan teknologi, maka modal per pekerja (k) akan naik. Kondisi ini dikenal sebagai capital deepening. Sementara capital widening merujuk pada kondisi saat modal meningkat pada tingkatan yang hanya cukup untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dan depresiasi. Pada kondisi steady-state, output per pekerja adalah konstan. Namun demikian, output total tumbuh dengan kecepatan sama dengan pertumbuhan penduduk, yaitu n. Apabila modal per pekerja lebih kecil dari modal pekerja steady- state atau tabungan lebih besar dari modal yang dibutuhkan maka modal per pekerja naik menuju modal per pekerja steady state. Ini menunjukkan capital deepening dan mendorong peningkatan output per pekerja. Apabila modal per pekerja lebih besar dari modal per pekerja steady state atau tabungan lebih kecil dari modal yang dibutuhkan maka modal per pekerja turun menuju modal per pekerja steady-state. .
Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.2. Model Pertumbuhan Solow Dengan Perubahan pada Tingkat Tabungan
94
Apabila tingkat tabungan (s) naik maka modal per pekerja steady-state naik. Peningkatan modal per pekerja (k) akan meningkatkan output per tenaga kerja (y) dan konsumsi per pekrja (c).
Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.3. Model Pertumbuhan Solow dengan Perubahan pada Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk pada grafik diatas, kenaikan tingkat pertumbuhan penduduk dari n ke n1 menghasilkan garis capital widening baru (n1+d). Kondisi steady-state tingkat per pekerja yang lebih rendah dibandingkan kondisi steadystate awal titik B, memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dibandingkan kondisi steady-state awal di titik A. Model Solow memprediksi bahwa perekonomian dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi akan memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dan karenanya pendapatan yang lebih rendah pula. Ada dua masalah dalam perhitungan besarnya perbedaan pendapatan berdasarkan perbedaan modal. Pertama , perbedaan modal yang dibutuhkan adalah terlalu besar. Tidak ada bukti mengenai perbedaan pada stok modal. Kenyataan bahwa rasio modal-output adalah konstan terhadap waktu. Kedua, adalah perbedaan dalam output untuk modal yang berbeda tanpa perbedaan tenaga
95
kerja efektif akan berimplikasi pada keragaman yang sangat besar pada tingkat pengembalian
terhadap
modal.
Jika
pasar
bersifat
kompetitif,
tingkat
pengembanlian terhadap modal adalah sama dengan produk marginal, f(k) dikurangi depresiasi.
2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Pemerintah Versi Keynes Teori yang membahas mengenai hubungan pengeluaran pemerintah dengan pertumbu- han ekonomi diuraikan panjang lebar dalam The General Theory Keynes. Teori ini menguraikan bahwa pendapatan total perekonomian dalam jangka pendek, sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Untuk memodelkan pandangan Keynesian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertum- buhan ekonomi ini diilustrasikan dengan pemodelan yang disebut perpotongan Keynesian (Mankiw, 2007), seperti yang ditunjuk- kan pada gambar 1.
Gambar 2.4. Perpotongan Keynesian, Pergeseran ke atas dalam Pengeluaran Pemerintah yang Direncanakan Sebesar ∆G Meningkatkan Output Sebesar ∆G/(1-MPC)
96
Besarnya kenaikan output sebagai dampak dari kenaikan pengeluaran peme- rintah disebut pengganda pembelian peme- rintah (Government purchases multiplier) yang diukur dengan rasio ∆Y/∆G. Implikasi dari perpotongan Keynesian adalah bahwa kenaikan output (∆Y) lebih besar dari kenaikan pengeluaran pemerintah (∆G), hal ini di sebabkan karena adanya efek berantai yang ditimbulkan dari peningkatan penge- luaran pemerintah. Proses ini bermula dari perubahan awal pengeluaran pemerintah sebesar ∆G meningkatkan output ∆Y sebesar ∆G, pen ingkatan output atau pendapatan ini selanjutnya meningkatkan konsumsi masya- rakat sebesar MPC x ∆G, di mana MPC (Marginal Propensity to Consume) adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal. Kenaikan dalam pendapatan yang kedua ini sekali lagi meningkatkan konsumsi sekarang sebesar MPC x (MPC x ∆G) dan seterusnya, sehingga angka pengganda ini merupakan seri geometri tidak terhingga. Secara aljabar pengganda pemerintah ini dapat dituliskan: ∆Y = 1 + MPC + MPC 2 + MPC 3 + ... ∆G ∆Y = 1 /(1 − MPC) ∆G 1 ∆Y ∆G = ∆G 1 − MPC
(2.7) Selanjutnya
menurut
(Loizides,et,al,
2005)
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan substansial dari besaran pengeluaran pemerintah baik di negara maju maupun pada negara berkembang ini sejak Perang Dunia II, dan pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang (atau sebaliknya), telah banyak
97
menjadi subyek penelitian. Di sisi lain, studi pembiayaan publik telah diarahkan untuk mengidentifikasikan penye- bab pertumbuhan sektor publik. Hukum Wagner mengenai pengeluaran publik adalah salah satu usaha paling awal yang menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai determinan
mendasar dari
pertumbuhan sektor publik. Sejumlah studi menemukan hubungan positif yang nyata antara pertumbuhan sektor publik dan pertumbuhan ekonomi hanya untuk negara berkembang tetapi bukan pada negara maju, yang lainnya malahan melaporkan hubungan negatif antara pembe- lanjaan pemerintah dan GNP.
2.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern Meliputi teori pertumbuhan Rostow, Kuznet, dan Teori Harrod-Domar. Menurut Rostow (dalam Suryana, 2000 : 60) pembangunan ekonomi adalah suatu transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, melalui tahapan: masyarakat tradisional, prasyarat lepas landas, lepas landas, tahap kematangan dan masyarakat berkonsumsi tinggi. Kuznet (dalam Suryana, 2000 : 61) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi yang terus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas dasar kemajuan teknologi, institusional dan ideologis yang diperlukannya. Harrod-Domar (dalam Suryana, 2000 : 62) mengembangkan analisa Keynes yang menekankan tentang perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi tertentu dari pendapatan nasional yaitu untuk menambah stok modal yang akan digunakan dalam investasi baru.
Menurut Harrod-Domar terdapat hubungan
98
ekonomi yang langsung antar besarnya stok modal ( C ) dan jumlah produksi nasional ( Y ). Growth =
S COR
(2.8) dimana : Growth = Pertumbuhan S
= Saving
COR
= Capital Output Ratio
2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, faktor ekonomi dan non ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada sumber alamnya, sumberdaya manusia, modal, usaha, teknologi dan sebagainya. Semua itu merupakan faktor ekonomi.
Namun pertumbuhan ekonomi tidak
mungkin terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral dalam suatu bangsa tidak menunjang. Di dalam pertumbuhan ekonomi, lembaga sosial, sikap budaya, nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan merupakan faktor non ekonomi. Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan.
Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau
bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor ekonomi yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah: sumber daya alam, akumulasi modal, organisasi, kemampuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi.
99
Faktor-faktor non ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan perekonomian. Faktor non ekonomi juga memiliki arti penting di dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor non ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan terdiri dari : 1. Faktor Sosial. Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. 2. Faktor Manusia. Sumber Daya Manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi. 3. Faktor Politik dan Administratif. Struktur politik dan administrasi yang lemah merupakan penghambat besar bagi pembangunan ekonomi negara terbelakang. Menurut Nurkse (dalam Jhingan, 1995 : 93) : “Pembangunan ekonomi berkaitan dengan peranan manusia, pandangan masyarakat, kondisi politik, dan latar belakang histories”. Didalam Pertumbuhan ekonomi, faktor sosial, budaya, politik dan psikologis adalah sama pentingnya dengan faktor ekonomi.
2.6. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Data ekonomi merupakan sumber informasi sistematik untuk dapat mengukur sejauhmana perkembangan aktivitas ekonomi suatu negara. Suatu data yang
akurat
diharapkan
dapat
menggambarkan
suatu
kondisi
statistik
perekonomian. Statistik ini digunakan oleh para ahli ekonomi untuk mempelajari perekonomian
dan
oleh
para
pengambil
keputusan
untuk
mengawasi
pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat.
100
Dalam konsep dasar ekonomi makro indikator yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi, adalah produk domestik bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu (Mankiw, 2006: 19). Dalam konsep regional Produk Domestik Bruto dikenal sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan indikator ekonomi makro suatu
daerah,
yang
menggambarkan
ada
atau
tidaknya perkembangan
perekonomian daerah. Dengan menghitung PDRB secara teliti dan akurat baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai keberhasilan pembangunan di suatu daerah, yang memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang mewakili peningkatan produksi di berbagai sektor lapangan usaha yang ada (Saggaf, 1999: 15). Berdasarkan rumusan pengertian di atas, maka dalam konsep regional, pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang ditunjukkan oleh besarnya tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto suatu daerah yang diukur atas dasar harga konstan. Bagi suatu daerah provinsi, kabupaten/kota gambaran PDRB yang mencerminkan adanya laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam data sektor- sektor ekonomi yang meliputi pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, bangunan, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan dan jasa- jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari data konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto, perubahan persediaan, ekspor dan impor. Sedangkan pertumbuhan ekonomi
101
daearah dirumuskan sebagai berikut:
PED = Y t
− Y t −1
Y
X 100
t −1
(2.9) dimana : PED = Pertumbuhan Ekonomi Daerah Yt = Produk Domestik Regional Bruto Periode Tertentu Yt -1 = Produk Domestik Regional Bruto Periode Sebelumnya Keseimbangan pendapatan daerah tanpa ekspor impor dirumuskan oleh persamaan : Y= C + I + G (2.10) Pengeluaran atau pembelian pemerintah daerah (G) dibiayai oleh penerimaan pemerintah daerah, yaitu pajak (T) setelah dikurangi transfer (Tr). Penerimaan pajak oleh pemerintah daerah akan mengurangi konsumsi (C), namun pemberian transfer (Tr) akan menambah konsumsi, sehingga konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan, pajak dan transfer, yaitu: C = C (Y-T + Tr) (2.11) Substitusi persamaan (2.11) ke (2.10) akan menghasilkan keseimbangan pendapatan daerah, yaitu: Y = C ( Y - T + Tr ) + I + G (2.12) Dampak belanja atau pembelian pemerintah (G) dan penerimaan pemerintah (T)
102
serta pemberian transfer (Tr) terhadap pendapatan daerah ditunjukkan melalui proses multiplier belanja atau pembelian pemerintah dan penerimaan pemerintah, yaitu: Y = C ( Y ) - C ( T ) + C(Tr) + I + G dY =
dC dC dC .dY − .dT + .dTr + dG + dI dY dY dY
(2.13) Dalam konsep ekonomi makro dC/dY disebut Marginal Propensity to Consume (MPC), sehingga: d Y = MPC d Y - MPC d T + MPC d Tr + d G +d I d Y - MPC d Y = - MPC d T + MPC d Tr + d G +d I d Y ( 1 - MPC ) = - MPC d T + MPCd Tr + d G+d I dY =
=
− MPC − MPC 1 1 dT + dTR + dG + dI 1 − MPC 1 − MPC 1 − MPC 1 − MPC − MPC MPC 1 dI + dTR + (dG + dI) MPS MPS MPS
(2.14) Dari persamaan (2.14) ditunjukkan bahwa peningkatan penerimaan atau pendapatan pemerintah (T) akan menurunkan pendapatan daerah, akan tetapi sebaliknya peningkatan transfer dan peningkatan belanja atau pembelian pemerintah akan meningkatkan pendapatan daerah. Nilai dari - MPC/MPS disebut multiplier penerimaan atau pendapatan pemerintah dan 1/MPS disebut multiplier belanja atau pembelian pemerintah dan investasi. Analog dengan keseimbangan pendapatan nasional, keseimbangan pendapatan regional daerah atau PDRB dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah
103
daerah dan belanja pemerintah daerah. Pendapatan daerah dibedakan menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer (PT), Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPYS). Sedangkan belanja daerah (BD) adalah alokasi belanja yang bersumber dari pendapatan daerah yang diyakini langsung mempengaruhi PDRB. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kinerja keuangan daerah digambarkan oleh realisasi pendapatan daerah dan realisasi belanja daerah. Dari rumusan pendapatan nasional diketahui bahwa peningkatan pendapatan daerah akan menurunkan PDRB, sehingga peningkatan realisasi PAD akan menurunkan PDRB. Sedangkan peningkatan realisasi anggaran belanja daerah akan meningkatkan PDRB. Dengan kata lain, jika realisasi pendapatan daerah lebih besar dari realisasi belanja maka PDRB turun. Sebaliknya jika realisasi pendapatan lebih rendah dari realisasi belanja daerah maka PDRB akan naik. Pengaruh tingkat capaian belanja daerah terhadap PDRB adalah positif, di mana realisasi belanja daerah yang makin tinggi teralokasi terhadap 9 (sembilan) sektor ekonomi akan dapat memacu pertumbuhan masing-masing sektor ekonomi tersebut. Menurut hukum wagner, dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat (Mangkoesoebroto, 2001 : 173). Hukum tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : GpCt
GpCt-1 >
YpCt
GpCt-2 >
YpCt-1
GpCt-n >
YpCt-2
…….
> YpCt-n
104
Keterangan : GpC
: Pengeluaran pemerintah per kapita
YpC
: Produk atau pendapatan nasional per kapita
t
: indeks waktu (tahun)
Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yaitu : tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1996 : 162). Menurut Peacock dan Wiseman, perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tariff pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. 2.6.1. Komponen Pendapatan dan Belanja Daerah Secara garis besar pengelolaan keuangan daerah meliputi 2 (dua) bidang pokok, yaitu
pengelolaan
pendapatan
daerah
dan
pengelolaan
belanja
daerah. Sumber-sumber pendapatan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Sedangkan belanja daerah menurut sasaran alokasinya terdiri dari belanja operasi, belanja modal dan belanja tak terduga. Komponen-komponen Pendapatan Daerah adalah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah.
105
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan oleh Bendahara Umum Daerah (BUD) yang berasal dari potensi asli daerah yang bersangkutan sesuai kewenangan daerah tersebut. Penerimaan tersebut akan menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan menjadi hak pemerintah daerah serta tidak perlu dibayar kembali. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selanjutnya menurut Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang tersebut di atas, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi potonga ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah. Dana perimbangan adalah penerimaan daerah dalam bentuk pendapatan transfer yaitu pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah yang bersumber dari transfer pemerintah atasan yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan ini meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) pajak, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Lain-lain Pendapatan yang Sah adalah pendapatan yang bersumber dari Pendapatan hibah, Pendapatan dana darurat dan Pendapatan lainnya. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada Lampiran IVc diuraikan bahwa keseluruhan jenis pendapatan daerah tersebut di atas dikonversi dalam penyajian laporan keuangan
106
dikelompokkan menjadi: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; 2. Pendapatan transfer yang terdiri dari pendapatan transfer dari pemerintah pusat (dana perimbangan) yang terdiri dari DBH-SDA, DAU dan DAK, transfer pemerintah
pusat
lainnya
(dana
otonomi
khusus
dana
penyesuaian); transfer pemerintah provinsi yang terdiri dari pendapatan bagi hasil pajak dan pendapatan bagi hasil lainnya; 3. Lain-lain pendapatan yang sah yang terdiri dari pendapatan hibah, pendapatan dana darurat dan pendapatan lainnya. Sedangkan komponen belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terikat langsung dengan program dan kegiatan yang
dipergunakan
untuk mendanai belanja pegawai, belanja
barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada provinsi, kabupaten/ kota dan pemerintah desa dan belanja tak terduga Belanja langsung adalah belanja yang terikat langsung dengan program dan kegiatan yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan keseluruhan jenis belanja daerah tersebut di atas dikonversi dalam penyajian laporan keuangan dikelompokkan menjadi belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga dan belanja transfer.
107
1. Belanja operasi yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan. 2. Belanja modal yang terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan irigasi dan jaringan, belanja aset tetap lainnya dan belanja aset lainnya. 3. Belanja tak terduga adalah belanja yang dianggarkan untuk mendanai kegiatan yang sifatnya darurat dan belum dapat diperkirakan sebelumnya. 4. Belanja transfer/bagi hasil ke desa yang meliputi bagi hasil pajak, bagi hasil retribusi, bagi hasil pendapatan lainnya. Reformasi dalam pengelolaan anggaran daerah adalah merupakan kebutuhan mendesak yang perlu dilakukan mengingat anggaran daerah sebagai rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam periode tertentu (satu tahun), selama ini belum mampu memberikan hasil secara optimal. Hal ini disebabkan karena selama ini anggaran daerah lebih merupakan instrumen pembinaan pemerintah atasan kepada pemerintah di bawahnya. Namun demikian di era reformasi, memang telah terlihat adanya perubahan yang mendasar dalam peran dan fungsi anggaran daerah seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan reformasi ini diharapkan anggaran daerah mampu memainkan perannya sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen bagi pemerintah daerah. Menurut Jones (1996), sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu secara
108
optima difungsikan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Berdasarkan Organisasi Komunitas Perpustakaan Online Indonesia (diakses tanggal 18 Agustus 2010) dijelaskan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Oleh karena itu ada 3 (tiga) bentuk kebijakan anggaran/politik anggaran yang dapat dilakukan sesuai kondisi perekonomian daerah, yaitu: 1. Anggaran defisit (defisit budget) atau disebut juga kebijakan fiskal ekspansif yaitu suatu bentuk kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi
109
sedang resesif. 2.
Anggaran surplus (surplus budget) atau disebut juga kebijakan fiskal kontraktif yaitu suatu bentuk kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Sebaiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran
berimbang
(balanced
budget),
yaitu
suatu
bentuk
kebijakan anggaran di mana pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin. Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang tidak terlepas dari kebijakan anggaran dengan titik berat pada kebijakan penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi kebijakan penerimaan misalnya, selain upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah juga diharapkan mampu mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran atau belanja daerahnya. Hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu prestasi dan merupakan salah satu ukuran kinerja pemerintah daerah tersebut. Ukuran kinerja dari sisi ini dilihat dengan membandingkan antara rencana atau target pendapatan maupun pengeluaran atau belanja daerah untuk berbagai kegiatan dan program dengan realisasinya.
110
2.7. Penelitian Sebelumnya Siti Aisyah Tri Rahayu (2000). Dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah (ΔY) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio investasi swasta PMA dan PMDN yang disetujui terhadap PDRB (IP), rasio investasi pemerintah daerah terhadap PDRB (IG), rasio pengeluaran/konsumsi pemerintah (belanja rutin) daerah terhadap PDRB ((G/Y) ΔG) dan rasio penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan non pajak terhadap PDRB (R/Y). Arief Hadiono (2001) Dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Tengah menggunakan data polling sampel populasi kab/kota di Jateng selama tahun 1994-1998 menyebutkan bahwa output suatu daerah (PDRB) merupakan fungsi dari investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan sarana angkutan umum. Devarajan, Swaroop dan Zou (1996) mengemukakan bahwa di 43 negara berkembang selama 20 tahun menunjukkan peningkatan pengeluaran rutin dan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pengeluaran pembangunan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Fadilah (2004) menemukan Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 tumbuh 4,1 %, meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang tercatat sebesar 3,7 %. Seluruh komponen permintaan tumbuh positif, sehingga kontribusi komponen– komponen tersebut dalam pertumbuhan ekonomi juga meningkat.iSementara investasi dan ekspor, walaupun mulai menunjukkan pertumbuhan positif, namun
111
perannya sebagai penggerak perekonomian relatif masih terbatas. Pertumbuhan Ekonomi di negara Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem perekonomian dunia. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah mempercepat laju pertumbuhan negara-negara tersebut. Perubahan tersebut yang disertai teknologi dan telekomunikasi telah mendorong berkurangnya hambatan hambatan lalu lintas barang dan modal antar negara. Hanum (2004) yang menggunakan metode OLS ( Ordinary Least Square) antara lain menemukan bahwa untuk variabel pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mulatip dan Brodjonegoro (2004) dalam jurnal yang berjudul ”Determinan Pertumbuhan Kota di Indonesia”. Dalam penelitian tersebut variabel yang digunakan antara lain yaitu, pertumbuhan kota sebagai variabel terikat. Sebagai variabel bebas yang digunakan yaitu, kepadatan penduduk, urbanisasi (primacy) dan lokalisasi (proporsi manufaktur), pendapatan dan pengeluaran pemerintah, dan tingkat pendidikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan kota. Urbanisasi (primacy) dan lokalisasi (proporsi manufaktur) secara positif mempengaruhi pertumbuhan kota. Sedangkan pendapatan dan pengeluaran pemerintah secara agregat dan tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan kota. Tingkat pendidikan penduduk sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan, berkorelasi positif dengan pertumbuhan kota. Kondisi ini menjelaskan pentingnya peran human capital baik pada level kota maupun level negara.
112
Ananta (2006) mengidentifikasi terhadap faktor determinan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah Propinsi Jawa Tengah. Studi ini menggunakan metode penelitian deduktif kuantitatif dengan menggunakan Path Analysis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan model diagram jalur sebelum krisis (1993-1996), saat krisis (1997-1999) dan setelah terjadi krisis (2000-2005). Pada periode analisis sebelum krisis faktor-faktor yang signifikan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Tengah adalah jumlah penduduk (1,01); teknologi (0,36); dan infrastruktur (0,27) dengan tingkat signifikansi 10%. Sedangkan variable tingkat pendidikan berpengaruh tidak langsung sebesar (0,27) melalui variable teknologi. Pada saat krisis faktor yang signifikan berpengaruh langsung adalah teknologi (0,49), sedang tingkat pendidikan (0,17) berpengaruh tidak langsung dan pada tingkat signifikansi 5%. Sementara setelah krisis faktor yang berpengaruh langsung adalah jumlah penduduk (0,96); teknologi (0,33); infrastruktur (0,32); dan investasi (0,31), sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh secara tidak langsung (0,17) melalui teknologi pada tingkat signifikansi 10%. Variabel jumlah penduduk menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah, terutama untuk penduduk yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan karena terkait dengan terjadinya aglomerasi di kota-kota besar. Penduduk dan proses produksi ekonomi menumpuk di daerah perkotaan. Di sisi lain, penduduk perkotaan diuntungkan dengan adanya aglomerasi sehingga cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang baik dan menyebabkan tingkat konsumsi lebih tinggi. Sementara proses produksi sendiri diuntungkan dengan adanya kemudahan mencari pangsa pasar dan tenaga kerja.
113
2.8. Kerangka Konseptual Dalam kerangka pemikiran perlu dijelaskan secara teoritis antara variabel bebas dan variabel terikat. Berdasar pada uraian sebelumnya maka kerangka pemikiran peneliti dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi (sebagai variabel terikat) yang dipengaruhi oleh pengeluaran rutin, pengeluaran pemerintah, dan investasi. Pengeluaran Pemerintah Daerah Pertumbuhan Ekonomi
Investasi Angkatan Kerja
Gambar 2.5. Kerangka konseptual
2.9. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Dairi. 2. Investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Dairi. 3. Angkatan kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Dairi.
114