BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Masing-masing dimensi IPM ini, direpresentasikan oleh indikator. Dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan oleh indikator angka harapan hidup, dimensi pengetahuan direpresentasikan oleh indikator angka melek huruf dan ratarata lamanya sekolah, serta dimensi kehidupan yang layak direpresentasikan oleh indikator kemampuan daya beli. 2.1.1.1. Angka Harapan Hidup Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Perhitungan angka harapan hidup melalui pendekatan tak langsung (indirect estimation). Jenis data yang digunakan adalah Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Indeks harapan hidup dihitung dengan menggunakan nilai maksimum dan nilai minimum harapan hidup sesuai standar UNDP, yaitu angka tertinggi sebagai batas atas dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. 2.1.1.2. Tingkat Pendidikan Indikator yang digunakan dalam dimensi pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (Mean Years of Schooling − MYS) dan angka melek huruf. Kedua
indikator pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit), dimana Lit merupakan proporsi penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis, sedangkan cerminan angka MYS merupakan gambaran terhadap keterampilan yang dimiliki penduduk. Angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Batas maksimum untuk angka melek huruf adalah 100 (seratus), sedangkan batas minimumnya 0 (nol). Nilai 100 menunjukkan bahwa semua masyarakat mampu membaca dan menulis, sedangkan nilai 0 mencerminkan kondisi sebaliknya. Rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan untuk penduduk usia 15 tahun keatas dalam menjalani pendidikan formal. Perhitungan rata-rata lama sekolah menggunakan dua batasan yang dipakai sesuai kesepakatan
beberapa
negara.
Rata-rata
lama
sekolah
memiliki
batas
maksimumnya 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun. Pada proses pembentukan IPM, rata-rata lama sekolah memiliki bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga, kemudian penggabungan kedua indikator ini digunakan sebagai indeks pendidikan sebagai salah satu komponen pembentuk IPM. 2.1.1.3. Standar Hidup Layak Standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk, sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDRB) riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak
menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota) tidak memakai PDRB per kapita, karena PDRB per kapita hanya mengukur produksi suatu wilayah dan tidak mencerminkan daya beli riil masyarakat. Untuk mengukur daya beli penduduk antar provinsi di Indonesia, BPS menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan telah distandarkan agar bisa dibandingkan antar daerah dan antar waktu yang disesuaikan dengan indeks PPP (Purchasing Power Parity). Pada gambar 2.1 berikut ini ditunjukkan diagram komponen IPM. Gambar 2.1. Diagram Komponen IPM
DIMENSI
Umur Panjang dan Sehat
INDIKATOR
Angka harapan hidup pada saat Lahir
INDEKS
Indeks Harapan Hidup
Pengetahuan
Angka melek huruf (Lit)
Rata-rata Lama sekolah (MYS)
Indeks Pendidikan
Kehidupan yang Layak
Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP Rupiah)
Indeks Pendapatan
Indeks Pembangunan Manusia
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari ketiga komponen IPM di atas, maka capaian IPM dapat dihitung dengan formula:
1 𝐼𝑃𝑀 = (𝑋1 + 𝑋2 + 𝑋3 ) 3 Keterangan:
X1 = Indeks harapan hidup X2 = Indeks pendidikan X3 = Indeks pendapatan UNDP mengelompokkan capaian IPM menjadi empat kategori, yaitu: kategori tinggi dengan nilai IPM > 80, kategori menengah atas dengan 66 < IPM < 80, kategori menengah bawah dengan 50 < IPM < 66, dan kategori rendah dengan IPM < 50. 2.1.2. Keuangan Daerah dan Anggaran Pemerintah Daerah 2.1.2.1. Keuangan Daerah Pengertian keuangan daerah menurut Penjelasan Umum Pasal 156 Ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: “keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Selanjutnya, dalam Ketentuan Umum PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah: “semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”.
2.1.2.2. Anggaran Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah merupakan organisasi sektor publik yang kegiatannya berkaitan dengan usaha memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin serta dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu, maka diperlukan perencanaan yang matang terutama dalam penggunaan keuangan Pemerintah Daerah, karena pada dasarnya keuangan daerah seluruhnya adalah milik publik. Perencanaan keuangan daerah ini dituangkan dalam bentuk anggaran. Didalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 71/2010) melalui PSAP No 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan bahwa anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Mardiasmo (2004) mengemukakan bahwa anggaran sektor publik adalah suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktifitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).
Berdasarkan pengertian keuangan daerah yang menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, daerah mempunyai hak dan kewajiban, maka Pemerintah Daerah memerlukan suatu rencana keuangan setiap tahunnya, yaitu dengan menyusun APBD. Dilihat dari strukturnya, maka sesuai dengan ketentuan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi menjadi Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. 2.1.3. Pendapatan Asli Daerah UU 33/2004 menyatakan Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan pengertian tersebut, didalam UU 28/2009 disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 2.1.3.1. Pajak Daerah Menurut UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi bahwa pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapat lainnya, Simanjuntak (2003) menyatakan bahwa pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh daerahdaerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan
daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerahnya masing-masing. Dari kedua pernyataan di atas, didalam pengertian pajak daerah terkandung makna: a. Kontribusi orang pribadi/ badan yang bersifat memaksa. b. Dipungut berdasarkan Undang-undang / Peraturan Daerah. c. Tidak mendapat imbalan langsung. d. Digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing untuk tujuan kemakmuran rakyat. Lebih lanjut di dalam UU 28/2009 Pasal 1 dan 2, disebutkan bahwa jenis pajak provinsi terdiri atas 5 (lima) jenis yaitu: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok. Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas 11 (sebelas) jenis, yaitu: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2.1.3.2. Retribusi Daerah Menurut UU 28/2009 bahwa retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan, yang terdiri atas: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
2.1.3.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Sesuai dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Penerimaan ini antara lain dari bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 2.1.3.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Menurut UU 33/2004 bahwa yang termasuk dalam Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2.1.4. Dana Perimbangan UU 33/2004 Pasal 1 (18) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.1.4.1. Dana Bagi Hasil (DBH) UU 33/2004 Pasal 1 ayat 20, menjelaskan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Lebih lanjut didalam Penjelasan Umum UU 32/2004 disebutkan bahwa pengalokasian Dana Bagi Hasil (DBH) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam. Menurut UU 32/2004 Pasal 160 menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan Bangunan/PBB; Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan PPh pasal 21. Sedangkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Dalam pengalokasian dan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH), terdapat 3 (tiga) prinsip yang digunakan, yaitu: 1. Pengalokasian DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil); 2. Penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan; dan 3. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 didasarkan atas pemotong atau pemungut pajak di tempat dimana bendaharawan terdaftar sebagai Wajib Pajak dan Pasal 25/29 WPOPDN berdasarkan tempat domisili atau tempat usaha Wajib Pajak terdaftar.
2.1.4.2. Dana Alokasi Umum (DAU) Di dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan dana yang bersifat “block grant”. Artinya, ketika dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan instrumen transfer ke daerah yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah, dan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity) dan dialokasikan dalam bentuk block grant. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Kebutuhan
fiskal
adalah
kebutuhan
pendanaan
daerah
untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum (Yani, 2008). Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-rata nasional. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). 2.1.4.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Didalam UU 33/2004 Pasal 1 ayat 23 disebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. UU 32/2004 Pasal 162 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Sejalan dengan UU 33/2004 ini, menurut PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi sebagai perwujudan tugas ke pemerintahan di bidang tertentu khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus diprioritaskan untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata nasional. Kemampuan fiskal rendah didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan umum daerah dengan belanja pegawai negeri sipil daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran.
2.1.5. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Didalam UU 32/2004 dinyatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah. Sejalan dengan pernyataan didalam UU 32/2004 tersebut, Yani (2008) mengemukakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dalam APBD terdiri dari: 1) Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; 2) Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/ kerusakan bencana alam; 3) Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4) Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan 5) Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. 2.1.6. Belanja Daerah Menurut UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Lebih lanjut didalam Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/ kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2.1.7. Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran Pemerintah (government expenditure) adalah bagian dari kebijakan fiskal (Sukirno, 2001), yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur jalannya perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, melalui dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk daerah atau regional. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah dalam rangka menstabilkan harga, meningkatkan output maupun kesempatan kerja, memacu atau mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Keynes dalam Sukirno (2001), bahwa peranan atau campur tangan pemerintah masih sangat diperlukan, karena apabila perekonomian sepenuhnya diatur oleh kegiatan di pasar bebas, bukan saja tingkat perekonomian tidak tercapai dan tingkat kesempatan kerja penuh tercapai, tetapi juga kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat diwujudkan. Pengeluaran
pemerintah
mencerminkan
kebijakan
pemerintah
(Mangkoesoebroto, 1993). Artinya, apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, maka pengeluaran pemerintah mencerminkan
biaya
yang
harus
dikeluarkan
oleh
pemerintah
untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara teori, dapat diterangkan dalam Keynesian Cross (Mankiw, 2003) pada gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2. Pengeluaran Pemerintah dalam Keynesian Cross Actual expenditure
Government expenditure
Planned expenditure Planned expenditure B
E2=Y2
DG DY A
E1=Y1
450 E1=Y1
DY
E2=Y2
Income, Output, Y
Sumber : Mankiw, N. Gregory. 2003. Pada gambar 2.2 di atas, dapat dilihat bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah, berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui pendapatan dan tingkat output. Peningkatan besarnya pengeluaran pemerintah berhasil merubah keseimbangan dari titik A ke titik B, yang berarti adanya peningkatan atau pertumbuhan (Y). Lebih lanjut, Mangkoesoebroto (1993) menjelaskan bahwa model pembangunan dalam perkembangan pengeluaran pemerintah ini dikembangkan oleh Rostow (1960) dan Musgrave (1993) yang menghubungkan perkembangan pengeluaran
pemerintah
(government
expenditure)
dengan
tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dibedakan menjadi 3 (tiga) tahap yaitu: tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, trasportasi dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya, program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. 2.2. Review Penelitian Terdahulu Review penelitian terdahulu merupakan tinjauan atas penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang masih ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini, yaitu: 1.
Ardiansyah, et al. (2014), melakukan penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Variabel yang digunakan adalah PAD, DAU, dan DAK sebagai variabel independen dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial, PAD berpengaruh positif signifikan terhadap IPM, DAU berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM, DAK berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM; dan secara simultan PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap IPM.
2.
Kusmayoni (2004) melakukan penelitian tentang Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Membiayai Pengeluaran Daerah di Kabupaten Klungkung. Variabel penelitian yang digunakan adalah Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Lain-lain PAD yang Sah sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Lain-lain PAD yang sah berpengaruh signifikan baik secara bersama-sama maupun secara individu terhadap Belanja Daerah. 3.
Pambudi
(2008),
melakukan
penelitian
Analisis
Pengaruh
Tingkat
Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD sebagai variabel independen dan IPM sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap IPM. 4.
Masdjojo dan Sukartono (2009) melakukan penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta Analisis Flypaper Effect pada Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD, DAU, DBH, dan DAK sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PAD, DAU, dan DBH memiliki pengaruh positif signifikan terhadap Belanja Daerah, sementara DAK tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Hasil perbandingan uji statistic t, sig, korelasi dan koefisien determinasi dari variabel Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah adalah lebih besar daripada nilai-nilai statistic Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah Jawa Tengah.
5.
Kurniawati (2010) melakukan penelitian Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten di Indonesia. Variabel penelitian yang digunakan adalah PAD dan DAU sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. PAD secara statistik berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah (koefisien DAU lebih besar daripada koefisien PAD).
6.
Hidayahwati (2011) melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2003−2007. Variabel yang digunakan adalah tingkat kemandirian fiskal dilihat dari komponen PAD (Pajak Daerah, Retribusi Daerah, BHUMD dan PAD lainnya yang sah) sebagai variabel independen dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
kemandirian Indeks
fiskal
Pembangunan
Manusia. 7.
Mirza (2010) melakukan penelitian Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah tahun 2006−2009. Variabel penelitian yang digunakan adalah
Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal sebagai variabel independen; dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. 8.
Handayani dan Nuraina (2012) meneliti Pengaruh Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Madiun. Variabel penelitian yang digunakan adalah DAK dan PAD sebagai variabel independen; dan Belanja Daerah sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pajak Daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. DAK tidak berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Daerah. Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus secara simultan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah.
9.
Pratowo (2012), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia, dengan variabel independen, yaitu: Belanja Daerah, Gini Konsumsi
non
Makanan, dan
Rasio, Proporsi Pengeluaran
Rasio Ketergantungan; dan Indeks
Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial, Belanja Daerah dan Proporsi Pengeluaran non Makanan secara signifikan berpengaruh positif terhadap IPM. Gini Rasio dan Rasio Ketergantungan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap IPM.
10. Astri, et al. (2013), melakukan penelitian tentang Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia. Variabel penelitian yang digunakan adalah Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan, dan Kesehatan sebagai variabel independen; dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap IPM. Secara parsial, pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan berpengaruh pada IPM, sedangkan pengeluaran pemerintah daerah pada sektor kesehatan tidak berpengaruh pada IPM. Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu No
Nama Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel
1.
Ardiansyah, Vitalis Ari, dan Widiyaningsih (2014)
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Independen: - PAD - DAU - DAK
2.
Kusmayoni (2004)
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Membiayai Pengeluaran Daerah di Kabupaten Klungkung.
Independen: - Pajak Daerah - Retribusi Daerah - Lain-lain PAD yang Sah Dependen: - Belanja Daerah
Hasil Penelitian
- PAD berpengaruh positif signifikan terhadap IPM - DAU berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap IPM. Dependen: - DAK berpengaruh - Indeks negatif signifikan Pembangunan terhadap IPM. Manusia - PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap IPM. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Lain-lain PAD yang Sah berpengaruh signifikan baik secara bersama-sama maupun secara individu terhadap Belanja Daerah.
Lanjutan Tabel 2.1. No
Nama Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel
Hasil Penelitian
3.
Septian Bagus Pambudi (2008)
Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
Independen: PAD berpengaruh positif - PAD terhadap IPM Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia
4.
Gregorius N. Masdjojo dan Sukartono (2009)
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta Analisis Flypaper Effect pada Kabupaten / Kota di Jawa Tengah.
Independen: - PAD - DAU - DBH - DAK Dependen: - Belanja Daerah
- PAD, DAU, DBH berpengaruh positif terhadap BD diterima secara signifikan. - DAK berpengaruh positif terhadap BD diterima namun tidak signifikan
5.
Fransisca Roosiana Kurniawati (2010)
Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Provinsi, Kota, dan Kabupaten di Indonesia.
Independen: - PAD - DAU Dependen: - Belanja Daerah
- Secara parsial, DAU dan PAD berpengaruh positif secara signifikan terhadap Belanja Daerah. - Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah.
6.
Nurul Hidayahwati (2011)
Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
Independen: - Kemandirian Fiskal
Tingkat kemandirian fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah Tahun 2006-2009
Independen: - Kemiskinan - Pertumbuhan Ekonomi - Belanja Modal
7.
Denni Sulistio Mirza (2012)
Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia
Dependen: - Indeks Pembangunan Manusia
- Kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM - Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM
Lanjutan Tabel 2.1. No
Nama Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel
Hasil Penelitian
8.
Dwi Handayani dan Elva Nuraina (2012)
Pengaruh Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Madiun.
Independen: - Pajak Daerah - Pajak Daerah berpengaruh secara - DAK positif dan signifikan terhadap Alokasi Dependen: Belanja Daerah - Belanja - DAK tidak berpengaruh Daerah positif terhadap Alokasi Belanja Daerah - Pajak Daerah dan DAK secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah.
9.
Nur Isa Pratowo Analisis Faktor-Faktor (2012) yang Berpengaruh Terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Independen: - Belanja Daerah secara - Belanja signifikan berpengaruh positif terhadap IPM Daerah - Gini Rasio - Gini Rasio secara signifikan berpengaruh - Proporsi negatif terhadap IPM Pengeluaran Pengeluaran non Makanan - Proporsi - Rasio Keter- non Makanan, signifikan berpengaruh positif gantungan terhadap IPM Dependen: - Rasio Ketergantungan - Indeks signifikan berpengaruh Pembangunan negatif terhadap IPM Manusia
10.
Meylina Astri, Sri Indah Nikensari, dan Harya Kuncara W. (2013)
Independen: - Pengeluaran Pemerintah - Belanja Daerah pada sektor dan Daerah Sektor Pendidikan Kesehatan berpengaruh Pendidikan - Belanja terhadap IPM Daerah Sektor - Pengeluaran Pemerintah Daerah pada sektor Kesehatan Kesehatan tidak Dependen: berpengaruh pada IPM - Indeks secara parsial. Pembangunan - Pengeluaran Pemerintah Manusia Daerah pada sektor Pendidikan berpengaruh pada IPM.
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia.