BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka Strategi pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan Nonpuri atau luar puridalam merebut kekuasaanpada pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah ditingkatKabupaten masih mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.Bahkan perebutan kekuasaan dengan taktik atau strategi yang beragam masih menarik untuk diteliti. Beberapa kajian dijadikan acuan dalam studi dalam tesis berjudul strategi pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan Nonpuri padaPilkada Gianyar tahun 2012 ini. Adapun beberapa buku yang digunakan sebagai acuan dalam menulistesis ini adalah buku yang Sahid Gatara, 2009 Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, ketika bicara kekuasaan menurutCharles F.Andrain (Sahid
Gatara, 2008) menjelaskan kekuasaan adalah upaya penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh pengaruh berupa kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang lain, kemudian menurut adrain, kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu hubungan karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Dalam situasi apapun secara umum, Andrain menegaskan bahwa ketika bicara kekuasaan tidak dihindarkan mengulas banyak variable diantaranya sumber daya politik, sarana pendayagunaan dan faktor pendorong
1
pendayagunaan sumber daya.Sumber daya politik menyoroti apa yang menjadi kekuatan
dibalik
tampilnya
seorang
aktor
digelanggang
kekuasaan
politik.Sarana inilah yang dipakai alat atau jaringan yang digunakan seorang aktor untuk menggerakkan sumber daya politik yang dimiliknya. Untuk yang pertama Andrain menjelaskan bahwa paling tidak ada lima tipe sumber daya politik yang melatari seorang aktor ketika tampil di gelanggang politik yakni fisik, ekonomi, normatif, personal dan ahli. Selain tergantung pada pemilihan sumber daya, kekuasaan kekuasaan politik juga menyangkut metode pedayagunaan atau proses penggunaan sumber daya yang secara efektif yakni misalnya bagaimana agar sumber daya dapat bertransformasi menjadi kekuasaan potensial. Berkaitan dengan hal itu, Andrain menilai bahwa hal itu bagian dari dimensi politik yakni dimensi kekuasaan potensial dan aktual. Dimensi tersebut seperti ditafsirkan oleh Ramlan Subakti bahwa seorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, basis organisasi massa, dan jabatan. Sebaliknya seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumbersumber yang dimiliknya ke dalam kegiatan atau aktifitas politik secara efektif (mencapai tujuannya). (Sahid Gatara, 2008 : 268-271). Buku ini memiliki relevansi dengan tesis strategi pemenangan pasangan calon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri karena memiliki hubungan erat dengan
2
strategi peraihan kekuasaan, namun dalam buku ini tidak dijelaskan secara detail soal taktik dan teknikdalah peraihan kekuasaan itu. Buku yang ditulis oleh Keith R.Leg, 1983, Tuan Hamba dan Politisdisebutkan pencapaian kekuasaan juga tak terlepas dari tuan hamba,
intisari dari tautan tuan hamba (patron-klien-relationship) terletak pada jumlah yang terlibat. Namun tautan tuan – hamba di bidang politik terletak pada jumlah yang terlibat. Tautan hubungan tuan –hamba pada umumnya berkenaan dengan pertama hubungan diantara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber saya manusia yang tidak sama. Tolok ukur dari hubungan ini adalah perbandungan kekayaaan, kedudukan, atau pengaruh pihak yang terlibat dalam hubungan tuan – hamba. Dalam beberapa sistem politik masih terdapat politik tuan–hamba, dalam tautan tuan –hamba ini mendapatkan keuntungan materi, sedang pihak tuan menerima keuntungan secara simbolis, kesetian dan keuntungan “politik.” Kedua hubungan yang bersifat khusus, hubungan pribadi yang sedikit mendapatkan kemesraan. Menurut Lande inti sari dari hubungan ini unsur kemesraan ini adalah pihak tuan memperlihatkan kesetian yang hampir seperti orang tua tanggap kepada kebutuhan pihak hamba dan pihak hamba menunjukkan kesetiaan seorang anak kepada tuan. Ketiga hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi serta menerima. Hubungan ini bisa timbul dengan adanya sekutu, hubungan pribadi serta keputusan mengadakan pertukaran didasarkan atas saling menguntungkan dan timbal
3
balik (Legg R Keith,1983 : 10-29).Tulisan ini memiliki kaitan erat dengan penelitian tesis ini, namun dalam buku tersebut tidak disebutkan secara detail soal dimana kekuasaan itu terjadi. Bali Pada Abad XIX ( Agung Gde Agung, I Gde, 1989) disebutkan soal peranan Raja Gianyar dalam mempertahankan teritorialnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam buku ini tertulis sejarah Pulau Bali dalam abad ke -19 dengan masuknya pengaruh Belanda, buku ini memiliki relevansi dengan penelitian ini karena dalam buku itu juga dikupas soal peranan raja Gianyar dalam mempertahankan teritorialnya dan masih memiliki pengaruh sampai saat ini, namun dalam buku itu tidak ada strategi pemenangan Puri dan Non Puri dalam meraih kemenangan. Anak Agung Ari Dwipayana ( 2001 ) menerbitkan buku dengan judul kelas kasta, pergulatan kelas menengah di Bali. Dalam buku ini Ari Dwipayana
struktur
sosial
masyarakat
Bali
pada
masa
kerajaaan,menampakkan bentuk dan susunan yang bersifat feodal. Raja adalah penguasan pemerintahan yang tertinggi yang juga bertindak sebagai Kepala Agama dan Hakim tertinggi.Wilayah kerajaan dibagi atas kekuasaan administratif yang dikepalai oleh seorang punggawa, yang biasanya ditunjuk dari keluarga raja yang terdekat.Raja dan keluarganya dalam system sosial di Bali disebut sebagai golongan “Puri” yang merupakan golongan pemilik sebagian besar tanah yang ada diwilayah suatu kerajaan di Bali. Tanah milik keluarga Puri sering disebut sebagai tanah “Druwe Puri,”
yang
membedakan dengan tanah milik rakyat atau parekan . Kedudukan
4
dominasi bangsawan didukung dan dilegitimasi oleh suatu kultur hegemoni “kasta” atau sering disebut Tri Wangsa yakni Brahmana Wangsa, Ksatria Wangsa dan Jaba Wangsa. Dengan adanya kultur hegemoni “Tri Wangsa” ini kelas petani atau parekan harus tunduk pada kelas bangsawan. Para bangasawan Puri masih dianggap sebagai keturunan dewa-dewa yang memiliki kekuasaan tang dilimpahkan kepada Tuhan kepadanya. Golongan rohaniawan atau pendeta menempati posisi istimewa pada waktu itu.Dalam hal ini Clifford Greetz melihat suatu fenomena terjadinya transformasi kelas dalam masyarakat Bali
yakni
terjadi
transformasi
kelas
feodal
(Puri)
ke
kelas
borjuis.Disamping menjadi bourjuasi, kelas bangsawan juga memasukii kelas menengah baru, yang semakin berkembang dengan system kapitalisme. Banyak golongan Puri yeng berperan professional, manager, akademisi, serta birokrat. Perubahan terus terjadi hingga perlawanan kepada kaum bangsawan terjadi hal ini ditandai dengan gerakan kultur kelas menengah baru Jaba Wangsa muncul pertama kali pada tahun 1921 ditandai dengan berdirinya perkumpulan kala warta (Koran) Surya Kanta yang anggotanya terdiri dari golongan Jaba. Perkumpulan ini menuntut mengubah adat yang bertentangan dengan kemajuan jaman dan menghendaki keterbukaan dalam menduduki posisi ekonomi dan politik bagi kaum Jaba Wangsa.Buku
(Dwipayana,
2001 : 76-83). Dalam buku ini memiliki relevansi dengan penelitian ini
5
karena peran puri atau kalangan bangsawan telah bergeser seiring dengen perkembangan jaman.Namun dalam buku ini tidak diungkapkan soal strategi peraihan kekuasaan puri diera globaliasi saat ini. Selain itu buku The Spell Of Power, sejarah Politik Bali(2009) yang ditulis oleh Henk Schulte Nordholt, dalam buku ini dijelaskan secara detail bagaimana kekuasaan para raja di Bali.Buku yang merupakan kajian antropologi historis mengenai tatanan politik di Bali antara tahun 1650 dan 1940 itu difokuskan pada salah satu kerajaan di Bali Selatan yakni Mengwi, analisi buku ini menelusuri pergolakan dan transisi selama tiga abad didaerah tersebut.Adapun cerminan seorang raja kala itu berdasarkan sumber VOC mengindikasikan bahwa Cokorda Agung Agung Anom sebagai raja yang gagah berani. Hal ini dibuktikan dengan berjuang keras untuk mencapai pusat kekuasaan, empat ratus tahun yang sebelumnya dari kerajaan Majahpahit. Usaha pertamanya pada tahun 1714, ketika itu Agung Anom memutuskan untuk : ‘pergi bersama sejumlah tentara ke Madja Pait untuk menaklukkan Daerah dibawah kekuasaan Gusti Agung, seperti masa dulu, ketika pemimpin oleh kakek buyutnya (leluhur pendahulu) dengan maksud membangun kembali tempat yang sudah hancur itu menjadi jaya dan negara yang berwibawa,” (2009 : 39)
6
Buku setebal 481 memiliki relevansi dalam kajian ini sebagai referensi bagaimana kuatnya peran dan fungsi seorang raja yang merupakan kalangan Puri atau kaum bangsawan dijaman itu, namun dalam buku ini tidak membahas soal campuran Puri dan Nonpuri dalam meraih kekuasaan. Buku Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik(2004) dengan editor I Wayan Ardika dan Darma Putra. Dalam buku ini diungkapkan soal perseteruan antara Golkar dan PDIP dalam memperebutkan simbol-simbol kekuasaan.Kedua partai ini memiliki jaringan untuk masuk ke simbol kekuasaan masyarakat Bali yakni lembaga-lembaga sosial seperti desa adat, maupun Puri (rumah kediaman para bangsawan). Puri pada umumnya dimaksudkan sebagai rumah kediaman raja (istana), yang dijawa disebut pura (baca puro).Namun setelah jaman kolonial, tidak semua Puri berkonotasi sebagai bekas istana raja, banyak sekali Puri yang dulunya dihuni oleh bawahan raja, sepeti punggawa misalnya Puri Ubud, Ubud, Peliatan dan Tegallalang di Gianyar.Basis massa penguasa puri ini, basis mereka tidak lagi bulat seratus persen seperti dijaman kerajaan. Sekalipun demikian kiprah mereka dalam dunia politik masih diperhitungkan oleh para pimpinan partai politik ditingkat pusat.Boleh dibilang mereka menjadi rebutan. Kondisi inilah yang melahirkan tokoh –tokoh berbasis puri pada dewasa ini seperti Anak Agung Puspayoga, Anak Agung Oka Ratmadi, dua saudara tiri dari Puri Satria, Badung ( yang kini masuk wilayah administratif Kota Denpasar), Anak Agung Gde Agung Bharata, SH dari Puri Gianyar.
7
Ketiga elit puri ini adalah orang –orang berpengaruh di PDIP. Sedangkan didalam Partai Golkar muncul nama –nama seperti I Gusti Ngurah Alit Yudha ( Putra pahlawan I Gusti Ngurah Rai dari Puri Carangsari ( Salah satu manca Kerajaan Mengwi), I Gusti Ketut Alit Adhiputra dan Anak Agung Ngurah Permadi dari Puri Pemecutan Badung (kini termasuk wilayah administratif Kota Denpasar) dan Cokorda Budi Suryawan dari Puri Agung Ubud. Mereka adalah tokoh Puri yang memiliki akses massa yang belum tentu dimiliki oleh tokoh puri lainnya. Artinya tidak semua tokoh puri memiliki massa, sebab dalam politik kotemporer ini hanya tokoh puri yang kaya sekaligus royal
akan memiliki massa diluar teritorialnya
tradisionalnya. Ukuran royal pada jaman saat ini adalah mampu memberikan perhatian kepada rakyatnya bisa berbentuk penyama brayaan (suka-duka), seperti rajin berderma, jika ada warga yang sedang membangun balai banjar, dan ikut bergotong-royong. Lebih penting lagi, tokoh puri harus mampu membela dan memenuhi kepentingan rakyatnya misalnya mencarikan pekerjaan. Sedangkan ukuran royalnya bersedia memberikan sumbangan materi untuk menyokong kegiatan kepemudaan ditingkat desa maupun banjar seperti penggalian dana untuk bazzar, sumbangan pembuatan ogohogoh, lomba layang-layang dan lain sebagianya. Pada pemilu Legislatif tahun 2004, terlihat jelas tokoh Puri yang menjadi kendaraan partai politik, baik Golkar maupun PDIP sudah tertatih menggunakan jaringan sosial-politik tersebut.Disini memang menjadi
8
hubungan timbal balik antara puri-partai politik, tidak jauh bedanya dulu antara puri-negara dijaman penjajahan. Didalam menentukan pilihan partai berlaku konsep berseberangan atau mapapas. Pokoknya asal beda dengan lawan, tidak peduli tingkat kedalaman idiologi partai. Pangkalnya adalah dendam sejarah, warisan politik di jaman kerajaan, terutama di akhir abad XIX, berlanjut pada jaman kemerdekaaan ( siapa NIca dan siapa Republik), berlanjut lagi di jaman Soekarno (Siapa PNI, PSI, atau PKI) dan ke jaman Soeharto ( siapa PNIatau PDI dan siapa Golkar). Jaringan politik Puri berbentuk piramida.Puncak piramida diduduki oleh orang Puri.Dibawah Puri ada Jero, yang masih memiliki hubungan geneologis dengan jero,bahkan bisa langsung dengan Puri.Wilayah sebuah Puri bisa mencapai empat kecamatan bahkan lebih.Satu kecamatan terdiri dari beberapa desa dan setiap desa membawahi beberapa banjar.Di setiap banjar jumlah pendukunganya berkisar 100 sampai 1000 kepala keluarga. Di setiap jaman, terjadi persaingan antarjero atau jaringan tradisional Puri mengikuti persaingan ditingkat induk, puri masing-masing. Barang siapa yang mampu menundukkan hati penglingsir puri terutama yang kaya, sekaligus royal maka sekurang –kurangnya akan bisa memperoleh lima puluh persen suara, suatu perhitungan yang sangat kasar sebab kadang – kadang bisa lebih. Lebih beruntung kalau dapat penglingsir yang tak hanya punya ruang kapitalis, kekuasaan lintas desa yang dibangun melalui konsep
9
neopatron-client relationship, hubungan antara buruh dan majikan, karyawan dan owner perusahaan. Diluar kekuasaan puri, partai Politik juga mencari massa dari sisa pangsa pasar lainnya melalui investor politik orang yang menanamkan modal,uang dan waktu untuk meraih keuntungan ekonomi dan sosial melalui partai politik, mereka menjadi broker atau perantara partai dengan rakyat. Mereka berasal dari lingkungan luar puri, namun memperoleh status sosial tinggi karena jabatan politik atau keberhasilan di bidang ekonomi ( Ardika, 2004 : 304-306). Buku ini memiliki relevansi dengan penelitian karena perang kekuasaan menggunakan simbol puri serta strategi penggarapan kekuasaan sampai di tingkat Banjar terus terjadi pada setiap hajatan Pemilu, namun buku ini tidak menjelaskan secara detail soal campuran puri dan nonpuri dalam meraih kekuasaan. Buku Filsafat Demokrasi (2005)yang ditulis oleh Hendra Nurtjahjo, dalam buku ini ditulis soal Teori Kedaulatan Raja, raja dianggap memiliki kedaulatan yang tinggi karena dukungan kekuatan kepercayaan, karismatik, kewibaaan, kesucian keturunan, sekaligus sebagai representasi dari kekuasaan Tuhan yang diberikan secara turun temurun kepada keluarganya. Ada aura yang melingkupi tubuh raja sehingga kalau berjalan maka seluruh tanaman akan subur dan kedamaian akan datang. Hal ini menjadi kepercayaan rakyat sehingga tumbuh secara sukarela maupun pemaksaan bahwa keluarga Purilah yang pantas memimpin rakyat
10
atau negara. (Hendra Nurtjahjo, 2005 : 32). Buku ini memiliki relevansi dengan kajian, karena kepercayaan kepada keluarga Puri sudah ada sejak turun temurun, namun dalam buku ini tidak mengupas secara mendetail soal strategi pemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati campuran puri dan nonpuri diera saat ini. Tesis relasi kekuasaan Puri Ubud dengan partai Politik pada Pilkada tahun 2008 Kabupaten Gianyar Provinsi Bali yang ditulis oleh I Nyoman Wilasa membedah soal bagaimana pengaruh relasi kekuasaan Puri Ubud dengan hubungan tuan hambanya, tesis ini ada relevansinya dengan penelitian ini, perbedaanya sangat mencolok karena dalam tesis itu menulis satu puri yakni tidak membahas soal peranan calon Wakil Bupati dari Nonpuri serta strategi dalam dalam perebutan kekuasaan. Memahami Ilmu Politik (1992) yang ditulis oleh Ramlan Surbakti menyatakan masalah yang muncul dari konsep kekuasaan menurut budaya jawa berbeda sekali dengan tradisi teori politik barat yaitu bukan bagaimana melaksanakan kekuasaan tetapi bagaimana mengakumulasi kekuasaan?Oleh karena itu yang banyak dipermasalahkan dengan budaya Jawa adalah bagaimana memusatkan dan memelihara kekuasaan, bukan bagaimana menggunakan secara tepat.Kekuasaan ala Jawa dipandang memiliki kesakten atau orang yang memiliki kemampuan lebih serta menganggap diri sebagai titisan dewa. Cara lain yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan menurut Budaya Jawa seperti ungkapan berikut “ Siapa yang mencari
11
kekuasaan tidak akan mendapatkannya,” cara ini merupakan upaya sadar untuk mencari, memusatkan dan mempertahankan kekuasaan. (Surbakti Ramlan, 1992 : 82-84). Buku ini memiliki relevansi dengan penelitian utamanya soal strategi meraih kekuasaan atau kemenangan paslon campuran puri dan nonpuri pada Pemilukada tahun 2012, tetapi dalam puri ini tidak diungkap secara mendetail bagaimana peranan tokoh puri dan nonpuri. Buku berjudul persaingan legitimasi kekuasaan, dan marketing politik (2010)yang ditulis Firmanzah menulis dalam pragmatisme politik yang menjadi penting adalah kekuasaan.Sehingga partisipasi politik hanya manifestasi
dari
keinginan
berkuasa.Karena
dorongan
yang
kuat
“kekuasaan” menjadi tujuan akhir dari berpolitik. Mereka yang masih belum memenangkan Pemilu akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat meraih kekuasaan. Sebaliknya bagi mereka yang sedang berkuasa akan mati-matian untuk mempertahankan kekuasaan. (Firmanzah, 2010 : 47). Buku ini memiliki relavansi dengan tesi strategi pemenangan strategi calon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri dalam meraih kekuasaan Buku berjudul Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat ditingkat lokal yang ditulis oleh Lili Romli, 2007 disebutkan dalam demokrasi ini salah satunya akan memunculkan dilema. Di antara dilema yang akan muncul adalah bahwa kepala daerah yang terpilih belum memiliki kemampuan dan kecakapan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Namun karena faktor popularitas, pola hubungan patronase, politik uang dan sebagainya seseorang yang tidak memiliki kemampuan bisa jadi terpilih,
12
itulah demokrasi.Buku ini memiliki relevansi dengan tesis ini, namun dalam buku itu tidak menjelaskan secara detail soal bagaimana perebutan kekuasaan terjadi ditingkat lokal. Buku Yang Pusat dan Yang Lokal antara dominasi, resistensi dan akomodasi politik di tingkat lokal yang ditulis oleh Nick T. Wiratmoko dan kawan – kawan menyebutkan demokrasi sering diimpikan oleh banyak orang Indonesia, karena sering dianggap sebagai obat mujarab bagi perkembangan politik yang kondusif, ternyata justru membangkitkan sintemen-sintemen
primordial.
Kebebasan
yang
disediakan
system
demokratis kepada masyarakat kita justru mendorong orang untuk berorientasi kelompok. Dengan kata lain, demokratisasi dalam politik telah menyuburkan kembali bibit-bibit primordialisme yang masa sebelumnya terasa mengendap dalam sikap masyarakat. Buku ini memiliki relevansi dengan penelitian tesis ini, namun dalam buku ini tidak menyebutkan secara akurat soal strategi pemenangan yang menyebabkan tidak sehatnya demokrasi di tingkat lokal. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia yang diedit oleh Bungaran Antonius Simanjuntak secara gamblang menyebutkan soal kegagalan otonomi daerah selama ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan pula dari buruknya kualitas pilkada.Umum diketahui kalau pelaksanaan Pilkada sejak tahun 2005 sarat degan politik uang.Keadaan ini jelas menyulitkan munculnya kepala daerah
13
yang terpilih memiliki integritas, kompetensi, kapasitas, dan keterpihakan kepada kesejahteraan rakyat. Dengan politik uang tidak sedikit pasangan incumbent, khususnya yang menjadikan birokrasi tersebut bukan saja membuat keberadaan birokrat menjadi tersekat –sekat oleh kepentingan politik tertentu, melainkan merusak system dan fungsi birokrasi.Pada kenyataannya kondisi itu mengakibatkan upaya membangun birokrasi yang professional pupus karena politisasi birokrasi tidak memungkinkan diterapkannya merit system.Dan jargon PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat hanya menjadi ungkapan retoris.( Bungaran, 2013 : 158). Tulisan yang tertuang dalam buku ini memiliki relavansi dengan penelitian tesis ini, tetapi dalam buku tersebut tidak menyebutkan secara mendetail soal bagaimana jargon PNS dalam melanggengkan kekuasaan serta menghegemoni bawahannya untuk memilih salah satu pasang calon. Sistem politik Indonesia, konsolidasi demokrasi pasca orde baru yang ditulis oleh Kacung Marijan secara konseptual, metafora itu terwujud dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon ketika hendak mengikuti konstestasi di dalam Pilkada secara langsung. Ketiga modal itu adalah modal politik ( political capital), modal sosial (social capital) dan modal ekonomi ( economical capital). ( Kacung Marijan, 2010 : 184). Buku ini memiliki relavansi dengan penelitian tesis ini utamanya soal modalitas yang dimiliki pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Campuran Puri dan Nonpuri dalam memenangkan Pilkada Gianyar tahun 2012.
14
2.2
Konsep Konsep adalah terminologi teknis yang merupakan komponen – komponen dari kerangka teori.Beberapa konsep yang merupakan istilah kunci dalam kajian ini, terlebih dahulu diuraikan pengertian masing–masing
2.4.1. Strategi Pemenangan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) on line Strategi adalah (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa (-bangsa) untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai, (2) ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan: sebagai
ia memang
menguasai betul – betul seorang perwira di medan perang, (3) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus, (4) tempat yang baik menurut siasat perang. Sedangkan Pemenangan menurut Arti.com memiliki arti suatu proses, cara, perbuatan memenangkan, pemenangan juga berarti suatu proses untuk mencapai tujuan.Pada buku Menang dalam Pemilu Ditengah Oligarki Partai (2008) disebutkan strategi adalah segala rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan pada Pemilu. Strategi mencakup berbagai kegiatan kegiatan diantaranya menganalisa kekuatan dan potensi suara yang akan diperoleh dalam pencoblosan, juga untuk mengetahui metode pendekatan yang diperlukan terhadap pemilih. (Joko, 2008 :160).Jadi strategi pemenangan adalah segala rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan pada Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Gianyar.
15
3.4.1. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Secara umum berdasarkan UU No 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 59 ayat 1 disebutkan Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah adalah : a. Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. b. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. (2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kendatipun calon perseorangan pada Pemilukada tahun 2012 bisa untuk mencalonkan diri, namun para calon Bupati dan Wakil Bupati lebih
16
memilih menggunakan kendaraan partai politik untuk mencalonkan diri ke KPU Kabupaten. Tepatnya pada hari Minggu 29 Juni 2012, pasangan Anak Agung Bharata, SH –I Made Agus Mahayastra atau dikenal dengan paket BAGUS 12 mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Gianyar bersama partai pengusungnya yakni PDIP dan Demokrat.Selanjutnya lawan politiknya yakni Cokorda Putra Nindia dan Anak –Agung Ngurah atau dikenal dengan paket NING juga mendaftar ke KPU Gianyar. Paket NING ini diusung dari Partai Golkar, PNI Marhaenisme, PPIB. 4.4.1. Campuran Puri dan Nonpuri Menurut Kamus Besar Indonesia campuran berarti (1) sesuatu yg tercampur; (2) sesuatu yg dicampurkan atau untuk mencampurkan; (3) gabungan; kombinasi; (4) tidak asli; (5) peranakan (bukan keturunan asli) Dalam Buku Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik (2004) dengan editor I Wayan Ardika dan Darma Putra pada essai
Prediksi Pemilu
Presiden Tahap Pertama disebutkan Puri itu diartikan rumah kediaman bangsawan. Puri pada umumnya dimaksudkan sebagai rumah kediaman raja (istana), yang dijawa disebut pura (baca puro). Namun setelah jaman kolonial, tidak semua Puri berkonotasi sebagai bekas istana raja, banyak sekali Puri yang dulunya dihuni oleh bawahan raja, seperti punggawa misalnya Puri Ubud, Ubud, Peliatan dan Tegallalang di Gianyar. ( Ardika dan Putra, 2004: 304).
17
Buku Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad ( I Ketu Wiana dan Raka Santri, 1993 :22) golongan Nonpuri atau bertempat diluar Jero, Puri dan Geria, mereka disebut orang jaba.Pengertian campuran puri dan non Puri disini adalah suatu kombinasi golongan bangsawan yang menempati atau rumahnya di Puri dengan golongan jaba atau sudra yang rumahnya berada di luar Puri. Secara menyeluruh pengertian strategi pemenangan pasangan calon atau paslon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri adalah segala rencana dan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh kemenangan menjadi bupati dan wakil bupati dari gabungan atau kombinasi golongan bangsawan puri dan nonpuri atau diluar puri atau mereka dikenal dengan istilah dari golongan sudra atau jaba. 2.3 Landasan Teori Landasan teori adalah teori –teori yang dianggap paling relevan untuk menganalis objek. Sebagai alat teori itulah yang dianggap memadai, paling tepat, baik kaitannya dengan hakekat objek maupun kebaruannya ( Ratna, 2010 : 281). Teori yang relevan berdasarkan objek penelitian tesis strategi pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati campuran Puri dan Nonpuri adalah teori hegemoni, teori praktek dan teori wacana kuasa pengetahuan.Ketiga teori ini dapat memperkuat mengungkap fakta-fakta yang ada dilapangan.
18
2.3.1 Teori Hegemoni Antonio Gramsci adalah pemikir Neo-Marxis kelahiran Ales, Sardinia, Italia pada tanggal 22 Januari 1891 dan meninggal di Roma. 27 April 1937. Antonio Gramsci merupakan salah satu pemikir kiri karena sifat perjuangannya dan garis pemikiran Marxian
yang mengental dalam
coraknya tulisannya dalam usahanya memberdayakan penentangan terhadap rezim berkuasa kala itu, dan juga mengkontrsuksi teori sosial-politiknya. Pemeberdayaan seluruh sisa hidupnya sebagain besar di penjara dalam mengulas dan menafsirkan secara kritis pemikiran pendahulunya maupun sosial –politik di jamannya mensyaratkan kapabilitas, keberanian dan kepakaan dirinya yang harus berhadapan dengan dinding kekuasaan (Santoso, 2012 : 72) Dalam konteks studi ini akan diuraikan lebih detail tentang konsep hegemoni dari Gramsci dalam menganalisis penyebab kemunculan calon bupati dari kalangan puri berstrategi menggandeng tokoh kalangan nonpuri dalam strategi pemenangan calon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri di Gianyar, disamping pada proses perebutan kekuasaandiduga jargon-jargon politik serta pasangan calon melakukan hegemoni untuk meraih kekuasaan. Bagi Gramsci politik bukanlah sekedar cara untuk mencapai kekuasaan, tetapi lebih dari itu, politik itu adalah bagaimana kita mampu mengakomodasikan semua kepentingan dari kelompok masyarakat dalam sebuah aktivitas yang mempunyai sinergisitas.Dasar epistemologis Gramsci dalam hegemoni ini bisa disumberkan dari konsep kesadaran.Suatu
19
pengetahuan atau ideologi atau keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembisaaan maupun dengan pemaksaan (doktrinasi) ke dalam atmosfir kesadaran kolektif –massif, telah memunculkan kesadaran yang relatif baru.Sumber pengetahuan yang dimiliki individu dalam suatu kelompok, tidak mudah ditebak asalnya, bisa saja kesadaran dan pengetahuan yang selama ini mengendap dalam masyarakat merupakan program hegemonik yang ditanamkan oleh kelompok tertentu.(Santoso, 2012 : 82-88). Hegemoni merujuk tentang pengertian tentang situasi sosial-politik yang dalam terminologi Gramsci disebut momen, dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang.Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan.Pengaruh dari spirit ini berbentuk moralitas adat, relegi, prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dalam intelektual.( Nezar Patria dan Andi Arif, 1999 : 121). Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana menurut Lenin) menjadi sebuah konsep yang seperti halnya konsep marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara, menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya.Ia mengembangkan gagasan tenan kepemimpinan dan pelaksanaannya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara ke dalam konsepnya tentang hegemoni.
20
Suatu kelompok sosial biasa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan ( hal ini jelas merupakan syarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut) kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan, bahkan seadainya kekuasaan tetap berada ditangan kelompok, maka mereka harus tetap memimpin ( Gramsci dalam Santoso, 2012 : 89) Konsep hegemoni ini bisa dilacak melalui penjelasan Gramsci tentang supremasi kelas. Menurutnya supremasi sebuah kelompok mewujud dalam dua cara yakni dominasi dan kepemimpinan intelektual. Hegemoni menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin.Ini terjadi dalam citra konsensual.Konsensus yang terjadi antara dua kelas ini diciptakan melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung melalui pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat kekuasaan. Dengan kata lain Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme consensus daripada melalui penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Pada hakekatnya hegemoni itu merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. (Nezar Patria dan Andi Arief, 1999 : 121).
21
2.3.2 Teori Praktik Pierre Bourdieu adalah sosiolog Prancis kelahiran 1 Agustus 1930 dan meninggal 23 Januari 2002. Teori sosial Pierre Boudieu telah menjadi rujukan utama dalam sosiologi dan studi budaya sejaka awal tahun 1970 – an. Karya bourdieu juga memiliki dampak siginifikan pada disiplin ilmu yang berbeda misalnya sosiologi, sejarah, kriminologi, hukum dan bahan studi tentang terjemahan.Di pusat proyek sosiologis Bourdieu adalah teori tentang praktek manusia yang mengawinkan pendekatan subject yang berpusat agen terhadap teori sosial dengan penjelasan bentuk kehidupan sosial. Meski demikian, satu tema yang mempersatukan semua karya Bourdieu adalah kritik terhadap dinamika budaya, kritik ini menyebarkan konsep –konsep kunci yakni habitus, ranah atau field, symbolic power atau kekuasaan simbolik dan symbolic violence atau kekerasan simbolik dan modal budaya (Edkins Jenny dan Nick Vaugan William, 2010 : 134). Dalam konteks studi ini akan diuraikan teori ini pemikiran penting Boedieu yaitu habitus, ranah atau field, modal serta kekuasaan simbol dan kekerasan symbol untuk menganalisa strategi pemenangan calon pasangan bupati dan wakil bupati campuran puri dan non puri.Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko,
2003:9)
menyatakan
bahwa
habitus
merupakan
ketrampilanyang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus
22
mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.Disposisi diperoleh dalam berbagai
posisi
sosial
yang
berada
dalam
suatu
ranah,
dan
mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subjektif terhadap posisi itu (Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk. Editor, 2005: 13-14). Bourdieu menggunakan konsep ranah (field), yakni sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya yang didambakan. Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieuhendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya,melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah dimana beragam
potensi eksis
(Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk.Editor, 2005: 9-10) Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat diantara titik-titik simbolik.Struktur ranah, didefinisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi (Harker, R &Mahar, dalam Mahar dkk editor, 2005: 1011). Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam masyarakat sangat terdiffresiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada
23
yang menguasai dan dikuasai, dimana dalam pembedaan ini, terletak prinsip dasar pengorganisasian soaial.Namun dominasi ini tergantung pada situasi modal dan strategi pelaku (Haryatmoko, 2003:11). Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukumhukum khas setiap arena dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya) (Haryatmoko, 2003:11). Bourdieu menyatakan ada empat macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik.Modal budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh, kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan
simbolik
yaitu
kekuasaan
yang
memungkinkan
untuk
mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Sedangkan modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Fashri, 2014 : 109). Modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti,keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung.
24
Konsepsi penting lainnya dari konsepsi ranah dari Bourdieu adalah volume atau distribusi capital dalam ranah.Dalam beberapa hal konsepsi ini merupakan aspek paling sulit dalam keseluruhan teorinya.Pada level dasar, konsep ini memiliki dua dimensi. Pertama, kapital merupakan pertaruhan para peserta yang sama dalam upaya mereka mengejar tujuan –tujuan. Maka dari itu kapital adalah berbagai bentuk power atau kekuasaan dalam field atau ranah tertentu (Edkins Jenny dan Nick Vaugan William, 2010 : 144). Kapital bisa mengambil berbagai bentuk, kapital bisa berupa modal ekonomi
dalam
kepemilikan
harta
benda
dan
sumber-sumber
keuangan.Akan tetapi kapital juga bebentuk modal budaya atau modal simbolik.Contoh bagi modal budaya antara lain fasilitas verbal, kesadaran budaya, ketrampilan yang diperoleh, pengetahuan akademik khusus dan kualifikasi pendidikan.Habitus, ranah, capital dan symbolic violence adalah unsure –unsur sentral dalam teori budaya tentang tindakan yang dilontarkan Boerdieu.Dalam teori ini, pilihan dan strategi adalah hasil interaksi antara habitus agen dan ranah tempat si agen bertindak. Interaksi ini adalah proses dialektika yang berkelanjutan : Hubungan antara habitus dan ranah atau fieldadalah yang paling utama dari pengondisian, ranah membentuk struktur habitus yang merupakan produk dari penggabungan tuntutan –tuntutanimanen dari ranah, tetapi juga hubungan antara pengetahuan dan kognisi konstruktif : habitus memberikan kontribusi berupa konstitusi pada ranah sebagai dunia pemaknaan, dikaruniai dengan akal dan nilai, yang layak investasi yang
25
diperlukan untuk energi. (Bourdieu dalam Edkins Jenny dan Nick Vaugan William, 2010 : 146) 2.3.3 Teori Wacana Kuasa Pengetahuan Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya kuasa tidaklah represif dan negatif, kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa yang disebutnya sebagai regulasi dan normalisasi.Pemikirannya mengenai kuasa, sering kali disebut sebagai kritik paling tajam terhadap Marxisme. Berbeda dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimanamana, kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Terkahir kuasa tidaklah bersifatdestruktif melainkan produktif. Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik seorang kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia delegasikan kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula kuasa yang ada padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah demikian, baginya “kuasa dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran” (Bertens, 2001: 354). 26
Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi memilikinya.Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga bekerja bahkan pada level terkecil, pada dialog diantara dua orang sahabat, anak dan orang tuanya, sepasang kekasih sekalipun.Pada satu situasi tertentu misalnya, sekelompok demonstran dapat lebih berkuasa, dari seorang presiden.Ketika seorang presiden dipaksa untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang dituntut oleh kelompok demostran, pada saat itu kuasa bekerja pada kelompok demonstran tersebut.Akan tetapi tentu saja kuasa yang dimaksudkan Foucault tidak sesederhana itu.Kuasa tidak dapat dilihat dari satu peristiwa saja, melainkan melalui jalinan berbagai peristiwa yang salingberkaitan.Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan relasi diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi. Foucault lebih melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak tampaklangsung,namundapatdirasakanakibatnya. Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi Marxis, tidak hanya pada bagimana kuasa bekerja.Akan tetapi juga pada penilaian terhadap kuasa.Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir Marxis.Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang lahirnyapengetahuan baru. "Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan sebagai yang menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, menyembunyikan. Ternyata kekuasaan itu menghasilkan : ia 27
menghasilkan sesuatu yang rill, menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran. Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu."(Foucault dalam Haryatmoko, 2001: 219). Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan.Aturan yang menabukan wanita untuk berbicara mengenai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap wanita yang berbicara sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan wanita “baik-baik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi. Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan.Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan.Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun.Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. “Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu” (Haryatmoko, 2003: 225). Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai kehendak untuk mengetahui.Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terinstitusi menjadi displin pengetahuan.Jika telah demikian, maka bahasa adalah alat 28
mengungkapkan kekuasaan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh dari apa yang dimaksud Foucault dengan hubungan kuasa/pengetahuan dapat dilihat dari analisanya mengenai sejarah kegilaan. Kalau seorang tenaga medis berhasil mengisolasi kegilaan, bukan berarti ia memahami kegilaan, tetapi dia memilki kekuasaan atas “orang gila”. Foucault dengan cara itu ingin menunjukkan ilusi kenaifan ilmu-ilmu tersebut. Dalam konteks ini, Suveiller et Punir (1975) melukiskan bagimana bentuk baru kekuasaan semakin meyempurnakan diri dengan bantuan ilmuilmu manusia.(Haryatmoko, 2003:228) Apa yang dikatakan Foucault dalam buku-bukunya sekaligus mengikrarkan bahwasanya pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran tidak lain merupakan startegi kuasa. Obyektivitas dan netralitas adalah cara lain untuk memaksakan kehendak akan kekuasaan. Dari analisanya yang tajam, jelas Foucault meninggalkan Marxisme dibelakang. Pengetahuan ilmiah yang dalam klaim Marx adalah satu-satunya cara untuk melihat kebenaran menembus kabut ideologi kelas berkuasa, kini telah runtuh. Teori ini relevan dengan tesis strategi pemenangan calon Bupati dan Wakil Bupati campuran puri dan nonpuri di Gianyar utamanya untuk mengungkap relasi kuasa pasangan calon untuk meraih kekuasaan di Kabupaten Gianyar.
29
2.4
Model Penelitian Model penelitian dalam tesis ini menekankan dua hal yang penting pertama tentang mengapa calon bupati dan wakil bupati campuran puri dan nonpuri bisa terancang pada Pilkada tahun 2012.Kedua menekankan bagaimana manuver pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati campuran puri dan nonpuri memenangkan Pilkada Gianyar. Sesuai tujuannya penelitian ini bersifat analisis deskriptif kualitif. Maka dalam analisa data diupayakan menggambarkan fenomena yang utuh dan apa adanya dilapangan. Selengkapnya model penelitian diperjelas dengan diagram sebagai berikut : 2.4.1. Diagram Model Puri dan Nonpuri
Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Gianyar Tahun 2012
Demokrasi
Tim Kampanye/Pemenangan
Masyarakat
Mengapa pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Gianyar pada tahun 2012 dari kalangan campuran Puri dan Nonpuri?
Strategi Pemenangan Paket Calon Bupati dan Wakil Bupati Campuran Puri dan Nonpuri di Gianyar Bagaimana langkahlangkah strategis yang ditempuh dalam rangka memenangkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Campuran Puri dan Nonpuri? 30
Partai Pendukung
Apa implikasi strategi tersebut, baik dalam tahapan –tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati maupun dalam program pembangunan di Gianyar?
31