BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Terdahulu Penelitian mengenai makna dalam Al-Qur’an sudah pernah diteliti sebelumnya dan memiliki kaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Ishaq Daulay (2001), menjelaskan tidak ditemukan secara pasti alasan para penerjemah yang keberatan menerjemahkan kata Rabb dan Ilah / dengan kata Tuhan, menurut analisa penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan yaitu: adanya kekhawatiran tidak terpenuhi makna yang terkandung dalam kata Rabb dan Ilah bila diterjemahkan dengan kata “Tuhan”. Kata “Tuhan” bersifat umum yaitu digunakan oleh semua penganut agama di Indonesia. Kata Rabb / kurang cocok diterjemahkan dengan kata “Tuhan” karena mengandung pengertian yang berbeda. Karena kata Ilah dan kata “Tuhan” mengandung pengertian yang identik maka kata Ilah cocok bila diterjemahkan dengan kata “Tuhan”. 2. Halomoan Noor Lubis (1999) menjelaskan terjemahan kata farada, kataba dan kutiba sebaiknya diterjemahkan dengan mengutamakan makna leksikal
guna
menghindarkan
kemungkinan
kesalahpahaman
dan
kebingungan para pembaca yang awam. Terjemahan dari sudut makna gramatikal dapat dipahami apabila hal itu memberikan pengertian yang lebih jelas dan mudah dipahami akan maksud dan pesan yang dikandung dari sudut ayat. 3. Helwati (2004) menjelaskan kata Ad-dinu. Kata Ad-dinu apabila berdiri sendiri memiliki makna agama akan tetapi apabila kata tersebut dirangkai dengan kata lain seperti yaumu,mukhlisina lahu dan lain-lain maka kata tersebut akan mengalami perubahan makna, bentuk seperti ini disebut komposisi dan dinamakan dengan makna gramatikal. Sementara penelitian tentang makna kontekstual dalam Al-Qur’an juga pernah diteliti sebelumnya antara lain sebagai berikut: 5
1. Andi Pratama Lubis (2003) meneliti makna leksikal dan kontekstual kata ﻓﺘﻨﺔ/fitnatun/ dalam Al-Qur’an. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kata ﻓﺘﻨﺔ/fitnatun/ ditemukan sebanyak 34 ayat dalam 23 surat, dan 24 kata ﻓﺘﻨﺔ/fitnatun/ yang mengandung makna kontekstual,dari 24 kata tersebut terdapat 9 makna yaitu: cobaan; kekacauan; ujian; ‘azab; syirik; kesesatan; bencana; siksaan; murtad. 2. Zikri Mahyar (2003), meneliti tentang makna kata ﺫﻛﺮ/żikrun/. Ia menerangkan bahwa kata ﺫﻛﺮ/żikrun/ ditemukan 37 kata yang mengandung makna kontekstual ditemukan sebanyak delapan makna yaitu Al-Qur’an; pelajaran; Kitab; kemuliaan;menerangkan; wahyu; lauhul mahfuzh; dan cerita; tersebar dalam 18 surah dan 35 ayat. Adapun perbedaan yang akan peneliti uraikan dalam kajian ini yaitu peneliti menitikberatkan pada teori kontekstual Abdul Chaer dalam bukunya Linguistik Umum yang mengatakan bahwa makna kontekstual juga dapat berhubungan dengan situasinya yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa juga membandingkan makna kontekstual antara kata ﻣﻠﺔ/millatun/ dan kata ﺩﻳﻦ/dīnun/ sehingga terlihat alasan penggunaan kedua kata tersebut dalam Alqur’an. 2.2 Pengertian Semantik Semantik berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani sema (nomina) ‘tanda’ : atau dari verba samaino ‘menanda’, ‘berarti’. Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengenai makna bahasa. Karena selain makna bahasa, dalam kehidupan kita banyak makna-makna yang tidak berkaitan dengan bahasa, melainkan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang lain, seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda kejadian alam, lambang-lambang Negara, simbol-simbol budaya, simbol-simbol keagamaan, dan lambang atau simbol lainnya (Chaer, 2003: 267). Sementara dalam bahasa Arab, semantik disebut dengan ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ/’ilmu ad-dilālati/. Menurut ‘Umar (1998: 11) mendefinisikan ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ/’ilmu ad-dilālati/ sebagai berikut:
6
ﻳﻌﺮﻓﻪ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺄﻧﻪ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺪﺭﺱ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻔﺮﻉ ﻣﻦ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﻨﺎﻭﻝ ﻧﻈﺮﻳﺔ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺃﻭ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻔﺮﻉ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺪﺭﺱ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺗﻮﺍﻓﺮﻫﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﻣﺰ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻗﺎﺩﺭﺍ ﻋﻠﻰ ﺣﻤﻞ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ /ya’rifuhu ba’ḍahum bi `annahu dirāsatu al-ma’nā aw al-‘ilmu allażĪ yadrusu alma’nā aw żālika al-far’u min ‘ilmi al-lugati allażĪ yatanāwalu naẓriyyata alma’nā aw żālika al-far’u allażĪ yadrusu asy-syurūṭa al-wājiba tuwāfiruhā fĪ arramzi ḥattā yakūna qādiran ‘alā ḥamli al-ma’nā/ “Sebahagian mereka (ahli bahasa) mendefinisikan ia (‘Ilmu Dilalah) adalah kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang yang mengkaji teori makna, atau cabang yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.” Al-Khuli (1982: 251) mengatakan semantik di dalam bahasa Arab adalah:
ﻓﺮﻉ ﻣﻦ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﺪﺭﺱ ﺍﻟﻌﻼﻗﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺮﻣﺰ ﺍﻟﻠﻐﻮﻱ ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ: ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ.ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﻭﻳﺪﺭﺱ ﺗﻄﻮﺭ ﻣﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﻜﻠﻤﺎﺕ ﺗﺎﺭﻳﺨﻴﺎ ﻭﺗﻨﻮﻉ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻭﺍﻟﻤﺠﺎﺯ ﺍﻟﻠﻐﻮﻱ ﻭﺍﻟﻌﻼﻗﺎﺕ ﺑﻴﻦ ﻛﻠﻤﺎﺕ . ﺍﻟﻠﻐﺔ /’Ilmu ad-dilālati. ‘Ilmu al-ma’āni: far’u min ‘ilmi al-lugati yadrusu al-‘alāqata bayna ar-ramzi al-lugawiyi wa ma’nahu wa yadrusu taṭawwura ma’āniya alkalimāti tārīkhiyyan wa tanawwu’a al-ma’ānī wa al-majāza al-lugawiyya wa al‘alāqāti bayna al-kalimāti al-lugati/ “Ilmu semantik. Ilmu tentang makna: cabang dari ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara lambing bahasa dan maknanya serta mempelajari perkembangan makna kata dari waktu ke waktu dan macam-macam makna serta gaya bahasa dan hubungan kata dalam bahasa.” 2.3 Pengertian Makna dan Pembagiannya Al-Khuli (1982: 166) mengatakan makna di dalam bahasa Arab adalah:
. ﻣﺎ ﻳﻔﻬﻤﻪ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻠﻤﺎﺕ ﺃﻭ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺍﺕ ﺃﻭ ﺍﻟﺠﻤﻞ: ﻣﻌﻨﻲ /Ma’nā: mā yafhamuhu asy-syakhṣu min al-kalimāti aw al-‘ibarāti aw al-jumali/ “Makna adalah apa yang dapat dipahami seseorang dari suatu kata ungkapan atau kalimat”. Menurut Djajasudarma (1993: 34) makna adalah hubungan yang ada di antara suatu bahasa.Sedangkan pengertian makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) Arti, (2) Maksud pembicara dan penulis (KBBI, 1995: 619). Chaer (2003: 269) menerangkan bahwa untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak yang perlu diperhatikan seperti psikologi, dan budaya dan dalam
7
studi faktor-faktor itu tercermin pada apa yang disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual. Adapun dalam penelitian ini, peneliti meneliti makna kontekstual dari kata
ﺩﻳﻦ/dīnun/ dan ﻣﻠّﺔ/millatun/ dalam Al-Qur’an. Oleh karena kedua kata tersebut ( ﺩﻳﻦ/dīnun/ dan ﻣﻠّﺔ/millatun/) merupakan dua kata yang dimaknai sama yaitu agama maka peneliti menganggap penting untuk meneliti sekilas tentang makna leksikal dari kedua kata tersebut. Memahami makna leksikal setiap butir kata yang digunakan dalam sebuah ujaran merupakan tahap pertama dalam memahami makna ujaran itu.Namun, menurut Chaer (2003: 270) persoalannya tidak sesederhana itu sebab ada sejumlah kasus di dalam studi yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus-kasus itu adalah: (1) kasus kesamaan makna atau kesinoniman; (2) kasus kebalikan makna atau keantoniman; (3) kasus ketercakupan makna atau kehiponiman dan kebalikannya kehiperniman; dan (4) kasus kesamaan bentuk dan keberbedaan makna atau kehomoniman. Kasus-kasus di atas perlu pemahaman yang mendalam karena sering ditemukan dan menjadi kendala sehingga menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna sebuah ujaran. Dalam penelitian ini, peneliti memilih kasus kesamaan makna atau kesinoniman dari empat kasus di atas untuk menganalisis kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/ dan ﻣﻠّﺔ/millatun/ yang terdapat dalam Al-Qur’an karena seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya bahwa kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/ dan ﻣﻠّﺔ/millatun/ dimaknai sama yaitu ‘agama’. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Arab, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasinya antara sebuah kata dengan kata lainnya.Salah satu bentuk relasi tersebut yaitu dapat berupa kesamaan makna yang disebut sinonim.Menurut (Chaer, 1989:82) Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara Verhar (1978) dalam Chaer (1989: 82) mendefinisikan sebagai ungkapan
8
(bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Sementara Djajasudarma (1993: 36) sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning’ kesamaan arti. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau hubungan di antara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya. Dalam bahasa Arab, sinonim disebut dengan ﺍﻟﺘﺮﺍﺩﻑ/at-tarādufu/. ‘Umar (1998: 145) mendefinisikan ﺍﻟﺘﺮﺍﺩﻑ/at-tarādufu/ sebagai berikut: ﺍﻟﺘﺮﺍﺩﻑ ﻫﻮ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻟﻔﻆ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ ﻭﺍﺣﺪ /at-tarādufu huwa `an yadulla `akṡara min lafẓin ‘alā ma’nā wāḥidin/ “Sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti” Contoh kata-kata yang bersinonim dalam bahasa Arab antara lain: ﺧﻠﻖ /khalaqa/ dan ﺻﻨﻊ/ṣana’a/ memiliki makna ‘membuat, menciptakan’; ﻧﻈﺮ /naẓara/, ﺭﺃﻯ/ra`ā/ dan ﺃﺑﺼﺮ/abṣara/ ‘melihat’; ﻣﺎﺕ/māta/, ﺗﻮﻓّﻲ/tuwuffiya/, dan
ﻁﻔﺄ/ṭafa`a/ memiliki makna ‘mati, meninggal, wafat, padam’;
ﺩ ّﻛﺎﻥ/dukkānun/, ﻫﺎﻧﻮﺕ/hānūtun/ memiliki makna ‘kedai, warung’; dan lain-lain. Pada definisi Verhaar di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja (Chaer, 1989: 82) Menurut Zgusta (1971: 89) dan Ullman (1972: 141) seperti yang terdapat dalam Chaer (1989: 82) kesamaannya tidak bersifat mutlak karena ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Jadi makna kata ﺧﻠﻖ/khalaqa/ dan ﺻﻨﻊ/ṣana’a/ tidak persis sama, andaikata makna kedua kata tersebut persis sama, tentu kita dapat mengganti kata
ﺧﻠﻖ/khalaqa/ dalam kalimat
ﺧﻠﻖ ﷲُ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ/khalaqa allahu as-
samāwāti wal arḍa/ ‘Allah menciptakan langit dan bumi’ menjadi
9
ﺻﻨﻊ ﷲ
ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ/ṣana’a allahu as-samāwāti wal arḍa/ ‘Allah membuat langit dan bumi’. Ternyata penggantian tidak dapat dilakukan karena membuat efek rusaknya makna keseluruhan sehingga menjadi bukti jelas bahwa kata-kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut Chaer (1989:85) ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan lain yang bersinonim banyak sebabnya. Antara lain, karena : 1. Faktor waktu 2. Faktor tempat atau daerah 3. Faktor sosial 4. Faktor bidang kegiatan 5. Faktor nuansa makna Perbedaan-perbedaan di atas menjadikan kata-kata yang bersinonim tidak mudah begitu saja dipertukarkan dalam konteks kalimat. Menurut Chaer (1989: 85) mengutip teori Verhaar bahwa yang sama pada kata-kata yang bersinonim adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Contoh: 1) Sekarang dia tinggal di Manado Kini
dia tinggal di Manado
2) Istrinya yang sekarang orang Medan *kini Kata sekarang dan kini yang terdapat pada dua kalimat di atas adalah dua buah kata yang bersinonim sehingga kata sekarang dapat diganti dengan kata kini seperti terlihat pada contoh (1).Tetapi dalam kalimat (2) kata sekarang tidak dapat diganti dengan kata kini. Lebih lanjut menurut Chaer (1989: 114) kalau kita mengikuti teori komponen makna yang mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut.Maka yang sama dari kata-kata yang bersinonim tersebut adalah bagian atau unsur tertentu itu saja dari makna itu yang sama.
10
Contoh kata ﻣﺎﺕ/māta/ dan ﺗﻮﻓّﻲ/tuwuffiya/. Kata ﻣﺎﺕ/māta/ memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon, dsb). Sedangkan ﺗﻮﻓّﻲ/tuwuffiya/ memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa (2) hanya dikenakan pada manusia. Dengan demikian kata ﻣﺎﺕ /māta/ dan ﺗﻮﻓّﻲ/tuwuffiya/ hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa. Selanjutnya menurut Chaer (1994: 290) makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Sementara menurut Al-Khuli (1982: 57) di dalam bahasa Arab makna kontekstual disebut
ﻣﻌﻨﻰ
ﺳﻴﺎﻗﻲ/ma’nā siyāqiyyun/. Selanjutnya Chaer (2003: 285) mengatakan bahwa memahami makna leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu.Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran, atau juga situasi ujaran. Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada di depan maupun di belakangnya (Chaer, 2003:285). Inilah yang dimaksud dengan konteks intrakalimat. Contohnya kata dalam dan lagi pada kalimat-kalimat berikut: 3) Sungai itu dalam sekali 4) Dalam sungai itu 20 meter 5) Adik lagi makan 6) Adik makan lagi Makna kata dalam pada kalimat (3) dan (4) menjadi tidak sama karena letak posisinya yang tidak sama. Kata dalam pada kalimat (3) bermakna lawan dari kata dangkal, sementara kata dalam pada kalimat (4) bermakna jarak atau kedalaman. Begitu pula dengan kata lagi pada kalimat (5) dan (6), maknanya menjadi berbeda karena letak posisinya yang tidak sama. Kata lagi pada kalimat (5) bermakna
11
‘sedang’, sementara kata lagi pada kalimat (6) bermakna ‘kembali atau untuk kali kedua’. Chaer (2003: 286) menyatakan bahwa banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan maknamakna kalimat sebelum atau kalimat-kalimat sesudahnya seperti contoh berikut: 7) Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan. Menurut keterangan tim medis hal itu karena tiba-tiba si pasien mengalami komplikasi. 8) Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi tidak jadi dilakukan. Hal ini karena rencana operasi itu telah bocor, sehingga tak sebuah becak pun yang keluar. Kata operasi pada contoh (7) bermakna ‘pembedahan’, sedangkan pada contoh (8) bermakna penertiban.Kedua makna kata operasi itu bisa dipahami adalah karena kalimat yang mengikutinya. Selanjutnya Chaer (2003: 286-287) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan konteks situasi adalah kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu diucapkan. Contoh kalimat tanya yang berbunyi, “Tiga kali empat berapa?”, bila diucapkan oleh seorang guru di kelas tiga SD, tentu member jawaban “dua belas”. Namun, bila diucapkan oleh seseorang ditujukan pada tukang afdruk foto, maka jawabannya mungkin “seribu rupiah” ataupun “seribu dua ratus rupiah”. Teori-teori yang telah dikemukakan di atas menjadi landasan penulis untuk kemudian meneliti dua kata yang bersinonim dalam bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu ﻣﻠّﺔ/millatun/ dan ﺩﻳﻦ/dῑnun/. Selanjutnya kedua kata tersebut akan penulis coba teliti seberapa jauh kesamaan makna di antara keduanya dengan menganalisis makna leksikal ditinjau dari kesinoniman dan mencari kemungkinan kasus keantoniman dari ﻣﻠّﺔ/millatun/ dan ﺩﻳﻦ/dῑnun/, dan makna kontekstual kedua kata tersebut ditinjau dari sudut konteks intrakalimat, konteks antarkalimat, dan konteks situasi.
12
2.4 Makna Kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ dan ﺩﻳﻦ/dῑnun/ Dalam Al-Munawwir (1997:437, 1360) kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ dimaknai dengan ﺍﻟﺪﻳﻦ/ad-dῑnu/ ‘agama’ atau
ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ/asy-syarῑ’atu fῑ ad-dῑni/
‘syari’at agama’. Sementara ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ/asy-syarī’atu/dimaknai dalam Al-Munawwir (1997: 711-712) dengan ﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ/al-qānūnu/ ‘peraturan, undang-undang’ dan ﻣﺎ
ﺷﺮﻋﻪ ﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﻭﺍﻷﺣﻜﺎﻡ/mā syara’ahu allāhu min as-sunani wa al-aḥkāmi/ ‘sesuatu yang Allah atur dari tatanan perilaku dan hukum-hukum’. Jadi,
ﻣﻠّﺔ/millatun/ sedikitnya memiliki lima makna yaitu ‘agama, peraturan dan undang-undang, pengaturan, tingkah laku, dan hukum’. Kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/, sedikitnya memiliki tujuh belas makna yaitu ﻣﻠّﺔ/millatun/ ‘agama’; ﺍﻟﻤﻌﺘﻘﺪ/al-mu’taqadu/ ‘keyakinan’; ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ/at-tawḥῑdu/ ‘keesaan’; ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ /al-‘ibādatu/ ‘ibadah’; ﺍﻟﻮﺭﻉ ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ/al-wara’u wa at-taqwā/ ‘kesalehan dan ketakwaan’; ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ/aṭ-ṭā’atu/ ‘ketaatan’; ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ/al-`ikrāhu/ ‘paksaan’;
ﺍﻟﻘﻬﺮ
ﻭﺍﻟﻐﻠﺒﺔ/al-qahru wa al-galabatu/ ‘kemenangan’; ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ/al-ḥisābu/ ‘perhitungan’; ﺍﻟﺠﺰﺍء ﻭﺍﻟﻤﻜﺎﻓﺄﺓ/al-jazā`u wa al-mukāfa`atu/ ‘pembalasan’; ﺍﻟﻘﻀﺎء/al-qaḍā`u/ ‘putusan, keputusan’; ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ/as-sulṭānu wa al-ḥukmu/ ‘kekuasaan dan hukum’; ﺍﻟﺘﺪﺑﻴﺮ/at-tadbīru/ ‘pengurusan, pengaturan’; ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ/as-sīratu/ ‘tingkah laku’; ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ/al-‘ādatu/ ‘adat, kebiasaan’; ﺍﻟﺤﺎﻝ/al-ḥālu/ ‘keadaan’; ﺍﻟﺸﺄﻥ/asysya`nu/ ‘perkara, urusan’; ﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ/al-qānūnu/ ‘peraturan, undang-undang’ (AlMunawwir, 1997: 1360). Diantara komponen-komponen makna dari kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ dan
ﺩﻳﻦ/dῑnun/ di atas, kedua kata tersebut memiliki kesamaan makna yaitu ‘agama, tauhid, keyakinan, ibadah, peraturan dan undang-undang, ketaatan, tingkah laku, dan hukum. Keberbedaan makna antara ﻣﻠّﺔ/millatun/ dan ﺩﻳﻦ/dῑnun/ perlu kajian lebih mendalam ditinjau dari makna kontekstual. Sementara itu, kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/ dan ﻣﻠّﺔ/millatun/ ditemukan terdapat dalam satu ayat di dalam Al-Qur’an seperti yang ditemukan dalam surah Al-An’am ayat
13
161 dan Al-Hajj ayat 78. Selain itu adapula kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/ pada satu ayat kemudian disambung kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ pada ayat berikutnya seperti yang terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 132 dan 135. Salah satu contoh kata ﺩﻳﻦ/dῑnun/ dalam Al-Qur’an terdapat pada surah AlBaqarah ayat 132 sebagai berikut:
َﻲ ﺇِ ﱠﻥ ﷲَ ﺍﺻْ ﻄَﻔَﻰ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺍﻟ ﱢﺪﻳْﻦَ ﻓَ َﻼ ﺗَ ُﻤﻮْ ﺗُ ﱠﻦ ﺇِ ﱠﻻ َﻭﺃَ ْﻧﺘُ ْﻢ ُﻣ ْﺴﻠِ ُﻤﻮْ ﻥ َﻭ َﻭﺻﱠﻰ ﺑِﻬَﺎ ﺇِﺑ َْﺮﺍ ِﻫ ْﻴ ُﻢ ﺑَﻨِ ْﻴ ِﻪ ﻭﻳَ ْﻌﻘُﻮْ ﺏُ ﻳَﺎﺑَﻨِ ﱠ /wa waṣṣā biḥā `ibrāhĪmu banĪhi wa ya’qūbu yā baniyya `inna allaha `iṣṭafā lakum ad-dĪna falā tamūtunna `illā wa `antum muslimūna/ ‘Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim’. Al-Maragi (1993: 404) mengatakan bahwa ayat ini menerangkan tentang wasiat Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ya’qub a.s kepada anak-anaknya agar memeluk agama Islam dan memelihara agama Islam ini agar jangan sampai meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam. Pada ayat ini kata ﺩﻳﻦ/dīnun/ bermakna agama Islam. Makna ini muncul ditinjau dari konteks antarkalimat berdasarkan hubungannya dengan makna-
ْ ﻓَ َﻼ ﺗَ ُﻤﻮْ ﺗُ ﱠﻦ ﺇِ ﱠﻻ َﻭﺃَ ْﻧﺘُ ْﻢ ُﻣ/falā tamūtunna `illā makna kalimat sesudahnya yaitu َﺴﻠِ ُﻤﻮْ ﻥ wa `antum muslimūna/ “maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Kata muslim memperjelas makna dari kata ﺩﻳﻦ/dīnun/ menjadi khusus yaitu agama Islam. Salah satu contoh kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ dalam Al-Qur’an terdapat pada ayat sebelumnya yaitu surah Al-Baqarah: 130 yaitu sebagai berikut:
ََﻭ َﻣ ْﻦ ﻳَﺮْ َﻏﺐُ ﻋ َْﻦ ِﻣﻠﱠ ِﺔ ﺇِﺑ َْﺮﺍ ِﻫ ْﻴ َﻢ ﺇِ ّﻻَ َﻣ ْﻦ َﺳﻔِﻪَ ﻧَ ْﻔ َﺴﻪُ َﻭﻟَﻘَ ْﺪ ﺍﺻْ ﻄَﻔَ ْﻴﻨَﺎﻩُ ﻓﻰ ﺍﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َﻭﺇِﻧﱠﻪُ ﻓِﻰ ْﺍﻵ ِﺧ َﺮ ِﺓ ﻟَ ِﻤﻦ {۱۳۰} َﺍﻟﺼﱠﺎﻟِ ِﺤ ْﻴﻦ /wa man yargabu ‘an millati `ibrāhĪma `illa man safiha nafsahu wa laqad `iṣṭafaynāhu fĪ ad-dunya wa `innahu fĪ al-`ākhirati liman aṣ-ṣāliḥĪna/ ‘Dan orang yang membenci agama Ibrahim hanyalah orang yang membodohi dirinya sendiri. Dan sungguh kami telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini. Dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang shaleh’
14
Al-Maragi (1993: 401) mengatakan bahwa pada ayat ini Allah SWT menjelaskan millah yang diserukan Ibrahim yakni mengajak kepada ajaran Tauhid dan
Islam
(menyerahkan
diri) kepada Allah
di
dalam
melaksanakan
perbuatan.Tidak sepantasnya seseorang berpaling dari ajaran tersebut terkecuali bagi orang-orang yang sengaja menjerumuskan diri ke jurang kehinaan. Kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ pada ayat ini dimaknai sebagai agama yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat berdasarkan hubungan dengan kata-kata yang berada di depannya yaitu kata
ﺇِﺑ َْﺮﺍ ِﻫﻴْﻢ/`ibrāhīm/ ‘Nabi Ibrahim a.s’. Sehingga kata ﻣﻠّﺔ/millatun/ tersebut di ayat ini dapat dipahami sebagai agama Ibrahim.
15