BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Kajian yang Relevan Penelitian tentang campur kode, telah banyak dilakukan, tetapi belum ada yang meneliti tentang campur kode di kalangan remaja. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain sebagai berikut ini. a. Penelitian yang dilakukan oleh Selvianti (2012) yang berjudul “Campur Kode Bahasa pada Masyarakat Buol di Lingkungan Transmigrasi Kecamatan Bokat Kabupaten Buol.” Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Skripsi ini membahas tentang : (1) bentuk-bentuk campur kode bahasa pada masyarakat Buol di lingkungan transmigrasi; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode bahasa Buol di lingkungan transmigrasi. Hasil penelitiannya yaitu campur kode bahasa Buol dan BI bentuk, kode yang ditemukan (1) kata (2) frase (3) baster (4) pengulangan kata dan (5) ungkapan atau idiom. Campur kode bahasa Buol dan bahasa Jawa, bentuk campur kode yang ditemukan (1) kata (2) frase (3) pengulangan kata (4) ungkapan atau idiom (5) klausa. Campur kode bahasa Buol dan Lombok, bentuk campur kode yang ditemukan (1) kata dan (2) frase. Campur kode bahasa Buol dan Bali, campur kode yang ditemukan (1) kata dan (2) frase. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk campur kode yang paling dominan adalah bentuk kata dan frase. Sedangkan faktor-faktor yang paling berpengaruh adalah faktor kebiasaan dan faktor lingkungan.
9
b.
Titin Marlina tahun 2012 dengan judul skripsi “Campur Kode Bahasa Penyiar Radio Nada FM Gorontalo.” Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Skripsi ini membahas tentang : (1) penggunaan campur kode bahasa penyiar Radio Nada FM Gorontalo; (2) manfaat campur kode bahasa penyiar Radio Nada FM Gorontalo. Hasil penelitiannya adalah (1) bentuk campur kode BI ke bahasa Inggris (2) campur kode BI ke bahasa Gorontalo (3) campur kode BI ke Bahasa Jawa (4) campur kode BI ke dialek Jakarta (5) campur kode BI ke bahasa Melayu Manado (6) manfaat penggunaan bahasa campur kode oleh penyiar dan pendengar Nada FM.
Berdasarkan hasil
penelitiannya penyiar yang ada di stasiun Radio Nada FM paling banyak menggunakan kode bahasa daerah, karena di stasiun Radio Nada FM yang sifatnya
swasta
tidak
ada
ikatan-ikatan
yang
diharuskan
penyiar
menggunakan bahasa Indonesia yang baku, sehingga penyiar leluasa menggunakan bahasa dan dialek, yang membuat pendengar dan penelpon leluasa berdialek sehingga penelpon merasa akrab serta nyaman bila berkomunikasi dengan penyiar Radio.
c.
Azizah Purnamawati tahun 2010 dengan judul skripsi “Campur Kode dan Alih Kode Tuturan Penjual dan Pembeli di Pasar Johar Semarang.” Skripsi ini membahas tentang “Wujud atau Bentuk Campur Kode Tuturan Penjual dan Pembeli di Pasar Johar Semarang.” Metode yang digunakan adalah metode simak, rekam, dan catat. Hasil penelitiannya yaitu pemerian wujud campur kode dan alih kode penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang serta penyebab terjadinya campur kode dan alih kode dalam tuturan penjual
10
dan pembeli di pasar tersebut. Simpulan penelitian ini bahwa dalam tuturan yang ada lingkungan penjual dan pembeli di Pasar Johar Semarang terjadi peristiwa campur kode dan alih kode.
d.
Yulia Mutmainnah tahun 2008 dengan judul tesis “Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa : Kajian Sosiolinguistik pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur.” Tesis ini membahas tentang “Variasi Alih Kode dan Campur Kode pada Tuturan Penutur Bahasa Jawa di Kota Bontang dan Faktor Penentu Alih Kode dan Campur Kode.” Metode observasi dan wawancara merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data. Hasilnya yaitu menjelaskan jenis-jenis kode bahasa dan faktor-faktor yang menentukan bentuk alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor sosial penentu alih kode dan campur kode. Simpulannya bahwa dalam tindak tutur yang terjadi pada masyarakat Jawa yang menguasai bahasa lebih dari satu/dwibahasa terdapat peristiwa alih kode dan campur kode. Selain itu, dalam peristiwa alih kode dan campur kode tersebut terdapat beberapa faktor penyebabnya. Dari beberapa kajian yang relevan sebelumnya yang telah disebutkan di
atas, maka penelitian yang meneliti permasalahan yang sama seperti yang diteliti oleh peneliti sekarang yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Titin Marlin dan Azizah Purnamawati. kedua peneliti telah meneliti tentang bentuk-bentuk campur kode dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode.
11
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Campur Kode 2.2.1.1 Hakikat Campur Kode Pada hakikatnya campur kode adalah peristiwa mencampurkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dalam satu pembicaraan. Berkaitan dengan itu, Nababan (1993:32) mengatakan bahwa suatu keadaan lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa ‘speech act atau discourse’ tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/ atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa demikian disebut campur kode. Selain itu, dengan melihat pengertian yang telah dikemukakan oleh Nababan di atas para ahli lain seperti Chaer dan Agustina (dalam http://wwwirsyadafrianto.blogspot.com) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja. Terjadinya campur kode apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya
12
berupa kesantaian atau situasi informal seperti yang telah dikatakan oleh Nababan di atas. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Selain itu, ahli lain yang mendefinisikan tentang campur kode yaitu Harimurti (dalam http://wwwirsyadafrianto.blogspot.com). Menurutnya bahwa campur kode sebagai: (1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Suwito (dalam Wijana, 2011:171) mengemukakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi mempunyai fungsi sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Ibrahim (1993:60) bahwa campur kode adalah penggunaan serpihan-serpihan satu bahasa oleh seorang penutur, namun pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang lain. Melihat definisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas, salah seorang pakar yaitu Ohoiwutun (2002: 69) juga mengemukakan definisi tentang campur kode. Menurutnya bahwa campur kode adalah penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Selain itu, Weinrech (dalam Ohoiwutun, 2002: 69) menamakan campur kode sebagai “mixed grammar”. Berdasarkan pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli tentang campur kode di atas, maka penelitian ini cenderung memilih pendapat yang dikemukakan oleh Suwito. Alasannya, karena pendapat yang dikemukakan
13
oleh Suwito tersebut sangat sesuai dengan masalah yang diteliti, yakni mengambil tentang campur kode bahasa di kalangan remaja di Desa Biluango Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango, sedangkan pendapat dari ahli lain yang telah dikemukakan di atas sebagai pendukung.
2.2.1.2 Jenis-Jenis Campur Kode Dalam peristiwa campur kode terdapat beberapa jenis campur kode yang sering digunakan oleh setiap orang atau penutur. Menurut Suwito (1983:76) bahwa campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (1) campur kode ke dalam (innercode-mixing); campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesianya banyak tersisip unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya, berbahasa daerah dengan banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa Indonesia, maka penutur tersebut bercampur kode ke dalam. (2) campur kode ke luar (outer code-mixing); campur kode yang berasal dari bahasa asing. Campur kode ke dalam adalah campur kode yang unsurnya dari bahasa asli atau serumpun, dan campur kode ke luar adalah campur kode yang unsurnya berasal dari bahasa asing. Selanjutnya
Suwito
(dalam
Pateda
dan
Yennie,
2008:131)
menambahkan bahwa campur kode terdiri atas beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut. a. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang sangat penting peranannya dalam tata bahasa dan kata adalah satuan bahasa yang berdiri
14
sendiri, terdiri dari morfem tunggal atau gabungan morfem. Penyisipan unsurunsur yang berwujud kata, misalnya sebagai berikut. 1) Dedi, saya nggak mau pergi. 2) Antin, jangan lagi kau pergi sudah lat (lat = terlambat, kata dari bahasa Belanda). b. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Frase Kelompok kata yang menduduki sesuatu fungsi di dalam kalimat disebut frase, walaupun tidak semua frase terdiri atas kelompok kata. Salah satu pakar yaitu Cook (dalam Putrayasa, 2007:2) mengatakan bahwa frase adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai cirri-ciri klausa. Selain itu, Ramlan (dalam Putrayasa, 2007:2) juga mengatakan bahwa frase adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase, misalnya “Ali, kiapa ngana cuma duduk?”
c. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Baster Baster merupakan pembentukan kata baru dengan memanfaatkan afiks baik dari bahasa asing atau bahasa daerah. Definisi tersebut sama seperti yang dikemukakan oleh Pateda dalam bukunya Sosiolinguistik. Menurut Pateda dan Yennie (2008: 132) “Baster adalah pembentukan kata baru dengan memanfaatkan afiks dari bahasa asing atau bahasa daerah.” Adapun contoh penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster adalah sebagai berikut.
15
1) Saudara-saudara segera adakan hutanisasi, kalau tidak daerah ini selalu banjir. 2) Hadirin sekalian, mari kita meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan insaniah agar keamanan daerah ini selalu mantap.
d. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Perulangan Kata Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, misalnya sebagai berikut. 1) Ahmad deg-degan menunggu hasil ujiannya 2) Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan dan klik-klikan.
e. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Ungkapan atau Idiom Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (blog Irsyad Afrianto). Adapun contoh penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom adalah sebagai berikut. 1) Saudara-saudara, pemimpin yang baik selalu menerapkan prinsip ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani (di depan member teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi). 2) Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon (perlahan tetapi pasti).
16
f. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Klausa Klausa merupakan kelompok kata yang hanya mempunyai satu predikat seperti yang dikemukakan oleh Cook (dalam Putrayasa, 2007: 2) bahwa klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat. Ramlan dan Kridalaksana (dalam Putrayasa, 2007: 2) mengatakan bahwa klausa adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Jadi, klausa yaitu satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat dan berpotensi untuk menjadi kalimat.
2.2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Campur Kode Dengan melihat perkembangan remaja sekarang bahwa mereka sering menggunakan bahasa lebih dari satu sehingga tanpa disadari bahw mereka telah melakukan pencampuran bahasa. Dalam peristiwa campur kode ini memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa campur kode. Menurut Hendrawati (dalam Selviyanti, 2012:17) bahwa terdapat beberapa faktor yang sering mempengaruhi terjadinya campur kode, antara lain : a. Pembicara dan Pribadi Pembicara Pembicara terkadang sengaja melakukan campur kode terhadap kode terhadap mitra campur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Di pandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan melakukan campur kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu. Pembicara
17
juga terkadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa lain karena kebiasaan atau kesantaian. b. Mitra Bicara Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat melakukan campur kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang daerah yang sama. c. Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung d. Modus Pembicaraan Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon audio visual) lebih banyak menggunakan ragam nonformal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi campur kode daripada modus tulisan. e. Topik Dengan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dengan menggunakan ragam formal. Topik nonilmiah disampaikan “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam nonformal. Dalam ragam nonformal terkadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik membicarakan nonilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode.
18
f. Fungsi dan Tujuan Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi dan sebagainya.
Pembicara
menggunakan
bahasa
menurut
fungsi
yang
dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi atau relevan. Dengan demikian, campur kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
g. Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra bicaranya. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam nonformal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
h. Hadirnya Penutur Ketiga Dua orang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu dan orang berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya. Hal itu dilakukan untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati orang ketiga tersebut.
19
i. Pokok Pembicaraan Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor dominan yang menentukan terjadinya campur kode. Pokok pembicaraan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : 1) pokok pembicaraan yang bersifat formal 2) pokok pembicaraan yang bersifat informal.
j. Untuk Membangkitkan Rasa Humor Campur kode sering dimanfaatkan pemimpin rapat untuk menghadapi ketegangan yang mulai timbul dalam memecahkan masalah atau kelesuan karena telah cukup lama bertukar pikiran, sehingga memerlukan rasa humor. Bagi pelawak fungsinya untuk membuat penonton merasa senang dan puas.
k. Untuk Sekadar Bergengsi Sebagian penutur ada yang melakukan campur kode sekadar untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktorfaktor sosiosituasional yang lain sebenarnya tidak megharuskan dia untuk melakukan campur kode atau dengan kata lain, naik fungsi kontekstualnya maupun situasi relevansinya.
2.2.2 Remaja 2.2.2.1 Konsep Remaja Remaja berasal dari kata berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti
20
yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Selain itu, Santrock (2003: 26) mengemukakan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja merupakan masa yang paling mengesankan dan menarik. Hal tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Sumarsono (2011:150) bahwa masa remaja ditinjau dari segi perkembangan merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokkan, dan “kenakalan”. Ciri ini tercermin dalam bahasa mereka. Keinginan mereka untuk membentuk sebuah kelompok yang eksklusif menciptakan bahasa “rahasia”. Bahasa yang mereka ciptakan ini hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau kalau semua pemuda sudah tahu bahasa ini masih tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua. Dalam masa ini anak mengalami masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan
pertumbuhan dan masa psikisnya. Mereka bukanlah
anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
2.2.2.2 Penggolongan Remaja
21
Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192). Jadi, melihat pendapat para ahli di atas yang menjadi objek penelitian yaitu remaja yang berumur 12- 21 tahun.
2.2.2.3 Bahasa Remaja Bahasa remaja merupakan bahasa yang terbentuk dan berkembang dari kondisi
lingkungan.
Lingkungan
remaja
meliputi
lingkungan
keluarga,
masyarakat dan khususnya pergaulan teman sebaya, serta lingkungan sekolah. Bahasa yang pertama kali dikenal oleh remaja adalah bahasa ibu. Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di tempat tinggal mereka. Hal ini bisa membentuk kepribadian khusus seorang remaja akibat pergaulan dengan masyarakat sekitar. Selain pergaulan dengan masyarakat sekitar, sekolah juga bisa membentuk kepribadian seorang remaja. Sebagaimana diketahui, bahwa lembaga pendidikan memberikan
22
rangsangan yang terarah sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Proses pendidikan tidak hanya memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan, tetapi juga bisa merekayasa perkembangan sistem budaya, termasuk perilaku bahasa. Pengaruh pergaulan dengan masyarakat (teman sebaya) cukup menonjol, sehingga bahasa remaja menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di kalangan tersebut seperti yang telah disebutkan di atas oleh Sumarsono. Dalam setiap berkomunikasi, terutama dengan sesamanya (teman sebaya) remaja sering menggunakan bahasa spesifik yang dikenal bahasa gaul. Selain bukan merupakan bahasa yang baku, kata-kata dan istilah dalam bahasa gaul yang mereka ciptakan ini hanya berlaku bagi kelompok mereka dan bahasa itu merupakan rahasia. Selain Sumarno, pakar lain yang mengemukakan pendapat tentang remaja yaitu Piaget. Menurutnya bahwa remaja memasuki tahap perkembangan yang disebut tahap formal operasional. Piaget menyatakan bahwa tahap ini merupakan tahap tertinggi perkembangan kognitif manusia. Pada tahap ini individu mulai mengembangkan kapasitas abstraksinya. Sejalan dengan kemampuan kognitifnya, Perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata remaja semakin bertambah seiring dengan bertambahnya referensi bacaan. Selain itu, menurut Owen (blog Rozi Setiawan) remaja mulai peka dengan kata-kata yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metafora, ironi, dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa yang seperti inilah yang disebut bahasa gaul. Di samping merupakan bagian dari
23
proses perkembangan kognitif, munculnya penggunaan bahasa gaul juga merupakan ciri dari perkembangan psikososial remaja. Salah satu contoh bahasa remaja yang pernah ada di Indonesia adalah bahasa prokem. Bahasa prokem ini ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata dialek Betawi yang dipotong dua fonemnya yang paling akhir kemudian disisipi bentuk –ok- di depan fonem terakhir yang tersisa. Misalnya, kata “bapak” dipotong menjadi “bap”, kemudian disisipi –ok- menjadi “bokap”. Jadi, bahasa remaja atau sering disebut bahasa gaul merupakan bahasa yang tercipta akibat pergaulan remaja dengan lingkungannya, baik dengan keluarga, masyarakat, maupun teman sebayanya. Selain itu, bahasa ini merupakan bahasa rahasia.
24