BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Merkuri dan Sifatnya Merkuri adalah unsur yang mempunyai nomor atom (NA= 80) serta mempunyai massa molekul relative (MR= 200,59 ). Merkuri diberi symbol kimia Hg yang merupakan singkatan yang berasal dari bahasa yunani Hydrargyricum yang berarti cairan perak. Bentuk fisik dan kimianya sangat menguntungkan karena merupakan satu satu logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (25ºC), titik bekunya paling rendah ( -39 ºC), mempunyai kecenderungan lebih besar menguap, mudah bercampur dengan logam lain menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi), juga dapat mengalirkan listrik sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah (Alfian, 2006). Menurut Lestarisa (2010) Merkuri dihasilkan dari bijih sinabar, HgS, yang mengandung unsur merkuri antara 0,1% - 4%. HgS + O2
Hg + SO2
Merkuri yang telah dilepaskan kemudian dikondensasi, sehingga diperoleh logam cair murni. Logam cair inilah yang kemudian digunakan oleh manusia untuk bermacam macam keperluan. Menurut Palar, (1994) dalam Lestarisa, (2010) secara umum logam merkuri memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1. Berwujud cair pada suhu ruang 25ºC dengan titik beku paling rendah sekitar -39ºC.
2. Merupakan logam yang paling mudah menguap jika dibandingkan dengan logam lain. 3. Tahanan listrik yang dimiliki sangat rendah, sehingga menempatkan merkuri sebagai logam yang baik untuk menghantarkan daya listrik. 4. Dapat melarutkan bermacam-macam logam untuk membentuk alloy yang disebut juga dengan amalgam. 5. Unsur yang sangat beracun bagi semua makhluk hidup, baik itu dalam bentuk unsur tunggal (logam) ataupun dalam bentuk persenyawaan Merkuri atau air raksa (Hg) muncul di lingkungan secara alamiah dan berada dalam beberapa bentuk yang pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk utama yaitu (David K Tan et al, 2006; Clarkson W.Thomas, 2002; WHO, 1989 dalam Inswiasri, 2008): 1. Merkuri metal (Hg0) merupakan logam berwama putih, berkilau dan pada suhu kamar berbentuk cair. Pada suhu kamar akan menguap dan membentuk uap merkuri yang tidak berwama dan tidak berbau. Makin tinggi suhu, makin banyak yang menguap. 2. Senyawa merkuri anorganik terjadi ketika merkuri dikombinasikan dengan elemen lain seperti klorin (Cl), sulfur atau oksigen. Senyawa-senyawa ini biasa disebut garam-garam merkuri. Senyawa merkuri anorganik berbentuk bubuk putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida (HgS) yang biasa disebut Chinabar adalah berwarna merah dan akan menjadi hitam setelah terkena sinar matahari.
3. Senyawa merkuri organik terjadi ketika merkuri bertemu dengan karbon atau organomerkuri. Banyak jenis organomerkuri, tetapi yang paling populer adalah metilmerkuri (dikenal dengan monometilmercuri) CH3-HgCOOH. 2.1.1 Toksisitas Merkuri (Hg) Merkuri dan turunannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia karena sifatnya mudah larut dan terikat dalam jaringan tubuh organism air. Selain itu pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang selalu stabil dalam sedimen. Kelarutannya yang rendah dalam air dan kemudahannya diserap dan terkumpul dalam jaringan tubuh organism air, baik melalui proses bioaccumulation maupun biomagnification yaitu melalui food chain (Budiono, 2003 dalam Rosyidah, 2008). Toksisitas dari merkuri dapat terjadi pada bentuk organik maupun inorganik. Penyakit minamata merupakan contoh toksisitas organik. Di teluk minamata, suatu perusahaan membuang merkuri inorganik ke air, merkuri tersebut kemudian dimetilasi oleh bakteri dan selanjutnya dimakan oleh ikan yang akhirnya dikomsumsi oleh manusia. Toksisitas merkuri inorganik terjadi dalam beberapa bentuk. Merkuri metalik (Hg), merkuri merkorous (Hg1+), atau merkuri (Hg2+). Toksisitas dari merkuri inorganik dapat terjadi dari kontak langsung melalui kulit atau saluran gastrointestinal atau melalui uap merkuri (Subanri, 2008) Dalam tubuh ikan laut, merkuri berbentuk metil merkuri yang memiliki toksitas yang tinggi dan daya ikat yang kuat melalui proses enzimatik. Melalui
proses rantai makanan akan masuk ke dalam tubuh manusia sehingga menimbulkan efek letal dengan keracunan kronis pada manusia. Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan akan merusak menstimulus sistem enzimatik yang mengakibatkan penurunan kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri adalah ginjal, hati dan lensa mata. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Polii, et all. (1999), pada tubuh organisme di perairan Teluk Buyat, Sulawesi Utara mendeteksi adanya kandungan merkuri pada ikan sebanyak 0,002-4,020 ppb, pada bagian hati/perut ikan sebanyak 0,0020,103 ppb dan pada moluska sebanyak 103-173 ppb (Supriharyono, 2007 dalam Maxwel dkk., 2010). Merkuri biasanya masuk ke dalam tubuh manusia lewat pencernaan, baik melalui ikan maupun air. Apabila terjadi akumulasi yang lebih, dapat berakibat pada degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai kondisi saraf, gangguan pada luas pandang, degenerasi pada sarung selaput saraf dan bagian otak kecil (Widodo, 2008). Gejala keracunan merkuri ditandai dengan sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya dengar menurun. Selain dari itu, orang yang yang keracunan merkuri merasa tebal di bagian kaki dan tangannya, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak dan disertai pula dengan diare (Subanri, 2008)
2.2 Tumbuhan Hipertoleransi dan Hiperakumulator Sejumlah tumbuhan terbukti dapat beradaptasi terhadap lingkungan marginal dan ekstrim seperti tanah limbah yang banyak terkontaminasi zat-zat beracun dan memiliki kualitas fisik, kimia maupun biologis sangat rendah. Diantara tumbuhan ini bahkan ada yang memiliki toleransi tinggi sehingga mampu menyerap dan mengakumulasi logam kontaminan di dalam jaringannya (Hidayati, dkk., 2006). Tumbuhan yang mampu tumbuh dengan baik di lahan tersebut berarti mempunyai toleransi yang baik untuk hidup pada lahan marginal (Juhaeti, dkk., 2005). Tanaman yang mempunyai kemampuan menyerap logam berat dari tanah oleh organnya, dikenal sebagai tanaman hiperakumulator. Jenis tanaman ini sangat terbatas. Beberapa peneliti mengusulkan selain tanaman hiperakumulator, jenis tanaman hipertoleransi
yang mempunyai biomassa tinggi bisa juga
digunakan sebagai tanaman fitoremediasi (Ebbs, 1998 dalam Hardiani, 2008). Kadar logam yang terdapat didalam biomassa, agar suatu tanaman dapat disebut hiperakumulator berbeda beda bergantung pada jenis logamnya. Menurut Lasat, (2003) dalam Hardiani, (2008) sebagai acuan tanaman bersifat hiperakumulator adalah tanaman yang dapat menyerap logam berat, sebagai berikut : a. Mampu mengakumulasi logam merkuri(Hg) sebesar 10 mg/kg berat kering b. Mampu mengakumulasi logam Kadmium(Cd) sebesar 100 mg/kg berat kering
c. Mampu mengakumulasi logam kobal (Co), kromium (Cr), tembaga (Cu), dan timbale (Pb) sebesar 1000 mg/kg berat kering d. Mampu mengakumulasi logam nikel (Ni) dan seng ( Zn) sebesar 10000 mg/kg berat kering. Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung sebagai berikut (Priyanto dan Prayitno, 2007 dalam Hardiani, 2009) : 1. Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar. 2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut (xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya. 3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar.
2.2.1 Karakteristik Tumbuhan Hipertoleransi dan Hiperakumulator Secara genetis, spesies tumbuhan sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran atau tidak toleran terhadap keracunan unsur logam non esensial seperti Pb, Cd, Hg, Al dan lain sebagainya (Salisbury dan Ross, (1995) dalam Triastuti, 2010). Mengingat tumbuhan hiperakumulator memiliki sifat hipertoleran terhadap logam berat maka sifat inilah yang merupakan kunci karakteristik yang mengindikasikan sifat hiperakumulator suatu tumbuhan. Suatu tumbuhan dapat disebut
hiperakumulator
apabila
memiliki
karakter-karakter.
Tumbuhan
hiperakumulator dinyatakan sebagai suatu tumbuhan yang dapat mengakumulasi logam berat oleh organnya dalam jumlah yang tinggi. Tumbuhan ini dapat mengakumulasi logam berat dalam jumlah yang berbeda-beda oleh organnya. Menurut Brown et al. (1995) dalam Hidayati, (2005) karakteristik tumbuhan hiperakumulator adalah: 1. Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk 2. Tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman lain 3. Memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur logam dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi.
2.2.2 Persyaratan Tumbuhan Digolongkan Sebagai Hiperakumulator
Suatu jenis tumbuhan dikategorikan sebagai species hiperakumulator ketika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Bersifat toleran terhadap kandungan logam yang tinggi sehingga pertumbuhan akar dan pucuk tidak mengalami hambatan. Tanaman yang toleran tidak akan terganggu pertumbuhannya walaupun tumbuh pada tanah dengan toksisitas yang tinggi. Toleransi ini diduga berasal dari kemampuan tanaman untuk menyimpan logam dalam vakuola sel atau mampu mengkelat logam-logam (Chaney et al., 1997 dalam Widyati, 2011). 2. Mampu menyerap logam (uptake) yang terdapat dalam larutan tanah dengan cepat. Kecepatan uptake ditentukan oleh jenis tumbuhan dan macam logam yang di-uptake. Mampu mentranslokasikan suatu unsur logam dari akar ke bagian pucuk tanaman dengan kecepatan tinggi. (Chaney et al., 1997 dalam Widyati, 2011). 3. Harus mampu menghasilkan biomasa yang tinggi dalam waktu yang cepat (cepat tumbuh), mudah dibudidayakan dan mudah dipanen. (Peer et al., 2008 dalam Widyati, 2011). 2.2.3
Tumbuhan yang Berpotensi Sebagai Hiperakumulator Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam
jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator. Sifat hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi. Dalam proses fitoekstraksi ini logam berat diserap oleh akar tanaman dan
ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney et al. 1995 dalam hidayati, 2005) Banyak jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plants) ditemukan mempunyai
kemampuan
untuk
mengakumulasikan
logam
berat
(metal
hyperaccumulator plants). Lebih dari 400 jenis tumbuhan telah ditemukan mempunyai kemampuan hiperakumulator termasuk anggota famili Asteraceae, Brassicaceae,
Caryophyllaceae,
Cyperaceae,
Cunouniaceae,
Fabaceae,
Flacourtiaceae, Lamiaceae, Poaceae, Violaceae, dan Euphorbiaceae. Famili yang paling banyak dijumpai sebagai hiperakumulator adalah Brassicaceae, spesies dari famili ini mampu mengakumulasikan lebih dari satu jenis logam. Salah satu contohnya adalah Brassica juncea mampu mengakumulasikan Se, As, Cd, Cu, Hg dan Zn. Thlaspi caerulescens merupakan akumulator Cd sedangkan Alyssum sp merupakan akumulator dari Ni. Contoh lainnya, Pistia stratiotes dapat mengakumulasikan Ag, Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn dengan konsentrasi mencapai 5 mM per kg biomas. Tumbuhan P.stratiotes mengakumulasikan logam pada jaringan akar (Gratao et al., 2005). Sudah
banyak
hasil
penelitian
yang
membuktikan
keberhasilan
penggunaan tumbuhan untuk remediasi dan tidak sedikit tumbuhan yang dibuktikan sebagai hiperakumulator adalah species yang berasal dari daerah tropis. Species tersebut diantaranya Thlaspi calaminare untuk seng (Zn), T. caerulescens untuk kadmium (Cd), Aeolanthus biformifolius untuk tembaga (Cu), Phylanthus serpentinus untuk nikel (Ni), Haumaniastrum robertii untuk kobalt (Co) Astragalus racemosus untuk selesium (Se), dan Alyxia rubricaulis untuk
mangan (Mn) (Li, et. al., 2000 dalam Wise et. al., 2000). Selain itu Brachiaria mutica untuk air raksa (Hg) (Kartawinata 2002 dalam Juhaeti, dkk., 2005). Beberapa jenis tumbuhan juga terbukti mampu beradaptasi pada lingkungan pembuangan limbah penambangan emas rakyat yang terkontaminasi merkuri (Hg) hingga 21,66 ppm, di antaranya Lindernia crustacea (L.) F.M. yang mampu menyerap Hg hingga 89,13 mg per kg berat keringnya dan Digitaria radicosa (Presl) Miq. yang mengandung Hg 50,93 mg/kg (Hidayati et al., 2004) Hasil penelitian Kelompok Penelitian Fisiologi Stress Bidang BotaniPuslit Biologi LIPI menunjukkan bahwa Paspalum conjugatum, Cyperus monocephala, Centrosema pubescens, Mikania cordata, Commelina nudiflora, Salvinia
molesta,
Monochoria
vaginalis,
Limnocharis
flava
mampu
mengakumulasi merkuri dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya (Juhaeti, dkk., 2009). Beberapa hasil penelitian menunjukkan telah ditemukan 435 jenis tanaman hiperakumulator yang dapat digunakan dalam proses fitoremediasi seperti tanaman Musa paradisiaca, Zea mays, Dahlia pinnata, Vetiveria zizanioides, Alamanda cathartica, Panicum maximum, Ischaemum timorense, Helianthus annus, Papirus sp. dan tanaman air lainnya (Priyanto dan Prayitno, 2007 dalam Hardiani 2009). Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
beberapa
tanaman
memiliki
kemampuan untuk tumbuh pada media limbah pengolahan emas yang memiliki karakteristik fisik dan kimia marjinal. Tanaman yang toleran pada media limbah menunjukkan penyerapan logam berat yang lebih tinggi, tetapi tingginya
penyerapan logam tidak selalu berkorelasi positif dengan produksi biomassa. M. cordata dan C. mucunoides mampu menyerap logam dengan konsentrasi tinggi walaupun produksi biomassanya tidak terlalu tinggi, sebaliknya C. pubescence mampu memproduksi biomassa lebih tinggi pada limbah yang terkontaminasi logam berat, tetapi kemampuan menyerap logam berat lebih rendah dibandingkan M. cordata dan C.mucunoides (Hidayati, dkk., 2006). 2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Logam Berat Pada Tumbuhan Kadar logam berat dalam tanaman dipengaruhi oleh jangka waktu tanaman kontak dengan logam berat, kadar logam berat dalam tanah, morfologi dan fisiologi tanaman, umur tanaman serta jenis tanaman
yang tumbuh
disekelilingnya ( Oppelt, 2000 dalam Hayati, 2010). Perbedaan relatif dalam penyerapan ion-ion logam berat antara spesies-spesies tanaman dan kultivarkultivar secara genetic dipengaruhi oleh faktor-faktor : daerah permukaan akar, KTK akar, eksudat akar, dan kecepatan evapotranspirasi. Dari proses fisiologi tanaman, beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan logam berat adalah ( Oppelt, 2000 dalam Hayati, 2010) : 1. Tipe akar. Sistem perakaran serabut memilki akar-akar halus yang tersebar didalam tanah, sehingga akan terjadi kontak maksimum dengan tanah karena besarnya luasan perakaran. 2. Kedalaman akar. Kedalaman akar berbeda untuk untuk berbagai jenis tanaman, dipengaruhi oleh kondisi lokal diantaranya : kedalaman air, kadar air tanah, struktur tanah, densitas tanah dan kesuburan tanah.
3. Kecepatan pertumbuhan. Kecepatan tumbuhan secara langsung akan mempengaruhi kecepatan remediasi. Untuk fitoekstraksi, yang diharapkan adalah kecepatan pertumbuhan tanaman diatas tanah. Dengan tingginya massa akar dan tingginya biomassa tanaman, maka besarnya kontaminan yang diakumulasi, tranpirasi air, asimilasi dan metabolism kontaminan atau produksi eksudat dan enzim akan meningkat. Kecepatan tumbuh yang tinggi akan memperpendek waktu yang diperlukan untuk mencapai biomassa yang tinggi. 4. Kecepatan transpirasi. Kecepatan transpirasi tanaman penting untuk teknologi fitoremediasi yang mempengaruhi pengangkutan kontamin dan control hidrolik. Faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan transpirasi antara lain spesies tanaman, umur, massa, ukuran, faktor iklim dan musim. 2.3 Batas Pencemaran Logam Merkuri (Hg) Ambang batas pencemaran tanah belum ada ketetapan dari pemerintah, tetapi untuk menentukan kualitas tanah dapat dilihat dari indikator-indikator yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Doran dan Parkin (1994) dalam Winarso (2005), Indikator kualitas tanah dan kesehatan tanah sebagai berikut: 1. 2.
3.
Indikator-indikator fisik meliputi tekstur tanah, kedalaman tanah, topsoil atau zone perakaran, infiltrasi, berat isi tanah, dan kemampuan menyimpan air. Indikator-indikator kimia meliputi bahan organik tanah (BOT) atau karbon dan nitrogen organik, PH tanah, daya hantar listrik (EC) dan N, P, K dapat diekstrak. Indikator-indikator biologi meliputi karbon dan nitrogen mikroorganisme, potensial nitrogen dapat termineralisasi dan respirasi tanah, kadar air, dan temperatur tanah. Selanjutnya Harris dan Bezdicek (1994) dalam sastrawijaya (1991),
menyatakan bahwa indikator-indikator kualitas tanah dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok utama yaitu indikator analitik dan indikator deskriptif. Kontaminan-kontaminan tanah yang dipilih sebagai indikator adalah yang mempunyai pengaruh pada tanaman, binatang, dan kesehatan manusia atau fungsi-fungsi tanah. Selanjutnya untuk mengetahui pengukuran kualitas/mutu air terhadap pencemaran merkuri, sebagai dasar kelayakan pemanfaatan air tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang mutu air yang dapat digunakan sebagai standarisasi pemanfaatan berdasarkan kelasnya. Peraturan tersebut seperti yang telah dituliskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tersedia pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Kelas No.
Parameter
1
pH
2
Besi (Fe)
3
Satuan
I
II
III
IV
6-9
6-9
6-9
5-9
mg/l
0,3
(-)
(-)
(-)
Mangan (Mn)
mg/l
0,1
(-)
(-)
(-)
4
Tembaga (Cu)
mg/l
0,02
0, 02
0,02
0,02
5
Kadmium (Cd)
mg/l
0,01
0,01
0,01
0,01
6
Seng (Zn)
mg/l
0,05
0,05
0,05
2
7
Timbal (Pb)
mg/l
0,03
0,03
0,03
1
8
Kromium (Cr)
mg/l
0,05
0,05
0,05
1
9
Arsen (As)
mg/l
0,05
1
1
1
10
Merkuri (Hg)
mg/l
0,001
0,002
0,002
0,005
Sumber: Widodo, 2008.
Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui bahwa batas meksimum untuk merkuri dalam perairan, pada kelas I (bahan baku air minum) merkuri dalam perairan memiliki ambang batas yaitu 0,001 mg/l. Pada kelas II (sarana rekreasi air, budi daya ikan air tawar, peternakan) ambang batas merkuri adalah 0,002 mg/l. Untuk kelas III (budi daya ikan tawar, peternakan) ambang batas merkuri adalah 0,002 mg/l. Sedangkan kelas IV (pengairan) ambang batas merkuri adalah 0,005mg/L. Ini membuktikan bahwa kriteria ambang batas maksimum merkuri pada perairan sangat kecil dibandingkan dengan unsur yang lain. Kadar Hg di udara ambien daerah yang tidak tercemar oleh Hg berkisar antara 20-50 ng/m3 (Sudarmaji, dkk., 2006)