6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sulfur Dioksida Sulfur dioksida merupakan gas tak terlihat yang berbau sangat tajam dalam konsentrasi yang pekat, mempunyai sifat tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak serta menyerang sistem pernafasan manusia. Konsentrasi gas SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera manusia (tercium baunya) manakala konsentrasinya berkisar antara 0,3 – 1 ppm. Hanya sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan hasil dari aktivitas manusia, dan kebanyakan dalam bentuk SO2 . Sebanyak dua pertiga dari jumlah sulfur di atmosfer berasal dari sumber-sumber alam seperti volcano, dan terdapat dalam bentuk H2S dan oksida. Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang dibuat manusia adalah dalam hal distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi pada daerah tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya, sedangkan polusi dari sumber alam biasanya lebih tersebar merata. Transportasi bukan merupakan sumber utama polutan SO x tetapi pembakaran bahan bakar pada sumbernya merupakan sumber utama polutan SO x, misalnya pembakaran batu arang, minyak bakar, gas, kayu dan sebagainya (Wardhana, 2001). Udara yang tercemar Sulfur Oksida (SOx) menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernafasannya. Hal ini karena gas SO x yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, dan saluran nafas yang la0in sampai ke paru-paru. Serangan gas SOx
6
7
tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Iritasi tenggorokan terjadi pada konsentrasi gas SO2 sebesar 5 ppm atau lebih (Soemirat, 2002). Selain gas SO2 dapat mengganggu kesehatan manusia juga merusak lingkungan, karena gas SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air hujan SO2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di atmosfer. Oleh karena itu gas SO2 bersifat korosif. Batas kadar SO2 pada udara bersih adalah 0,03 ppm (Enger, 2004).
2.2 Sensor Elektrokimia Sensor adalah peralatan yang digunakan untuk merubah suatu besaran fisik menjadi besaran listrik sehingga dapat dianalisa dengan rangkaian listrik tertentu. Dalam membangun sistem sensor, beberapa parameter harus dipenuhi agar sensor bekerja dengan baik. Parameter itu antara lain sensitifitas, selektifitas, dan waktu respon. Sensitifitas yaitu seberapa sensitif sensor dapat mengetahui perubahan kondisi alam yang ingin dideteksi. Dalam sistem gas sensitifitas ditunjukkan dari kemampuan sensor untuk mendeteksi gas dalam jumlah yang sedikit. Selektifitas adalah kemampuan sensor untuk memisahkan perubahan kondisi yang ingin dideteksi dibandingkan dengan gangguan-gangguan yang ada. Beberapa sensor gas menggunakan teknik katalitik untuk meningkatkan selektifitas sensor. Sedangkan waktu respon adalah waktu yang dibutuhkan sensor untuk merespon perubahan kondisi alam yang ada. Tentunya semakin cepat nilai
8
waktu respon ini, berarti akan semakin baik sensor tersebut. Pada tabel 2.1 diperlihatkan jenis sensor, prinsip kerja, serta besaran yang terukur. Tabel 2.1 Jenis-jenis sensor (J.Wang, 2000) Jenis Sensor
Prinsip
Nilai terukur
Potensiometrik
EMF
Tegangan
Semikonduktor
Pergerakan ion
Hambatan
Voltametrik
Difusi
arus
terbatas
Arus
sebagai fungsi voltase Amperometrik
Difusi arus terbatas pada
Arus
voltase yang digunakan
Sensor
elektrokimia
merupakan
peralatan
deteksi
yang
bekerja
berdasarkan reaksi antara komponen sensor dengan analit yang dapat berupa gas atau ion, menghasilkan signal elektrik yang setara dengan konsentrasi analit. Sensor elektrokimia untuk mendeteksi gas umumnya terdiri atas elektroda kerja dan elektroda pembanding. Komponen lainnya adalah elektrolit padat atau Solid Ionic conductor (SIC) (Gellings dan Bouwmester, 1997) Keterangan Gambar : 1.
Elektroda sensing
2. Elektroda referen 3. Elektroda counter
Gambar 2.1 Jenis-jenis elektroda pada sensor elektrokimia Salah satu metode sensor elektrokimia untuk mendeteksi gas adalah sensor elektrokimia berbasis elektrolit padat. Sensor elektrokimia dengan elektrolit
9
padatan dapat mengkonversi potensial suatu spesies kimia tertentu yang tidak diketahui menjadi signal elektrik yang terukur melalui persamaan Nernst yang menerangkan bahwa bila terdapat gradien konsentrasi kimia melewati suatu elektrolit maka akan terbentuk potensial elektrik : 2
E
RT Px ln nF Px 1
Sistem elektrik yang digunakan dalam sensor elektrokimia dengan pemanfaatan elektrolit padat dapat berupa potensiometer atau amperometer. Pada sensor potensiometri yang diukur adalah voltase dari sel, emf (gaya gerak listrik) dari sel galvanik yang merupakan fungsi logaritma dari rasio P2/P1 dengan P1dan P2 adalah tekanan parsial gas dari komponen aktif pada kedua elektroda (Weppner, 1987). Skema sensor amperometrik untuk gas SO2 diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Salah satu elektrolit padat yang dapat digunakan untuk sensor gas SO2 diantaranya adalah [MgZr4(PO4)6].
Gambar 2.2 Skema alat sensor gas SO2 (Wang dan Kumar, 2003)
10
Adapun mekanisme deteksi gas SO2 pada peralatan sensor dimulai dengan oksidasi SO2 menjadi SO3 oleh katalis Pt, kemudian pada peralatan sensor terjadi reaksi sebagai berikut : SO3 + Na2O Na2SO4 Na2SO4 + MgO Mg2+ + 2e + ½ O2 + SO3 2e + ½ O2 +Mg2+ MgO Besarnya potensial listrik yang terukur sebanding dengan jumlah elektron atau sebanding dengan konsentrasi SO3 (Wang dan Kumar, 2003).
2.3 Elektrolit Padat Elektrolit padat adalah elektrolit yang ion-ionnya tidak berada pada posisi kisi tertentu, tetapi dapat bergerak dengan cukup bebas dalam struktur kristal. Eksperimen tentang elektrolit padat pertama kali dikembangkan oleh Faraday pada abad 19. Namun perkembangan yang cukup pesat baru berlangsung sejak akhir dekade 70-an seiring dengan penemuan bahan-bahan baru dan terbukanya kemungkinan penggunaan bahan ini di berbagai bidang teknologi. Berdasarkan
jenis
ion
penghantarnya,
elektrolit
padat
dapat
dikelompokkan menjadi elektrolit padat kation seperti Li +, Na+, K+, Ag+, Cu+, Ti+, Pb2+, H+ atau H3O+ atau
dan elektrolit padat anion seperti F- atau O2-
(Kumar, P Padma dan S Yashonath,2006). Struktur dan sifat elektrolit padat merupakan keadaan intermediet dari padatan kristal normal yang memiliki struktur tiga dimensi dan ion yang immmobile dengan larutan elektrolit yang tidak memiliki struktur tetapi memiliki
11
ion-ion yang mobile. Sebagian besar elektrolit padat hanya mempunyai konduktifitas yang cukup besar pada temperatur tinggi. Pada temperatur rendah, larutan padat dapat mengalami transisi fasa menjadi polimorf yang memiliki konduktifitas ionik rendah. Elektrolit padat dapat terbentuk karena peningkatan konsentrasi cacat serta berangsur-angsur seiring meningkatnya temperatur. Sebagai contoh ZrO 2 konsentrasi kekosongan anion di atas 600 oC cukup besar sehingga zirkonia merupakan konduktor ion oksida bertemperatur tinggi yang baik. Sifat konduktifitas ionik dari elektrolit padat inilah yang dimanfaatkan penggunaannya sebagai material sensor. Hantaran listrik atau disebut juga konduktifitas listrik timbul karena adanya migrasi elektron atau migrasi ion. Konduktifitas elektronik adalah konduktifitas listrik yang disebabkan migrasi elekltron-elektron. Sedangkan, konduktifitas ionik adalah konduktifitas listrik yang terjadi karena migrasi ionion. Migrasi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme yaitu mekanisme kekosongan (vakansi) dan mekanisme intertisi. Terdapat dua macam defek/cacat pada kristal yang dapat menambah kemudahan ion untuk bergerak atau berdifusi. Kedua defek/cacat tersebut yaitu cacat schottky dan cacat frenkel seperti pada gambar 2.3.
12
(a)
(b)
Gambar 2.3 Cacat Frenkel (a) dan cacat Schottky (b) pada kristal Pada migrasi vakansi, sejumlah tempat yang akan diduduki secara ideal (struktur bebas cacat) ternyata kosong. Hal ini disebabkan adanya pertambahan kation akibat panas, yang kemudian berpasangan dengan vakansi anion menghasilkan cacat schottky ataupun dengan adanya impuritas. Ion yang terletak bersebelahan dengan vakansi yang lain dan akan meninggalkan suatu tempat kosong. Pada migrasi intertisi, tempat intertisi didefenisiskan sebagai tempat yang selalu kosong pada struktur ideal. Pada struktur sebenarnya, ion dapat menduduki tempat intertisial dengan adanya doping atau penggantian ion dari kisi ke dalam tempat intertisial sebelahnya. Loncatan ini bisa merupakan hanya satu tahapan dalam
suatu
proses
konduksi
long-range.
Kedua
mekanisme
tersebut
dikategorikan sebagai alokasi loncatan ion. Pada umumnya proses pemindahan ion berlangsung dengan mengikuti mekanisme intertisial (Galperin, 2006) Konduktifitas ionik bergantung pada jenis ion yang bermigrasi dalam material. Jika ion-ion pembawa muatan positif yang bermigrasi maka material tersebut dinamakan konduktor kationik, dan jika ion-ion pembawa muatan negatif
13
yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor anionik. Dalam batas tertentu, migrasi ion tidak dapat terjadi dalam kebanyakan padatan yang memiliki ikatan ionik dan ikatan kovalen. Atom-atom cenderung pada kisinya dan hanya dapat berpindah melalui cacat kristal. Dalam hal ini hanya pada temperatur tinggi konduktifitas dapat terjadi karena pada kondisi ini konsentrasi cacat menjadi semakin besar dan atom-atom memiliki cukup energi termal. Kebergantungan konduktifitas ionik terhadap temperatur dinyatakan oleh persamaan Arrhenius: E RT
A exp
dengan E adalah energi aktivasi R adalah konstanta gas T adalah temperatur absolut Dalam material padat, konduktifitas kristal biasanya dinyatakan dalam konduktifitas spesifik (σ). Nilai konduktifitas spesifik diberikan oleh persamaan:
ni ei
i
dengan ni adalah jumlah pembawa muatan spesi i ei adalah muatan elektron (1,6 x 10-19 C) μi adalah mobilitas ionik Elektrolit padat dapat dikelompokkan dalam berbagai klasifikasi, diantaranya: 1. Klasifikasi menurut temperatur, dimana konduktor ionik mempunyai nilai tertentu pada suatu rentang temperatur.
14
2. Klasifikasi dengan dasar jenis ion, didasarkan pada mobilitas yang paling tinggi antara kation atau anion. Klasifikasi dengan dasar jenis ion lebih sering digunakan pada area sensor elektrokimia, sebagian elektrolit padatan anorganik secara signifikan hanya memperlihatkan konduktifitas ioniknya pada temperatur elevasi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya energi aktifitas sebagai energi minimal yang dibutuhkan untuk menggerakkan ion. Sedangkan beberapa elektrolit polimer mempunyai kelebihan mampu bekerja pada temperatur yang lebih rendah dan telah diteliti secara intensif dalam beberapa dekade. Dibandingkan dengan elektrolit larutan, penggunaan eelektrolit padatan lebih praktis, sebagai contoh adalah bahwa elektrolit larutan selalu membutuhkan kontainer sedangkan hal tersebut tidak dibutuhkan pada pemakaian elektrolit padatan, sehingga ini dapat memudahkan dalam rancang bangun sensor dan sangat cocok untuk teknologi pembuatan produk secara mikro, seperti dalam penggunaan elektrolit padat pada mikrosensor elektrokimia, sel batrerai, fuel-cell, dan electrochromic display (Klettz, 1979). Batas nilai konduktifitas spesifik yang digolongkan sebagai suatu jenis material tertentu diberikan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Batas Nilai Konduktifitas Spesifik untuk Karakteristik Material
Konduksi ionik
Konduksi elektronik
Material Kristal ionik Elektrolit padat Elektrolit cair Logam Semikonduktor Isolator
Σ (ohm-1cm-1) <10-18 – 10-4 10-3 – 10 10-3 – 10 10 – 105 10-5 – 102 <10-12
15
2.4 Magnesium Zirkonium Posfat Magnesium Zirkonium Posfat (MZP) pertama kali disintesis oleh Ikeda et,al. (1986) dengan metode reaksi padat-padat. Material awal yang digunakan adalah magnesium karbonat, zirkonium oksida dan ammonium dihidrogen posfat yang dicampurkan dengan komposisi perbandingan mol 1:4:6. Campuran tersebut kemudian digerus dalam lumping alumina kemudian dikalsinasi pada suhu 210oC selama 4 jam dan pada suhu 900oC selama 4 jam. Setelah dikalsinasi campuran dipeletkan dengan tekanan 490 Mpa, kemudian disintering pada suhu 1200 oC1400oC selama 24 jam dalam krus alumina. Hasil penelitiannya menunjukkan material yang disintesis memiliki porositas dan konduktifitas yang tinggi. Difraktogram sinar-X MZP hasil penelitian Ikeda dkk. Disajikan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Difraktogram sinar-X MgZr4(PO)6 rujukan pada sintering 1350 oC (Ikeda, dkk. 1986) Struktur kristal MZP sama dengan struktur kristal NaZr 2(PO4)3 yaitu rombohedral (Takahashi et.al, 1986). Hasil Takahashi didasarkan atas data
16
parameter kisi kristal yang dilaporkan eleh Hong et al. pada tahun 1976. Adapun struktur kristal dari NaZr2(PO4)3 ditunjukkan oleh Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Struktur Rhombohedral Kristal NaZr2(PO4)3 (Goodenough, 1975) MZP tersusun oleh oktahedral ZrO6 yang sharing dengan tetrahedral PO4 pada tiap sudut kisi kristal dan dihubungkan ruang interstisial secara 3 dimensi. Ion Mg2+ menempati sisi oktahedral, setiap satu unit oktahedral ZrO6 terhubung dengan enam tetrahedral PO4 dan setiap unit tetrahedral posfat terhubung dengan empat oktahedral ZrO6. Pada tahun 1988 Kijowski mensintesis MZP dengan metode sol-gel. Difraktogram sinar-X MZP pada berbagai temperature disajikan pada gambar 2.6. Selanjutnya pada tahun 2002 Wang dan Kumar membuat sensor gas SO 2 berbasis elektrolit padat MZP yang disintesis melalui reaksi padat-padat. Hasilnya menunjukkan respon yang positif atas keberadaan gas SO2. Bahan yang digunakan adalah magnesium oksida, zirkonium oksida, dan ammonium dihidrogen posfat yang digerus dengan teknik pencampuran menggunakan aseton.
17
Gambar 2.6 Difraktogram sinar-X MZP dengan metode sol-gel pada berbagai suhu (Kijowski, 1988)
Hasil penelitian Panduwinata (2006) diperoleh data reaksi pembentukan material konduktor ionik pada suhu 1200oC. Namun, spektra XRD yang diperoleh belum memberikan pola difraksi sesuai literatur material konduktor ionik. Pada penelitian selanjutnya, Lestari (2007) melakukan modifikasi pada metode preparasi yang digunakan yaitu dengan menambahkan asam nitrat (asam anorganik) dan memperbaiki kontak antar pereaksi. Dari modifikasi tersebut, diperoleh pola difraksi XRD yang hampir mirip dengan difraksi [MgZr 4(PO4)6], akan tetapi pengotor zirkonium masih ada. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi lain, salah satunya dengan menambahkan aditif lain guna lebih menghomogenkan
18
zat yang akan diseintesis. Pada penelitian selanjutnya Nurhaedi (2008), menambahkan aditif asam sitrat (asam organik) menghasilkan material sensor yang
cukup
stabil
dalam
struktur,
namun
kurang
baik
dalam
nilai
konduktifitasnya. Gambar 2.7 menunjukkan nilai konduktifitas yang diperoleh dari sintesis MZP dengan aditif asam sitrat melalui metode sol-gel.
Gambar 2.7 Kurva nilai konduktifitas MZP yang dipreparasi dengan aditif asam sitrat 3M pada berbagai suhu
Dari hasil penelitian Nurhaedi (2008), menunjukkan nilai konduktifitas MZP yang dipreparasi dengan asam sitrat 3M paling rendah berada pada log σ = 9,6 pada suhu 200°C, sedangkan paling tinggi berada pada log σ = -4,3 pada suhu 200°C. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan belumlah sempurna, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut.
19
2.5 Metode Reaksi Padat-padat Metoda reaksi padat-padat banyak digunakan dalam sintesis bahan-bahan anorganik dengan melibatkan pemanasan komponen-komponen pada temperatur tinggi selama waktu yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan. Reaksi padat-padat berbeda dengan reaksi kimia yang melibatkan komponen cairan atau gas. Reaksi padat-padat berbeda karena padatan memiliki struktur kisi yang kaku. Dalam reaksi padat-padat harus mempertimbangkan dua aspek, yakni aspek termodinamik dan kinetik. Energi bebas Gibbs reaksi harus bernilai negative untuk dapat berlangsungnya reaksi. Sedangkan dari segi kinetik, ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Reaksi bisa saja berlangsung tetapi pada laju yang sangat lambat (Rijnders, 1996). Fakto-faktor itu diantaranya adalah luas kontak padatan-padatan pereaksi, laju difusi, dan laju nukleasi fasa produk. Untuk memaksimalkan luas kontak, perlu digunakan pereaksi-pereaksi yang memiliki luas permukaan yang besar. Selain itu, memaksimalkan luas kontak dapat dilakukan dengan membuat pelet dari campuran pereaksi-pereaksi (West, 1989). Nukleasi dipermudah jika ada kesamaan struktur antara produk dengan reakstan karena dapat mengurangi reorganisasi struktur. Struktur permukaan juga memiliki peranan dalam proses nukleasi, dimana struktur permukaan yang mirip akan membuat nukleasi menjadi lebih mudah. Tidak diketahui struktur permukaan
20
yang mana sebenarnya yang lebih reaktif. Ada semacam aturan umum yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok akan mengakibatkan pertumbuhan kristal menjadi sangat lambat (West, 1989). Setelah terjadi nukleasi maka atom pun harus berdifusi melalui struktur kisi untuk mencapai tempat dimana dia bereaksi (Rijnders, 1996). Jika ukuran partikel reaktan cukup besar, difusi atom menjadi lebih sulit karena harus menempuh jarak yang lebih jauh. Difusi atom dan nukleasi, salah satunya sering menjadi langkah penentu laju dalam reaksi padat-padat (Rao dan Gopalakrisnan, 1997). Laju difusi dapat meningkat dengan cara menaikkan suhu reaksi dan memasukkan defek. Defek dapat dimasukkan dengan memulai reaksi dengan reagen yang terdekomposisi dulu sebelum atau selama bereaksi, misalnya nitrat atau karbonat. Selain itu juga penggunaan asam-asam lain sering digunakan untuk menaikkan laju difusi, seperti asam hidroksi (asam sitrat, asam tartarat, asam malat, dan asam laktat) yang dilakukan Shimizu et al., 2000 pada preparasi material konduktor ionik lainnya. Temperatur yang tinggi pada reaksi ini membutuhkan wadah reaksi yang memiliki kereaktifan, kekuatan, harga, dan kerapuhan wadah yang perlu diperhatikan. Bahan platina menjadi pilihan yang sangat baik, mengingat sifatnya yang inert meskipun harganya yang sangat mahal. Sebagai alternatif bahan krusibel dari Al2O3 dapat dipertimbangkan karena sifatnya yang cukup inert dengan titik leleh 1700oC.
21
Untuk menambah homogenitas campuran maka pada saat pencampuran ditambahkan zat organik volatil seperti aseton atau etanol. Hal ini karena Ukuran partikel yang kecil menjadi kurang berarti jika homogenitas campurannya kurang baik. Pencampuan sendiri untuk kuantitas yang kecil bisa menggunakan lumpang alu yang terbuat dari porcelain. Untuk pencampuran dengan kuantitas yang besar lebih baik menggunakan ball mill. Rao dan Gopalakrisnan (1997) berpendapat bahwa metode ini memiliki tiga kelemahan. Kelemahan yang pertama adalah jika tidak ada lelehan yang terbentuk selama reaksi, maka reaksi terjadi dalam bentuk padatan yang berakibat pada laju reaksi yang menjadi lambat. Kelemahan yang kedua adalah tidak adanya cara untuk memonitor perkembangan reaksi. Kita tidak bisa memonitor secara langsung apakah reaksi yang berlangsung sudah sempurna atau belum. Memisahkan campuran yang diinginkan dari campuran yang terbentuk juga menjadi hal yang sangat sulit jika tidak dikatakan mustahil. Dan kelemahan yang ketiga, biasanya sangat sulit untuk mendapatkan produk yang komposisinya homogen, bahkan jika reaksi itu berlangsung sempurna.