BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
HIV/AIDS
2.1.1. Definisi HIV/AIDS Menurut Umar (2006), HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus atau jasad renik yang sangat kecil, yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV termasuk dalam RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family Retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse trancriptase untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat (Zein, dkk, 2006). AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrom. Yang mana Acquired artinya didapat, bukan penyakit turunan, Immuno artinya sistem kekebalan tubuh, Deficiency artinya kekurangan, dan Syndrome artinya kumpulan gejala. Jadi AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat menimbulkan infeksi opurtunistik. Berkurangnya kekebalan tubuh pasien sendiri disebabkan berkurangnya sel CD4 karena diserang oleh virus HIV.
11
12
2.1.2. Epidemiologi HIV/AIDS AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981 ketika CDC (the U.S. Centers for Disease Control and Prevention) mengumumkan penemuan aneh dari Pneumocystis carini pneumonia pada 5 laki-laki homoseksual yang di Los Angeles dan Kaposi’s Sarkoma pada 26 laki-laki homoseksual yang sehat di New York dan Los Angeles. Pada tahun 1983, HIV (Human Immunodeficiency Virus) diisolasi dari seorang penderita limfadenopati dan pada tahun 1984, HIV didemonstrasikan sebagai penyebab dari penyakit AIDS (Fauci dan Lane, 2005). Menurut Djoerban Z (1999) dalam Zein (2006), dalam catatan literatur di Indonesia, kasus infeksi HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1985 di Jakarta pada seorang wanita yang menderita anemia hemolitik autoimun yang kerap mendapat transfusi darah. Diduga kuat transmisi virus HIV melalui transfusi. Kasus AIDS yang pertama di Indonesia ditemukan pada bulan April 1987, ketika seorang turis Belanda pengidap AIDS meninggal di Bali (Muninjaya, 1999). Sedangkan kasus HIV positif pertama kali ditemukan di Medan pada tahun 1992, ketika dilakukan serosurvei (Zein, 2006). 2.1.3. Penularan Infeksi HIV/AIDS Untuk berada dalam tubuh manusia, HIV secara langsung masuk melalui darah manusia yang bersangkutan. HIV tidak dapat berkembang biak di luar tubuh manusia dan cepat mati karena HIV menempel pada CD4 lalu merusak sel T sehingga sistem imun di dalam tubuh terganggu dan tidak bekerja.
13
Penularan HIV akan terjadi bila ada kontak atau pencampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, yaitu 1.
Melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang pengidap HIV (homoseksual maupun heteroseksual)
2.
Melalui transfusi darah dan transplantasi organ yang telah terinfeksi HIV
3.
Melalui penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang tercemar oleh HIV.
4.
Penularan HIV dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin saat kehamilan, proses kelahiran.
Perlu diketahui bahwa HIV tidak dapat ditularkan melalui : 1. Udara, bersin, batuk 2. Bersentuhan dengan penderita/pengidap HIV, bersalaman, cium pipi, ataupun berpelukan. 3. Gigitan nyamuk dan serangga 4. Melalui makanan dan minuman 5. Menggunakan WC dan kolam renang bersama-sama. 2.1.4. Diagnosis HIV/AIDS WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak. Untuk dewasa maupun anak, stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
14
Tabel 1 : Stadium Klinik HIV/AIDS Gejala terkait HIV Stadium Klinis Asimptomatik 1 Gejala ringan 2 Gejala lanjut 3 Gejala berat / sangat lanjut 4 Sumber : Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk ODHA, 2006
Gejala klinis khas HIV adalah sebagai berikut : 1.
HIV Stadium I
: Asimtomatis atau terjadi PGL (persistent generalized
lymphadenopath) 2.
HIV Stadium II : Berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis, rekuren.
3.
HIV Stadium 3
: Berat badan menurun lebih dari 10%, diare kronis, dengan
sebab tak jelas lebih dari 1 bulan. 4.
HIV Stadium IV : Berat badan menurun lebih dari 10%, gejala-gejala infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem imun, virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum tulang penderita. Menurut kriteria WHO gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa meliputi
minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor. Gejala major : 1. Berat badan menurun lebih dari 10% 2. diare kronis lebih dari 1 bulan 3. demam lebih dari 1 bulan.
15
Gejala minor : 1. Batuk lebih dari 1 bulan, 2. pruritus dermatitis menyeluruh 3. infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes simpleks 4. limfadenopati generalisata 5. kandidiasis mulut dan orofaring
2.1.5. Jenis-Jenis Pemeriksaan HIV/AIDS Tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di dalam darah seseorang yang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik. Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA) Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing. Hasil positif pada ELISA belum dapat dipastikan bahwa orang yang
16
diperiksa telah terinfeksi HIV karena tes ini mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifisitas
rendah.
Maka
masih
diperlukan
tes
pemeriksaan
lain
untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini.
Rapid Test Metode pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah, jari dan air liur. Tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan spesifisitas (>99%). Hasil positif pada tes ini belum dapat dipastikan apakah dia terinfeksi HIV. Dan diperlukan pemeriksaan tes lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini.
Western Immunoblot Test Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western blot digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes HIV lainnya karena mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk memastikan apakah terinfeksi HIV atau tidak. Rapid test lebih tepat digunakan oleh institusi kesehatan kecil yang hanya memeriksa sedikit sampel setiap hari. Rapid test, sesuai dengan namanya, hanya membutuhkan waktu pemeriksaan 10 menit. Sementara itu tes ELISA dan Western blot biasanya digunakan sebagai tes konfirmasi dan tersedia di rumah-rumah sakit besar atau RSU tingkat propinsi.
17
2.1.6. CD4 (Cluster Differentiated 4) Sel CD4 merupakan protein yang menempel pada permukaan sel T yang berperan dalam mengenali sumber penyakit dan mengatur sel imun di dalam tubuh. CD4 disebut juga sel T-4, sel pembantu ataupun sel CD4. Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Ketika seseorang terinfeksi HIV, sel yang terinfeksi adalah sel CD4. Ketika sel CD4 menggandakan diri untuk melawan infeksi apapun, sel tersebut juga membuat banyak duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada dalam tubuh manusia, semakin mungkin kita mudah sakit atau mungkin mengalami infeksi oportunistik (Burban SD, 2007). 3
3
Jumlah CD4 normal adalah 410 sel/mm – 1590 sel/mm , bila jumlah CD4 < 3
350/mm , atau < 14%, dikatakan AIDS. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100 sel/mm3/tahun (Pedoman Nasional Pengobatan ARV, 2011). Tes CD4 sebaiknya diulang setiap 3 - 6 bulan untuk pasien yang belum diobati dengan ARV dan jangka waktu 2 - 4 bulan pada pasien yang memakai ARV. Tes tersebut sebaiknya diulangi bila hasilnya tidak konsisten dengan kecenderungan sebelumnya. Frekuensi akan berbeda-beda tergantung keadaan individu. Kalau tidak
18
diobati, jumlah CD4 akan menurun rata-rata 4 persen per tahun untuk setiap log viral load.
2.2.
Terapi Antiretroviral
2.2.1. Pengertian Terapi Antiretroviral Terapi antiretroviral adalah obat yang dirancang untuk menghambat perkembangan penyakit HIV/AIDS di dalam tubuh sipenderita. Obat tersebut (ARV) tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (Spiritia, 2006). Sebelum mendapat ARV, ODHA harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda bahaya lain dan sebagainya yang terkait dengan ARV. ODHA yang mendapat ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis dengan teratur. 2.2.2. Tujuan Terapi Antiretroviral 1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat 2) Memulihkan atau memelihara fungsi imunologis (peningkatan sel CD4) 3) Menurunkan komplikasi akibat HIV 4) Memperbaiki kualitas hidup ODHA 5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus 6) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
19
2.2.3. Pedoman Memulai Terapi ARV pada ODHA Dewasa Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2011 Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa. a) Tidak tersedia pemeriksaan CD4 Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. b) Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi : 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel / mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
20
Tabel 2. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 Stadium IV : tanpa memandang jumlah limfosit total Stadium III : tanpa memandang jumlah limfosit total Stadium II, dengan jumlah limfosit total <1200/mm3 Bila tersedia pemeriksaan CD4 Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel Stadium klinis 1 CD4 setiap 6-12 bulan dan 2 < 350 sel/mm3 Mulai terapi ODHA dewasa
Pasien dengan koinfeksi TB Pasien dengan koinfeksi Hepatitis B Kronik aktif Ibu Hamil
Stadium klinis 3 dan 4 Apapun Stadium klinis Apapun Stadium klinis
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi
Berapapun jumlah sel CD4 Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi Mulai terapi
Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi Stadium klinis sel CD4 Sumber :Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral, 2011 dan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk ODHA, 2006 Keterangan : Jumlah limfosit total >1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan Hal ini tidak dapat diterapkan pada ODHA asimtomtatik. Maka bila tidak ada pemeriksaan CD4, odha asimptomatik (stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
2.2.4. Penggolongan Terapi Antiretroviral Ada tiga golongan utama ARV yaitu : a. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid b. Penghambat reverse transcriptase enzyme
21
1. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI) analog nukleosida analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T) analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC) analog adenin : didanosine (ddI) analog guanin : abacavir(ABC) analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir 2. Nonnukleosida (NNRTI) yaitu nevirapin (NVP) efavirenz (EFV) c. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV) saquinavir (SQV) indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
Tabel 3. Daftar obat ARV di Indonesia Golongan
Sediaan dan dosis yang direkomendasikan
Keterangan
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NsRTI) Zidovudine(AZT) (Reviral®)
Dalam suhu kamar 250 - 300 mg setiap 12 jam Dosis 250 mg dapat diberikan tanpa mengurangi efektifivatas AZT dengan Duviral® merupakan FDC kemungkinan timbulnya efek samping yang dari AZT+3TC lebih rendah. Dosis 250 mg sementara tidak tersedia di Indonesia Dalam suhu kamar 30 mg; diberikan tiap 12 jam
Stavudine (d4T) (Staviral®) Lamivudine(3TC) 150 mg; diberikan tiap 12 jam (Hiviral®) atau 300 mg setiap 24 jam
Dalam suhu kamar. Jika ODHA
telah
22
mendapatkan Lamivudinuntuk tujuan pengobatan Hepatitis B sebelumnya, maka Lamivudine tidak dapat digunakan karena telah terjadi resisten.
Didanosine (ddI)
Abacavir (ABC) (Ziagen®) Emtricitabine (FTC)
Duviral® merupakan FDC dari AZT+3TC 250 mg ( BB < 60 mg) dan 400 mg ( BB > 60 Tablet dan kapsul dalam suhu mg). Diberikan single dose setiap 24 jam kamar. Puyer harus dalam (tablet bufer atau kapsul enteric coated) refrigerator, suspensi oral/ formula pediatrik dapat tahan hingga 30 hari bila disimpan dalam lemari es. Sudah tidak digunakan di Indonesia 300 mg; diberikan tiap 12 jam Dalam suhu kamar atau 600 mg setiap 24 jam Hanya digunakan untuk formula anak 200 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar Truvada® - merupakan FDC dari TDF+FTC Atripla® - merupakan FDC dari TDF+FTC+EFV
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI) Tenofovir (TDF) 300 mg; diberikan single dose setiap 24 jam Dalam suhu kamar (Viread®) (Catatan: interaksi obat dengan ddI, tidak lagi Truvada® - merupakan FDC dipadukan dengan ddI) dari TDF+FTC Atripla® - merupakan FDC dari TDF+FTC+EFV Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapine 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari, Dalam suhu kamar (Neviral®) kemudian 200 mg setiap 12 jam Efavirenz 600 mg; diberikan single dose 24 jam Dalam suhu kamar (Stocrine®) (malam) hari Atripla® - merupakan FDC
23
(Efavir®) (Sustiva®) Protease Inhibitor (PI) Lopinavir/ ritonavir (LPV/r) (Aluvia®)
dari TDF+FTC+EFV
Tablet heat stable lopinavir 200 mg + Dalam suhu kamar ritonavir 50 mg: 400 mg/100 mg setiap 12 jam Untuk pasien dalam terapi TB yang mengandung Rifampisin digunakan LPV 800 mg + RTV 200 mg dua kali sehari, dengan pemantauan ketat keadaan klinis & fungsi hati Sumber:Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral, 2011.
24
2.2.5. Bagan Alur Layanan Terapi ARV Gambar 1. Bagan alur layanan pengobatan pada ODHA
ODHA Langkah tatalaksana terdiri dari : Pemeriksaan fisik lengkap dan lab untuk mengidentifikasi IO Penentuan stadium klinis Skrining TB Skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk BUMIL Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk menentukan PPK dan ART Pemberian PPK bila tidak tersedia tes CD4 Identifikasi solusi terkait adherence Konseling positive prevention Konseling KB (jika rencana punya anak)
memenuhi syarat ARV
Tidak ada IO (Infeksi Opurtunistik
Mulai terapi ARV
Ada IO
Obat IO 2 minggu selanjutbya mulai terapi ARV
ODHA ada kendala kepatuhan (adherence)
Belum memenuhi syarat ARV
Cari solusi terkait kepatuhan secara tim hingga ODHA dapat patuh dan mendapat akses Terapi ARV
Berikan rencana pengobatan dan
pemberian Terapi ARV Vaksinasi bila pasien mampu MULAI ARV jika Odha sudah
memenuhi syarat Terapi ARV
Sumber:Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral, 2011.
25
2.3.
Kepatuhan
2.3.1. Pengertian Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Sacket (dalam Niven, 2002: 192), mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan di mana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV. Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat. 2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Menurut Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral (2011), terdapat faktorfaktor yang memengaruhi pasien odha dalam menjalani terapi antiretroviral, yaitu : 1. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosio-demografi (umur, jenis kelamin, suku, pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa,
26
penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya). 2. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum. 3. Fasilitas layanan kesehatan. Fasilitas dan ruangan yang nyaman, jaminan kerahasiaan, penjadwalan yang baik, dan petugas yang ramah dapat membantu pasien dalam menjalani terapi. 4. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, jumlah pil yang harus diminum, karakteristik obat dan efek samping dan kemudahan untuk mendapatkan ARV. 5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan Hubungan tersebut dapat memengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat dan terbuka), kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien.
27
2.3.3. Jenis Ketidakpatuhan (Non Compliance) a. Ketidakpatuhan yang disengaja (Intentional non Compliance) Kepatuhan yang disengaja dapat disebabkan oleh : 1) Keterbatasan biaya pengobatan 2) Sikap apatis pasien 3) Ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat b. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja (Unitional non Compliance) Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat disebabkan karena : 1) Pasien lupa minum obat 2) Ketidaktahuan akan petunjuk pengobatan 3) Kesalahan dalam hal pembacaan etiket 2.3.4. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ketidakpatuhan Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian (dikutip dari Risty Ivanti, 2009) yaitu : 1.
Pemahaman tentang Instruksi Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham atau tidak
mengerti tentang instruksi/petunjuk yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.
28
2.
Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian
yang terpenting dalam menentukan derajat kepatuhan. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini. 3.
Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. 4.
Keyakinan, sikap, Kepribadian Menurut Schwartz & Griffin (Bart,1994), riset tentang ketaatan pasien
didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk mengidentifikasi kelompokkelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
29
2.4.
Domain Perilaku Meskipun perilaku adalah keseluruhan kegiatan atau aktivitas seseorang, baik
yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar, tetapi dalam memberikan respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dai orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku (Maulana, 2009). Determinan perilaku dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal (karakteristik dari dalam diri seperti ras, jenis kelamin, sifat fisik, tingkat kecerdasan, dan bakat bawaan) dan faktor eksternal (meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik). Menurut teori Bloom (1908), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), membagi perilaku seseorang dalam tiga kawasan (domain) yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni : pengetahuan, sikap, dan tindakan. 2.4.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindaran (sebagian besar diperoleh dari indra mata dan telinga) terhadap objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan dapat diukur dengan melakukan wawancara. Perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran.
30
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa saja yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
31
d. Analisis (analysis) Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan atau materi suatu objek terhadap komponen-komponennya tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-panilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007). Faktor –faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang antara lain: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang
32
lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa. d. Minat Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang dalam. e. Pengalaman Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. f. Kebudayaan lingkungan sekitar, Kebudayaan lingkungan sekitar diartikan sebagai kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
33
g. Informasi Informasi merupakan kemudahan untuk memperoleh suati informasi sehingga dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. 2.4.2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Notoatmodjo (2005) dalam bukunya membagi sikap menjadi empat tingkatan, yakni: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). b. Merespon (responding) Merespon diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valuing) Menghargai diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.
34
d. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab diartikan berkaitan atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan sikap. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah: 1. Pemikiran dan perasaan ( Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus. 2. Adanya orang lain yang menjadi acuan ( Personal references) merupakan faktor penganut sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu. 3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut. 4. Sosial budaya (Culture ) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu. (Notoadmodjo,2007). 2.4.3. Tindakan Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah diketahui untuk dilaksanakan atau dipraktekan. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Agar terwujud sikap
35
menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain. Di mana tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, (Notoatmodjo, 2007) yaitu: a. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. b. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. c. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tinndakannya tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
36
2.5.
Health Belief Model (HBM) Selama lima dekade, Health Belief Model telah menjadi salah satu kerangka
kerja konseptual yang paling banyak digunakan dalam perilaku kesehatan. Health Belief Model telah digunakan baik untuk menjelaskan perubahan dan pemeliharaan perilaku kesehatan dan sebagai pedoman kerangka kerja untuk intervensi perilaku kesehatan. Health Belief Model ini awalnya dikembangkan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli psikologi sosial di Layanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat untuk menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam programprogram pencegahan dan mendeteksi penyakit (Hochbaum, 1958; Rosenstock, 1960, 1974 dalam Glanz dkk., 2002). Kemudian dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia (Kirscht, 1988; Schmidt dkk ., 1990) yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan. Dalam hal ini, model keyakinan kesehatan adalah nilai harapan dari segi teori yang diasumsikan bahwa seseorang memiliki keinginan untuk menghindari penyakit atau untuk mendapatkan kebaikan didasarkan pada keyakinannya bahwa tindakan kesehatan tertentu akan dapat mencegah masalah kesehatan (Conner, 1996). Sangatlah penting untuk membedakan antara kebutuhan kesehatan objektif dan subjektif. Kebutuhan kesehatan objektif adalah kebutuhan yang diidentifikasi oleh petugas kesehatan secara profesional, sebaliknya kebutuhan kesehatan subjektif adalah individu yang menentukan sendiri apakah dirinya mengandung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilaiannya sendiri.
37
Kebutuhan kesehatan subjektif inilah yang justru merupakan kunci dari dilakukannya suatu tindakan kesehatan. Artinya, individu itu baru akan melakukan suatu tindakan untk menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak, maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa. Menurut kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama (Rosentock, 1982 dikutip dari Solita Sarwono, 2007) antara lain : 1. Perceived susceptibility (Persepsi kerentanan) Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. 2. Perceived seriousness (persepsi keseriusan) Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut / risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit tersebut. 3. Perceived Threats (Persepsi Ancaman) Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu itu terserang penyakit tersebut, maka makin dirasakan besar ancamannya. Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyakit tersebut. 4. Perceived benefits and barriers (Persepsi manfaat dan hambatan) Namun ancaman yang terlalu besar malah menimbulkan rasa takut dalam diri individu yang justru menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu merasa tidak berdaya melawan ancaman tersebut. Guna mengurangi
38
rasa takut, ditawarkanlah suatu alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui alternatif yang diajukan, tergantung dari manfaat
dan
hambatan
dari
alternatif
tersebut.
Individu
akan
mempertimbangkan, apakah hal itu akan mengurangi ancaman penyakit dan akibatnya 5. Cues to action (Faktor pencetus) Untuk akhirnya memutuskan menerima atau menolak alternatif tersebut, diperlukan faktor pencetus yang datang dari dalam diri individu ataupun dari luar (nasihat orang lain). Ancaman, keseriusan, ketidakkebalan, pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh (Heri Maulana, 2009) : variabel demografi (umur, jenis kelamin, latar belakang budaya), variabel sosio-psikologis (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial) dan variabel struktural (pengetahuan dan pengalaman sebelumnya). Berikut kerangka teori perilaku Health Belief Model menurut Rosenstock dalam Solita Sarwono (2007) dilukiskan pada gambar 2.
39
Gambar 2. Kerangka Teori Health Beliefe Model Dalam Solita Sarwono Tentang Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengambilan Keputusan
Variabel Demografis & sosio-psikologis
Besarnya manfaat dikurangi besarnya kerugian tindakan yang dianjurkan
Persepsi tentang kemungkinan kena penyakit
Besarnya ancaman penyakit
Persepsi tentang keseriusan/ beratnya penyakit
Dilakukannya tindakan yang dianjurkan
Faktor Pencetus tindakan
Sumber : Solita Sarwono, 2007.
2.6. Dukungan Sosial Sampai saat ini stigma tentang HIV/AIDS di tengah-tengah lingkungan masyarakat masih belum hilang sehingga banyak dari odha tersebut tidak berani ataupun malu untuk melakukan tindakan pencegahan bagi diri mereka. Odha memerlukan partisipasi dari dukungan berbagai pihak untuk membantu dan memotivasi odha dalam mendapatkan perawatan, pengobatan, konseling dan sebagainya. Adapun rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan sampai saat ini belum siap secara mental menerima dan melayani odha tersebut. Diamtteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti keluarga, teman, tetangga, teman kerja
40
dan orang- orang lainnya. Menurut Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (2006) yaitu : 1. Dukungan emosional dan penghargaan Berupa ungkapan empati, perhatian, maupun kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. 2. Dukungan instrumental Berupa bantuan uang ataupun bantuan dalam pekerjaan sehari-hari. 3. Dukungan informasi Berupa nasihat, pengarahan, umpan balik atau nasihat mengenao apa yang dilakukan individu yang bersangkutan. 4. Dukungan persahabatan Berupa adanya kebersamaan, kesediaan dan aktivitas sosial yang sama.
2.7. Pelayanan Kesehatan Menurut Azwar (1996) yang mengutip pendapat Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan merupakan bentuk upayan yang diselenggarakan sendiri atau bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah, menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan masyarakat. Agar pelayanan mencapai tujuan yang diinginkan, ada
41
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu tersedia (available), berkesinambungan (continue), dapat diterima (acceptible), dapat dijangkau (affordable), efisien dan bermutu. Pelayanan kesehatan berdasarkan jenis/tipe seperti pelayanan di rumah sakit, dokter, perawat, konselor dan sebagainya. Seseorang baru akan mulai mengunjungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh oranglain tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan tersebut didasari atas keyakinan atau kepercayaan akan kemajuan sarana kesehatan tersebut (Sarwono, 2007). Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) merupakan gerbang masuk untuk membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan kesehatan baik itu informasi kesehatan, edukasi, terapi dan dukungan psikososial.
42
2.8. Kerangka Konsep Penelitian Teori untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral diambil dari teori Health Belief Model oleh Rosenstock (1982).
Karakteristik : - Umur - Jenis Kelamin - Pekerjaan - Status Perkawinan - Pendidikan
Dukungan Sosial : - Keluarga - Teman Sebaya
Pengetahuan
Persepsi : - Risiko - Ancaman - Manfaat
Kepatuhan ODHA dalam Terapi ARV
Pelayanan Kesehatan
- Interaksi dengan Petugas Kesehatan - Akses Pelayanan Kesehatan
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa: Karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan dan pendidikan akan dianalisis dengan univariat.
43
Pengetahuan responden tentang kepatuhan dalam terapi antiretroviral akan membentuk persepsi (persepsi risiko, ancaman, manfaat) di dalam diri responden. Di mana juga persepsi ini dipengaruhi dukungan pelayanan kesehatan. Persepsi ini akan membentuk tindakan responden untuk melihat kepatuhan dalam terapi antiretroviral. Kemudian diperlukannya faktor pencetus seperti dukungan sosial untuk membentuk kepatuhan responden (ODHA) dalam menjalani terapi antiretroviral.