BAB II 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sampah
Sampah sering menimbulkan banyak masalah, terutama masalah lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah pada kesehatan manusia. Berdasarkan definisinya, sampah adalah limbah yang bersifat padat (padatan) yang terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang tidak berguna dan membahayakan lingkungan. Sampah pada umumnya berupa sisa makanan (sampah dapur), dedaunan, ranting pohon, kertas, kaleng/besi, kayu, plastic, dan debu (Anonim, 1991a). Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Firmansyah, 2009). Selain itu, sumber lain menyebutkan definisi sampah (refuse) adalah bagian sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk di dalamnya) dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah biasanya bermacam-macam, di antaranya adalah dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri dan jalan.
6
7
Tabel 2.1. Sampah Menurut Jenis, Sifat, dan Sumbernya No 1
Jenis Sampah kering
Sifat Mudah terbakar seperti: kertas, karton, dsb Tidak mudah terbakar seperti: logam, kaleng, kawat, gelas, dsb
Sumber Rumah tangga, rumah makan, institusi, toko dan pasar
2
Sampah basah
Sampah dari hasil penyiapan dan pemasakan makanan Sampah pasar Sampah hasil penanganan, penyimpanan, dan penjualan produk
Rumah tangga, rumah makan, institusi, toko dan pasar
3
Sampah Industri
Buangan dari pengolahan Pabrik dan makanan, scrap, metal scrap, dan pembangkit listrik lain-lain
4
Buangan sisa kontruksi
Sisa-sisa pipa dan konstruksi bangunan
5
Buangan dari jalan raya
Debu, daun-daunan, ranting
6
Abu/debu
Residu hasil pembakaran baik Rumah tangga, pada proses pemasakan dan rumah makan, pemanasan dari proses insenarasi institusi, toko dan pasar
7
Bangkai binatang
Kucing, anjing, kerbau, dan lain- Jalan raya, lain permukiman, RPH
8
Sisa pengelolaan limbah
Padatan residu dari screening dan Instalasi grid camber (penangkap pasir), pengolahan air lumpur dan septic tank limbah, dan septic tank
9
Buangan Khusus
Buangan B3 (padat, cair, debu, Rumah tangga, gas) yang bersifat mudah meledak, hotel, RS, toko dan pathogen, radioaktif, dan lain -lain industri
material Pembangunan dan perbaikan gedung Jalan raya, trotoar
Sumber: Oswari dkk (2008) 2.2
Definisi Kompos
Kompos adalah proses pengubahan bahan organik seperti kotoran, daundaun, kertas, dan sisa makanan menjadi suatu material yang menyerupai tanah oleh
8
mikroorganisme. Itu adalah proses yang sama yang meluruhkan daun dan sampah organik lainnya di alam. Kompos hanya mengontrol kondisi agar bahan lebih cepat membusuk (Rynk, 1992). Kompos melibatkan dekomposisi biologis aerobik bahan organik untuk menghasilkan produk seperti humus yang stabil. biodegradasi adalah proses alami yang berkelanjutan yang umum terjadi baik dalam lingkungan buatan manusia dan alam (O’Leary dan Watsh, 1995). Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan-bahan hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea (Sulistyorini, 2005) 2.3
Prinsip composting
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Dan waktu yang dibutuhkan sangat bervariasi tergantung bahan dasar (Setyorini, Saraswati, & Anwar, 2008) 1. Proses pengomposan aerob dan anaerob Proses pengomposan ada 2 jenis yaitu pengomposan yang dengan menggunakan bantuan udara atau aerob dan pengomposan tanpa menggunakan bantuan udara atau disebut anaerob.
9
a. Pengomposan aerob Proses pengomposan aerob tidak menimbulkan bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu menguntungkan mikroorganisme termofilik. Akan tetapi, apabila suhu melampaui 65-70oC, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme akibat panas yang tinggi. b. Pengomposan anerob Penguraian bahan organik terjadi pada kondisi anaerob (tanpa oksigen). Tahap pertama, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dan lain-lain. Proses selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas meran, amoniak, CO2, dan hidrogen. Pada proses aerob energi yang dilepas lebih besar (484-674 kcal mol glukosa1
) sedangkan pada proses anaerob hanya 25 kcal mole glukosa -1 (Sutanto, 2002).
2.4
Syarat-syarat pembuatan kompos
Agar pembuatan kompos berhasil, beberapa syarat yang diperlukan ataupun yang perlu diperhatikan antara lain: 2.4.1
Rasio C/N
C (karbon) merupakan sumber energi bagi mikroorganisme, sedangkan N (nitrogen) digunakan untuk membangun sel-sel tubuh bagi mikroorganisme. Jika rasio C/N terlalu tinggi dekomposisi berjalan lambat. Jika rasio C/N rendah meskipun pada awalnya terjadi dekomposisi yang sangat cepat, tetapi berikutnya
10
kecepatannya akan menurun karena kekurangan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen akan hilang melalui penguapan ammonia (Rizaldi, 2008) Aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien Karbohidrat, misalnya 20%-40% yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO2, kalau perbandingan sumber nitrogen dan sumber karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-rasio) = 10 : 1. Untuk proses pengomposan nilai optimum adalah 25 : 1, sedangkan maksimum 10 : 1 (Sulistyorini, 2005) Rasio C/N ini sangat penting untuk pertumbuhan dan pembelahan sel mikroorganisme. Mikroorganisme dapat menurunkan karbon organik dalam sampah hanya jika memiliki cukup nitrogen untuk pertumbuhanya. Jika nitrogen kurang atau jika rasio C/N masih tinggi maka pengomposan terhambat. Untuk perbandingan karbon dan nitrogen yang ideal pada awal pengomposan berkisar antara 25/1 dan 40/1 (yaitu 25-40 karbon dan 1 nitrogen dalam berat kering atau dry weigth). Hal ini memungkinkan penurunan karbon (C) yang cepat dan efisien dari sampah organik. (Rothenberger & Zurbrügg, 2006). 2.4.2
Ukuran Bahan
Ukuran partikel atau ukuran bahan yang di dekomposkan sangatlah penting untuk keberlangsungan kompos. Ukuran bahan yang baik untuk kompos adalah 2,55cm, sedangkan untuk bahan yang keras dicacah dengan ukuran 2,5-7cm. karena ukuran akan mempengaruhi ukuran dan volume pori-pori dalam bahan jika ukuran partikel bertambah kecil maka pori-pori akan semakin kecil. Pori-pori yang kecil akan menghambat pergerakan udara yang merupakan masalah bagi proses pengomposan. (Rizaldi, 2008)
11
Ukuran partikel yang kecil akan menyebabkan luas permukaan bertambah sehingga akan memberikan lebih banyak aktivitas mikroba pada permukaan bahan, yang kemudian akan menyebabkan proses dekomposisi kompos menjadi lebih cepat (O’Leary dan Watsh, 1995). 2.4.3
Komposisi Bahan
Seringkali untuk mempercepat dekomposisi ditambahkan kompos yang sudah jadi atau kotoran hewan sebagai aktivasi, ada juga yang menambahkan bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar (Rizaldi, 2008). 2.4.4
Tinggi Tumpukan
Di dalam tumpukan, mikroorganisme melakukan aktivitas yang menimbulkan energi dalam bentuk panas. Sebagian panas akan tersimpan dalam tumpukan dan sebagian lainnya digunakan untuk proses penguapan atau terlepas ke lingkungan sekitar. Semakin besar tumpukan, semakin tinggi daya isolasinya sehingga panas yang dihasilkan dalam tumpukan semakin sulit terlepas dan suhu tumpukan menjadi lebih panas. Tumpukan bahan yang terlalu rendah akan membuat bahan lebih cepat kehilangan panas sehingga temperatur yang lebih tinggi tidak bisa dicapai. Selain itu, mikroorganisme
patogen
tidak akan mati
dan proses
dekomposisi
oleh
mikroorganisme termofilik tidak akan tercapai. Ketinggian tumpukan yang baik dari berbagai jenis bahan adalah 1-1,2 m, dan tinggi maksium 1,5-1,8 m (Rizaldi, 2008).
12
2.4.5
Kelembaban dan Oksigen
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi, 2006). Kelembaban yang ideal antara 40 %- 60 % dengan tingkat yang terbaik adalah 50 %, kisaran ini harus dipertahankan untuk memperoleh jumlah popilasi jasad renik yang terbesar. Karena semakin besar jumlah populasi jasad pembusuk, berarti semakin cepat proses pembusukan. Jika tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat (Rizaldi, 2008). Kekurangan udara akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan tersebut. Kekurangan udara akan menyebabkan jasad renik mati dan sebaliknya merangsang berkembangbiaknya jasad pembusukan yang anaerobik. Sebaliknya jika bahan organik tersebut terlalu kering maka proses pengomposan akan terganggu. Jasad renik membutuhkan air sebagai habitatnya, sehingga kurangnya kadar air dalam tumpukan akan membatasi ruang hidup jasad renik tersebut. Kadar air antara 505705 dan rata-rata 605 sangat cocok untuk proses pengomposan dan harus dijaga selama periode reaksi aktif, yaitu fase mesofilik dan thermofilik (Rizaldi, 2008) Kandungan kelembaban yang tinggi disebabkan penyiraman yang berlebihan yaitu setiap hari pada pagi dan sore oleh pekerja tanpa dilakukan pengukuran terlebih
13
dahulu. Akibat penyiraman yang berlebihan, air sisa (leachate) dari timbunan kompos keluar membanjiri lantai dan sebagian tergenang menyebabkan tumbuhnya lumut. Keadaan ini juga mengundang lalat karena air yang berbau. Hal ini akan mencemari permukaan dan bawah tanah (Yenie, 2008). Menurut Polparasert (1989) dan Diaz, et al (1993) menyatakan bahwa kandungan kelembaban optimum perlu dijaga pada 50%-70% untuk mendapatkan proses pengomposan yang baik, tetapi optimum kadar kandungan kelembapan bervariasi tergantung kepada bahan yang dikomposkan. (Yenie, 2008) 2.4.6
Derajat Keasaman (pH)
pH yang optimum adalah pH yang berada antara 6 sampai 8. pH sangat mempengaruhi proses pengomposan terutama nutrisi bagi mikroorganisme (O'Leary & W. Watsh, 1995). Seperti faktor lainnya, pH perlu dikontrol selama proses pengomposan berlangsung. Jika pH terlalu tinggi atau terlalu basa, konsumsi oksigen akan naik dan akan memberikan hasil yang buruk bagi lingkungan. pH yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan unsur nitrogen dalam bahan kompos akan berubah menjadi amonia, sebaliknya dalam keadaan pH rendah akan menyebabkan sebagian mikroorganisme mati (Rizaldi, 2008). Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. (Isroi, 2006)
14
2.4.7
Suhu
Suhu yg optimum untuk kompos adalah 32-60 derajat celcius. Jika suhu terlalu timggi akan menyebabkan penghancuran sel protein dan membunuh mikroorganisme akan tetapi jika suhu terlalu rendah tidak akan dapat mempengaruhi proses metabolic dari sel mikroorganisme tersebut (O'Leary & W. Watsh, 1995) Perlu diperhatikan bahwa suhu atau temperatur diatas 65oC dalam timbunan dapat membunuh semua patogen, telur dan larva serangga, serta benih tanaman liar (Anonim, 2011c) 2.4.8
Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
Aerasi
ditentukan oleh posiritas dan kandungan air
bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos (Isroi, 2006). Aktivitas mikroba aerob memerlukan oksigen selama proses perombakan berlangsung (terutama bakteri dan fungi). Ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos mempengaruhi system aerasi. Makin kasar struktur maka makin besar volume pori udara dalam campuran bahan yang didekomposisi. Pembalikan timbunan bahan kompos selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasaokan oksigen bagi aktivitas mikroba (Setyorini, Saraswati, & Anwar, 2008).
15
2.4.9
Garam
Dengan pengomposan organik, garam menjadi pekat dengan adanya 70% hilang berat. Kompos untuk pembibitan dan tanaman sensitif mungkin perlu dibilas terlebih dahulu menggunakan air untuk mengurangi kandungan garam. Kandungan garam diukur menggunakan miliSiemens per sentimeter (mS/cm), yang merupakan satuan konduktivitas. 1 mS/cm = 0.064 % garam, apapun ion garamnya. Semakin tinggi konduktivitas, semakin besar kandungan garam (Anonim, 2011b). 2.4.10 Kadar air
Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jen is bahan, misalnya, kadar air optimum di dalam pengomposan bernilai antara 50-70%, terutama selama proses fasa pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misalnya pada jerami (Sulistyorini, 2005). Kadar air bahan baku : daundaun yang masih segar atau tidak kering, kadar airnya memenuhi syarat sebagai bahan baku. Dengan begitu, daun yang sudah kering, yang kadar airnya juga akan berkurang, tidak memenuhi syarat. Hal tersebut harus diperhatikan karena banyak pengaruhnya terhadap kegiatan mikroba dalam mengolah bahan baku menjadi kompos. Seandainya sudah kering, bahan baku tersebut harus diberi air secukupnya agar menjadi lembab. (Sulistyorini, 2005) 2.4.11 Waktu Pembalikan
Waktu pembalikan samgatlah penting karena sampah yang berada dalam tumpukan pada waktu tertentu akan mengalami kondisi dimana suhu terlalu tinggi. Selain menggunakan injeksi aerasi maka yang perlu dilkukan adalah pembalikan
16
sampah agar suhu dapat dikendalikan. Dan tujuan pembalikan juga merupakan salah satu langkah yang digunkan dalam tujuan mempercepat proses dekomposisi sampah. Dilakukan pembalikan pada keadaan (Rizaldi, 2008): 1. Suhu tumpukan diatas 650 C, pembalikan dilakukan untuk mencegah panas dan pengeluaran H2O dan CO2 yang berlebihan. 2. Suhu tumpukan dibawah 450 C pada tumpukan berusia 1-30 hari, suhu dibawah optimum (kurang dari 450 C) menunjukkan bahwa kegiatan jasad renik tidak terjadi secara optimum, hal ini disebabkan oleh kekurangan oksigen, terlalu basah atau terlalu kering. Usia tumpukan lebih dari 30 hari, suhu dibawah 450 C bisa berarti kompos telah matang. 3. Tumpukan terlalu basah, pembalikan dilakukan untuk mempercepat penguapan air dari tumpukan. 4. Tumpukan terlalu padat, kepadatan akan membatasi rongga udara, oksigen terlalu sedikit atau tanpa oksigen akan menyebabkan pembusukan terjadi secara anaerobik. 2.5
Kematangan kompos
Hal yang bisa dilakukan dalam pengujian kematangan bisa dengan banyak metode yaitu penanaman bibit, dan juga dengan pengujian ammonium nitrat dan nitrit. Pengujian yang paling sering dilakukan adalah pembandingan ammonium dengan nitrat dimana diukur kadar ammonium dan nitrat dalam kompos kemudian di bandingkan kompos disebut matang apabila Amonium berbanding nitrat . Menurut Sudradjat (1998) Ciri visual dari kompos yang telah matang adalah tidak berbau, berwarna hitam, mudah hancur bila diremas tangan, tidak bercampur dengan insekta, cacing, ulat atau jamur di dalam kompos tersebut. Secara
17
laboratories nisbah C/N dibawah 20 adalah indikasi bahwa proses dekomposisi telah berakhir (Pangestuti, 2008) Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, selain kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dan mikroorganisme tanah.Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Karakteristik kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi adalah sebagai berikut : 1. Penurunan temperatur diakhir proses. 2. Penurunan kandungan organik kompos, kandungan air, dan rasio C/N. 3. Berwarna coklat tua sampai kehitam-hitaman dan tekstur seperti tanah. 4. Berkurangnya pertumbuhan larva dan serangga diakhir proses. 5. Hilangnya bau busuk. 6. Adanya warna putih atau abu-abu, karena pertumbuhan mikroba. 7. Memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur udara. 8. Tidak mengandung asam lemak yang menguap (Djuarnani, 2004). .