2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Keluarga Berencana Nasional 2.1.1 Definisi Keluarga Berencana (KB) Keluarga Berencana menurut WHO (1970), yang dikutip oleh Hartanto (1996) adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk: 1) Mendapatkan objektif - objektif tertentu; 2) Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan; 3) Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan; 4) Mengatur interval di antara kelahiran; 5) Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri serta; 6) Menentukan jumlah anak dalam keluarga. Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, pengertian tentang Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui usaha pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (Arum dan Sujiyatini, 2009). Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana adalah usaha–usaha yang dilakukan untuk mengatur jumlah dan jarak kelahiran serta peningkatan kesejahteraan keluarga melalui upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat. Untuk mengatur kelahiran tersebut digunakan suatu cara atau metode yang disebut sebagai kontrasepsi.
7
8
2.2.2 Tujuan Program KB Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat/angka kematian ibu, bayi dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil berkualitas (BKKBN, 2006).
2.2.3 Visi dan Misi KB Visi KB berdasarkan paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional adalah untuk mewujudkan ”Keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggungjawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa pada tahun 2015 (BKKBN, 2006). Visi Keluarga Berkualitas 2015 tersebut telah dijabarkan kedalam tujuh misi program sebagai berikut: 1. Memberdayakan dan menggerakkan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas. 2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, ketahanan keluarga, dan kualitas pelayanan. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan upaya-upaya promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi. 5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender dalam pelaksanaan Program KB nasional.
9
6. Mempersiapkan pengembangan SDM potensial sejak pembuahan sampai dengan lanjut usia. 7. Menyediakan data dan informasi keluarga berbasis data mikro untuk pengelolaan pembangunan, khususnya menyangkut upaya pemberdayaan keluarga miskin.
2.2.4 Sasaran Program KB Adapun sasaran pogram KB nasional yang tercantum dalam RPJM 20042009 adalah sebagai berikut (BKKBN, 2006): 1. Menurunnya rata–rata laju pertumbuhan penduduk secara maksimal menjadi 1,14 % per tahun. 2. Menurunkan angka kelahiran Total Fertility Rate (TFR) menjadi 2,2 per perempuan. 3. Meningkatkan peserta KB pria menjadi 4,5 %. 4. Meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi yang efektif dan efisien. 5. Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak. 6. Meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang aktif dalam usaha ekonomi produktif. 7. Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
2.3 Kontrasepsi Kontrasepsi berasal dari kata Kontra berarti mencegah atau melawan. Sedangkan Konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang
10
dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Dalam menggunakan kontrasepsi, keluarga pada umumnya mempunyai perencanaan atau tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu menunda/mencegah kehamilan, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan/mengakhiri kehamilan atau kesuburan.Cara kerja kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada umumnya yaitu (Imbarwati, 2009) : 1. Mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi. 2. Melumpuhkan sperma. 3. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma. Cara atau metode kontrasepsi dibedakan menjadi dua jenis yaitu metode sederhana dan metode modern. Metode sederhana dibedakan menjadi dua metode yaitu metode tanpa alat dan metode dengan alat. Metode sederhana tanpa alat terdiri dari: 1) Teknik Pantang Berkala; 2) Metode Kalender; 3) Metode Suhu Basal; 4) Metode Lendir Serviks; 5) Metode Simtomtermal, sedangkan metode dengan alat dibedakan menjadi dua jenis yaitu mekanis/barrier dan kimiawi. Metode mekanis/barrier terdiri dari Kondom dan Barrier Intral Vaginal (Diafragma) sedangkan jenis metode atau kontrasepsi kimiawi adalah spermisida yang dikemas dalam bentuk aerosol (busa), tablet vaginal dan krim (Arum dan Sujiyatini, 2009). Untuk metode modern dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kontrasepsi hormonal, Intra Uterine Devices (IUD) dan sterilisasi. Kontrasepsi hormonal terdiri dari Oral Kontrasepsi (Pil Kombinasi dan Pil Progestin), Suntikan dan Implant. Kontrasepsi IUD terdiri dari dua jenis yaitu Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
11
(AKDR) dan AKDR dengan Progestin. Sedangkan metode sterilisasi dibedakan menjadi dua yaitu Tubektomi untuk wanita (MOW) dan Vasektomi untuk laki–laki (MOP) (Arum dan Sujiyatini, 2009). BKKBN mencatat ada tujuh macam metode kontrasepsi yang paling banyak dan populer digunakan oleh masyarakat, diantaranya adalah IUD (AKDR), Suntikan, Pil, Kondom, Implan, Tubektomi (MOW) dan Vasektomi (MOP).
2.3.1 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Istilah lain dari AKDR adalah IUD (Intra Uterine Devices). Alat kontrasepsi ini terdiri dari plastik halus berbentuk spiral ataupun berbentuk huruf T yang dipasang di dalam rahim dengan memakai alat khusus oleh dokter atau bidan/paramedis lain yang sudah dilatih. Ada bermacam–macam AKDR, antara lain yang terbuat dari bahan plastik halus berbentuk spiral disebut Lippes–loop, atau AKDR berlapis tembaga dengan bermacam–macam bentuk (Wulandari, 2008). Mekanisme kerja dari AKDR yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti, tetapi cara kerjanya bersifat lokal. Sebagai bukti dapat dijumpai kehamilan dengan AKDR in situ, AKDR dalam keadaan kolaps membuat suasana pada fundus uteri menjadi normal dan siap menerima hasil konsepsi. Sedangkan mekanisme kerja lokal AKDR sebagai berikut : 1) AKDR merupakan benda asing di dalam rahim, sehingga menimbulkan reaksi benda asing dengan timbunan leukosit, makrofag dan limfosit; 2) AKDR menimbulkan perubahan pengeluaran cairan prostaglandin
yang
menghalangi
kapasitasi
spermatozoa;
3)
Pemadatan
endometrium oleh leukosit, makrofag dan limfosit menyebabkkan blastokista mungkin dirusak oleh makrofag dan blastokista tidak mampu melaksanakan nidasi;
12
4) Ion Cu yang dikeluarkan AKDR dengan Cupper menyebabkan gangguan gerak spermatozoa, sehingga mengurangi kemampuan untuk melaksanakan konsepsi (Manuaba, 1998). AKDR adalah suatu metode kontrasepsi yang paling efektif. Keuntungan dari pemakaian AKDR antara lain : 1) Sangat efektif dengan proteksi jangka panjang (sampai 8 tahun atau lebih); 2) Kesuburan segera kembali setelah AKDR diangkat; 3) Pemeriksaan ulang diperlukan hanya satu kali dalam satu tahun; 4) Cocok untuk ibu menyusui; 5) Tidak bergantung pada usia, dengan syarat wanita itu mempunyai resiko rendah untuk menderita penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual (Saifuddin, 2003). Alat AKDR bukanlah alat kontrasepsi yang sempurna, sehingga masih terdapat beberapa kerugian : 1) Masih terjadi kehamilan dengan AKDR in situ; 2) Bertambahnya darah haid dan rasa sakit selama beberapa bulan pertama pada sebagian pemakai AKDR; 3) Dapat terjadi infeksi sehingga meningkatkan risiko penyakit radang panggul; 4) Tali AKDR dapat menimbulkan perlukaan portio uteri dan mengganggu hubungan seksual (Manuaba, 1998).
2.4 Tingkat Kelangsungan Penggunaan Kontrasepsi IUD Tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi merupakan suatu ukuran yang dipakai untuk mengetahui lama waktu penggunaan metode KB (kontrasepsi) yang dipakai oleh akseptor KB. Metode yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat kelangsungan ber-KB adalah analisis kesintasan. Dengan menggunakan analisis kesintasan, kita dapat mengetahui tingkat kelangsungan pemakaian suatu metode KB, membandingkan tingkat kelangsungan antara dua atau lebih metode
13
KB serta menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat kelangsungan yang terjadi antar metode kontrasepsi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mahdy dan El-Zeiny (1999) diketahui bahwa tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi pada 6 bulan awal adalah 88/100 wanita ,kemudian menjadi 75/100 wanita pada 12 bulan awal dan pada 24 bulan awal menjadi 56/100 wanita. Analisis Kaplan-Meier menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada tingkat kelangsungan penggunaan antara empat metode kontrasepsi (P <0,001). Enam bulan setelah mulai menggunakan kontrasepsi, tingkat kelangsungannya adalah 93,0% dan 89,0% untuk pengguna Norplant dan IUD, serta 68,0% untuk pengguna Suntikan dan Pil. Setelah 1 tahun penggunaan, tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi adalah 79,0% untuk Norplant, 72,0% untuk IUD, 52,0% untuk Pil dan 43,0% untuk Suntikan. Setelah dua tahun, tingkat kelangsungan kontrasepsi menjadi 69,0% untuk Norplant, 63,0% untuk IUD, 49,0% untuk Pil dan 40,0% untuk Suntikan. Hartanto (1996) menyebutkan angka kontinuitas pemakaian IUD adalah 70– 90 per 100 wanita setelah satu tahun. Khusus untuk Indonesia, angka kontinuitas pemakaian IUD adalah 65–75 % akseptor IUD masih tetap memakai IUD-nya dibandingkan 30–40 % yang memakai Pil Oral.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Kontrasepsi IUD 2.5.1 Faktor Karakteristik Individu Tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu yang dapat memberikan pengaruh adalah faktor
14
karakteristik individu. Adapun yang termasuk dalam faktor karakteristik individu antara lain: 1. Umur Umur dapat menjadi indikator kematangan seorang wanita secara biologis terutama dalam pengaruhnya dengan kesuburan. Masa reproduktif seorang wanita adalah 15–49 tahun, karena 15 tahun dianggap sudah memasuki masa reproduktif dan umur 50 tahun dianggap sudah melewati masa reproduktif. Menurut Hartanto (1996), bahwa resiko tinggi kehamilan dapat timbul pada umur ≤ 18 tahun atau ≥ 35 tahun. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan dengan menggunakan kontrasepsi. Menurut hasil penelitian Mahdy dan Zeiny (1999) diketahui bahwa umur merupakan salah satu faktor resiko dari diskontinuitas penggunaan kontrasepsi secara umum (p < 0,001). 2. Pekerjaan Status pekerjaan seorang istri berpengaruh terhadap kelangsungan kontrasepsi, terlebih pada istri yang bekerja di sektor informal. Mereka yang sebagian waktunya digunakan di luar rumah menyebabkan waktu untuk mengurus anak menjadi terbatas, oleh karena itu, istri yang bekerja cenderung memilih memiliki anak sedikit sehingga lebih banyak membutuhkan pelayanan kontrasepsi daripada istri yang tidak bekerja. Studi yang dilakukan Pusat Kajian Pembangunan Atmajaya yang bekerjasama dengan Puslitbang Biomedis dan Reproduksi di DKI tahun 1999, menyatakan bahwa tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesetaraan suami dalam menggunakan kontrasepsi. Dengan kata lain, bila PUS (Pasangan Usia Subur) keduanya bekerja, berarti istri memiliki pendapatan sendiri
15
maka kesadaran pria untuk mengikuti program KB jauh lebih tinggi. PUS yang tidak ber KB ternyata sebagian besar berasal dari dari istri yang tidak bekerja atau memiliki pendapatan sendiri (Swastiti, 2008). 3. Pendidikan Menurut Notoatmodjo (2007), konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok, atau masyarakat. Kegiatan belajar tersebut memiliki ciri–ciri yaitu: belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang belajar, baik actual maupun potensial. Ciri kedua dari hasil belajar adalah perubahan tersebut didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama. Ciri ketiga adalah bahwa perubahan itu terjadi karena usaha dan didasari bukan karena kebetulan. Di dalam kegiatan belajar terdapat tiga komponen pokok, yakni masukan (input), proses, dan keluaran (output). Masukan adalah menyangkut sasaran belajar (sasaran didik) yaitu individu, kelompok atau masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya. Proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri subjek belajar tersebut. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor, antara lain: subjek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator) metode dan teknik belajar, alat bantu belajar, dan materi atau bahan yang dipelajari. Sedangkan keluaran adalah hasil belajar itu sendiri, yaitu berapa kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar (Notoatmodjo, 2007).
16
Menurut Undang–Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, jenjang pendidikan terdiri atas jenjang pendidikan formal dan pendidikan informal (Swastiti, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haryani (2001) tentang hubungan karakteristik akseptor dengan hubungan kelangsungan KB di Kecamatan Panjatan Kulonprogo Yogyakarta diketahui bahwa ada hubungan tingkat pendidikan akseptor dengan kelangsungan KB meskipun dengan kekuatan hubungan yang lemah. 4. Paritas Menurut BKKBN (1999) yang dikutip oleh Swastiti (2008), jumlah anak lahir hidup atau paritas dikelompokkan menjadi dua yaitu paritas rendah dan paritas tinggi. Paritas rendah yaitu memiliki 0–2 orang anak, sedangkan paritas tinggi yaitu memiliki 3 orang anak. Keputusan untuk menambah jumlah anak diserahkan kepada keputusan suami dan istri dan disesuaikan dengan standar BKKBN yaitu jumlah anak kurang atau sama dengan dua. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anak (sig=0,016) dengan pemakaian alat kontrasepsi.
2.5.2 Efek Samping Efek samping adalah perubahan fisik atau psikis yang timbul akibat dari penggunaan alat/obat kontrasepsi, tetapi tidak berpengaruh serius terhadap kesehatan klien (BKKBN, 2002).
17
Menurut Hartanto (1996) dengan belum tersedianya metode kontrasepsi yang benar-benar sempurna, maka ada 3 (tiga) hal yang sangat penting untuk diketahui oleh calon akseptor KB yakni: efektivitas, keamanan dan efek samping. Reaksi efek samping yang sering terjadi sebagai akibat penggunaan alat kontrasepsi adalah gangguan haid (amenorhoe) seperti perubahan siklus haid, haid lebih lama dan banyak, serta perdarahan (spotting). Selain itu, efek samping yang dapat terjadi adalah adanya infeksi yang dapat menyebabkan penyakit radang panggul (Arum dan Sujiyatni, 2009). Menurut penelitian Manzouri, dkk tahun 2011 di Isfahan Iran, dari 244 orang akseptor IUD yang diteliti, sebanyak 29,6 % akseptor berhenti menggunakan kontrasepsi IUD akibat terjadinya efek samping berupa kejadian infeksi infeksi serta sebanyak 38 % akseptor berhenti menggunakan IUD dengan alasan ingin mempunyai anak kembali. Penelitian yang dilakukan oleh Khader, dkk tahun 2003 di Yordania, ratarata durasi penggunaan IUD dari 371 wanita yang diteliti adalah 36 bulan dimana 18,6 % wanita tersebut berhenti menggunakan IUD karena terjadi efek samping. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah pendarahan, infeksi serta nyeri.
2.5.3 Keinginan Mempunyai Anak Anak adalah karunia dan anugerah Tuhan yang harus dijunjung tinggi sebagai pemberian yang tidak ternilai harganya. Keinginan untuk mempunyai anak merupakan salah satu alasan yang banyak dikemukakan mengapa seorang wanita memutuskan untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi. Dari penelitian yang
18
dilakukan oleh Purba (2008) menyebutkan bahwa mayoritas responden (43,3%) memutuskan tidak mengikuti program KB karena ingin mempunyai anak. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki alasan ingin mempunyai anak lagi merasa anak yang mereka miliki belum cukup sehingga mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kontrasepsi dan hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi.
2.5.4 Faktor Lain Adapula beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi kelangsungan kontrasepsi baik kelangsungan penggunaan kontrasepsi secara umum maupun kelangsungan penggunaan kontrasepsi IUD secara khusus yaitu: 1. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007) Penelitian oleh Seturah (2004) tentang hubungan pengetahuan dan sikap akseptor KB dengan kelangsungan penggunaan alat kontrasepsi di Desa Rembun Kecamatan Siawalan Kabupaten Pekalongan disebutkan bahwa ada hubungan yang
19
signifikan antara tingkat pengetahuan responden dengan kelangsungan penggunaan alat kontrasepsi (p=0,00). Dalam memakai atau menggunakan kontrasepsi, diperlukan pengetahuan yang luas mengenai kontrasepsi. Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kontrasepsi serta makna dan tujuan Keluarga Berencana maka semakin luas pandangan mereka terhadap penggunaan kontrasepsi sehingga akan berdampak pada tingginya tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi. 2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tersebut tidak dapat dilihat langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari–hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu (Notoatmodjo, 2007). Apabila seorang ibu yang ingin menunda kehamilan telah mendengarkan informasi mengenai kontrasepsi (jenis, manfaat, efek samping dan sebagainya) sehingga pengetahuan tersebut akan membawa si ibu untuk berpikir dan berusaha untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga si ibu tersebut berniat akan memakai kontrasepsi untuk menunda atau mencegah kehamilan. Terbentuknya sikap yang semakin positif terhadap kontrasepsi akan semakin meningkatkan tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi.
20
Penelitian yang juga dilakukan oleh Seturah tahun 2004 menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara sikap responden dengan kelangsungan penggunaan alat kontrasepsi (p=0,00). 3. Kualitas Pelayanan KB Aspek kualitas pelayanan meliputi empat faktor, yaitu: responsiveness, friendliness (keramahan), reliability (kehandalan), dan promtness (ketepatan waktu) dari petugas yang memberikan pelayanan serta respon petugas terhadap keluhan konsumen. Keluhan merupakan cermin ketidak–puasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan petugas, yang apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan penurunan penjualan jasa (Woyanti, 2004). Penelitian tahun 2003 oleh Febrianti tentang hubungan kualitas pelayanan keluarga berencana terhadap kelangsungan IUD di Kecamatan Gajah Mungkur Semarang menyebutkan bahwa terdapat hubungan kualitas pelayanan dengan kelangsungan pemakaian IUD (p: 0,003 dan OR: 2,792). Apabila akseptor KB merasa puas terhadap pelayanan KB yang diterimanya maka hal ini menunjukkan kualitas dari pelayanan KB yang diterimanya baik. Kualitas yang baik tersebut kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan kelangsungan penggunaan kontrasepsi.
2.6 Teori Perilaku 2.6.1 Teori Aksi Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini (action theory) pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi yang ternama. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan
21
berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu (Sarwono,2007). Menurut Ritzer (1983) yang dikutip oleh Sarwono (2007) Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana–sarana yang paling tepat. Bila dikaitkan dengan kelangsungan penggunaan kontrasepsi, akseptor KB yang memiliki pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran yang baik mengenai kontrasepsi akan bertindak untuk menggunakan kontrasepsi secara aktif dan berkelanjutan sehingga akan berpengaruh pada peningkatan tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi. Sebaliknya apabila pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran yang dimiliki oleh akseptor KB kurang, maka akan menyebabkan akseptor bertindak untuk berhenti menggunakan kontrasepsi sehingga berdampak pula pada penurunan tingkat kelangsungan penggunaan kontrasepsi. Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai dengan mengkritik Weber. Ia menyatakan bahwa aksi/action itu bukanlah perilaku/behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma– norma dan nilai–nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing–masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat (status)
22
tertentu dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya. Contohnya, keputusan seseorang untuk ikut serta atau menolak program KB tidak hanya tergantung dari kedudukannya dalam komunitas itu (seorang guru atau petani), atau apakah metode kontrasepsi itu sesuai atau tidak dengan agama yang dianutnya, melainkan juga dari kepatuhannya atau keberaniannya untuk menolak KB sekalipun akan menimbulkan rasa tidak enak terhadap tetangga dan tokoh masyarakat (Sarwono, 2007). Secara skematis teori aksi ini dapat digambarkan sebagai berikut : INDIVIDU Pengalaman Persepsi Pemahaman Penafsiran
STIMULUS
TINDAKAN
Gambar 2.1 Teori Weber
Sistem sosial Sistem budaya
INDIVIDU
PERILAKU
Sistem kepribadian Gambar 2.2 Teori Parsons
2.7 Analisis Kesintasan Armitage dan Berry (1987) mengatakan bahwa analisis kesintasan atau survival analysis merupakan analisis yang melibatkan uji statistik untuk menganalisis data yang variabelnya berkaitan dengan waktu atau lamanya waktu
23
sampai terjadinya peristiwa tertentu. Menurut Kleinbaum dan Klein (2005) analisis kesintasan ialah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data yang outcome variabel yang diteliti adalah waktu hingga suatu peristiwa muncul. Waktu kesintasan dapat didefinisikan sebagai waktu dari awal observasi hingga terjadinya peristiwa, dapat dalam hari, bulan, maupun tahun. Peristiwa tersebut dapat berupa perkembangan suatu penyakit, respon terhadap perawatan, kambuhnya suatu penyakit, kematian atau peristiwa lain yang dipilih sesuai dengan kepentingan si peneliti. Oleh karena itu waktu kesintasan dapat berupa waktu sembuhnya dari penyakit, waktu dari memulai perawatan hingga terjadi respon, dan waktu hingga terjadi kematian (Lee dan Wang, 2003). Menurut Le (2003) dalam menentukan waktu kesintasan, T, terdapat 3 elemen dasar yang diperlukan yaitu : 1. Waktu awal (time origin). 2. Peristiwa akhir/waktu akhir (failure event). 3. Skala waktu sebagai satuan pengukuran waktu.
T (lama waktu)
waktu mulai
waktu akhir
Gambar 2.3 Tiga elemen dasar waktu kesintasan T
T adalah lama dari waktu awal (time origin) misalnya dari lahir hingga terjadi peristiwa tertentu misalnya kematian dalam tahun (skala waktu). Waktu awal harus didefinisikan dengan jelas, namun tidak harus waktu kelahiran misalnya
24
waktu awal melakukan perawatan atau awal didiagnosa penyakit tertentu (untuk percobaan klinis). Begitu juga waktu akhir harus didefinisikan secara jelas tidak harus kematian, misalnya waktu terjadinya stroke, atau waktu kambuhnya penyakit (Le, 2003). Analisis kesintasan memiliki beberapa tujuan (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1) Mengestimasi dan mengiterpretasikan fungsi kesintasan dan/atau fungsi hazard; 2) Membandingkan fungsi kesintasan dan/atau fungsi hazard pada 2 kelompok atau lebih; 3) Mengestimasi hubungan antara variabel penjelas dengan waktu kesintasan. Perbedaan antara analisis kesintasan dengan analisis statistika lainnya ialah terdapatnya suatu peristiwa yang lama waktu terjadinya terhadap objek adalah bervariasi. Selain itu adanya kemungkinan beberapa objek yang waktu sampai terjadinya peristiwa tidak diobservasi secara penuh (sensor). Data dikatakan tersensor jika observasi waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event (end point). End point adalah kondisi yang menjadi tujuan akhir pengamatan (sakit, kambuh, mati, dan lain sebagainya). Penyebab terjadinya data tersensor antara lain (Le, 2003): 1) Loss to follow up, terjadi bila objek pindah, meninggal atau menolak untuk berpartisipasi; 2) Drop out, terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu; 3) Termination of study, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara objek yang diobservasi belum mencapai failure event; 4) Death, jika penyebab kematian bukan dibawah penyelidikan (misalnya bunuh diri). Sedangkan menurut Kleinbaum dan Klein (2005) ada 3 alasan umum terjadinya penyensor, yaitu: 1) Objek tidak mengalami peristiwa sebelum masa penelitian berakhir; 2) Objek hilang selama masa follow-up ketika masa penelitian;
25
3) Objek ditarik dari penelitian karena kematian (jika kematian bukan peristiwa yang diobservasi) atau disebabkan alasan lain. Ada beberapa metode yang dapat dipakai dalam analisis kesintasan, yaitu; metode Life Table, metode Kaplan Meier dan metode Cox Regresision. Ketiga metode tersebut memiliki indikasi penggunaannya masing-masing. Metode Life Table digunakan untuk menentukan survival rate dari satu kelompok, sedangkan metode Kaplan Meier digunakan untuk menentukan survival rate dari dua kelompok atau lebih dan metode Cox Regression digunakan untuk mempelajari faktor – faktor yang mempengaruhi survival rate.
2.7.1 Metode Life Table Metode ini dapat dipakai mengukur lama hidup atau yang lebih dikenal dengan harapan hidup atau expectation of life pada setiap umur dari suatu kelompok dengan karakteristik sama yang dikenal dengan kohort. Selain itu, metode ini memberlakukan kejadian tertutup, yaitu terhadap kematian yang dipantau dari setiap anggota kohort sampai seluruhnya mengalami kematian. Dalam penelitian epidemiologi, Life Table dipakai untuk menghitung proporsi survival kumulatif atau proporsi kelangsungan hidup atau continuation rate pada program Keluarga Berencana (KB). Konstruksi tabel kematian atau Life Table terdiri dari beberapa komponen seperti pada Tabel 2.1 dibawah ini.
26
Tabel 2.1 Komponen dan Formula pada Life Table Kolom
Komponen
Formula
1
Interval start time (tx)
2
Number entering interval (nx)
3
Number withdrawal (wx)
4
Number exposed to risk (n’x)
5
Number terminal events (dx)
6
Proportion terminating (qx)
qx=dx/n’x
7
Proportion surviving (px)
px=1-qx
8
Cum. proport. surviving (Lx)
Lo=px Lx=L(x-t) x px
9
Probability density
=dx/(t x n’x)
10
Hazard rate
= dx/{t x (nx+nx+1)/2}
n(x+1) =nx-wx-dx
n’x = nx -1/2wx
Pada Life Table, kolom 1 merupakan waktu dimulainya pengamatan (tx), kolom 2 merupakan jumlah orang yang diamati pada awal bulan ke-0 (nx), bulan ke-1 (nx+1), dan seterusnya. Kolom 3 adalah jumlah sensor/withdrawl (wx). Kolom 4 adalah jumlah penduduk yang at risk (n’x). Kolom 5 adalah jumlah end point (dx). Kolom 6 adalah proporsi end point (qx). Kolom 7 adalah proporsi hidup (px). Kolom 8 adalah kumulatif survival (Lx), kolom 9 adalah Probability Density, yaitu angka kematian untuk setiap interval pengamatan dengan pembaginya adalah jumlah penduduk at risk dan kolom 10 adalah Hazard Rate adalah jumlah kematian per jumlah penduduk pertengahan tahun untuk setiap interval pengamatan (Widarsa, 2009).
27
2.7.2 Metode Cox Regressi Fungsi kesintasan dan fungsi hazard merupakan analisis yang digunakan untuk melihat perbedaan antara 2 kelompok atau lebih. Namun bila ada variabelvariabel kovariat yang ingin dikontrol atau bila menggunakan beberapa variabel penjelas dalam menjelaskan hubungan antara waktu kesintasan maka regresi cox lah yang digunakan. Jadi regresi cox merupakan model yang menggambarkan hubungan antara waktu kesintasan sebagai variabel dependen dengan 1 set variabel independen. Variabel independen ini bisa kontinu maupun kategorik. Cox proportional hazard ialah pemodelan yang digunakan dalam analisis kesintasan yang merupakan model semiparametrik. Regresi cox proportional hazard ini digunakan bila outcome yang diobservasi adalah panjang waktu suatu kejadian. Pada mulanya pemodelan ini digunakan pada cabang statistika khususnya biostatistika yaitu digunakan untuk menganalisis kematian atau harapan hidup seseorang. Namun
seiring perkembangan zaman pemodelan ini
banyak
dimanfaatkan di berbagai bidang. Diantaranya bidang akademik, kedokteran, sosial, science, teknik, pertanian dan sebagainya. Ketika menyelidiki suatu kasus di bidang kedokteran contohnya kasus pasien yang menderita penyakit tertentu, dibutuhkan hubungan antara waktu kesintasan pasien dengan karakteristik-karakteristik klinis yang didapatkan dari data medis pasien. Model Cox Regresi (Widarsa, 2009): h(ti) = ho(ti) exp ( 1zi1 + 2zi2 + ......+ kzik) Keterangan: i
: strata waktu survival
28
h(ti) : hazard kelompok ekspose pada waktu (ti) h0(ti): base line hazard (non eksp) pada waktu (ti) k : koefisien regresi zik : faktor resiko Hazard ratio adalah suatu rasio yang membandingkan rasio kelompok terpapar dengan kelompok yang tidak terpapar. Hazard ratio ini mirip dengan Odd ratio pada logistik regresi, dengan rumus (Widarsa, 2009): h(ti ) exp( 1 zi1 2 zi 2 ........ k zik ) h0 (ti )
Adapun hipotesis statistik yang diuji yaitu: 1) Ho: Hazard Ratio =1, berarti faktor yang diuji tidak meningkatkan risiko terjadinya hazard atau bukan sebagai faktor risiko. 2) Ha: Hazard Ratio > 1, berarti faktor yang diuji meningkatkan risiko terjadinya hazard atau sebagai faktor risiko.
2.8 Penelitian Serupa 1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Henny (2009) pada ibu PUS akseptor kontrasepsi non hormonal di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Sumatera Utara, didapatkan hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap ibu PUS akseptor kontrasepsi non hormonal terhadap kontrasepsi hormonal dengan kekuatan sedang. (p = 0,041 dan r = 0,303). 2. Penelitian oleh Utami, dkk (2011) didapatkan adanya hubungan antara efek samping dengan kejadian drop out pada akseptor AKDR di Poli KB I RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan nilai chi square hitung = 30,05 dan chi square tabel = 8,65.
29
3. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2008) tentang faktor–faktor yang mempengaruhi pemakaian alat kontrasepsi pada istri PUS di Kecamatan Rambah Samo Kabupaten Rokan Hulu diketahui faktor predisposisi yang mempengaruhi pemakaian alat kontrasepsi adalah jumlah anak (Sig = 0,008), pengetahuan (Sig = 0,014) dan sikap (Sig = 0,041) serta faktor pendorong dan pendukung yang berpengaruh adalah variabel ketersediaan alat kontrasepsi (Sig = 0,01) dan dukungan petugas kesehatan (Sig = 0,005). Variabel yang dominan pengaruhnya adalah ketersediaan alat kontrasepsi (Koefisien B = 3,112). 4. Penelitian yang dilakukan oleh Rochman (2003) pada PUS di Kecamatan Wirobraja Yogyakarta menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang KB (p= 0,048) dan sikap terhadap program KB (p=0,003) dengan status keikutsertaan sebagai akseptor KB. 5. Penelitian Casuli (2005) pada PUS di Desa Tunjung Sari Kecamatan Sadananya Kabupaten Ciamis diketahui bahwa faktor–faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap keikutsertaan KB adalah umur (p = 0,021), pekerjaan (p = 0,044), sikap terhadap program KB (p = 0,008) dan dukungan keluarga (p = 0,010). Keempat variabel tersebut dapat memprediksi peluang keikutsertaan KB 75%.Ibu dengan keempat faktor tersebut,maka probabilitas untuk ikut KB 75%. Prediksi probabilitas yang paling dominan dari keempat faktor tersebut adalah faktor dukungan keluarga, yaitu 10 kali untuk ikut KB dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga.
30
6. Penelitian yang dilakukan oleh Musfida (2008) tentang hubungan lama penggunaan alat kontrasepsi dan kepedulian periksa dini dengan persepsi efek sampaing pada akseptor KB di Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu Kota Semarang menunjukkan ada hubungan lama penggunaan alat kontrasepsi dengan efek samping (X=5,657, p value 0,017) ada hubungan kepedulian periksa dini pertama kali dengan efek samping (x=4,824, p value 0,028).