2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Demam Berdarah Dengue Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dari famili Stegomiya (Halstead, 2004). Virus dengue sendiri tergolong dalam B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Depkes RI, 2007). Secara umum, penyakit yang disebabkan oleh virus dengue disebut sebagai demam dengue, adapun pengertian demam berdarah dengue yang lebih mengarah pada diagnosis klinik diberikan oleh Siregar (2006), dimana penyakit demam berdarah dengue didefinisikan sebagai penyakit infeksi dengue akut dan dalam waktu singkat dapat membuat keadaan pasien memburuk dan menimbulkan kematian. 2.1.2
Gejala dan Penegakan Diagnosis Demam Berdarah Dengue Virus dengue mempunyai empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan
DEN 4 yang termasuk dalam kelompok Arbovirus grup B bersama-sama dengan penyakit Yellow Fever, Westnile, dan Japanese Encephalistis. Di antara sesama virus dengue terdapat reaksi silang pada uji laboratorium dan ke-4 tipe virus tersebut dapat menimbulkan penyakit dengan gejala yang sama. Untuk diagnosis pasti penyakit adalah dengan isolasi virus, tetapi ini sulit, karena membutuhkan waktu dan peralatan
9
10
khusus yang mahal, di samping itu pengambilan sampel harus dilakukan pada stadium viremia (Siregar, 2006). Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN 3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Depkes RI, 2007). Bahkan virus DEN 3 sejak tahun 1983 telah diketahui berhubungan dengan kasus demam berdarah dengue berat di negara-negara Asia Tenggara dengan gejala ensefalopati, hipoglikemia, dan gangguan fungsi hati (Halstead, 2004). Patogenesis penyakit demam dengue sampai saat ini masih belum jelas dan diperdebatkan. Teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan teori antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder menyatakan bahwa seseorang yang terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue yang berbeda, maka akan terjadi reaksi dari antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya. Ikatan virus antibodi mengaktivasi makrofag dan akan bereplikasi di dalam makrofag. Sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya antibodi yang timbul justru bersifat mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Infeksi virus dengue memperlihatkan spektrum klinis penyakit yang bervariasi dari derajat ringan sampai derajat berat. Infeksi dengue yang paling ringan dapat menimbulkan gejala atau demam tanpa manifestasi klinis yang jelas. Infeksi dengue yang ringan akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan (Siregar, 2006) Sebagai respon terhadap infeksi dengue, di dalam tubuh akan terjadi:
11
1. Aktivasi sistem komplemen sehingga akan keluar zat anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular (plasma leakage). 2. Depresi sumsum tulang dan agregasi trombosit yang menyebabkan jumlah trombosit menurun. Jumlah trombosit yang menurun sering terjadi pada hari ke 3-8 demam dan umumnya pada hari ke 6. 3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang faktor pembekuan. Ketiga hal di atas akan menyebabkan hipovolemia dan syok, vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Siregar (2006) secara umum mengklasifikasikan demam berdarah dengue dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet yang positif.
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan pada kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
12
Gambar 2.1
Hubungan antara mekanisme demam berdarah dengue dengan perbedaan derajat infeksi dengue Infeksi Dengue
Demam
Positif Tes Tournique t
Peningkatan Permeabilitas Vaskuler
Hepatomegali
Trombositopeni
Derajat I
Manifestasi Perdarahan Lain Derajat 2 Kebocoran Plasma
Hipovolemia Koagulopati Derajat 3 Syok
Penyebaran Gumpalan dalam Pembuluh Darah Derajat 4 Perdarahan Serius
Kematian
Menurut Dewi Sandina (2011), demam berdarah dengue merupakan komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, dimana demam berdarah dengue ditandai oleh beberapa gejala, antara lain demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, manifestasi pendarahan, hepatomegali atau pembesaran hati, dan kadangkadang terjadi syok pada penderitanya. Tanda perdarahan pada demam berdarah dengue mungkin tidak terjadi pada semua kasus. Perdarahan yang paling ringan adalah uji tourniquet (Rumple Leede) yang positif, yang berarti terjadi peningkatan fragilitas kapiler. Walaupun tes yang positif juga dapat terjadi pada penyakit virus (campak, demam Chikungunya), infeksi bakteri (tifus abdominalis) dan lain-lain. Uji tourniquet positif pada 70,2% kasus demam berdarah dengue di awal perjalanan penyakit (Siregar, 2006).
13
Banyak masalah yang belum diketahui secara jelas tentang penyakit demam berdarah dengue ini, sehingga sulit melakukan tindakan diagnosis, pengelolaan penderita, dan pencegahan secara tepat. Untuk diagnosis penyakit demam berdarah dengue, di samping berdasarkan patokan gejala klinik yang dianjurkan WHO, diperlukan pemeriksaan laboratorium; baik klinik maupun serologi Sampai saat ini, kriteria kasus demam berdarah dengue dibuat cukup longgar, yaitu adanya demam dan bukti adanya perdarahan (minimal tes Rumple Leede positif). Sebenarnya kriteria demam berdarah dengue dalam menegakkan kasus demam berdarah dengue mulai banyak diperdebatkan, oleh karena dijumpainya kasus-kasus demam berdarah dengue yang telah terbukti secara serologis, ternyata hitung trombositnya tetap normal, atau tanpa adanya hemokonsentrasi. Dijumpai pula kasus demam berdarah dengue dengan perdarahan yang hebat tetapi tanpa adanya bukti hemokonsentrasi (Siregar, 2006) 2.1.3
Pengobatan Demam Berdarah Dengue Pengobatan demam berdarah dengue bersifat suportif. Harus diusahakan untuk
mendeteksi adanya perembesan plasma secara dini sehingga dapat mencegah syok yang mungkin terjadi. Pemberian cairan kristaloid isotonik merupakan pilihan sebagai pengganti volume plasma yang pindah. Jumlah cairan yang diberikan harus dihitung secara cermat dan direncanakan dengan jelas. Pemakaian obat-obat yang lain harus diberikan atas indikasi yang tepat sehingga diharapkan angka kematian dapat diturunkan (Siregar, 2006) Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian serius karena dapat menyebabkan kematian dengan cepat. Empat puluh sampai lima puluh persen kasus DSS biasanya sulit tertolong. Syok dapat terjadi dalam waktu singkat,
14
pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat penggantian cairan dengan tepat. Syok umumnya dapat terjadi saat suhu badan turun, yaitu antara hari sakit ke-3-7. Menurut panduan tata laksana demam berdarah dengue dari dinas kesehatan RS (2003) perbedaan patofisilogik utama antara demam berdarah dengue dan penyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis demam berdarah dengue dan syndrim syok dengue (SSD) sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tata laksana demam berdarah dengue terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dengan gangguan hemostasis. Prognosis demam berdarah dengue terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Tata laksana demam berdarah dengue fase demam tidak berbeda dengan tata laksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk
15
mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada demam berdarah dengue. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian penderita demam berdarah dengue dengan dosis sebagai berikut: Tabel 2.1 Tabel Pemberian Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Usia Parasetamol (tiap kali pemberian) Usia (tahun) Dosis (mg)
Tablet (1 tablet = 500mg)
<1
60
⅛
1–3
60 – 125
⅛-¼
4–6
125 – 250
¼-½
7 - 12
250 – 500
½-1
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan di samping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, di samping antipiretik diberikan anti konvulsif selama demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
16
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. 2.1.4
Kesembuhan Demam Berdarah Dengue Menurut Siregar (2006) kriteria sembuh pada pasien demam berdarah dengue
dapat dinyatakan apabila pasien sudah bebas demam selama 2 hari. Penyembuhan demam berdarah dengue yang baru dengan atau tanpa syok akan terjadi secara cepat, akan tetapi kadang-kadang sulit diramalkan. Timbulnya nafsu makan, diuresis yang cukup, fungsi jantung, paru dan kesadaran yang stabil merupakan tanda prognosis yang baik (Darwis, 2003). Pada saat penyembuhan akan timbul ruam petekie yang menyeluruh dengan bagian kulit sehat berupa bercak putih di antaranya, terutama terdapat pada daerah distal (kaki dan tangan). Penyembuhan umumnya tanpa ada gejala sisa (Levin dkk, 2005).
2.2
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Lama Rawat Inap Pasien Demam Berdarah Dengue Berdasarkan model segi tiga epidemiologi ada 3 faktor yang berperan dalam
mempengaruhi suatu penyakit yaitu host (pejamu), agent (agen) dan environment (lingkungan), dimana karakteristik penjamu yang dicatat dalam rekam medis antara lain adalah usia, jenis kelamin, kadar hematokrit, dan jumlah trombosit
17
2.2.1
Usia Pasien Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap
infeksi virus dengue. Pada kasus demam berdarah dengue, semua usia dapat diserang, meskipun baru berusia beberapa hari setelah lahir. Penelitian di Kuba pada tahun 1981 menunjukkan bahwa usia mempunyai peranan yang penting untuk timbulnya gejala klinis berupa kebocoran plasma (Sutaryo, 2004). Dari data tahun 1968 hingga 1991 menunjukkan bahwa usia yang paling rentan terhadap virus dengue adalah usia 5-14 tahun, namun sejak tahun 1996, kasus demam berdarah dengue di Indonesia mulai bergeser dari usia anak-anak ke usia dewasa. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 prevalensi demam berdarah dengue paling tinggi adalah pada usia 25-34 tahun yaitu 0,7 per 1000 penduduk dan terendah pada bayi yaitu 0,25 per 1000 penduduk. Berdasarkan penelitian dari Amalia (2010) yang menganalisa hubungan antara usia dan kecepatan kesembuhan penyakit demam berdarah dengue dengan metode mixture survival, disimpulkan bahwa bahwa faktor usia tidak mempengaruhi kecepatan kesembuhan pasien demam berdarah di Rumah Sakit Pamekasan Madura, bahkan variabel usia sudah tidak signifikan sejak proses mixture pertama. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Fa’rifah dan Purhadi (2012) justru menunjukkan bahwa faktor usia berpengaruh signifikan terhadap kecepatan kesembuhan pasien demam berdarah dengue dimana risiko sembuh pasien dengan usia satu tahun lebih tua akan lebih lama dari pada usia yang lebih muda.
18
2.2.2
Jenis Kelamin Pasien Berdasarkan data Dinas Kesehatan RI tahun 2008, proporsi penderita demam
berdarah untuk jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari yang berjenis kelamin perempuan dengan perbandingan yang tidak begitu jauh yaitu penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%), namun demikian kasus demam berdarah dengue lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki. Secara teori diyakini bahwa perempuan lebih berisiko terhadap penyakit yang disebabkan virus dengue ini untuk mendapatkan manifestasi klinik yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Hal ini berdasarkan dugaan bahwa dinding kapiler pada wanita lebih cenderung dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibanding dengan laki-laki (Nimmannitya, 2009). Hasil beberapa penelitian di Indonesia mengenai hubungan jenis kelamin dengan kecepatan sembuh demam berdarah dengue memperlihatkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan penelitian Amalia (2010) diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan lamanya kesembuhan pasien demam berdarah di Rumah Sakit Pamekasan Madura dimana pasien berjenis kelamin laki-laki cenderung 0.2459 kali lebih cepat sembuh dibandingkan dengan pasien berjenis perempuan, sebaliknya penelitian yang dilakukan Fa’arifah dan Purhadi (2012) menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap waktu sembuh pasien demam berdarah dengue. 2.2.3
Lama Demam Sebelum Dirawat Rata-rata periode sakit yang dijalani oleh pasien demam berdarah dengue
adalah 11 hari, dimana rata-rata lama demam adalah 6 hari (Suhendro, 2006). Demam
19
pada infeksi dengue umumnya dimulai pada hari ketiga dan karena gejalanya mirip dengan flu biasa, maka pasien maupun pihak keluarga umumnya baru memeriksakan diri ke dokter pada hari ke-2 dan ke-3 sejak gejala demam pertama kali muncul atau hari ke-5 dan ke-6 pada periode sakit. Karena rata-rata periode sakit itu sama, maka perbedaan waktu pemeriksaan setelah demam akan mengakibatkan perbedaan lama rawat pula. Semakin dini pasien memeriksakan diri maka lama rawatnya akan semakin panjang. Menurut Suhendro (2006), rata-rata lama rawat di rumah sakit adalah 4,2 ± 1,5 hari. 2.2.4
Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue Derajat keparahan menunjukkan seberapa besar dampak infeksi virus dengue
terhadap tubuh penderitanya. Semakin besar derajat keparahan, maka pasien akan semakin sulit untuk disembuhkan dan semakin lama membutuhkan waktu untuk kembali pulih. Menurut Siregar (2006), diagnosis demam berdarah dengue derajat I ditegakkan dengan dijumpainya demam, tes Rumple Leede yang positif, diperkuat dengan adanya hemokonsentrasi yang dibuktikan dengan nilai hematokrit yang tinggi dan disertai dengan kecenderungan penurunan hitung trombosit pada darah tepi tanpa disertai dengan adanya perdarahan dan komplikasi penyakit lainnya. Demam berdarah dengue derajat II ditegakkan jika pada kasus demam berdarah dengue tersebut ditemukan baik pada waktu masuk rumah sakit atau selama dalam perawatan, adanya hemokonsentrasi, kecenderungan penurunan hitung trombosit dan manifestasi pendarahan, seperti epistaksis, hematemesis, melena atau hematom yang luas pada tempat suntikan.
20
Diagnosis DSS ditegakkan jika pada kasus demam berdarah dengue dijumpai adanya tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi halus sampai tak teraba, tensi yang rendah sampai tak terukur, gelisah dan pada suhu tubuh yang turun (tidak demam). Kegagalan sirkulasi ini dapat terjadi pada kasus pasien yang baru masuk atau yang dialami selama perawatan di rumah sakit. Diagnosis demam berdarah dengue dengan komplikasi, yaitu kasus demam berdarah dengue derajat I yang disertai dengan penyakit penyerta lainnya, seperti malaria, tifus abdominalis dan pneumonia yang terdiagnosis sejak pertama masuk rumah sakit. Berdasarkan penelitian Gultom (2012) yang dilakukan di Rumah Sakit Pirngadi Medan, diketahui bahwa proporsi pasien yang menjalani rawat inap lebih dari 7 hari, paling banyak adalah dari pasien demam berdarah dengan derajat keparahan III yaitu sebanyak 28,6%, kemudian disusul dari kelompok dengan derajat keparahan IV sebanyak 25%, derajat keparahan II sebanyak 21,8%, dan terakhir adalah dari kelompok pasien dengan derajat keparahan I yaitu sebanyak 18,6%.
2.2.5
Kadar Hematokrit Menurut Guyton (1985), Ganong (1985), dan Soeharsono (1996) dalam
penelitian Andriani (2010), hematokrit adalah perbandingan antara sel darah merah dengan volume darah keseluruhan, dimana tingkat hematokrit (HCT) dinyatakan dalam bentuk persentase, sehingga peningkatan jumlah sel darah merah dan hemoglobin akan menyebabkan peningkatan nilai hematokritnya. Menurut Nugroho (2011), ada dua cara untuk melakukan pemeriksaan hematokrit yaitu dengan cara wintrobe dan mikrotube dimana kesalahan metodiknya
21
kurang lebih dari 2%. Nilai hematokrit pada seseorang ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya termasuk usia dan jenis kelamin. Bisanya hasil pemeriksaan hematokrit menunjukkan bahwa nilai hematokrit wanita lebih besar dari pria, dimana nilai normal hematokrit wanita adalah 41-50% dan untuk pria adalah 36-44%, sedangkan untuk anak usia 1 sampai 10 tahun kadar hematorkitnya berkisar antara 36-40% Pada pasien demam berdarah dengue, peningkatan hematokrit yang lebih dari 20% atau yang disebut dengan hemokonsentrasi menunjukkan adanya kebocoran (perembesan) plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Oleh karena itu pada penderita demam berdarah dengue sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2010) diketahui ada hubungan yang signifikan antara kadar hematokrit pasien demam berdarah dengue dengan kecepatan kesembuhannya, dimana semakin besar kadar hematokrit pasien dengan peningkatan satu satuan maka pasien 1,0622 kali cenderung lebih lama sembuh. Dalam penelitian tersebut peningkatan hematokrit biasanya didahului oleh penurunan trombosit, peningkatan ini mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Kadar hematokrit akan terus meningkat bila selalu terjadi perdarahan dan akan menurun setelah pemberian cairan pada pasien Umumnya kondisi pasien akan menunjukkan kondisi yang cukup parah jika terjadi
peningkatan
hematokrit
sebanyak
20%,
namun
karena
sulitnya
mengidentifikasi perubahan kadar hematokrit maka dalam dalam penelitian sering kali yang digunakan sebagai variabel penelitian hanya nilai kadar hematokrit awal dimana kadar hematokrit tersebut dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pasien dengan kadar
22
hematokrit normal, dimana nilai hematokritnya sama atau kurang dari 40% dan pasien dengan kadar hematokrit tinggi yaitu yang nilai hematokritnya lebih dari 40%. 2.2.6
Jumlah Trombosit Trombosit adalah bagian dari beberapa sel-sel besar dalam sumsum tulang
yang berbentuk cakram bulat, oval, bikonveks, tidak berinti dan hidup sekitar 10 hari. Jumlah trombosit antara 150.000 hingga 400.000 per mililiter dimana 30 hingga 40 persennya terkonsentrasi di dalam limpa dan sisanya bersirkulasi dalam darah. Trombosit berperan penting dalam pembekuan darah dimana trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui aliran darah namun dalam beberapa detik setelah kerusakan suatu pembuluh trombosit akan tertarik ke daerah tersebut sebagai respon terhadap kolagen yang terpanjan di lapisan subendotel pembuluh, melekat di permukaan yang rusak, dan mengeluarkan serotonon dan histamin yang menyebabkan terjadinya verokonstriksi pembuluh (Handayani, 2011). Menurut WHO (1986) dan Pongpanich (1980) dalam jurnal Sugianto dkk (1994), salah satu kriteria untuk mendiagnosis Demam Berdarah Dengue (demam berdarah dengue) adalah trombositopeni yaitu keadaan dimana jumlah trombosit kurang atau sama dengan 100.000/μL, yang merupakan salah satu sebab perdarahan pada demam berdarah dengue, di samping sebab-sebab lainnya seperti kerusakan kapiler, defek koagulasi dan disfungsi trombosit. Oleh karena itu, penderita demam berdarah dengue yang mengalami trombositopeni tidak selalu disertai dengan perdarahan, meskipun terdapat korelasi antara hitung trombosit dan beratnya penyakit Trombositopeni dijumpai lebih dari 80% penderita demam berdarah dengue, akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir mengalami penurunan sekitar 50 – 60%.
23
Selama stadium demam, hitung trombosit mulai menurun dan mencapai nilai terendah selama stadium renjatan, kemudian meningkat dengan cepat pada stadium konvalesen. Biasanya kembali normal dalam 7 – 10 hari. Hitung trombosit < 100.000/μL (trombositopeni) terdapat pada hari ke 3–8 demam dan paling sering pada hari ke 6 (Sugianto dkk, 1994) Adapun mekanisme terjadinya trombositopeni adalah karena adanya penurunan produksi, meningkatnya destruksi dan pemakaian trombosit berlebih.
Gambar 2.2
Mekanisme Terjadinya Trombositopeni Pada Penderita Demam Berdarah Dengue Virus Dengue
Antibiotik Anamnestik Komples Imun
Defisit Kuantitatif Trombosit
Disfungsi Trombosit
1. Depresi sumsum tulang 2. Destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotel 3. DIC Pemakaian Trombosit
1. Kerusakan endotelium vaskular 2. Sekresi ADP
Agregasi Trombosit
Trombositipeni
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sugianto dkk (1994) terlihat ada hubungan antara jumlah trombosit saat renjatan dengan lama kejadian trombositopeni, dimana apabila saat renjatan hitung trombosit >100.000, maka lamanya trombositopeni akan berlangsung lebih singkat yaitu 3 hari. Hasil yang berbeda
24
diperlihatkan pada penelitian Amalia (2010) dimana pada pada penelitiannya jumlah trombosit yang besar justru memperlama kesembuhan pasien demam berdarah dengue. Pasien dengan jumlah trombosit antara 50.000/μl-100.000/μl cenderung lebih cepat sembuh sebesar 0.1853 kali dibandingkan dengan pasien demam berdarah dengan jumlah trombosit >150.000/μl.
2.3 2.3.1
Analisis Kesintasan Pengertian Analisis Kesintasan Analisis kesintasan merupakan analisis yang melibatkan uji statistik untuk
menganalisis data yang variabelnya berkaitan dengan waktu atau lamanya waktu sampai terjadinya peristiwa tertentu (Armitage dan Berry, 1987). Ada pula yang mendefinisikan analisis kesintasan sebagai kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data yang outcome variabel yang diteliti adalah waktu hingga suatu peristiwa muncul (Kleinbaum dan Klein, 2005). Waktu kesintasan dapat didefinisikan sebagai waktu dari awal observasi hingga terjadinya peristiwa atau yang kemudian disebut sebagai end point. Peristiwa atau end point tersebut dapat berupa perkembangan suatu penyakit, respon terhadap perawatan, kambuhnya suatu penyakit, kematian atau peristiwa lain yang dipilih sesuai dengan kepentingan si peneliti. Oleh karena itu waktu kesintasan dapat berupa waktu sembuhnya dari penyakit, waktu dari memulai perawatan hingga terjadi respon, dan waktu hingga terjadi kematian (Lee dan Wang, 2003). Menurut Le (2003) dalam menentukan waktu kesintasan yang disimbolkan dengan T (time), terdapat 3 elemen dasar yang diperlukan diantaranya: (1) waktu awal (time origin), (2) peristiwa akhir/waktu akhir (failure event atau end point), (3) skala
25
waktu sebagai satuan pengukuran waktu. Dari ketiga elemen tersebut maka kita bisa mendapatkan nilai T (time) dengan melihat jangka atau perbedaan lama waktu antara waktu awal (time origin) 2.3.2
Tujuan Penggunaan Analisis Kesintasan Karena analisis kesintasan digunakan untuk menganalisis suatu variabel
terhadap waktu terjadinya peristiwa (end point), maka analisis kesintasan dapat dipergunakan untuk beberapa tujuan. Menurut Kleinbaum dan Klein (2005) ada tiga tujuan penggunaan analisis kesintasan, yaitu: 1. Mengestimasi dan mengiterpretasikan fungsi kesintasan dan/atau fungsi hazard, 2. Membandingkan fungsi kesintasan dan/ atau fungsi hazard pada dua kelompok atau lebih, serta 3. Mengestimasi hubungan antara variabel penjelas dengan waktu kesintasan 2.3.3
Data Tersensor Ciri khas analisis kesintasan yang membedakannya dengan statistik yang lain
adalah pada apa yang diteliti dimana dalam analisis kesintasan yang diteliti yaitu lama waktu yang dibutuhkan dari waktu awal hingga terjadinya end point, sehingga dalam analisis kesintasan nilai waktu tersebutlah yang bervariasi. Dalam penelitian yang sebenarnya, tidak jarang ada sampel yang ikut pada awal penelitian namun ia tidak mencapai end point sehingga sampel tersebut perlu dikeluarkan. Selain itu adanya kemungkinan beberapa objek yang waktu sampai terjadinya peristiwa tidak diobservasi secara penuh. Data dari objek tersebutlah kemudian dihitung sebagai data tersensor
26
Data dikatakan tersensor jika observasi waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event. Adapaun penyebab terjadinya data tersensor menurut Le (2003) ada beberapa, antara lain: 1. Loss to follow up, terjadi bila objek pindah, meninggal atau menolak untuk berpartisipasi. 2. Drop out, terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu. 3. Termination of study, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara objek yang diobservasi belum mencapai failure event. 4. Death, jika penyebab kematian bukan dibawah penyelidikan (misalnya bunuh diri) Adapun alasan umum terjadinya sensor menurut Kleinbaum dan Klein (2005) ada tiga, yaitu: 1. Objek tidak mengalami peristiwa sebelum masa penelitian berakhir 2. Objek hilang selama masa follow-up ketika masa penelitian 3. Objek ditarik dari penelitian karena kematian (jika kematian bukan peristiwa yang diobservasi) atau disebabkan alasan lain Jenis penyensoran sendiri dibagi menjadi 3 penyensoran, yaitu: 1.
Left-censored, observasi dikatakan left-cencored jika objek yang diobservasi mengalami peristiwa di bawah waktu yang telah ditetapkan atau ketika masa observasi belum selesai.
2.
Right-censored, obsevasi dikatakan right-cencored jika objek masih hidup atau masih beroperasi ketika masa observasi telah selesai
3.
Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu tertentu maka observasi dikatakan interval-censored
27
Sedangkan tipe penyensoran sendiri dibagi menjadi 3 oleh Lee dan Wang (2003), diantaranya yaitu: 1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan sebagian lagi mengalami peristiwa di luar yang ditetapkan 2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak mengalami peristiwa disensor 3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek berbeda-beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored Pada penelitian ini jenis penyensoran yang digunakan ialah right-cencored, yaitu ketika waktu kesintasan objek tidak lengkap di sisi kanan masa follow-up, ketika penelitian berakhir objek masih bertahan atau objek hilang pada masa follow-up atau dikeluarkan dari penelitian. 2.3.4
Fungsi Kesintasan dan Fungs Hazard Pada analisis kesintasan ada dua hal yang mendasar yaitu fungsi kesintasan dan
fungsi hazard. Fungsi kesintasan merupakan dasar dari analisis ini, karena meliputi probabilitas kesintasan dari waktu yang berbeda-beda yang memberikan informasi penting tentang data kesintasan. Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1.
Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika 𝑡 meningkat
2.
Untuk 𝑡=0,𝑆𝑡 =𝑆 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang mengalami peristiwa, probabilitas waktu kesintasan 0 adalah 1
28
3.
Untuk 𝑡=∞,𝑆𝑡 =𝑆∞ =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan mendekati nol Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya peristiwa,
fungsi hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi kesintasan. Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi hazard juga memiliki karakteristik,yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1. Selalu nonnegatif,yaitu sama atau lebih besar dari nol 2. Tidak memiliki batas atas Adapun kegunaan dan pemanfaatan grafik fungsi hazard diantaranya adalah untuk: 1. Memberi gambaran tentang keadaan failure rate 2. Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik 3. Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa Misalkan T melambangkan waktu kesintasan dari waktu awal sampai terjadinya peristiwa yang merupakan variabel acak yang memiliki karakteristik fungsi kesintasan dan fungsi hazard. Jika fungsi kesintasan dinotasikan dengan 𝑆(𝑡), Pr didefinisikan sebagai probabilitas suatu objek yang bertahan lebih dari 𝑡 waktu, maka menurut Lee, (2003) nilai 𝑆 (𝑡) = Pr(𝑡 > 𝑡)𝑆, dengan 𝑡 ≥ 0 𝑆 (𝑡) dikenal juga sebagai rata-rata kesintasan, dan fungsi hazard merupakan laju failure atau kegagalan sesaat dengan asumsi objek telah bertahan sampai waktu ke-t, yang 𝑓(𝑡)
didefinisikan sebagai ℎ(𝑡) = 𝑆(𝑡) dengan f(t) adalah fungsi kepadatan probabilitas T. Sekarang misalkan 𝐹 𝑡 =Pr 𝑇≤𝑡 = 𝑓(𝑥)𝑑𝑥𝑡0 , 𝑡≥0 adalah fungsi distribusi kumulatif dari 𝑡
T, maka fungsi kesintasan menjadi: 𝑆 (𝑡) = Pr(𝑡 > 𝑡) = ∫0 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = 1 − 𝐹(𝑡), dan 𝑡
fungsi hazard kumulatif 𝐻 𝑡 , didefinisikan sebagai: 𝐻(𝑡) = ∫0 ℎ(𝑥)𝑑𝑥.
29
2.3.5
Perhitungan Besar Sampel Pada Analisis Kesintasan Besar sampel pada analisis kesintasan ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah, hazard kontrol, kesalahan tipe I, kesalahan tipe II, efek size, lama penelitian, serta lama rekrutmen, dimana hal tersebut terkait dengan model penelitian itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, besar sampel pada tiap model penelitian bisa dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2 Rumus besar sampel untuk penelitian kesintasan Followed Up Setiap subjek diikuti sampai terjadinya event Setiap subjek diikuti selama waktu tertentu
Rekrutmen Subjek
2(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 )2 𝜆 {ln( 2⁄𝜆 )}2 1
Kapan saja selama penelitian
Kapan saja selama penelitian
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 )2 {𝜙(𝜆2 ) + 𝜙(𝜆1 )} (𝜆2 − 𝜆1 )2 𝜙(𝜆) =
Penelitian dihentikan pada waktu tertentu
Kapan saja selama penelitian
Penelitian dihentikan pada waktu tertentu
Kapan saja, rekrutmen dihentikan pada waktu tertentu sebelum penelitian berakhir.
Keterangan:
Rumus (N)
𝜆2 1 − е−𝜆𝑡
(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 )2 {Ф(𝜆2 ) + Ф(𝜆1 )} (𝜆2 − 𝜆1 )2 𝜆2 𝑇 𝜙(𝜆) = 2 𝜆 𝑇 − 1 + е−𝜆𝑡 (𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 )2 {Ф(𝜆2 ) + Ф(𝜆1 )} (𝜆2 − 𝜆1 )2 𝜆2
𝜙(𝜆) = 1−
(е−𝜆(𝑡−𝑡0) − е−𝜆𝑡 )⁄ 𝜆𝑡0
T
= lama follow up
Zα
= devian baku alfa
T0
= lama rekrutmen
Zβ
= devian baku beta
λ1
= hazard kelompok yang ingin diketahui
λ2
= hazard kelompok yang sudah diketahui
30
2.4
Analisis Kesintasan Bivariat Analisis kesintasan bivariat adalah analisis kesintasan terhadap dua variabel
data, yaitu variabel satu sebagai variabel bebas dan yang satunya lagi sebagai variabel tergantung. Adapun metode statistik yang digunakan untuk analisis kesintasan bivariat adalah life table dan Kaplan-Meier 2.5.1
Analisis Bivariat Dengan Menggunakan Life Table
Metode Life table adalah metode yang tua dan umum digunakan dalam analisis kesintasan.
Tabel ini bisa dianggap sebagai tabel frekuensi distribusi, dimana
distribusi dari survival time dibagi menjadi beberapa interval dan pada masing-masing interval tersebut dihitung jumlah proporsi dari objek yang hidup dari keseluruhan sampel dan proporsi dari kejadian yang janggal dalam rentang interval tersebut. Adapun komponen life table adalah sebagai berikut: Tabel 2.3
Daftar formula pada analisis bivariat
No
Komponen
Formula
1
Interval start time (x)
2
Number entering interval (nx)
3
Number withdrawal (wx)
4
Number exposed to risk (n’x)
5
Number terminal events (dx)
6
Proportion terminating (qx)
qx=dx/n’x
7
Proportion surviving (px)
px=1-qx
8
Cum. proport. surviving (Lx)
Lo=px Lx=L(x-t) x px
9
Probability density
=dx/(t x n’x)
10
Hazard Ade
= dx/{t x (nx+nx+1)/2}
n(x+1) =nx-wx-dx
n’x = nx -1/2wx
31
Dari tabel bisa dilihat bahwa komponen yang berubah pada life table hanya pada sampel awal, dan jumlah sampel yang mencapai end point dan tersensor pada tiap interval. Adapun dari komponen tersebut yang dilihat adalah Lx sebagai pembentuk fungsi kurva survival, density, dan hazard. 2.5.2
Analisis Bivariat dengan Menggunakan Metode Kaplan-Meier
Metode analisis kesintasan Kaplan-Meier atau Kaplan-Meier survival analysis (KMSA) adalah suatu metode dalam membuat tabel dan grafik fungsi harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event data). Prosedur Kaplan-Meier pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier pada tahun 1958 untuk menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort atau eksperimental (follow-up study). Metode ini juga disebut sebagai the product-limit method of estimating survival probabilities karena probabilitas harapan hidup sampai waktu tertentu merupakan perkalian probabilitas dari waktu ke waktu. Pada analisis Kaplan-Meier, yang akan diteliti adalah rata-rata, median, dan proporsi survival dari masing-masing kategori kemudian membandingkannya. Pada umumnya metode Kaplan-Meier digunakan untuk penelitian statistik nonparametrik dengan data tersensor karena hasilnya yang lebih valid dibandingkan dengan metode yang lain. Sebenarnya metode life-table sama dengan Kaplan-Meier, namun pada lifetable objek diklasifikasi berdasarkan karakteristik tertentu yang masing-masing karakteristik disusun dengan interval dengan menganggap peluang terjadinya efek
32
selama masa interval adalah konstan, sehingga data yang diperoleh akan lebih umum. Sedangkan pada metode Kaplan-Meier objek dianalisis sesuai dengan waktu aslinya masing-masing. Hal ini mengakibatkan proporsi kesintasan yang pasti karena menggunakan waktu kesintasan secara tepat sehingga diperoleh data yang lebih akurat. Selain itu Kaplan-Meier merupakan metode yang digunakan ketika tidak ada model yang layak untuk data kesintasan. Selama hampir 4 dekade metode estimasi KaplanMeier merupakan salah satu dari kunci metode statistika untuk analisis data kesintasan tersensor, estimasi Kaplan-Meier dikenal juga dengan estimasi product-limit. Dalam metode Kaplan-Meier proporsi survival juga biasanya dianalisis kembali dengan menggunakan log rank. Menurut Armitage dan Berry (1987) langkah pengerjaan uji ini ialah menyusun waktu kesintasan, mengurutkan kedua kelompok yang diobservasi.
2.5
Analisis Multivariat Dengan Metode Regresi Cox Analalisis mulivariat adalah analis statistik untuk menganalisis antara dua atau
lebih variabel bebas dengan variabel tergantungnya adalah waktu end point dari sampel. Dari namanya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode regresi lain terutama regresi logistik. Jika pada regresi logistik digunakan ods ratio maka di regresi Cox digunakan hazard ratio.
h(t i ) exp (1 zi1 2 zi 2 ........ k zik ) h0 (t i ) Dalam metode regresi Cox, variabel akan dianggap meningkatkan risiko terjadinya hazard jika nilainya lebih dari 1, sedangkan dianggap mengurangi risiko hazard jika kurang dari 1.