2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Perilaku Konsumen
2.1.1 Pengertian Kegiatan pemasaran memiliki tujuan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta keinginan pelanggan sasaran (Kotler, 2002). Oleh sebab itu, sangat penting bagi manajer pemasaran untuk memahami bagaimana perilaku konsumen dalam usaha memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Menurut Kotler (2002) perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuat keputusan (decision units), baik individu, kelompok ataupun organisasi membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengonsumsinya dalam rangka memuaskan kebutuhan dan hasrat mereka. Perilaku konsumen dapat dikatakan sebagai perilaku yang unik oleh karena konsumen sangat beraneka ragam mulai dari faktor umur, pendidikan, pendapatan maupun selera. Berbagai macam latar belakang faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen, maka tidaklah mengherankan jika dalam memahami perilaku konsumen mengalami kesulitan. Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2007) dalam Suryani (2008) perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi dan proses yang dilakukan untuk memilih, mengamankan, menggunakan dan menghentikan produk, jasa, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhannya dan dampaknya terhadap konsumen dan masyarakat. Studi perilaku konsumen itu mencakup bidang yang lebih luas, karena termasuk di dalamnya juga mempelajari dampak dari proses dan aktivitas yang dilakukan konsumen ke konsumen lain maupun masyarakat.
8
9
Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Suryani (2008) bahwa perilaku konsumen merupakan studi yang mengkaji bagaimana individu membuat keputusan membelanjakan sumberdaya yang tersedia dan dimiliki (waktu, uang dan usaha) untuk mendapatkan barang atau jasa yang nantinya akan dikonsumsi. Dalam studi ini juga mengkaji tentang apa yang mereka beli, mengapa mereka membeli, dimana mereka membeli dan bagaimana (berapa sering membeli) dan bagaimana mereka menggunakannya. Sedangkan Loudon dan Bitta (1995) dalam Suryani (2008) menjelaskan bahwa perilaku konsumen mencakup proses pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan konsumen secara fisik dalam pengevaluasian, perolehan penggunaan atau mendapatkan barang dan jasa. Jadi di dalam menganalisis perilaku konsumen tidak hanya menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kegiatan saat pembelian, akan tetapi juga meliputi proses pengambilan keputusan yang menyertai pembelian. Berdasarkan pengertian perilaku konsumen tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen merupakan kegiatan-kegiatan konsumen yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang atau jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan. Melihat pada beberapa pengertian tentang perilaku konsumen, maka terlihat bahwa memahami perilaku konsumen bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena banyaknya variable yang mempengaruhi dan variablevariabel tersebut saling berinteraksi. Menurut Suryani (2008), untuk mempelajari perilaku konsumen ini pemasar tidak hanya berhenti pada perilaku konsumen semata saja namun juga perlu mengaitkannya dengan strategi pemasaran yang akan disusunnya. Strategi pemasaran yang baik pada hakikatnya didasarkan pada apa yang diinginkan dan
10
dibutuhkan konsumennya. Perusahaan yang mampu memahami perilaku konsumen akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar karena dapat menyusun strategi pemasaran yang tepat sehingga dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dibandingkan pesaing. 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Menurut teori yang dikembangkan oleh Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor, yaitu: faktor predisposisi (predisposing faktor), faktor pendukung (enabling faktor), dan faktor penguat (reinforcing faktor). 1. Faktor predisposisi (predisposing faktor) Faktor-faktor predisposisi merupakan preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar dan memberikan kecenderungan berperilaku tertentu. Faktor ini mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Selain itu pengetahuan merupakan hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu. Pengetahuan seseorang diperoleh dari proses
11
belajar (pendidikan), media massa, dan keterpaparan informasi. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Ada 6 tingkatan pengetahuan seseorang yang dicakup dalam domain kognitif, yaitu: 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya. 2) Memahami (comprehension) Memahami merupakan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara besar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya. 3) Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata.
12
4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata
kerja
seperti
dapat
menggambarkan,
membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis ini menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteri-kriteria yang telah ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut: 1. Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.
13
2. Tingkat Pendidikan Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. 3. Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bias mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif 4. Fasilitas Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku. 5. Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi. 6. Sosial Budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003).
14
b. Sikap Sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan siap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (Winardi, 2004). Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku tertutup. Sikap itu masih merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Pengertian lain mengenai sikap dikemukakan oleh Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Suryani (2008) yang menyatakan bahwa sikap merupakan ekspresi perasaan yang berasal dari dalam diri individu yang mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak senang, suka atau tidak suka dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu objek. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
15
3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab ( responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Menurut model tiga komponen sikap, sikap terbentuk dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan komponen konatif. Untuk mempermudah mengingatnya, umunya dikenal sebagai model ABC yang artinya sikap mengandung komponen Affective (A = perasaan), Behavior Intention (B = keinginan untuk berperilaku atau komponen konasi) dan Komponen Cognitive (C = kognisi) (Suryani, 2008). 1) Komponen Kognitif Komponen kognitif berisi tentang kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat itu kemudian terbentuk suatu idea tau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. 2) Komponen Afektif Menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu, sifatnya evaluative.
16
3) Komponen Konatif Menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Pengertian kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Menurut Kazt dalam Suryani (2008) terdapat empat macam fungsi sikap, yaitu: a) Fungsi Utilitarian Sikap merupakan fungsi penilaian konsumen tentang apakah obyek sikap (misalnya produk) memberikan manfaat atau kegunaan bagi konsumen. Fungsi ini mengacu pada pendapat bahwa individu mengekspresikan perasaannya untuk memaksimalkan penghargaan dan meminimalkan hukuman dari orang lain. Konsumen dapat mengembangkan sikap positifnya apabila objek tersebut dipandang memberikan manfaat atau mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Atas dasar fungsi inilah, maka pemasar untuk mempengaruhi konsumen dalam mengiklankan suatu produk akan selalu menunjukkan berbagai manfaat, keuntungan, kegunaan maupun keunggulan produk tersebut kepada konsumennya. b) Fungsi Ekspresi Nilai Sikap dapat terbentuk sebagai fungsi dari keinginan individu untuk mengekspresikan nilai-nilai individu kepada orang lain. Ekspresi sikap digunakan oleh individu untuk menunjukkan konsep dirinya. Hampir sebagian besar konsumen dalam perilaku pembelian, terutama ketika
17
memilih suatu produk tidak terlepas dari keinginannya untuk menunjukkan nilai-nilai yang dianutnya dan dijunjung tinggi kepada konsumen lain atau masyarakat. Karena sikap merupakan fungsi dari ekspresi nilai, maka pemasar
berusaha
mempengaruhi
sikap
konsumen
dengan
cara
mengiklankan produknya dengan menonjolkan ekspresi nilai tertentu bagi para pemakainya. c) Fungsi mempertahankan Ego Sikap konsumen seringkali merupakan sarana bagi konsumen untk melindungi atau mempertahankan egonya. Sikap digunakan sebagai sarana untuk melindungi diri dari kebenaran mendasar tentang dirinya atau sesuatu yang akan mengancam. Atas dasar inilah, maka pemasar dalam iklannya berusaha mempengaruhi konsumen dengan memberikan pesan pada promosinya bahwa produknya dapat melindungi ego konsumen dari penghinaan orang lain. d) Fungsi Pengetahuan Sikap konsumen merupakan fungsi dari pengetahuan dan pengalaman konsumen mengenai objek sikapnya. Sikap juga digunakan individu sebagai dasar untuk memahami. Melalui sikap yang ditunjukkan akan dapat diketahui bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang cukup, yang banyak atau tidak tahu sama sekali mengenai objek sikap. Oleh karena pengetahuan merupakan komponen penting dari sikap, maka pemasar perlu memberikan informasi, wawasan mengenai produk atau objek sikap lainnya kepada konsumen.
18
Sikap terbentuk dari adanya interaksi social yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosialnya, individu akan bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang berperan penting dalam pembentukan sikap (Azwar, 1995), yaitu:
1. Pengalaman Pribadi Pengalaman individu terhadap stimulus sosial tertentu akan mempengaruhi pembentukan sikap terhadap stimulus tersebut. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi tersebut haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3. Pengaruh Kebudayaan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan
sikap
kita.
Tanpa
disadari,
kebudayaan
telah
menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. 4. Media Massa Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa membawa pesan-pesan sugestif yang dapat
19
mengarahkan opini individu. Pesan-pesan tersebut memberikan informasi yang akan menjadi landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Bila cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuk arah sikap tertentu. 5. Lembaga pendidikan atau lembaga agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan system kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal. Apabila terdapat suatu hal yang kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap. 6. Pengaruh faktor emosional Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi sudah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang persisten dan bertahan lama.
20
c. Nilai-nilai Budaya Menurut Hawkins, et al (2007) dalam Suryani (2008) budaya diartikan sebagai kompleks yang menyeluruh yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, kebiasaan dan kapabilitas lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai oleh individu sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Mowen dan Minor (2002) dalam Suryani (2008) kebudayaan didefinisikan sebagai perangkat pola perilaku yang diperoleh secara social dan diekspresikan melalui symbol-simbol, bahasa dan cara-cara lain kepada anggota masyarakat. Menurut Suryani (2008) dalam konteks pemahaman budaya dan pengaruhnya terhadap perilaku konsumen, budaya didefinisikan sebagai keseluruhan dari keyakinan, nilai dan kebiasaan yang dipelajari oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang membantu mengarahkan perilaku konsumen. Adanya perbedaan budaya menyebabkan terjadinya perbedaan dalam sikap, kebiasaan, dan berperilaku. Beberapa produk menuntut dilakukan penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. d. Kepercayaan Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya (Green dan Kreuter, 2000).
e. Persepsi Menurut Machfoedz (2005), persepsi adalah proses pemilihan, penyusunan, dan penafsiran informasi untuk mendapatkan arti. Schiffman dan Kanuk (2004) dalam Suryani (2008) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana dalam proses
21
tersebut individu memilih, mengorganisasikan dan mengintepretasikan stimuli menjadi sesuatu yang bermakna. Persepsi pada hakikatnya merupakan proses psikologis yang kompleks yang juga melibatkan aspek fisiologis. Proses psikologis penting yang terlibat dimulai dari adanya aktivitas memilih, mengorganisasi dan mengintepretasikan sehingga konsumen dapat memberikan makna atas suatu objek. Usaha apapun yang dilakukan oleh pemasar tidak akan punya arti kalau konsumen tidak mempersepsikan secara tepat seperti yang dikehendaki oleh pemasar. Terdapat tiga proses penting dalam persepsi
yaitu
menyeleksi
(memilih)
stimuli,
mengorganisasikan
dan
mengintepretasikan stimuli tersebut agar memiliki arti atau makna. 1. Seleksi Proses persepsi diawali dengan adanya stimuli yang mengenai panca indra yang disebut sebagai sensasi. Stimuli ini beragam bentuknya dan akan selalu membombardir indra konsumen. Jika dilihat dari asalnya, stimuli ada yang berasal dari luar individu (seperti aroma, iklan dan lain-lain) serta berasal dari dalam individu seperti harapan, kebutuhan dan pengalaman. Dalam perilaku konsumen stimuli yang berpengaruh pada persepsi konsumen adalah semua usaha-usaha yang dilakukan oleh pemasar melalui strategi pemasarannya. 2. Pengorganisasian Setelah konsumen memilih stimuli mana yang akan diperhatikan, konsumen akan mengorganisasikan stimuli yang ada. Konsumen akan mengelompokkan, menghubung-hubungkan stimuli yang dilihatnya agar dapat diintepretasikan, sehingga mempunyai makna.
22
3. Intepretasi Setelah konsumen mengorganisir stimuli yang ada dan mengkaitkannya dengan informasi yang dimiliki, maka agar stimuli tersebut mempunyai makna, konsumen mengintepretasikan atau memberi arti stimuli tersebut. Pada tahap intepretasi ini konsumen secara sadar atau tidak sadar akan mengait-ngaitkan dengan semua informasi yang dimilikinya agar mampu memberikan makna yang tepat. Dalam proses ini pengalaman dan juga kondisi psikologis konsumen seperti kebutuhan, harapan, dan
kepentingan akan berperan penting dalam
mengintepretasikan stimuli. Stimuli yang tidak jelas atau ambigu seringkali menyulitkan konsumen untuk mengintepretasikan, bahkan bisa menyebabkan kesalahan dalam memberikan makna.
2. Faktor pendukung (enabling factor) Faktor pendukung ialah faktor-faktor yang memungkinkan seseorang atau kelompok melakukan tindakan meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor) Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mendorong perubahan perilaku seseorang. Sumber pendorong perubahan perilaku ini mungkin datang dari rekan sejawat, pimpinan, keluarga, suasana kerja, budaya kerja, dan lain sebagainya.
23
2.2
Kualitas Pelayanan
2.2.1 Pengertian Kualitas Pelayanan Dalam membeli suatu produk konsumen selalu berharap agar barang yang dibelinya dapat memuaskan segala keinginan dan kebutuhannya. Untuk itu perusahaan harus dapat memahami keinginan konsumen, sehingga perusahaan dapat menciptakan produk yang sesuai dengan harapan konsumen. Kualitas produk yang baik merupakan harapan konsumen yang harus dipenuhi oleh perusahan, karena kualitas produk yang baik merupakan kunci perkembangan produktivitas perusahaan. Dalam pelaksanaannya kualitas produk atau layanan harus berorientasi pada pelanggan karena pelangganlah yang menentukan tingkat kualitas. Pelangan yang merasa puas akan mengatakan bahwa produk yang diberikan tersebut memiliki kualitas yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menciptakan kualitas yang baik dimata konsumen, perlu diketahui konsep kualitas agar kualitas yang dimaksud dapat terwujud. Adapun yang dimaksud dengan kualitas menurut Tjiptono dan Diana (2003) kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pengertian lain juga dikemukakan oleh Gaspersz (2005), kualitas adalah total dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau diterapkan. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas merupakan karakteristik barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan atau melebihi harapan pelanggan. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen. Berdasarkan beberapa pengertian kualitas diatas dapat diartikan bahwa kualitas hidup
24
kerja harus merupakan suatu pola pikir (mindset), yang dapat menerjemahkan tuntutan dan kebutuhan pasar konsumen dalam suatu proses manajemen dan proses produksi barang atau jasa terus menerus tanpa hentinya sehingga memenuhi persepsi kualitas pasar konsumen tersebut. Sedangkan pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh sutu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun (Kotler, 2000). Berdasarkan pengertian kualitas dan pelayanan tersebut, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang mereka terima. Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi para pelanggan atas layanan yang benar-benar mereka terima. Apabila jasa yang dirasakan sesuai dengan jasa yang diharapkan, maka kualitas pelayanan tersebut akan dipersepsikan baik atau positif. Jika jasa yang dipersepsikan melebihi jasa yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebaga kualitas ideal. Demikian juga sebaliknya apabila jasa yang dipersepsikan lebih jelek dibandingkan dengan jasa yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan negatif atau buruk. Maka baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. 2.2.2 Dimensi Kualitas Jasa Menurut Parasuraman (1998), persepsi pelanggan atas kualitas layanan mencakup lima dimensi mutu yang diukur adalah sebagai berikut: 1. Tangible (bukti fisik) yaitu kemampuan
suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal (konsumen). Bukti fisik meliputi fasilitas fisik, peralatan dan penampilan petugas, kebersihan,
25
kerapian dan kenyamanan ruangan, kesiapan dan kebersihan alat. Konsumen akan menggunakan indra penglihatan untuk menilai kualitas pelayanan seperti menilai gedung, peralatan, seragam, yaitu hal-hal yang menimbulkan kenikmatan bila dilihat. 2. Reliability (Kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan secara akurat dan terpercaya yang meliputi kemampuan petugas memberikan pelayanan dengan segera, tepat waktu dan benar misalnya penerimaan yang cepat, pelayanan pemeriksaan dan perawatan yang cepat dan tepat. 3. Responsiveness (Ketanggapan) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan yang meliputi kemampuan petugas dalam menanggapi keluhan pelanggan termasuk kemampuan petugas untuk cepat tanggap dalam menyelesaikan keluhan dan tindakan cepat pada saat dibutuhkan. 4. Assurance (Jaminan) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para petugas perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada pelayanan perusahaan yang memiliki beberapa komponen, antara lain: a. Comunication (komunikasi), yaitu secara terus-menerus memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa dan penggunaan kata yang jelas sehingga para pelanggan dapat dengan mudah mengerti di samping itu perusahaan hendaknya dapat secara cepat dan tanggap dalam menyikapi keluhan (complaine) yang dilakukan oleh pelanggan.
26
b. Credibility (Kredibilitas), yaitu perlunya jaminan atas suatu kepercayaan yang diberikan kepada pelanggan, believability atau sifat kejujuran. Menanamkan kepercayaan, memberikan kredibilitas yang baik bagi perusahaan bagi masa yang akan datang. c. Security (Keamanan), yaitu adanya suatu kepercayaan yang tinggi dari pelanggan akan pelayanan yang diterima. Tentunya pelayanan yang diberikan memberikan suatu jaminan kepercayaan yang maksimal. d. Competence (Kompetensi) yaitu keterampilan yang dimiliki dan dibutuhkan agar dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dapat dilaksanakan dengan optimal. e. Courtesy (Sopan santun), yaitu dalam pelayanan adanya suatu nilai moral yang dimiliki oleh perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Jaminan akan kesopansantunan yang ditawarkan kepada pelanggan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. 5. Empathy (Empati) yaitu memberikan perhatian tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen, dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Hal ini meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan klien yang terwujud dalam penuh perhatian terhadap setiap pasien.
27
2.3
Pemasaran
2.3.1 Definisi Pemasaran dan Manajemen Pemasaran Perkembangan dunia bisnis pada era globalisasi menuntut kinerja yang sempurna dari setiap proses yang dijalankan perusahaan. Pemasaran tidak lagi dipandang sebagai bagian yang terpisah dari organisasi yang hanya berperan sebagai proses penjualan suatu produk. Pemasaran dalam suatu perusahaan memegang peranan yang sangat penting, karena pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, melakukan perkembangan terhadap perusahaan dan untuk pencapaian tujuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Perkembangan konsep pemasaran sendiri tidak terlepas dari fungsi-fungsi organisasi yang lain dan pada akhirnya mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Pemasaran yang tidak efektif (ineffective marketing) dapat membahayakan bisnis karena dapat berakibat pada konsumen yang tidak puas. Pemasaran yang efektif (effective marketing) justru berakibat sebaliknya yaitu menciptakan nilai atau utilitas. Menciptakan nilai dan kepuasan pelanggan adalah inti pemikiran pemasaran modern. Tujuan kegiatan pemasaran adalah menarik pelanggan baru dengan menjanjikan nilai yang tepat dan mempertahankan pelanggan saat ini dengan memenuhi harapannya sehingga dapat menciptakan tingkat kepuasan. Pengertian pemasaran oleh para ahli dikemukakan berbeda-beda dalam penyajiannya, namun semua itu sebenarnya memiliki pengertian yang hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Pemasaran menurut Stanton dalam Dharmesta dan Handoko (2008) adalah suat sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang
28
dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Menurut Kotler dalam Saladin (2006) pemasaran adalah proses social yang didalamnya individu atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan menukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Sedangkan menurut Saladin (2003), pemasaran adalah suatu system total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan. Dari beberapa definisi pemasaran diatas, dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial dari individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran (nilai) produk dengan pihak lain dan diharapkan produk tersebut mampu memberikan kepuasan bagi konsumennya. Definisi menurut Assauri (2009) manajemen pemasaran merupakan kegiatan penganalisisan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program-program yang dibuat untuk membentuk, membangun dan memelihara keuntungan dari pertukaran melalui sasaran pasar guna mencapai tujuan organisasi dalam jangka panjang. Sedangkan menurut Machfoedz (2005) manajemen pemasaran adalah analisis perencanaan, implementasi dan pengendalian program yang dipolakan untuk menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran manfaat dengan pembeli dengan maksud untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesimpulan dari definisi diatas bahwa manajemen pemasaran adalah suatu proses yang saling terkait antara perencanaan dan pelaksanaan apa yang telah dipikirkan
29
dan ditetapkan dalam penyaluran suatu gagasan barang dan jasa untuk dapat mencapai tujuan antara pihak-pihak yang saling membutuhkan di dalamnya. 2.3.2 Manajemen Pemasaran Rumah Sakit Kemajuan bisnis telah menjadi sebab menariknya pengetahuan pemasaran bagi perusahaan dan lembaga. Manajemen pemasaran dalam mengelola suatu perusahaan sangat penting untuk keberhasilan suatu perusahaan misalnya rumah sakit karena dengan manajemen pemasaran suatu rumah sakit dapat memperoleh pelanggan baru dengan menjanjikan nilai yang tepat dan dapat mempertahankan pelanggan saat ini dengan memenuhi harapannya sehingga dapat menciptakan tingkat kepuasan. Menurut Wikipedia Indonesia, pengertian rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan professional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Untuk memasarkan produk, sebuah rumah sakit memerlukan konsep pemasaran (Machfoedz, 2005). Pemasaran berorientasi menciptakan rasa senang pada pihak konsumen dengan menawarkann nilai produk, barang atau jasa yang mereka butuhkan. Pemasaran dalam rumah sakit bertujuan untuk memberitahukan kepada pihak konsumen mengenai produk atau barang yang dimiliki oleh rumah sakit dan penjelasan lainnya agar konsumen bisa memilih produk rumah sakit untuk kesehatannya.
30
2.4
Proses Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan adalah suatu kegiatan individu yang secara langsung
terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan. Setiap hari konsumen mengambil berbagai keputusan untuk membeli suatu produk. Perusahaan besar pada umunya melakukan riset dengan cermat tentang keputusan konsumen membeli produk untuk mengetahui sesuatu yang dibeli oleh konsumen, tempat, alasan, dan cara mereka membeli serta tingkat harga yang mereka bayar. Mengkaji alasan perilaku pembelian konsumen dan proses keputusan untuk membeli bukan hal yang mudah karena alasan tersebut berada di dalam pikiran konsumen. Menurut Kotler (1996) dalam Machfoedz (2005), tahapan untuk mencapai keputusan membeli dilakukan oleh konsumen melalui beberapa tahapan yang meliputi mengenali kebutuhan, mencari informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli dan perilaku setelah pembelian. Tahapan-tahapan tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar 2.1 sebagai berikut: Mengenali Kebutuhan
Mencari Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Purna Pembelian
Gambar 2.1 Proses Keputusan Membeli, Kotler (1996) dalam Machfoedz (2005) Proses pembelian bermula jauh sebelum seseorang membeli suatu produk dan berlangsung lama sesudahnya. Ini mendorong produsen atau pemasar untuk berfokus pada seluruh proses pembelian daripada sekedar pada proses pembelian. Bagan ini menunjukkan bahwa konsumen melalui kelima tahapan setiap kali melakukan pembelian.
31
2.4.1 Mengenali Kebutuhan Proses pembelian bermula dengan mengenali kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan diantara keadaan nyata dan kondisi yang diinginkan. Kebutuhan dapat dipicu oleh stimuli internal pada saat kebutuhan normal muncul ke tingkat yang dapat menjadi pendorong. Dari pengalaman yang pernah terjadi, orang telah mempelajari cara mengatasi dorongan demikian dan memotivasinya kearah tujuan yang diketahuinya akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan juga dapat dipicu oleh stimuli eksternal. Iklan yang menawarkan suatu produk atau jasa dapat menjadikan seseorang menyadari kebutuhannya. Pada tahapan ini, produsen atau pemasar perlu menetapkan faktor dan keadaan yang dapat memicu konsumen mengenali kebutuhannya. 2.4.2 Mencari Informasi Konsumen secara disadari atau tidak akan mencari informasi. Jika motivasinya kuat dan produknya sesuai dengan kebutuhan serta harganya terjangkau, mungkin ia akan membelinya. Jika tidak, barangkali konsumen hanya dapat mengingat kebutuhan tersebut atau mencari informasi sebatas yang berkaitan dengan kebutuhannya. Setelah konsumen menyadari adanya masalah kebutuhan dan kebutuhan tersebut dirasa sangat mendesak untuk dipenuhi maka konsumen akan mencari informasi secara aktif dengan membaca berbagai informasi tertulis, bertanya kepada beberapa pihak yang dianggapnya berkompeten dan menghimpun informasi dengan berbagai cara. Jumlah pencarian yang dilakukan akan sangat ditentukan oleh kuatnya dorongan motivasi, jumlah informasi awal yang didapat dan kemudahan dalam memperoleh lebih banyak
32
informasi, skala prioritas nilai informasi tambahan dan kepuasan yang didapat dari pencarian. Konsumen dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber yang meliputi: 1. Individu: keluarga, kawan, tetangga, kerabat 2. Komersial: iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan, pameran 3. Umum: media massa, lembaga konsumen 4. Pengalaman: penggunaan produk, pemilikan produk, pengujian produk Pengaruh hubungan sumber-sumber informasi tersebut terhadap pembeli bervariasi. Pada umunya, porsi informasi terbesar yang diperoleh konsumen berasal dari sumber komersial yang dikendalikan oleh produsen atau pemasar. Meskipun demikian, sumber individu merupakan yang paling efektif, terutama dalam pembelian jasa. Karena informasi yang diperoleh lebih banyak, konsumen semakin menyadari dan banyak mengetahui tentang berbagai merk dan cirri produk yang tersedia. Informasi juga membantu seseorang untuk menentukan pilihan pada produk merek tertentu. Perusahaan harus mendesain bauran pemasarannya agar semakin banyak calon konsumen mengetahui merek yang ditawarkan. Jika hal ini tidak berhasil dilakukan, perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk menjual produk kepada konsumen. 2.4.3 Evaluasi Alternatif Cara konsumen memproses informasi untuk sampai pada pemilihan merek disebut evaluasi alternatif. Untuk mengetahui proses tersebut bukan hal yang mudah karena konsumen menempuh berbagai cara untuk mengevaluasi setiap situasi pembelian. Konsep dasar tertentu dapat membantu menerangkan setiap proses evaluasi konsumen. Pertama, diasumsikan bahwa setiap konsumen berusaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan mencari manfaat tertentu yang dapat diperoleh dengan
33
membeli produk atau jasa. Selanjutnya, konsumen memandang produk sebagai sekelompok ciri barang dengan berbagai kapasitas yang menawarkan manfaat untuk memenuhi kebutuhan. Konsumen akan menentukan alternatif dalam memilih ciri produk yang manfaatnya sesuai dengan kebutuhan. Kedua, konsumen akan memperhatikan tingkat perbedaan pada setiap keunggulan sifat produk. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan yang terpenting bagi konsumen. Beberapa ciri suatu produk dapat menonjol karena iklan yang dibaca oleh konsumen menyebutkan berbagai keunggulan sehingga mampu menempatkannya pada peringkat teratas dalam pikiran konsumen. Diantara ciri-ciri suatu produk, ada kalanya terlupakan oleh konsumen dan ketika ciri tersebut disebutkan akan mengingatkannya pada keunggulan. Produsen atau pemasar harus lebih memperhatikan arti penting ciri suatu produk daripada keunggulannya. Ketiga, konsumen kemungkinan untuk mengembangkan ketetapan rasa percaya pada suatu merek dengan merinci setiap keunggulannya. Pengembangan kepercayaan pada merek tertentu ini kemudian dikenal sebagai citra merek. Kepercayaan konsumen dapat bervariasi dari kebenaran ciri berdasarkan pengalaman dan dampak persepsi selektif, distorssi selektif, dan retensi selektif. 2.4.4 Keputusan Untuk Membeli Pada tahap evaluasi, konsumen menyusun peringkat merek dan membentuk tujuan pembelian. Biasanya, keputusan pembelian konsumen akan menetapkan untuk membeli merek yang paling diminati, tetapi ada dua faktor yang dapat muncul diantara tujuan pembelian dan keputusan untuk membeli. Faktor yang pertama adalah sikap pihak lain. Sejauh mana sikap pihak lain berpengaruh terhadap keputusan pembelian dan motivasi seseorang untuk mengikuti keinginan pihak lain tersebut.
34
Tujuan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor situasi tak terduga. Konsumen menetapkan tujuan pembelian berdasarkan beberapa faktor, seperti pendapatan keluarga, harga yang diperkirakan terjangkau, dan manfaat yang akan diperoleh dari produk. Ketika konsumen akan melakukan pembelian, muncul faktor kondisi yang tak terduga sehingga mengubah atau bahkan membatalkan keputusan pembelian. Tahapan diantara evaluasi alternatif dan keputusan pembelian dapat digambarkan dalam gambar 2.2 sebagai berikut:
Sikap pihak lain Evaluasi alternatif
Keputusan pembelian
Tujuan pembelian Faktor situasi tak terduga
Gambar 2.2 Tahapan di Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian, Kotler (1996) dalam Machfoedz (2005).
2.4.5 Sikap Setelah Pembelian Tugas produsen atau penjual bukan berakhir pada saat produk laku terjual. Setelah melakukan pembelian suatu produk, konsumen dapa memperoleh kepuasan atau sebaliknya, merasa kecewa dengan produk yang dibeli. Kondisi ini akan berpotensi membentuk perilaku pembelian pada minat konsumen terhadap produsen atau penjual. Faktor penyebab kepuasan atau kekecewaan di pihak konsumen terletak pada hubungan antara harapan konsumen dan citra produk yang didapatkannya. Berbagai sumber informasi tentang suatu produk merupakan dasar harapan konsumen untuk mendapatkan kepuasan dari penggunaan produk. Jika pemasar atau produsen terlalu melebih-lebihkan ciri produk justru akan menimbulkan kekecewaan
35
konsumen karena ketidaksesuaian antara informasi dan kenyataan. Karena itu, pernyataan produsen atau pemasar harus mencerminkan kejujuran tentang produk yang ditawarkannya.