BAB II 2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pekerja Seks Perempuan Pekerja seks perempuan adalah orang yang melakukan transaksi pertukaran
pelayanan seksual dengan uang atau barang. Lokasi tempat kerja PSP umumnya adalah kompleks – kompleks pelacuran gimana aktivitasnya sudah dianggap menjadi kegiatan industri. Industri seks digolongkan menjadi 2 yaitu industri seks yang terorganisasi dan industri seks yang tidak terorganisasi. Bisnis seks yang terorganisasi umumnya mempunyai seorang manajer dan ada hubungan kerja antara manajer dengan PSP sebagai karyawan. Dalam kegiatan tersebut sering dipergunakan jasa perantara untuk mempertemukan PSP dengan calon pelanggannya (Oktarini, 2010). PSP yang memiliki penghidupan hanya dengan menjajakan seks disebut PSP langsung atau direct sex worker, sedangkan PSP yang bekerja di tempat – tempat hiburan dan sesekali menjual seks termasuk PSP tak langsung atau indirect sex worker. PSP langsung meliputi PSP yang mendapatkan pelanggannya di jalanan atau dengan cara lain serta PSP di rumah bordil. PSP tidak langsung meliputi perempuan yang bekerja di tempat – tempat lain seperti pekerja cafe, pekerja bar, pegawai karaoke, pekerja diskotek, pekerja panti pijat, pekerja klab malam, penari dan penyanyi malam, dan lainnya (Oktarini, 2010). Estimasi jumlah PSP di Provinsi Bali berdasarkan data KPAD Provinsi Bali tahun 2007 yaitu sebanyak 8.825 orang dengan jumlah pelanggan yang diperkirakan mencapai 108.580 orang. Jumlah PSP tersebut terdiri dari sekitar 2.950 orang PSP
8
9
langsung dan 5.875 orang PSP tidak langsung. PSP langsung di Kota Denpasar diperkirakan mencapai 1.605 orang sedangkan PSP tidak langsung sekitar 3.880 orang. Jumlah PSP yang mencapai ribuan sangat mengkhawatirkan karena sudah tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Bali serta mudah ditemui oleh pelanggannya. PSP menemui kesulitan melakukan tindakan – tindakan pencegahan terinfeksi IMS bagi dirinya dan pelanggannya karena mereka merupakan kelompok yang tersisih dari perlindungan pemerintah dalam aspek ketenagakerjaan bahkan mereka sering mengalami kekerasan, eksploitasi, serta pengabaian hak asasi sebagai manusia. 2.2
Infeksi Menular Seksual Diantara 42 negara yang memiliki data prevalensi sifilis pada pekerja seks,
nilai tengah prevalensi yaitu sebesar 6%. Nilai tertinggi dilaporkan oleh negara – negara di Eropa dan Asia Tengah. Data yang tersedia di 31 negara menyarankan bahwa sifilis juga menjadi fokus isu pada MSM khususnya di Amerika Latin dan Karibia dimana prevalensinya di atas 10%, lebih 2 kali lipat daripada nilai tengah secara global. (WHO, 2009). Selain wanita penjaja seks, banyak orang dapat terinfeksi IMS mulai dari populasi berisiko tinggi pada pria
dengan berbagai karakteristik pada populasi
tersebut yang diduga menjadi pelanggan pekerja seks yaitu supir truk, anak buah kapal, pekerja pelabuhan, tukang ojek, serta lelaki yang berhubungan seks dengan sesama lelaki (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010b) bahkan anak – anak pun dapat terinfeksi IMS yaitu anak – anak yang mengalami kekerasan seksual, terlibat dalam prostitusi, perdagangan anak, dan usia hubungan seksual yang terlalu dini (Dhawan J, et al., 2010).
10
2.2.1
Pengertian IMS Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan sekelompok penyakit infeksi yang
proses transmisi utamanya melalui hubungan seksual termasuk hubungan seks lewat liang senggama, oral seks, atau anal seks. IMS merupakan salah satu kategori ISR (Infeksi Saluran Reproduksi) dimana tidak semua IMS adalah ISR dan tidak semua ISR ditularkan melalui hubungan seks. IMS mengacu pada cara penularan sedangan ISR mengacu pada tempat terjadinya infeksi (Depkes RI, 2006: xiv). 2.2.2
Jenis Infeksi Menular Seksual Infeksi Menular Seksual memiliki banyak jenis. Berdasarkan penyebab
terjadinya IMS dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu Daili 2005 (dalam Oktarini, 2010) : 1.
IMS yang disebabkan oleh bakteri yaitu gonore, sifilis, ulkus molle (chancroid), infeksi genital non spesifik, limfogranuloma venereum (Chlamydia trachomatis), non – gonococcal urethritis, Staphylococcal infectio, klamidia, donovanosis (granuloma inguinale). IMS yang paling penting dan paling sering terjadi adalah sifilis (raja singa) dan gonore (kencing nanah). Biasanya orang yang terkena gonore juga terkena klamidia secara bersamaan (Sofianty, 2009).
2.
IMS yang disebabkan oleh virus terdiri dari herpes genitalis, Hepatitis A, Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis E, HIV dan AIDS, Human T-lymphotropic virus, Human Papilloma Virus (HPV), Molluscum Contagiosum Virus (MCV),
Mononucleosis
Cytomegalovirus
(CMV),
atau
Herpes
5,
Mononucleosis Epstein – Barr virus (EBV) atau Herpes 4, Sarkoma kaposi (Herpes 8), kondiloma akuminata (jengger ayam), dan moluskulum
11
kontagiosum. Penyakit yang paling banyak dijumpai adalah herpes genitalis, hepatitis B, dan HIV dan AIDS. Herpes genitalis (HSV-2) merupakan faktor utama pada epidemi HIV dimana pada salah satu penelitian menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi HSV-2 lebih rentan terinfeksi HIV sebanyak 2 kali daripada yang tidak terinfeksi HSV-2 serta orang yang terinfeksi HIV dan HSV-2 berpotensi 5 kali lebih besar untuk menularkan kepada pasangan seksnya. 3.
IMS yang disebabkan oleh adanya jamur yaitu kandidosis vulvovaginal
4.
IMS yang disebabkan oleh adanya parasit yaitu Phthirius pubis dan scabies (Sarcoptes scabiei).
5.
IMS yang disebabkan oleh adanya protozoa yaitu trichomoniasis. Jenis IMS ini disebabkan oleh protozoa Trichomonas vaginalis. Pada penderita yang mengalami komplikasi umumnya akan ditemukan luka lecet di sekitar kemaluan dan bayi yang akan dilahirkan mengalami prematur dan mudah terinfeksi HIV.
2.2.3
Cara Penularan IMS, HIV, dan AIDS Transmisi IMS dapat terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman.
Adapun hal yang dimaksud dengan hubungan seksual tidak aman adalah (Oktarini, 2010) : 1. Hubungan seks lewat liang senggama tanpa kondom ( penis masuk ke dalam vagina atau liang senggama). 2. Hubungan seks lewat dubur/ anus tanpa menggunakan kondom ( penis masuk ke dalam dubur).
12
3. Seks oral atau ‘karaoke’ (penis dimasukkan ke dalam mulut tanpa ditutupi kondom atau sebaliknya, mulut langsung kena cairan kelamin perempuan). Cara lain transmisi IMS adalah melalui darah contohnya transfusi darah, saling bertukar jarum suntik, silet cukur, atau benda tajam lainnya pada pemakaian narkoba, obat bius, tindik kuping, atau tato dengan jarum yang tidak steril yang digunakan bersama – sama terutama jika terluka dan menyisakan darah pada alat yang digunakan. Transmisi lain yaitu pada ibu hamil kepada janin dalam kandungannya melalui ari – ari, saat persalinan, atau pasca persalinan melalui pemberian ASI. IMS dapat meningkatkan risiko seseorang terkena HIV dari hubungan seksual menjadi 2 – 10 kali lebih besar. Pada seseorang yang terkena IMS, kulit/ mukosa permukaan organ reproduksi/seksualnya akan terdapat infeksi dimana dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan inflamasi atau proses peradangan. Adanya proses peradangan akan menyebabkan banyak sel darah putih yang berkumpul di permukaan, sel darah putih sangat disukai oleh virus HIV yang akan berlekatan dengan sel – sel darah putih sehingga proses masuknya virus dalam tubuh manusia menjadi lebih cepat. Hal tersebut menjadi alasan bahwa untuk memutus penyebaran HIV dilakukan dengan memutuskan mata rantai penyebaran IMS. Adanya luka pada orang yang terkena IMS akan menjadi permukaan kontak HIV sehingga memudahkan masuknya virus ke dalam tubuh manusia. 2.2.4
Penyebab, Gejala, dan Tanda Beberapa IMS Gejala klinis bermacam – macam IMS pada saluran reproduksi saling
tumpang tindih bahkan pada perempuan IMS sering muncul tanpa adanya gejala. Gejala yang diketahui pasien dan ditemukan oleh petugas kesehatan seringkali
13
serupa sehingga sulit dibedakan (Depkes RI, 2006:2). Adapun jenis – jenis IMS, penyebab, gejala, dan tanda beberapa IMS yang sering dijumpai dapat dilihat pada tabel di bawah Family Health International, 2009 dalam (Oktarini, 2010) : Tabel 2.1 Jenis IMS, Penyebab, Gejala dan Tanda Beberapa IMS Penyakit
Penyebab
Gejala dan Tanda
Gonore
(kencing Neisseria
Nyeri yang sangat saat kencing, tampak cairan
nanah)
gonorhea
berupa nanah kental pada kemaluan. Cairan juga bisa keluar dari dubur bila melakukan anal seks, jika melakukan oral seks (melalui mulut) maka Gonore akan menginfeksi kerongkongan.
Sifilis
Treponema
Bintil – bintil berair seperti cacar disertai
palladium
timbulnya luka yang terasa nyeri di sekitar kelamin. Pada stadium lanjut akan nampak kulit kelamin seperti koreng berwarna merah (luka terbuka).
Klamidia
Chlamydia
80% tidak ada gejala tetapi terkadang terasa nyeri
trachomatis
saat kencing, keluar cairan/ lendir & bening dari kemaluan, terasa gatal, berwarna kuning atau kehijauan, dan bau.
Herpes Genitalis
Virus
herpes Badan lemas, nyeri sendi pada daerah terinfeksi,
simpleks tipe 2 demam, tampak kelainan kulit yang berbenjol – (HSV -2)
benjol, bulat atau lonjong kecil sebesar 2 – 5 mm, terdapat bintil – bintil kecil berisi cairan yang terasa sakit di alat kelamin, dubur, atau mulut.
Kutil
anogenital Virus papilloma
atau jengger ayam
Timbul kutil pada daerah yang terinfeksi, kutil akan bergerombol seperti jengger ayam di daerah kemaluan dan daerah anus.
Granuloma
Donovania
Terdapat luka kecil di kulit pada kemaluan, luka
Inguinale
granulomatis
tersebut kemudian menyebar dan membentuk
(Donovanosis)
sebuah massa granulomatous (benjolan – benjolan kecil) yang bisa menyebabkan kerusakan berat pada organ – organ kemaluan.
14
Lanjutan tabel 2.1 Human Papilloma Virus Virus (HPV)
Human Terdapat tonjolan yang tidak sakit, kutil yang
Papilloma
menyerupai bunga kol tumbuh di dalam atau pada alat kelamin, anus, dan tenggorokan.
Trichomoniasis
Trichomonas
Infeksi umum yang terjadi terus menerus pada
vaginalis
vaginalis
saluran kecing perempuan. Infeksi ini dapat menimbulkan gejala seperti gatal – gatal, nyeri saat buang air kecil, dan peradangan pada vagina sehingga mengeluarkan banyak cairan yang berwarna kuning dan berbau tidak enak tetapi umumnya tidak menimbulkan komplikasi yang berat. Dalam skala kecil biasanya menunjukkan gejala
berupa
peradangan
saluran
kencing
walaupun pada umumnya tidak memiliki gejala. Ulkus
molle/ Haemophilus
canchroid
ducreyi
Pembengkakan yang sakit dari kelenjar setempat, ditandai
dengan
luka
yang
bernanah
atau
memborok yang akut dan sakit di bagian kelamin, umumnya satu luka dan diameternya berukuran kurang dari 1 cm, dan infeksi pada perempuan sering tidak memunculkan gejala.
2.2.5
Faktor Risiko Terjadinya IMS Adapun faktor – faktor yang berperan terhadap kejadian IMS pada individu
yang digunakan dalam penelitian ini dan dengan menggunakan kerangka konsep teori Lawrence Green yang mengelompokkan faktor menjadi predisposing factors, enabling factors dan reinforcing factors yaitu : I.
Predisposing Factors :
i.
Umur Muda Umur muda merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penularan IMS. Penderita IMS terbanyak adalah kelompok umur produktif dan seksual
15
aktif. Penelitian pada pekerja seks komersial yang mengunjungi klinik IMS di Madrid, Spanyol, diperoleh prevalensi kondiloma sebesar 53% pada kelompok umur muda (<20 tahun) dengan tingkat risiko terinfeksi sebesar 2,3; 95% CI : 1,7 – 3,2. Umur PSP (<25 tahun) lebih berisiko karena secara biologis lebih rentan terkena infeksi pada organ reproduksi. Sebuah studi di Cina terhadap 69 orang PSP, 72% diantaranya berusia 15 – 25 tahun dimana pada PSP pernah mengalami gonore sebanyak 6%, nyeri saat kencing 45%, dan keluar cairan pada vagina 51% (Rogers, et al.,2002). Umur berpengaruh terhadap kejadian IMS dimana PSP yang lebih tua mengalami kejadian IMS yang lebih sedikit (p<0,01) dengan mengontrol variabel jumlah pelanggan, PSP yang lebih tua mendapatkan pelanggan yang lebih tua yang memiliki kejadian IMS lebih rendah dan juga PSP tersebut lebih banyak tahu mengenai gejala IMS sehingga lebih aktif mencari pengobatan (Ford, 2002). ii.
Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan rendah berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga berasosiasi kuat dengan kejadian kondiloma. Kerentanan PSP terhadap kondiloma terutama disebabkan karena masih rendahnya pengetahuan PSP tentang kondiloma termasuk cara penularan dan pencegahannya. Padahal tanpa tahu cara penularan dan pencegahan yang tepat, PSP tidak dapat melindungi diri dari risiko tertular kondiloma. Pada PSP dengan tingkat pendidikan yang rendah, risiko terinfeksi kondiloma meningkat secara signifikan. Pelanggan PSP dengan tingkat pendidikan lebih tinggi terbukti lebih sering menggunakan kondom (Ford, 2002).
iii.
Pengetahuan terhadap IMS
16
Pengetahuan terhadap IMS dan HIV memiliki pengaruh terhadap tingkat penggunaan kondom (Basuki et al, 2002). Pada pelanggan PSP dengan pengetahuan IMS dan HIV yang lebih tinggi terbukti lebih sering menggunakan kondom (Ford, 2002). Pengetahuan ini bisa didapat oleh PSP dengan aktif membaca, menonton televisi, dan diskusi dengan teman sebaya serta petugas kesehatan. iv.
Sikap Sikap terhadap IMS dan HIV memiliki pengaruh terhadap tingkat penggunaan kondom (Basuki et al, 2002). Pada penelitian yang sama, PSP merasa bahwa penggunaan kondom sangat penting untuk pencegahan IMS dan kondom menjaga kebersihan dan memberikan kenyamanan. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat PSP rentan terhadap penularan IMS yaitu merasa aman berhubungan seksual tanpa kondom dengan pelanggan tetap dan pacar karena merasa bersih dan tidak mungkin tertular IMS, PSP dan pelanggannya percaya bahwa hubungan seks yang berlangsung dalam waktu singkat akan mencegah penularan IMS, PSP juga merasa mendapat risiko yang lebih tinggi tertular HIV jika berhubungan seksual dengan laki – laki WNA dibandingkan dengan laki – laki setempat. Bahkan PSP tidak merasa takut tertular IMS dan HIV karena merasa sudah menjaga kesehatan.
v.
Mobilitas Mobilitas PSP dan pelanggan merupakan faktor penyebaran IMS dan HIV secara geografis dari wilayah dengan prevalensi tinggi ke wilayah dengan prevalensi lebih rendah. PSP cenderung pindah tempat tinggal jika berasal dari kota lain yang ada dalam satu provinsi. Pada studi terhadap 117 orang PSP, 43,3% diantaranya pindah ke kota lain dan 79% mengalami IMS (Wang
17
et al, 2010). Mobilitas sering dihubungkan dengan perilaku berisiko dimana migran lebih berperilaku berisiko karena dipengaruhi oleh keadaan sosial dan kehidupan berhubungan seksual dengan pasangan tidak tetap dan pekerja seks. Orang yang berpindah sering sulit dijangkau program kesehatan, tidak tahu tempat mendapatkan kondom dan klinik pemeriksaan. Migran yang tinggal pada 5 tahun pertama memiliki perilaku yang lebih berisiko karena setelah 5 tahun tersebut mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di sekitarnya (Vissers, 2011). vi.
Lama menjadi PSP Lama menjadi PSP berpengaruh terhadap transmisi kondiloma. Penelitian HPV pada PSP di Indonesia membuktikan bahwa lama menjadi PSP < 5 tahun mempunyai risiko 5,76 kali lebih besar dibandingkan dengan PSP yang bekerja >10 tahun. Ini terjadi karena pada PSP muda dengan aktivitas seksual lebih tinggi menjalani pekerjaan sebagai PSP (lebih sering kontak seksual).
vii.
Jumlah Pasangan Seks Peningkatan laju insiden IMS berbanding lurus dengan jumlah pasangan seks per satuan waktu. Semakin banyak jumlah pasangan seks maka semakin besar risiko terinfeksi IMS. Pada laki – laki, jumlah pasangan seks >11 orang berisiko terinfeksi HPV sebesar 2,1; 95% CI : 1,2 – 3,6 sedangkan pada perempuan berisiko 1,3; 95% CI; 0,7 – 0,26.
viii.
Penggunaan kondom Kondom merupakan suatu metode yang efektif untuk mengurangi penularan IMS dan HIV. Kondom harus digunakan dengan tepat dan konsisten agar hasilnya efektif dalam pencegahan HIV. Ketepatan dan konsistensi dalam penggunaan kondom sangat berhubungan dengan perilaku sehingga strategi
18
yang dapat diterapkan yaitu memberikan motivasi yang berkelanjutan penggunaan kondom pada setiap aktivitas seksual. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 5,9% pekerja seks yang konsisten dalam penggunaan kondom selama 2 minggu pengamatan (Basuki et al, 2002). ix.
Cuci Vagina Praktek cuci vagina sudah banyak dilakukan dari jaman dulu sedangkan manfaat atas perilaku tersebut dan mekanisme biologi yang ditimbulkan belum banyak dipelajari. Disamping itu semakin banyak pula promosi produk cuci vagina yang mudah untuk didapatkan. Cui vagina meningkatkan risiko Pelvic Inflammatory Disease (PID) sebesar 73% dan kehamilan ektopik sebesar 76% (Zhang, Jun, et al., 1997).
II.
Enabling Factors :
i.
Akses kondom Hasil suatu penelitian menunjukkan sekitar 80% kondom dibawa sendiri oleh pelanggan atau pekerja seks sebelum melakukan hubungan seksual. Sangat jarang kondom tersedia sebelum datangnya pelanggan dan sekitar 17% kondom tersedia di lokasi prostitusi.
Walaupun sudah ada program
penyediaan kondom, tetap saja tidak semua PSP memiliki kondom ketika dibutuhkan (Basuki et al, 2002). ii.
Akses edukasi Penelitian pada pekerja seks menunjukkan hampir 50% tidak pernah berdiskusi tentang HIV dan AIDS dengan orang lain (Rogers, et al.,2002). Edukasi yang dapat diterima yaitu berupa ceramah, diskusi, informasi melalui selebaran, leaflet, dan media lainnya.
19
III.
Reinforcing Factors :
i.
Dukungan Lingkungan Sosial Adanya program 100% penggunaan kondom pada setiap transaksi seksual pekerja seks memerlukan dukungan yaitu dari pimpinan di tempat kerja, dan sesama PSP. Komitmen dalam penggunaan kondom harus secara nyata dilakukan oleh PSP dengan menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Dukungan juga diberikan agar PSP dapat mengakses layanan kesehatan.
2.2.6
Bahaya IMS, HIV dan AIDS IMS merupakan penyakit yang berbahaya karena infeksi IMS yang kronis
memiliki beberapa dampak lanjutan/komplikasi (Family Health International, 2009) : a. Menyebabkan kemandulan baik pada laki – laki maupun pada perempuan b. Menyebabkan kanker rahim dan kehamilan di luar kandungan bagi perempuan c. Dapat merusak penglihatan, otak, dan hati serta infeksi menyeluruh d. Dapat ditularkan pada bayi sehingga bayi terlahir dengan cacat bawaan, lahir terlalu dini, lahir kecil atau terinfeksi IMS e. Dapat menyebabkan seseorang lebih mudah tertular IMS tertentu seperti HIV, dan Hepatitis B bisa menyebabkan kematian.
20
2.2.7
Pencegahan IMS Cara mencegah penularan IMS termasuk HIV dan AIDS adalah dengan tidak
membiarkan darah, cairan kelamin orang lain masuk ke dalam tubuh. Pencegahan penularan yang dapat dilakukan adalah dengan (Sofianty, 2009) : 1. Tidak berhubungan seks sama sekali sehingga tidak ada cairan kelamin yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sama dengan pantang seks atau puasa seks saat jauh dari pasangan. 2. Berperilaku saling setia berhubungan hanya dengan seseorang yang dapat dipastikan hanya berhubungan seks dan satu orang saja. 3. IMS dapat dicegah dengan menggunakan kondom secara konsisten saat berhubungan seks. Bila tidak dapat dipastikan kesetiaan pasangan, tidak tahu apakah pasangan pernah menerima transfusi darah, tato, suntikan dengan jarum yang tidak steril, tidak bisa setia dengan pasangan maka gunakan kondom saat berhubungan seksual baik lewat liang senggama, mulut, maupun dubur. 4. Tidak menggunakan jarum suntik bekas yang tidak steril. 5. Mencari sumber pengetahuan berkaitan dengan informasi yang benar. Sebuah studi di Afrika menyebutkan bahwa sirkumsisi pada pria dapat menurunkan risiko penularan IMS. Hilangnya ujung kulit pada penis menyebabkan bakteri dan virus tidak memiliki tempat bersarang dan penis lebih mudah dibersihkan dengan lebih sempurna. Adanya sirkumsisi ini juga dapat menghemat biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk mengobati IMS (Clark, 2011).
21
2.3
Teori Perubahan Perilaku Terdapat beberapa teori perubahan perilaku yang didapatkan dari beberapa sumber. Adapun diantaranya yaitu : 1. Teori HL. Blum Menurut teori H.L.Blum (Kandera, 2004) menyebutkan bahwa ada empat faktor utama yang mempengaruhi status kesehatan yaitu faktor genetik, faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor lingkungan. Faktor genetik didapatkan oleh orang tua contohnya penyakit kanker pada anak yang didapatkan dari orang tua dengan riwayat kanker serupa. Pelayanan kesehatan mencakup ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan contohnya tenaga kesehatan, aksesibilitas individu terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, dan sarana prasarana kesehatan yang memadai. Faktor lainnya yaitu lingkungan mencakup kimia, sosial, dan biologi. Faktor perilaku disebutkan paling berpengaruh karena faktor lainnya dipengaruhi oleh perilaku individu dan sebaliknya. 2. Teori Lawrence Green Model perubahan pada teori ini menyatakan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh faktor perilaku yang dibagi menjadi tiga yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. a. Faktor predisposisi Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, kepercayaan, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi.
22
b. Faktor pendukung/pemungkin Adapun faktor yang dimaksud mencakup ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat serta faktor – faktor lain yang memungkinkan terjadinya IMS pada PSP. c. Faktor pendorong/penghambat Adapun faktor yang dimaksud adalah sikap dan nilai yang dimiliki oleh masyarakat, tokoh agama, serta sikap, dan perilaku para petugas kesehatan. 3. Teori Health Belief Model (HBM) Beberapa pertimbangan yang mempengaruhi perubahan perilaku kesehatan yaitu : a. Seseorang berubah ketika menyadari ada ancaman terhadap suatu penyakit tertentu, b. seseorang berubah jika dirinya menganggap bahwa ancaman tersebut adalah ancaman yang serius, c. perubahan yang dilakukan dianggap memberikan keuntungan sehingga orang tersebut akan mempertimbangkan untuk membuat perubahan, d. seseorang mempertimbangkan berbagai hambatan yang akan ditemui bila suatu perubahan akan dilaksanakan, e. perubahan akan tergantung pada kemampuan diri seseorang untuk mau bertindak dan berubah, f. faktor – faktor lainnya yang dapat mempengaruhi perubahan seperti faktor usia, pendidikan, psikologi, dan faktor sosial lainnya. Menurut Notoadmodjo (dalam Budiarti, 2011), penilaian pengetahuan dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu :
23
1. Kategori tinggi bila jumlah responden yang menjawab benar pertanyaan adalah sebesar ≥75% atau apabila jumlah jawaban responden yang benar adalah ≥75% maka dapat dikategorikan pengetahuan responden tersebut tinggi. 2. Kategori sedang bila 40% - 74% responden menjawab benar pertanyaan yang diajukan atau apabila jumlah jawaban responden yang benar adalah sekitar 40% - 74% maka termasuk pengetahuan sedang. 3. Kategori rendah apabila kurang dari 40% responden menjawab benar seluruh pertanyaan yang diajukan atau apabila total skor responden yang menjawab benar adalah dibawah 40%. 2.4
Pelayanan Kesehatan dan Upaya Pencegahan Pada sebagian besar negara – negara di Asia dan Pasifik, kebutuhan
kesehatan perempuan dipandang sempit hanya sebatas kesehatan ibu hamil dan melahirkan serta program keluarga berencana sehingga perempuan yang berasal dari Indo – China hingga Pasifik tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan perempuan yang komprehensif dimana juga termasuk screening dan pengobatan kanker, ISR, IMS, dan HIV serta AIDS (ARROWs, 1995 ). Beberapa intervensi yang dilakukan untuk mengendalikan IMS telah terbukti efektif termasuk manajemen sindrom pada penyakit luka kelamin dan keluarnya cairan pada saluran uretra, penanganan trikomoniasis, konseling singkat tentang pengurangan risiko, perawatan pasangan terhadap infeksi klamidia dan gonococcal. Intervensi tersebut telah berhasil menurunkan prevalensi beberapa jenis IMS major seperti chancroid, sifilis, dan gonore dibanyak negara di dunia. Pengendalian IMS
24
juga berkontribusi terhadap penurunan bertahap prevalensi HIV pada negara – negara dengan pendapatan rendah hingga menengah (WHO, 2009). Pada tahun 2008, 35 negara dengan pendapatan rendah hingga menengah telah memberikan pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan penanganan IMS pada pekerja seks. Nilai tengah pelayanan kesehatan di seluruh dunia yang tersedia pada tahun 2008 yaitu dibawah 1 klinik per 1000 pekerja seks dengan rentang 0,5 di Timur Tengah dan Afrika Utara hingga 2,1 di Eropa dan Asia Tengah. Pada 12 negara di Asia melaporkan estimasi nilai tengah pelayanan yaitu 0,92 titik pelayanan untuk setiap 1000 orang pekerja seks dengan rentang 0,06 per 1000 di Malaysia hingga 5 per 1000 orang di Republik Demokrasi Lao (WHO, 2009). Penyiapan fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau, dapat diterima, dan efektif merupakan syarat utama dalam penanggulangan IMS. Setiap pasien IMS diberi kesempatan untuk memilih unit pelayanan kesehatan perawatan penyakitnya. Umumnya ada 3 pilihan yang bisa dilakukan yaitu pengobatan oleh klinik pemerintah, klinik swasta, dan sektor informal. Pelayanan rutin terhadap pasien yang mengalami IMS sebaiknya diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan dasar sehingga bermanfaat untuk kelompok khusus seperti pekerja seks beserta pelanggannya, dan kelompok lain yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi pilihan terhadap pemilihan fasilitas kesehatan, yaitu lokasi geografis tempat pelayanan kesehatan, waktu jam buka pelayanan yang disesuaikan dengan jam kerja PSP pada umumnya, serta biaya pelayanan yang terjangkau. Pekerja seks memiliki kebutuhan pelayanan kesehatan yang berbeda khususnya pada masyarakat yang memiliki stigma yang tinggi atau hambatan legalitas yang menghalangi mereka terhadap akses kesehatan.
25
Walaupun berbagai upaya pengobatan telah tersedia, keterbatasan akses serta skrining dan pengobatan yang tidak teratur menjadi faktor utama dalam penyebaran IMS. Selain itu, jika program vaksinasi sukses dapat memberikan efek perlindungan yang lebih panjang terhadap IMS yang disebabkan oleh virus dimana dalam 20 tahun terakhir berhasil diselamatkan sekitar 20 juta jiwa di seluruh dunia (Huston, et al, 2012). 2.5
Model Regresi Logistik Regresi Logistik merupakan suatu metoda matematis untuk menganalisis
hubungan antara satu atau lebih variabel bebas yang bersifat kontinyu atau kategorikal dengan satu variabel tergantung yang berskala kategorikal. Menurut Widarsa (2009), Model Regresi Logistik juga dapat digunakan untuk mengendalikan efek perancu dari beberapa variabel perancu secara simultan dan juga dapat digunakan untuk prediksi kemungkinan seseorang dengan faktor risiko tertentu menderita penyakit tertentu. Model Regresi Logistik dapat dibedakan berdasarkan jenis variabel tergantungnya yaitu Binary Logistic Regression dan Multinomial Logistic Regression. Binary Logistic Regression digunakan apabila variabel tergantungnya adalah variabel nominal dengan dua kategori contohnya kejadian IMS dengan kategori ya dan tidak sedangkan Multinomial Logistic Regression digunakan apabila variabel tergantung yang dianalisis merupakan variabel kategorikal lebih dari dua kategori contohnya sanitasi lingkungan dengan kategori kurang, baik, dan sangat baik. 2.5.1
Persamaan Model Regresi Logistik Model Regresi Logistik merupakan pengembangan dari Model Regresi
Linier. Regresi Linier standar tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus –
26
kasus penelitian dengan tujuan analisis untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang berskala kategorikal atau nominal. Oleh karena itu, salah satu pilihan metoda analisis lain yang dapat digunakan adalah dengan Model Regresi Logistik karena fungsi penghubung yang digunakan adalah fungsi penghubung logit sehingga sebaran peluangnya disebut sebaran logistik (Mc. Cullagh dan Nelder dalam Tarmana 2009). Transformasi variabel tergantung dengan transformasi logit sehingga variabel exposure X1 menjadi Xp berdistribusi normal dijelaskan dalam model berikut (Daniel, 1999 : 545) : 𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑝 (𝑦 = 1) = 𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + ⋯ + 𝛽𝑖 𝑋𝑖 𝐿𝑜𝑔𝑖𝑡 𝑝 (𝑦 = 1) = ln (
𝑝 ) 1−𝑝
𝑝 ln ( ) = 𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + ⋯ + 𝛽𝑖 𝑋𝑖 1−𝑝 𝑝=
exp(𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + ⋯ + 𝛽𝑖 𝑋𝑖 ) 1 + exp( 𝛼 + 𝛽1 𝑋1 + ⋯ + 𝛽𝑖 𝑋𝑖 )
Keterangan : Y
: nilai variabel tergantung observed
X
: variabel bebas observed
p
: probabilitas
a
: intercept Beberapa contoh penelitian yang menggunakan Model Regresi Logistik
adalah penelitian Santoso (TT) dimana Model Regresi Logistik digunakan sebagai model probabilitas linier alternatif dengan variabel bebas berskala kontinyu dan dummy dengan variabel tergantung berskala nominal serta penelitian yang dilakukan
27
oleh Dede Tarmana (2009) dimana Model Regresi Logistik dapat digunakan sebagai model untuk menjelaskan peluang terjadinya hujan dengan skala data kategorikal.
2.5.2
Penentuan Faktor Risiko dan Koefisien Determinasi
a.
Penentuan Faktor Risiko Ada tidaknya faktor risiko pada variabel bebas terhadap variabel tergantung
dapat dilihat dari nilai Odd Ratio. Odds merupakan perbandingan antara probabilitas A (sakit) dengan probabilitas A (tidak sakit). Lebih lanjut dijelaskan dalam persamaan di bawah ini (Kirkwoord, 2000 : 316). 𝑂𝑑𝑑𝑠 (𝐴) =
𝑃𝑟𝑜𝑏 (𝐴 𝑆𝑎𝑘𝑖𝑡) 𝑝 = 𝑃𝑟𝑜𝑏 (𝐴 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡) 1−𝑝
Sedangkan Odd Ratio (OR) adalah rasio antara Odds kelompok terpapar dengan Odds kelompok tidak terpapar. Contohnya akan dianalisis hubungan multipartner hubungan seksual terhadap kejadian IMS dimana variabel X adalah multipartner hubungan seksual dengan kategori X=1 adalah ya dan X=0 adalah tidak maka OR multipartner hubungan seksual adalah : 𝑂𝑅 =
𝑂𝑑𝑑𝑥=1 𝑂𝑑𝑑𝑥=0
=
𝐸𝑥𝑝𝑎+𝑏𝑖 𝐸𝑥𝑝𝑎
=
𝐸𝑥𝑝𝑎 𝑥 𝐸𝑥𝑝𝑏𝑖 𝐸𝑥𝑝𝑎
= 𝐸𝑥𝑝𝑏𝑖
Odd Ratio yang diperoleh dari analisis Regresi Logistik disebut dengan Adjusted Odd Ratio karena terdapat asumsi bahwa tidak ada pengaruh dari variabel bebas yang lain. b.
Koefisien Determinasi Model Regresi Logistik juga menganalisis besarnya pengaruh variabel bebas
(X) terhadap variabel tergantung (Y) seperti pada Model Regresi Linier. Contohnya nilai R2=0.67 berarti 67% variasi nilai variabel Y dipengaruhi oleh variabel x
28
sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam model. Nilai R2 sebesar 30 menyatakan variabel X memiliki daya ungkit untuk digunakan menganalisis variabel Y. Dalam analisis mengunakan program SPSS, nilai R2 ditunjukkan oleh nilai Nagelkerke R2. Berikut merupakan persamaannya (Daniel, 1999) 2
𝑅 =
𝛴( y' y )2 𝛴( y y )2
=
𝑆𝑆𝑅 𝑇𝑆𝑆
Keterangan : R2
: Koefisien determinasi
SSR
: Sum Square Residual
TSS
: Total Sum of Square
Y’
: nilai Y terhitung
y
: rata – rata nilai variabel Y
Y
: nilai variabel Y observed
2.5.3
Uji Hipotesis Uji hipotesisi dapat dilakukan dengan dua test yaitu menggunakan Uji
Likelihood Ratio dan Uji Wald (Kirkwood dan Sterne, 2000 : 319; Tarmana, 2009). a.
Uji Likelihood Ratio Uji Likelihood Ratio atau Likelihood Ratio Statistic (LRS) menggunakan ratio
nilai maksimal dari fungsi likelihood untuk model penuh (L1) atas nilai maksimal dari fungsi Likelihood untuk model sederhana (L0) dengan kurva Likelihood Ratio mendekati quadratic. Adapun persamaannya adalah : 𝐿𝑅𝑆 = −2 𝑥 log(𝐿𝑅) = −2 𝑥 (𝐿𝑛𝑢𝑙𝑙 − 𝐿𝑀𝐿𝐸 ) adalah nilai X2 dengan df = 1
29
Keterangan : LRS
: Likelihood Ratio Statistic
LR
: Likelihood Ratio
𝐿𝑛𝑢𝑙𝑙
: fungsi likelihood untuk model sederhana
𝐿𝑀𝐿𝐸
: fungsi likelihood untuk model penuh
b.
Uji Wald Uji Wald sejenis dengan Likelihood Ratio tetapi nilai yang digunakan
berdasarkan pada Likelihood Ratio dalam keadaan fit quadratic. Adapun persamaannya adalah : 1 𝑀𝐿𝐸 − 𝜃 log(𝐿𝑅)𝑞𝑢𝑎𝑑 = − ( ) 2 𝑆 Maka nilai LRSWald dapat dihitung dengan persamaan : 𝑀𝐿𝐸− 𝜃𝑞𝑢𝑎𝑑
𝐿𝑅𝑆𝑊𝑎𝑙𝑑 = −2 𝑥 log(𝐿𝑅)𝑄𝑢𝑎𝑑 = (
𝑆
𝑀𝐿𝐸 2
)= (
𝑆
) , bila 𝜃𝑛𝑢𝑙𝑙 = 0
Keterangan : LRS
: Likelihood Ratio Statistic
MLE : Maximum Likelihood Estimation S
: Standard Error
𝜃
: Rate Ratio Pengambilan keputusan didasarkan atas nilai interval kepercayaan dan nilai p.
Penentuan rentang kepercayaan atau Confidence Interval (CI) dihitung berdasarkan koefisien regresi (b) dan standard error (Sibi). Berikut merupakan persamaannya (Widarsa, 2009). Nilai batas bawah OR = Exp (bi-1,96 x Se) dan batas atas OR = Exp (bi+1,96 x Se)
30
Ho diterima apabila angka 1 berada di dalam rentang CI dan Ho ditolak apabila angka 1 berada di luar rentang CI. Berikut merupakan persamaan uji t untuk melihat apakah nilai OR tersebut bermakna atau tidak.
t
bi SEbi
Keterangan : t
: Uji t
b
: koefisien regresi
Se
: Standart error Dalam program SPP, untuk menguji hipotesis nihil β = 0 atau koefisien regresi = 0
dipergunakan statistik Wald dengan persamaan berikut :
Wald
bi SEbi
Nilai p pada hasil analisis juga digunakan untuk menguji apakah Odd Ratio bermakna atau tidak. Nilai p < α menyatakan H0 ditolak sedangkan jika nilai p > α menyatakan H0 diterima. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Uji Likelihood Ratio lebih baik digunakan jika dibandingkan dengan Uji Wald (Kirkwood dan Sterne, 2000: 301). Hal ini disebabkan karena : 1.
Perhitungan dan interpretasi yang didapatkan dengan uji Likelihood Ratio dapat digunakan untuk situasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Uji Wald.
31
2.
Walaupun Uji Wald lebih baik ketika digunakan untuk menganalisis variabel terpapar (exposure) yang diwakili oleh satu parameter, uji ini kurang baik untuk analisis dengan skala data kategori. Menurut Menart (dalam Tarmana, 2009), bila koefisien besar, standart error
meningkat dan dapat menurunkan nilai statistik Wald. Menurut Agresti (dalam Tarmana, 2009), Uji Likelihood Ratio lebih handal digunakan untuk sampel yang lebih kecil. Selain itu keuntungan penggunaan uji Likelihood Ratio adalah dapat diimplementasikan untuk menaksir kesesuaian dari kelebihan penggunaan parameter Regresi Logistik dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). 2.5.4
Binary Logistic Regression Binary Logistic Regression merupakan salah satu Model Regresi Logistik
dengan variabel tergantung binomial. Berdasarkan jenis variabelnya ada dua jenis Binary Logistic Regression yaitu Binary Logistic Regression dengan variabel bebas binomial dan Binary Logistic Regression dengan variabel bebas ordinal (Widarsa, 2009). a.
Binary Logistic Regression dengan variabel bebas binomial Pada Binary Logistic Regression dengan variabel bebas binomial (2 kategori),
perhitungan OR pada masing – masing variabel bebas (X1, X2, X3) dilakukan dengan menggunakan rumus adjusted OR dimana jika X1 dianalisis maka variabel lainnya dikendalikan : 𝑂𝑅 =
b.
𝐸𝑥𝑝 (𝑎 + 𝑏1 ) = 𝐸𝑥𝑝 (𝑏1 ) (𝑎)
Binary Logistic Regression dengan variabel bebas ordinal
32
Analisis Binary Logistic Regression dengan variabel bebas ordinal dapat dilakukan dengan mengubah variabel bebas X menjadi bentuk dummy variable yaitu variabel nominal dengan dua kategori saja yaitu umumnya 1 dan 0. Contohnya pada analisis hubungan pengetahuan (rendah, sedang, tinggi) dengan kejadian IMS akan dibuat dua dummy variable dengan pembanding (baseline) umumnya adalah kategori terendah dimana dalam contoh ini adalah pengetahuan rendah sehingga bentuk dummy variable-nya yang pertama adalah variabel pengetahuan sedang (X 1) dengan kategori 1= sedang, dan kategori 0= rendah sedangkan yang kedua adalah pengetahuan tinggi (X2) dengan kategori 1 = tinggi dan kategori 0 = rendah. Variabel yang dianalisis adalah variabel hasil transformasi yaitu X1 (pengetahuan tinggi), X2 (pengetahuan sedang) dengan variabel tergantung Y (kejadian IMS) sehingga Model Regresi Logistiknya menjadi : 𝐿𝑜𝑔 𝑂𝑑𝑑 = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 + 𝑏2 𝑋2 𝑂𝑅 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑋1 = 𝐸𝑥𝑝 (𝑏1 ) dan 𝑂𝑅 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑋2 = 𝐸𝑥𝑝 (𝑏2 )
Keterangan : 𝑎
: Intercept
𝑏1 : koefisien regresi linear X1 terhadap Y 𝑏2 : koefisien regresi linear X2 terhadap Y
2.5.5
Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Untuk mengukur tentang kesesuaian Model Regresi Logistik, ada beberapa
ukuran statistik yang dapat dijadikan kriteria yaitu Pearson Chi-square, Deviance, dan Uji Ratio Likelihood (Tarmana, 2009).
33
a.
Pearson Chi-Square Nilai Pearson Chi-Square dapat dihitung melalui persamaan berikut : (𝑦𝑖 − µ𝑖 )2 ∑ 𝑉𝑎𝑟 (𝑌𝑖 ) 𝑖
Untuk dibandingkan dengan nilai X2df dimana df (degrees of freedom)= n-p. Pada metode ini akan dibandingkan antara hasil observasi dengan prediksi hipotetis dimana data fit dengan model secara sempurna. Perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi mempunyai distribusi Chi-Square. b.
Deviance Deviance merupakan ukuran lain dalam mengukur kebaikan Binary Logistic
Regression yang dapat dihitung melalui 2 (𝑙 (𝑦; 𝑦) − 𝑙 (𝜇; 𝑦)) dimana l (𝜇; y) dan l(y; y) adalah Log Likelihood yang dievaluasi terhadap 𝜇 dan y. deviance juga memiliki kedekatan dengan distribusi Chi-Square dengan derajat bebas n-p pada model yang sesuai. Nilai Likelihood yang umumnya lebih kecil dari 1 sehingga digunakan -2 kali log (likelihood) atau -2LL sebagai ukuran seberapa baik model fit dengan data. Data yang fit dengan model secara sempurna memiliki nilai Likelihood adalah 1 dan -2LL memiliki distribusi Chi-Square. Kondisi lain jika nilai antara Pearson Chi-Square dan deviance relatif sama dengan derajat bebas n-p maka model yang dihasilkan kemungkinan mempunyai tingkat kesesuaian yang cukup. c.
Uji Ratio Likelihood Keuntungan menggunakan metode Maximum Likelihood adalah bahwa Uji
Ratio Likelihood dapat diimplementasikan untuk menaksir kesesuaian dari kelebihan pendugaan parameter Regresi Logistik dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Persamaan uji RatioLikelihood adalah 𝐺 = 2(𝑙𝑖 − 𝑙𝑜 ) dimana 𝑙𝑖
34
adalah Likelihood tanpa peubah bebas dan 𝑙𝑜 adalah Likelihood dengan peubah bebas. Nilai G mempunyak kedekatan dengan distribusi Chi-Square berderajat bebas 𝑘(𝐺 ≈ 𝑋𝑘 2) dengan hipotesis : Ho : β1 = β2 = ... = βk = 0 HA ; Minimal ada satu β ≠ 0 Selain tiga tes tersebut, untuk melihat apakah model fit dengan Regresi Logistik juga dapat dilakukan dengan tes tabel klasifikasi. Dalam tabel klasifikasi akan dibandingkan antara hasil observasi dengan yang diperkirakan (predicted) dari model sehingga akan diketahui berapa persen hasil observasi sama dengan hasil prediksi dari model (Percent Correct). Bila Percent Correct lebih besar dari 50% makan dapat dinyatakan bahwa data fiit dengan Model Regresi Logistik (Widarsa, 2009).
2.5.6
Peramalan Risiko (Probability Risk) Model
Regresi
Logistik
juga dapat
digunakan untuk
meramalkan
kemungkinan seseorang dengan risiko tertentu menderita penyakit tertentu. Kemungkinan tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Widarsa, 2009) : p Exp a biXi p.Exp a biXi p p.Exp a biXi Exp a biXi
p 1 Exp a biXi Exp a biXi p
a biXi
Exp 1 Exp a biXi
35
2.5.7
Seleksi Variabel Prediktor Dalam analisis Model Regresi agar dapat membuat model yang baik terdapat
4 algoritme seleski yang dapat dipilih yaitu Metoda Stepwise, Forward, Backward, Metode Enter (Triton, 2006: 136). a.
Metode Enter adalah metode regresi dengan cara memasukkan semua variabel bebas secara bersama – sama ke dalam model dan besar kecil pengaruh setiap variabel bebas diabaikan. Metoda ini paling sering digunakan. Metode Enter tepat digunakan apabila secara teori variabel bebas benar – benar berpengaruh terhadap variabel tergantung.
b.
Metode Forward adalah Metode Regresi dengan proses analisis variabel prediktor dari depan dimana semua variabel bebas awalnya dianggap tidak berpengaruh kemudian secara bertahap dimasukkan variabel – variabel yang berpengaruh.
c.
Metode Backward adalah metode regresi yang berlawanan dengan metode forward yaitu dengan memasukkan variabel yang paling berpengaruh terlebih dahulu dengan model akhir adalah dengan membuang variabel bebas yang tidak berpengaruh.
d.
Metode Stepwise, proses seleksinya merupakan kombinasi Metode Forward dan Metode Backward. Pertama diterapkan prosedur Forward dan variabel yang sudah ada di dalam model selanjutnya akan dianalisis dengan Metode Backward. Seleksi variabel prediktor Forward dan Backward atau Stepwise memiliki
kekurangan. Pada model seleksi Stepwise, koefisien akan didapatkan nilai p yang lebih kecil dari tanpa Stepwise, koefisien regresi b akan menjadi lebih besar dan Metode Stepwise sebaiknya jangan dipakai bila berdasarkan pengetahuan yang ada
36
bahwa semua variabel prediktor diketahui mempunyai pengaruh atau hubungan dengan variabel tergantung (Widarsa, 2009). Dalam analisis Model Regresi Logistik dengan program SPSS ada lima bentuk metode seleksi variabel prediktor yang digunakan yaitu Metode Enter, Metode Backward Stepwise, Metode Forward Stepwise, Metode Forward Conditional dan Metode Backward Conditional. 1.
Metode Enter
adalah metode regresi dengan cara memasukkan semua
variabel bebas secara bersama – sama ke dalam model dan besar kecil pengaruh setiap bebas diabaikan. Metode ini paling sering digunakan dan tepat digunakan apabila secara teori variabel bebas benar – benar berpengaruh terhadap variabel tergantung. 2.
Metode Backward Stepwise dilakukan dengan pertama memasukkan seluruh variabel ke dalam model kemudian mengeluarkan variabel yang memiliki nilai signifikan paling kecil (nilai p terbesar) dan dilakukan terus pada setiap step hingga tidak ada lagi variabel yang memenuhi syarat untuk dikeluarkan yang ada dalam model. Kelemahan metode ini adalah karena variabel dikeluarkan, maka tidak ada probabilitas minimum untuk mengeluarkan sehingga nilai pada probability table tidak bisa ditampilkan. Selain itu, variabel yang telah dikeluarkan dari model tidak dapat kembali masuk ke dalam model.
3.
Metode Forward Stepwise dilakukan dengan awalnya tidak ada variabel dalam model kemudian dimasukkan variabel yang paling signifikan dengan nilai p terkecil hingga semua variabel yang memenuhi syarat tidak dapat dimasukkan dan variabel yang telah masuk ke dalam model dianalisis kembali untuk dikeluarkan bila variabel tersebut memiliki nilai p yang tidak
37
signifikan. Analisis dengan metode ini memiliki kelemahan yaitu ada kemungkinan akan memasukkan variabel yang tidak begitu signifikan ke dalam model karena Mean Square Error (MSE) yang dihasilkan Metode Forward akan lebih kecil yang menyebabkan nilai fobs besar. 4.
Metode Forward Conditional dan Backward Conditional digunakan untuk jenis penelitian dengan sampel berpasangan (matched).