BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Jembatan II.1.1 Perkembangan Jembatan Jembatan dikatakan sebagai peralatan yang tertua di dalam peradaban manusia. Pada zaman dahulu, jembatan dibuat untuk menyeberangi sungai kecil dengan menggunakan balok kayu atau batang pohon yang besar dan kuat. Menurut Degrand, jembatan pertama sekali tercatat pernah dibangun di sungai Nil oleh raja Manes dari Mesir pada tahun 2650 SM. Suatu deskripsi jembatan kayu yang dibangun Ratu Semiwaris dari Babilonis yang melintasi sungai Efhrat pada tahun 783 SM juga pernah disusun oleh Diodrons Siculus. Jembatan ini berlantai kayu, dan bertumpu pada pier dari batu. Lantai kayu ini dapat dipindahkan atau digeser pada malam hari untuk mencegah pencuri memasuki kota. Jembatan terapung, yang terbuat dari rangkaian perahu untuk menyeberangkan tentara pada masa-masa perang pernah dibangun oleh raja Alexander dari Cyprus pad tahun 556 SM. Jembatan kayu digunakan telah lama, disebabkan materialnya banyak, dan pelaksanaannya mudah. Perkembangan Jembatan semakin maju, antara lain dikarenakan penemuanpenemuan material yang baru antara lain kayu atau batu digabungkan dengan besi. Jembatan pelengkung beton yang pertama dibangun pada tahun 1776 melintas sungai Severn di Inggris. Belakangan pada tahun 1824 jembatan gelagar baja dibangun pada jalan kereta api Dublin Drogheda.
Universitas Sumatera Utara
Jembatan beton hanya digunakan untuk bentuk pelengkung, karena tidak kuat menahan tegangan tarik. Dengan penemuan baja pada tahun 1825, masa pembangunan jembatan modern dimulai. Pada tahun 1964, dibangunlah suatu jembatan yang terpanjang di dunia pada saat itu, yaitu Jembatan Verazano di New York - USA dengan bentang total adalah 2038 meter, dengan bentang utama adalah 1298 meter. Di banyak negara, jembatan umumnya dibuat dari beton bertulang, walaupun mulai digantikan oleh beton pratekan. II.1.2 Pengertiaan Jembatan Berdasarkan UU 38 Tahun 2004 bahwa jalan dan juga termasuk jembatan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan yang dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah. Konstruksi jembatan adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun / menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan, jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang. Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan struktur
Universitas Sumatera Utara
bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan. Jembatan dibangun dengan umur rencana 100 tahun untuk jembatan besar, minimum jembatan dapat digunakan 50 tahun. Ini berarti, disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik. Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatip besar, jembatan yang dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah. Pada saat pelaksanaan konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
II.1.3 Klasifikasi Jembatan Ditinjau dari berbagai aspek, maka jembatan diklasifikasikan atas : 1. Ditinjau dari material yang digunakan, jembatan bisa dibedakan, yakni : a. Jembatan Kayu b. Jembatan Gelagar Baja c. Jembatan Beton Bertulang d. Jembatan Komposit e. Jembatan Beton Prategang Jembatan Khusus, misalnya jembatan dimana mutu bahannya berbeda untuk konstruksi utama dan sekunder / jembatan gelagar baja pratekan. 2. Ditinjau dari bentuk struktur konstruksi, jembatan bisa dibedakan ,yakni : a. Jembatan batang kayu (Log bridge) b. Jembatan gelagar biasa (Beam bridge) c. Jembatan portal (Rigid frame bridge) d. Jembatan penyangga (Cantilever bridge) e. Jembatan lengkung atau portal (Compression arch bridge)
Gambar II.1 Berbagai Tipe Jembatan Pelengkung (Sumber: Chen & Duan, 2000)
Universitas Sumatera Utara
f. Jembatan gantung (Suspension bridge)
Gambar II.2 Jembatan Gantung (Sumber: Chen & Duan, 2000)
g. Jembatan kerangka (Truss bridge) h. Jembatan kabel penahan (Cable-stayed bridge)
Gambar II.3 Jenis Jembatan Kabel Tarik (a) jembatan bentang dua dengan angker tanah dan (b) jembatan bentang tiga dengan pendukung antara di sisi bentang (Sumber: Chen & Duan, 2000)
i.
Jembatan gelagar I segmental beton atau beton pra tekan Jembatan gelagar sederhana merupakan suatu jembatan, yang konstruksi
utama (bagian atas) terdiri dari beberapa buah gelagar, yang dikonstruksikan dan diletakkan di atas dua buah tumpuan atau perletakkan dengan anggapan satu sendi dan satu rol. Pada bagian bawah gelagar dibuat beberapa buah profil melintang dan menyilang yang berfungsi sebagai penyatu gelagar. Pada bagian atas diletakkan papan lantai jembatan dan kemudian dilapisi dengan aspal.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.4 Jembatan Gelagar I segmental panjang 20 m
j.
Jembatan baja berdinding penuh (Plat girder bridge)
3. Ditinjau dari statika konstruksi, jembatan bisa dibedakan antara lain : Berdasarkan analisa struktur (statika konstruksi) maka jembatan dapat di bagi atas dua bagian yaitu : a. Jembatan statis tertentu b. Jembatan statis tak tertentu 4. Ditinjau dari fungsi atau kegunaannya, jembatan bisa dibedakan antara lain : a. Jembatan untuk lalu lintas kereta api (railway bridge) b. Jembatan untuk lalu lintas biasa atau umum (highway bridge) c. Jembatan untuk pejalan kaki (foot path) d. Jembatan berfungsi ganda, misalnya untuk lalu lintas kereta api dan mobil, untuk lalu lintas umum dan air minum, dan sebagainya. e. Jembatan khusus, misalnya untuk pipa-pipa air minum, pengairan, pipa gas, jembatan militer dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
5. Ditinjau menurut sifat-sifatnya, jembatan bisa dibedakan antara lain : a. Jembatan sementara atau darurat b. Jembatan tetap atau permanen c. Jembatan bergerak, yaitu jembatan yang dapat digerakkan misalnya agar penyeberangan kapal-kapal di sungai tidak terganggu. 6. Ditinjau menurut letak atau posisinya, jembatan bisa dibedakan antara lain : a. Jembatan di atas saluran sungai, saluran irigasi atau drainase b. Jembatan di atas perairan (Aquaduct) c. Jembatan di atas lembah d. Jembatan di atas jalan yang sudah ada (Viaduct) 7. Ditinjau menurut letak lantainya, jembatan bisa dibedakan antara lain : a. Jembatan dengan lantai kenderaan di bawah b. Jembatan dengan lantai kenderaan di atas c. Jembatan dengan lantai kenderaan di tengah d. Jembatan lantai kenderaan di atas dan bawah (Double deck bridge)
Gambar II.5 Jembatan Box Girder Beton Menerus Kelas-A, Jawa Barat, 1979. Bentang utama 132 meter dua sisi simetris 45 meter (total 222 meter)
Universitas Sumatera Utara
II.1.4 Dasar Pemilihan Tipe Jembatan Banyak beberapa faktor yang menentukan tipe dari jembatan yang akan dibangun agar bangunan yang akan dibangun efisien dan ekononis. Adapun faktor tersebut antara lain : II.1.4.a Keadaan Struktur Tanah Pondasi Untuk tanah pondasi lunak adalah kurang cocok bila dibuat suatu jembatan pelengkung, mengingat gaya horizontal yang besar dan memerlukan pondasi tiang pancang miring, yang sulit dilaksanakan. Untuk tanah keras atau batu cadas yang menghubungkan jurang yang dalam, sangat cocok bila dibangun jembatan pelengkung. Selain itu juga sangat cocok di bangun di pegunungan yang memiliki tanah pendasar atau pondasi yang curam. Dengan adanya gaya horizontal pada pondasi, maka gaya geser vertikal pada tanah pondasi bisa diimbangi oleh gaya horizontal, sehingga bahaya longsoran dapat dikurangi. II.1.4.b Faktor Peralatan dan Tenaga Teknis Perencanaan jembatan gelagar sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus dalam bidang tertentu. Peralatan berat harus dipikirkan dalam perencanaan sebuah jembatan beton yang dicor di tempat lain. Jembatan beton pratekan (pre-cast) dengan bentang 20 meter, yang akan dibangun di daerah pedalaman atau pegunungan tentunya kurang relevan karena akan sulit dalam pengangkutan dan pelaksanaannya yang akan melalui jalan berliku. II.1.4.c Faktor Bahan dan Lokasi Ada kalanya di sungai tertentu, bila akan dibangun jembatan, dijumpai banyak sekali batu kerikil yang baik untuk beton dan juga pasir dan batu koral yang
Universitas Sumatera Utara
bermutu tinggi. Di sana mungkin akan sangat ekonomis bila jembatan di buat dari beton bertulang, pondasi dari pasangan batu koral dan sebagainya. Di daerah pantai laut, dimana udara sekeliling mengandung garam, maka perlu dipertimbangkan pemakaian konstruksi baja apakah masih sesuai mengingat faktor perkaratan. II.1.4.d Faktor Lingkungan Sebaiknya bentuk jembatan harmonis dengan sekitarnya, agar indah dipandang. Ketentraman bathin menentukan dalam ruang gerak kehidupan manusia. Bentuk dan warna alam sekitar mempengaruhi ketentraman jiwa. Selain faktor di atas, maka perlu dipertimbangkan prinsip pemilihan konstruksi jembatan, sebagai berikut : 1. Konstruksi Sederhana (bisa dikerjakan masyarakat) 2. Harga Murah (manfaatkan material lokal) 3. Kuat & Tahan Lama (mampu menerima beban lalin) 4. Perawatan Mudah & Murah (bisa dilakukan masyarakat) 5. Stabil & Mampu Menahan Gerusan Air 6. Bentang yang direncanakan adalah yang terpendek 7. Perencanaan abutment yang dihindari terlalu tinggi. Tipe jembatan umumnya ditentukan oleh faktor seperti beban yang direncanakan, kondisi geografi sekitar, jalur lintasan dan lebarnya, panjang dan bentang jembatan, estetika, persyaratan ruang di bawah jembatan, transportasi material konstruksi, prosedur pendirian, biaya dan masa pembangunan. Tabel II.1 berikut menunjukkan aplikasi panjang bentang beberapa tipe jembatan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.1 Tipe Jembatan dan Aplikasi Panjang Jembatan No
Tipe Jembatan
Panjang Bentang (m)
Contoh Jembatan dan Panjangnya
1 2 3 4 5 6 7
Gelagar Beton Prestress Gelagar Baja I / Kotak Rangka Baja Baja Lengkung Beton Lengkung Kabel Tarik Gantung
10 - 300 15 - 376 40 - 550 50 - 550 40 - 425 110 - 1100 150 - 2000
Stolmasundet, Norwegia, 301 m Jembatan Stalassa, Itali, 376 m Quebec, Canada, 549 m Shanghai Lupu, China, 550 m Wan Xian, China, 425 m (pipa baja berisi beton) Sutong, China, 1088 m Akaski-Kaikyo, Jepang, 1991 m
II.1.5 Bagian Struktur Jembatan Elemen struktur jembatan sebenarnya dapat dibedakan menjadi bagian atas (super-structure) dan bagian bawah (sub-structure). Bangunan bawah jembatan menyalurkan beban dari bangunan atas jembatan ke tapak atau pondasi.
Gambar II.6 Tipikal Struktur Jembatan (Sumber: Chen & Duan, 2000)
Struktur jembatan bagian atas dipakai untuk melintasi aliran air, jalur rel, ataupun jalur jalan yang lain. Struktur jembatan tidak harus memotong aliran air atau alur lainnya secara tegak lurus, tetapi juga boleh secara serong (skew), baik ke kanan, maupun ke kiri. Alinemen jalan yang lebih baik akan menghasilkan biaya operasi kendaraan dan waktu perjalanan yang lebih kecil, yang dapat mengimbangi tambahan biaya struktur jembatan serong (skew).
Universitas Sumatera Utara
II.1.5.a Struktur Bangunan Atas Jembatan (Upper/Super-Structure) Adalah bagian dari struktur jembatan yang secara langsung menahan beban yang ditimbulkan oleh lalu lintas orang, kenderaan dan lain-lain, untuk selanjutnya disalurkan kepada bangunan bawah jembatan; bagian-bagian pada struktur bangunan atas jembatan terdiri atas struktur utama, sistem lantai, sistem perletakan, sambungan siar muai dan perlengkapan lainnya seperti bangunan pengaman jembatan dan oprit jembatan; struktur utama bangunan atas jembatan dapat berbentuk pelat, gelagar, sistem rangka, gantung, jembatan kabel (cable stayed) atau pelengkung. Oprit-jembatan merupakan timbunan tanah di belakang abutment, timbunan tanah ini dibuat sepadat mungkin, untuk menghindari terjadinya penurunan (settlement) yang tidak disukai bagi pengendara. Apabila terjadi penurunan atau kerusakkan pada hubungan ekspansi yang merupakan bidang pertemuan antara bangunan atas dengan abutment, maka pemadatan harus dibuat maksimum dan di atasnya dipasang plat injak di belakang abutment. II.1.5.b Struktur Bangunan Bawah Jembatan (Sub-Structure) Adalah bagian dari struktur jembatan yang umumnya terletak di sebelah bawah bangunan atas dengan fungsi untuk menerima dan memikul beban dari bangunan atas agar dapat disalurkan kepada pondasi. Bangunan bawah dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu kepala jembatan (abutment) atau pilar (pier) dan pondasi untuk kepala jembatan atau pilar. Struktur bangunan bawah perlu didesain khusus sesuai dengan jenis kekuatan tanah dasar dan elevasi jembatan.
Universitas Sumatera Utara
II.2 Gelagar Beton Prategang II.2.1 Pengertian Beton Prategang Beton adalah meterial yang kuat terhadap kondisi tekan, akan tetapi material yang lemah terhadap kondisi tarik. Kuat tarik beton bervariasi mulai dari 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Rendahnya kapasitas tarik beton menimbulkan terjadinya retak lentur pada taraf pembebanan yang masih rendah. Untuk mengurangi atau mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksentris diberikan dalam arah longitudinal elemen struktural. Gaya ini mencegah berkembangnya retak dengan cara mengeliminasi atau sangat mengurangi tegangan tarik di bagian tumpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja sehingga dapat meningkatkan kapasitas lentur, geser, dan torsional penampang tersebut. Penampang dapat berperilaku elastis, dan hampir semua kapasitas beton dalam memikul tekan dapat secara efektif dimanfaatkan di seluruh tinggi penampang beton pada saat semua beban bekerja di struktur tersebut Gaya longitudinal yang diterapkan tersebut di atas disebut gaya prategang, yaitu gaya tekan yang memberikan prategang pada penampang di sepanjang bentang suatu elemen struktural sebelum bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal atau beban hidup horizontal transien. Gaya prategang ini berupa tendon yang diberikan tegangan awal sebelum memikul beban kerjanya, yang berfungsi mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik pada saat beton mengalami beban kerja, mengantikan tulangan tarik pada struktur beton bertulang biasa.
Universitas Sumatera Utara
Pada beton bertulang biasa, gaya tarik yang berasal dari momen lentur ditahan oleh lekatan yang terjadi antara tulangan dan beton. Akan tetapi, tulangan di dalam komponen struktur beton bertulang tidak memberikan gaya dari dirinya pada komponen struktur tersebut, suatu hal yang berlawanan dengan aksi baja (tendon) prategang yang menghasilkan gaya dari dirinya sehingga memungkinkan pemulihan retak dan defleksi akibat momen lentur tersebut. Pemberian gaya prategang berupa tendon, guna mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik, ini yang dikenal sebagi beton prategang. Beton prategang adalah
material yang sangat banyak digunakan dalam
kontruksi. Beton prategang pada dasarnya adalah beton di mana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Prategang meliputi tambahan gaya tekan pada struktur untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gaya tarik internal dan dalam hal ini retak pada beton dapat dihilangkan. Pada beton bertulang, prategang pada umumnya diberikan dengan menarik baja tulangan. Gaya tekan disebabkan oleh reaksi baja tulangan yang ditarik, mengakibatkan berkurangnya retak, elemen beton prategang akan jauh lebih kokoh dari elemen beton bertulang biasa. Prategangan juga menyebabkan gaya dalam yang berlawanan dengan gaya luar dan mengurangi atau bahkan menghilangkan lendutan secara signifikan pada struktur. Beton yang digunkan dalam beton prategang adalah mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi dengan nilai f’c min K-300, modulus elastis yang tinggi dan mengalami rangkak ultimit yang lebih kecil, yang menghasilkan kehilangan prategang yang lebih kecil pada baja. Kuat tekan yang tinggi ini diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
menahan tegangan tekan pada serat tertekan, pengangkuran tendon, mencegah terjadinya keretakan. Tipikal diagram tegangan-regangan beton dapat dilihat pada gambar II.7. Pemakaian beton berkekuatan tinggi dapat memperkecil dimensi penampang melintang unsur-unsur struktural beton prategang. Dengan berkurangnya berat mati material, maka secara teknis maupun ekonomis bentang yang lebih panjang dapat dilakukan.
Tegangan (Mpa)
Regangan
Gambar II.7 Diagram Tegangan Regangan Pada Beton
Perubahan bentuk pada beton adalah langsung dan tergantung pada waktu. Pada beban tetap, perubahan bentuk bertambah dengan waktu dan jauh lebih besar dibandingkan harga langsungnya. Susut tidak disebabkan oleh tegangan, tetapi merupakan akibat dari hilangnya air dalam proses pengeringan beton, sementara rangkak oleh bekerjanya tegangan. Susut dan rangkak menyebabkan perubahan bentuk aksial, kelengkungan pada penampang, kehilangan tegangan lokal antara beton dan baja, redistribusi aksi internal pada struktur statis tertentu.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2 Penggunaan Baja Prategang Untuk penggunaan pada beban layan yang tinggi, penggunaan baja tulangan (tendon) dan beton mutu tinggi akan lebih efisien. Hanya baja dengan tegangan elastis tinggi yang cocok digunakan pada beton prategang. Penggunaan baja tulangan mutu tinggi bukan saja merupakan suatu keuntungan, tetapi merupakan suatu keharusan. Prategangan akan menghasilkan elemen yang lebih ringan, bentang yang lebih besar dan lebih ekonomis jika ditinjau dari segi pemasangan dibandingkan dengan beton bertulang biasa. Prategang pada dasarnya merupakan suatu beban yang menimbulkan tegangan dalam awal sebelum pembebanan luar dengan besar dan distribusi tertentu bekerja sehingga tegangan yang dihasilkan dari beban luar dilawan sampai tingkat yang diinginkan. Gaya pratekan dihasilkan dengan menarik kabel tendon yang ditempatkan pada beton dengan alat penarik. Setelah penarikan tendon mencapai gaya/tekanan yang direncanakan, tendon ditahan dengan angkur, agar gaya tarik yang tadi dikerjakan tidak hilang. Penarikan kabel tendon dapat dilakukan baik sebelum beton dicor (pre-tension) atau setelah beton mengeras (post-tension). Baja (tendon) yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga macam, yaitu : 1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton prategang dengan system pratarik (pre-tension). 2. Kawat untaian (strand), biasanya digunkan untuk baja prategang pada beton pratengang dengan system pascatarik (post-tension). 3. Kawat batangan (bar), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton prategang dengan system pratarik (pre-tension)
Universitas Sumatera Utara
Kawat tunggal (wires)
(b) Untaian Kawat (strand)
(c) Kawat batangan (bars) Gambar II.8 Jenis-jenis Baja yang Dipakai Untuk Beton Prategang : (a) Kawat tunggal (wires). (b) Untaian Kawat (strand). (c) Kawat batangan (bars) (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai dengan dpesifikasi sepeti ASTM A 421; stress-relieved strands mengikuti standar ASTM A 416. Strands terbuat dari tujuh kawat dengan memuntir enam diantaranya pada pich sebesar 12 sampai 16 kali diameter di sekeliling kawat lurus yang sedikit kebih besar. Ukuran dari kawat tunggal bervariasi dengan diameter antara 3 – 8 m, dengan tengangan tarik (fp) antara 1500 – 1700 Mpa dengan modulus elastisitas Ep = 200 x 103 Mpa. Tipikal diagram tegangan-regangan dari ketiga jenis tendon tersebut dapat dilihat pada gambar II.9, gambar II.10, dan gambar II.11.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.9 Diagram Tegangan-Regangan Pada Kawat Tunggal (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Gambar II.10 Diagram Tegangan-Tegangan Pada Untaian Kawat (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Gambar II.11 Diagram Tegangan-Regangan Pada Baja Batangan (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
Universitas Sumatera Utara
Untuk memaksimumkan luas baja strands 7 kawat untuk suatu diameter nominal, kawat standar dapat dibentuk menjadi strands yang dipadatkan seperti pada gambar II.12. Standar ASTM yang disyaratkan masing-masing tercantum pada table II.2.
Gambar II.12 Strands Prategang 7 Kawat Standard dan Dipadatkan. (a) Penampang strand standar. (b) Penampang strand yang dipadatkan (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Table II.2 Strand Standar Tujuh Kawat Untuk Beton Prategang Diameter nominal strand (in)
Kuat patah strand (min. lb)
Luas baja
Berat nominal
Beban minimum
nominal strand
strand (lb/100
pada ekstensi 1%
2
(in. )
ft)
*
(lb)
MUTU 250 1/4 (0,250)
9.000
0,036
122
7.650
5/16 (0,313)
14.500
0,058
197
12.300
3/8 (0,375)
20.000
0,080
272
17.000
7/16 (0,438)
27.000
0,108
367
23.000
1/2 (0,500)
36.000
0,144
490
30.600
3/5 (0,600)
54.000
0,216
737
45.900
MUTU 270 3/8 (0,375)
23.000
0,085
290
19.550
7/16 (0,438)
31.000
0,115
390
26.350
1/2 (0,500)
41.300
0,153
520
35.100
3/5 (0,600)
58.600
0,217
740
49.800
* 100.000 psi = 689,5 Mpa 0,1 in = 2,54 mm, 1 in2 = 645 berat: kalikan dengan 1,49 untuk mendapatkan berat dalam kg per 1000 m. 1000 lb = 4448 N (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
II.2.3 Prinsip Dasar Prategang Pemberian gaya
prategang,
bersama
besarnya,
ditentukan terutama
berdasarkan jenis sistem yang dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan yang dikehendaki. Gaya pratengang yang diberikan secara longitudinal di sepanjang atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip-prinsip prategang dikenal sebagai pemberian prategang linier.
Gambar II.13 Pinsip-prinsip Prategang Linier dan Melingkar. (a) Pemberian prategang linier pada sederetan blok untuk membentuk balok. (b) Tegangan tekan di penmpang tengah bentang C dan penampang Atau B. (c) Pemberian prategang melingkar pada gentong kayu dengan pemberian tarik pada pita logam. (d) Prategang melingkar pada satu papan kayu. (e) Gaya tarik F pada detengah pita logam akibat tekanan internal, yang harus diimbangi oleh prategang melingkar (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.13 menjelaskan bahwa aksi pemberian prategang pada kedua sestem structural dan respon tegangan yang dihasilkan. Pada bagian (a), blok-blok beton bekerja bersama sebagai sebuah balok pembarian gaya prategang tekan P. Pada blok-blok tersebut kemungkinan tergelincir pda arah vertical yang mensimulasikan kegagalan gelincir geser, pada kenyataan tidak demikian karena adanya gaya longitudinal P. Dengan cara yang sama, papan-papan kayu di dalam bagian (c) kelihatan dapat terpisah satu sama lain sebagai akibat adanya tekanan yang radial internal yang bekerja padanya. Akan tetapi, karena adanya prategang tekan yang diberikan oleh pita logam sebagai prategang melingkar, papan-papan tersebut tetap menyatu.
II.2.4 Konsep-Konsep Dasar Beton Prategang Ada tiga konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : Konsep pertama, Sistem Prategang Untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan Yang Elastis. Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Ini merupakan sebuah pemikiran dari Eugene Freyssnet yang memvisualisasikan beton prategang yang pada dasarnya adalah beton dari bahan yang getas menjadi bhan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beban yang tidak mampu menahan tarikan dana kuat memikul tekanan (umumnya dengan baja mutu tinggi yang ditarik) sedemikiaan sehingga beton yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep inilah lahir kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton. Unumnya telah diketahui bahwa jika tidak ada tegangan
Universitas Sumatera Utara
tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak, dan beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan bahan yang elastis. Dalam bentuk yang sederhana, ditinjau sebuah balok persegi panjang yang diberi gaya prategang oleh sebuah tendon melalui sumbu yang melalui titik berat dan dibebani oleh gaya eksternal, lihat gambar II.14.
Tendon Konsentris (Gaya F)
c.g.c
Gaya diberi Prategang dan Dibebani (F/A + Mc/I)
(F/A
My/I)
My/I
Mc/I
F/A
Akibat Gaya Prategang
Akibat Momen Eksternal M
(F/A - Mc/I)
Akibat F dan M
Gambar II.14 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Konsentris (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Gaya partegang F pda tendon menghasilkan gaya tekan F yang sama pada beton yang juga bekerja pada titik berat tendon. Akibatnya gaya prategang tekan secara merata sebesar
f =
F ..........................................................................................................(2.1) A
akan timbul pada penampang seluas A. jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat sendiri balok, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang akibat M adalah
Universitas Sumatera Utara
f =
My .......................................................................................................(2.2) I
dimana y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah momen inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan adalah
f =
F My ± ................................................................................................(2.3) A I
Kosep kedua, Sistem Prategang Untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi Dengan Beton. Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi (gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan teknan. Dengan demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk melawan momen eksternal, gambar II.15. Hal ini merupakan konsep yang mudah. Dengan beton bertulang, dimana baja menahan gaya tarik dan beton menahan gaya tekan, dan kedua gaya membentuk momen kopel dengan memen diantaranya. P
P
C T Bagian Balok Prategang
C T Bagian Balok Bertulang
Gambar II.15 Momen Penahan Internal Pada Beton Prategang dan Beton Bertulang (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Universitas Sumatera Utara
Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai dengan cara menariknya sebelum kekuatannya dimanfaatkan sepenuhnya. Jika beton mutu tinggi ditanamkan pada beton, seperti pada beton betulang biasa, beton sekitarnya akan mengalami retak sebelum seluruh kekuatan baja digunkan, Gambar II.16.
Pada beton bertulang mengalami retak dan lendutan yang besar
Pada beton prategang mengalami retak dan lendutan yang kecil
Gambar II.16 Balok Beton Menggunakan Baja Mutu Tinggi (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Konsep ketiga, Sistem Prategang untuk Mencapai Keseimbangan Beban. Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang. Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat sendiri sehingga batang yang mengalami lenturan seperti pelat (slab), balok, dan gelagar (girder) tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini memungkinkan transformasi dari batan lentur menjadi batang yang mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik didalam desain maupun analisis dan struktur yang rumit. Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang bekerja pada beton sepanjang
Universitas Sumatera Utara
bentang. Sebagai contoh, sebuah balok prategang diatas dua tumpuan (simple beam) dengan tendon berbentuk parabola seperti Gambar II.17.
h
Tendon Parabola L
Beban Merata Wb
Gambar II.17 Balok Prategang Dengan Tendon Parabola (Sumber: Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin & Ned H. Burns)
Jika,
F = Gaya Pratengang L = Panjang Bentang H = Tinggi Parabola
Beban yang terdistribusi secara merata kea rah atas dinyatakan dalam
Wb =
8 Fh .....................................................................................................(2.4) L2
Jadi, untuk W yang terdistribusi secara merata ke arah bawah yang diberikan, beban tegak lurus pada balok diimbangi, dan balok hanya dibebani oleh gaya aksial F, yang menghasilkan tegangan merata pada beton (persamaan 2.1).
Universitas Sumatera Utara
II.2.5 Sistem Pratengang dan Pengangkeran Sehubungan dengan perbedaan system untuk penarikan dan pengangkeran tendon, maka situasinya sedikit membingungkan dalam perancangan dan penerapan beton prategang. Seorang sarjana teknik wsipil harus mempunyai pengetahuan umum mengenai metode-metode yang ada dan mengingatnya pada saat menentukan dimensi komponen struktur, sehingga tendon-tendon dari beberapa sistem dapat ditempatkan dengan baik.
Gambar II.18 Pengangkeran Sistem Pratarik (Pre-tensioning) (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Berbagai metode dengan nama pratekanan (pre-compression) diberikan pada beton dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pembangkit gaya tekan antara elemen structural dan tumpuan-tumpuannya dengan pemakaian dongkrak (flat jack). 2. Pengembangan Tekanan Keliling (hoop compression) dalam struktur berbentuk silinder dengan mengulung kawat secara melingkar.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemakaian baja yang ditarik secara longitudinal yang ditanam dalam beton atau ditempatkan dalam selongsong. 4. Pemakaian prinsip distorsi suatu struktur statis tak tentu baik dengan perpindahan maupun dengan rotasi satu bagian relatif terhadap bagian lainnya. 5. Pemakaian pemotong baja structural yang dilendutkan dan ditanam dalam beton sampai beton tersebut mengeras. 6. Pengembangan tarikan terbatas pada baja dan tekanan pada beton dengan memakai semen yang mengembang
Gambar II.19 Pengangkeran Sistem Pascatarik (Post-tensioning) dengan Mengunakan jack 1000 ton (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Metode yang biasa dipakai untuk memberikan parategang pada semen beton strukural adalah dengan menarik baja ke arah longitudinal dengan alat penarik yang berbeda-beda. Prategang dengan menggunakan gaya-gaya langsung diantara
Universitas Sumatera Utara
tumpuan-tumpuan umumnya dipakai pelengkung dan perkerasan, dan dongkrak datar selalu dipakai untuk memberikan gaya-gaya yang diinginkan. Pengankeran ada 2 macam yaitu : angker mati dan angker hidup. Angker mati adalah angker yang tidak bias dilakukan lagi penarikan setelah penegangan tendon dilakukan. Angker mati sering digunakan dalam prategang dengan sistem pratarik. Sedangkan angker hidup dapat dilakukan penarikan kembali jika hal itu diperlukan. Pegangkeran ini sering dijumpai dalam prategang dengan sistem pasca tarik.
(a)Angker hidup
(b) Angker mati.
Gambar II.20 Jenis Pengankeran (a) Angker hidup. (b) Angker mati. (Sumber: Prestressed Concrete Design, M.K. Hurst)
Gambar II.21 Penempatan Angker Pada Beton Prategang (Post-tensioning)
Universitas Sumatera Utara
II.2.5.a Sistem Pratarik (Pre-tensioning) Didalam sistem pratarik (Pre-tensioning), tendon lebih dahulu ditarik antara blok-blok angker yang kaku (rigid) yang dicetak diatas tanah atau didalam suatu kolom atau perangkat cetakan pratarik seperti terlihat pada gambar II.22, dan selanjutnya dicor dan dipadatkan sesuai dengan bentuk serta ukuran yang diinginkan. Metode ini digunakan untuk beton-beton pracetak dan biasanya digunakan untuk konstruksi-konstruksi kecil. Beton-beton pracetak biasanya digunakan pada konstruksi-konstruksi bangunan, kolom-kolom gedung, tiang pondasi atau balok dengan bentang yang panjang. Adapun tahap urutan pengerjaan beton pre-tension adalah sebagai berikut : Kabel tendon dipersiapkan terlebih dahulu pada sebuah angkur yang mati (fixed anchorage) dan sebuah angkur yang hidup (live anchorage). Kemudian live anchorage ditarik dengan dongkrak (jack) sehingga kabel tendon bertambah panjang. Jack biasanya dilengkapi dengan manometer untuk mengetahui besarnya gaya yang ditimbulkan oleh jack. Setelah mencapai gaya yang diinginkan, beton dicor. Setelah beton mencapai umur yang cukup, kabel perlahan-lahan dilepaskan dari kedua angkur dan dipotong. Kabel tendon akan berusaha kembali ke bentuknya semula setelah pertambahan panjang yang diakibatkan oleh penarikan pada awal pelaksanaan. Hal inilah yang menyebabkan adanya gaya tekan internal pada beton. Oleh karena sistem pratarik besandar pada rekatan yang timbul antara baja dan tendon sekelilingnya, hal itu penting bahwa setiap tendon harus merekat sepanjang deluruh panjang badan. Setelah beton mengeras, tendon dilepaskan dari alas prapenarikan dan gaya prategang ditranfer ke beton.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.22 Proses Pengerjaan Beton Pratarik (Pre-tensioning) (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
II.2.5.b Sistem Pascatarik (Post-tensioning) Kebanyakan pelaksanaan pretensioning dilapangan dilaksanakan dengan metode post-tensioning. Pascatarik dipakai untuk memperkuat bendungan beton, prategang melingkar dari tangki-tangki beton yang besar, serta perisai-perisai biologis dari reactor nuklir. Pascatarik (Post-tensioning) juga banyak digunakan konstruksi beton prategang segmental pada jembatan dengan bentang yang panjang. Adapun metode dalam pelaksanaan pengerjaan beton pasca tarik (Posttensioning) adalah sebagai berikut : Selongsong kabel tendon dimasukkan dengan posisi yang benar pada cetakan beton beserta atau tanpa tendon dengan salah satu ujungnya diberi angkur hidup dan ujung lainnya angkur mati atau kedua ujungnya dipasang angkur hidup. Beton dicor dan dibiarkan mengeras hingga mencapai umur yang mencukupi. Selanjutnya, dongkrak
Universitas Sumatera Utara
hidrolik dipasang pada angkur hidup dan kabel tendon ditarik hingga mencapai tegangan atau gaya yang direncanakan seperti terlihat pada gambar II.23. Untuk mencegah kabel tendon kehilangan tegangan akibat slip pada ujung angkur terdapat baji. Gaya tarik akan berpindah pada beton sebagai gaya tekan internal akibat reaksi angkur.
(a) Beton dicor
(b) Tendon ditarik dan gaya tekan ditransfer
(c) Tendon diangkur dan digrouting
Gambar II.23 Proses Pengerjaan Beton Pascatarik (Post-tensioning) (Sumber: Desain Praktis Beton Prategang, Andri Budiadi)
II.2.5.c Prategang Termo-Listrik Metode prategang dengan tendon yang dipanaskan, yang dicapai dengan melewatkan aliran listrik pada kawat yang bermutu tinggi, umumnya disebut sebagai “Prategang Termo-Listrik”. Prosesnya terdiri atas pemanasan batang dengan arus listrik sampai temperature 300 – 400 ºC selama 3 – 5 menit. Batang tersebut mengalami perpanjangan kira-kira 0,3 – 0,5 persen. Setelah pendinginan batang tersebut berusaha memperpendek diri ada ini dicegah oleh jepitan angkur pada kedua ujungnya seperti yang ditunjukan dengan gambar II.24. Waktu pendinginan diperhitungkan 12 – 15 menit.
Universitas Sumatera Utara
Batang Didinginkan
L = (Ly -
L) L
Batang Dipanaskan
Lt > Ly
Ly
Batang setelah Pengangkuran Blok Ujung Cetakan
Gambar II.24 Proses Prategang Termo-Listrik (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
II.2.5.d Prategang Secara Kimia Reaksi kimia dalam semen ekspansif dapat menegangkan baja yang ditanam yang kemudian menekan beton. Hal ini sering disebut dengan penegangan sendiri (self-sressing) atau disebut juga prategang kimiawi. Bila semen ini digunakan untuk membuat beton dengan baja yang tertanam, maka baja akan mengalami pertambahan panjang sejalan dengan pemgembangan beton tersebut. Oleh karena pengembangan beton dikekang oleh kawat baja bermutu tinggi, maka timbul tegangan tekan pada beton dan kawat baja mengalami tegangan tarik. Karena pemuaian terjadi pada tiga arah, sehingga akan lebih sulit untuk menggunkan system prategang secara kimia pada struktur-struktur yang dicor setempat seperti gedung. Aka tetapi, untuk pipa-pipa tekanan dan perkerasan jalan (pavement), dimana prategang sekurang-kurangnya pada dua arah, sistem prategang kimiawi lebih ekonomis. Hal ini juga berlaku untuk pelat, dinding, dan cangkang.
Universitas Sumatera Utara
II.2.6 Analisa Prategang Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan kombinasi yang disebabkan oleh beban langsung dan lenturan yang dihasilkan oleh beban yang ditempatkan secara eksentris. Analisa tegangan-tegangan yang timbul pada suatu elemen struktur beton prategang didasarkan atas asumsi-asumsi berikut : 1. Beton prategang adalah suatu mineral yang elastic serta homogen 2. Didalam batas-batas tegangan kerja, baik beton maupun baja berperilaku elastis, tidak dapat menahan rangkak yang kecil yang terjadi pada kedua material tersebut pada pembebanan terus-menerus. 3. Suatu potongan datar sebelum melentur dianggap tetap datar meskipun sudah mengalami lenturan, yang menyatakan suatu distribusi regangan linier pada keseluruhan tinggi batang. Selama tegangan tarik tidak melampaui batas modulus keruntuhan beton (yang sesuai dengan tahap retakan yang terlihat pada beton), setiap perubahan dalam pembebanan batang menghasilkan perubahan tegangan pada beton saja, satu-satunya fungsi dari tendon prategang adalah untuk memberikan dan memelihara prategang pada beton. Tegangan yang disebabkan oleh prategang umumnya merupakan tegangan kombinasi yang disebabkan oleh aksi beban langsung dan lenturan yang dihasilkan oleh beban yang ditempatkan secara eksentris maupun kosentris.
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.a Tedon Konsentris Balok beton prategang dengan satu tedon konsentris yang ditunjukan dalam gambar II.25.
F
Tendon Konsentris
F
(Gaya F)
c.g.c Tegangan = F/A
Gambar II.25 Prategang Konsentris (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
Gambar di atas menunjukkan sebuah beton prategangan tanpa eksentrisitas, tendon berada pada garis berat beton (cental grafity of concrete,c.g.c). Prategang seragam pada beton = F/A yang berupa tekan pada seluruh tinggi balok. Pada umumnya beban-beban yang dipakai dan beban mati balok menimbulkan tegangan tarik terhadap bidang bagian bawah dan ini diimbangi lebih efektif dengan memakai tendon.
Gambar II.26 Distribusi Tegangan Tendon Konsentris
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.b Tendon Eksentris Sebuah balok yang mengalami suatu gaya prategang eksentris sebesar P yang ditempatkan dengan eksentrisitas e. Tendon ditempatkan secara eksentris terhadap titik berat penampang beton. Eksentrisitas tendon akan menambah kemampuan untuk memikul beban eksternal.
F/A = M/W + F.e/W
F/A = M/W – F.e/W Resultan Tegangan
Gambar II.27 Distribusi Tegangan Tendon Eksentris
Eksentisitas akan menambah kemampuan untuk menerima/memikul tegangan tarik yang lebih besar lagi (serat bawah). Prategangan juga menyebabkan perimbangan gaya-gaya dalam komponen beton prategang. Konsep ini terutama terjadi pada beton prategang post-tension.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.28 Gaya-gaya Penyeimbang Beban Pada Tendon Parabola
Tegangan yang ditimbulkan pada serat-serat bagian atas dan bagian bawah balok diperoleh dengan hubungan : P Pe P ey = 1 + 2b ............................................................................(2.5) f bawah = + i A Zb A P Pe P ey = 1 + 2t ...............................................................................(2.6) f atas = − i A Zt A
Dimana : P
= Gaya Prategang (positif apabila menghasilkan tekanan langsung)
E
= Eksentrsitas gaya prategang
A
= Luas potongan melintang batang beton
Zt dan Zb
= Momen penampang serat paling atas dan paling bawah
f atas dan f bawah
= Prategang pada beton yang ditimbulkan pada serat paling atas dan paling bawah (positif apabila tekan dan negatif apabila tarik)
yt dan yb
= Jarak antara serat paling atas dan serat paling bawah terhadap titik berat panampang
i
= Jari-jari girasi
Universitas Sumatera Utara
II.2.6.c Tegangan Resultan pada Suatu Penampang Balok beton yang diperlihatkan pada gamabar II.29 memikul beban hidup dan mati yang terbagi rata dengan q dan g. Balok diprategangkan dengan suatu tendon lurus yang membawa suatu gaya prategang P dengan eksentrisitas e. Tegangan resultan pada suatu penampang beton diperoleh dengan superposisi pengaruh prategang dan tegangan-tegangan lentur yang ditimbulkan oleh bebanbeban tersebut. Jika Mq dan Mg merupakan momen akibat beban hidup dan beban mati pada penampang di tegah bentang. qL2 Mq = 8
gL2 , Mg 8
...........................................................................................(2.7) Beban mati dan beban hidup (g + q)
e
P
P
L
P/A
Pe/Zt
Mg/Zt
+
e
+
Penampang melintang
Pe/Zb
Prategang
( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )
+
+ +
P/A
Mq/Zt
+
+
=
-
-
Mg/Zt
Tegangan akibat beban mati
+
Mq/Zt
Tegangan akibat beban
( P/A - Pe/Zt + Mg/Zt + Mq )
Tegangan resultan
Gambar II.29 Distribusi Tegangan Balok Prategang dengan Tendon Eksentris Beban mati dan Beban Hidup (Sumber: Beton Pratekan, N. Krishna Raju)
Universitas Sumatera Utara
Tegangan-tegangan resultan pada serat-serat beton paling atas dan paling bawah penampang tertentu diperoleh : P Pe Mg Mq .............................................................................(2.8) + f atas = − + Z t A Zt Zt P Pe Mg Mq ...........................................................................(2.9) − f bawah = − − Z b A Zb Zb
II.2.7 Kehilangan Prategang Gaya prategang akan mengalami pengurangan/reduksi saat transfer (jangka pendek) atau saat service (jangka panjang). Kehilangan prategangan saat transfer terjadi sesaat setelah penarikan tendon, sedangkan kehilangan saat service terjadi perlahan-lahan pada saat umur pelayanan dan karena pengaruh waktu. Kehilangan pada saat transfer berupa : • Dudukan angkur pada saat penyaluran gaya (slip) • Friksi akibat kelengkungan tendon pada post-tensioning • Perpendekan elastis beton Kehilangan pada saat service berupa : • Rangkak beton • Susut beton • Relaksasi kabel tendon Kehilangan akibat friksi tendon pada post-tensioning dihitung berdasarkan rumus :
PS = PX e( Kl X + µα ) …………………………………………..………(2.10)
Universitas Sumatera Utara
Bila (KlX+μα) tidak lebih besar dari 0,3 maka kehilangan akibat friksi dihitung sebagai berikut :
PS = PX (1 + Kl X + µα ) ………………………………………….(2.11) Koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ ditentukan secara eksperimental dan harus dibuktikan pada saat penarikan tendon dilakukan. Nilai koefisien friksi akibat wobble K dan kelengkungan μ dapat dilihat pada table II.3 di bawah ini.
Table II.3 Koefisien Friksi Tendon Pasca-tarik
(Sumber: Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung SNI – 3 – 2847 – 2002)
Universitas Sumatera Utara
II.2.8 Pembebanan Jembatan II.2.8.a Beban dan Aksi yang Bekerja Pembebanan untuk merencanakan jembatan jalan raya merupakan dasar dalam menentukan beban-beban dan gaya-gaya untuk perhitungan tegangantegangan yang terjadi pada setiap bagian jembatan jalan raya. Penggunaan pembebanan ini dimaksudkan agar dapat mencapai perencanaan yang aman dan ekonomis sesuai dengan kondisi setempat, tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya, sehingga proses pelaksanaan dalam perencanaan jembatan menjadi efektif.
II.2.8.b Pembebanan Jembatan di Lapangan Berdasarkan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 Pembebanan yang digunakan dalam perencanaan jembatan Sei Belumai (di lapangan) berdasarkan data yang diperoleh adalah sebagai berikut : Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987) II.2.8.b.1 Beban Primer Yang termasuk beban primer adalah : •
Beban Mati
•
Beban Hidup
•
Beban Kejut
•
Gaya Akibat Tekanan Tanah
Universitas Sumatera Utara
1. Beban Mati Dalam menentukan besarnya beban mati tersebut, harus digunakan nilai berat isi untuk bahan-bahan bangunan tersebut dibawah ini : Tabel II.4 Berat Isi untuk Beban Mati (t/m³) (PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987) No.
Bahan Baja tuang Besi tuang Aluminium paduan Beton bertulang/pratekan Beton biasa, tumbuk, siklop Pasangan batu/bata Kayu Tanah, pasir, kerikil (semua dalam keadaan padat) Perkerasan jalan beraspal Air
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berat Bahan per Satuan Isi (t/m3) 7,85 7,25 2,80 2,50 – 2,60 2,20 2,00 1,00 2,00 2,0 – 2,50 1,00
Untuk bahan-bahan yang belum disebut di atas, harus diperhitungkan berat isi yang sesungguhnya. (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
2. Beban Hidup 2.1 Macam Beban Hidup Beban hidup pada jembatan yang ditnjau dinyatakan dalam dua macam, yaitu beban “T” yang merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan beban “D” yang merupakan beban jalur untuk gelagar. 2.2 Lantai kendaraan dan jalur lalu lintas Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Lebar jalur minimum ini harus digunakan untuk menentukan beban “D” perlajur.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah jalur lalu lintas untuk lantai kendaraan dengan lebar 5,50 meter atau lebih ditentukan menurut table I. Utnuk selanjutnya jumlah jalur jembatan ini digunakan dalam menentukan beban “D” pada perhitungan beban “D” pda perhitungan reaksi perletakan. Tabel II.5 Jumlah Jalur Lalu lintas Lebar Lantai Kendaraan
Jumlah Jalur Lalu Lintas
5,50 m sampai dengan 8,25 m
2
Lebih dari 8,25 m sampai dengan 11,25
3
Lebih dari 11,25 m sampai dengan 15,00 m
4
Lebih dari 15,00 m sampai dengan 18,75 m
5
Lebih dari 18,75 m sampai dengan 32,50 m
6
Catatan : Daftar tersebut di atas hanya diguanakn dalam menentukan jumlah jalur pada jemabatan (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
a. Beban “T” Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau system lantai kendaraan jembatan, harus digunakan beban “T” seperti dijelaskan berikut ini : Beban “T” adalah beban yang merupakan beban yang merupakan kendaraan truk yang mempunyai beban roda ganda (dual wheel load) sebesar 10 ton dengan ukuran-ukuran serta kedudukan seperti tertera pada gambar II.30.
Universitas Sumatera Utara
Dimana : a1 = a2 = 30,00 cm b1 = 12,50 cm b2 = 50,00 cm Ms = Muatan rencana sumbu = 20 ton.
Gambar II.30 Pembebanan Truk ”T” PPPJJR (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
b. Beban “D” •
Untuk perhitungan kekuatyan gelagar-gelagar harus digunakan beban “D”. Beban “D” atau beban lajur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q” ton per meter panjang per jalur, dan beban garis “p” ton per jalur lalu lintas tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Beban “D” adalah seperti tertera pada gambar II.31
Gambar II.31 Beban Lajur “D” PPPJJR (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
Besar “q” ditentukan sebagai berikut : q = 2,2 t/m’ …….untuk L < 30 m ………………………………….…..(2.12) x (L – 30) t/m’ ….... untuk 30 m < L < 60 m …...…..(2.13)
q = 2,2 t/m’ –
q = 1,1 (1 +
•
) t/m’ …….untuk L > 60 m ……………………….…….(2.14)
L
= Panjang dalam meter, ditentukan oleh tipe kontruksi jembatan
t/m’
= ton per meter panjang, per lajur
Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan adalah sebagai berikut : Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil dari 5,50 meter, beban “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh lebar jembatan. Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50 meter, beban “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter
Universitas Sumatera Utara
sedangakan selebihnya dibebani hanya separuh “D” (50%), lihat gambar II.32.
Gambar II.32 Ketentuan Penggunaan Beban “D” PPPJJR (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
•
Dalam menentukan beban hidup (beban terbagi rata dan beban garis) perlu diperhatikan ketentuan bahwa : Panjang bentang (L) untuk muatan terbagi rata, sesuai ketentuan dalam perumusan koefisisn kejut Beban hidup per meter lebar jembatan menjadi sebagai berikut : Beban terbagi rata
=
………………….…….(2.15)
Beban garis
=
…………………….…….(2.16)
Angka pembagi 2,75 meter di atas selalu tetap dan tidak tergantung pada jalur lalu lintas. •
Beban
“D” tersebut
harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan pengaruh terbesar pada gelagar.
Universitas Sumatera Utara
c. Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran •
Kontruksi trotoir harus diperhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir, diperhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.
•
Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaraan harus diperhitungkan untuk dapat menahan satu beban horizontal kea rah melintang jembatan sebesar 500 kg/m’ yang bekerja pada puncak kerb yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.
•
Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus diperhitungkan untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoir.
3. Beban Kejut Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran-getaran dan pengaruhpengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis “p” harus dikalikan dengan koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata “q” dan beban “T” tidak dikalikan dengan koefisien kejut. Koefisien Kejut ditentukan dengan rumus ; K = 1 + 20 / (50 + L) …………………….……………………...(2.17) Dimana ; K = Koefisien kejut L = Panjang bentang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan (keadaan statis) dan kedudukna muatan “p”.
Universitas Sumatera Utara
Koefisien kejut tidak diperhitungkan terhadap bangunan bawah, apabila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan. Bila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan maka koefisien kejut diperhitungkan terhadap bangunan bawah. 4. Gaya Akibat Tekanan Tanah Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus direncanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada.
II.2.8.b.2 Beban Sekunder Yang termasuk beban sekunder adalah : •
Beban Angin
•
Gaya Akibat Perbedaan Suhu
•
Gaya Akibat Rangkak dan Susut
•
Gaya Rem dan Traksi
•
Gaya-gaya akibat Gempa Bumi
•
Gaya Gesekan pada Tumpuan-tumpuan bergerak
Pada umumnya beban ini mengakibatkan tegangan-tegangan relatif lebih kecil dari tegangan-tegangan akibat beban primer kecuali gaya akiabat gempa bumi dan gaya gesekan yang kadang-kadang menentukan dan biasanya tergantung dari bentang, bahan, sistem kontruksi, tipe jembatan serta keadaan tempat.
Universitas Sumatera Utara
1. Beban Angin Pengaruh beban angin sebesar 150 kg/m2 pada jembatan ditinjauberdasarkan bekerjanya beban angin horizontal terbagi rata pada bidang vertical jembatan, dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Jumlah luas bidang vertikal bangunan atas jembatan yang dianggap terkena oleh angin ditetapkan sebesar suatu prosentase tertentu terhadap luas bagian-bagian sisi jembatan dan luas bidang vertikal beban hidup. Bidang vertikal beban hidup ditetapkan sebagi suatu permukaan bidang vertikal yang mempunyai tinggi menerus sebesar 2 (dua) meter di atas lantai kendaraan. Dalam menghitung jumlah luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat digunakan ketentuan sebagai berikut : a. Keadaan tanpa beban hidup •
untuk jembatan gelagar penuh diambil sebesar 100% luas bidang sisi jembatan yang langsung terkena angin, ditambah 50% luas bidang sisi lainnya.
•
Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan yang langsung terkena angin, ditambah 15% luas bidang sisi-sisi lainnya.
b. Keadaan dengan beban hidup •
Untuk jembatan diambil sebesar 50% terhadap luas bidang menurut (1.a).
•
Untuk beban hidup diambil sebesar 100% bidang sisi yang langsung terkena angin.
Universitas Sumatera Utara
c. Jembatan menerus di atas lebih dari dua perletakan Untuk perletakan tetap perlu diperhitungkan beban angin dalam arah longitudinal jembatan yang terjadi bersamaan dengan beban angin masing-masing sebesar 40% terhadap luas bidang menurut keadaan (1.a dan 1.b). Pada jembatan yang memerlukan perhitungan pengaruh angin yang teliti, harus diadakan penelitian khusus. 2. Gaya Akibat Perbedaan Suhu Peninjauan diadakan terhadap timbulnya tegangan-tegangan structural karena adanya perubahan bentuk akibat perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan baik yang menggunakan bahan yang sama maupun dengan bahan yang berbeda. Perbedaan suhu ditetapkan sesuai dengan data perkembangan suhu setempat. Pada umumnya pengaruh perbedaan suhu tersebut dapat dihitung dengan mengambil perbedaan suhu untuk : Bangunan baja
:
Perbedaan suhu maksimum-minimum = 30o C Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan = 15o C
Bnguan beton
:
Perbedaan suhu maksimum-minimum = 15o C Perbedaan suhu antaa bagian-bagian jembatan < 10o C, tergantung dimensi penampang
Untuk perhitungan tegangan-tegangan dan pergerakan pada jembatan/bagianbagian jembatan/perletakan akibat perbedaan suhu dapat diambil nilai Modulus Elastisitas Young (E) dan koefisien muai panjang (Є) sesuai table II.6
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.6 Modulus Elastisitas Young (E) dan Koefisien Muai Panjang (Є) Jenis Bahan Baja Beton
Kayu : - Sejajar serat - Tegak lurus serat
E (kg/cm2) 2,1 x 106 2 sampai 4 x 105*
Є per derajat Celcius 12 x 10-6 10 x 10-6
1,0 x 105* 1,0 x 104*
5 x 10-6 50 x 10-6*
*) Tergantung pada mutu bahan (Sumber: Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya PPPJJR SKB. 1.3.28.1987)
3. Gaya Rangkak dan Susut Pengaruh rangkak dan susut bahan beton terhadap kontruksi, harus ditinjau. Besarnya pengaruh tersebut apabila tidak ada ketentuan lain, dapat dianggap senilai dengan gaya yang timbul akibat turunnya sehu sebesar 15o C. 4. Gaya Rem Pengaruh-pengaruh dalam arah memanjang jembatan akibat gaya rem, harus ditinjau. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan pengaruh gaya rem sebesar 5% dari beban “D” tanpa koefisien kejut yang memenuhi semua jalu lalu lintas yang ada, dan dalam satu jurusan. Gaya dem tersebut dianggap bekerja horizontal dalam arah sumbu jemabatan dengan titik tangkap setinggi 1,80 meter di atas permukaan lantai kendaraan. 5. Gaya Akibat Gempa Bumi Jembatan-jembatan yang akan dibangun pada daerah-daerah di mana diperkirakan terjadi pengaruh-pengaruh gempa bumi, harus direncanakan dengan menghitung pengaruh-pengaruh gempa bumi tersebut sesuai denga “Buku Petunjuk Perencanaan Tahan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya 1986”.
Universitas Sumatera Utara
6. Gaya Akibat Gesekan Jembatan harus pula ditinjau terhadap gaya yang timbul akibat gesekan pada tumpuan bergerak, karena adanya pemuaian dan penyusutan dari jembatan akibat perbedaan suhu atau akibat-akibat lain.
II.2.8.b.3 Beban Khusus Yang termasuk beban Khusus adalah : •
Gaya Sentrifugal
•
Gaya Tumbuk pada Jembatan Layang
•
Gaya dan Beban Selama Pelaksanaan
•
Gaya Aliran Air dan Tumbukan Benda-benda Hanyutan
•
Gaya Angkat
Beban-beban dan gaya-gaya selain tersenut di atas perlu diperhatikan, apabila hal tersebut menyangkut kekhususan jembatan, antara lain sistem kontruksi dan tipe jembatan serta keadaan setempat, misalnya gaya pratekan, gaya angkat (buoyancy), dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.c Pembebanan Jembatan Berdasarkan RSNI T – 02 – 2005 Standar Pembebanan Untuk Jembatan II.2.8.c.1 Beban Primer Beban primer adalah beban yang selalu bekerja pada perencanaan bagianbagian utama konstruksi jembatan, yang merupakan beban utama dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan jalan raya. beban Beban primer terbagi atas beberapa beban yaitu beban mati dan beban hidup. 1 Beban Mati a. Beban Mati Sendiri Beban sendiri jembatan adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya yang terdiri dari berat masing-masing bagian struktural dan elemen-elemen non-struktural. Masingmasing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi yang terintegrasi pada waktu menerapkan faktor beban biasa dan faktor beban yang terkurangi. Beban mati terdiri dari beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban mati primer terdiri atas berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder terdiri atas berat kerb, trotoar, tiang sandaran dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor, beban tersebut dianggap terbagi rata diseluruh gelagar. Dalam menetukan besarnya beban mati dan merupakan satu kesatuan dengannya, harus digunakan nilai berat isi untuk bahan-bahan seperti pada tabel II.9.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.7 Ringkasan Aksi-aksi Rencana Aksi No Nama
Lama
Faktor beban pada keadaan batas
Simbol
Waktu
Daya Layan
(1)
(3)
K
Normal
Terkurangi
1
Berat Sendiri
PMS
Tetap
1,0
* (3)
* (3)
2
Beban Mati Tambahan
PMA
Tetap
1,0/1,3
2,0/1,4
0,7/0,8
3
Penyusutan & Rangkak
PSR
Tetap
1,0
1,0
N/A
4
Prategang
PPR
Tetap
1,0
1,0
N/A
5
Tekanan Tanah
PTA
Tetap
1,0
* (3)
* (3)
6
Beban Pelaksanaan Tetap
PPL
Tetap
1,0
1,25
0,8
7
Beban Lajur “D”
TTD
Tran
1,0
1,8
N/A
8
Beban Truk “T”
TTT
Tran
1,0
1,8
N/A
9
Gaya Rem
TTB
Tran
1,0
1,8
N/A
10
Gaya Sentrifugal
TTR
Tran
1,0
1,8
N/A
11
Beban trotoar
TTP
Tran
1,0
1,8
N/A
12
Beban-beban Tumbukan
TTC
Tran
* (3)
* (3)
N/A
13
Penurunan
PES
Tetap
1,0
N/A
N/A
14
Temperatur
TET
Tran
1,0
1,2
0,8
15
Aliran/Benda hanyutan
TEF
Tran
1,0
* (3)
N/A
16
Hidro/Daya apung
TEU
Tran
1,0
1,0
1,0
17
Angin
TEW
Tran
1,0
1,2
N/A
18
Gempa
TEQ
Tran
N/A
1,0
N/A
19
Gesekan
TBF
Tran
1,0
1,3
0,8
20
Getaran
TVI
Tran
1,0
N/A
N/A
21
Pelaksanaan
TCL
Tran
* (3)
* (3)
* (3)
Catatan (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol untuk beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk: PMS = berat sendiri nominal, P*MS = berat sendiri rencana. Catatan (2) Tran = transien. Catatan (3) Untuk penjelasan lihat Pasal pada peraturan RSNI T-02-2005 yang sesuai. Catatan (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal di mana pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol.
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.8 Faktor Beban untuk Berat Sendiri FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU
TETAP
Baja, aluminium Beton pra cetak Beton dicor di tempat Kayu
1,0 1,0 1,0 1,0
Biasa 1,1 1,2 1,3 1,4
Terkurangi 0,9 0,85 0,75 0,7
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Besarnya kerapatan masa dan berat isi untuk berbagai macam bahan diberikan dalam tabel II.6. Tabel II.9 Berat Isi untuk Beban Mati (kN/m³) No.
Bahan
Berat Bahan per Satuan Isi (kN/m3)
Kerapatan Masa (kg/m3)
1
Campuran aluminium
26.7
2720
2
Lapisan permukaan beraspal
22.0
2240
3
Besi tuang
71.0
7200
4
Timbunan tanah dipadatkan
17.2
1760
5
Kerikil dipadatkan
18.8-22.7
1920-2320
6
Aspal beton
22.0
2240
7
Beton ringan
12.25-19.6
1250-2000
8
Beton
22.0-25.0
2240-2560
9
Beton prategang
25.0-26.0
2560-2640
10
Beton bertulang
23.5-25.5
2400-2600
11
Timbal
111
11 400
12
Lempung lepas
12.5
1280
13
Batu pasangan
23.5
2400
14
Neoprin
11.3
1150
15
Pasir kering
15.7-17.2
1600-1760
16
Pasir basah
18.0-18.8
1840-1920
17
Lumpur lunak
17.2
1760
18
Baja
77.0
7850
19
Kayu (ringan)
7.8
800
20
Kayu (keras)
11.0
1120
21
Air murni
9.8
1000
22
Air garam
10.0
1025
23
Besi tempa
75.5
7680
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
b. Berat Mati Tambahan atau Utilitas Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk elemen non struktural dan menjadi satu beban pada jembatan dan besarnya dapat berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu harga KMA yang telah berkurang boleh digunakan dengan persetujuan instansi berwenang. Hal ini bisa dilakukan bila instansi tersebut mengawasi beban mati tambahan sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan. Kecuali ditentukan oleh instansi berwenang, semua jembatan harus direncanakan untuk bisa memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan kembali dikemudian hari. Lapisan ini harus ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam gambar. Pelapisan kembali merupakan beban nominal yang dikaitkan dengan faktor beban untuk mendapatkan beban rencana. Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih, saluran air kotor dan lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga kondisi yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
Tabel II.10 Faktor Beban untuk Beban Mati Tambahan FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU
TETAP
Biasa
Terkurangi
Keadaan Umum
1,0 (1)
2,0
0,7
Keadaan Khusus
1,0
1,4
0,8
Catatan (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
2 Beban Hidup Beban hidup adalah semua baban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan yang bergerak/lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang mana dianggap bekerja pada struktur jembatan. Beban hidup pada jembatan merupakan beban bergerak yang bekerja pada jembatan. a. Beban Lalu Lintas Lajur lalu lintas rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam table II.11. Lajur lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.
Tabel II.11 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana Tipe Jembatan (1)
Lebar Jalur Kendaraan (m) (2)
Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (nl)
4,0 - 5,0
1
Dua arah, tanpa median
5,5 - 8,25 11,3 - 15,0
2 (3) 4
Banyak arah
8,25 - 11,25 11,3 - 15,0 15,1 - 18,75 18,8 - 22,5
3 4 5 6
Satu lajur
Catatan (1) Untuk jembatan lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi berwenang. Catatan (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb dengan median untuk banyak arah. Catatan (3) Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6.0 m. Lebar jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban truk "T". Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana. Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu, sedangkan beban "T" digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. a.1 Beban lajur “D” Intensitas dari Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam gambar II.33.
Gambar II.33 Beban Lajur “D” RSNI T-02-2005 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.12 Faktor Beban Akibat Beban Lajur “D” FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
•
Beban Terbagi Rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang
total yang dibebani L seperti berikut: L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa…………………………………………………...(2.18)
L > 30 m : q = 9,0
kPa…………………………………….(2.19)
dengan pengertian q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan, sedangkan L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter). Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar II.34.
Gambar II.34 BTR Berbanding dengan Panjang yang Dibebani (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Panjang yang dibebani (L) adalah panjang total beban yang bekerja pada jembatan. Beban mungkin harus dipecah guna mendapat pengaruh maksimum pada jembatan. Dalam hal ini L adalah jumlah dari masing-masing panjang beban yang dipecah seperti terlihat dalam gambar II.35.
Universitas Sumatera Utara
•
Beban Garis (BGT) Dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap lalu lintas
jembatan. Besar intensitas p = 49 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum jembatan menerus, BGT kedua identik harus ditempatkan pada posisi dalam dengan arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Ini bisa dilihat dalam gambar II.35.
Gambar II.35 Susunan Pembebanan “D” (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : •
Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %.
•
Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan, dengan intensitas 100 %. Hasilnya berupa beban garis ekuivalen nl x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar nl x 2,75 m.
•
Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %. Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam gambar II.36.
Gambar II.36 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
a.2 Pembebanan Truk "T" Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam gambar II.37. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Gambar II.37 Pembebanan Truk “T” (500 kN) RSNI T-02-2005 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.13 Faktor Beban Akibat Pembebanan Truk “T” FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu truk yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk "T" ditempatkan ditengah lajur lalu lintas rencana seperti dalam gambar II.37. Jumlah lajur lalu lintas rencana lebih kecil bisa digunakan dalam perencanaan apabila
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan pengaruh lebih besar. Jumlah lajur lalu lintas rencana harus digunakan dalam nilai bulat dan ditempatkan dimana saja pada lajur jembatan. Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan menyebar beban truk tunggal “T” pada balok memanjang sesuai dengan faktor yang diberikan dalam tabel II.14. Tabel II.14 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T” Jenis Bangunan Atas
Jembatan Jalur Tunggal
Jembatan Jalur Majemuk
S/4,2 (bila S > 3,0 m-lihat Cat. 1) S/4,0 (bila S > 1,8 m-lihat Cat. 1) S/4,8 (bila S > 3,7 m-lihat Cat. 1)
S/3,4 (bila S > 4,3 m-lihat Cat.1) S/3,6 (bila S > 3,0 m-lihat Cat. 1) S/4,2 (bila S > 4,9 m-lihat Cat.1)
Lantai papan kayu
S/2,4
S/2,2
Lantai baja gelombang tebal 50 mm atau lebih
S/3,3
S/2,7
S/2,6 S/3,6 (bila S > 3,6 m-lihat Cat. 1)
S/2,4 S/3,0 (bila S > 3,2 m-lihat Cat. 1)
Pelat lantai beton di atas: . Balok baja I atau balok beton pra tekan -. Balok beton bertulang T -. Balok kayu
Kisi-kisi baja : Kurang dari tebal 100 mm Tebal 100 mm atau lebih
Catatan 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan anggapan lantai antara gelagar sebagai balok sederhana. Catatan 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebarkan oleh S/faktor≥ 0,5. Catatan 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang (m).
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Bentang efektif (S) diambil sebagai berikut: •
Untuk plat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding, S = bentang bersih.
•
Untuk plat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih + setengah lebar duduk tumpuan
Universitas Sumatera Utara
3. Tekanan Tanah Pengaruh diperhitungkan dalam perencanaan, dengan menggunakan beban mati dari jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum. Tabel II.15 Faktor Beban Akibat Tekanan Tanah FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU
TETAP
DESKRIPSI Biasa
Terkurangi
Tekanan tanah vertikal
1,0
1,25 (1)
0,80
Tekanan tanah lateral - aktif - pasif - keadaan diam
1,0 1,0 1,0
1,25
0,80
1,40
0,70
lihat penjelasan
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung dari sifat-sifat tanah. Sifatsifat tanah (kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam dan lain sebagainya) bisa diperoleh dari hasil pengukuran dan pengujian tanah. Tekanan tanah lateral mempunyai hubungan yang tidak linier dengan sifatsifat bahan tanah. Tekanan tanah lateral daya layan dihitung berdasarkan harga nominal ws, c dan φ. Sedangkan tekanan tanah lateral ultimit dihitung dengan menggunakan harga nominal dari ws dan harga rencana dari c dan φ. Harga rencana dari c dan φ diperoleh dari harga nominal dengan menggunakan Faktor Pengurangan Kekuatan KR, seperti dalam table II.16. Tekanan tanah lateral yang diperoleh masih berupa harga nominal dan selanjutnya harus dikalikan dengan Faktor Beban yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam umumnya tidak diperhitungkan pada keadaan batas ultimit, maka faktor beban yang digunakan menghitung harga rencana dari tekanan tanah dalam keadaan diam harus seperti tekanan tanah dalam keadaan aktif. Faktor beban daya layan tekanan tanah dalam keadaan diam adalah 1.0, tetapi dalam pemilihan harga nominal yang memadai untuk tekanan harus hatihati. Tabel II.16 Sifat Tanah untuk Tekanan Tanah Keadaan Batas Ultimit
Sifat Bahan untuk Menghitung Tekanan Tanah Aktif: (1)
ws* φ* c*
= = =
Biasa
Terkurangi
ws
ws tan φ )
tan-1 (
tan-1 [(tan φ) / c/
(3)
Pasif: (1) Vertikal:
ws* φ* c* ws*
= = = =
ws tan-1 [(tan φ) /
]
ws ]
tan φ )
tan-1 (
c/
(3)
ws
ws
Catatan (1) Harga rencana untuk geseran dinding, δ*, dihitung dengan cara sama seperti φ* Catatan (2) dan adalah faktor reduksi kekuatan bahan Catatan (3) Nilai φ* dan c* minimum berlaku umum untuk tekanan tanah aktif dan pasif (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tanah dibelakang dinding penahan biasanya mendapatkan beban tambahan yang bekerja apabila beban lalu lintas bekerja pada bagian daerah keruntuhan aktif teoritis. Besarnya beban tambahan ini adalah setara dengan tanah setebal 0,6 m yang bekerja secara merata pada bagian tanah yang dilewati oleh beban lalu lintas tersebut. Beban tambahan ini hanya diterapkan untuk menghitung tekanan tanah dalam arah lateral saja, dan faktor beban yang digunakan harus sama seperti yang telah ditentukan dalam menghitung tekanan tanah arah lateral. Faktor pengaruh pengurangan dari beban tambahan ini harus nol.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.38 Tambahan Beban Hidup (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
4. Faktor Beban Dinamis Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung frekuensi dasar dari suspensi kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai beban statis ekuivalen. Besarnya BGT dari pembebanan lajur "D" dan beban roda dari Pembebanan Truk "T" harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya nilai tambah dinyatakan dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan dan batas ultimit.
Universitas Sumatera Utara
•
Untuk pembebanan "D" Faktor beban dinamis merupakan fungsi panjang bentang ekuivalen seperti
dalam gambar II.39. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus: ………………………………………………..……(2.20) dengan pengertian : Lav adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan secara menerus Lmax adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang disambung secara menerus.
Gambar II.39 Faktor Beban Dinamis BGT serta Pembebanan Lajur “D” (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
•
Untuk pembebanan truk "T" Faktor beban dinamis diambil 30%. Harga faktor beban dinamis yang
dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada di atas permukaan tanah. Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada di bawah garis permukaan, harga faktor beban dinamis harus diambil sebagai peralihan linier dari harga pada garis permukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m. Untuk bangunan yang terkubur, seperti halnya gorong-gorong dan struktur baja-tanah, harga faktor beban dinamis jangan diambil kurang dari 40 % untuk kedalaman nol dan jangan kurang dari 10 % untuk kedalaman 2 m. Untuk kedalaman antara bisa di interpolasi linier. Harga FBD yang digunakan untuk kedalaman yang dipilih harus diterapkan untuk bangunan seutuhnya.
5. Pembebanan untuk Pejalan Kaki Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari luas yang dibebani seperti pada gambar II.40. Luas yang dibebani adalah luas yang terkait dengan elemen bangunan yang ditinjau. Untuk jembatan, pembebanan lalu lintas dan pejalan kaki jangan diambil secara bersamaan pada keadaan batas ultimit (lihat table II.17). Bila trotoar memungkinkan digunakan kendaraan ringan atau ternak, maka trotoar harus direncanakan untuk bisa memikul beban hidup terpusat sebesar 20 kN.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.40 Pembebanan untuk Pejalan Kaki (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.17 Faktor Beban Akibat Pembebanan untuk Pejalan Kaki FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
II.2.8.c.2 Beban Sekunder Beban sekunder adalah muatan sederhana pada jembatan yang dipergunakan untuk perhitungan tegangan jembatan. Umumnya beban ini mengakibatkan tegangan yang relatif lebih kecil dari tegangan primer, yang biasanya tergantung pada bentang, sistem jembatan, bahan yang ada pada rencana jembatan.
Universitas Sumatera Utara
1. Gaya Rem Bekerjanya gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5 % dari beban lajur D dan dianggap pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan faktor beban dinamis dalam satu jurusan. Gaya rem dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D jangan direduksi bila panjang bentang melebihi 30 m, gunakan rumus (2.18) q = 9 kPa. Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan bangunan bawah, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser perletakan ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungkan. Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas vertikal. Jika beban lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh gaya rem (seperti hitungan stabilitas guling dari pangkal jembatan), maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40 % boleh digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal.
Tabel II.18 Faktor Beban Akibat Gaya Rem FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.41 Gaya Rem per Lajur 2,75 m (KBU) (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
2. Aksi Lingkungan Aksi lingkungan memasukkan pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa dan penyebab alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan, dihitung berdasarkan
analisa
statistik
dari
kejadian
umum
yang
tercatat
tanpa
memperhitungkan hal khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat. Perencana mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi kejadian khusus setempat dan harus memperhitungkannya dalam perencanaan.
a. Beban Akibat Penurunan Jembatan direncanakan untuk menahan penurunan yang diperkirakan terjadi, atau selisih penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi pada struktur tanah. Penurunan dapat diperkirakan dari pengujian yang dilakukan terhadap bahan fondasi yang digunakan. Apabila perencana memutuskan untuk tidak melakukan pengujian akan tetapi besarnya penurunan diambil sebagai suatu anggapan, maka nilai anggapan tersebut merupakan batas atas dari penurunan yang bakal terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Apabila nilai penurunan besar, perencanaan bangunan bawah dan bangunan atas harus memuat ketentuan khusus untuk mengatasi penurunan. Tabel II.19 Faktor Beban Akibat Penurunan FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
Tak bisa dipakai
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
b. Pengaruh Temperatur atau Suhu Pengaruh temperatur dibagi menjadi: •
Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi temperatur rata-rata berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam tabel II.22. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi diberi dalam tabel II.23. Perencana harus menentukan besarnya temperatur jembatan rata-rata yang diperlukan untuk memasang sambungan siar muai, perletakan dan lainnya, serta harus memastikan bahwa temperatur tercantum pada gambar rencana.
•
Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari diwaktu siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari seluruh permukaan jembatan diwaktu malam. Gradien temperatur nominal arah vertikal untuk berbagai tipe bangunan atas diberikan dalam tabel II.20.
Universitas Sumatera Utara
Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang.
Tabel II.20 Gradien Perbedaan Temperatur Jenis Jembatan
Tipe Potongan Melintang
Gradien Temperatur Efektif
1. Balok Beton dan Pelat, atau Pelat saja
2. Gelagar Beton Tipe Box
3. Lantai Beton pada Rangka Baja, palung, box atau gelagar ‘I’
Kunci : Gradien Perbedaan Temperatur Positif Gradien Perbedaan Temperatur Negatif Catatan : Gradien lantai berongga berlaku untuk ketebalan lantai (termasuk fillet) dengan d < 300 mm. Oleh karena itu, suatu atau sebagian pelat lantai di atas rongga tipe box dengan ketebalan > 300 mm harus menurut gradien temperatur efektif arah vertikal seperti terlihat dalam gambar. No
Lokasi Jembatan
Tp
1 2
Lebih kecil dari 500 m di atas permukaan laut Lebih besar dari 500 m di atas permukaan laut
12oC 17oC
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.21 Faktor Beban Akibat Pengaruh Temperatur atau Suhu FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU Biasa 1,2
1,0
TRANSIEN
Terkurangi 0,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.22 Temperatur Jembatan Rata-rata Nominal Tipe Bangunan Atas
Temperatur Jembatan Rata-rata Minimum (1)
Temperatur Jembatan Rata-rata Maksimum
15oC
40oC
15oC
40oC
15oC
45oC
Lantai beton di atas gelagar atau boks beton Lantai beton di atas gelagar, boks atau rangka baja Lantai
pelat
baja
di
atas
gelagar, boks atau rangka baja
Catatan (1) Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5°C untuk lokasi yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.23 Sifat Bahan Rata-rata Akibat Pengaruh Temperatur Bahan Baja Beton: Kuat tekan < 30 MPa Kuat tekan > 30 MPa Aluminium
Koefisien Perpanjangan Akibat Suhu 12 x 10-6 per oC
Modulus Elastisitas MPa 200.000
10 x 10-6 per oC 11 x 10-6 per oC 24 x 10-6 per oC
25.000 34.000 70.000
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
3. Beban Angin Pengaruh beban angin rencana Hw, dihitung dengan : Hw = 0,0006 Cw (Vw)2 As [kN] ...............................................................(2.21) Dimana ; VW adalah kecepatan angin tencana (m/dtk) Cw adalah koefisien seret yang ditentukan dari tabel II.24 As adalah luas bagian samping dari bangunan untuk rambu lalu lintas atau penerangan
Tabel II.24 Faktor Beban Akibat Beban Angin FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,2
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.25 Koefisien Seret Untuk Rambu Jalan Uraian Panel tanda lalu lintas : • Perbandingan lebar/tinggi =
Koefisien seret Cw 1,0 2,0 5,0 10,0 15,0
1,18 1,19 1,20 1,23 1,30
Pencahayaan : Bentuk bulat 0,5 Bentuk segi empat, sisi datar 1,2 Tanda lalu lintas 1,2 Catatan (1) untuk harga antara gunakan interpolasi linier (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
4. Pengaruh Penyusutan dan Rangkak Pengaruh diperhitungkan dalam perencanaan, dengan menggunakan beban mati dari jembatan. Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum.
Tabel II.26 Faktor Beban Akibat Penyusutan dan Rangkak FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU 1,0
TETAP
1,0
Catatan (1) Walaupun rangkak dan penyusutan bertambah lambat menurut waktu akan tetapi pada akhirnya akan mencapai harga yang konstan (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
5. Pengaruh Gempa Permukaan air rendah dan tinggi harus ditentukan selama umur bangunan guna menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung pengaruh tekanan hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan. Pengaruh gempa rencana hanya ditinjau pada keadaan batas ultimit.
Tabel II.27 Faktor Beban Akibat Pengaruh Gempa JANGKA WAKTU TRANSIEN
FAKTOR BEBAN
Tidak dapat digunakan
1,0
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
a. Beban Horizontal Statis Ekuivalen Metoda untuk menghitung beban statis ekuivalen untuk jembatan, dimana analisa statis ekuivalen adalah sesuai. Untuk jembatan besar, rumit dan penting mungkin diperlukan analisa dinamis. Beban rencana gempa minimum diperoleh dari rumus berikut: …………………………………………………….(2.22) ……………………………………………………….….(2.23)
Dimana : dengan pengertian : adalah Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN) Kh
adalah Koefisien beban gempa horisontal
C
adalah Koefisien geser dasar waktu dan kondisi setempat yang sesuai
I
adalah Faktor kepentingan
S
adalah Faktor tipe bangunan
WT
adalah Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN)
b. Koefisien Geser Dasar (C) Koefisien geser dasar diperoleh dari gambar II.42 dan sesuai daerah gempa, fleksibilitas tanah di bawah permukaan dicantumkan berupa garis dan waktu getar bangunan. gambar II.42 untuk menentukan pembagian daerah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.42 Koefisien Geser Dasar (C) Plastis untuk Analisis Statis (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
(Sumber : Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI-T-02-2005)
Gambar II.43 Wilayah Gempa Indonesia untuk Periode Ulang 500 Tahun
Kondisi tanah di bawah permukaan didefinisikan sebagai teguh, sedang dan lunak sesuai kriteria yang tercantum pada tabel II.27. Untuk jelasnya, perubahan titik pada garis dalam gambar II.42 diberikan dalam tabel II.27. Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan menghitung geser dasar harus dihitung dari analisa seluruh elemen bangunan yang memberi kekakuan dan fleksibilitas dari sistem fondasi. Untuk bangunan dengan satu derajat kebebasan, rumus berikut bisa digunakan:
……………………………………………………………..…(2.24) dengan pengertian : T
ialah waktu getar dalam detik untuk free body dengan satu derajat kebebasan
g
adalah percepatan gravitasi (m/dtk2)
WTP adalah berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan ditambah setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan) (kN) Kp
adalah kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.28 Kondisi Tanah untuk Koefisien Geser Dasar Tanah Teguh
Tanah Sedang
Tanah Lunak
Untuk seluruh jenis tanah
≤3m
> 3 m sampai 25 m
> 25 m
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser undrained rata-rata tidak melebihi 50 kPa:
≤6m
> 6 m sampai 25 m
> 25 m
Pada tempat dimana hamparan tanah salah satunya mempunyai sifat kohesif dengan kekuatan geser undrained ratarata lebih besar dari 100 kPa, atau tanah berbutir yang sangat padat:
≤9m
> 9 m sampai 25 m
> 25 m
Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser undrained rata-rata tidak melebihi 200 kPa:
≤ 12 m
> 12 m sampai 30 m
> 30 m
Untuk tanah berbutir dengan ikatan matrik padat:
≤ 20 m
> 20 m sampai 40 m
> 40 m
Jenis Tanah
Catatan (1)
Ketentuan ini harus digunakan dengan mengabaikan apakah tiang pancang diperpanjang sampai lapisan tanah keras yang lebih dalam (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.29 Titik Belok Untuk Garis Dalam Gambar II.42 Daerah No.
"T"
"C"
"T"
"C"
"T"
"C"
0,40 0,80 0,40 0,70 0,40 0,60
0,20 0,13 0,17 0,11 0,14 0,10
4
-
0,10
5
-
0,10
0,40 1,20 0,40 1,10 0,40 0,90 0,40 0,75 0,40 0,80
0,23 0,13 0,21 0,11 0,18 0,10 0,15 0,10 0,12 0,10
6
-
0,06
-
0,06
0,60 1,50 0,60 1,70 0,55 1,30 0,60 0,95 0,60 1,50 0,60 0,80
0,23 0,13 0,21 0,11 0,18 0,10 0,15 0,10 0,12 0,10 0,07 0,06
1 2 3
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.30 Faktor Kepentingan 1
Jembatan memuat lebih dari 2000 kendaraan/hari, jembatan pada jalan raya utama atau arteri dan jembatan dimana tidak ada rute alternatif.
1,2
2
Seluruh jembatan permanen lain, dimana ada rute alternatif, tidak termasuk jembatan direncanakan pembebanan lalu lintas dikurangi.
1,0
3
Jembatan sementara (misal: Bailey) dan jembatan yang direncanakan untuk pembebanan lalu lintas yang dikurangi sesuai dengan pasal 6.5.
0,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.31 Faktor Tipe Bangunan Tipe Jembatan(1)
Jembatan dengan Daerah Sendi Beton Bertulang atau Baja
Tipe A (3) Tipe B (3) Tipe C
1,0 F 1,0 F 3,0
Jembatan dengan Daerah Sendi Beton Prategang Prategang Parsial(2) Prategang Penuh(2)
1,15 F 1,15 F 3,0
1,3 F 1,3 F 3,0
Catatan (1) Jembatan mungkin mempunyai tipe bangunan yang berbeda pada arah melintang dan memanjang, dan tipe bangunan yang sesuai harus digunakan untuk masing arah. Catatan (2) Yang dimaksud dalam tabel ini, beton prategang parsial mempunyai prapenegangan yang cukup untuk kira-kira mengimbangi pengaruh dari beban tetap rencana dan selebihnya diimbangi oleh tulangan biasa. Beton prategang penuh mempunyai prapenegangan yang cukup untuk mengimbangi pengaruh beban total rencana. Catatan (3) F = Faktor perangkaan = 1,25 – 0,025 n ; F ≥ 1,00 n = jumlah sendi plastis yang menahan deformasi arah lateral pada masing bagian monolit dari jembatan yang berdiri sendiri (misalnya : bagian yang dipisahkan oleh sambungan siar muai yang memberikan keleluasan untuk bergerak dalam arah lateral secara sendirisendiri) Catatan (4) Tipe A : jembatan daktail (bangunan atas bersatu dengan bangunan bawah) Tipe B : jembatan daktail (bangunan atas terpisah dengan bangunan bawah) Tipe C : jembatan tidak daktail (tanpa sendi plastis) (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Perhatikan bahwa jembatan biasanya mempunyai waktu getar yang berbeda pada arah memanjang dan melintang sehingga beban rencana statis ekuivalen yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing arah.
Universitas Sumatera Utara
c. Ketentuan Khusus Untuk Pilar Tinggi Untuk pilar tinggi berat pilar dapat menjadi cukup besar untuk mengubah respons bangunan akibat gerakan gempa, maka beban statis ekuivalen arah horisontal pada pilar harus disebarkan sesuai dengan gambar II.44.
Gambar II.44 Beban Gempa pada Pilar Tinggi (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
d. Beban Vertikal Statis Ekuivalen Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya gempa vertikal dihitung dengan menggunakan percepatan vertikal (ke atas atau ke bawah) sebesar 0.1 g, yang harus bekerja secara bersamaan dengan gaya horisontal. Gaya ini jangan dikurangi oleh berat sendiri jembatan dan bangunan pelengkapnya. Gaya gempa vertikal bekerja pada bangunan berdasarkan pembagian massa, dan pembagian gaya gempa antara bangunan atas dan bangunan bawah harus sebanding dengan kekakuan relatif dari perletakan atau sambungannya. e. Tekanan Tanah Lateral Akibat Gempa Gaya gempa arah lateral akibat tekanan tanah (tekanan tanah dinamis) dihitung dengan menggunakan faktor harga dari sifat bahan, koefisien geser dasar C diberikan dalam tabel II.31 dan faktor kepentingan I diberikan dalam tabel II.29.
Universitas Sumatera Utara
Faktor tipe struktur S untuk perhitungan kh harus diambil sama dengan 1,0. Pengaruh dari percepatan tanah arah vertikal bisa diabaikan. Tabel II.32 Koefisien Geser Dasar untuk Tekanan Tanah Lateral Koefisien Geser Dasar C Daerah Gempa
(1)
1 2 3 4 5 6
Tanah Teguh
Tanah Sedang
Tanah Lunak
(2)
(2)
(2)
0,20 0,17 0,14 0,10 0,07 0,06
0,23 0,21 0,18 0,15 0,12 0,06
0,23 0,21 0,18 0,15 0,12 0,07
Catatan (1) Daerah gempa bisa dilihat dalam Gambar 14. Catatan (2) Definisi dari teguh, sedang dan lunak dari tanah di bawah permukaan diberikan dalam Tabel 30. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
f. Bagian Tertanam dari Jembatan Bila bagian jembatan, seperti kepala jembatan (abutments) tertanam, faktor tipe bangunan, (S) yang akan digunakan dalam menghitung beban statis ekuivalen akibat massa bagian tertanam, harus ditentukan sebagai berikut: •
Bila bagian tertanam dari struktur dapat menahan simpangan horisontal yang besar (konsisten dengan gerakan gempa) sebelum runtuh, dan sisa struktur dapat mengikuti simpangan tersebut, maka S untuk bagian tertanam harus diambil sebesar 1,0.
•
Bila bagian tertanam dari struktur tidak dapat menahan simpangan horisontal besar, atau bila sisa struktur tidak dapat mengikuti simpangan tersebut, maka S untuk bagian tertanam harus diambil sebesar 3,0. Koefisien geser dasar, C, untuk bagian tertanam struktur, harus sesuai dengan tabel II.31.
Universitas Sumatera Utara
g. Tekanan Air Lateral Akibat Gempa Gaya gempa arah lateral akibat tekanan air ditentukan dalam tabel II.32. Gaya ini dianggap bekerja pada bangunan pada kedalaman sama dengan setengah dari kedalaman air ratarata. Ketinggian permukaan air yang digunakan untuk menentukan kedalaman air rata-rata harus sesuai dengan: •
untuk arus yang mengalir, ketinggian yang diambil dalam perencanaan adalah yang terlampaui untuk rata-rata enam bulan untuk setiap tahun;
•
untuk arus pasang, diambil ketinggian permukaan air rata-rata. Tabel II.33 Gaya air lateral akibat gempa Tipe Bangunan
Gaya Air Horisontal
Tipe dinding yang menahan air pada satu sisi
0,58*Kh*I*wo*b*h2
Kolom :
b / h ≤ 2,0
0,75*Kh*I*wo*h*b2 [1-b/(4h)]
2 < b / h ≤ 3,1
1,17*Kh*I*wo*b*h2
3,1 < b / h
0,38*Kh*I*wo*h*b2
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
dengan pengertian : Kh adalah koefisien pembebanan gempa horisontal, seperti didefinisikan dalam persamaan (2.23) I
adalah faktor kepentingan dari tabel II.29
wo adalah berat isi air, bisa diambil 9,8 kN/m3 b
adalah lebar dinding diambil tegak lurus dari arah gaya (m)
h
adalah kedalaman air (m)
Universitas Sumatera Utara
6. Aksi Lainnya Gesekan pada perletakan termasuk pengaruh kekakuan geser dari perletakan elastomer. Gaya akibat gesekan pada perletakan dihitung dengan menggunakan hanya beban tetap, dan harga rata-rata dari koefisien gesekan (atau kekakuan geser apabila menggunakan perletakan elastomer). Tabel II.34 Faktor Beban Akibat Gesekan pada Perletakan FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
Biasa
Terkurangi
1,3
0,8
Catatan (1) Gaya akibat gesekan pada perletakan terjadi selama adanya pergerakan. pada bangunan atas tetapi gaya sisa mungkin terjadi setelah pergerakan berhenti. Dalam hal ini gesekan perletakan harus memperhitungkan pengaruh tetap yang besar. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
II.2.8.c.3 Beban Khusus Beban yang merupakan beban-beban dan gaya-gaya khusus untuk perhitungan tegangan pada perencanaan jembatan. Beban yang juga perlu diperhatikan dimana hal tersebut menyangkut kekhususan jembatan, antara lain sistem kontruksi dan tipe jembatan serta keadaan setempat, misalnya : 1. Gaya Sentrifugal Jembatan yang berada pada tikungan harus memperhitungkan bekerjanya suatu gaya horisontal radial yang dianggap bekerja pada tinggi 1,8 m di atas lantai kendaraan. Gaya horisontal tersebut harus sebanding dengan beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis. Beban lajur D disini tidak boleh direduksi bila panjang bentang melebihi 30 m. Untuk kondisi ini rumus (2.28), dimana q = 9 kPa berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Gaya sentrifugal harus bekerja secara bersamaan dengan pembebanan "D" atau "T" dengan pola yang sama sepanjang jembatan. Gaya sentrifugal ditentukan dengan rumus berikut:
TTR = 0,7
TT.......................................................................................(2.25)
dengan pengertian : TTR
adalah gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian jembatan
TT
adalah Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada bagian yang sama (TTR dan TT mempunyai satuan yang sama)
V
adalah kecepatan lalu lintas rencana (km/jam)
r
adalah jari-jari lengkungan (m)
Tabel II.35 Faktor Beban Akibat Gaya Sentrifugal FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
1,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
2. Pengaruh Tetap Pelaksanaan Pengaruh tetap pelaksanaan adalah beban yang muncul karena disebabkan oleh metoda dan urutan pelaksanaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan dengan aksi lainnya, seperti berat sendiri. Dalam hal ini, pengaruh faktor ini tetap harus dikombinasikan dengan aksi tersebut dengan faktor beban yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan aksi rencana lainnya, maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan dalam batas daya layan dan batas ultimit dengan menggunakan faktor beban yang tercantum dalam tabel II.35.
Tabel II.36 Faktor Beban Akibat Pengaruh Pelaksanaan FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TETAP
Biasa 1,25
1,0
Terkurangi 0,8
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
3. Aliran Air, Benda Hanyutan dan Tumbukan Kayu Tabel II.37 Faktor Beban Akibat Aliran Air, Benda Hanyutan dan Tumbukan dengan Batang Kayu FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
Lihat Tabel 33
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Gaya seret nominal ultimit dan daya layan pada pilar akibat aliran air tergantung kepada kecepatan sebagai berikut: TEF = 0,5 * CD*(Vs)2 *Ad (kN) ……………………………………….…..(2.26) dengan pengertian : Vs adalah kecepatan air rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau. Kecepatan batas harus dikaitkan dgn periode ulang dalam tabel II.34. CD adalah koefisien seret - lihat tabel II.38. Ad adalah luas proyeksi pilar tegak lurus arah aliran (m2) dengan tinggi sama dengan kedalaman aliran - lihat gambar II.45.
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.38 Periode Ulang Banjir Untuk Kecepatan Air Keadaan Batas Daya layan untuk semua jembatan Ultimit : Jembatan besar dan penting (1) Jembatan permanen Gorong-gorong (2) Jembatan sementara
Periode Ulang Banjir
Faktor Beban
20 tahun
1.0
100 tahun 50 tahun 50 tahun 20 tahun
2.0 1.5 1.0 1.5
Catatan (1) Jembatan besar dan penting harus ditentukan oleh Instansi yang berwenang Catatan (2) Gorong-gorong tidak mencakup bangunan drainase (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.39 Koefisien Seret dan Angkat untuk Bermacam-macam Bentuk Pilar
No.
Koefisien Seret
Koefisien Angkat
CD
CL
Bentuk Pilar
Θ
CL
0o
0
5o
0.5
10o
0.9
20o
0.9
≥ 30o
1.0
0,8
1
1,4
0,7 2
0,7
Tidak bisa dipakai
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel II.40 Koefisien Koreksi untuk Bentuk Penampang Pilar (Piers) No. 1 2 3 4 5
Bentuk Ujung Pilar Persegi Bulat Lingkaran Silinder Kumpulan Silinder Tajam
K1 1,1 1,0 1,0 1,0 0,9
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Tabel II.41 Koefisien Koreksi untuk Arah Datang Aliran Air No Θ L/a = 4 o 1 0 1,0 2 15o 1,5 o 3 30 2,0 o 4 45 2,3 o 5 90 2,5 Θ = sudut kemiringan aliran L = panjang pilar searah arus (m)
L/a = 8 1,0 2,0 2,75 3,3 3,9
L/a =12 1,0 2,5 3,5 4,3 5,0
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Gambar II.45 Luas Proyeksi Pilar untuk Gaya Aliran (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Bila pilar tipe dinding membuat sudut dengan arah aliran, gaya angkat melintang semakin meningkat. Harga nominal gaya dalam arah tegak lurus gaya seret, adalah: TEF = 0,5 * CD*(Vs)2 *AL (kN) ………………………………………..….(2.27)
Universitas Sumatera Utara
dengan pengertian : Vs adalah kecepatan air rata-rata (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau. Kecepatan batas harus dikaitkan dgn periode ulang dalam abel II.37. CD adalah koefisien seret - lihat tabel II.38. AL adalah luas proyeksi pilar sejajar arah aliran (m2), dengan tinggi sama dengan kedalaman aliran - lihat gambar II.45. Bila bangunan atas jembatan terendam, koefisien seret (CD) yang bekerja disekeliling bangunan, yang diproyeksikan tegak lurus arah aliran diambil sebesar CD = 2,2 ……………………………………………………………..……..(2.28) kecuali apabila data yang lebih tepat tersedia, untuk jembatan yang terendam, gaya angkat akan meningkat dengan cara yang sama seperti pada pilar tipe dinding. Perhitungan untuk gaya angkat tersebut adalah sama, kecuali bila besarnya AL diambil sebagai luas dari daerah lantai jembatan. Gaya akibat benda hanyutan dihitung menggunakan persamaan (2.26) dengan : CD = 1,04……………………………………………………………..……..(2.29) AD adalah luas proyeksi benda hanyutan tegak lurus arah aliran (m2) Jika tidak ada data yang tepat, luas proyeksi benda hanyutan dihitung seperti : a.
Untuk jembatan yang permukaan air terletak di bawah bangunan atas Lluas benda hanyutan yang bekerja pada pilar dihitung dengan menganggap
bahwa kedalaman minimum dari benda hanyutan adalah 1,2 m dibawah muka air banjir. Panjang hamparan dari benda hanyutan diambil setengahnya dari jumlah bentang yang berdekatan atau 20 m, diambil yang terkecil dari kedua harga ini.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk jembatan dimana bangunan atas terendam Kedalaman benda hanyutan diambil sama dengan kedalaman bangunan atas termasuk sandaran atau penghalang lalu lintas ditambah minimal 1,2 m. Kedalaman maksimum benda hanyutan boleh diambil 3 m kecuali bila menurut pengalaman menunjukkan bahwa hamparan dari benda hanyutan dapat terakumulasi. Panjang hamparan benda hanyutan yang bekerja pada pilar diambil setengah dari jumlah bentang yang berdekatan. Gaya akibat tumbukan dengan batang kayu dihitung dengan anggapan massa minimum sebesar 2 Ton hanyut pada kecepatan aliran rencana harus bisa ditahan dengan gaya maksimum berdasarkan lendutan elastis ekuivalen pilar dengan rumus
TEF =
(kN) …………………………………………..……(2.30)
dengan pengertian : M adalah massa batang kayu = 2 ton Va adalah kecepatan air permukaan (m/dtk) pada keadaan batas yang ditinjau, Va bisa diambil 1,4 x kecepatan rata-rata Vs* d adalah lendutan elastis ekuivalen - lihat tabel II.41 Tabel II.42 Lendutan Ekuivalen untuk Tumbukan Batang Kayu Tipe Pilar Pilar beton masif Tiang beton perancah Tiang kayu perancah
d (m) 0.075 0.150 0.300
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Gaya akibat tumbukan kayu dan benda hanyutan lainnya jangan diambil secara bersamaan. Tumbukan batang kayu ditinjau secara bersamaan dengan gaya angkat dan seret. Untuk kombinasi, tumbukan batang kayu ditinjau sebagai aksi transien. 4. Beban Tumbukan pada Penyangga Jembatan Pilar pendukung jembatan yang melintasi jalan raya, jalan kereta api dan navigasi sungai harus direncanakan mampu menahan beban tumbukan. Kalau tidak, pilar harus direncanakan untuk diberi pelindung. Apabila pilar yang mendukung jembatan layang terletak dibelakang penghalang, maka pilar tersebut harus direncanakan untuk bisa menahan beban statis ekuivalen sebesar 100 kN yang bekerja membentuk sudut 10° dengan sumbu jalan yang terletak dibawah jembatan. Beban ini bekerja 1.8 m diatas permukaan jalan. Beban rencana dan beban mati rencana pada bangunan harus ditinjau sebagai batas daya layan. Tabel II.43 Faktor Beban Akibat Beban Tumbukan Pada Penyangga Jembatan FAKTOR BEBAN
JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0 (1)
1,0 (1)
Catatan (1) Tumbukan harus dikaitkan pada faktor beban ultimit atau daya layan. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
5. Beban Tumbukan dengan Kapal Risiko terjadinya tumbukan kapal dengan jembatan harus diperhitungkan dengan meninjau keadaan masing-masing lokasi untuk parameter berikut: • Jumlah lalu lintas air. • Tipe, berat dan ukuran kapal yang menggunakan jalan air. • Kecepatan kapal yang menggunakan jalan air.
Universitas Sumatera Utara
• Kecepatan arus dan geometrik jalan air disekitar jembatan termasuk pengaruh gelombang. • Lebar dan tinggi navigasi dibawah jembatan, teristimewa yang terkait dengan lebar jalan air yang bisa dilalui. • Pengaruh tumbukan kapal terhadap jembatan. Sistem fender yang terpisah harus dipasang dalam hal-hal tertentu, dengan resiko terjadinya tumbukan sangat besar; dan kemungkinan gaya tumbukan yang terjadi terlalu besar untuk dipikul sendiri oleh jembatan. Sistem fender harus direncanakan dengan menggunakan metoda yang berdasarkan kepada penyerapan energi tumbukan akibat terjadinya deformasi pada fender. Fender harus mempunyai pengaku dalam arah horisontal untuk meneruskan gaya tumbukan keseluruh elemen penahan tumbukan. Bidang pengaku horisontal ini harus ditempatkan sedekat mungkin dengan permukaan dimana tumbukan akan terjadi. Jarak antara fender dengan pilar jembatan harus cukup sehingga tidak akan terjadi kontak apabila beban tumbukan bekerja; Pilar tanpa fender harus direncanakan untuk bisa menahan tumbukan tanpa menimbulkan kerusakan yang permanen (pada batas daya layan). Ujung kepala fender, dimana energi kinetik paling besar yang terjadi akibat tumbukan diserap, harus diperhitungkan dalam keadaan batas ultimit. 6. Tekanan Hidrostatis dan Gaya Apung Permukaan air rendah dan tinggi ditentukan selama umur bangunan untuk menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung tekanan hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan. Bangunan penahan-tanah direncanakan mampu menahan pengaruh total dari air
Universitas Sumatera Utara
tanah kecuali timbunan bisa mengalirkan air. Sistem drainase merupakan irisan dari timbunan yang mudah mengalirkan air dibelakang dinding, dengan bagian belakang dari irisan naik dari dasar dinding pada sudut maksimum 60° dari arah horisontal; Pengaruh daya apung ditinjau terhadap bangunan atas yang mempunyai rongga atau lubang dimana mungkin udara terjebak, kecuali bila ventilasi udara dipasang. Daya apung harus ditinjau dengan gaya akibat aliran. Dalam memperkirakan pengaruh daya apung, harus ditinjau beberapa ketentuan sebagai berikut: a.
Pengaruh daya apung bangunan bawah (tiang) dan beban mati bangunan atas;
b. Syarat sistem ikatan dari bangunan atas; c.
Syarat drainase dengan adanya rongga pada bagian dalam, agar air bisa keluar pada waktu surut. Tabel II.44 Faktor Beban Akibat Tekanan Hidrostatis Dan Gaya Apung FAKTOR BEBAN JANGKA WAKTU TRANSIEN
1,0
Biasa 1,0 (1,1)
Terkurangi 1,0 (0,9)
Catatan (1) Angka yang ditunjukan dalam tanda kurung digunakan untuk bangunan penahan air atau bangunan lainnya dimana gaya apung dan hidrostatis sangat dominan (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Permukaan air rendah dan tinggi harus ditentukan selama umur bangunan guna menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam menghitung pengaruh tekanan hidrostatis, gradien hidrolis yang melintang bangunan harus diperhitungkan. Bangunan penahan-tanah harus direncanakan mampu menahan pengaruh total dari
Universitas Sumatera Utara
7. Pengaruh Prategang Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pafa komponen-komponen yang terkekang pada bangunan statis tidak tentu. Pengaruh sekunder tersebut harus diperhitungkan baik pada batas daya layan ataupun batas ultimit. Prateganga harus diperhitungkan sebelum (selama pelaksanaan) dan sesudah kehilangan tegangan dalam kombinasinya dengan beban-beban lainnya. Tabel II.45 Faktor Beban Akibat Pengaruh Prategang JANGKA WAKTU
KSPR
TRANSIEN
1,0
FAKTOR BEBAN KUPR 1,0 (1,15 pada prapenegang)
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Pengaruh utama dari prategang adalah sebagai berikut : a. Pada keadaan batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu sistem beban unsur. Nilai rencana dari beban prategang tersebut harus dihitung dengan menggunakan faktor beban prategang daya layan sebesar 1,0 b. Pada keadaan batas ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap sebagai beban yang bekerja, melainkan harus tercangkup dalam perhitungan kekuatan unsur.
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.c.4 Kombinasi Beban Kombinasi beban umumnya didasarkan kepada beberapa kemungkinan tipe yang berbeda dari aksi yang bekerja secara bersamaan. Aksi rencana ditentukan dari aksi nominal yaitu mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang memadai. Aksi rencana digolongkan kedalam aksi tetap dan transien, seperti terlihat dalam Tabel II.46. Seluruh pengaruh aksi rencana harus mengambil faktor beban yang sama, apakah itu biasa atau terkurangi. Tabel II.46 Tipe Aksi Rencana Aksi Tetap Nama Berat sendiri Beban mati tambahan Penyusutan/rangkak Prategang Tekanan tanah Penurunan Pengaruh pelaksanaan tetap
Aksi Transien Simbol Nama Beban lajur "D" PMS Beban truk "T" PMA Gaya rem PSR Gaya sentrifugal PPR Beban pejalan kaki PTA Beban tumbukan PES Beban angin PPL Gempa Getaran Gesekan pada perletakan Pengaruh temperatur Hidro atau daya apung Beban pelaksanaan Arus, hanyutan dan tumbukan (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Simbol TTD TTT TTB TTR TTP TTC TEW TEQ TVI TBF TET TEU TCL TEF
1. Pengaruh Umur Rencana dan Waktu Beberapa aksi tetap, seperti beban mati tambahan PMA, penyusutan dan rangkak PSR, pengaruh prategang PPR dan pengaruh penurunan PES bisa berubah secara perlahan berdasarkan kepada waktu. Kombinasi beban yang diambil termasuk harga maksimum dan minimum dari semua aksi untuk menentukan pengaruh total dari yang paling berbahaya. Faktor beban untuk keadaan batas ultimit didasarkan kepada umur rencana jembatan selama 50 tahun. Untuk jembatan dengan umur rencana yang berbeda,
Universitas Sumatera Utara
faktor beban ultimit harus diubah dengan menggunakan faktor pengali seperti yang diberikan dalam Tabel II.47. Tabel II.47 Pengaruh Umur Rencana pada Faktor Beban Ultimit No
Klasifikasi Jembatan
Umur Rencana
Kalikan KU dengan Aksi Tetap
20 tahun Jembatan sementara 1,0 1 50 tahun Jembatan biasa 1,0 2 100 tahun Jembatan khusus 1,0 3 (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Aksi Transien 0,87 1,00 1,10
2. Kombinasi Pada Keadaan Batas Daya Layan Kombinasi pada keadaan batas daya layan primer terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu aksi transien. Pada keadaan batas daya layan, lebih dari satu aksi transien bisa terjadi secara bersamaan. Beberapa aksi kemungkinan dapat terjadi pada tingkat daya layan pada waktu yang sama dengan aksi lainnya yang terjadi pada tingkat ultimit. Kemungkinan terjadinya kombinasi seperti ini harus diperhitungkan, tetapi hanya satu aksi pada tingkat daya layan yang dimasukkan pada kombinasi pembebanan. Keadaan batas kelayanan adalah serupa dengan kriteria rencana untuk perencanaan tegangan kerja. Getaran umumnya hanya penting bila pejalan kaki menggunakan jembatan. Tabel II.48 Kombinasi Beban Untuk Keadaan Batas Daya Layan Kombinasi primer
Aksi tetap + satu aksi transien (cat.1), (cat.2)
Kombinasi sekunder
Kombinasi primer + 0,7 x (satu aksi transien lainnya)
Kombinasi tersier
Kombinasi primer + 0,5 x (dua atau lebih aksi transien)
Catatan (1) Beban lajur ‘D’ yaitu TTD atau beban truk ‘T’ yaitu TTT diperlukan untuk membangkitkan gaya rem TTB dan gaya sentrifugal TTR pada jembatan. Tidak ada faktor pengurangan yang harus digunakan apabila TTB atau TTR terjadi dalam kombinasi dengan TTD atau TTT sebagai kombinasi primer Catatan (2) Gesekan pada perletakan TBF bisa terjadi bersamaan dengan pengaruh temperatur TET dan harus dianggap sebagai satu aksi kombinasi beban. (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
3. Kombinasi Pada Keadaan Batas Ultimate Kombinasi pada keadaan batas ultimit terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dengan satu pengaruh transien. Pada keadaan batas ultimit, tidak diadakan aksi transien lain untuk kombinasi dengan aksi gempa. Keadaan batas ultimate umumnya mencakup keruntuhan fatal yang membahayakan jiwa manusia. Kemungkinan akan keruntuhan, harus dijaga serendah mungkin dan batas 5% sepanjang umur jembatan umumnya diambil. Faktor beban yang sudah dikurangi diterapkan dalam hal ini untuk mengurangi kemungkinan dari peristiwa ini, seperti diberikan Tabel II.49. Tabel II.49 Ringkasasn Kombinasi Beban untuk Batas Daya Layan dan Ultimit Aksi Aksi Permanen : -Berat Sendiri dan Mati Tambahn -Susut Rangak dan Pratekan -Akibat Beban Tetap Pelaksanaan - Penurunan dan Tekanan Tanah Aksi Transien : -Beban Lajur ‘D’ atau Beban Truk ‘T’ -Gaya Rem atau Gaya Sentrifugal -Beban Pejalan Kaki -Gesekan Perletakan -Pengaruh Suhu -Aliran, Hanyutan, Batang Kayu dan Hidrostatik atau Gaya Apung -Beban Angin Aksi Khusus : -Gempa -Pengaruh Getaran -Beban Pelaksanaan ‘v‘ berarti beban yang selalu aktif. ‘O‘ berarti beban yang boleh di kombinasi dengan beban aktif, tunggal atau seperti ditunjukkan.
Kombinasi Kelayanan 2 3 4 5 6
1
v
v
v
v
v
v
o
o
o
v
o v o o
o
o o o
v
1
Kombinasi Ultimit 2 3 4 5 6
v
v
v
v
v
v
o
v
o
o
o
o
o
o
v
o
o
v v
o o
o o
o o
o o
o v o o
o o
o o
o o
o
v
o
o
o
v
o
o
o
o
v
o
o
o
v
o v
v
v v
v
(1) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban aktif ‘v’KBL + 1 beban ‘o’KBL (2) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban aktif‘v’KBL + 1 beban‘o’KBL+ 0,7 beban ‘o’ KBL (3) = aksi permanen ‘v’ KBL + beban Aktif‘v’KBL+1 beban‘o’KBL + 0,5 (beban‘o’ + beban ‘o’KBL)
Aksi permanen ‘v’ KBU + beban aktif ‘v’ KBU + 1 beban ‘o’ KBL
(Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Universitas Sumatera Utara
Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kombinasi beban umum untuk keadaan batas kelayanan dan ultimit adalah sebagai berikut : a. Perencana harus mengenali dan memperhitungkan kombinasi beban yang tidak tercantum dalam tabel jembatan tertentu yang mungkin menjadi kritis. b. Dalam keadaan batas daya layan pada tabel, aksi dengan tanda ‘V’ untuk kombinasi tertentu dimasukkan dengan faktor beban daya layan penuh. Butir dengan tanda ‘O’ dimasukkan faktor beban layan yang diturunkan harganya. c. Dalam keadaan batas ultimit pada bagian tabel, aksi dengan tanda ‘V’ untuk kombinasi tertentu dimasukkan dengan faktor beban ultimit penuh. Butir dengan tanda ‘O’ dimasukkan dengan harga yang sudah diturunkan yang besarnya sama dengan beban daya layan. d. Tingkat keadaan batas dari gaya sentrifugal dan gaya rem tidak terjadi secara bersamaan. Perlu perhitungan untuk faktor beban ultimit terkurangi bagi beban lalu lintas vertikal dalam kombinasi dengan gaya rem. e. Pengaruh perbedaan temperatur pada seluruh jembatan. Gesekan pada perletakan sangat erat kaitannya dengan pengaruh temperatur akan tetapi arah aksi dari gesekan perletakan akan berubah, tergantung kepada arah pergerakan dari perletakan atau dengan kata lain, apakah temperatur itu naik atau turun. Pengaruh temperatur tidak mungkin kritis pada keadaan batas ultimit kecuali bersamaan dengan aksi lainnya. Dengan demikian temperatur hanya ditinjau sebagai kontribusi pada tingkat keadaan batas daya layan. f. Gesekan pada perletakan harus ditinjau apabila sewaktu aksi lainnya memberikan pegaruh yang cenderung menyebabkan gerakan arah horisontal pada perletakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
g. Semua pengaruh dari air dapat dimasukkan bersama. h. Pengaruh gempa hanya ditinjau pada keadaan batas ultimit. i. Beban tumbukan merupakan beban daya layan atau beban ultimit. j. Pengaruh getaran hanya digunakan dalam keadaan batas daya layan.
II.2.8.c.5 Tegangan Keria Rencana Dalam perencanaan tegangan kerja, beban nominal bekerja pada jembatan dan satu factor keamanan digunakan untuk menghitunga besarnya penurunan kekuatan atau perlawanan dari komponen bangunan. Untuk perencanaan yang baik, hubungan itu harus memenuhi syarat yang berlaku. 1. Tegangan yang Berlebihan yang Diperbolehkan Beberapa kombinasi beban mempunyai probabilitas kejadian yang rendah dan jangka waktu yang pendek. Untuk kombinasi yang demikian maka tegangan yang diperbolehkan berdasarkan prinsip tegangan kerja. Tegangan berlebihan yang diberikan dalam Tabe.II.50. Tabel II. 50 Kombinasi Beban untuk Perencanaan Tegangan Kerja Aksi
1 X X X -
2 Aksi tetap X Beban lalu lintas X Pengaruh temperatur X Arus/hanyutan/hidro/daya apung X Beban angin Pengaruh gempa Beban tumbukan Beban pelaksanaan 25 Nil Tegangan berlebihan yang diperbolehkan % (Sumber: Standar Pembebanan Untuk Jembatan RSNI T-02-2005)
Kombinasi No. 3 4 5 X X X X X X X X X X X X 25 40 50% % %
6 X X 30%
7 X X 50 %
Universitas Sumatera Utara
II.2.8.d Perbedaan Antara Pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 dengan Pembebanan RSNI T – 02 – 2005 Dari uraian penjabaran pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya dan RSNI T – 02 – 2005 Standar Pembebanan Untuk Jembatan di atas, dapat dilihat beberapa perbedaan yang mendasar, yaitu pada besar beban desain serta faktor beban yang digunakan. Perbedaan ini dapat dilihat di bawah ini : Tabel II.51 Pembebanan PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 dan RSNI T – 02 – 2005 PPPJJR SKBI. 1.3.28.1987 Beban
Besar beban
Faktor
RSNI T – 02 – 2005 Besar beban
Faktor
beban Beban Truk “T”
beban
10 ton
1,6
11,25 ton
1,8
Beban Mati (berat sendiri)
*
1,2
*
1,2
Beban Mati Tambahan
*
1,2
*
2,0
Beban Hidup • Beban Lajur “D” Beban q
q = 2,2 t/m –
Beban p
12 ton
• Beban Angin
150 kg/m2
• Beban Rem & Traksi
**
q = 9,0
x (L – 30)
1,6
kPa
1,8
49,0 kN/m
1,8
PEW = [ 1/2*h / x * TEW ] kN
1,2
**
* Besaran beban mati akibat berat sendiri dipengaruhi oleh dimensi gelagar dan berat jenis beton prategang **Besaran beban rem dan traksi dipengaruhi oleh beban lajur “D” yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
1,8
II.2.9 Beban yang Dipikul Gelagar Memanjang Dalam perencanaan jembatan, yaitu bagian atas sangat diperhitungkan bebanbeban yang bekerja karena ini sangat mempengaruhi dalam perencanaan jembatan khususnya perencanaan gelagar jembatan. Sepert halnya gelagar memanjang harus dapat memikul beban-beban yang didukungnya serta gaya-gaya luar lainnya. Besarnya beban-beban yang bekerja pada gelagar memanjang tergantung dari beberapa hal sebagai berikut : 1. Jenis konstruksi bangunan atas 2. Beban-beban yang bekerja pada konstruksi tersebut 3. Lokasi atau tempat dimana dilaksanakannya konstruksi tersebut. Adapun beban-beban dan gaya luar yang ada dalam konstruksi antara lain : 1. Beban mati, yaitu berat sendiri gelagar dan berat sendiri di luar berat gelagar (pelat lantai, aspal, difragma, sandaran, dll) 2. Beban hidup, yaitu beban bergerak (kendaraan) yang melintasi jembatan Gelagar memanjang di lapangan yang dipakai untuk memikul beban-beban di atas adalah beton prategang I segmental. Gelagar memanjang diperhitungkan dapat memikul beban total yang bekerja.
Universitas Sumatera Utara
II.2.10 Beban Kerja Recana Beban kerja rencana untuk berbagai keadaan batas diperoleh dari beban primer dan beban sekunder yang bekerja pada jembatan, seperti beban mati yaitu berat sendiri pelat, aspal, trotoar, sandaran, difragma, gelagar dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Beban mati digunakan dalam perhitungan kekuatan gelagar (gelagar tengah dan gelagar pinggir). Beban hidup adalah beban yang diperhitungkan terhadap beban hidup ”T” dalam menghitung kekuatan lantai dan beban hidup ”D” juaga beban garis ”P” dalam menghitung momen dan gaya lintang terhadap gelagar memanjang. Beban sekunder, yaitu beban angin yang merupakan beban sementara yang selalu diperhitungkan dalam perhitungan tegangan dalam setiap perencanaan jembatan. Pada umumnya beban iani mengakibatkan tegangan-tegangan relatif lebih kecil dari tegangan-tegangan akibat beban primer. Dalam statistik yang diperlukan untuk menentukan beban untuk berbagai tipe, pemilihan tidak dapat langsung tersedia karena statistik pembebanan selalu sulit dikumpulkan karena memerlukan pengamatan serta pencatatan data selama jangka waktu yang panjang. Nilai-nilai untuk beban memperhitungkan variasi-variasi yang mungkin terjadi dengan memperhatikan hal-hal berikut : 1. Peningkatan beban luar biasa yang memungkinkan di luar pertimbangan dalam perhitungan pembebanan 2. Perkiraan pengaruh pembebanan yang tidak cermat dan reditribusi tegangan yang tak terduga di dalam strktur
Universitas Sumatera Utara
3. Variasi dalam ketepatan dimensional yang dicapai dalam pelaksanaan konstruksi Oleh karena itu, faktor keamanan parsial γf dipakai untuk setiap kadaan batas guna memperhitungkan kekurangan-kekurangan ini dan juaga keadaan kritis suatu keadaan batas yang akan dicapai. Untuk SNI 2002 nilai faktor aman tersebut 1,2 WD + 1,6 WL. Nilai-nilai faktor keamanan parsial yang dianjurkan dalam peraturanperaturan Inggris, Amerika, dan India dikumpulkan dalam tabel II.46. Tabel II.52 Faktor Keamanan Parsial Untuk Beban-beban γ Beban Mati, Gk
Beban Terpasang, Qk
Beban Angin, Wk
Dengan beban terpasang
Dengan beban angin
Dengan beban terpasang dan angin
Dengan beban mati
Dengan beban mati dan angin
Denan beban mati
Dengan beban mati dan terpasang
1,4
0,9
1,2
1,6
1,2
1,4
1,2
1,5
0,9
1,25
1,5
1,25
1,5
1,25
1,4
0,9
1,05
1,7
1,275
1,3
1,275
1,0
1,0
0,8
1,0
0,8
1,0
0,8
1,0 1,0 Konsep IS: 1343 (Sumber : Beton Pratekan. N Krishna Raju)
1,0
1,0
0,8
1,0
0,8
Tahap batas
Ultimit
Penggunaan
Nama peraturan
BSCP 110: 1972 Konsep IS: 1343 ACI: 318-1977 BSCP 110-1972
II.2.11 Tegangan yang Diperkenankan pada Beton Tegangan-tegangan tarik dan tekan yang diperkenankan pada beton pada tahap beban transfer dan beban layan dinyatakan dalam kekuatan tekan beton yang sesuai pada masing-masing tahap. Ketentuan-ketentuan yang dibuat dalam peraturanperaturan standar Inggris, Amerika dan India. Dengan memperhatikan tegangan-
Universitas Sumatera Utara
tegangan izin maksimum dirangkum dalam tabel 2.3. Didalam peraturan I.S suatu keofisien reduksi yang lebih besar dipakai apabila kekuatan kubusnya merupakan minimum yang diperkenankan sebesar 35 N/mm2. Koefisien tersebut berkurang secara linier sampai nilai sebesar 0,43 untuk beton dengan kekuatan kubus 55 N/mm2 untuk pekerjaan pascatarik. Tabel II.53 Tegangan Maksimum yang Diperkenankan di dalam Beton 1
2 Tegangan tekan
Pada pemindahan
Pada beban rencana
Konsep IS : 1343 3 Berubah secara linier dari 0,5 sampai 0,45 fci tergantung pada kekuatan beton
Tegangan tarik
ACI : 318-71 4
CP 110 : 72 5
0,6 kali kekuatan silinder pada pemindahan
0,5 fci untuk lenturan 0,4 fci untuk beban aksial
pada saat pemindahan
Tegangan tekan
Berubah secara linier dari 0,4 sampai 0,36 fcu tergantung pada kekuatan beton
0,45 kali kekuatan tekan silinder yang ditentukan
Tegangan tarik
Struktur tipe 1 – tidak ada Struktur tipe 2 – tegangan tarik 3 N/mm2 Sruktur tipe 3 – tegangn tarik hipotesis sampai dengan 0,25 fcu diperkenankan tergantung pada mutu beton dan lebar retak
Penampang tak retak : Penampang berpindah dan retak :
Struktur klas 1. 1 N/mm2 Struktur klas 2 dan 3 Pre-tensioning : 0,45 (fcu)1/2 N/mm2 Post-tensioning : 0,36 (fcu)1/2 N/mm2 0,33 fcu dalam lenturan yang boleh dinakan sampai 0,4 fcu dalam wilayah momen tumpuan dalam struktur statis tak tertentu 0,25 fcu dalam tekanan langsung 0,5 fcu dalam beton prategang pada konstruksi komposit Struktur klas 1 – tidak ada Struktur klas 2 – Pre-tensioning : 0,45 (fcu)1/2 N/mm2 Post-tensioning : 0,36 (fcu)1/2 N/mm2 ini Tegangan-tegangan dapat dinaikan sampai dengan 1,7 N/mm2 dalam kasus-kasus tertentu. Struktur klas 3 – Tegangan tarik hipotesis sampai dengan 0,25 fcu diperkenankan tergantung pada mutu beton dan lebar retak
(Sumber : Beton pratekan. N Krishna Raju)
Universitas Sumatera Utara
Sebagai perbandingan, peraturan-peraturan Inggris dan Ameriak menentukan koefisien reduksi yang seragam untuk kekuatan tekan pada tahap transfer dan beban kerja rencana. Tegangan tarik yang diperkenankan pada tahap transfer dan beban kerja berkaitan dengan kekuatan tekan beton dalam peraturan Inggris dan Amerika.
II.2.12 Desain Penampang Beton Prategang Terhadap Lentur Pada waktu pendesainan penampang beton prategang pada dasarnya dilakukan dengan cara coba-coba (trial & error). Ada kerangkan struktur yang harus dipilih sebagai permulaan dan mungkin dimodifikasi pada waktu proses desain berlangsung. Ada berat sendiri komponen strktur yang mempengaruhi desain, tetapi harus diasumsikan sebelum melakukan perhitungan momen. Ada bentuk perkiraan penampang beton yang ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis dan teoritis yang harus diasumsikan untuk percobaan. Karena adanya variabel-variabel ini, disimpulkan bahwa prosedur yang terbaik adalah suatu cara coba-coba yang berpedoman pada hubungan-hubungan yang diketahui sehingga memungkinkan diperolehnya hasil akhir yang lebih cepat.
II.2.12.a Modulus Penampang Minimum Untuk mendesain dan memilih penampang, penentuan mudulus penampang minimum yang dibutuhkan, Sb dan St harus dilakukan terlebih dahulu. Jika : fci = Tegangan tekan izin maksimum di beton segera sesudah transfer dan sebelum terjadi kehilang. = 0,60 fci’
Universitas Sumatera Utara
fti = Tegangan tarik izin maksimum di beton segera setelah transfer dan sebelum terjadi kehilangan =3
(nilai ini dapat diperbesar menjadi 6
ditumpuan komponen
struktur yang titumpu sederhana) fc = Tegangan tekan izin maksimum di beton sesudah kehilangan pada
taraf
beban kerja = 0,45 fc’ atau 0,60 fc’ apabila diperkenankan oleh standar ft = Tegangan tarik izin maksimum di beton sesudah semua kehilangan pada taraf beban kerja =6
(pada sistem satu arah nilai ini dapat diperbesar menjadi 12
jika persyaratan defleksi jangka panjang dipenuhi) Maka tegangan serat serat ekstrim aktual di beton tidak dapat melebihi nilai-nilai yang dicantumkan di atas. Perhitungan tegangan dalam setiap tahapan pembebanan dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut : Pada saat transfer Serat atas
Serat bawah
..........................................(2.31)
..............................................(2.32)
dimana Pi adalah gaya prategang awal. Meskipun nilai yang lebih akurat yang deharusnya digunakan adalah komponen horizontal dari Pi, namun untuk semua tujuan praktis hal tersebut tidak diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
Tegangan Efektif sesudah Kehilangan ...........................................(2.33)
Serat atas
Serat bawah
...............................................(2.34)
Tegangan Akhir pada Kondisi Beban Kerja Serat atas
...............................................(2.35)
Serat bawah
...............................................(2.36)
dimana : MT
= momen total (MD + MSD + ML)
MD
= momen akibat berat sendiri
MSD
= momen akibat beban mati tambahan, seperti lantai
ML
= momen akibat beban hidup, termasuk beban kejut dan gempa
Pi
= prategang awal
Pe
= prategang efektif sesudah kehilangan t menunjukkan serat atas dan b menunjukkan serat bawah
e
= eksentrisitas tendon dari pusat berat penampang beton, cgc
ct & cb = jarak dari pusat berat penampang (garis cgc) ke serat atas dan serat bawah r2
= kuadrat dari jari-jari girasi
St & Sb = modulus penampang atas & modulus penampang bawah beton
Universitas Sumatera Utara
II.2.12.b Balok dengan Eksentrisitas Tendon Bervariasi Balok diberi prategang dengan tendon harped dan draped. Eksentrisitas maksimum biasanya terjadi di penampang tengah bentang yang menentukan untuk kasus balok bertumpuan sederhana. Dengan mengasumsikan bahwa gaya prategang efektif adalah Pe
= γPi ..............................................................................................(2.37)
dimana γ adalah rasiso prategang residual, maka kehilangan prategang adalah Pi – Pe = (1 – γ) Pi ....................................................................................(2.38) Jika tegangan di serat beton aktual sama dengan tegangan izin maksimum, maka perubahan tegangan ini sesudah kehilangan, dari persamaan 2.31 dan 2.32 dapat dinyatakan dengan ∆ft = (1 - γ)
............................................................................(2.39)
∆fb = (1 - γ)
.......................................................................(2.40)
Pada saat momen akibat beban mati tambahan MSD dan momen akibat beban hidup MSD telah bekerja, tegangannetto diserat atas adalah ftn = fti - ∆ft - fc...........................................................................................(2.41) atau ftn = γ fti – (1 – γ)
- fc ...........................................................................(2.42)
Tegangan netto di serat bawah adalah fbn = ft – fci -∆ fb .........................................................................................(2.43) atau fbn = ft - γ fci – (1 – γ)
..........................................................................(2.44)
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan 2.41/42 dan 2.43/44 penampang yang telah dipilih harus mempunyai modulus penampang St ≥
...........................................................................(2.45)
Sb ≥
...........................................................................(2.46)
dan
Eksentrisitas tendon prategang yang dibutuhkan di penampang kritis, seperti penmapang tengah bentang, adalah ec =
..............................................................................(2.47)
dan di tumpuan adalah ec = dimana
........................................................................................(2.48) adalah tegangan beton pada saat transfer pada level pusat berat (cgc)
penampang beton dan Pi =
Ac ................................................................................................(2.49)
jadi, = fti -
(fti - fci) ....................................................................................(2.50)
II.2.12.c Selubung untuk Meletakkan Tendon Tegangan tendon di serat beton ekstrim pada kondisi beban kerja tidak dapat melebihi nilai izin maksimumnya, berdasarkan standar-standar seperti ACI, PCI, AASHTO, atau CEB – FIB. Dengan demikian, zona yang membatasi di penampang beton perlu ditetapkan, yaitu selubung (envelove) yang didalamnya gaya prategang
Universitas Sumatera Utara
dapat bekrja tanpa menyebabkan terjadinya tarik di serat beton ekstrim. Dari persamaan....didapatkan ft = 0 =
..............................................................................(2.51)
Untuk bagian gaya prategang saja, sehingga e =
. Dengan demikian, titik kern
bawah adalah kb =
......................................................................................................(2.52)
Dengan cara yang sama, dari persamaan 2.40 jiak fb = 0, didapat –e =
,
yang mana tanda negatif menunjukkan pengukuran ke arah bawah dari sumbu netral, karena eksentrisitas positif adalah ke arah bawah. Dengan demikian titk kern atas adalah kt =
.......................................................................................................(2.53)
Dari penentuan titk-titk atas dan bawah, jelaslah bahwa : a. Jika gaya prategang bekrja di bawah titik kern bawah, tegangan tarik terjadi di serat ekstrim atas dari penampang beton. b. Jika gaya prategang bekerja di atas titik kern atas, tegangan tarik terjadi di serat ekstrim bawah penampang beton.
II.2.12.d Selubung Eksentrisitas yang Membatasi Eksentrisitas tendon yang didesain di sepanjang bentang diharapkan sedemikian hingga tarik yang terjadi di serat ekstrim balok hanya terbatas atau tidak ada sama sekali di penampang yang menentukan dalam desain. Jika tarik tidak
Universitas Sumatera Utara
dikehendaki sama sekali di sepanjang bentang balok dengan tendon berbentuk draped, maka eksentrisitasnya harus ditentukan di penampang-penampang berikut di sepanjang bentang. Jika MD adalah momen akibat beban mati dan MT adalah momen total akibat semua beban transversal, maka lengan dari kopel antara garis tekan pusat (garis C) dan pusat dari garis tendon pratengang (garis cgs) akibat MD dan MT masing-masing adalah amin dan amaks, seperti terlihat pada gambar II.46. Selubung cgs bawah, lengan minimum dari kopel tendon adalah amin =
.................................................................................................(2.54)
(a)
MT MD
(b)
amax
kt kb
amin (c)
Gambar II.46 Penentuan Selubung cgs (a) Lokasi satu tendon di balok. (b) Bidang momen. (c) Batas-batas selubung cgs (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Universitas Sumatera Utara
Persamaan ini mendefinidikan jarak maksimum di bawah kern bawah dimana garis cgs ditentukan sedemikian hingga garis C tidak terletak di bawah garis kern bawah, sehingga mencegah terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim atas. Dengan demikian eksentrisitas bawah yang membatasi adalah eb = (amin + kb) ..........................................................................................(2.55) Selubung cgs atas, lengan maksimum dari kopel tendon adalah amaks =
................................................................................................(2.56)
Persamaan ini mendefinidikan jarak minimum di bawah kern atas dimana garis cgs ditentukan sedemikian hingga garis C tidak terletak di atas garis kern atas, sehingga mencegah terjadinya tegangan tarik di serat ekstrim bawah. Dengan demikian eksentrisitas atas yang membatasi adalah et = (amaks - kt) ...........................................................................................(2.57) Di dalam standar diperkenankan terjadi tegangan terbatas pada saat transfer dan pada kondisi beban kerja. Dalam hal in, garis cgs diperkenankan terletak sedikit di luar dua batas selubung cgs yang didefenisikan dalam persamaan (2.54) dan (2.56). Apabila eksentrisitas tambahan eb’ dan et’ ditambahkan pada selubung garis cgs yang menghasilkan tegangan tarik terbatas di serat beton atas dan bawah, maka tegangan tambahan di atas f(t) dan f(b) adalah f(t) =
................................................................................................(2.58)
f(b) =
...............................................................................................(2.59)
dan
Universitas Sumatera Utara
dimana t dan b masing-masing menunjukkan serat atas dan bawah. Dari persamaan (2.51) eksentrisitas tambhan yang akan ditambahkan pada persamaan (2.55) dan (2.57) adalah eb’ =
............................................................................................(2.60)
et’ =
............................................................................................(2.61)
dan
Batas atas, tarik nol
Batas atas, tarik tidak boleh terjadi
e't
amax
e'b
(a) Batas bawah, tarik tidak boleh terjadi
amin Batas bawah, tarik nol
Gambar II.47 Selubung yang Memungkinkan Terjadinya Tarik di Serat Beton Ekstrim (Sumber: Beton Prategang, Edward G. Nawi)
Selubung yang memungkinkan terjadinya tarik terbatas ditunjukkan dalam gambar II.47. Perlu dicatat bahwa selubung atas terletak di luar penampang, tetapi tegangannya ada di dalam batas-batas izin, yang menunjukkan penampang yang tidak ekonomis. Perubahan eksentrisitas atau gaya prategang dapat memperbaiki desain.
Universitas Sumatera Utara