BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pertambangan Batubara Batubara adalah barang tambang yang berasal dari sedimen bahan organik
dari berbagai macam tumbuhan yang telah membusuk dalam waktu yang sangat lama dan di area dengan karakteristik kandungan air cukup tinggi. Pembentukan batubara dimulai dengan proses pembusukan timbunan tanaman dalam tanah dan membentuk lapisan gambut kadar karbon tinggi. Pembentukan batubara dari gambut (coalification) dipengaruhi oleh faktor; material pembentuk, temperatur, tekanan, waktu proses, dan berbagai kondisi lokal seperti kandungan O2, tingkat keasaman dan kehadiran mikroba. Proses coalification pada gambut terbagi menjadi 3 tahapan yaitu: pembusukan aerobik, pembusukan anaerobik, dan bituminisasi (perubahan lignit menjadi bituminus) (Sudibyo, 2008). Menurut KepMen LH No 113 Tahun 2003, usaha dan atau kegiatan pertambangan batubara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian
batubara.
Kegiatan
penambangan
batubara
adalah
pengambilan batubara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Kegiatan pengolahan/pencucian batubara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari batubara tanpa mengubah sifat kimianya.
II-1
Menurut Marganingrum (2010) usaha tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka (open mining), walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining). PT. Berau Coal sendiri sebagai perusahan batubara dengan open mining yang berdiri sebagai perusahaan berbadan hukum dan pemegang izin Perjanjian Karya Pengusaha Penambangan Batubara (PKP2B), dengan mengawali kegiatan eksplorasinya sejak tahuk 1983 dan memulai produksi pada tahun 1994. Sampai sekarang telah berproduksi lebih dari 21 juta MT/tahun dengan wilayah konsesi kurang lebih sebesar 118.400 hektar yang juga terdiri dari 3 lokasi penambangan dan produksi, yaitu site Lati, Binungan, dan Sambarata. Luas wilayah lokasi penambangan secara terbuka mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan diantaranya adalah sebagai berikut (Raden, 2010): 1. Terjadinya kerusakan pada bentang alam, karena terbentuknya lubang-lubang besar akibat dari aktivitas penggalian tambang batubara, 2. Penurunan kesuburan tanah, dan Penurunan muka tanah atau terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian, 3. Rusaknya flora dan fauna endemik, 4. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu di udara, 5. Terjadinya erosi dan sedimen yang memicu timbulnya banjir, 6. Meningkatnya kebisingan, 7. Dan adanya limbah (air asam tambang) yang dapat masuk ke lahan pertanian dan sungai sehingga merusak biota perairan dan mencemari sumber air dari masyarakat sekitar.
II-2
8. Mengganggu proses penanaman kembali reklamasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organik humus atau unsur hara telah tercuci.
B.
Air Asam Tambang Menurut Kepmen LH No. 113 Tahun 2003, air limbah yang dihasilkan dari
kegiatan penambangan batubara berasal dari kegiatan penambangan batubara dan air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batubara. Air limbah pertambangan batubara ini sering disebut dengan air asam tambang. Air asam tambang adalah air yang mempunyai sifat asam yang terbentuk di lokasi penambangan dengan pH yang rendah (pH=3-4) sebagai akibat dari dibukanya suatu potensi keasaman batuan di lokasi tambang sehingga menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air dan tanah, dimana pembentukan air asam tambang ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu air, oksigen, dan batuan yang mengandung mineral-mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, markasit, dll. air asam tambang (AAT) terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Gautama, 2012). Menurut Raden (2010), Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Ketika air asam tambang telah menimbulkan kontaminasi terhadap air maka, akan sulit melakukan tindakan penanganannya. Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di
II-3
lokasi pertambangan batubara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit dan markasit (FeS2). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam lapisan batubara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batubara (Salomons, 1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008). Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS2) akan membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut: Persamaan 1: FeS2 + 7/2 O2 + H2O Fe+2 + 2 SO4-2 + 2 H+ (Besi sulfida teroksidasi melepaskan besi ferro, sulfat dan asam.) Persamaan 2: Fe+2 + 1/4 O2 + H+ Fe+3 + 1/2 H2O (Besi ferro akan teroksidasi menjadi besi ferri.) Persamaan 3: Fe+3 + 3 H2O Fe(OH) + 3H+ (Besi ferri dapat terhidrolisis membentuk ferri hidrosida & asam.) Persamaan 4: FeS2 + 14 Fe+3 + 8 H2O 15 Fe+2 + 2 SO4-2 + 16 H+ (Besi ferri secara langsung bereaksi dengan pirit dan berlaku sebagai katalis yang menyebabkan besi ferro yang sangat besar, sulfat dan asam.) Dari persamaan di atas terlihat bahwa ion-ion H+ bisa dibebaskan dari oksidasi pirit pada reaksi pertama, hidrolisis Fe3+ (pada reaksi ketiga) atau melalui reaksi Fe3+ dengan pirit (pada reaksi keempat). Bakteri pengoksidasi Fe, yaitu Thiobacillus, mempercepat reaksi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ pada reaksi kedua. Logam besi (Fe) akan terakumulasi baik pada tanah maupun air. Selain logam Fe,
II-4
pada air asam tambang juga dijumpai logam-logam berat lain seperti Mn, Zn, Cu, Ni, Pb, Cd, dan lain-lain karena mineral umum yang terdapat pada lahan bekas tambang batubara selain Pyrite (FeS) antara lain Marcasite (FeS2), Galena (PbS), Chalcocite (Cu2S), Chalcopyrite (CuFeS), Covellit (CuS), Sphalerite (ZnS), dan lain-lain. Faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya air asam tambang di suatu tempat adalah: 1. Konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulfida yang ada. 2. Keberadaan oksigen di udara, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari atmosfir melalui mekanisme adveksi dan difusi. 3. Komposisi dan jumlah kimia air yang ada. 4. Temperatur dan mikrobiologi. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembentukan air asam tambang (AAT) sangat tergantung pada kondisi tempat pembentukannya. Perbedaan salah satu faktor tersebut diatas menyebabkan proses pembentukan dan hasil yang berbeda. Oleh karena itu, terkait dengan hal-hal tersebut maka, karakteristik air asam tambang (AAT) di satu daerah pertambangan akan berbeda dengan pertambangan di daerah lainnya (Saputra et.al, 2014). 1. pH pH adalah istilah yang digunakan secara universal untuk menunjukkan intensitas asam atau basa dari suatu larutan. Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi ion hidrogen atau aktivitas ion hidrogen. Parameter ini sangat penting bagi bidang teknik lingkungan (Sawyer, 1994).
II-5
Secara definisi pH adalah ukuran aktivitas hidrogen bebas dalam air dan dapat dinyatakan sebagai: pH = -log [H+] Dalam istilah yang lebih praktis (meskipun tidak secara teknis benar dalam semua kasus) pH adalah ukuran keasaman atau kebasaan bebas dari air (asiditas dan alkalinitas air). Diukur pada skala 0-14, larutan dengan pH kurang dari 7,0 adalah asam sementara larutan dengan pH lebih besar dari 7,0 adalah basa Di berbagai unit proses dan operasi pengolahan air limbah, seringkali dibutuhkan pH adjustment. Berbagai bahan kimia dapat digunakan, pemilihannya tergantung pada kesesuaian aplikasinya dan dari segi ekonomi. Air limbah dengan pH rendah dapat dinetralkan dengan berbagai jenis bahan kimia misalnya sodium hidroksida atau sodium karbonat, yang walaupun cukup mahal, banyak digunakan untuk pengolahan yang skalanya tidak begitu besar. Kapur adalah bahan yang cukup murah sehingga banyak digunakan. Kapur dapat ditemukan dalam berbagai bentuk misalnya limestone atau batu gamping dan dolomitic lime (kapur dengan kadar kalsium tinggi). Kapur mudah didapat seringkali membentuk lapisan sehingga penggunaannya dibatasi untuk proses tertentu. Senyawa kimia dengan kalsium dan magnesium sebagai pembentuk utamanya kerap menghasilkan lumpur atau endapan yang membutuhkan pengerukan dan pembuangan. 2.
Logam Berat Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan densitas lebih besar dari 5
g/cm, mempunyai afinitas yang tinggi dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92, dari periode 4 sampai 7 (Miettinen, 1977 dalam Ernawati, 2010).
II-6
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat menimbulkan efek-efek khusus pada makluk hidup (Palar, 2008 dalam Rosmiati, 2015). Dapat dikatakan semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan dapat meracuni tubuh makhluk hidup. Sebagai contoh adalah logam air raksa (Hg), cadmium (Cd), timah hitam (Pb), mangan (Mn), besi (Fe). Meskipun semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makluk hidup, sebagian dari logam berat tesebut tetap dibutuhkan oleh makluk hidup. Karena dibutuhkan dalam tubuh maka disebut logam esensial, logam beresensial ini adalah tembaga (Cu), seng (Zn), besi (Fe), magnesium (Mg) (Palar,2008 dalam Rosmiati, 2015). Adapun penjelasan mengenai besi (Fe) dan mangan (Mn) sebagai berikut : a. Besi (Fe) Logam Besi (Fe+) merupakan logam transisi dan memiliki nomor atom 26. Fe memiliki berat atom 55,845 g/mol, titik leleh 1.5380 C, dan titik didih 2.8610 C menempati urutan sepuluh besar sebagai unsur di bumi. Logam Besi (Fe+) ditemukan berupa hematit di dalam inti bumi. Logam besi (Fe+) hampir tidak dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Diperkirakan didalam kerak bumi kandungan (Fe+) adalah sebesar 5,63 x 104 mg/kg sedangkan kandungan di laut sebesar 2 x 10-3 mg/L. Didalam air, mineral yang sering berada dalam jumlah besar adalah kandungan besi (Fe+). Apabila besi berada dalam jumlah yang banyak maka, akan mengakibatkan berbagai gangguan pada lingkungan. Besi dalam air tanah bisa
II-7
berbentuk (Fe2+) dan (Fe3+) terlarut. Ferro (Fe2+) terlarut dapat bergabung dengan zat organik dan membentuk senyawa kompleks yang sulit dihilangkan dengan aerasi biasa (Widowati et.al, 2008). Adapun ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah (Saputra et al, 2014) : 1. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air 2. Ada lapisan merah di pinggiran saluran 3. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman Menurut Widowati et al (2008), didalam tubuh manusia Fe memiliki berbagai fungsi esensial dalam konsentrasi tertentu, diantaranya: 1. Sebagai alat angkut elektron dalam sel. 2. Sebagai bagian terpadu dari berbagai reaksi enzim. 3. Sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Didalam tubuh manusia kadar Fe kira-kira sebesar 3-5 gr. Sebanyak 2/3 bagian terikat oleh Hb, 10% diikat mioglobin dan enzim mengandung logam besi (Fe+) dan sisanya terikat dalam hemosiderin dan protein feritin (Widowati dkk, 2008). Asupan Fe dalam dosis besar dapat bersifat toksik bagi manusia karena besi ferro (Fe2+) bisa bereaksi dengan peroksida dan menghasilkan radikal bebas. Kerusakan-kerusakan jaringan karena akumulasi (Fe+) disebut hemokromatosis. Penderita hemokromatosis berisiko terserang kanker hati, penyakit jantung, serosis, dan berbagai penyakit lain. Konsumsi (Fe+) dosis besar akan merusak sel alat pencernaan secara langsung, kemudian akan mengikuti peredaran darah. Toksisitas kronis Fe dapat menyebabkan gangguan fungsi kardiovaskuler, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi endokrin. Perlakuan toksisitas akut besi per oral bisa mengakibatkan muntah, gangguan alat pencernaan, dan shock.
II-8
Dalam mengurangi pencemaran logam besi dapat digunakan teknologi fitoremediasi, menaikkan pH larutan, saringan pasir aktif, mikroorganisme bioremoval, dan oksidasi menggunakan H2O2 sebagai oksidator (Widowati et al, 2008). b. Mangan (Mn) Logam mangan (Mn+) adalah logam berwarna abu-abu keputihan yang mempunyai sifat yang mirip besi (Fe+), merupakan logam yang mudah retak, mudah teroksidasi, dan merupakan logam keras. Logam mangan (Mn+) termasuk unsur terbesar yang ada dikerak bumi. Logam mangan (Mn+) bereaksi dengan air dan larut dalam larutan asam (Widowati et al., 2008). Secara alami mangan ditemukan di air, tanah, dan udara. Logam Mangan (Mn+) termasuk ke dalam unsur logam golongan VII. Mangan memiliki berat atom sebesar 54,93, titik lebur 12470 C, dan titik didih 20320 C. Mangan jarang ditemukan dalam keadaan unsur di alam tetapi berada dalam bentuk senyawa dengan berbagai macam valensi. Didalam sistem air alami konsentrasi mangan umumnya kurang dari 0,1 mg/l. Oleh karena itulah air dengan konsentrasi mangan yang melebihi 1 mg/l maka, pengolahan air dengan cara biasa akan sangat sulit untuk menurunkan konsentrasi mangan sampai dengan batas yang diizinkan sebagai air minum (Said, 2008 dalam Puspita, 2015). Kadar mangan yang berlebihan akan berpengaruh terhadap kesehatan. Berdasarkan penelitian Ashar (2007), mengkonsumsi air minum yang secara alami mengandung konsentrasi mangan yang cukup tinggi seumur hidup dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf dan menimbulkan peningkatan retensi mangan.
II-9
Sedangkan menurut Said (2008), di dalam tubuh manusia mangan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bila dalam jumlah yang kecil tetapi dalam jumlah yang besar dapat mengakibatkan tertimbunnya mangan di dalam hati dan ginjal. Pada umumnya dalam keadaan kronis, mangan dapat menimbulkan gangguan pada sistem saraf dan menampakkan gejala seperti penyakit parkinson. 3.
Baku Mutu Lingkungan Berdasarkan Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 02 Tahun 2011
tentang Baku Mutu Air dari Industri Batubara, parameter logam yang diatur dalam baku mutu limbah cair untuk kegiatan penambangan batubara adalah baku mutu untuk pH, TSS, logam besi (Fe) dan logam mangan (Mn). Tabel 1 di bawah menunjukkan nilai baku mutu pada air asam tambang berdasarkan Perda Kalimantan Timur No.2 Tahun 2011. Tabel 1. Tabel Baku Mutu pada Air Asam Tambang No 1 2
Parameter pH Besi (Fe) Total
Satuan mg/l
Baku Mutu 6-9 7
3
Mangan (Mn) Total
mg/l
4
4
TSS
Mg/l
300
Sumber: Perda Kalimantan Timur No.2 Tahun 2011
4.
Sumber Air Asam Tambang Secara umum air asam tambang yang dihasilkan berasal dari beberapa
sumber diantaranya (Puspita, 2015): a. Air asam tambang yang bersumber dari lokasi penambangan (mine sump). Pit atau bukaan tambang adalah area yang telah dikupas lapisan tanah penutupnya untuk dilakukan pengambilan lapisan batubara. Pit dibuat berjenjang dan terbuka sehingga apabila hujan, air akan melimpas dan
II-10
terkumpul di pit membentuk pit lake. Air limpasan ini bersifat asam karena berkontak dengan lapisan batuan penutup yang mengandung mineral sulfida pembentuk air asam tambang. Air limpasan yang terkumpul ini kemudian dipompa dan dialirkan untuk diolah lebih lanjut. b. Air asam tambang yang berasal dari lokasi timbunan batuan/disposal Area disposal juga merupakan area yang berpotensi menghasilkan air asam tambang. Material yang ditimbun adalah lapisan batuan penutup atau overburden rocks dan dilapisi oleh tanah. Berdasarkan analisis percontohan batuan yaitu clay stone, sand stone, mudstone, dan silk stone, berdasarkan hasil uji sampel pemboran eksplorasi NAG dan blasting, batuan di Site Lati PT. berau Coal memiliki NAG pH < 4,5 pada overburden rocks atau interburden yang berarti memiliki potensi pembentukan asam yang signifikan. c. Air asam tambang dari stockpile batubara Kandungan sulfida pada tumpukan batubara memberikan potensi terbentuknya air asam tambang akibat unsur sulfida bercampur dengan air sehingga teroksidasi dan akan membentuk senyawa asam. Sumber air asam tambang di Stockpile bersumber dari limpasan air pencucian batubara dan air hujan. d. Air asam tambang dari pencucian coal processing plant (CPP) CPP merupakan fasilitas yang digunakan untuk penanganan batubara. Air asam terbentuk akibat penggunaan air yang dimanfaatkan untuk pencucian batubara dan berasal dari air yang bercampur dengan debu pada belt conveyor. Air limbah pencucian batubara dari CPP sebenarnya tidak terlalu memiliki masalah dalam hal pH. Masalah yang ditemukan pada air limbah ini adalah
II-11
kadar TSS yang tinggi karena air tersebut dihasilkan dari proses pencucian batubara sebelum batubara tersebut siap dipasarkan. Oleh karena itu, perlakuan terhadap air limbah dari Coal Processing Plant (CPP) berbeda, pengolahan lebih difokuskan untuk menyisihkan TSS.
C.
Pengelolaan dan pengolahan Air Asam Tambang Air asam tambang dari kegiatan penambangan batubara dan mineral
merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya (US-EPA, 1994). Penambangan batubara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004). Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan pH dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998). Pada sistem aktif dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah jenis air asam tambang (AAT) yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005). Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan ‘active treatment’ yang dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al., 2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang ada pada air asam tambang (AAT) yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005). Pengelolaan air asam tambang dapat dilakukan sejak sebelum terbentuknya air asam tambang tersebut, yaitu dengan melakukan upaya pencegahan. Namun
II-12
ketika reaksi pembentukan air asam tambang telah dimulai, reaksi akan terusmenerus terjadi hingga salah satu pereaksi habis. Jika hal tersebut sudah terjadi, yang dapat dilakukan adalah upaya kuratif dengan pengolahan. Pembentukan air asam tambang merupakan proses yang jika sekalinya terjadi, akan sulit dihentikan kecuali material yang bereaksinya habis. Upaya pengelolaan air asam tambang dapat dilakukan dengan pencegahan atau melakukan sesuatu sebelum terbentuknya air asam tambang tersebut. 1.
Pengelolaan Air Asam Tambang
a. Geosyntetic Clay Liner (GCL) Salah satu upaya pencegahan pembentukan air asam tambang adalah dengan pembangunan lapisan penutup material reaktif, umumnya dikenal sebagai Potentially Acid Forming (PAF), dengan material yang tidak reaktif atau material Non Potential Acid Forming (NAF), tanah, atau material alternatif seperti Geosyntetic Clay Liner (GCL). Lapisan ini dikenal juga dengan sebutan dry cover system. Tujuan dari Air asam tambang di Lati Mine Operation dikelola mulai dari terbentuknya air asam tambang hingga dilepaskan ke badan air. Pembangunan lapisan ini adalah untuk mengurangi difusi oksigen dan infiltrasi air, sebagai faktor penting dalam proses oksidasi mineral sulfida. Selain itu, sistem pelapisan ini juga diharapkan dapat mengendalikan risiko erosi dan mendukung upaya revegetasi lahan penimbunan material. b. Overburden Management Plan Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang dapat dilakukan sejak tahapan eksplorasi dimana sampel dari lubang bor eksplorasi (drilling core)
II-13
diperiksa di laboratorium untuk mengetahui karakteristik batuan penutup (overburden) yang akan digunakan sebagai data dalam pembuatan model geokimia. Dalam hal perencanaan penambangan yang terintegrasi, model geokimia menjadi tahapan awal yang penting guna mendapatkan berbagai informasi sebagai landasan dalam merencanakan tiap tahapan penambangan. Selain dari model cadangan batubara, model yang dapat dikembangkan yakni model persebaran batuan berpotensi pembentuk asam atau PAF dan yang tidak perpotensi atau NAF. Model persebaran ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik dan volume batuan penutup sehingga dapat dilakukan perencanaan terhadap desain daerah penimbunan yang ditujukan untuk pencegahan air asam tambang. Pengelolaan batuan penutup dilakukan dengan melakukan pemisahan antara material PAF dan material NAF (selective dumping method). Pemisahan ini dilakukan untuk melakukan proses enkapsulasi sebagai salah satu metode pencegahan air asam tambang (AAT). Pada prinsipnya enkapsulasi merupakan sebuah cara untuk memutus salah satu komponen dari proses pembentukan air asam tambang yakni menghindarikan material sulfida untuk kontak secara langsung dengan udara dan/atau air dengan memanfaatkan material NAF untuk mengisolasi material PAF. Metode ini sering disebut dengan dry cover. Material PAF ditimbun terlebih dahulu kemudian ditutup dengan lapisan NAF dengan ketebalan tertentu untuk memutus kontak udara dan/atau air dengan material sulfida. Dengan mengetahui volume masingmasing material, maka akan mudah untuk mendesain geometri daerah
II-14
penimbunan. Selanjutnya seluruh area akan kembali dilapisi oleh tanah sebagai media untuk melakukan reklamasi. c. Water Management Proses penambangan batubara pada umumnya menggunakan metode penambangan terbuka (open pit) dimana lapisan penutup akan digali kemudian dipindahkan ke lokasi penimbunan menggunakan dump truck. Material tersebut akan di timbun di daerah waste dump yang sudah ditentukan baik di lokasi outside dump maupun lokasi backfilling. Penambangan dengan metode tambang terbuka ini akan memberikan dampak terhadap perubahan topografi di lokasi penambangan akibat adanya proses penggalian dan penimbunan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi hidrologi melalui perubahan catchment area. Pola aliran air permukaan akan mengalami perubahan yang akan mempengaruhi debit aliran pada sungai di catchment tersebut. Selain itu, terdapatnya material sulfida pada daerah timbunan akan berpotensi terhadap pembentukan air asam tambang yang akan berdampak pada kualitas aliran sungai. Oleh karena itu, water management menjadi bagian yang penting dalam upaya pencegahan terhadap pembentukan air asam tambang. Prinsip dari water management ini adalah bagaimana mengendalikan air dengan memisahkan air yang tercemar dengan air asam tambang terhadap air yang masih berkualitas baik. Selain dari mengurangi beban pengolahan dari aliran air yang tercemar, upaya ini dapat mengisolasi daerah yang terganggu dengan daerah yang tidak terganggu.
II-15
Didalam pengelolan air asam tambang terdapat pengolahan, yaitu mengolah air asam tambang menjadi air yang sesuai dengan baku mutu. Adapun beberapa pengolahan air asam tambang secara umum sebagai berikut : 2.
Pengolahan Air Asam Tambang
a. Secara Aktif Metode abiotik dengan sistem aktif lebih dikenal dengan istilah “active treatment”. Metode ini umumnya dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral untuk mengolah air asam tambang dengan kandungan logam berat yang tinggi. Misalnya penambahan alkali pada air asam tambang akan menaikkan pH dan mempercepat laju kimia oksidasi besi ferrous dengan aerasi aktif atau penambahan agen pengoksidasi kimia seperti hidrogen peroksida. Secara biotik pengolahan air asam tambang yaitu dengan bioreaktor “OffLine Sulfidogenic‟ dibangun dan dioperasikan untuk mengoptimalkan produksi hidrogen sulfid. Bioreaktor Sulfidogenic memanfaatkan produksi biogenik hidrogen sulfida untuk menghasilkan alkalinitas dan untuk menghilangkan logam sebagai sulfida terlarut, yang merupakan salah satu proses yang terjadi pada bioreaktor kompos dan PRBs. Penggunaan bioreaktor Off-Line Sulfidogenic’ memiliki tiga keunggulan dibandingkan remediasi biologi pasif diantaranya adalah kinerja dapat diprediksi dan mudah dikontrol, dapat secara selektif memperbaiki dan menggunakan kembali kemungkinan logam berat seperti tembaga dan seng yang terdapat dalam air asam tambang dan kemungkinan dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam air olahan secara signifikan.
II-16
Namun metode ini membutuhkan biaya operasi yang tinggi dan menghasilkan sludge yang mengandung polutan-polutan logam berat sebagai produk sampingannya (Puspitasari,2015) b. Secara Pasif Sistem pasif pada pengolahan air asam tambang secara abiotik dapat dilakukan dengan menambahkan batu gamping ke saluran air asam tambang yang lebih dikenal dengan anoxic limestone drains (ALD). Metode ini akan meningkatkan alkalinitas pada air asam tambang. Walaupun pengolahan air asam tambang untuk meningkatkan ALD lebih murah dibandingkan dengan constructed wetland namun ALD tidak cocok untuk pengolahan air asam tambang yang mengandung logam besi atau alumunium dalam konsentrasi yang tinggi. Untuk program jangka pendek, kinerja dari ALD cukup baik, (Sandrawati,2012) Pengolahan air asam tambang secara biotik dengan sistem pasif yaitu aerobic wetland, wetlands/compost bioreactors, iron-oxidising bioreactors. Metode-metode ini merupakan sistem pengolahan untuk mengolah air asam tambang agar menghasilkan alkalinitas dan mereduksi kandungan logam secara alami baik dengan memanfaatkan mikroorganisme, beberapa jenis tanaman maupun material alam lainnya.
D.
Metode Wetland (Lahan Basah) Menurut Hammer (1986) dalam Hadiwidodo dkk (2012) pengolahan limbah
dengan sistem wetlands didefinisikan sebagai sistem pengolahan yang memasukkan faktor-faktor utama diantaranya area yang tergenangi air dan mendukung kehidupan tumbuhan air sejenis hydrophyta, media tempat tumbuh
II-17
berupa tanah yang selalu digenangi air (basah), dan media ini bisa juga bukan tanah tetapi media yang jenuh dengan air seperti kerikil, dan pasir. 1.
Tipe Metode Wetland Secara umum ada dua tipe lahan basah diantaranya lahan basah alamiah
(natural wetland) yaitu suatu sistem pengolahan limbah dalam area yang sudah ada secara alami, misalnya daerah rawa dimana kehidupan biota dalam natural wetland ini sangatlah beragam serta jenis tanaman, jarak tumbuh tanaman, dan debit air limbah yang masuk tidak direncanakan dan terjadi secara alamiah. Lahan basah alami atau natural wetland adalah wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen atau musiman, area lahan basah alami meliputi rawarawa, paya, hutan bakau, dan gambut dengan air tergolong air tawar,payau atau asin (Puspita, et al., 2005). Kedua adalah lahan basah buatan (constructed wetland). Construted wetland adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk akibat intervensi manusia. Lahan basah buatan biasanya dibuat untuk meningkatkan produksi lahan pertanian dan perikanan, pembangkit tenaga listrik, sumber air, atau untuk meningkatkan keindahan bentang alam bagi keperluan pariwisata, dan pengelolaan limbah (Puspita, et al., 2005). Constructed wetland merupakan sistem pengolahan limbah cair yang direncanakan, misalnya debit limbah, kedalaman media, beban organik, jenis tanaman, jumlah tanaman, dan lainnya juga diatur, sehingga kualitas air limbah yang keluar dari sistem tersebut dapat dikontrol sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuatnya (Supradata, 2005).
II-18
2.
Constructed Wetland Rawa buatan atau constructed wetland adalah suatu sistem yang dibangun
dan dirancang menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar. Proses pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah yang melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari sebagai sumber energi (Vymazal , 2008 dalam Gunawan, 2012). Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut (Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012 ). Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di dalam rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi oleh sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisika kimia terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen, dan substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar oleh bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran tumbuhan, dan serasah (bahan organik). Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk
II-19
pengelolaan air asam tambang (AAT) dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan anaerobik. Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut (Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012 ). Menurut Novotny dan Olem (1984), proses-proses yang terjadi di dalam rawa buatan secara lengkap meliputi proses-proses fisik, fisik-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari proses sedimentasi, filtrasi, pemangsaan, dan pemanasan. Proses-proses fisik-kimia terdiri dari proses adsorbsi bahan pencemar oleh tanaman air, sedimen, dan subtrat organik. Sedangkan prosesproses biokimia terdiri dari proses penguraian zat pencemar oleh bakteri yang menempel pada permukaan subtrat/media, perakaran tanaman, dan serasah serta penyerapan nutrien dan zat-zat pencemar lainnya oleh tanaman. Pada proses penguraian oleh bakteri; proses penguraian secara aerobik (misalnya nitrifikasi) terjadi di zona aerobic dekat perakaran, proses anoksik (misalnya denitrifikasi) terjadi di daerah yang agak jauh dari perakaran, dan proses anaerobik terjadi di zona anaerobik dimana tidak terdapat oksigen. Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untu pengelolaan air asam tambang (AAT) dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan anaerobik.
II-20
Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha angustifolia atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm. Sedangkan pada rawa buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman lebih dari 30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri dari tanah dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari campuran tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos, serbuk gergaji, kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu gamping (Skousen et al., 1998 dalam Sandrawati, 2012). Sistem lahan basah anaerobik menggunakan komposisi reaktif material berupa kompos, serasah daun, dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk meningkatkan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfid (Benner et al., 1997 dalam Henny, 2009). a. Fungsi Rawa Buatan pada Pengolahan Limbah Tujuan utama pembangunan rawa buatan (seperti telah disinggung sebelumnya) adalah untuk mengolah air limbah. Rawa buatan dapat mengolah berbagai jenis air limbah, baik air limbah domestik, pertanian, perkotaan, industri, pertambangan, maupun air tercemar yang berasal dari run-off. Selain itu rawa buatan juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas air dari suatu sungai atau danau; untuk keperluan ini air dari sungai atau danau yang tercemar dibelokkan ke dalam rawa buatan dan didiamkan beberapa waktu dalam rawa buatan tersebut agar terjadi proses purifikasi air secara alami sebelum akhirnya dialirkan kembali ke dalam badan sungai atau danau. Rawa buatan yang berfungsi
II-21
seperti ini banyak ditemukan di Amerika (USA), Australia, dan Eropa (Meutia, 2001c; Sim, 2003; National Small Flows Clearing House, 2004). Pengolahan air limbah/air tercemar dengan rawa buatan adalah sistem pengolahan air limbah yang memanfaatkan tumbuhan air dan mikrorganisme sebagai mesin pengolah limbah serta matahari sebagai sumber energinya. Oleh sebab itu sistem rawa buata adalah sistem lingkungan (ekosistem) yang berkelanjutan
(environmental
sustainable).
Pada
prinsipnya
sistem
ini
memanfaatkan aktifitas mikroorganisme yang menempel pada akar tumbuhan air dalam menguraikan zat pencemar dimana akar tumbuhan air menghasilkan oksigen sehingga tercipta kondisi aerobik yang mendukung proses penguraian tersebut. Pada akhirnya di dalam rawa buatan terjadi siklus biogeokimia dan rantai makanan, sehingga sistem ini merupakan sistem yang berkelanjutan. b. Proses Pembuatan Constructed Wetland Sistem rawa buatan dibangun berdasarkan kebutuhan dengan cara yang sangat sederhana dan biaya yang relatif murah. Untuk membuat rawa buatan perlu dilakukan studi awal mengenai karakteristik air limbah yang akan diolah, debit air limbah, dan hasil akhir yang diinginkan. Setelah ketiga hal tersebut diketahui maka dilakukanlah perhitungan untuk menentukan luas rawa buatan yang dibangun, waktu detensi, dan kedalaman kolam. Waktu detensi umumnya berkisar 1-7 hari, namun ada juga penelitian yang menggunakan waktu detensi lebih cepat (sekitar 8 jam). Pada kenyataannya rawa buatan berskala besar mempunyai waktu detensi yang lebih lama (biasanya sampai 20 hari). Kedalaman kolam rawa buatan biasanya berkisar antara 60-80 cm, sedangkan untuk kolam sedimentasi lebih dalam (sekitar 150 cm). Selain
II-22
karakteristik air limbah, debit air limbah, dan hasil akhir yang diinginkan – ada faktor-faktor lain juga yang harus diperhatikan dalam mendesain rawa buatan. Faktor-faktor tersebut adalah (Puspita, et al. 2005): (a) Beban limbah. Di dalam air limbah yang akan diolah, harus ditentukan parameter apa yang diharapkan paling tereduksi. Beban limbah berdasarkan parameter tersebut dijadikan dasar dalam mendesain luasan rawa buatan. (b) Substrat/media. Porositas subtrat/media merupakan faktor yang menentukan dalam proses desain rawa buatan, oleh karena itu pemilihan subtrat/media yang tepat harus dilakukan. (c) Tanaman air. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan tanaman yang tepat sangat menentukan keberhasilan proses purifikasi di dalam rawa buatan. (d) Fungsi masing-masing kolam. Biasanya rawa buatan terdiri dari beberapa kolam yang memiliki fungsi masing-masing. Kolam pertama berfungsi untuk mengendapkan sedimen. Di dalam badan air kolam pertama ini tidak banyak tumbuh tanaman air, tanaman air hanya tumbuh di pinggir kolam. Kolam kedua berfungsi untuk mereduksi BOD; untuk itu kolam ini biasanya berisi tanaman air yang cukup padat (seperti halnya marsh wetlands). Kolam ke-tiga berfungsi untuk mereduksi nitrogen; untuk itu kolam ini berisi tanaman air mencuat (emergent) dan mengapung (floating) yang tidak terlalu padat; pada kondisi kolom air seperti ini proses nitrifikasi dan denitrifikasi dapat berjalan dengan baik. Selain ketiga jenis kolam tersebut, tergantung dari tujuannya dapat pula diadakan kolam yang berisi tanaman air mengapung seperti eceng gondok yang sangat rapat sehingga kolom air di bawahnya berkondisi
II-23
anaerob. Kolam terakhir dari unit rawa buatan merupakan kolam yang berfungsi untuk me-recovery (memulihkan) oksigen terlarut; untuk itu kolam ini memiliki sedikit tanaman tenggelam (submergent) agar dapat diperoleh konsentrasi oksigen terlarut yang cukup tinggi. (e) Kemiringan kolam. Penentuan kemiringan kolam diperlukan agar aliran air dapat terkontrol dan sesuai dengan arah aliran yang diinginkan. Kondisi kolam yang menghambat aliran air akan menyebabkan kolam tergenang dan alga tumbuh subur. Selain itu kemiringan kolam juga diperlukan agar sistem rawa buatan ini tetap menggunakan gaya gravitasi dalam pengaliran airnya sehingga tidak diperlukan pompa, dengan demikian biaya operasional rawa buatan dapat ditekan. (f) Unsur estetika. Agar rawa buatan terlihat menarik, sebaiknya dipilih tanaman air yang memiliki nilai estetika tinggi namun tetap memiliki daya pemurnian air yang baik.
E.
Tipe-tipe Constructed Wetland Constructed wetland adalah sistem pengolahan yang terencana dan
terkontrol yang didesain dan dibangun dengan memanfaatkan proses alami yang melibatkan media, vegetasi dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah. Selain untuk menyediakan oksigen di zona akar, tujuan constructed wetland memanfaatkan sejumlah tanaman adalah untuk menambah luas permukaan bagi pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh di zona akar. Selain itu, tanaman juga dimanfaatkan agar dapat menyerap logam yang terkandung didalam air limbah yang diolah (Risnawati, 2009).
II-24
a). Berdasarkan Rancangan Aliran -
Rawa buatan beraliran permukaan (surface flow/SF) Rawa buatan dengan sistem aliran permukaan terdiri dari kolam atau saluran
dengan media alami (tanah) atau buatan (pasir/kerikil) untuk menyokong pertumbuhan tanaman air. Tanaman air mencuat (emergent aquatic plant) tumbuh di atas media dan air limbah diolah pada saat air mengalir di atas permukaan media melalui rumpun tanaman dan serasah (Meutia, 2001). Rawa tipe ini mirip dengan rawa alami – dimana air limbah mengalir di sela-sela tumbuhan air, di atas permukaan media yang tergenang (Khiatuddin, 2003). Pada rawa buatan tipe ini, air limbah terutama diolah oleh bakteri yang menempel di batang, daun, dan rhizoma tanaman air. Ketinggian paras air pada rawa buatan tipe ini biasanya kurang dari 0,4 m (Fujita Research, 2004). Rawa buatan beraliran permukaan Gambar 1 biasanya panjang dan sempit untuk mengurangi aliran air singkat (hydraulic short circuiting) (Meutia, 2001 dalam Puspita et,al., 2005).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 1. Rawa buatan beraliran permukaan (surface flow/SF) -
Rawa buatan beraliran permukaan secara vertikal Rawa buatan beraliran vertikal sering digunakan pada tahap awal sistem
pengolahan air limbah setelah proses pra pengendapan air limbah dilakukan. Pada rawa buatan tipe ini air limbah dialirkan di atas permukaan kolam secara II-25
berselang-seling sehingga terjadi percikan air yang merembes/mengalir ke bawah melalui media kerikil dan sistem perakaran tanaman dimana proses-proses penjernihan alami secara aerobik berlangsung. Pengontrolan debit air perlu dilakukan agar tidak terbentuk genangan air di bagian dasar sistem rawa buatan sehingga kondisi aerobik dapat tercipta di seluruh bagian kolam (Meutia, 2001 dalam Puspita et,al., 2005). Menurut Khiatuddin (2003), rawa buatan beraliran vertikal ini dapat dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu: Rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menurun Pada rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menurun ini, air dialirkan di permukaan sistem lalu merembes melalui substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga kemudian mencapai dasar rawa untuk keluar dari sistem. Rawa buatan dengan sistem aliran ini mudah Gambar 2. mengalami penyumbatan (clogging).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 2. Rawa buatan beraliran vertikal menurun (surface flow/SF) Rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menanjak Pada rawa buatan tipe ini Gambar 3. air disalurkan melalui pipa ke dasar sistem lalu naik pelan-pelan melalui substrat hingga kemudian keluar melalui saluran yang terletak di permukaan subtrat/media.
II-26
Sumber:Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 3. Rawa buatan beraliran vertikal menurun (surface flow/SF) -
Rawa buatan beraliran bawah permukaan (sub surface flow/ SSF) secara horizontal Rawa buatan dengan sistem aliran bawah permukaan ini terdiri dari
saluran-saluran atau kolam-kolam dangkal yang berisi tanah, pasir, atau media porous (batu atau kerikil) yang akan membantu proses penyaringan air. Air limbah mengalir di bawah permukaan media secara horizontal melalui zona perakaran tanaman rawa di antara kerikil/pasir (Meutia, 2001 dalam Puspita et,al., 2005). Dalam sistem pengaliran air di bawah permukaan ini, mikroorganisme sangat berperan dalam menghilangkan bahan pencemar. Mikroorganisme yang menempel di dekat akar menguraikan bahan pencemar secara aerob; kondisi subtrat yang aerob di dekat perakaran tumbuhan ini disebabkan oleh adanya pasokan oksigen dari akar tanaman (Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 4. Rawa buatan beraliran bawah permukaan secara Horizontal (sub-surface flow/SF)
II-27
b). Berdasarkan Material Penyusun Menurut Sandrawati (2012), mengklasifikasikan constructed wetland untuk pengolahan air asam tambang dibagi menjadi: 1. Aerobic wetland (Rawa Buatan aerobik) Wetland ini merupakan rawa yang ditanami dengan tanaman Thypa angustifolia. atau jenis tanaman lain dengan kedalaman kurang dari 30 cm. Substrat (sedimen) pada rawa buatan aerobik biasanya terdiri dari tanah dan liat.
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 5. Rawa buatan Aerobik(surface flow/SF) 2. Anaerobic wetland (Rawa Buatan Anaerobic/Aliran Permukaan) Pada rawa buatan anaerobik tanaman-tanamannya ditanam pada kedalaman lebih dari 30 cm dan substratnya terdiri dari campuran tanah dan berbagai bahan organik seperti kompos, serbuk gergaji,gambut, jerami, kotoran ternak, dan lainnya yang kemudian dicampur dengan batu gamping, kerikil atau pasir (Skousen et al, 1998 dalam Puspita,2010). Gambar 6. di bawah menunjukkan
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 6. Rawa buatan Anaerobik (surface flow/SF) II-28
c). Berdasarkan Jenis Tanaman Lahan basah buatan (constructed wetlands) diklasifikasikan berdasarkan jenis tanaman yang digunakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu (Suriawiria, 2003 dalam Muhajir, 2013) : 1. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta mengambang atau sering disebut dengan lahan basah sistem tanaman air mengambang (floating aquatic plant system). 2. Sistem Rawa buatan dengan tanaman air mencuat atu menajuk ke atas (submerged aquatic plant) biasanya ditempatkan di tengah-tengah unit sistem rawa buatan yang disusun seri, tepatnya setelah perlakuan air limbah dengan tanaman air mencuat dan sebelum perlakuan air limbah dengan tanaman air terapung. Fungsinya rawa buatan tipe ini sama dengan rawa yang menggunakan tanaman air mencuat tapi biasanya untuk air limbah yang kadar pencemarnya relatif rendah. Gambar 7. Di bawah menunjukkan rawa buatan dengan tanmaman terendam dan mencuat.
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 7. Rawa buatan Tanaman Terendam (submerged)
II-29
3. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam atau sering disebut juga amphibiuos plants dan biasanya digunakan untuk lahan basah buatan tipe aliran bawah permukaan (subsurface flow wetlands) SSF-Wetlands. Constructed wetlands memiliki karakteristik performa yang baik, biaya pengoperasian dan investasi yang minimum, sangat ekonomis dan bermanfaat bagi masyarakat dalam menangani air limbah dan mekanisme penyisihan polutan merupakan dasar yang penting pada desain teknik constructed wetlands, dan dapat memberikan keandalan dalam desain rekayasa dan operasi (Mengzhi et al, 2009).
F.
Keanekaragaman Hayati Wetland (Lahan Basah) Rawa buatan memiliki keanekaragaman hayati yang cukup beragam, baik
flora maupun fauna, baik yang berukuran makro maupun mikro (renik). Pada rawa buatan yang ditujukan bagi keperluan pengolahan air limbah/ air tercemar, makrohidrofita dan mikroorganisme merupakan komponen flora-fauna utama yang menjalankan fungsi pengolahan air limbah/air tercemar. Berkaitan dengan fungsi itulah maka pemilihan jenis-jenis flora yang akan ditanam di rawa buatan harus didasari pada kemampuannya dalam melakukan pengolahan air limbah. Selain kemampuan dalam pengolahan air limbah, faktor estetika dan manfaat ekonomi juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih jenisjenis tumbuhan yang akan ditanam di dalam rawa buatan. Selain mengatur jenis-jenis flora, jenis-jenis fauna yang hidup di rawa buatan pengolah air limbah/air tercemar juga perlu diatur (Sim, 2003).
II-30
1.
Flora Tanaman air yang biasa digunakan di dalam rawa buatan dikelompokkan
menjadi: (i) Tanaman air terapung (floating plant), yaitu tanaman yang mempunyai akar di dalam air dengan daun diatas air. Tanaman air terapung ini terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) Floating attached plant yang berdaun di permukaan air namun akarnya tertanam di dasar, contohnya Water poppy (Hydrocleys nymphoides) dan Teratai (Nympheae); serta (2) Floating unattached plant yang daun dan akarnya melayang-layang di air, contohnya: Duckweed (Lemna minor), Eceng gondok (Eichornia crassipes), dan Ki-apu (Pistia statiotes). (ii) Tanaman air tenggelam (submergent aquatic macrophyte), yaitu tanaman air yang keseluruhannya berada di dalam air. Jenisjenis tanaman air ini antara lain: Hydrilla, Potamogeton, dan Chara. (iii) Tanaman air mencuat (emergent aquatic macrophyte), yaitu tanaman air timbul yang berakar di bawah air dan berdaun di atas air. Jenis-jenis tanaman air ini antara lain: Tifa/Lembang (Typha), sejenis rumput/Reed (Phragmites), Mata panah/Arrowhead (Sagitaria japonica), Pisang air/Giant arum (Typhonodorum), Papirus/Papyrus (Cyperus papyrus), Payung-payungan/Umbrella plant (Cyperus alternafolius), Melati air/Water dop (Echinodorus paleafolius), Anggrek air (Iris), Kana (Canna edulis.) dan Futoi (Hippochaetes lymenalis). 2.
Fauna Fauna yang biasa ditemukan di rawa buatan adalah berbagai jenis burung air
yang membuat sangkar di antara tanaman, reptil yang berkembang biak dan hidup
II-31
di rawa seperti ular dan katak, serta berbagai jenis ikan yang hidup di kolom air. (Sonobe and Usui,1993). Ikan-ikan yang hidup di rawa buatan biasanya merupakan ikan yang sengaja ditebarkan untuk menambah daya guna rawa buatan. Jenis-jenis ikan yang biasa
ditebarkan
di
rawa
buatan
antara
lain
adalah
Karper
rumput
(Ctenopharyngodon idella), Wuchang (Megalobrama amblyocephala), Karper perak
(Hypophthalmicthys
molitirix),
Mas
(Cyprinus
carpio),
Mujair
(Oreochromis mossambicus), dan Nila (O. niloticus) (Khiatuddin, 2003). Berbagai jenis serangga (seperti capung dan nyamuk) dapat dijumpai di permukaan air atau beterbangan di sekitar rawa buatan. Berbagai jenis benthos (seperti siput, keong, dan cacing) juga dapat ditemukan di substrat rawa buatan. Cacing di rawa buatan mempunyai fungsi yang unik karena berperan dalam mencerna gumpalan padatan (sludge/biofilm) yang terbentuk di antara media, kemudian membawanya ke atas permukaan media. Hasil pencernaan cacing ini dikenal sebagai “kascing” yang juga merupakan pupuk bagi tanaman. Keanekaragaman mikroorganisme di dalam rawa buatan juga sangat besar karena rawa buatan mempunyai zona aerobik, anoksik, dan anaerobik, yang masing-masing memiliki jenis mikroorganisme yang berbeda.
G.
Tanaman Tifa (Typha angustifolia)
1.
Typha angustifolia Tumbuhan Typha angustifolia termasuk kedalam famili Typhaceae
(Lembangs) yang merupakan tumbuhan rhizomatous tegak, tumbuhan menahun. Rimpang yang bercabang luas, menghasilkan tunas udara pada dan tumbuh dikedalaman yang dangkal kearah horisontal. Daun berbentuk basal tipis, tegak,
II-32
linier, datar dan panjang dengan lebar 4-12 mm ketika segar dan 3-8 mm ketika kering dan dapat mencapai ketinggian sampai 3 meter. Bunga seperti paku besar (spike) berwarna coklat gelap berbentuk padat silinder, 15-50 cm yang menyatu dengan tanamannya dan dapat memproduksi hingga 200.000 bibit dengan persentase yang tinggi dari viabilitas (Prunster, 1940, Yeo, 1964). Gambar 8. Berikut menunjukkan morfologi dan bentuk fisik tumbuhan Lembang (Typha angustifolia). Gambar 8. di bawah menunjukkan bentuk fisik tanaman cattail/tifa/lembang (Typha angustifolia) yang di tanamn sebagai pengolahan pasif limbah cair domestik, dan bentuk morfologi cattail/tifa/lembang (Typha angustifolia).
Sumber: Google
(a) (b) Gambar 8. Bentuk fisik Tumbuhan Lembang (Typha Angustifolia) (a), Morfologi Tumbuhan Lembang (Typha Angustifolia) (b) Bunga seperti paku besar tersebut berjumlah 2 bagian, yaitu bagian atas dan bawah yang dihubungkan oleh sumbu telanjang. Sumbu telanjang ini sebagai pemisah antara bunga jantan dan betina.Bunga jantan berada di bagian atas sedangkan bunga betina berada di bagian bawah. Sumbu telanjang antara bunga jantan dan betina umumnya mempunyai panjang 1-8 cm. (USDA, NRCS, 2006) Klasifikasi tanaman Lembang (Typha angustifolia) adalah sebagai berikut:
II-33
Kerajaan : Plantae Subdivisi : Angiospermae Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Poales
Famili
: Typhaceae
Genus
: Typha
Spesies
: Typha angustifolia
Berdasarkan morfologi dari tumbuhan Lembang (Typha angustifolia) sangat cocok untuk pengolahan dengan sistem constructed wetland. Tumbuhan Lembang memiliki sistem perakaran yang banyak yang dapat menyerap zat organik di bagan air. Sedangkan tumbuhan Lembang sangat banyak dan tumbuh subur di sekitar Surabaya. Tanaman Lembang (Thypa angustifolia) mempunyai daya tahan yang cukup kuat dan tidak mudah mati serta mempunyai akar serabut yang sangat lebat sehingga penyerapan terhadap bahan pencemar terhadap unsur hara yang dibutuhkan relatif besar. Tanaman lembang banyak ditemui di Bawean, Madura, dan Karimunjawa, namun sayang tanaman ini tak begitu dikenali. Umumnya lembang tumbuh di paya-paya dataran rendah dan di perairan payau; namun didapati pula di rawarawa pegunungan hingga ketinggian 1.725 mdpl. Di belakang pantai, lembang kerap berasosiasi dengan vegetasi mangrove. Umum dijumpai, namun sering melimpah secara lokal saja. Tanaman ini acapkali suka menggerombol (Giesen.et al, 2006). Marga Typha, tidak terkecuali lembang, menyebar di kawasan tropika, ke utara hingga lingkar kutub dan ke selatan sehingga sekitar 35°LS. Di Asia
II-34
Tenggara, Embet tercatat dari Burma, Tahiland, dan Papua Nugini. Di Indonesia didapati di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Karimunjawa, Bawean, Madua dan papua (Giesen.et al, 2006). 2.
Peranan Tifa (Typha angustifolia) sebagai Fitoremediator pada Sistem Constructed Wetland Fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremedtiation kata ini sendiri
tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton yaitu tumbuhan dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium yang berarti menyembuhkan, atau dapat juga diartikan sebagai penggunaan tnaman atau pohon untuk pemulihan tanah atau badan perairan yang telah tercemar. Tanaman bisa berperan aktif maupun pasif dalam proses penyisihan polutan yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000 dalam Thaariq, 2015). Tanaman yang mempunyai kemampuan menyerap logam berat melalui akar dan mengakumulasinya dalam berbagai organnya, dikenal sebagai tanaman hiperakumulator
(Hyperacumulator),
jenis
tanaman
hipertoleransi
yang
mempunyai tinggi bisa juga digunakan sebagai tanaman alternatif dalam fitoremediasi (Ebbs, 1998 dalam Thaariq, 2015). Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang siambung (Hardiani, 2009 dalam Thaariq, 2015), sebagai berikut: i.
Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air
II-35
biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan sneyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh permukaan akar. ii. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringn pengangkut (xylem dan floem) ke bagian tanaman lainnya. iii. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolism tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar. Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kemampuan tanaman remediator untuk mengurangi polutan dipengaruhi oleh sistem penanaman dan keragamannya, terutama yang berkaitan dengan anatomis morphologis tanaman, pertumbuhan (kedalaman, struktur, sistem perakaran dan biomassa yang dihasilkan, pertumbuhan cepat) dan proses-proses fisiologis dalam tanaman, mampu mengekstrak dan menghasilkan bahan pencemar dari beracun menjadi tidak dan kurang beracun (Environmental Protection Agency,2011). Hasil penelitian Masayu, (2009) dimana Tanaman air jenis Lembang (Typha angustifolia) memiliki kinerja yang cukup baik dalam pengolahan air limbah domestik dengan sistem lahan basah buatan (constructed wetland) dengan didapat penyisihan bahan organik seperti COD terbaik sebesar 91.8% pada jarak tanaman 10cm dan waktu tinggal 15 hari. didapat penyisihan BOD terbaik sebesar 91.6%
II-36
pada jarak tanaman 15cm dan waktu tinggal 15 hari. didapat penyisihan TSS terbaik sebesar 83.3% pada saat waktu tinggal 15 hari. Adapun hasil penelitian Puspita, (2015) Typha angustifolia mampu menyerap logam besi (Fe) dan Mangan (Mn), dimana pada akar menyerap Fe = 15116 ppm dan Mn = 936 ppm dengan bobot biomassa 4.85 gr, juga pada batang menyerap Fe = 1432 ppm dan 1484 ppm dengan bobot biomassa 36,31 gr. Sehingga pada lokasi inlet constructed wetland PT. Bukit Asam dimana rata-rata kadar logam besi (Fe) adalah 3,31 mg/L sedangkan pada lokasi outlet sebesar 0,70 mg/L. Kadar rata-rata Mn pada lokasi inlet sebesar 3,36 mg/L sedangkan pada outlet wetland sebesar 0,63 mg/L. Hal yang sama sejalan dengan penelitian Imas (2009) dimana penelitian ini menggunakan constructed wetland sistem aliran horisontal dan vertikal bawah permukaan dengan waktu detensi 9 hari. Tujuannya adalah untuk membandingkan sistem mana yang lebih baik.Logam yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah Fe, Cu dan Zn. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cyperus papyrus yang termasuk kelompok sedges. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan logam Fe, Cu dan Zn menggunakan constructed wetland pada reaktor horisontal masing-masing 91,38%, 98,15% dan 97,71%, sementara untuk reaktor vertikal masing-masing 95,44%, 97,28% dan 97,54%. Reaktor dengan aliran vertikal bawah permukaan memberikan efisiensi yang sedikit lebih baik dibandingkan reaktor horisontal bawah permukaan.
II-37
H.
Kompos Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagi macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dana aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H Crawford, 2003 dalam Mujab, 2011). Kompos mengandung berbagai hara mineral yang berfungsi sebagai pupuk. Kompos juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanah menjadi remah, dan pada gilirannya mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup lebih subur. Kompos juga berguna untuk bioremediasi (Notodarmojo, 2005 dalam Thaariq, 2015). Kompos bersifat hidrofilik sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam memegang air dan mengandung unsur karbon yang relatif tinggi sehingga dapat menjadi sumber energi mikroba. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia. (Samekto, 2006 dalam Thaariq, 2015) menyatakan bahwa kompos mampu mengurangi kepadatan tanah sehingga
memudahkan
perkembangan
akar
dan
kemampuannya
dalam
penyerapan hara. Peranan bahan organik dalam pertumbuhan tanaman dapat mempengaruhi tanaman melalui perubahan sifat dan ciri tanah. Kadar unsur makro yang terdapat di dalam pupuk kompos sperti N, P dan K tidak setinggi pada pupuk anorganik, sehingga membuat pupuk kompos jarang digunakan sebagai pupuk utama dalam bercocok tanam, tetapi pupuk kompos
II-38
memiliki unsure mikro cukup tinggi yang dibuthkan oleh tanaman tertentu untuk pertumbuhannya. Kandungan hara kompos secara umum dapat dilihat pada Tabel 2. di bawah. Tabel 2. Kandungan Hara Kompos Sisa Tanaman Secara Umum Komponen Kadar Air C-Organik N P2O5 K2O Ca Mg Fe Al Mn
Kandungan (%) 41-43 4.83 – 8.00 0.10 – 0.51 0.35 – 1.12 0.32 – 0.80 1.00 – 2.09 0.10 – 0.19 0.50 – 0.64 0.50 – 0.92 0.02 – 0.04
Sumber: Center for Policy and Implementation Studies, 1994)
Proses pengomposan adalah proses dekomposisi materi organik menjadi pupuk kompos melalui reaksi biologis mikrroorganisme secara aerobik dalam kondisi terkendali. Pengomposan merupakan proses pneguraian senyawa-senyawa yang terkandung dalam sisa-sisa bahan organic (seperti jerami, daun-daun, sampah rumah tangga, dan sebagainya) dengan suatu perlakuan khusus. Hampir semua bahan yang pernah hidup, tanaman atau hewan akan membusuk dalam tumpukkan kompos (Outterbridge, 1991 dalam Thaariq, 2015).
I.
Perhitungan Kadar Logam Berat Besi dan Mangan Pada penelitin ini, perhitungan kadar logam besi (Fe) dan mangan (Mn)
menggunakan spektrofotometri untuk menentukan kadar logam dalam suatu sampel. Dari data pengujian laboratorium, yang berikutnya dihitung adalah
II-39
efesiensi penyisihan logam pada air dan dalam tanah. (Kristianingrum S dan Sulastri S, 2011 dalam Thaariq, 2015) menggunakan rumus: RE (%) =
Konsentrasi awal−konsentrasi akihir konsentrasi awal
x 100
(2.1)
Efesiensi penyerapan oleh tanaman merupakan informasi selanjutnya yang menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyerap logam. Perhitungan efesiensi penyerapan dalam penenlitian ini didasarkan pada konsentrasi logam dalam tanaman serta konsentrasi logam yang ditambahkan ke dalam tanah. (Haryanti dkk, 2013 dalam Thaariq, 2015) menggunakan rumus sebagai berikut : Efesiensi Penyerapan =
Logam pada tanaman logam pada tanah awal
x 100
(2.2)
Dari perhitungan persentase penyerapan logam pada tanah dan tanaman, dapat diketahui besarnya kadar logam yang hilang atau tidak terserap pada tanaman. Sehingga dapat diketahui kestimbangan massa logam, Perhitungan kadar logam yang hilang dapat dihitung menggunakan rumusberikut ini : Kadar logam yang tidak terdeteksi = (a) – (b)
(2.3)
Dimana : a = Selisih konsentrasi logam pada tanah b = Selisih konsentrasi logam pada tanaman Selanjutnya pengamatan morfologi tanaman dapat dilihat dari penambahan berat tanaman sebelum dan setelah perlakuan serta perhitungan kadar air. Menurut Respyan dkk (2011) kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:
Kadar Air (%) =
Berat basah – Berat kering Berat basah
x 100
(2.4)
Untuk perhitungan laju penyerapan logam pada tanaman dapat dihiutng dengan menggunakan rumus berikut : Penyerapan =
Berat kering tanaman x Kadar logam pada tanamn
(2.5)
Berat kering tanaman x waktu
II-40
Adapun untuk menghitung kesetimbangan masdari tiap reaktor berdasrkan penelitian Risnawati (2009) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Kesetimbangan = Influen ± Tanah − Tanaman − efluen
K.
(2.6)
Penelitian Terkait
Tabel 3. Penelitian terkait dengan penelitian penulis Penelitian, Institusi, dan Tahun Abdulgani, Hamdani, et al. Pasca Serjana Universitas Diponegoro. 2013
Puspitasari, Ria. Universitas Sriwijaya. Tahun 2015
Judul Penelitian
Metode penelitian
Pengolahan Experimental Limbah Designs, Cairindustri Kerupuk dengan Sistem Subsurface Flow Constructed Wetland menggunakan Tanaman Typha Angustifolia
Analisis Penurunan Kadar Logam berat (Fe dan Mn) pada Air Asam Tambang mengguakan Metode
Metode percobaan pengambilan sampel, pengukuran, dan analisis data. Penelitian deskriptif
Persamaan dan Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian Efisiensi Persamaan : penurunan 1.Menganalisis tertinggi pada penurunan semua parameter logam dengan uji tersebut terjadi constructed pada waktu tinggal wetland terlama dalam 2.Meneliti logam penelitian ini, yaitu Fe dan Mn 3 hari, dengan pada Air Asam efisiensi Tambang penurunan TSS (76,5%), Amoniak Perbedaan : (26,6%) dan 1.Desain Sulfida (52,9%) Penelitian serta kondisi pH 2.Rancangan dan 6,4. variabel penelitian. 3.Tipe dan pemanfaatan media (jenis tanaman dan material) constructed wetland. Kadar logam besi Persamaan : (Fe) rata-rata inlet 1.Menganalisis : 3,31 mg/L penurunan sedangkan pada logam dengan lokasi outlet constructed sebesar 0,70 mg/L wetland dan Mangan (Mn) 2.Meneliti logam inlet sebesar 3,36 Fe dan Mn
II-41
Constructed Wetland di PT. Bukit Asam (PERSERO) TBKUPTE
Sandrawati, Apong. Pasca Serjana IPB. 2012.
dengan cara membandingkan kandungan limbah sebelum dan sesudah memalui sistem wetland.
Pengelolaan Air Experimental Asam Tambang Designs, Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ Di Pertambangan Batubara ( Studi Kasus di Site Pertambangan Sambrata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur),
mg/L sedangkan pada outlet ratarata sebesar 0,63 mg/L. Hasil p value untuk kadar logam besi adalah 0,0135 dan untuk kadar logam mangan adalah 0,0085 (p value < α) artinya terdapat penurunan yang signifikan untuk kadar logam besi dan mangan pada air asam tambang setelah memasuki constructed wetland di IUP TAL PT Bukit Asam (Persero) Tbk UPTE. Rawa buatan dengan konstruksi organic wall dan kolam pertumbuhan yang terdiri dari bahanbahan in situ yang dikondisikan reduktif dapat memperbaiki kualitas air, sehingga kualitas air pada outlet berada di bawah ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan. 2. Reduksi sulfat berlangsung pada kondisi reduktif dengan Eh < 100 mV yang mengakibatkan kenaikan pH dan selanjutnya terjadi reduksi dan
pada Air Asam Tambang Perbedaan : 1.Desain Penelitian 2.Rancangan dan variabel penelitian. 3.Tipe dan pemanfaatan media (jenis tanaman dan material) constructed wetland.
Persamaan : 1.Mendesain Constructed Wetland penurunan 2.Meneliti logam Fe dan Mn pada Air Asam Tambang Perbedaan : 1.Rancangan dan variabel penelitian. 2.Tipe dan pemanfaatan media (jenis tanaman dan material) constructed wetland. 3.Lokasi Site penelitian.
II-42
Imas, dan Damanhuri. Intitut Teknologi Bandung. 2009
Puspita, Lani. Sekolah Pasca Sarjana IPB. 2007
Penyisihan Experimental Logam pada Designs, Lindi menggunakan Constructed Wetland
Reduksi senyawa Nitrogen, Fosfor, konstituen organik, dan TSS pada air Lindi limpasan dengan rawa buatan
Percobaan, Pengambilan sampel dan pengukuran, serta analisis data
pengendapan besi dan mangan. Efisiensi penyisihan logam Fe, Cu dan Zn menggunakan constructed wetland pada reaktor horisontal masing-masing 91,38%, 98,15% dan 97,71%, sementara untuk reaktor vertikal masing-masing 95,44%, 97,28% dan 97,54%. Reaktor dengan aliran vertikal bawah permukaan memberikan efisiensi yang sedikit lebih baik dibandingkan reaktor horisontal bawah permukaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Efisiensi Reduksi (ER) menunjukkan bahwa sistem Vertical Up-Flow Constructed Wetland memiliki kemampuan sangat baik dalam mereduksi beban senyawa N dan P (umumnya nilai ER>80%) serta cukup baik dalam mereduksi beban konstituen organic dan TSS (umumnya nilai ER > 50%).
Persamaan : 1.Menganalisis penurunan logam dengan constructed wetland. Perbedaan : 1.Desain Penelitian 2.Rancangan dan variabel penelitian. 3.Tipe dan pemanfaatan media (jenis tanaman dan material) constructed wetland. 4.Parameter yang digunkan.
Persamaan: 1.Melihat penurunan kandungan air limbah dengan constructed wetland Perbedaan: 1. Sumber air Limbah. 2. Parameter air limbah yang diteliti.
II-43
Bila dilihat dari penelitian-penelitian terkait yang telah dilakukan sebelumnya, keterbaruan dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah adanya perlakuan komposisi material dan bahwa pada umumnya metode constructed wetland digunakan untuk mengolah air limbah domestik atau air limbah yang berasal dari rumah tangga. Sedangkan dalam penelitian ini constructed wetland digunakan untuk mengolah air asam tambang. Perbedaan dengan penelitian metode constructed wetland dalam mengolah air asam tambang yang ada adalah pada penelitian sebelumnya constructed wetland yang digunakan hanya dalam skala yang lebih kecil bahkan dalam skala laboratorium. Perbedaan lainnya adalah tipe constructed wetland yang digunakan, bahan pencemar yang akan direduksi dan perbedaan pada vegetasi yang dimanfaatkan dalam constructed wetland.
II-44