BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Keuangan Daerah
2.1.1
Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah seringkali diartikan sebagai mobilisasi
sumber keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Pandangan seperti ini terlalu menyederhanakan dan cenderung menghasilkan rekomendasi kebijakan yang reaktif sepihak. Objek pengelolaan keuangan daerah menurut Halim (2004:68) adalah sebagai berikut: “1. Sisi Penerimaan Daerah dapat melakukan dua hal : Pertama, mobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta optimalisasi pinjaman daerah dan laba BUMD. Kedua, daerah dapat melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan baru, yaitu penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. 2. Sisi Pengeluaran Daerah harus dapat melakukan redefinisi proses penganggaran”. Keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan
dalam
pengelolaan
keuangan
kemampuan/kemandirian daerah.
10
daerah
untuk
melihat
11
2.1.2
Pengelolaan Keuangan Daerah Pengertian pengelolaan keuangan daerah di dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan (2006:137) adalah sebagai berikut: “Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah”. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti pemberian sumbersumber penerimaan yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada perundangundangan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah. Sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Darise (2006:21) mengemukakan: “Di dalam undang-undang mengenai keuangan negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan pada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah”. Pengelolaan keuangan daerah tersebut diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
12
Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 2.1.3
Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah Kebijakan umum pengelolaan daerah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta potensi sumber-sumber keuangan yang ada pada daerahnya masingmasing, dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Peraturan Pemerintah
Nomor
105
Tahun
2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
tersebut
maka
dapat
dikemukakan bahwa kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah menurut Halim (2004:70) antara lain sebagai berikut: “1. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan dinamis serta efisiensi dan efektif dalam meningkatkan produktifitas; 2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas pemerintahan dan pembangunan; 3. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan maupun memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan skala prioritas”. Anggaran yang baik tidak hanya memuat informasi tentang pendapatan, belanja dan pembiayaan namun lebih dari itu harus dapat memberikan informasi mengenai kondisi kinerja pemerintah daerah yang akan dicapai, sehingga anggaran dapat dijadikan tolok ukur pencapaian kinerja, dengan kata lain kualitas
13
anggaran daerah dapat menentukan kualitas pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah. Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah yang tergambar dalam pelaksanaan APBD yang merupakan instrumen dalam menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah mengacu pada aturan yang melandasinya baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah. 2.1.4
Ruang Lingkup Keuangan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 2, ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman; 2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan daerah; 4. Pengeluaran daerah; 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;
14
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan
daerah
dan/atau
kepentingan umum. 2.1.5
Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4, azas umum pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut: 1. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan,
efisien,
ekonomis,
efektif,
transparan,
dan
bertanggungjawab, dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat; 2. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dijabarkan pengertian tentang asas-asas umum pengelolaan keuangan daerah tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Tertib adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan;
15
2. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundangundangan; 3. Efektif adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dan hasil; 4. Efisien adalah pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai ketentuan tertentu; 5. Ekonomis adalah pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah; 6. Transparan
adalah
merupakan
prinsip
keterbukaan
yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah; 7. Bertanggungjawab adalah perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan; 8. Keadilan adalah keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang objektif; 9. Kepatuhan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional; 10. Manfaat adalah untuk masyarakat bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
16
2.2
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Struktur Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan Daerah Semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. 2. Belanja Daerah Semua pengeluaran dari rekening kas umum darah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. 3. Pembiayaan Daerah Semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. 2.3
Pendapatan Daerah Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 157 (Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan) terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Menurut Darise (2007:38) Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
17
daerah yang sah, yang bertujuan untuk pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Sah, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. 2.3.1
Pendapatan Asli Daerah
2.3.1.1 Pajak Daerah Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Sedangkan pengertian pajak menurut Rochmat Sumitro dalam Darise (2007:44) adalah iuran rakyat pada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) langsung yang dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Iuran rakyat kepada Negara Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
18
2. Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kententuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individu dari pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat luas. Dilihat dari aspek pemungutannya pajak mempunyai dua fungsi yaitu: 1. Fungsi Budgeter Fungsi terletak dan lazim dilakukan pada sektor publik dan pajak disini merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk memasukan uang kedalam kas Negara/daerah sesuai dengan waktunya dalam rangka membiayai pengeluaran pemerintahan pusat/daerah. 2. Fungsi Pengaturan Fungsi yang dipergunakan oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan tertentu yang berada diluar sektor keuangan Negara/daerah, konsep ini paling sering digunakan pada sektor swasta. Pemungutan Pajak hendaknya dilakukan secara proposional agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Pemungutan pajak harus memenuhi syarat keadilan, syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial/efisiensi, sistem pemungutan harus sederhana.
19
Pajak daerah menurut Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dibagi menjadi dua bagian, yaitu: “1. Jenis pajak Provinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: a. Pajak Hotel. b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan. d. Pajak Reklame. e. Pajak Penerangan Jalan. f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. g. Pajak Parkir”. Selanjutnya dalam Undang-Undang 34 Tahun 2000 Pasal 2 Ayat (4) (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) juga dinyatakan bahwa melalui peraturan daerah dapat juga ditetapkan jenis pajak Kabupaten/Kota lainnya dengan kriteria sebagai berikut: 1. Bersifat pajak dan bukan retribusi. 2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat.
20
5. Potensinya memadai. 6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. 7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. 8. Menjaga kelestarian lingkungan. 2.3.1.2 Retribusi Daerah Retribusi daerah menurut Pasal 1 Ayat (26) Undang-Undang 34 Tahun 2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah: “Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Retribusi dibagi atas tiga golongan, yaitu: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perizinan tertentu”. Jasa umum menurut Pasal 1 Ayat (28) Undang-Undang 34 Tahun 2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah: “Jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan”. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum menurut Pasal 18 Ayat (3a) UndangUndang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut: “1. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu. 2. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
21
4. 5. 6. 7.
Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraan. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik”.
Jasa usaha menurut Pasal 1 Ayat (29) Undang-Undang 34 Tahun 2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah: “Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsipprinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta”. Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha menurut Pasal 18 Ayat (3b) UndangUndang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut: “1. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu. 2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial dan seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah”. Perizinan tertentu menurut Pasal 1 Ayat (30) Undang-Undang 34 Tahun 2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah: “Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan”.
22
Jenis-jenis Retribusi Perizinan tertentu menurut Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut: “1. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka azas desentralisasi. 2. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum. 3. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan”. 2.3.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah) Pasal 26 Ayat (3) menyebutkan bahwa kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: “1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD. 2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN. 3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat”. 2.3.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Lain-lain pendapatan yang sah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
(Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah)
Pasal
26
Ayat
(4)
(tersedia:http://www.jakarta.go.id) dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: 1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan. 2. Jasa giro. 3. Pendapatan bunga.
23
4. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah. 5. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan. 6. Pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 7. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. 8. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. 9. Pendapatan denda pajak. 10. Pendapatan denda retribusi. 11. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. 12. Pendapatan dari pengembalian. 13. Fasilitas sosial dan fasilitas umum. 14. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. 15. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. 2.3.2
Dana Perimbangan Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bahwa yang dimakusd dengan Dana Perimbangan adalah: “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepala daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”. Sesuai dengan Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok pendapatan
24
dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas Dana Bagi hasil, Dana alokasi umum dan Dana alokasi khusus. 2.3.2.1 Dana Bagi Hasil Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Bagi Hasil adalah: “Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan 3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: 1. Kehutanan; 2. Pertambangan umum; 3. Perikanan; 4. Pertambangan minyak bumi; 5. Pertambangan gas bumi; dan 6. Pertambangan panas bumi.
25
2.3.2.2 Dana Alokasi Umum Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Alokasi Umum adalah: “Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. 2.3.2.3 Dana Alokasi Khusus Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Alokasi Khusus adalah: “Dana Alokasi Khusus, selanutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional”. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-
26
undangan dan karateristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian Negara/departemen teknis. 2.3.2.4 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Sesuai penjelasan Pasal 164 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Daerah, Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah adalah: “Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah”. Dalam Pasal 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1. Hibah
berasal
dari
pemerintah,
badan/lembaga/organisasi
swasta
pemerintah dalam
daerah
negeri,
lainnya, kelompok,
masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikuti; 2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; 3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; 4. Dana penyesesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan 5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. 2.4
Belanja Daerah Sesuai dengan Pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Belanja daerah
27
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Pengertian belanja daerah meurut Halim (2007:322) adalah: “Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah mengurangi nilai kekayaan bersih”. Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa yang dimaksud dengan belanja daerah adalah: “Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih”. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa kelompok belanja daerah terdiri dari: 1. Belanja Tidak Langsung, dan 2. Belanja Langsung
28
2.4.1
Belanja Tidak Langsung Belanja Tidak Langsung berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006, adalah: “Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan”. Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: 1. Belanja Pegawai Merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan. 2. Belanja Bunga Digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. 3. Belanja Subsidi Digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. 4. Belanja Hibah
29
Digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. 5. Bantuan Sosial Digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 6. Belanja Bagi Hasil; 7. Bantuan Keuangan; dan 8. Belanja Tidak Terduga 2.4.2
Belanja Langsung Belanja Langsung berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006, adalah: “Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan”. Sesuai dengan penjelasan Pasal 97 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan atau Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung yang terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Sistem Kinerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD) pada masing-masing SKPD. 1. Belanja Pegawai
30
Belanja pegawai sebagaimana dimaksud untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. 2. Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa sebagaimana dimaksud mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan
bermotor,
cetak/penggandaan,
sewa
rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai. Di dalam Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat beberapa yang harus diperhatikan dalam Belanja Barang dan Jasa: a. Penyediaan anggaran untuk belanja barang habis pakai agar disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Sistem Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh
31
karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian. b. Penganggaran pengadaan software untuk sistem informasi manajemen keuangan daerah dicantumkan dalam belanja barang dan jasa. Jika software tesebut dapat dioperasikan sesuai dengan fungsinya, harus dikapitalisasi menjadi aset daerah. c. Dalam
upaya
meningkatkan
dan
memberdayakan
kegiatan
perekonomian daerah, perencanaan pengadaan barang dan jasa mengutamakan hasil daerah, perencanaan pengadaan barang dan jasa agar mengutamakan hasil produksi dalam negeri dan melibatkan pengusaha kecil, menengah dan koperasi. d. Dalam merencanakan kebutuhan barang, pemerintah daerah supaya menggunakan daftar inventaris. e. Barang milik pemerintah daerah dan standar penggunaan barang sebagai dasar perencanaan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah. f. Penganggaran belanja untuk penggunaan energi agar mempedomani Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penghematan Energi. g. Penyusunan rencana kebutuhan pengadaan barang dan jasa agar mempedomani ketentuan tentang standar satuan harga barang dan jasa yang ditetapkan oleh keputusan Gubernur.
32
h. Belanja perjalanan dinas baik dalam daerah maupun luar daerah untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah dan pelayanan masyarakat dianggarkan dalam jenis belanja barang dan jasa. i. Penyediaan belanja perjalanan dinas dalam rangka studi banding dilakukan secara selektif baik orang, hari maupun frekuensinya agar tidak terlalu lama meninggalkan tugas dan tanggungjawab yang diamanatkan
dalam
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan studi banding dapat dilakukan sepanjang memiliki nilai manfaat guna kemajuan daerah. j. Perjalanan dinas ke luar negeri agar mempedomani: (1) Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan Dinas ke Luar Negeri. (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2005 tentang Pedoman Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Pejabat di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pemrintah Daerah dan Pimpinan serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Penugasan untuk mengikuti undangan dalam rangka workshop, seminar dan lokakarya atas undangan atau tawaran dari organisasi/lembaga tertentu di luar instansi pemerintah supaya dilakukan secara selektif agar tidak membebani belanja perjalanan dinas.
33
(4) Standar biaya perjalanan dinas yang ditetapkan oleh Gubernur mempedomani
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
45/PMK.05/2007 Tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak Tetap. 3. Belanja Modal Belanja
modal
sebagaimana
dimaksud
digunakan
untuk
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset. Pengadaan software dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja modal. Didalam
Petunjuk
Teknis
Pengelolaan
Anggaran
Belanja
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat kriteria belanja modal: 1. Masa manfaatnya lebih dari 12 bulan. 2. Bukan merupakan objek pemeliharaan. 3. Jumlah nilai rupiah material sesuai dengan kebijakan akuntansi. 2.5
Efektivitas Konsep efektivitas merupakan pernyataan secara menyeluruh tentang
seberapa jauh suatu organisasi telah mencapai tujuannya. Efektivitas juga dapat
34
berarti kegiatan yang selesai tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Mardiasmo (2004:134) mengemukakan bahwa efektivitas adalah: “Ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi tersebut telah mencapai tujuannya dikatakan telah berjalan dengan efektif”. Selain itu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa efektivitas adalah: “Tingkat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan”. Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan antara output dengan outcome. Output merupakan hasil yang dicapai dari suatu program, aktivitas dan kebijakan. Sedangkan outcome adalah dampak yang ditimbulkan dari suatu aktivitas tertentu. 2.5.1
Menentukan Tingkat Efektivitas Untuk menentukan tingkat efektivitas pengalokasian belanja langsung
digunakan asumsi sebagai berikut ini (Mahmudi, 2010:143): Tabel 2.1 Tingkat Efektivitas Pengalokasian Belanja Langsung Persentase Pencapaian Hasil >100% Sangat Efektif 100% Efektif 90%-99% Cukup Efektif 75%-85% Kurang Efektif <75% Tidak Efektif
35
2.6
Kerangka Pemikiran Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masingmasing daerah mempunyai hak dalam menjalankan pemerintahannya dan berkewajiban
untuk
mengembangkan
pembangunan
daerahnya
(Jaringan
Dokumentasi dan Informatika Hukum, 2014). Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu: 1. Aspek hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri; 2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional; 3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri. Otonomi daerah bertujuan untuk pembangunan dalam segala segi kehidupan, dimana pelakasanaannya diharapkan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat di daerah. Maka otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (Mardiasmo, 2004:59).
36
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 157, untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab maka diperlukan dukungan anggaran yang memadai, dan salah satu aspek terpenting yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang optimal. Pemerintah daerah dalam menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang kuat diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Jaringan Dokumentasi dan Informatika Hukum, 2014). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, apabila kebutuhan pembiayaan suatu daerah lebih banyak diperoleh dari subsidi atau bantuan dari pusat, dan nyata-nyata kontribusi PAD terhadap kebutuhan pembiayaan tersebut sangat kecil, maka dipastikan bahwa kinerja keuangan daerah itu masih sangat lemah. Daerah otonom harus mempunyai kemampuan sendiri untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri melalui sumber-sumber pendapatan yang dimiliki, hal ini meliputi semua kekayaan yang dikuasai oleh daerah dengan batasbatas kewenangan yang ada dan selanjutnya digunakan untuk membiayai semua kebutuhan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri. Pamudji dalam Kaho (2001:125) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih
37
terikat. Pendapatan asli daerah jelas sangat penting mengingat masih besarnya tingkat ketergantungan keuangan daerah pada pusat di satu pihak. Jadi agar daerah dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya perlu ada sumber pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah. Mardiasmo
dkk,
(2002:146-147)
mengungkapkan
bahwa
untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasaan daerah. Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Provinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai diriya sendiri untuk belanja daerah. Belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung yang merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam melaksanakan pembangunan daerah. Dengan demikian daerah akan menjadi lebih berkembang, karena dalam kegiatan operasionalnya daerah telah menyumbang sebagian dari alokasi dananya. Sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya diharapkan tidak terdapat adanya hambatan yang dapat menghalangi jalannya kegiatan pemerintahan itu sendiri.
38
Dalam penelitian ini akan dibahas perubahan Pendapatan Asli Daerah yang menitikberatkan pada hubungannya terhadap besarnya Belanja Langsung. Dengan demikian maka daerah akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan secara lebih bebas, dalam arti penyelenggaraan pemerintahan atas dasar inisiatif, keadaan, dan kebutuhan daerah sendiri. Jadi untuk dapat membiayai Belanja Langsung, pemerintahan harus dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan dengan meningkatnya jumlah Pendapatan Asli Daerah akan dapat meningkatkan besarnya Belanja Langsung, sehingga kesejahteraan Publik dapat lebih ditingkatkan. 2.7
Hipotesis Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran pada halaman sebelumnya,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Jika Pendapatan Asli Daerah ditingkatkan, maka mampu memenuhi belanja langsung.” 2.8
Review Penelitian Terdahulu Dari beberapa penelitian yang terdahulu yang sejenis atau studi yang
pernah dilakukan, maka yang dijadikan pertimbangan untuk penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Peneliti Horasman
Tahun 2003
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu Judul Penelitian Variabel Studi Perbandingan 1. Faktor-faktor Faktor-Faktor Keuangan Keuangan Daerah yang Daerah Mempengaruhi Tingkat 2. Tingkat Perkembangan Perkembang
Hasil Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih memiliki peran yang relatif kecil
39
Desentralisasi di Kota Bandung dan Kota Cimahi
Lestari Noviantie
Restu Arum
Tini Rohaeni
2005
2007
2009
Pengaruh Retribusi Daerah terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah di Kota Cimahi
1.
Analisis Kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam Memenuhi Belanja Aparatur pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Sukabumi. (Studi Kasus pada Dinas Pendapatan Daerah Kabuapaten Sukabumi). Analisis Kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam Memenuhi Belanja Aparatur Pemerintahan Daerah Kabupaten Indramayu”. (Studi Kasus pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Indramayu).
1.
2.
2.
an dalam struktur Desentralisas keuangan i daerah, sehingga masih bergantung terhadap transfer dari Pemerintahan pusat. Retribusi Kota Cimahi Daerah masih Pendapatan ketergantungan Asli Daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat, hal ini terbukti dengan kecilnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Cimahi dan besarnya penerimaan dari dana perimbangan. Pendapatan Kontribusi PAD Asli Daerah terhadap belanja Belanja aparatur daerah Aparatur untuk tiga tahun dari tahun 2004, 2005, 2006 yaitu sebesar 17,21%; 22,18%; 16,03%.
1. Pendapatan Asli Daerah 2. Belanja Aparatur
Kontribusi PAD terhadap belanja aparatur daerah untuk tiga tahun dari tahun 2006, 2007, 2008 yaitu sebesar 7,46%; 5,76%; 6,53%.