BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Media Massa Komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakan dan menyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh audiens. Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble mengemukakan sebuah definisi yang dapat lebih memperjelas apa itu komunikasi massa.(Sobur, 2009:8). Menurut mereka sesuatu yang bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televise, film, atau gabungan di antara media tersebut. 2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesanpesannya bermaksud mencoba berbagai pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. 3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik. 25
26
4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba. 5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Aritnya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. 6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antar-pribadi. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan oleh media massa tidak bisa langsung dilakukan alias tertunda (delayed). Media massa sebagai instrumen dalam komunikasi massa diposisikan sebagai alat untuk menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Adapun kelebihan dari media massa dibandingkan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa dapat menyebarkan pesan hamper seketika pada waktu yang tidak terbatas. Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang di mana berbagai idelogi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun disisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media alat
27
pembangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga menjadi instrumen kultur dan ideologi tandingan.(Sobur, 2009:30) Media sering kerap dituduh bias dalam memilih informasi untuk dipublikasikan atau disiarkan dan dalam pengolahan informasi mereka. Bias media sebagia dalih merupakan salah satu isu yang paling menggangu media massa di masyarakat dan ini merupakan isu yang pada khususnya berhubungan dengan perusahaan dan organisasi yang melemparkan organisasi dan perusahaan tersebut pada belas kasihan media dalam wawancara, konferensi pers, dan selama kontak lainnya.(Sobur, 2009:34) Menurut Al-Zastrouw dalam Winarko (Sobur, 2009:35), meski semua media massa mengandung bias, namun derajatnya berbeda-beda. Ada media yang derajat biasnya rendah sehingga cenderung objektif, dan ada pula media yang bobot biasnya amat tinggi, sehingga berita dan analisis yang disajikan justru berbeda jauh, atau bahkan berseberangan dengan fakta yang sebenarnya. Derajat bias media ini, kata Al-Zatrouw, setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal : kapasitas dan kulalitas pengelola media, kuatnya kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial, serta taraf kekritisan dari masyarakat. B. Televisi sebagai Media Massa Televisi sebagai media massa mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian pesan-pesannya di bandingkan dengan media massa lainnya karena pesan-pesan yang disampaikannya melalui gambar dan suara secara bersamaan
28
dan hidup, sangat cepat (actual), terlebih dalam siaran langsung dan dapat menjangkau ruang yang sangat luas. Televisi sebagai media massa dapat berfungsi sangat efektif, karena selain dapat menjangkau ruang yang sangat luas, dapat pula mencapai massa audience sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat Media massa yang satu ini mempunyai sebuah kelemahan, yaitu pesanpesannya hanya dapat dilihat dan didengar secara sepintas, dalam arti siarannya tidak dapat dilihat atau didengar ulang oleh pemirsa dan pendengarnya kecuali dalam hal-hal khusus seperti pada adegan ulang secara lambat atau dengan alat khusus seperti alat perekam. Karena sifatnya
yang hanya dapat dilihat sepintas ini, sangat
mempengaruhi cara-cara penyampaian pesan, yaitu selain harus menarik, setiap pesan yang disampaikan harus mudah dimengerti oleh pemirsanya. Berbeda dengan media cetak, yang dapat menggunakan cara-cara yang sulit dimengerti, karena pesan-pesan di dalamnya dapat dibaca berulang kali setiap saat, sampai isi pesan itu benar-benar dipahami. Tetapi tidak demikian dengan siaran televisi, teknik penyajian pesannya harus benar-benar dengan cara-cara yang mudah dipahami, dimengerti dan dicerna tanpa menimbulkan kebosanan. Dalam kapasitasnya sebagai media massa, pada dasarnya televisi memiliki empat fungsi sosial sebagaimana
yang diungkapkan Wilbur Schramm
(http://abdulsalamserbakomunikasi.blogspot.com/2012/09/fungsi-sosial-dan-
29
peran-media-massa.html), yakni fungsi memberikan penerangan (informasi), pendidikan, mempengaruhi dan mengisi waktu luang atau senggang. Era industri televisi seperti saat ini, di mana hampir seluruh masyarakat tidak dapat lepas dari terpaan media, khususnya televisi, maka pada dasarnya para pengelolah media massa memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan gambaran realitas dari kenyataan yang sebenarnya. Sehubungan dengan ini, Denis McQuail dalam buku Mass Communication Theory (1994:65-66) menjelaskan enam kemungkinan yang berhubungan dengan peran media yang berhubungan dengan gambaran realitas tersebut yakni: 1. Sebagai jendela (a window on events and experiences), yang membukakan cakrawala kita mengenai berbagai hal di luar diri kita tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan kata lain, dalam hal ini realitas disampaikan apa adanya kepada publik/masyarakat. 2. Sebagai cermin (a mirror of events in society and the world implaying a faithful reflection), dari berbagai kejadian disekitar kita. Isi media pada dasarnya adalah pantulan dari berbagai peristiwa itu sendiri. Dalam hal ini realitas media dipandang sebangun dengan realitas sebenarnya. 3. Sebagai filter atau penjaga gawang (a filter or gatekeeper), yang berfungsi menyeleksi realitas apa yang akan menjadi pusat perhatian publik mengenai berbagai masalah atau berbagai aspek dalam sebuah masalah. Di sini realitas media dipandang tidak utuh lagi.
30
4. Sebagai penunjuk arah, pembimbing atau penterjemah (a signpost, guide or interpreter) yang membuat audiens dapat mengetahui dengan tepat apa yang terjadi dari laporan yang diberikannya. Di sini realitas pada dasarnya sudah didesain sedemikian rupa; 5. Sebagai forum atau kesepakatan bersama (a forum or platform), yang menjadikan media sebagai wahana diskusi dan melayani perbedaan pendapat atau feedback. Realitas di sini pada dasarnya sudah merupakan bahan perdebatan untuk sampai menjadi realitas intersubjektif; 6. Sebagai tabir atau penghalang (a screen or barrier) yang memisahkan publik dari realitas yang sebenarnya. Dalam hal ini realitas yang ada di media dinili bisa saja menyimpang dari kenyataan yang sesungguhnya. Bagaimanapun peran media massa dalam hal ini televisi pada dasarnya tidak hanya sekedar sarana pelepas ketegangan atau hiburan, namun isi dan informasi apapun yang ditayangkan mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebab, apa yang ditayangkan oleh berbagai program acara televisi akan mempengaruhi kognisi khalayaknya. Realitas subjektif yang dibentuk oleh media akan menjadi gambaran realitas publik tentang berbagai peristiwa sosial yang terjadi disekitarnya. Realitas inilah yang kemudian akan mendorong respons atau sikap khalayak terhadap berbagai hal tertentu.
31
Dengan begitu, gambaran atau informasi apapun yang dimunculkan media kerap kali memunculkan respon atau sikap tertentu pula, terlepas apakah benar atau salah realitas yang dikonstruksikan media tersebut. Di sinilah dituntut agar media massa, dalam hal ini televisi, dapat menyampaikan gambaran realitas yang berkualitas dan akurat mendekati realitas yang sesungguhnya, di samping masalah moralitas dan tanggung jawab media terhadap segala sesuatu disampaikannya. C. Paradigma Konstruksionis dalam Media Dalam kaitannya dengan media massa dan berita, kaum konstruksionis memandang bahwa realitas yang ada di media massa yakni berita adalah bukanlah realitas yang objektif, melainkan sebagai realitas yang telah dikonstruksi oleh pembuatnya yaitu wartawan dan media. Hal ini berbeda dengan pandangan positivis yang memahami bahwa realitas yang ada di media itu bersifat objektif. Pendekatan konstruksionis memiliki pandangan sendiri tentang media, wartawan, dan berita. Pandangan tersebut yaitu: 1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi,
sudut
pandang
tertentu
dari
wartawan.
Dalam
pandangan
konstruksionis tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas yang terbentuk sudah melalui proses pemaknaan sebelumnya dari wartawan dengan konstruksi dan pandangan tertentu. Dalam konsepsi positivis melihat bahwa ada realitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan
32
meliputnya. Jadi ada realitas objektif, yang harus diambil dan diliput oleh wartawan. Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan pandangan konstruksionis. Pandangan ini menganggap bahwa fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal diambil, ada dan menjadi bahan berita. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Manusia membentuk dunianya sendiri. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruksionis adalah, fakta berupa kenyataan itu sendiri bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Atau dengan kata lain bahwa realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta. Fakta yang sama bisa menghasilkan fakta yang berbedabeda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda. 2. Media Adalah Agen Konstruksi Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan dengan paradigma positivistik dalam menilai media. Positivistik, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media dianggap murni sebagai saluran, tempat transaksi pesan pada semua pihak yang terlibat dalam berita. Dalam paradigma konstruksionis, bahwa media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Media
dipandang sebagai
agen
konstruksi
sosial
yang
33
mendefinisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang dibaca bukan hanya menggambarkan realitas, menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media tersebut. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. 3. Berita Bukan Refleksi dari Realitas, Tapi Konstruksi dari Realitas Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi yang dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan yang kemudian ditulis kembali dan di transformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita diibaratkan seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. 4. Berita Bersifat Subjektif/Konstruksi Atas Realitas Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Di sini yang dipersoalkan bukan bias, seperti dalam pendekatan positivis. Sedangkan pendekatan positivis, titik perhatiannya
34
adalah pada bias. Artinya, bias dianggap salah, dan wartawan harus menghindari bias. Dalam tradisi penelitian positivis, analisis diarahkan untuk menemukan ada tidaknya bias dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari penulisan dan sebagainya. Kalau ada kekeliruan atau bias, penjelasan umumnya juga ditekankan dengan mencari sumber-sumber kesalahan yang mungkin ada. 5. Wartawan Bukan pelopor, Ia Agen Konstruksi Realitas Dalam pandangan positivis, berita dilihat sebagai pencerminan dari realitas. James Curran membahasakan pesan adalah realitas itu sendiri. Seorang jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu memindahkan realitas itu ke dalam berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis terdapat penilaian yang sebaliknya. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan dipandang sebagai aktor/agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Pandangan positivistik melihat wartawan seperti layaknya seorang pelopor (observer). Sebagai seorang pelopor, wartawan hanya bertugas memberitakan atau mentransfer apa yang dia lihat dan apa yang dia rasakan dilapangan. Karenanya, wartawan harus berfungsi sebagai pemulung yang netral, yang mengambil fakta dilapangan tersebut apa adanya. Fakta, sebagaimana tercermin dalam pemberitaan adalah realitas yang bersifat objektif, dalam arti realitas itu memang mencerminkan kejadian yang sesungguhnya. Realitas yang dilaporkan dan
35
diberitakan oleh wartawan sama dengan realitas yang sesungguhnya. Sebaliknya pandangan konstruksionis melihat wartawan sebagai agen/aktor pembentuk realitas. Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena dalam kenyataannya tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, yang berada diluar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang berada diluar yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya, realitas itu, dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan. 6. Etika Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita Sebagai pelopor, pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika, dan keberpihakan wartawan dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Artinya bahwa pertimbangan moral dan etika dalam banyak hal selalu bisa diterjemahkan sebagai bentuk keberpihakan haruslah disingkirkan. Intinya, realitas haruslah didudukkan dalam fungsinya sebagai realitas yang faktual, yang tidak boleh dikotori oleh pertimbangan subjektif. Pendekatan konstruksionis menilai hal itu sebaliknya, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai-nilai tertentu, umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
36
7. Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian Sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. Berbeda dengan paradigma positivistik yang melihat bahwa peneliti haruslah bebas nilai, ini berarti etika dan pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian. Karena begitu etika dan pilihan moral masuk dalam penelitian, akan mempengaruhi hasil penelitian. 8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri atas Berita Pandangan positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuensinya, apa yang diterima oleh khalayak pembaca seharusnya sama dengan apa yang disampaikan oleh pembuat berita. Inti dari pandangan ini bahwa berita tidak ubahnya seperti sebuah pesan yang ditransmisikan dan dikirimkan kepada pembaca. Pembuat berita dilihat sebagai pihak yang aktif, sementara pembaca dilihat sebagai pihak yang pasif. Sedangkan pandangan konstruksionis menilainya berbeda. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Menurut bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktek penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.
37
Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. D. Konstruksi Realitas oleh Media Massa Dalam paradigma konstruktivisme, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Menurut Yasraf A. Pilliang (KIPPAS, 2002:210) dalam perbincangan mengenai media dan realitas, ada relasi yang tidak dapat dipisahkan antara ‘realitas’ yang direpresentasikan di dalam media, ‘bahasa’ dan system ‘pertandaan’ (signification) yang digunakan di dalamnya, serta ‘ideologi’ yang beroperasi dibaliknya. Media sering dikatakan sebagai ‘cermin realitas’ (mirror of reality), yaitu merupakan ‘representasi obyektif’ dari realitas, atau icon dari realitas. Akan tetapi, dalam banyak kasus, ketimbang merupakan refleksi dari realitas, media justru memalsukan realitas, menopengi realitas, membungkus realitas atau bahkan sama sekali tidak ada relasinya dengan realitas. Media lebih menjadi ‘cermin kepentingan’ dibanding menjadi ‘cermin realitas’, yang di dalamnya realitas diinterpretasikan berdasarkan struktur kepentingan dibalik media itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa realitas itu bersifat subjektif, realitas itu hadir karena diciptakan oleh wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, dari sudut pandang setiap wartawan. Semua tergantung dari bagaimana konsepsi ketika realitas dipahami oleh wartawan dalam pandangannya sendiri. Selain itu kepentingan dibalik media juga turut mempengaruhi konstruksi realitas. Ada dua kepentingan utama media yaitu, kepentingan ekonomi (economic interest) dan
38
kepentingan kekuasaan (power interest), yang mengendalikan isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Akibatnya, ada kepentingan dasar yang justru terabaikan yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya menjadi ‘ruang publik’ justru mengorbankan kepentingan publik disebabkan kepentingankepentingan utama media tersebut. Menurut Berger dan Luckmann (1966) melalui bukunya The Social Construction of Reality. A Treatise in The Sociological of Knowledge, konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam hal ini, pemahaman “realitas” dan “pengetahuan” dipisahkan. Mereka mengakui realitas objektif dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena tersebut tidak bisa ditiadakan. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Dalam pemahaman konstruksi Berger, dalam memahami realitas/peristiwa atau proses dialektis tersebut terjadi dalam tiga tahap, Berger menyebutnya sebagai momen. Pertama, tahap eksternalisasi yaitu usaha pencurahan diri
39
manusia ke dalam dunia baik mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia. Manusia akan selalu mencurahkan dirinya ketempat dimana dia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain bahwa manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, tahap objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil tersebut menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si manusia tersebut sebagai suatu aktivitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, tahap internalisasi, sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Ketiga proses tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam rangka pemahaman tentang realitas. (Eriyanto 2009: 14-15). Sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat. Konstruksi sosial dapat berjalan cepat dan sebarannya merata. Menurut Burhan Bungin (2008, p.194) “realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan cenderung sinis”. Dengan demikian proses konstruksi sosial media massa dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
40
PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN
EKSTERNALISASI
M E D I A
OBJEKTIVASI M A S S A
INTERNALISASI
SOURCE
MESSAGE
-
Objektif Subjektif Intersubje ktif
CHANNEL
Realitas terkonstruksi : - Lebih cepat - Lebih luas - Sebaran merata - Membentuk opini massa - Massa cenderung terkonstruksi - Opini massa cenderung apriori - Opini massa cenderung sinis
RECEIVER
EFFECTS
Gambar 2.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa Sumber : Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa. 2008:195 Dari konten konstruksi sosial media massa dan proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut (Bungin,2008) : 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi Menyiapkan konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk editor yang berbeda-beda sesuai kebutuhan dan visi suatu media. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu 1) keberpihakan media massa kepada kapitalisme, 2) keberpihakan semu kepada masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis, 3)
41
keberpihakan kepada kepentingan umum yang dalam arti sesungguhnya adalah visi setiap media massa. 2. Tahapan sebaran konstruksi Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas Setelah sebaran konstruksi, ketika pemberitaan sampai pada pembaca yang terjadi adalah pembentukan kontruksi di masyarakat: a.) Tahap pembentukan konstruksi realitas. Tahap ini melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran; Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap yang pertama; Ketiga, menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. b.) Pembentukan konstruksi citra. Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi yang terbentuk dalam dua model : -
Model good news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik.
42
Pada model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. -
Model bad news. Model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan itu sendiri.
4. Tahap konfirmasi Tahap konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahap ini sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pembaca, tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
43
E. Jurnalisme Investigasi Hampir setiap karya jurnalis Indonesia diberi label investigasi selalu menimbulkan perdebatan tentang layak tidaknya predikat itu disandang. Hanya sedikit yang diakui beramai-ramai sebagai karya investigasi. Padahal, si wartawan atau medianya merasa sudah bersusah payah mengerjakannya. Liputan “Bakso Tikus” di Trans TV yang menghebohkan di tahun 2006 dilabeli liputan investigasi. Saat itu, Trans TV memang memproduksi banyak sekali liputan berlabel investigasi tentang kejahatan-kejahatan pelaku usaha yang menipu konsumen. Sebagian besar adalah usaha kecil-menengah (UKM) seperti tukang tambal ban yang menyebar paku, obat gosok palsu, telur ayam kampong palsu, atau sapi glonggongan. Di sisi lain, RCTI melakukan sebuah investigasi tentang jaringan perdagangan ginjal Indonesia-Singapura atau “perburuan” agen Badan Intelejen Negara (BIN) yang menjadi kunci kasus pembunuhan Munir. Lantas manakah yang lebih “investigatif” di antara kedua topik di atas? Kriminalitas ala oknum penjual sapi glonggongan atau operasi intelejen terkait jaringan perdagangan ginjal internasional yang menjadi kunci kasus pembunuhan seorang Munir? Bila ada lima wartawan duduk mendiskusikan pertanyaan di atas, tujuh hari tujuh malam belum tentu tuntas perdebatan mereka. Biasanya hal ini terjadi karena sebagian orang merancukan dua hal :
44
1. Investigasi sebagai produk atau karya jurnalistik 2. Investigasi sebagai teknik yang digunakan dalam peliputan (Dwi Laksono,2010:21) Produk atau karya investigasi pasti menggunakan teknik investigasi dalam proses peliputannya. Tetapi, teknik investigasi belum tentu menghasilkan karya jurnalisme investigasi. (Dwi Laksono,2010:23) Hampir semua jurnalis berpendapat bahwa status investigasi bukan ditentukan oleh panjang pendeknya laporan, ataukah apakah dia menggunakan teknik menyamar dalam liputannya. Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya Jurnalisme Investigasi (2010:23) menyebutkan bahwa ada lima elemen yang harus dipenuhi dalam sebuah jurnalisme investigasi, antara lain : 1. Mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik, atau tindakan yang merugikan orang lain 2. Skala dari kasus yang diungkap cenderung terjadi secara luas dan sistematis 3. Menjawab semua pertanyaan penting yang muncul dan memetakan persoalan dengan gamblang. 4. Mendudukkan aktor-aktor yang terlibat secara lugas, didukung bukti-bukti yang kuat. 5. Publik bisa memahami kompleksitas masalah yang dilaporkan dan bisa membuat keputusan atau perubahan berdasarkan laporan. 1. Efek Peliputan Investigasi
45
Dalam setiap pemberitaan ada dua elemen pokok yakni isi beritanya dan metode pemberitaannya. Efek utama lebih mengacu pada implikasi dari isi berita atau substansi laporan investigasi bagi publik dan berbagai pemegang kepentingan. Efek samping berbeda dengan efek utama. Dalam sebuah rencana investigasi, biasanya efek samping ini ikut menjadi bahan pertimbangan. Tidak sedikit jurnalis atau media membatalkan sebuah rencana peliputan investigasi karena efek sampingnya dianggap tak sepadan dengan efek utama yang dihasilkan. (Dwi Laksono,2010:351-352). Oleh karena itu, bila sebuah topik diangkat untuk ditelusuri lebih dalam melalui sebuah liputan investigasi, biasanya efek utama sudah dihitung jauh lebih besar daripada efek sampingnya. Efek samping yang dimaksud adalah efek yang ditimbulkan dalam peliputan yang berkenaan dengan kode etik jurnalistik. Hal-hal yang terjadi di luar substansi liputan, yang biasanya menyangkut aspek jurnalisme seperti metode pengumpulan dan penyampaian berita. Dalam kasus Bakso Tikus di Trans TV, efek samping peliputan yang ditimbulkan adalah demonstrasi yang dilakukan oleh pada pedagang bakso di kantor pusat Trans TV serta gugatan hukum yang dilayangkan oleh para pedagang bakso yang merasa dirugikan atas tayangan Trans TV. 2. Perlindungan Sumber Bagian paling penting dalam setiap liputan, terutama dalam investigasi, adalah perlindungan narasumber. Hal ini penting dikarenakan menyangkut
46
berbagai aspek seperti integritas media, profesionalisme jurnalis, dan yang paling penting menyangkut nasib narasumber. Wartawan dapat saja bertindak heroik, menempuh dan melawan bahaya dalam menjalankan tugasnya, namun wartawan seharusnya tidak memikirkan nyalinya sendiri, dia juga harus berpikir tentang nyali orang lain. Wartawan tidak boleh memancing atau menjebak narasumbernya untuk mendapatkan sebuah keterangan yang tidak mereka sadari dampak dan akibatnya,dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang media (Dwi Dandhy, 2010:354). Liputan investigasi biasanya berkaitan dengan isu sensitif, oleh karenanya wartawan berkewajiban menjelaskan secara gamblang konteks cerita dan hal-hal apa saja yang mungkin ditimbulkan pasca publikasi. 3. Melindungi narasumber atau melindungi pelaku kejahatan Sebenarnya dimanakah batas kerja wartawan dalam liputan investigasi, antara melindungi narasumber dan melindungi pelaku kejahatan?. Hal ini bisa menjadi pertanyaan bila melihat berita atau tayangan yang menggunakan prinsip investigative reporting. Reportase Investigasi Trans TV seringkali menuai kritik dari masyarakat tentang tayangan yang kontroversial. Reportase Investigasi Trans TV dalam liputan kasus Bakso Tikus, selain mendapatkan kecaman berupa demo dan tuntutan hukum dari para penjual bakso yang merasa dirugikan atas tayangannya, banyak juga yang bertanya-tanya mengapa oknum penjual bakso tikus tersebut
47
tidak langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib seperti BPOM atau pihak kepolisian. Lalu apakah dalam hal ini wartawan bisa disebut melindungi oknum penjual
bakso
tikus?
Dan
apakah
wartawan
diperbolehkan
menolak
memberitahukan identitas ataupun keberadaan oknum tersebut bila nantinya ada pihak kepolisian atau BPPOM yang menanyakannya. Wartawan mendapatkan akses karena dianggap bisa dipercaya, dan profesi ini memiliki hak tolak yang dilindungi undang-undang. Hak tolak adalah hak untuk menyembunyikan semua informasi yang berkaitan dengan keberadaan dan jati diri narasumber berita. Hak ini bisa dicabut pengadilan bila dirasa ada kepentingan
publik
yang
lebih
besar
yang
harus
didahulukan
(Dwi
Laksono,2010:360). Bila hak tolak telah dicabut, pilihan dikembalikan kepada wartawan: apakah akan memberitahukannya atau memilih dipenjara. Bila wartawan merasa memang ada kepentingan yang lebih besar, maka dia bisa saja menuruti pengadilan dan mengungkap jati diri dan keberadaan si narasumber. Tapi bisa juga sebaliknya, wartawan tetap bungkam dan memilih masuk penjara dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
48
F. Analisis Framing Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2001:161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar dari sudut pandang media terhadap realitas yang dijadikan berita. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Analisis framing juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. (Eriyanto, 2009:8) Analisis framing sebagai suatu metode analisis teks media, menurut Edelman (Eriyanto,2009:71) banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Dalam pendekatan psikologi melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Dalam hasil penelitian Kahneman dan Tversky (Eriyanto,2009:71) menyebutkan bahwa framing banyak berhubungan dengan teori mengenai skema atau kognitif bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu.
49
Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Dengan mengacu pada cara pandang dan perspektif tersebut, dapat ditentukan fakta apa yang akan diambil, bagian mana yang nantinya akan ditonjolkan dan dihilangkan, dan akan dibawa kemana berita tersebut. Menurut Eriyanto (2009:37) analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori paradigma konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Dalam framing ada dua aspek penting, (Eriyanto,2009:69), yakni memilih fakta/realitas dan menuliskan fakta. Pertama, proses memilih fakta/realitas ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektifnya. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan atau dihilangkan, bagian mana yang di beritakan dan yang tidak di beritakan?. Penekanan aspek tertentu, dan melupakan fakta dan aspek lainnya. Ini akan mengakibatkan pemahaman dan konstruksi suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lainnya. Kedua, menuliskan fakta, proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilihi itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini diungkapkan dengan kata, kalimat, dan preposisi, dengan bantuan aksentuasi foto atau gambar, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
50
perangkat tertentu seperti penempatan yang mencolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan dan pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan. Elemen menulis fakta ini berhubungan denga penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang diangkat menjadi jauh lebih menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan aspek lain. 1. Framing Model Robert N. Entman Entman, dalam Eriyanto (2009:163) melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekakan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilih, ditonjolkan, dan dibuang. Penonjolan merupakan proses membuat informasi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu punya peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu dalam praktiknya, framing dijalankan media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan pelbagai strategi wacana –penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis, untuk mendukung dan memperkuat penonjolan,
51
pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan. (Sobur,2009:164) Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluar (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Penonjolan Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih, dari isu bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Sumber: Eriyanto, 2009:187
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya mengacu pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk
menekankan
kerangka berfikir tertentu
terhadap
peristiwa
yang
diwacanakan. Selain itu, konsep framing ini digunakan untuk melihat penggambaran secara luas bagaiamana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Untuk lebih spesifik melihat bagaimana frame dalam pemberitaan di media, Entman membaginya menjadi empat elemen penting. Define Problems (pendefinisian masalah) Diagnose causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
Bagaimana suatu peristiwa /isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Make moral judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan (membuat keputusan moral) masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi (Menekankan penyelesaian) masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus
52
ditempuh untuk mengatasi masalah? Gambar 2.2 Konsep Framing Robert Entman (Eriyanto, 2009:188) Define Problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan bingkai yang paling utama yang menekankan bagaiamana peristiwa dipahami oleh wartawan. Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah) merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau member argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Contoh gerakan mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahahan diri dalam teks berita bisa dijumpai serangkaian pilihan moral yang diajukan. Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral”. Element
framing
terakhir
menurut
Entman
adalah
Treatment
recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini digunakan untuk menilai apa yang diinginkan oleh wartawan. Langkah apa yang dipakai untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian tersebut terganting pada bagaiamana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.
53
2. Framing Model William A. Gamson Pandangan Gamson mengenai wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup bila hanya didasarkan pada data survei khalayak. Data tersebut perlu dikaitkan dan dibandingkan dengan cara media mengemas dan menyajikan suatu isu, karena penyajian media akan suatu isu akan menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu. Gagasan Gamson mengenai frame media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame yang memiliki struktur internal. Formula yang dibuat oleh kedua orang ini, menjelaskan bahwa frame dipandang sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menampilkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media, khususnya berita terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Keberadaan dari suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yag kemudian didukung oleh perangkat wacana, seperti kata, kalimat, pemakna gambar atau grafik tertentu, proposisi dan sebagainya. Semua elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pad aide tertentu dan mendukung ide sentral dari suatu berita. Untuk membedah dan menganalisis konstruksi makna yang dilakukan Trans TV khususnya dalam program Reportase Investigasi mengenai isu penggunaan bahan pengawet berbahaya pada jajanan pasar tradisional, penulis hanya menggunakan salah satu perangkat framing dari Gamson yakni Visual
54
Image, yang nantinya dapat menganalisis sejauh mana pesan dapat tersampaikan dengan dukungan grafik dan gambar berupa video. 3. Efek Framing Framing melihat bagaimana sebuah realitas kemudian dibingkai oleh media selanjutnya disajikan kepada khalayak. Realitas bisa jadi dikonstruksi dan dimaknai secara berbeda oleh media. Efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai suatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaiamana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal. Framing dalam sebuah media dapat dilihat dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari sebuah realitas. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya ada aspek alinnya yang tidak mendapatkan porsi yang memadai. Kedua, menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi lain. Disini bisa dilihat bagaiamana media hanya menampilkan aspek tertentu yang menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita. Ketiga, menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor lainnya.