18
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik).
Organisasi - organisasi media massa ini akan menyebar luaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat.
Dalam komunikasi masa, media masa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak.
Teori Komunikasi Massa meyakini bahwa pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massa dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain yang dianggap makna asli dari kata massa, yaitu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen - komponennya sulit dibedakan satu sama. Kamus bahasa Inggris memberikan definisi massa sebagai suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas. Definisi ini ini hampir
19
menyerupai pengertian massa yang digunakan oleh para ahli sosiologi, khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan audien media.1
2.1.2 Ciri ciri komunikasi massa
Ciri-ciri komunikasi massa :
1. Menggunakan media masa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas. 2. Komunikator memiliki keahlian tertentu 3. Pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana 4. Khalayak yang dituju heterogen dan anonim 5. Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan 6. Ada pengaruh yang dikehendaki 7. Dalam konteks sosial terjadi saling memengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya. 8. Hubungan antara komunikator (biasanya media massa) dan komunikan (pemirsanya) tidak bersifat pribadi.
2.1.3 Efek Komunikasi Massa
Berdasarkan teorinya, efek komunikasi masa dibedakan menjadi tiga macam efek, yaitu efek terhadap individu, masyarakat, dan kebudayaan.
1
McQuail, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Erlangga , Jakarta , 1987
20
Efek komunikasi masa terhadap individu
Menurut Steven A. Chafee, komunikasi masa memiliki efek-efek berikut terhadap individu:
1. Efek ekonomis: menyediakan pekerjaan, menggerakkan ekonomi (contoh: dengan adanya industri media massa membuka lowongan pekerjaan) 2. Efek sosial: menunjukkan status (contoh: seseorang kadang-kadang dinilai dari media massa yang ia baca, seperti surat kabar pos kota memiliki pembaca berbeda dibandingkan dengan pembaca surat kabar Kompas. 3. Efek penjadwalan kegiatan 4. Efek penyaluran/ penghilang perasaan 5. Efek perasaan terhadap jenis media
Menurut Kappler (1960) komunikasi masa juga memiliki efek:
1. conversi, yaitu menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan. 2. memperlancar atau malah mencegah perubahan 3. memperkuat keadaan (nilai, norma, dan ideologi) yang ada
2.1.4 Fungsi komunikasi massa
Fungsi komunikasi massa :
21
1. Fungsi Pengawasan
Salah satu fungsi komunikasi massa adalah sebagai pengawasan, Karena dengan pengawasan ini akan lebih mempermudah pengontrolan kegiatan-kegiatan sosial yang terjadi didalam masyarakat.
2. Fungsi Social Learning
Melalui media massa ini, diharapkan dapat membantu masyarakat dalam berbagai hal yang bersifat positif, meski tidak bisa dipungkiri ada juga beberapa hal yang bernilai negative dalam media massa. Namun pada dasarnya dengan media massa, masyarakat dapat mendapat pencerahan dari media tersebut.
3. Fungsi Pencerahan Informasi
Dengan adanya media massa, masyarakat akan lebih mudah mencari dan mendapat informasi. Karena fungsi utama dari media massa adalah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat yang menyangkut berbagai hal, baik dalam ekonomi, politik, agama, hukum dan budaya.
4. Fungsi Transformasi Budaya
Dalam keterkaitannya dengan budaya, media massa memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat. Karena dari media massa, masyarakat dapat belajar berbagai macam hal. Misal dalam hal kebudayaan, dari siaran atau tayangan televisi,
22
masyarakat dapat belajar tentang budaya yang bersifat tradisional dan modern, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut.
5. Fungsi Hiburan
Fungsi lain dari media massa adalah sebagai hiburan, karena dalam media massa masyarakat akan mendapat hal-hal yang bersifat untuk menghibur, baik dari surat kabar, radio, tayangan televisi dan lain-lain. Misalnya dalam tayangan televisi, masyarakat dapat menikmati hiburan musik, film, sinetron, dan olahraga. Sehingga dengan adanya tayangan-tayangan tersebut masyarakat akan terhibur.
2.1.5 Media Massa Media komunikasi massa adalah semua yang mencakup media massa baik media cetak, media audio maupun media audio visual. Dari sekian banyak definisi bisa dikatakan media massa dari bentuknya dibagi atas media elektronik (TV, Radio) dan media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dll) buku dan film. Dalam perkembangan komunikasi massa yang sudah sangat modern dewasa ini, ada satu perkembangan tentang media komunikasi massa yakni ditemukannya internet. Jika ditinjau dari ciri, fungsi, dan elemennya, internet jelas masuk dalam bentuk media komunikasi massa, dengan demikian internet juga termasuk dalam media komunikasi massa.
23
2.2 Film Film adalah suatu karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi pandang dengar yang dibuat berdasarkan atas sinematografi dengan direkam pita seluloid, pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya. Dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan system proyeksi mekanik, elektronik dan lainnya.
Secara sederhana film dapat diartikan sebagai rangkaian gambar hidup (citra bergerak) yang membentuk suatu cerita. Sedangkan menurut Victor.C Mambo, “Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah kelompok”. Tiap film mewakili realitas kelompok pendukungnya baik dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya.
Keberadaan film sebagai komunikasi massa pun dipertegas dalam Ketetapan MPRS/ No. II/ MPRS/ 1960, yang dituliskan bahwa film bukanlah semata – mata barang dagangan, tapi juga merupakan alat pendidikan dan penerangan (dalam Lee, 1965: 149). Tentu film yang diharapkan dalam MPRS ini adalah film sebagai media untuk membentuk masyarakat Indonesia yang sosialis, seperti yang menjadi orientasi negara. Harapan Ketetapan MPRS agar film menjadi penggerak massa yang mendukung pembangunan, nampaknya tidak terkabul. Masih banyak film Indonesia
24
pada masa itu yang komersil, yang merupakan sisa – sisa faham kapitalis – liberalis. Demi mendapat keuntungan semata, kualitas film pun rendah, tak diperhatikan oleh sang pembuat. Hakikat film sebagai media komunikasi massa (alat penerangan dan alat pendidikan) menjadi ‘kabur’. Permasalahan ini kemudian diatasi pemerintah dengan mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965, tentang “Pembinaan Perfilman”. Penetapan Presiden ini mengatur tentang film, agar film menjadi pendukung dan penyebar ideologi – ideologi Negara.2 Peraturan ini secara implisit menetapkan film agar menjadi media kampanye negara. Tentu saja ini karena efektifnya film untuk menjangkau khalayak luas di Indonesia. Undang – Undang yang mengatur perfilman Indonesia saat ini pun masih menghendaki bahwa film sebagai media komunikasi massa, yaitu Undang – Undang RI No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman (yang merupakan produk Orde Baru dan masih menjadi pro kontra atas relevansinya untuk masa reformasi ini). Dalam pasal 5, dituliskan bahwa: “Film sebagai media komunikasi massa pandang – dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi”.3 Dalam Undang – Undang ini jelas bahwa pemerintah menginginkan film yang tidak hanya komersil, tetapi juga media pendidikan dan media untuk mengembangkan kebudayaan bangsa Indonesia. 2
Oey Hong Lee, “Publisistik Film”, Ichtiar, Jakarta, 1965, hal. 153.
3
http://janganbugildepankamera.wikidot.com/uu1992-08, 30 juli 2013 19:52
25
Keberadaan film sebagai media komunikasi massa, seperti yang diharapkan oleh pemimpin terdahulu, kurang mendapat perhatian dari pembuat – pembuat film saat ini. Film Indonesia saat ini masih seragam, mengikuti arus yang diinginkan oleh pasar. Di dalam film tersebut, jarang ditemukan unsur edukasi atau ajaran nilai – nilai sosial. Tahun 2007, Indonesia penuh dengan film horor yan bisa dibilang horor tanggung. Horor kemudian diikuti dengan komedi – seks. Dennis McQuail berpendapat bahwa film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan secara unik.4 Kemampuan film inilah yang diabaikan oleh pembuat film Indonesia kebanyakan, yang hanya mengikuti arus. Pesan – pesan yang harusnya bisa disampaikan melalui film yang mengandung nilai estetika, tidak dimunculkan oleh para pembuat film.
4
http://209.85.175.132/search?q=cache:8QKQnebSyhsJ:digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/
ikom/2006/jiunkpe-ns-s1-2006-51401011-4030-kingdomchapter1.pdf+film+sebagai+komunikasi+massa&hl=id&ct=clnk&cd=12&gl=id, juli 2013 20:24
30
26
2.2.1
Jenis-Jenis Film Sebagai komunikator adalah penting mengetahui jenis - jenis film agar dapat
memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya. Film dapat di kelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun.5 1. Film Cerita Film cerita (story film), adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik. 2. Film Berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benarbenar terjadi.Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung berita (news value). 3. Film Dokumenter Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan 5
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, 2007, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Hal 139-140
27
tersebut. Misalnya, seorang sutradara ingin membuat film dokumenter mengenai para pembatik di kota Pekalongan, maka ia akan membuat naskah yang ceritanya bersumber pada kegiatan para pembatik sehari-hari dan sedikit merekayasanya agar dapat menghasilkan kualitas film cerita dengan gambar yang baik. 4. Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Sebagian besar film-film kartun, sepanjang film itu diputar akan membuat kita tertawa karena kelucuan-kelucuan dari para tokoh pemainnya. 5. Film Aksi Film aksi adalah adalah kumpulan gambar bergerak yang berupa aksi aksi laga yang penuh dengan adegan menegangkan yang membuat jantung berdegup kencang saat menyaksikannya. ada adagan perkelahian dan adegan adegan menantang lainnya. Dalam film action biasanya berisi adegan adegan berkelahi dan konflik konflik yang mempertemukan karakter karakter yang berbeda sehingga selalu ada masalah yang ditimbulkan dari setiap karakter yang ada didalam film. 2.2.2 Karakteristik Film Standarisasi isi dan teknik penyajian melanda berbagai media, termasuk diantaranya film. Para produsen acap kali meniru film yang laris sehingga di satu
28
masa muncul sejumlah film yang tema atau jalan ceritanya hampir sama. Film berdasarkan novel atau seri artikel majalah laris pun banyak dibuat, karena produsernya yakin para pembaca novel itu tentu berminat menyaksikan filmnya. Ernest Lehman seorang penulis skenario kawakan mengatakan “Tak ada tempat di dunia film bagi para penulis yang ingin mengekspresikan diri dan meraih kepuasan pribadi dari tulisannya. Penulis seperti itu harus pergi ke tempat lain karena takkan ada yang mau menyediakan jutaan dollar hanya untuk memuaskan kesenangannya sendiri”. Industri film tidak tergantung pada iklan. Sumber pendapatan utama adalah penonton yang seluas-luasnya, industri film menggunakan berbagai instrument pemasaran, namun film bukan merupakan instrument pemasaran itu sendiri, hampir semua film bioskop diarahkan untuk pasar massal. Karakteristik media film 1. Alat Daya tarik massa Mulai dari awal ditemukan hingga sekarang, film dikenal sebagai alat daya tarik massa yang sangat efektif. Berbagai kalangan dari tingkat status sosial yang berbeda-beda (mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi) sangat menyukai film. Ini dibuktikan dengan banyaknya penonton yang datang untuk menyaksikan pertunjukkan film baik di bioskop maupun layar tancap.
29
2. Mewakili Citra/identitas tertentu Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas, film mewakili realitas kelompok pendukungnya baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun dalam bentuk sebenarnya. Berbagai Film yang diproduksi banyak Negara awalnya hanya sebuah sub kultur dinegara asalnya, tapi lambat laun film juga dianggap bisa mewakili citra/identitas suatu komunitas tertentu. 3. Alat penyampai pesan Dalam perkembangannya film tak lagi sekedar menampilkan citra bergerak (moving images) namun juga telah disertai muatan - muatan pesan dari pembuat/sponsor film yang ingin disampaikan kepada khalayak penontonnya bahkan tak jarang film disusupi muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia ataupun gaya hidup. Faktor-faktor yang menunjukkan karakteristik film adalah sebagai layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis.6 A. Layar yang Luas/ Lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan film adalah layarnya yang berukuran luas.Saat ini ada layar televisi yang berukuran 6
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, 2005, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Hal 145
30
jumbo, yang bisa digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti dalam pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film-film di bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. B. Pengambilan Gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. C. Konsentrasi Penuh Dari pengalaman kita masing-masing, di saat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, tampak di depan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Kita semua terbebas dari hiruk pikuknya suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, semmentara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa suasana,
31
kita akan tertawa terbahak-bahak manakala adegan film lucu, atau sedikit senyum dikulum apabila adegan yang menggelitik. D. Identifikasi Psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan.Karena penghayatan kita yang
amat
mendalam,
seringkali
secara
tidak
sadar
kita
menyamakan
(mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kitalah yang berperan.Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut juga identifikasi psikologis.
2.3 Analisis Semiotika
Semiotika merupakan salah satu pendekatan yang sedang diminati oleh para ahli sastra dewasa ini, tidak terkecuali para peminat sastra di Indonesia.Akhir-akhir ini semakin banyak tulisan yang menggunakan model-model konsep dari semiotika. Sementara itu , di Indonesia seperti juga di bagian dunia lainnya banyak orang belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan semiotika. Semiotika atau semiologi merupakan terminology yang merujuk kepada makna yang sama. Semiotik berasal dari kata yunani : semein, yang berarti tanda. Dalam pandangan piliang, penjelajahan semiotik sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkin kan karena ada kecenderungan untuk memandang
32
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda hal ini dimungkin kan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (piliang, 1998:264).7 Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang lain. tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. contoh asap menandai adanya api, sirine mobil keras meraung-raung menandai adanya kebakaran . Lebih jelas lagi kita mengenal tanda tanda dalam kehidupan sehari-hari ,kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. misalnya, bila disekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur itu pertanda ada hajatan perkawinan, tetapi bila terpasang bendera warna kuning didepan rumah dan sudut jalan itu pertanda kematian .8 Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda .
7
Yasraf A.Piliang, Semiotika Komunikasi Visual,Jala Sutra,Yogyakarta,2008,hal 11
8
Indiwan Seto Wahyu Wibowo,Semiotika Komunikasi,Mitra Wacana Media,Jakarta,2011, hal 5
33
tanda media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah membawa makna tunggal .9 Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta system lambang (sign)baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa (seperti karya lukis, patung, candi, minument, dll)10 Semiotik meliputi tanda - tanda visual dan verbal, setiap tanda atau sinyal yang dapat diterima oleh seluruh panca indra kita, maka tanda-tanda tersebut pada akhirnya membentuk system kode yang secara sistematis menghasilkan sesuatu informasi atau makna pesan secara tertulis disetiap kegiatan dan prilaku manusia . Analisis semiotik adalah alat melacak makna-makna yang diangkut dengan teks yang berupa lambang-lambang (sign)dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks lah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotika.11 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis mengkaji tanda .tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, 9
Alex Sobur,Analisi Teks Media,PT Remaja Rosdakarya,Bandung,2001,Hal 95
10
Pawito,Penelitian Komunikasi Kualitatif,PT LKIS Pelangi Aksara,Yogyakarta,2007,Hal 155
11
Ibid , Hal 156
34
ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. semiotika, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan(humanity) memaknai hal ( things).12 Tokoh-tokoh ahli semiotika memiliki ciri dan cara yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal pemaknaan tanda. berikut adalah tokoh-tokoh penting dalam bidang semotika dengan model pemaknaan tandanya, prakmatisme charles sanders peirce, semiotika ferdinand de saussure, dan sesmologi roland barthes. Rangkian pemahaman Peirce terus berkembang seiring dengan rangkaian semiosisyang tidak kunjung berakhir, selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis yang kemukakan oleh barthes. barthes mengungkapkan teorinya tentang makna konotatif, bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari cara kerja tanda dalam sistem tataran pertandaan kedua .13 2.3.1 Semiotik Roland Barthes Dalam hal ini peneliti menggunkan teori Roland Barthes yang dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang teru bersemangat mempraktikan model linguistik dan semiologi saussure. Menurut barthes semiotik terdiri dari dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu 12
Alex Sobur , Semiotika Komunikasi ,PT Rosdakarya, Bandung, 2006 , Hal 15
13
Jhon Fiske,Op,Cit, 118.
35
tataran tingkat pertama atau biasa disebut denotasi dan konotasi ,yang berada dalam tataran tingkat kedua .14 adapun sistem pemaknaan tataran kedua dibangun di atas sistem lain yang telah sebelumnya ,yaitu sistem pemaknaan tataran pertama . dalam karya-karya barthes yang lebih baru ,tanda tidak hanya memiliki satu makna denotatif yang stabil, melainkan bersifat polisemis, artinya tanda mengandung banyak makna potensial . Dengan demikian semua teks bisa ditafsirkan dengan beberapa cara berbeda. pemaknaan membutuhkan keterlibatan aktif pembaca dan kompetensi kultural yang mereka gunakan dalam pembacaan teks gambar agar bisa, untuk sementara waktu “memastikan” makna demi kepentingan tertentu, dengan demikian penafsiran teks tergantung pada pemahaman kultural pembaca serta pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial. pemahaman kultural dan pengetahuan tentang kode-kode sosial ini tidak terdistribusikan secara merata tetapi tergantung pada kelas gender, kebangsaaan dan lain lain .15 ada tiga kategori sesuai yang dilakukan oleh Roland Barthes dalam buku Alex Sober,16 yaitu : 1. Pesan linguistik, merupakan semua kata dan kalimat pad frame
14
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,Yogyakarta :jalasutra,2003 ,Hal 261
15
Chir Barker,Cultural Studies,Teori dan Praktik.Yogyakarta,PT Bentang Pusaka,2005,Hal 96
16
Ibid, Hal. 97
36
2. Pesan ikonik terkodekan,berupa konotasi yang muncul dalam frame yang berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda lebih luas . 3. Pesan ikonik tak terkodekan, denotasi dalam frame program yang diteliti. Table 1.1 Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier ( penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (tanda Denotatif) 4. Conotative signifier (penanda konotatif)
5. Connotative signified (petanda konotatif)
6. Connotative sign (tanda konoatif)
Pada peta diatas dapat dilihat bahwa denotative (3) terdiri dari atas penanda (1) dan penanda (2). Akan tetapi , pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri,
37
keterangan dan keberanian menjadi mungkin (cobley dan Jansz, 1999:51 pada Alex Sobur, 2003:69). Dan dalam teori Roland Barthes menjelaskan akan dua tingkat pertanda yaitu denotasi dan konotasi, denotasi (denotation) adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan refrensi atau realitas dalam pertandaaan, sedangkan konotasi (connotation) adalah aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai – nilai kebudayaan dan ideologi.17 Sesuai dengan semiotika Roland Barthes, bila hendak menemukan maknannya, maka yang dilakukan pertama- tama adalah data dimaknakan secara denotatif yang kemudian baru dimaknakan secaea konotatif. untuk langkah terakhir adalah memaparkan mitos yang tersirat dalam pembungkus tanda. Dalam salah satu bukunya yang berjudul sarrasine, Barthes merangkai kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda. Menurut Lechte yang dikutip sobur , ada lima kode yang diteliti yaitu :18 a. Kode Hermeneutik (kode teka – teki), yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang ada dalam teks .
17
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual, Jala Sutra, Yogyakarta, 2008, cet ke‐1 , hal 35
18
Ibid, Hal. 70
38
b. Kode semik (makna konotasi), banyak menawarkan banyak isi, pembaca menyusun tema suatu teks. c. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural. d. Kode proaretik (kode tindakan), sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya semua teks bersifat naratif . e. Kode Gnomik (kode cultural), merupakan acuan teks ke benda – benda yang sudah diketahui oleh budaya . Semiotik berusaha menggali hakikat system tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denotative) kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda . Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikansi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika anda bertemu dengan perasaan dan emosi dari pembicara serta nilai – nilai dari kebudayaan. Konotasi makna subyektif atau paling tidak digambarkan tanda terhadap sebuah obyek , sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya .
39
Pada tatanan (signifikansi) tahap kedua berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, dalam artiannya yang orisinil. Mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya konotatif), mencerminkan asumsi - asumsi dari suatu masyarakat tertentu .dengan kata lain mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. mitos juga produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi, yang berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. setiap tuturan dalam bentuk tertulis atau sekedar representasi, verbal atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos. Artinya tidak hanya wacana tertulis yang dapat kita baca sebagai mitos melainkan juga fotografi, film, pertunjukan, bahkan olahraga dan makanan. Mitos masa kini telah menjadi masalah feminitas maskulinitas ilmu pengetahuan, dan kesuksesan sedangkan mitos primitif, seperti mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa .19 singkatnya semiotika menurut barthes tidak hanya meneliti mengenai penanda dan pertanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan .20 19
Alex sobur,Analisi Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisi Wacana,Analisi Semiotik danAnalisi Framing,Op,Cit, Hal 128
20
Alex Sobur ,Semiotika Komunikasi,Op,Cit,65
40
Pada dasarnya film adalah sesuatu yang dibuat dari sebuah imajinasi, dengan begitu pasti ada rekayasa film untuk merekam kenyataan menjadi suatu kesatuan yang menggambarkan realitasnya tersendiri. Banyaknya gambar yang terekam dengan cepat dirasakan menemukan maknanya sendiri sehingga tak heran kemudian film bisa dipilah-pilah sesuai dengan runtutan gambar yang nampak di mata penonton. Secara denotasi, film dipahami sebagaimana adanya, dan penikmat film tidak perlu berusaha banyak untuk lebih mengenali dan memahami secara mendalam. Inilah yang menjadi kekuatan sebuah film sebab lebih bisa memberikan sesuatu yang mirip dengan kenyataan serta mengkomunikasikan sesuatu dengan teliti yang jarang dilakukan oleh bahasa tulisan maupun lisan. Sistem bahasa mungkin lebih berkemampuan untuk mengemukakan dunia ide secara imaginatif, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk menyampaikan informasi terperinci tentang realita-realita fisik. Secara konotasi, film laksana meteor yang membutuhkan interpretasi lebih dalam untuk mendapatkan gambaran akan makna. Lebih lanjut, film menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Kekuatan makna bukan terletak pada apa yang dilihat tapi justru apa yang tidak dilihat, sehingga aspek konotasi dalam film menjadi aspek esensial. Kehadiran sebuah imaji dalam film tidak sekedar karena bacaan visual dalam pola optikal menurut alur tertentu, namun pengalaman mental
41
yang merupakan stock of knowledge yang menyediakan kerangka referensi dan rujukan bagi individu dalam kesatuan tindakannya. sebuah gambar “seorang negro muda yang mengenakan seragam serdadu Perancis tengah memberi hormat (saluting) dengan mata menatap ke atas, mungkin tertuju kepada bendera kebangsaan Perancis”. Pada tataran pertama, kita dapat mengidentifikasi setiap penanda di dalam citra tersebut ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin misalnya seorang serdadu, pakaian seragam, lengan yang diangkat, mata yang menatap ke atas, dan sebuah bendera Perancis. Semua ini membangun seperangkat tanda pada lapisan pertama (denotasi) dengan makna literal: seorang serdadu berkulit hitam tengah memberi hormat kepada bendera Perancis. Pada tataran selanjutnya (tataran konotasi atau mitos), masih menurut Barthes, citra ini menyodorkan makna: “bahwa Perancis adalah sebuah bangsa yang besar, dengan segenap putranya yang tanpa diskriminasi ras sedikitpun bersedia dengan takzim di bawah lindungan benderanya”. Pada tataran konotasi ini penanda-penandanya merujuk kepada seperangkat petanda atau fragmen ideologi tertentu, yakni campuran dari imperialitas Perancis (French imperiality) dan kemiliteran (militariness).21 2.3.2 Semiotik Film Semiotik sebagai suatu pembelajaran dari ilmu pengetahuan sosial yang memiliki unit dasar disebut tanda. Tanda terdapat dimana – mana ketika kita 21
Ibid, Hal. 53
42
berkomunikasi
dengan
orang,
memakai
pakaian
,makan
dan
ketika
kita
berkomunikasi. tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain . Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisi semiotika . seperti dikemukakan Von Zoest yang dikutip oleh sobur mengatakan bahwa film dibangun dengan tanda semata – mata. tanda – tanda itu termasuk sebagai system tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan .22 Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imajinasi dan system penandaan. karena itu bersamaan dengan tanda – tanda arsitektur, terutama indeksial, pada film terutama digunakan tanda – tanda ikonis, yakini tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu . memang, ciri gambar – gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjukannya . gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya . Semiotika film berbeda dengan semiotika fotografi. Film bersifat dinamis, gambar film muncul silih berganti sedangkan fotografi bersifat statis. kedinamisan gambar pada film menarik daya tarik langsung yang sangat besar, yang sulit untuk ditafsirkan. semiotika digunakan untuk menganalisa media dan untuk mengetahui bahwa film itu merupakan fenomena komunikasi yang sarat akan tanda. Semiotik 22
Ibid, Hal. 54
43
pada penelitian ini akan dianalisis dengan teori Roland Barthes, dimana oleh peneliti dirasa cocok dengan menggunakan interpretasi yang tepat dengan menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat . 2.4 Nilai Pengertian nilai, menurut Djahiri (1999), adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Disini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra (1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga. Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara, nilai pancasila merupakan standar hidup bangsa yang berideologi pancasila. Nilai ini sudah pernah dikemas dan disosialisasikan melalui P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila), dan dianjurkan disekolah-sekolah sebagaimana telah dibahas di muka. Anda hendaknya sadar bahwa secara historis, nilai pancasila digali dari puncakpuncak kebudayaan, nilai agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia sendiri, bukan dikulak dari negara lain. Nilai ini sudah ada sejak bangsa Indonesia lahir. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika pancasila mendapat predikat sebagai jiwa bangsa.
44
Nilai Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri merupakan pandangan hidup/panutan hidaup bangsa Indonesia. Kemudian, ditingkatkan kembali menjadi Dasar Negara yang secara yuridis formal ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah Indonesia merdeka. Secara spesifik, nilai Pancasila telah tercermin dalam norma seprti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, serta norma hukum. Dengan demikian, nilai Pancasila secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan dalam cara bertindak.23 Dalam kasus film sebagai penggambaran nilai budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai - nilai budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tetapi juga tentang bagaimana nilai nilai tadi diproduksi dan bagaiman nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. jadi ada semacam proses pertukaran kode - kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai penggambaran budaya. 2.5 Kekerasan Kekerasan mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar, menyakitkan dan menimbulkan efek (dampak) negatif. Kekerasan mengilustrasikan sifat atau aturan sosial yang merupakan suatu pelanggaran aturan dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Namun kebanyakan 23
http://www.coretanseadanya.blogspot.ca/2012/09/pengertian‐nilai‐moral‐dan‐norma‐dalam.html, 30 Juli 2013, 23:13
45
orang hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku fisik yang kasar, keras dan penuh kekejaman, sehingga perilaku menekan lain yang bentuknya tidak berupa perilaku fisik menjadi tidak dihitung sebagai suatu bentuk kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002:11). Seperti banyak istilah yang mengandung makna kehinaan atau kekejian yang sangat kuat, istilah kekerasan diberlakukan dengan sedikit diskriminasi pada berbagai hal yang tidak disetujui secara umum. Terminologi “kekerasan” sebagai suatu kenyataan
yang
dihindari
menimbulkan
kesadaran
bahwa
hidup
manusia
mengandung makna “kehalusan” atau “kelunakan”. Jika disadari secara mendalam manusia memiliki karakteristik menonjol yaitu dimensi “kehalusan”, bukan terutama dalam kaitannya dengan kehalusan fisik, namun dalam hubungannya dengan kehadirannya secara intergal, utuh dan menyeluruh bahwa fisik manusia adalah lemah dan lunak (Mulkan, 2002 : 3). Jadi, kekerasan dimaksudkan sebagai tindakan yang bertentangan dengan kodrat manusia walau ada pula yang memandang bahwa kekerasan itu berakar pada konstitusi biologis diri manusia itu sendiri. Konrad Lorenz dan Robert Ardrey mengemukakan bahwa sebagaimana halnya dengan hewan lain manusia juga mempunyai instink agresif yang ada dalam struktur genetiknya (Mulkan, 2002 : 25).
46
Walau demikian manusia sebagai manusia menolak kekerasan. Secara kongkret, kekerasan menyentuh realitas kehadiran manusia dalam keseluruhannya. Tidak hanya kehadiran fisik tubuh melainkan keseluruhan yang menjadi pemenuhan dalam kehidupannya, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah misalkan kekerasan dalam bentuk menghancurkan rumah, mobil, barang-barang dan semacamnya memang jelas tidak berkaitan dengan tubuh manusia, namun kekerasan semacam ini jelas merupakan perusakkan hak pribadi atas segala sesuatu yang merupakan representasi dirinya. Pada kesimpulannya, kekerasan dapat di definisikan secara ringkas sebagai bentuk atau cara penyelesaian masalah dalam hidup dengan membuat penderitaan pada diri sendiri maupun orang lain. 24 2.5.1 Kekerasan Verbal Verbal abuse atau kata lainnya verbal attack atau reviling adalah kekerasan yang mempergunakan bahasa . kekerasan verbal dan emosional ini tentu saja ditunjukan untuk merendahkan harga diri sesorang, biasanya kekeresan verbal dilakukan dengan dua cara ,menyerang secara langsung seperti bercanda tetapi sangat menghinakan dan melecehkan . Verbal abuse yang dilakukan secara simbolik seperti tatapan yang mengintimidasi juga merupakan kekerasan bahasa tubuh yang seiring dilakukan tanpa
24
Erich fromm, akar kekerasan: Analisis sosio‐psikologis atas watak manusia,pustaka pelajar, Jakarta, 2000, Hal 22‐23
47
disadari . terkadang cukup dengan melotot tajam dan tanpa sepatah kata untuk menyatakan ketidak setujuan pun dilakukan pelaku . Kekerasan secara verbal biasa berupa perilaku dengan mengatakan julukan nama, mencela, fitnah, kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan sebagainya. Kekerasan dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan kekerasan bentuk verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.( Barbara Coloroso (2006:47-50))25 Kekerasan verbal langsung, mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, member panggilan nama (name - calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gossip.( Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) )26
2.5.1.1 Contoh kekerasan verbal
Memanggil dengan nama panggilan yang diskriminatif (warna kulit, ras, kecerdasan, bentuk badan, kebiasaan, kelemahan, jenis hewan, dll)
25
26
http://apssi‐sosiolog.otg/wp‐content/uploads/2013/05/13, 30 Juli 2013 20:33
I.M Hendrarti & Herudjati Purwoko, Aneka Sifat Kekerasan : Fisik,Simbolik,Birokratik&structural, indeks, Jakarta, Hal. 44
48
Terus menerus memberi komentar menghina tentang pakaian, penampilan, teman, pekerjaan, dll. yang jelas-jelas menyinggungmu atau bahkan sudah meminta untuk berhenti.
Memaki, membentak, mengejek.
Menggunakan nada suara tertentu yang terkesan merendahkan atau mencemooh.
Terus-menerus memposisikan dirimu dibawahnya, apapun yang kamu lakukan tidak pernah cukup buatnya.
Membesar-besarkan atau terus-menerus mengingatkanmu akan kelemahan, kekurangan, kegagalan di masa lalu, dll.
Mengucapkan hal-hal yang bisa memanipulasi, menekan, atau memaksamu untuk merasa bersalah, tersakiti, dan bahkan trauma.
Yang pada intinya adalah ucapan-ucapan yang membuat seseorang merasa kurang dari dirinya yang sesungguhnya dan seharusnya.
2.5.1.2 Bentuk-bentuk lain kekerasan verbal
1. Membuat segala sesuatu seolah menjadi tidak berharga / tidak penting. Terkadang ini akan membingungkan pasangannya, apakah pasangannya sudah menyampaikan dengan jelas mengenai beberapa hal yang penting bagi dia. 2. Meremehkan. meremehkan.
Menjatuhkan
mental
dengan
komentar-komentar
yang
49
3. Mengancam. Ini adalah bentuk klasik kekerasan verbal yang dilakukan dengan memanipulasi lawan berbicara dengan membawa ketakutan terbesarnya. Ini termasuk mengancam untuk meninggalkan atau akan meningkatkan perilaku kekerasannya. 4. Memanggil dengan nama-panggilan yang diskriminatif (warna kulit, ras, kecerdasan, bentuk badan, kebiasaan, kelemahan, jenis hewan, dll) yang berdampak pada kepercayaan diri pasangannya. 5. Melupakan. Orang sewajarnya sesekali lupa, tapi pelaku kekerasan secara konsisten selalu lupa. Ia seringkali lupa akan insiden kekerasan yang telah dilakukannya dan juga sering melupakan janji-janji yang telah dibuat yang mempunyai arti besar bagi pasangannya. 6. Memerintah / menyuruh-nyuruh adalah satu lagi tipe klasik kekerasan verbal. Hal ini adalah bentuk ketidaksetaraan atau dominasi yang berlebihan. 7. Penyangkalan. Meskipun tiap bentuk kekerasan verbal memiliki dampak yang berbahaya, penyangkalan adalah yang paling berbahaya karena dampaknya dapat bertahap dan menyangkal realita pasangannya. Bahkan, pelaku kekerasan verbal bisa menyebutkan banyak alasan dan tetap bersikeras bahwa ia tidak melakukan kekerasan verbal.27
27
Ibid Hal. 45
50
2.5.1.3 Ciri – ciri kekerasan verbal
Tidak meninggalkan bukti secara fisik.
Biasanya hanya terjadi dalam lingkup privat, misalkan hanya saat berduaan, sehingga tidak ada saksi.
Pada saat dalam lingkup publik pelaku menunjukkan perilaku yang baik, sopan dan wajar sehingga orang tidak menyangka ada kecenderungan melakukan kekerasan verbal.
Persepsi yang salah akibat kurang informasi yang menganggap bahwa perilaku pelaku merupakan watak bawaan dan seharusnya dimengerti / diterima apa adanya.
Kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai verbal abuse sehingga dianggap permasalahan biasa / sepele dalam hubungan.
Kurang terbuka terhadap hubungan yang dijalani / menutup-nutupi dari sahabat maupun orang lain.
Seringkali mengatasnamakan konteks humor.
2.5.2 Kekerasan Non Verbal Kekerasan non verbal atau keekrasan fisik yaitu kekerasan nyata yang dapat dilihat ,dirasakan oleh tubuh .wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, Sampai pada penghilangan nyawa seseorang. Contoh penganiayaan, pemukulan, pembunuhan dan lain lain.
51
Kekerasan secara fisik yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli, menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati kekerasan jenis ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian kekerasan secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.28 Kekerasan fisik juga diartikan dengank kontak fisik langsung, memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
Dampak berikutnya dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan antara pelaku dengan korban. Biasanya kekerasan fisik merupakan pelampiasan emosi atau amarah dari pelaku. Mungkin disebabkan korban yang berbuat salah sehingga menyebabkan pelaku menjadi marah, namun salah disini sangat relatif. Bergantung pada penilaian pelaku, menganggap apa yang dilakukan korban salah atau tidak. Tetapi tak jarang korban hanya sebagai pelampiasan amarah pelaku terhadap sesuatu, dan kekerasan fisik ini merupakan bentuk ketakberdayaan peaku menempatkan 28
Ibid Hal. 54‐55
52
emosinya. Dalam hal ini korban merupakan orang yang tak berdaya atau pelaku mempunyai kuasa yang lebih tinggi dari pelaku, sehingga pelaku menjadi objek kekerasan fisik.
Ketika kekerasan fisik dibudidayakan, kekerasan fisik dapat menjadi penyelesaian dari suatu masalah bagi korban atau pelaku. Padahal masalah seharusnya disikapi dengan bijak agar dapat diperoleh pembelajarannya, ada kalanya dalam mendidik dilakukan kontak fisik. Kontak fisik yang bagaimana? kontak fisik yang mendidik, bertujuan untuk memberikan pembelajaran pada korban, membuat jera tetapi tidak mengakibatkan pengerusakan fisik.
2.5.2.1 Contoh – contoh kekerasan non verbal
Kekerasan non verbal sebagaimana yang sudah di jabarkan pada definisi konseptual diatas yaitu merupakan perilaku kekerasan yang menyentuh kepada organ fisik secara langsung dan menimbulkan rasa sakit pada anggota tubuh secara lahiriah. Diantaranya :
Pemukulan : Tindakan menyakiti tubuh dengan menggunakan kepalan tangan atau menggunakan benda-benda kasar / berat / tumpul seperti kayu, tongkat, besi dan benda - benda sejenisnya.
Pembunuhan : Tindakan yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan hilangnya nyawa mahkluk hidup.
53
Penganiayaan : Bentuk kekerasan yang dilakukan kepada makhluk hidup ketika mereka berada dalam posisi lemah namun tetap dilakukan suatu tindak kekerasan dengan tujuan untuk kepuasan individu atau kelompok.
Pengeroyokkan : Tindak kekerasan yang dilakukan oleh lebih dari 1 orang kepada orang lain yang jumlahnya lebih sedikit.
Penamparan : Tindakan menyakiti tubuh yang secara langsung dilakukan dengan menggunakan telapak tangan kepada wajah seseorang.
Pelemparan benda kasar / tajam : Tindakan melempari benda-benda kasar / tajam contohnya kayu, batu, pisau, kaleng dan sejenisnya kearah organ tubuh dimana terdapat jarak antara objek satu dengan objek yang lain dalam tindakannya.
Pencekikkan : Tindak kekerasan yang dilakukan dengan cara meremas leher seseorang atau makhluk hidup dengan menggunakan tangan.
Penusukan : Tindakan yang dilakukan dengan cara menancapkan benda runcing atau benda tajam ke dalam tubuh makhluk hidup.
Penembakan : Tindakan yang dilakukan denganmengguakan senjata api kearah tubuh makhluk hidup.
Penendangan : Tindakan yang dilakukan seseorang melalui ayunan kaki yang di ayunkan dengan keras kearah tubuh makhluk hidup.
54
Perkelahian : Kekerasan yang dilakukan minimal dua orang dengan tindakan saling melukai satu sama lain baik dalam bentuk saling pukul, saling melempar benda-benda ke arah tubuh dengan tujuan untuk menyakiti.
Tawuran : Kekerasan yang dilakukan antara dua kelompok atau lebih yang masing - masing berjumlah lebih dari 10 orang dengan tindakan saling melukai satu sama lain baik dalam bentuk saling pukul atau saling hantam.29
2.5.3 Kekerasan Dalam Media Film Kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasar diri pada kekuatan untuk memaksakan pihak lain tanpa persetujuan (P.Lardellier, 2003:18). Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuknya : fisik, verbal, moral, psikologis dan melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi ,fitnah , pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata – kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan . 30 Kekerasan dalam film, fiksi, siaran dan iklan menjadi bagian dari industri budaya yang tujaun utamannya ialah mengejar rating program tinggi dan sukses pasar . program yang berisi kekerasan sangat jarang memperhatikan aspek pendidikan , etis dan efek traumatisme penonton. tidak semua kekerasan jelek karena ada juga 29
Ibid Hal. 61
30
Harytmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan Dan Pornografi, Kanisius,
Yogyakarta, Kanisius, Hal. 119‐120
55
presentasi dalam media yangmengandung dimensi seni, makin mempersulit pemilahan mana yang mendidik dan man yang merugikan atau distruktif. Dimensi seni dalam dan institusi budaya selalu mencari legitimasi. Proses legitimasi ini terombang – ambing dalam dialektika eufemisasi dan pelebih – lebihan kekerasan. Dalam konteks ini, kekerasan dalam media sebagai seni mencari pembenarannya, menurut Nel, dengan mengacu pada tiga bentuk kekerasan – estetik, yaitu horror – regresif, horor – transgresif, dan gambar – symbol(2003:4)31
Horor – regresif , ialah mau menunjuk pada selera public atau seniman akan kekejaman, lebih – lebih yang menyeramkan atau tidak waras karena melampaui reaksi akal sehat. Bila dipresentasikan dalam gambar – fiksi, motifnya ialah karena digerakan oleh kekarakteristikan pada hal yang meneror atau membuat merinding, misalnya kasus Sumanto, gadis kecil Vietnam yang menangis melarikan diri dari medan peperangan keadaan telanjang, mutilasi, film vampire, tawanan perang yang diinterogasi dengan digantung dan dijagai anjing Doberman.
Horor – transgresif, ialah berupaya menampilkan kekerasan dalam konfigurasi seni yang baru dengan sentuhan menonjol pada apa yang belum dieksplorasi, novel sade, film Hanibal, foto tawanan perang irak yang disiksa dan dilecehkan secara seksual sembari digantung terbalik.
31
Ibid, Hal. 121 ‐ 122
56
Gambar – simbol, ialah mau melibatkan penonton untuk melampaui tatanan kenyataan yang kontekstual. Sebetulnya konteks itu ditandai oleh kekerasan, tetapi kemudian diganti dengan tatanan yang lebih manusiawi dan dapat ditolerir sehingga akhirnya menjadi indah. Contohnya ialah pieta, Che Guevara, dan Mohammed – remaja Palestina korban kebrutalan tentara Israel. Gambar – simbol ini melembutkan kekerasan bukan dalam kerangka pelanggaran atau karikaturisasi, atau dalam arti dipakai pembenaran bagi algojo. Gambar – simbol memindahkan kekerasana keluar dari arena konteksnya, yang kemudian disembunyikan dan diseleksi melalui saringan tradisi ikonografi dan seni. Aspek seni atau unsur menarik ikut menentukan dampak kekerasan dalam media. Jadi, ada bentuk pembenaran yang akan resisten terhadap diskualifikasi kekerasan bila tanpa alasan logis.32
2.5.4 Bahaya kekerasan dalam media Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasan yang kuat, meskipun sering mencerminkan bentuk ketakutan dari pada ancaman nyata. Menurut ahli studi tentang kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat oleh American Psychological Association pada tahun 1995, seperti dikutip oleh Sophie Jahel (2003:124), ada tiga kesimpulan menarik yang perlu mendapat perhatian serius; pertama, mempresentasikan program kekerasan meningkatkan perilaku agresif . 32
Ibid, Hal. 123
57
Kedua, memperlihatkan secara berulang tayangan kekerasan dapat menyebabkan ketidak pekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban. Ketiga, tayangan kekerasan dapat mening katkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa, betapa berbahayanya dunia. Sophie jahel mau meyakinkan betapa merusaknya pengaruh presentasi kekerasan dalam media bagi anak (2003:123). Menurutnya, anak membutuhkan rasa aman supaya bisa menemukan tempatnya dimasyarakat. Konfrontasi dengan kekerasan dalam media merupakan penderitaan. Meskipun ada ekspresi senang, puas, atau tertarik pad kekerasan dalam media, sering tanpa disadari anak sebetulnya bergulat dalam perjuangan, kegelisahan, dan ditatapkan pada berbagai pertanyaan .33 Masalah representasi kekerasan dalam media berlangsung dalam hubungan segitiga. Yaitu produktor, penerima, dan instansi regulasi (N. Nel, 2003:44). Instansi produksi adalah para pencipta, pengarang, saluran televise, rumah produksi dan studio. Para pelaku dari instansi produksi ini biasanya lebih menuntut hak kebebasan berekspresi dan lebih menginginkan regulasi diri. Sedapat mungkin campur tangan Negara atau regulasi dari luar dihindarkan. Sedangkan, instansi penerima bisa pemirsa, pembaca, pendengar, pengguna, dan bisa juga asosiasi perlindungan konsumen, kelompok teroganisir lainnya (pers khusus, sekolah, peneliti, asosiasi psikiater, atau psikologi dan organisasi kesehatan). Kelompok ini tidak otomatis menyetujui regulasi oleh Negara. Mereka sering terombang ambing anatara 33
Ibid, Hal. 124‐125
58
menyetujui pelarangan kekerasan dalam media dan aturan yang lebih longgar demi kreativitas dan hiburan. Akhhirnya instansi regulasi (Negara) berkepentingan menjaga keseimbangan antara kepentingan instansi produksi dan instansi si penerima, sehingga hak akan informasi dan sekaligus kebebeasan berekspresi dijamin.34
34
Ibid, Hal. 125‐126