BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga 2.1.1 Pengertian Keluarga Keluarga adalah dua orang atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998 dalam Sudiharto, 2007). Keluarga juga diartikan sebagai suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Sayekti, 1994 dalam Suprajitno, 2004). 2.1.2 Tipe Keluarga Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa tipe keluarga antara lain: a. Keluarga inti (nuclear family) adalah suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. b. Keluarga besar (exstended family) adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, atau bibi. c. Keluarga bentukan kembali (dyadic family) adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah bercerai atau kehilangan pasangan.
Universitas Sumatera Utara
d. Orang tua tunggal (single parent family) yaitu keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anaknya akibat perceraian atau ditinggal pasangannya. e. Ibu dengan anak tanpa perkawinan yang sah (the unmarried teenage mother). f. Orang dewasa laki-laki atau perempuan yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone). g. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non marital heterosecual cohabiting family). h. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family). 2.1.3 Peran Keluarga Peranan keluarga adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu (Setiadi, 2008). Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing–masing. Ayah
sebagai
pemimpin
keluarga,
pencari
nafkah,
pendidik,
pelindung/pegayom, dan pemberi rasa aman kepada anggota keluarga. Selain itu, sebagai anggota masyarakat/kelompok sosial tertentu. Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga, dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga. Selain itu, sebagai anggota masyarakat. Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual (Zaidin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Fungsi Keluarga Adapun fungsi keluarga menurut Friedman (1998, dalam Zaidin, 2009): a.
Fungsi afektif. Berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial bagi para anggotanya. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan dengan baik, dan penuh kasih sayang serta saling menerima dan mendukung.
b.
Fungsi sosialisasi. Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu
menghasilkan
interaksi
sosial,
dan
individu
tersebut
melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga dan belajar disiplin, norma budaya dan perilaku melalui interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan di dalam masyarakat. c.
Fungsi reproduksi. Fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.
d.
Fungsi ekonomi. Fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain.
e.
Fungsi perawatan keluarga. Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan,
dan
asuhan
pemeliharaan
kesehatan/keperawatan
mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Dukungan Keluarga Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya (Cohen & Syme, 1996 dalam Setiadi, 2008). Friedman (1998) menambahkan anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya karena dukungan sosial keluarga ini membuat individu tersebut merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu. Dukungan sosial keluarga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan sosialnya (Friedman, 1998). Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Sukardi (2002, dalam Hidayat, 2009) menjelaskan bahwa dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional, dan penilaian. Keluarga menurut Stolte (2004) dipandang sebagai suatu sistem, jika terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga. Dukungan keluarga telah menjadi koping bagi keluarga dalam menghadapi masalah (Friedman, 1998 dalam Setiadi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Keluarga berfungsi sebagai pendukung bagi anggota keluarganya. Peran keluarga sangat diperlukan untuk membentuk suatu ikatan keluarga yang kuat, sehingga dapat berfungsi efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi, khususnya masalah kesehatan. Memelihara lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan keluarga dan anggota keluarga merupakan sebuah tugas yang berat karena begitu banyak gangguan (biologis, sosiologis, psikologis dan spiritual) yang dapat mempengaruhi sistem homeostatis keluarga. Gangguan–gangguan tersebut dipandang sebagai stressor yang dapat menimbulkan ketegangan bagi keluarga dan anggota keluarga (Friedman, 1998). Menurut Friedman (1998) keluarga mempunyai beberapa jenis dukungan yang dapat digunakan untuk mempertahankan keadaan homeostatis keluarga dengan anggota keluarga. Fungsi dukungan tersebut terdiri dari: a. Dukungan informasional/informasi Pada dukungan informatif keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar) informasi, munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk/pengarahan, ide-ide, atau pemberian informasi lainnya yang dibutuhkan dan dapat disampaikan (Friedman, 1998). Menurut House & Smet (1994, dalam Setiadi, 2008) dukungan informasional mempunyai ciri-ciri antara lain: bantuan informasi yang
Universitas Sumatera Utara
disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan. b.
Dukungan penilaian (penghargaan/appraisal) Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) serta sumber dan validator identitas anggota keluarga, diantaranya adalah memberikan penghargaan positif dan perhatian (Friedman, 1998). Penilaian yang positif dan negatif sangat berpengaruh bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian positif (House & Smet, 1994 dalam Setiadi, 2008). c.
Dukungan instrumental (finansial) Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan nyata,
diantaranya keteraturan menjalani kehidupan, dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan terhindarnya seseorang dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong serta menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat yang dibutuhkan dan lain-lain (Friedman, 1998). d.
Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
belajar serta membantu dalam penguasaan terhadap emosi, diantaranya
Universitas Sumatera Utara
menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk empati, kepedulian, adanya kepercayaan, perhatian keluarga (Friedman, 1998). Menurut House & Smet (1994, dalam Setiadi, 2008) dukungan emosional mempunyai ciri-ciri antara lain: setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini dapat berupa dukungan simpati dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhan, empati terhadap persoalan bahkan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. 2.1.6
Dukungan keluarga pada pasien HIV/AIDS Dukungan keluarga mempunyai efek terhadap kesehatan dan
kesejahteraan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan keluarga adalah penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh stres (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga sangat diperlukan pada pasien HIV (Nursalam, 2007). Respon psikologis pasien terhadap hasil tes yang sero positif dapat mencakup perasaan panik, depresi dan putus asa. Oleh karena itu pasien memerlukan dukungan baik finansial, medis dan psikologis (Smeltzer, 2005). Dalam hal ini keluarga merupakan unit sosial terkecil yang berhubungan
Universitas Sumatera Utara
paling dekat dengan pasien. Keluarga menjadi unsur penting dalam kehidupan karena keluarga merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat anggota keluarga yang saling berhubungan dan ketergantungan. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan meliputi pasangan (suami/istri), orangtua, anak, dan sanak keluarga (Friedman, 1998 dalam Nursalam, 2007). Sebagai satu diantara fungsi pertalian/ikatan sosial, segi fungsional keluarga pada pasien HIV mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan positif (dukungan penghargaan), memberi nasihat atau informasi (dukungan informasi), pemberian bantuan material (dukungan instrumental/finansial) (Smet, 1994 dalam Nursalam, 2007). Gallant (2010) menambahkan dukungan keluarga juga berupa perhatian keluarga dalam mengatur gaya hidup pasien HIV/AIDS. Diantaranya (1) menghindari makanan yang diolah setengah matang atau mentah seperti daging, telur, susu dan lain-lain, (2) makan buah dan sayur segar setiap hari, (3) konsumsi vitamin, (4) minum air putih yang sudah dimasak, (5) tidak mengkonsumsi alkohol dan rokok, (5) berolahraga, (6) dan selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk mengurangi infeksi akibat imun yang semakin menurun. Faktor yang berhubungan dengan depresi adalah dukungan sosial (social support) yang tersedia bagi individu bila berhadapan dengan stres. Ada bukti bahwa individu yang memiliki keluarga dan teman-teman yang akrab kurang mengalami depresi bila mereka berhadapan dengan stres. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
individu yang memperoleh dukungan sosial kecil kemungkinan akan mengalami depresi (Semiun, 2010). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support system
atau sistem pendukung yang utama sehingga ia dapat
mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor yang ia hadapi terkait penyakitnya baik fisik, psikologis, maupun sosial (Lasserman & Perkins, 2001 dalam Kusuma, 2011). Khairurahmi (2009) menambahkan dukungan keluarga berpengaruh pada pemanfaatan fasilitas kesehatan pada pasien HIV/AIDS. 2.2 Konsep Depresi 2.2.1 Pengertian Depresi Depresi merupakan kesakitan yang menghancurkan sehingga dapat mempengaruhi seluruh tubuh baik fisik, emosi, maupun spiritual (Purba, Wahyuni & Daulay, 2008). Depresi menurut Hawari (2011) adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh, dan perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Sedangkan menurut Stuart (2006) depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan. 2.2.2 Faktor Penyebab Depresi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan depresi (Tailor, 2006 dalam Kusuma, 2011) seperti:
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor biologis. Berdasarkan faktor biologis, faktor genetik menjadi penyebab timbulnya depresi. Depresi lebih sering terjadi pada orang yang mempunyai riwayat trauma, kekerasan seksual, kekerasan fisik, cacat fisik dan penyakit kronis. 2. Faktor psikososial. Berdasarkan faktor psikososial, terdapat empat kategori yang berpotensi menyebabkan depresi, yaitu: stress, perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan, pertahanan yang ekstrim melawan stres dan pengaruh hubungan interpersonal dari gangguan afektif. Stres dengan faktor pencetus karena depresi biasanya terjadi karena adanya stressor. 3. Faktor sosiokultural. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa depresi sering terjadi pada kelompok masyarakat non industrialis karena kehidupan mereka yang cenderung lebih miskin. 4. Faktor Kognitif Pendekatan kognitif memberikan sudut pandang lain terhadap gangguan suasana hati (Alford & Beck, 2006, dalam King, 2010). Individu-individu yang depresi jarang memiliki pikiran yang positif. Mereka memaknai hidup mereka dalam cara-cara memukul diri sendiri dan memiliki harapan negatif tentang masa depan mereka (Gilbert, 2001 dalam King, 2010). Psikiater Aaron Beck (1976, dalam King 2010) percaya bahwa pikiranpikiran negatif tersebut menggambarkan skema-skema yang membentuk pengalaman hidup individu yang depresi. Kebiasaan menghasilkan pikiran-pikiran negatif ini memperkuat dan mengembangkan pengalaman
Universitas Sumatera Utara
negatif dari individu-individu yang depresi (Kuyken & Beck, 2007 dalam King, 2010). Berikut ini faktor predisposisi depresi menurut Tomb (2003): (a) kehilangan besar pada masa kanak-kanak misal orang tua, (b) baru saja mengalami kehilangan misal: sakit, kehilangan pekerjaan, dan pasangan, (c) stres kronis misal gangguan medis, (d) kerentanan psikiatrik misal gangguan kepribadian histrionik, kompulsif, dependen, penyalahgunaan obat dan alkohol. Sedangkan menurut Stuart (2006) faktor resiko depresi antara lain: (a) adanya episode depresi sebelumnya, (b) riwayat keluarga dengan depresi, (c) percobaan bunuh diri sebelumnya, (c) jenis kelamin wanita, (d) usia awitan depresi <40 tahun, (e) kurang dukungan sosial, (f) stres, dan (g) penyalahgunaan zat. 2.2.3 Rentang respon emosional Ekspresi emosi dalam rentang sehat sakit dalam Stuart (2006) adalah sebagai berikut: (1) respon emosional: berperan aktif didalam dunia internal dan eksternal seseorang dan sadar akan perasaannya, (2) reaksi berduka tak terkomplikasi: terjadi sebagai respon terhadap kehilangan dan tersirat bahwa seseorang sedang menghadapi suatu kehilangan yang nyata serta terbenam dalam proses berduka, (3) supresi emosi: tampak sebagai penyangkalan (denial) terhadap perasaan sendiri, pelepasan dari keterikatan dengan emosi, (4) penundaan reaksi berduka: ketidakadaan yang persisten respon emosional terhadap kehilangan, (5) depresi atau melankolia: suatu kesedihan atau
Universitas Sumatera Utara
perasaan duka yang berkepanjangan dan (6) mania: elevasi alam perasaan, berkepanjangan dan mudah tersinggung. Rentang respon emosional dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini:
Respon Adaptif Kepekaan emosional
Reaksi berduka tak terkomplikasi
Respon Maladaptif Supresi emosi
Penundaan reaksi berduka
Depresi/ Mania
2.2.4 Klasifikasi Depresi Menurut King (2010) gangguan dalam suasana hati dapat meliputi gejala-gejala kognitif, perilaku, dan somatik (fisik), seperti juga kesulitan interpersonal. Dua tipe utama gangguan suasana hati adalah gangguan depresif dan gangguan bipolar. a. Gangguan depresif (depressive disorders): gangguan suasana hati dimana individu menderita depresi (situasi kurangnya kegembiraan dalam hidup yang berkepanjangan). Tingkat keparahan gangguan depresi bervariasi: 1) Gangguan depresif mayor (major depressive disorder-MDD): melibatkan episode depresi utama dan karakteristik depresi seperti tidak bersemangat dan ketidakberdayaan, setidaknya selama 2 minggu. Gangguan depresif mayor menyebabkan fungsi sehari-hari individu menjadi terganggu. Sembilan gejala yg mencirikan episode depresi utama (diantaranya harus muncul minimal 5 gejala dalam waktu 2 minggu): a) Suasana hati depresi pada sebagian besar waktu dalam sehari, b)
Universitas Sumatera Utara
Kurangnya minat atau kesenangan pada semua atau sebagian aktivitas, c) Berkurangnya atau meningkatnya berat badan secara signifikan atau penurunan minat makan, d) Kesulitan tidur atau tidur terlalu banyak, e) Agitasi psikomotor atau kemunduran dalam psikomotorik, f) Kelelahan atau kehilangan energi, g) Perasaan tidak berharga atau bersalah yang tidak tepat atau berlebihan, h) Permasalahan dalam proses berpikir, berkonsentrasi atau membuat keputusan, i) Pikiran berulang tentang kematian dan bunuh diri. 2) Gangguan depresif distimik (dystymic disorder-DD): gangguan depresi yang biasanya lebih kronis dan disertai gejala depresi lebih sedikit dibandingkan dengan gangguan depresi mayor. Individu biasanya dalam suasana hati terdepresi pada kebanyakan hari selama setidaknya 2 tahun pada dewasa atau setidaknya 1 tahun sebagai anak atau remaja. Untuk diklasifikasikan mengidap dystymic disorder, individu harus tidak memiliki episode depresif mayor, dan selama 2 tahun periode depresi harus tidak boleh terinterupsi oleh periode suasana hati yang normal selama lebih dari 2 bulan. Dua atau lebih dari 6 gejala ini harus muncul: nafsu makan kurang atau makan berlebihan, masalah dalam tidur, energi rendah atau kelelahan, harga diri rendah, konsentrasi buruk atau sukar mengambil keputusan, dan perasaan tidak berdaya (Ryder & Bagby, 2006 dalam King, 2010).
Universitas Sumatera Utara
b.
Gangguan bipolar: sebuah ganguan suasana hati yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem yang mencakup satu atau lebih episode mania (keadaan terlalu bersemangat, optimistis yang tidak realistis). Kebanyakan gangguan bipolar mengalami siklus berulang dari depresi yang bergantian dengan mania (King, 2010).
2.2.5 Gejala Depresi Hawari (2011) menyebutkan ciri kepribadian depresif antara lain: pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk bisa merasa bahagia, pesimis menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah dan berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan menangis, gerakan lamban, lemah, letih, lesu dan kurang energik, sering mengeluh psikosomatik, mudah tegang, agitatif dan gelisah, serba cemas, khawatir dan takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa tidak mampu, tidak berguna, merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan dan studi, suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul dan pergaulan sosial sangat terbatas dan lebih senang berdamai untuk mengindari konflik. Sedangkan Stuart (2006) membagi gejala depresi dalam 4 klasifikasi: a. Afektif: kemarahan, ansietas, apatis, kepahitan, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputuasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan, dan rasa tidak berharga. b. Fisiologik: nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, nyeri dada, konstipasi, pusing, keletihan, sakit kepala, impoten, gangguan pencernaan,
Universitas Sumatera Utara
insomnia, kelesuan, perubahan haid, nausea, makan berlebihan, gangguan tidur, muntah, dan perubahan berat badan. c. Kognitif: ambivalens, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang dekstruktif tentang diri sendiri, pesimis, dan ketidakpastian. d. Perilaku: agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri kurang, keterbelakangan psikomotor, isolasi sosial, mudah menangis, kurang mampu mencapai hasil, dan menarik diri. 2.2.6 Depresi pada pasien HIV/AIDS Cichocki (2009, dalam Kusuma, 2011) menemukan dalam studinya bahwa pasien HIV/AIDS sangat rentan mengalami tanda dan gejala depresi mulai ringan hingga berat dimulai sejak 1 bulan setelah terdiagnosa HIV yang selanjutnya fluktuatif dan berkembang seiring perjalanan penyakit. Depresi dapat timbul pada penderita HIV/AIDS yang dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut (Chandra, 2005 dalam Saragih, 2008): 1.
Invasi virus HIV ke Susunan Saraf Pusat (SSP), dimana menghasilkan perubahan neuropatologis pada bangsal ganglia, thalamus, nucleus batang
otak
yang
menyebabkan
disfungsi
dan
akhirnya
akan
menyebabkan gangguan pada mood dan motivasi.
Universitas Sumatera Utara
2.
Efek samping penggunaan obat-obat anti retroviral seperti: evavirenz interferon, zidovudin.
3.
Komplikasi HIV seperti infeksi oportunistik dan tumor intra kranial
4.
Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit tersebut, biasanya penderita mengalami reaksi penolakan dari pekerjaan, keluarga maupun masyarakat. Pada ODHA dengan tahap infeksi HIV positif, kondisi fisik yang
tidak stabil dan cenderung menurun diikuti dengan munculnya gejala-gejala fisik seiring dengan perjalanan penyakit serta tekanan sosial yang begitu hebat yang didapatkan dari lingkungan dapat menjadi sumber stres yang dapat menyebabkan ODHA mengalami depresi (Kusuma, 2011). Berdasarkan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa keadaan stres atau depresi yang dialami pasien HIV/AIDS akan memodulasi sistem imun melalui jalur HPA (Hipothalamic-PituitaryAdrenocorticoid) axis dan sistem limbik (yang mengatur emosi dan learning process). Kondisi stres tersebut akan menstimulasi hypothalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stres. Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu sistem imunitas, yang menyebabkan pasien akan semakin rentan terhadap infeksi opportunistik (Gunawan & Sumadiono, 2007 dalam Kusuma, 2011). Hal tersebut didukung oleh penelitian Robinson (2003, dalam Kusuma, 2011) yang melaporkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa ODHA yang mengalami depresi kronis akan mengalami penurunan yang tajam dalam jumlah sel CD4 selama 2 tahun dibanding ODHA yang tidak depresi. Hal tersebut akan memperburuk derajat kesehatan fisik pasien. Stres adalah respon alami dan peringatan pada tubuh manusia yang memerlukan proses adaptasi. Respon alami ini dapat menjadi gangguan patologis berlebihan dan tidak terkendali. Menurut Robinson (2003, dalam Kusuma, 2011), keadaan stres yang berlebihan pada pasien depresi berperan penting terhadap perkembangan penyakit pada klien HIV (+) yaitu dapat mempercepat terjadinya replikasi virus dan menekan respon klien sehingga dapat memperpendek periode HIV (+) tanpa gejala dan mempercepat perjalanan penyakit menuju AIDS. Selain itu depresi juga mempengaruhi self care pasien. Depresi menyebabkan seseorang malas untuk mengikuti regimen pengobatan anti retrovirus, nafsu makan yang kurang, keengganan berolahraga, dan kesulitan tidur sehingga dapat memperberat gangguan fisiknya (Holmes et al, 2007 dalam Kusuma, 2011). 2.2.7 Cara Pengukuran Beck Depression Inventory (BDI-II) Menurut Tomb (2003) skala depresi yang dapat membantu menemukan keparahan depresi dan dapat digunakan untuk mengukur perubahan dari waktu ke waktu adalah skala Beck Depression Inventory. Beck Depression Inventory (BDI-II) merupakan salah satu instrumen yang dikembangkan untuk menilai status emosional terkait depresi. BDI-II di buat oleh Aaron T. Beck tahun 1996. Ada tiga versi dari Beck Depression
Universitas Sumatera Utara
Inventory (BDI). Instrumen ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 dan kemudian mengalami revisi pada tahun 1978 sebagai BDI-1A. Setelah itu mengalami revisi kembali tahun 1996 menjadi BDI-II dan terstandar untuk digunakan dalam tes psikologi klinik (VanVoorhis & Blumentritt, 2007). VanVoorhis
&
Blumentritt
(2007)
menyebutkan
BDI-II
dikembangkan sejalan dengan kriteria diagnostik yang terdapat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV; American Psychiatric Association, 1994). BDI-II berisi 21 item pernyataan gejala depresi yang dirasakan selama 2 minggu dengan menggunakan
skala
likert.
Masing-masing
item
dinilai
dengan
4
pengkategorian yaitu 0 sampai 3. Total skor berkisar 0-63. Semakin tinggi skor mencerminkan tingkat keparahan depresi yang lebih besar. Pincus, et al (2000, dalam Saragih, 2008) mengemukakan interpretasi dari nilai-nilai keparahan BDI-II oleh Beck yaitu tidak depresi (0-9), depresi ringan (10-16), depresi sedang (17-29), dan depresi berat (30-63). BDI-II menunjukkan reliabilitas tes ulang 0.93. Tes ini juga memiliki konsistensi internal yang baik. Perkiraan konsistensi internal alpha 0.93 untuk sampel mahasiswa dan 0.92 pasien rawat jalan. Menggunakan koefisien alpha konsistensi internal dari BDI-II adalah 0.90. Tingkat ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan berbagai koefisien alpha antara 0,91 dan 0,93 (VanVoorhis & Blumentritt, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Konsep HIV/AIDS 2.3.1 Pengertian HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh menyerang sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) sehingga terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan semakin berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian (Smeltzer & Bare, 2005). Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kumpulan kondisi klinis atau gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia, yang disebabkan oleh HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, dimana perjalanan HIV akan berlanjut menjadi AIDS membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 13 tahun. Indikator penyakit ini adalah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (baik simtomatik maupun asimtomatik) akan mengalami imunosupresi yang berat dan berisiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik (Price & Wilson, 2005). Menurut Kemenkes RI (2012) kasus AIDS yang dilaporkan 66,8% berjenis kelamin laki-laki dan 32,9% perempuan. Proporsi kasus AIDS di Indonesia tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu 42,3%, 30-39 tahun 33,1%, 40-49 tahun 11,4%, 15-19 tahun 4%, dan yang berumur 50-59 tahun 3,3%.
Universitas Sumatera Utara
Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan berbagai masalah yang cukup luas pada individu yakni meliputi masalah fisik, sosial, dan emosional (Smeltzer & Bare, 2005). Masalah secara fisik terjadi akibat penurunan daya tahan tubuh progresif yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai penyakit terutama penyakit infeksi oportunistik dan keganasan (Price & Wilson, 2005). Manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi oportunistik yang khas meliputi: 1) Keganasan: Sarkoma Kaposi (SK), Limfoma Maligna, Kanker Serviks Invasive, Mieloma Multiple, Leukimia Limfositik akut sel B, Karsinoma 2) Infeksi: Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC), Cryptosporidium, Microsporidium, Isospora Belli menginfeksi saluran cerna, Myobacterium Tuberculosis, Kandiidasis, Kriptokokosis, Virus Herpes Simpleks (Price & Wilson, 2005). Infeksi oportunistik yang menyertai di Indonesia tercatat sejak tahun 2007 sampai September 2012 tertinggi yaitu tuberkulosis 3.874 kasus, kandidiasis 3.593 kasus, dan diare 3.356 kasus (Kemenkes RI, 2012). 2.3.2 Etiologi HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTVL-III/ human T Cell Limfadenopati virus tipe III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel panjamu. HIV 1 dan HIV 2 adalah lentivirus siptopatik, dengan HIV1 menjadi penyebab utama
Universitas Sumatera Utara
diseluruh dunia (Price & Wilson, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2005) penyebab AIDS adalah virus HIV. Murtiastutik (2008) menambahkan walaupun sudah jelas dinyatakan bahwa HIV sebagai penyebab AIDS, tetapi asal-usul virus ini masih belum diketahui secara pasti. Mula-mula dunamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). HIV adalah retrovirus yang mampu mengkode enzim khusus, reverse transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen mereka sendiri, sebagai DNA, di dalam sel inang (hospes=host) seperti limfosit helper CD4. DNA virus bergabung dengan gen limfosit dan hal ini adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan gen virus HIV pada sel inang merupakan rintangan untuk pengembangan antivirus terhadap HIV. 2.3.3 Cara Penularan HIV Penularan HIV hanya terjadi bila melewati empat jalur, yaitu: (1) hubungan seksual, (2) melalui darah atau transfusi darah, (3) Jarum kotor: penggunaan narkoba suntik, alat medis dan tusuk lain seperti tato, pisau cukur dan lain-lain yang sudah tercemar HIV, dan (3) melalui seorang ibu pada janinnya dalam kandungan atau bayi yang disusui (Smeltzer & Bare, 2005). Cara penularan yang terbanyak adalah hubungan seks yang tidak aman pada heteroseksual 81,9%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun 7,2%, dari ibu (positif HIV) ke anak 4,6% dan LSL (lelaki seks lelaki) 2,8% (Kemenkes RI, 2012). Sampai saat ini juga belum terbukti penularan melalui gigitan serangga, minuman, makanan, batuk/bersin,
Universitas Sumatera Utara
merawat pasien, atau kontak biasa (seperti bersalaman, bersentuhan, berpelukan) dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum, atau tempat kerja dengan penderita AIDS (Sudoyo, dkk , 2007 dalam Kusuma, 2011). Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani (semen), cairan vagina/serviks, dan darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut: a. Jalur hubungan seksual (homoseksual/heterseksual) b. Jalur pemindahan darah atau produk seperti transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur, dan melalui luka kecil di kulit (termasuk lesi mikro). c. Jalur transplantasi alat tubuh d. Jalur transplasental, janin dalam kandungan ibu hamil dengan infeksi HIV dan infeksi perinatal (Murtiastutik, 2008). 2.3.4
Perjalanan penyakit HIV/AIDS Sel tubuh manusia yang pertama diserang oleh virus HIV adalah CD4
yaitu limfosit dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap kuman penyakit. Bila jumlah dan fungsi CD4 berkurang, maka sistem kekebalan orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit. Setelah terinfeksi jumlah limfosit CD4 akan berkurang (Djoerban, 2000). Menurut Murtiastutik (2008) perjalanan HIV melalui beberapa tahapan antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. Infeksi HIV akut: disebut sebagai infeksi primer HIV atau sindrom serokonversi akut. Antara 40-90% infeksi baru HIV memberikan keluhan. Waktu dari paparan virus sampai timbulnya keluhan antara 2-4 minggu. Beberapa akan menunjukkan keluhan seperti demam pada influenza yang antara lain: demam, keluar ruam merah dikulit, arthralgia, nyeri otot, sakit kepala, nyeri telan, badan lesu dan limfadenopati. Kadang-kadang terdapat sindrom neurologi akut yang biasanya sembuh sendiri. Gejalagejalanya seperti meningitis aseptis, neuropati perifer, ensefalitis, dan mielitis. Tes serologi standar untuk antibody terhadap HIV masih memberikan hasil negatif. Tes serologi memberikan hasil positif pada 412 minggu setelah infeksi. b. Infeksi seropositif HIV asimtomatis: pada orang dewasa terdapat periode laten infeksi HIV yang bervariasi dan lama untuk timbulnya penyakit yang terkait HIV dan AIDS. Seseorang yang terinfeksi HIV bisa tidak mengalami keluhan apa pun selama 10 tahun atau lebih. Pada anak-anak masa infeksi asimtomatis ini lebih pendek daripada orang dewasa. Beberapa bayi menjadi sakit dalam beberapa minggu pertama. Kebanyakan anak-anak menjadi sakit sebelum usia 2 tahun. Sebagian kecil bisa tetap sehat untuk beberapa tahun kemudian pada masa ini, meskipun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi bila diperiksa darahnya akan menunjukkan seropositif. Hal ini akan sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV pada orang lain
Universitas Sumatera Utara
c. Persisten Generalized Lymphadenophaty/PGL: pada masa ini ditemukan pembesaran limfonodi yang meliputi sedikitnya dua tempat selain limfonodi inguinal dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan yang menyebabkan pembesaran limfonodi. Pada saat ini, jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada sekitar sepertiga orang yang terinfeksi HIV tanpa gejala. Pembesaran limfonodi menetap, menyeluruh, simetris dan tidak nyeri tekan. Pada kondisi ini hasil biopsi pembesaran limfonodi akan memberikan gambaran hiperplasia reaktif yang tidak spesifik. Bila pada pembesaran limfonodi terdapat gejala konstitusional, nyeri tekan, asimetri, mandadak dan
adanya
limfadenopati
menyeluruh/generalisata,
maka
perlu
pemeriksaan biopsi untuk mengetahui penyebab lainnya. Progresivitas infeksi HIV tergantung pada karakteristik virus dan hospes. Karakteristik virus meliputi tipe dan subtipe virus: HIV-1 dan beberapa
subtype
HIV-1
menyebabkan
progresivitas
lebih
cepat.
Karakteristik hospes yang bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat antara lain: usia < 5 tahun atau > 40 tahun, infeksi yang menyertai, faktor genetik. Bersamaan dengan progesivitas infeksi HIV dan penurunan imunitas, penderita menjadi lebih rentan infeksi. Menurut Price & Wilson (2005) hitung limfosit CD4+ turun yaitu kurang dari 200/µl sebagai kriteria tunggal untuk diagnosis AIDS, apapun kategori klinisnya baik simtomatik maupun asimtomatik.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5
Perkembangan klinis dan manifestasi Menurut Price & Wilson (2005) infeksi HIV primer akut yang
lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan seperti flu, saat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat di malam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limfadenopati, penurunan kognitif dan lesi oral. WHO menetapkan kriteria diagnosis HIV/AIDS apabila terdapat dua gejala mayor dan satu gejala minor di bawah ini (Murtiastutik, 2008): a. Gejala Mayor: penurunan berat badan > 10% berat badan, diare kronis >1 bulan, demam >1 bulan, kesadaran menurun dan gangguan neurologis demensia b. Gejala Minor: batuk >1 bulan, pruritus dermatitis menyeluruh, infeksi umum yang rekuren, kandidiasis orofaringeal, infeksi herpes simpleks yang meluas atau menjadi kronik progresif, limfadenopati generalisata. 2.3.6 Pemeriksaan Lab Uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV adalah: 1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), Bereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positifpalsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik dengan Western blot (Price & Wilson, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2. Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya
memberi
hasil
positif-palsu
atau
negatif
palsu
(Martuastik, 2008). Saat Elisa dan Western blot bereaksi lemah dan agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV. 2.3.7
Pengobatan pasien HIV/AIDS Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong
suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS (Murtiastutik, 2008). Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum.
Universitas Sumatera Utara