BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena memiliki peran dan fungsi di keluarga serta lingkungan masyarakat. Mereka bagian dari sekumpulan individu yang memiliki interaksi sosial dan hidup bersama di masyarakat. Hidup bersama ini merupakan bagian dari kehidupan sosial. Definisi kehidupan sosial yaitu kehidupan bersama manusia atau kesatuan manusia yang hidup bersama dalam suatu pergaulan (Nawawie, 2010 : 1). Kesatuan hidup manusia dibangun kebersamaan dalam waktu lama, ruang tempat dan jarak yang dekat serta memiliki hubungan emosional secara manusia. Demikian pula dalam keluarga yang hidup bersama dan memiliki kesadaran dalam satu kesatuan antara orang tua dan anak. Anak berada di antara orang tua, dan saudara kandung, hidup dalam lingkungan sekitarnya yaitu tetangga dan teman-teman, hal ini saling mempengaruhi dalam kehidupan anak. Keterkaitan dalam kehidupan sosial anak di antara lingkungan sosial internal dan eksternal. Lingkungan internal yang dimaksud adalah keluarga inti terdiri orang tua dan saudara, sedangkan lingkungan eksternal adalah orang-orang yang hidup dekat dengan anak yaitu tetangga, kerabat dan teman-teman. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial anak tidak terlepas dari lingkungan dan saling mempengaruhi, dimana hakhak yang melekat pada diri anak yang merupakan hak dasar sebagai Hak Asasi Manusia. Hak anak dalam keluarga yaitu hak mendapatkan perhatian, kasih sayang, perlindungan, pertolongan dan pendidikan mendasar. Pendidikan mendasar dalam keluarga untuk membentuk karakter dan tumbuh kembang anak sebagaimana manusia seutuhnya. Demikian juga hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan formal di sekolah. Selain
6
mendapatkan hak, anak ada juga memiliki kewajiban dalam keluarga yaitu untuk membantu, melindungi dan menolong orang tua. Anak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seseorang berusia dibawah 18 tahun yang termasuk pada anggota dalam keluarga. Indikator usia anak tersebut menunjukkan bahwa masa untuk anak dapat membentuk karakter dan menempuh pendidikan formal di sekolah karena anak berperan sangat penting sebagai generasi penerus. Anak sebagai generasi penerus memiliki masa depan lebih baik seharusnya mendapatkan hak-hak dasar sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hak-hak dasar setiap anak yaitu hak mendapatkan perlindungan, hak kehidupan layak, hak tumbuh kembang melalui pendidikan dan hak berpartisipasi di dalam masyarakat. Hak perlindungan anak dari segala perbuatan yang dapat mengancam hidupnya. Hak mendapatkan hidup layak dengan tercukupinya segala kebutuhan dasar demi kelangsungan hidup hingga mencapai masa depannya. Hak tumbuh kembang anak diperlukan untuk pertumbuhan fisik, psikis secara normal dan berkualitas. Terutama adalah anak mendapatkan hak pendidikan sebagai modal mendapatkan hidup sejahtera. Hak pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi anak untuk mencapai masa depannya. Terwujudnya hak-hak dasar anak tersebut dibutuhkan kerjasama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Hak pendidikan anak melalui pendidikan sekolah dasar sebagaimana program pemerintah wajib belajar 12 tahun untuk mengatasi masalah kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan. Mengatasi permasalahan sosial tersebut maka setiap anak wajib untuk menempuh pendidikan, minimal pendidikan dasar dapat diselesaikannya. Pendidikan merupakan hal yang penting dan sangat dibutuhkan oleh anak, demi kelangsungan hidup lebih baik dan mencapai cita-citanya. Mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan peran orang tua, pemerintah dan masyarakat, setiap aktor berperan untuk melindungi setiap anak-anak di Indonesia.
7
Anak memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab dalam keluarga dan di masyarakat. Keikutsertaan anak dalam kehidupan sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya serta melekatnya hak dan kewajiban. Hak anak sejalan dengan kewajiban yang harus dilakukan. Anak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas hidup masa depannya dan keluarga, wajib membantu serta mengabdi pada orang tua. Terwujudnya hak dan kewajiban tersebut dibutuhkan kerjasama yang baik antara anak dan orang tua dalam keluarga. Kewajiban dan hak anak dalam proses pertumbuhan anak sampai dewasa tidak terlepas dari peran orang tua. Proses perkembangan anak membutuhkan pendidikan dan kesehatan berkualitas untuk pertumbuhan fisik psikis yang sehat. Kualitas pendidikan dan kesehatan dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi keluarganya. Kondisi ekonomi keluarga merupakan penentu untuk mencapai kualitas hidup anak. Jika kondisi ekonomi keluarga miskin merupakan masalah bagi anak-anak sebab terbatasnya segala kebutuhan anak dapat terpenuhi. Kondisi sosial keluarga dimana kesadaran membentuk keluarga harmonis maka memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi keluarga termasuk menentukan masuknya anak menjadi pekerja anak, dimana kondisi sosial ekonomi keluarga tidak harmonis dan terbatas dalam mencukupi kebutuhannya sehingga melibatkan anak dalam kegiatan ekonomi. Kondisi ekonomi terbatas atau miskin menyebabkan anak ikut terlibat bekerja untuk membantu orang tua. Keterlibatan anak ke pasar kerja untuk mendapatkan upah disebut pekerja anak. Keterlibatan anak masuk ke pasar kerja atau buruh anak yaitu adanya aktivitas, interaksi sosial, peran serta, partisipasi dan keikutsertaan anak dalam melakukan pekerjaan. Definisi pekerja anak adalah setiap individu yang terlibat dalam aktivitas ekonomi yang berusia di bawah 18 tahun (ILO, 2007). Anak terlibat bekerja untuk membantu meringankan beban orang tua dalam mencukupi segala kebutuhan dasar. Motivasi anak terlibat dalam
8
pasar kerja menjadi pekerja anak disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, kondisi miskin, putus sekolah, ingin mendapatkan uang, hidup mandiri dan memiliki pengalaman pekerjaan.
Keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi secara dini karena keterpaksaan kondisi kemiskinan keluarga pekerja anak mengalami perangkap kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh Robert Chambers bahwa perangkap kemiskinan meliputi kemiskinan itu sendiri, kerentanan, keterisolasian, ketidakberdayaan dan kelemahan jasmani (Suyanto, 2003 : 12). Meskipun hidup di kota besar masih mengalami kesulitan di dalam mengakses pendidikan. Masalahnya bukan secara geografis atau sarana transportasi, melainkan disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan dan biaya hidup di kota. Tingginya tuntutan dan persaingan hidup di kota besar, sehingga menuntut persaingan yang tinggi untuk bekerja kera dan melibatkan seluruh anggota keluarga termasuk anak. Pekerja anak masuk pada pasar tenaga kerja merupakan pilihan yang dilakukan oleh anak untuk strategi kelangsungan hidup (household survival strategy). Menurut Effendi (dalam Suyanto, 2003 : 12) bahwa latar belakang keterlibatan anak-anak usia sekolah dalam kegiatan ekonomi adalah strategi kelangsungan rumah tangga. Keluarga melakukan upaya adaptasi hidup di kota melalui pemanfaatan tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja ibu rumah tangga dan anak-anak ikut terlibat menopang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan yang dilakukan anak tidak sebatas pekerjaan rumah tangga, tetapi juga pekerjaan upahan, baik lingkungan sekitar tempat tinggal hingga mengadu nasib ke kota besar. Meskipun Undang-undang mewajibkan belajar 9 tahun tetapi masih banyak anakanak masuk pasar kerja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan semakin meningkat dari tahun ke tahun (Effendi, 1993 : 55). Dampak buruk akibat pekerja anak yang bekerja yaitu menyebabkan kondisi kesehatan, perkembangan fisik, psikis, mental dan kehidupan sosial anak terganggu, bahkan anak cenderung memiliki anggapan buruk terhadap pendidikan
9
karena merasa tidak penting. Paradigma yang dibangun oleh anak tentang pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, sehingga lebih memilih masuk pada proses keterlibatan menjadi pekerja anak. Proses keterlibatan anak menjadi pekerja anak berawal dari membantu pekerjaan rumah tangganya sendiri, selain itu juga ada aktor yang berperan. Proses pekerja anak masuk pada pasar kerja bukan saja disebabkan oleh faktor kemiskinan, termasuk faktor lingkungan dalam kehidupan sosial anak juga mempengaruhi. Proses anak bekerja berawal dari pekerjaan rumah tangga dalam keluarganya bersama orang tua, bergeser ke sektor publik yang berorientasi pada pendapatan atau uang. Pergeseran berorientasi pada komersial sehingga menyebabkan mereka masuk pada proses pasar kerja seperti orang dewasa, sekalipun tetap terjadi eksploitasi, kerentanan terhadap kekerasan fisik dan psikis, dan diskriminasi terhadap anak. Proses keterlibatan anak yang bekerja mengalami kerentanan terhadap tindakan-tindakan yang mengganggu dan menghambat tumbuh kembangnya. Pekerja anak rentan mendapat perlakuan seperti kekerasan fisik dan psikis, penyakit, eksploitasi, diskriminasi, pengguna obat terlarang dan perdagangan manusia (human trafficking), bahkan perkembangan mental dan masa depan menjadi terancam karena harus lebih banyak memberikan waktu pada pekerjaan. Waktu anak untuk belajar menjadi lebih sulit dipergunakan dengan maksimal karena kelelahan bekerja, dan sangat rentan putus sekolah. Rentannya anak putus sekolah maka menjadi pilihannya adalah masuk pasar tenaga kerja. Sektor pasar tenaga kerja yang paling banyak dimasuki oleh anak adalah sektor informal seperti : pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, penangkapan ikan lepas pantai, perkebunan, pedagang asongan, dan lain sebagainya. Sektor informal lebih banyak dimasuki oleh pekerja anak karena persyaratan mudah, tanpa keterampilan khusus (unskill), mudah dikerjakan, pekerjaan dianggap ringan, mendapat ijin dari orang tua, dan tidak membutuhkan persyaratan pendidikan khusus serta waktu yang diperlukan untuk bekerja dianggap tidak
10
terikat oleh peraturan. Motivasi anak bekerja berawal dari keinginan untuk mendapatkan uang saku (uang jajan) di sekolah. Motivasi ini didorong oleh keinginan anak untuk memiliki uang sendiri, tidak mau hidup bergantung pada orang tua, sikap mengabdi pada orang tua dan memiliki keinginan hidup mandiri, maka pasar kerja sektor informal merupakan pilihan paling tepat bagi anak mendapatkan pekerjaan. Sektor informal paling banyak dimasuki oleh anak meskipun merupakan bentuk pekerjaan berbahaya dan dilarang dilakukan oleh anak karena mengganggu perkembangan mental dan kehidupan sosial. Padahal, sektor informal belum mendapat perhatian serius untuk dicari solusi tepat untuk mengatasinya. Hal ini juga belum adanya data yang akurat dari pemerintah tentang jumlah dan kondisi pekerja anak, khususnya PRTA. Hal ini tertuang dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keppres No.36 Tahun 1990 mengatakan bahwa mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan melakukan pekerjaan apa saja yang memungkinkan membahayakan atau menggangu pendidikan anak, kesehatan fisik, jiwa, rohani, moral atau perkembangan sosial anak. Berkaitan dengan pekerja anak dalam Konvensi Hak Anak menegaskan bahwa anak harus mendapat perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pelaksanaan setiap pekerjaan berbahaya, mengganggu pendidikan anak bahkan merugikan kesehatan dan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial (ILOIPEC, 2011). Dengan demikian, pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak pekerja anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Selain Konvensi Hak Anak, Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No.182 dengan Undang-undang No.1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan segera untuk mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak yaitu perbudakan, kerja paksa atau wajib kerja, perdagangan anak, kerja ijon, perhambaan, prostitusi, pornografi, serta pekerjaan berbahaya dan eksploitatif
11
(Huraerah, 2012 : 84). Pekerjaan seperti perbudakan atau perhambaan hampir sama halnya dengan anak bekerja menjadi PRT, disebut PRTA. PRTA merupakan salah satu pekerjaan terburuk yang dilarang dilakukan oleh anak usia dibawah 18 tahun. Pekerjaan terburuk tersebut karena berbahaya dilakukan oleh anak, pekerjaan kategori berbahaya sehingga dilarang dan dilakukan upaya pemecahan masalahnya. Kecenderungan awalnya anak bekerja menjadi PRT tetapi lama-kelamaan yang terjadi dipekerjakan sebagai pekerja seks, di prostitusi atau perdagangan anak. Pekerjaan terburuk pada anak dalam bentuk perbudakan yaitu pekerjaan sektor jasa domestik rumah tangga atau disebut PRTA (ILO, 2004). Data pekerja anak banyak sektor berbahaya sebanyak 4.201.425 anak, anak usia dibawah 18 tahun dan lebih 1,5 juta anak bekerja sektor berbahaya tersebut adalah perempuan. Pekerja anak di Indonesia usia 10-17 tahun pada tahun 2005 berjumlah sekitar 1.148.000 jiwa dan tahun 2010 berjumlah sekitar 1.553.000 jiwa. Angka jumlah pekerja anak mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 405.000 jiwa (ILO, 2004). Berdasarkan data ILO-IPEC bekerjasama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2002/2003 bahwa jumlah pekerja anak yang bekerja sektor berbahaya menjadi pembantu rumah tangga lebih dari 688.132 berusia dibawah 18 tahun atau sekitar 26,5 persen dari total 2.593.399 anak yang bekerja sebagai PRTA di seluruh Indonesia (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2006 : 1). Jumlah tersebut diperkirakan semakin bertambah dan lebih besar di kota-kota besar disebabkan oleh faktor kemiskinan, budaya, pengaruh lingkungan anak dan faktor lainnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa masalah pekerja anak belum dapat diatasi, bahkan ada kecenderungan mengalami permasalahan semakin kompleks, sulit dicegah. Data pekerja anak menurut BPS bekerjasama dengan Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (2011) bahwa pekerja anak usia 10-17 tahun di Jawa Barat berjumlah 354.249 orang. Jumlah pekerja anak lima propinsi kota besar sebagai perbandingan yang
12
dapat dilihat yaitu DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan D.I Yogyakarta. Berikut tabel data lima propinsi tersebut : Tabel 1.1 Persentase dan Jumlah Anak Usia 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Propinsi dan Kelompok Umur ( Laki-laki dan Perempuan), 2010
Provinsi
Kelompok Umur
Total
Jumlah
(6)
(7)
(8)
18.03
80.9
100
93.571
2.21
29.53
66.07
100
354.249
1.00
2.39
30.76
65.15
100
382.842
2.38
3.93
3.19
41.53
48.98
100
37.088
0.87
1.3
3.29
32.00
62.55
100
406.112
10
11
12
13-15
16-17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
DKI. Jakarta
-
0.63
0.44
Jawa Barat
0.95
1.23
Jawa Tengah
0.69
D.I Yogyakarta Jawa Timur Sumber : Sakernas Agustus 2010
Berdasarkan tabel 1.1 di atas bahwa data lima propinsi tersebut menunjukkan usia anak antara 10-17 tahun yang bekerja propinsi tertinggi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI. Jakarta sedangkan D.I Yogyakarta yang terendah. Hal ini bahwa pekerja anak banyak terdapat di kota-kota besar seperti Jawa Timur, Jawa Barat, DKI. Jakarta dan Jawa Tengah. Pekerja anak di kota besar seperti Jawa Barat dan DKI. Jakarta berasal dari daerah pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar mencari pekerjaan sektor informal, lebih banyak sektor jasa domestik. Kompleksitas permasalahan pengurangan pekerja anak dilematis antara kebutuhan hidup menyangkut masalah ekonomi, budaya dan sosial.
Kebutuhan ekonomi karena
dilatarbelakangi kondisi pendapatan orang tua terbatas untuk memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga, maka ibu dan anak ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi untuk menambah 13
penghasilan keluarga, tetapi ada faktor lain menyebabkan anak menjadi pekerja anak yaitu faktor budaya dan lingkungan kehidupan sosial anak dimana budaya di masyarakat yang menganggap anak harus mengabdikan dirinya kepada orang tua maka bentuk dari pengabdian itu anak membantu orang tua meringankan beban mencari nafkah dan faktor lingkungan kehidupan sosial dimana anak yang tinggal disekitarnya banyak menjadi pekerja anak maka anak terpengaruh menjadi pekerja anak. Permasalahan pekerja anak semakin kompleks karena cenderung mengalami peningkatan, dilematis berkaitan dengan sosial budaya yang ada di masyarakat, dimana masyarakat masih banyak yang menganggap anak bekerja menjadi pekerja anak tidak masalah sepanjang hal itu mendapat ijin dari orang tua dan mau membantu orang tuanya, namun dampak buruk yang diakibatkan dari anak bekerja tidak disadari oleh orang tua dan masyarakat secara umumnya. Dampak buruk yang dialami bagi anak yang bekerja di bawah umur yaitu hak-hak dasar anak untuk hidup layak, tumbuh kembang, kesejahteraan anak dan hak pendidikan anak menjadi terabaikan bahkan anak menanggung resiko terhadap kekerasan fisik dan psikis hingga resiko tidak tercapainya cita-cita dimasa depannya. Aspek sosial budaya tidak terlepas dari aspek ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan hidup harus terpenuhi, disamping itu ada aspek sosial budaya yang mempengaruhi adanya pekerja anak. Budaya di masyarakat masih menganggap anak harus mengabdikan dirinya kepada orang tua, membantu keluarga dan menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kompleksnya masalah pekerja anak seperti kerentanan anak mengalami gangguan perkembangan, terabaikannya kebutuhan kehidupan sosial, kebutuhan pendidikan dasar, dan rentan terhadap penyakit. Lebih lagi adalah menurunnya kualitas hidup dan pendidikan bagi anak-anak sebagai generasi penerus, serta mengabaikan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak. Hal tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi, arus perkembangan industrialisasi dan tuntutan hidup di kota serta terjadinya kesenjangan
14
ekonomi. Kesenjangan ekonomi dan kebutuhan hidup semakin mendesak merupakan kondisi yang mendorong anak terlibat dalam aktivitas ekonomi, sebagaimana diketahui bahwa secara idealnya pekerja anak tidak ada di masyarakat. Namun pada kenyataannya bahwa pekerja anak banyak terdapat di masyarakat, alasannya adalah keterdesakan kebutuhan hidup. Semakin banyaknya tuntutan kebutuhan dan keinginan hidup untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi. Hal ini berpengaruh pada motivasi anak bekerja mendapatkan uang, orientasi bekerja adalah untuk mendapatkan uang, terlepas dari pemahaman mereka bahwa ada dampak buruk yang mereka alami dari resiko menjadi pekerja anak. Uang yang didapatkan tersebut dipergunakan untuk kebutuhan sendiri, membeli barang kebutuhan sesuai keinginannya dan diberikan kepada orang tuanya. Trend saat ini dipengaruhi oleh peningkatan kelas ekonomi menengah keatas dimana terjadi kesenjangan ekonomi signifikan antara kaya dengan miskin. Menurut hasil survei Litbang kompas Maret-April 2012 bahwa kelas menengah mencapai jumlah 50,3 persen dan menengah keatas berjumlah 3,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 247 juta jiwa. Kesenjangan sosial terlihat semakin dalam, perbedaan ekonomi dan semakin jauh antara harapan dengan kenyataan untuk mencapai hidup sejahtera yang dialami oleh keluarga kelas ekonomi bawah. Kesenjangan ini mengakibatkan ekonomi keluarga miskin semakin terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan keterdesakan kebutuhan hidup sehingga melibatkan anakanak ikut mencari uang. Meskipun demikian dari data menunjukkan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan. Menurut data Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta (11,96 persen) dan terjadi penurunan pada bulan September 2012 sebesar 28,59 (11,66 persen). Angka kemiskinan tersebut menunjukkan terjadi penurunan sebesar 540.000 jiwa (BPS, 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa faktor kemiskinan bukan menjadi faktor utama penyebab anak terlibat menjadi pekerja anak, meskipun angka data statistik terjadi penurunan
15
angka kemiskinan tetapi tidak memberikan dampak pada penurunan angka pekerja anak. Ada faktor penyebab yang lain sehingga anak bekerja, termasuk adanya mengalami suatu proses keterlibatan menjadi PRT dan adanya peran beberapa aktor. Pekerja anak mengalami suatu proses hingga terlibat dalam aktivitas ekonomi dan ada peran aktor mengambil keuntungan dalam mencapai tujuannya. Proses keterlibatan tersebut melalui proses kekeluargaan atas dasar saling percaya, tanpa ada suatu aturan dan stuktur yang dibentuk melainkan secara sistematis. Sistem yang dibangun oleh masyarakat atas dasar saling percaya dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain, atau dengan kata lain system kekerabatan dalam mewariskan pekerjaan PRT. Proses keterlibatan yang dimaksud adalah suatu rangkaian aktivitas atau tahapan yang dilakukan, dan dibentuk dengan arah, ketentuan dan kesepakatan yang sudah dibangun tanpa ada yang mengaturnya hingga anak menjadi bagian dari aktivitas atau kegiatan tersebut. Proses anak terlibat menjadi pekerja anak merupakan peran dari aktor yang melakukan menyampaikan informasi lowongan pekerjaan PRT dan mengajak anak ikut masuk terlibat bekerja menjadi PRT untuk mencapai tujuan dan maksud yang terkandung makna di dalamnya. Proses anak menjadi PRTA melalui informasi dan mengajak yang dilakukan oleh aktor di masyarakat seperti keluarga, saudara, tetangga dan teman berperan secara aktif sehingga anak masuk terlibat menjadi pekerja anak. Aktor dimaksud adalah keluarga, saudara, tetangga dan teman sesama pekerja anak. Keluarga yang dimaksudkan dalam hal ini adalah orang tua dan saudara dari PRTA tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga dan saudara sebagai lingkungan internal dalam kehidupan PRTA ikut berperan sehingga anak menjadi PRTA. Sedangkan teman-teman PRTA merupakan lingkungan eksternal yang mempengaruhi anak untuk menjadi PRTA. Masing-masing aktor tersebut memiliki tujuan yang diharapkan dari peran dan cara mereka masing-masing. Proses keterlibatan anak menjadi PRT merupakan
16
masalah karena proses keterlibatan mereka dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dalam kehidupan anak serta proses ini semakin banyak terjadi dan telah tersistem di masyarakat. Keterlibatan anak sebagai pekerja anak menyebabkan dampak buruk pada perkembangan dan ada hak-hak dasar anak yang terabaikan. Dampak buruk bagi anak yang paling mendasar adalah waktu anak untuk belajar di sekolah dan di rumah menjadi terabaikan, sehingga menghambat tumbuh kembang kreativitasnya. Dampak paling buruk lagi adalah terganggunya perkembangan fisik dan mental anak karena mengalami kekerasan fisik dan seksual, bahkan anak tersebut rentan mengalami perdagangan manusia (human trafficking). Kerentanan anak terhadap human trafficking didasarkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakmampuan anak dalam mengambil keputusan atas pilihan-pilihan dalam hidupnya. Rendahnya dorongan dari orang tua kepada anak untuk pendidikan, sebagaimana dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua juga rendah. Latar belakang keluarga PRTA memiliki keterbatasan ekonomi dan kurang harmonis cenderung mengorbankan hak pendidikan anak dan lebih memilih bekerja dengan tidak melanjutkankan sekolah atau putus sekolah, baik untuk sementara maupun seterusnya. Kelangsungan pendidikan anak terpaksa dikorbankan demi bekerja mendapatkan upah. Kondisi ini menyulitkan bagi anak untuk memilih antara sekolah atau bekerja demi membantu orang tua. Hal ini menimbulkan persoalan dilematis bagi anak untuk memilih antara hak dan kewajiban. Disamping itu juga anak-anak bekerja untuk memberikan kontribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan salah (Sofian, 1999 : 1). Perlakuan eksploitasi kepada anak akan memperpanjang permasalahan yang harus dihadapi oleh pekerja anak. Permasalahan dihadapi oleh pekerja anak tidak sebagaimana semestinya karena dari pengalaman, cara berpikir dan bertindak belum cukup untuk memutuskan pilihan yang tepat.
17
Pekerja anak lebih memilih untuk bekerja dari pada sekolah akan semakin memperburuk dan memperpanjang masalah sosial ekonomi dalam keluarga. Pekerja anak dengan kondisi putus sekolah, pengaruh janji-janji diberi gaji tinggi, dan ingin cepat mendapatkan pekerjaan tanpa proses pendidikan. Stigma yang dibangun oleh anak bahwa pendidikan tidak memberikan jaminan untuk hidup sejahtera, jika pendidikan tidak memberi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup layak maka lebih baik untuk putus sekolah dan bekerja. Stigma yang dibangun demikian juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar anak termasuk di dalamnya melalui informasi dari saudara, tetangga, teman ke teman yang sudah bekerja, pengaruh gaya hidup, kurangnya terakses dan mengakses pendidikan, mahalnya biaya hidup dan biaya sekolah. Tingginya biaya pendidikan di sekolah inilah merupakan alasan bagi anak untuk lebih memilih bekerja dari pada sekolah. Pekerja anak beranggapan bahwa dengan bekerja lebih cepat mendapatkan uang dan masa depan lebih baik. Padahal apa yang dibayangkan berbeda dengan faktanya, justru sebaliknya yang terjadi. Seharusnya dan idealnya anak lebih mengutamakan pendidikan untuk membentuk karakter sesuai perkembangan yang dibutuhkan pada usia mereka, bukan mencari jalan pintas tanpa melalui proses pembentukan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaan dan mendapatkan pekerjaan sebagaimana tingkat kemampuannya. Motivasi pekerja anak terlibat bekerja adalah untuk mendapatkan uang saku atau uang jajan dan juga untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Namun, jika hal ini berlangsung dalam jangka waktu lama maka yang terjadi adalah anak menjadi penopang ekonomi utama dalam keluarga. Pilihan pekerjaan yang dilakukan oleh anak adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pekerjaan menjadi PRTA adalah pilihan yang tepat menurut anak, karena pekerjaan rumah tangga sudah dipelajari dan dapat dikerjakan dimulai dari rumah sendiri. Keluarga PRTA secara tidak langsung telah memberi pelajaran dan pengalaman bagi anak untuk mengerjakan
18
pekerjaan di rumah tangga. Pekerjaan PRT masih banyak ditemukan dan dibutuhkan di masyarakat bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlahnya, karena persyaratan ringan sekalipun termasuk pekerjaan sangat berbahaya. PRT merupakan pilihan anak menurut mereka paling tepat karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, kondisi anak yang putus sekolah dan pekerjaan PRT banyak dibutuhkan di masyarakat dimana pekerjaan rumah tangga telah dipelajari ketika berada di rumah sendiri, dianggap ringan, tidak memerlukan tingkat pendidikan dan keterampilan khusus. Meskipun demikian bahwa PRTA merupakan salah satu pekerjaan bentuk perbudakan modern dan masih dianggap rendah harkat dan martabatnya. PRTA termasuk pada kategori 13 sektor sebagai pekerjaan terburuk yang dilarang untuk dikerjakan oleh anak, maka dilakukan upaya pencegahan agar anak-anak tidak terlibat dalam pekerjaan tersebut. Pekerjaan PRT dilarang dilakukan oleh anak termasuk sektor berbahaya, maka penting membuat langkah pencegahan. Hal ini mengalami dilematis karena masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang regulasi dan dampak yang dialami oleh anak-anak, baik secara fisik, psikis dan masa depannya. Menurut Keppres No.59/2002 mengenai Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Terburuk Pekerjaan Anak disini disebutkan Pembantu bukan Pekerja. Padahal PRTA bila dilihat dari sisi kemanusiaan dan hal yang dikerjakan sama dengan pekerja yang perlu mendapat pengakuan secara Hak Asasi Manusia dan mendapat perlindungan dari semua pihak. Pekerjaan PRT oleh anak terlihat merupakan pengeksploitasian karena jam kerja panjang, ketidakjelasan hukum untuk menindak tegas, tidak jelas batasan pekerjaan yang harus dilakukan, tidak ada hari libur, dan tidak ada aturan tentang upah minimum (ILO, 2004). Masalah pekerja anak PRT dipengaruhi oleh adanya permintaan dan penawaran, khususnya pekerja sektor jasa domestik. Penawaran semakin meningkat karena banyaknya
19
anak putus sekolah, pekerjaan PRT mudah dikerjakan, tanpa persyaratan pendidikan khusus, PRT merupakan sektor jasa informal mudah didapatkan dan juga besarnya pengaruh dari lingkungan anak. Sedangkan, permintaan PRTA semakin banyak dari majikan terhadap PRTA karena dianggap mudah diatur, mudah diajari, dapat diberi upah rendah dan tidak melawan majikan. Kondisi tersebut banyaknya anak lebih memilih bekerja sebagai PRTA, meskipun data mengenai jumlah PRTA masih ada perbedaan pendapat mengenai data, selain masalah data bahwa masih adanya perbedaan pandangan di masyarakat tentang pekerja anak. Selain kondisi kemiskinan, adanya pengaruh budaya, biaya gaya hidup, pendidikan rendah, kebiasaan hidup yang berlaku dalam lingkungan anak, pemodelan (modeling) dari teman anak dan tidak adanya sanksi peraturan yang tegas melarang praktek tenaga kerja anak. Perkembangan zaman saat ini semakin banyaknya barang-barang teknologi memberikan kemudahan informasi dengan harga yang murah. Semakin banyaknya barang teknologi tersebut menjanjikan segala kemudahan dalam hidup menjadikan tuntutan dan kebutuhan hidup semakin meningkat, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan gaya hidup yang dimiliki oleh anak-anak saat ini. Hal demikian merupakan faktor-faktor mempengaruhi anak masuk pada proses keterlibatan untuk bekerja menjadi PRT. Proses keterlibatan anak masuk dalam pasar tenaga kerja ada peran dari aktor di lingkungan sosial anak dalam keseharian. Keterlibatan berarti ikut berperan, berpartisipasi, keikutsertaan, adanya interaksi sosial, dan adanya aktivitas secara rutin dilakukan. Aktor tersebut diantaranya adalah orang tua, saudara, tetangga dan teman. Peran aktor tersebut memiliki kepentingan dan cara yang berbeda untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana diketahui bahwa setiap individu memiliki tujuan dalam hidupnya untuk untuk mencapai hidup sejahtera. Proses keterlibatan merupakan penyebab anak menjadi PRTA dan adanya peran aktor di masyarakat. Proses keterlibatan menjadi masalah yang dilakukan penelitian ini karena dalam aktivitas keterlibatan merupakan orang-orang yang berperan dan terlibat adalah
20
saling mengenal dan orang yang terdekat dalam lingkungan anak. Aktor adalah orang-orang yang terdekat dalam kehidupan anak yang ikut berperan menyebabkan anak-anak terlibat menjadi PRT. Kondisi ini diperlukan langkah pencegahan sehingga masalah PRTA di Kota Bandung dapat diatasi. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengambil judul “ Proses Keterlibatan Anak Menjadi Pekerja Rumah Tangga (Studi Pada Pekerja Rumah Tangga Anak di Kota Bandung, Jawa Barat)”. Hal ini dapat terlihat dari latar belakang kehidupan sosial PRTA dan keluarganya serta majikan di Kota Bandung sebagai informan dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana proses keterlibatan anak sampai menjadi Pekerja Rumah Tangga? 2. Siapa aktor yang lebih berperan dalam proses keterlibatan anak menjadi Pekerja Rumah Tangga?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan a. Menganalisis proses keterlibatan yang dilalui anak sampai menjadi pekerja rumah tangga. b. Mengungkap dan menjelaskan aktor yang lebih berperan dalam
proses keterlibatan
hingga menyebabkan anak terlibat bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRTA). 2. Manfaat a. Teoritis 1). Memberikan sumbangan pemikiran pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dalam ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya.
21
2). Untuk menambah bahan referensi dan bahan masukan untuk penelitian selanjutnya. b. Praktis 1). Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan bidang pencegahan dan penghapusan pekerja anak secara khusus Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA). 2). Sebagai sumbangsih pemikiran Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan untuk menemukan solusi yang tepat menangani masalah pekerja anak khususnya di sektor berbahaya seperti PRTA. D. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian untuk dapat melihat perbedaan penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya dapat menjadi gambaran untuk menentukan perbedaan penelitian ini. Melihat perbedaan tersebut bahwa penelitian ini menemukan keasliannya. Keaslian penelitian ini juga menentukan posisi peneliti untuk menentukan fokus penelitian yang dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang pekerja anak dijelaskan di bawah ini, yaitu : Penulis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Aji Cahyono Sumbodo
Persepsi Kepala Rumah Tangga Terhadap Keterlibatan Anak dalam Ekonomi Keluarga (Sebuah Studi di Desa Munggangsari, Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang), 2011.
Permasalahan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong masyarakat melibatkan anak bekerja dalam aktivitas ekonomi. Kesulitan ekonomi menyebabkan keluarga mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alternatif tersebut adalah melibatkan seluruh anggota keluarga yaitu ibu dan anak-anak ikut terlibat bekerja. Keterlibatan anggota keluarga ini dapat menambah pendapatan rumah tangga untuk memenuhi seluruh
22
I Made Alit Parwata
Pekerja Anak dalam Industri Kecil di Desa Abuan Bangli (Studi
tentang
Pemanfaatan
Anak-Anak dalam Industri Kecil di Desa Abuan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli), 2005.
Siti Nurhayati Azis
Pekerja Anak di Perkotaan (Studi Kasus di Kelurahan Bara-Baraya Selatan Kecamatan Makassar Kota Madya Ujung Pandang), 1997. 23
kebutuhan mereka. Penelitian ini juga menyatakan kapasitas kepala rumah tangga dan kondisi rumah tangga memiliki pengaruh signifikan terhadap persepsi partisipasi pekerja anak. Anak-anak di Desa Abuan Bangli banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi di Industri kecil karena anak-anak di desa tersebut memanfaatkan waktu luang setelah pulang sekolah untuk bekerja demi mendapatkan uang saku mereka. Dimana juga sistem pengupahan dan jam kerja tergantung masing-masing pekerja, sistem yang diberlakukan dengan borongan. Pekerjaan sistem borongan tersebut maka anak tidak terikat oleh waktu untuk bekerja tetapi berdasarkan target pengerjaan seberapa banyak yang mampu anak lakukan pekerjaan tersebut. Anak-anak lebih banyak memanfaatkan system borongan karena dapat dilakukan setelah pulang sekolah dan penghasilan yang didapatkan untuk menambah uang saku. Keterlibatan anak dalam bekerja di industri kecil tersebut banyak yang mengabaikan pendidikan dan hak tumbuh kembangnya secara wajar. Meningkatnya pekerja anak di perkotaan mengalami dilematis dan kontradiktif antara program pemerintah wajib belajar 9 tahun dengan keterdesakan
kebutuhan hidup mereka. Anak-anak di perkotaan terpaksa bekerja karena tekanan ekonomi keluarga dan pengaruh tekanan hidup di kota. Peningkatan pekerja anak tersebut disebabkan oleh kemiskinan sehingga anak harus dapat mengatur waktu anatara bekerja dengan belajar di sekolah. Keterdesakan ekonomi di perkotaan menyebabkan anak ikut terlibat bekerja demi mencukupi kebutuhannya dan keluarga. Kondisi kemiskinan menyebabkan anak bekerja sebagai bentuk strategi keluarga dalam mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada, sehingga seluruh kebutuhan keluarga dapat terpenuhi.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan perbedaan dengan penelitian ini. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan proses keterlibatan anak hingga bekerja menjadi PRT dan mengungkap siapa aktor-aktor yang berperan dan siapa aktor lebih berperan di dalamnya. Proses keterlibatan dimaksud adalah proses penyampaian informasi lowongan dan adanya kebiasaan mengajak anak untuk terlibat dalam pekerjaan sebagai PRT serta merekomendasikannya kepada majikan, dimana telah terbentuk di masyarakat serta aktor yang terlibat dalam pola ini menyebabkan anak terlibat bekerja menjadi PRT. Penyampaian informasi tersebut termasuk di dalamnya adalah melalui proses memberikan informasi, mengajak dan merekomendasikan anak untuk masuk terlibat pekerja PRT. Informasi disampaikan dari aktor kepada anak pencari kerja dan ini dilakukan secara berkesinambungan, turun-temurun atau mewariskan yang telah tersistem yang dibentuk oleh 24
masyarakat itu sendiri. Proses keterlibatan ini terbentuk secara berkesinambungan dalam penyampaian informasi lowongan pekerjaan dan mengajak anak menjadi PRT melalui pihak perantara sebagai aktor, sekaligus sebagai perekomendasi anak untuk dapat diterima oleh majikan untuk bekerja. Proses keterlibatan yang dilalui anak sampai anak terlibat bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRTA) dan menggambarkan siapa aktor yang lebih berperan di masyarakat hingga anak menjadi pekerja rumah tangga di Kota Bandung. Melihat fakta tersebut agar penelitian ini dapat menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi pekerja anak secara khusus PRTA di Kota Bandung.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pekerja Anak Menurut Bagong Suyanto (2003 : 6 – 7), pengertian pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tua, orang lain dan diri sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Anak-anak dari keluarga miskin terlibat bekerja untuk menambah penghasilan, membantu meringankan beban ekonomi keluarga demi kecukupan kebutuhan hidup mereka. Keterlibatan anak masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak mengalami kecenderungan untuk putus sekolah atau tidak naik kelas, dan mengalami ketertinggalan dalam pendidikan. Menurut BPS dan ILO (2009) menyatakan bahwa pekerja anak adalah semua anak yang berusia 5-17 tahun, selama jangka waktu tertentu terlibat dalam satu atau lebih kegiatan dengan kategori berikut : bentuk-bentuk terburuk pekerja anak dan pekerjaan yang dilakukan anak dibawah minimum untuk bekerja atau dibawah 18 tahun. Demikian juga menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) menyatakan bahwa usia minimum diperbolehkan bekerja untuk
25
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak harus diupayakan tidak boleh usia kurang dari 18 tahun. Selain masalah usia pekerja anak bahwa ada kriteria pekerja anak, menurut Eric V Edmonds dan ILO (2008 : 10) berdasarkan Statistical Information and Monitoring Program on Child Labour (SIMPOC) menyatakan tentang kriteria pekerja anak secara global adalah : A Child under 12 who is economically active for 1 or more hours per week. A Child 14 and under who is economically active for at least 14 hours per week. A Child 17 and under who is economically for at least 43 hours per week. A Child 17 and under who participates in activities that are “hazardous by nature or or more hours per week. A Child 17 and under who participates in an unconditional worst form of child labour.
circumstance for 1
( Anak dibawah usia 12 tahun aktif secara ekonomi 1 jam atau lebih per minggu. Anak usia
dibawah dan 14 tahun aktif secara ekonomi kurang lebih 14 jam per minggu. Anak usia 17 tahun aktif secara ekonomi kurang lebih 43 jam per minggu. Anak usia dibawah dan 17 tahun berpartisipasi pada kegiatan “lingkaran atau di alam sangat berbahaya” untuk 1 jam atau lebih per minggu. Anak usia dibawah dan 17 tahun berpartisipasi dalam kondisi tidak seharusnya bagi pekerja anak). Kriteria pekerja anak tersebut telah disepakati bersama secara global meskipun pada kenyataannya masih banyak pelanggaran yang dilakukan. Pekerja anak masih banyak mendapat tekanan dari majikan, waktu libur tidak ada, gaji yang tidak dibayarkan dan waktu bekerja sangat panjang, demikian juga halnya dialami oleh pekerja anak sebagai pekerja rumah tangga (PRTA). Pekerjaan PRT menjadi pilihan bagi anak sekalipun mengorbankan hak pendidikan dan masa depannya. Kategori pekerja rumah tangga anak menurut ILO dari usia dikatakan anak dibawah 18 tahun yang melakukan pekerjaan rumah tangga bagi orang lain (selain keluarganya) dengan tujuan mendapatkan upah maupun natura yang didapatkan secara langsung ataupun tidak. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh PRTA yaitu memasak, membersihkan perabot rumah tangga, tukang kebun, pencuci pakaian (laundry), pelayan, penjaga pintu gerbang, pelayan pribadi, penjaga anak majikan (baby sitter), supir pribadi, wanita pengasuh sekaligus 26
guru anak-anak majikan, dan perawat pribadi bagi lansia (orang tua lanjut usia). Kondisi pekerjaan PRTA masing-masing tergantung pada majikan, peraturan, segala kebutuhan dan upah ditentukan oleh majikan. Kehidupan PRTA ditentukan oleh majikan, baik itu bekerja secara penuh waktu (full time) maupun paruh waktu (part time), dan ada yang tinggal dan tidak dengan majikan. Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga pada anak masih kurang mendapat perhatian serius bagi semua pihak. PRT masih dianggap merupakan masalah pribadi (individual) dan tersembunyi, yang orang lain tidak dapat mengurusinya. Padahal, jika hal ini dibiarkan maka berdampak buruk bagi anak-anak di Indonesia yang bekerja sebagai PRT. Permasalahannya adalah jam kerja sangat panjang karena lebih dari 8 jam sehari bekerja di rumah majikan, upah rendah dan kondisi pekerjaan rentan terhadap kekerasan fisik dan psikis, serta rentan terserang penyakit. PRTA lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan tidak ada waktu untuk bermain, sekolah dan belajar. Waktu pribadi pada anak juga sangat sedikit, hampir tidak ada bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Waktu anak dalam hidupnya dipergunakan untuk bekerja bersama keluarga orang lain, tanpa mereka ketahui sebelumnya. Pekerjaan PRT dilakukan secara rutin dan berulang-ulang sehingga menimbulkan kebosanan dan kejenuhan dalam mengerjakannya. Bekerja sebagai PRT yang dibutuhkan adalah tenaga dan sedikit kreativitas karena pekerjaan yang dilakukan sudah secara rutin dilakukan setiap hari, sehingga mengabaikan daya berpikir dan kreativitas yang dapat dikembangkan. Menurut ILO (2004 : 8) bahwa pekerja anak sebagai PRTA termasuk kategori pekerjaan berbahaya (hazardous work) dan terburuk karena kondisi kerja yang tersembunyi dan eksploitatif, seperti dijabarkan di bawah ini : “…Child Domestic Labour is the child who are doing service in someone else’s household; under 18 years old doing hazardous work and or exploitative conditions (long hours, subject to physical, verbal and sexual abuse, no pay, no holiday, no education, Etc);which is involve in the category of unconditional worst forms of child labour (sold or trafficked into domestic 27
work, domestic servitude, bonded labour, slavery) and priority child who under the minimum age…” Hal ini menunjukkan bahwa kondisi PRTA usia dibawah 18 tahun merupakan pengeksploitasian anak, dapat dilihat dari jam kerja sangat panjang, standar upah minimum tidak jelas, batasan pekerjaan yang harus dilakukan tidak jelas, ada gaji yang tidak dibayar, tidak ada hari libur, tidak ada fasilitas pendidikan ke sekolah, tinggal bersama keluarga majikan, jauh terpisah dari orang tua, rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, terhambat tumbuh kembang mental anak, tidak ada waktu bermain dan kehilangan hak-haknya. Sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak bahwa pengakuan ini ditandai oleh hukum internasional yang mengatur Hak Asasi Manusia karena hak anak adalah hak asasi manusia. Hak anak merupakan hak asasi manusia bersifat universal yang dimiliki oleh setiap anak. Hak bagi anak yang sangat penting adalah hak perlindungan. Anak-anak membutuhkan perlindungan karena mereka pada dasarnya adalah komunitas tidak berdaya ketika ada relasi dengan orang dewasa. Anak mengalami ketidakberdayaan karena orang dewasa menganggap anak-anak belum memiliki pemikiran yang lebih matang, belum memiliki pengalaman, tidak mampu mengambil keputusan, bersifat labil, fisik yang masih lemah, dan harus memiliki sikap lebih hormat terhadap yang lebih tua usianya. Kondisi ini menunjukkan bahwa orang dewasa masih bersikap lebih mendominasi terhadap anak-anak, sehingga anak-anak lebih rentan terhadap perlakuan kekerasan, eksploitatif dan diskriminasi. Anak-anak sangat rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan eksploitatif, perlakuan sosial di masyarakat masih menganggap rendah dan tidak berdaya. Indikator PRTA termasuk eksploitatif karena anak kehilangan haknya untuk waktu belajar, jam kerja sangat panjang, tidak ada waktu libur untuk keluarganya, tinggal terpisah dengan keluarga, kesempatan untuk pendidikan tidak ada, rentan terhadap kekerasan seksual, fisik, psikis pada majikan bahkan rentan kekerasan pada pihak perantara. Selain itu juga dalam 28
proses keterlibatan PRTA rawan terhadap unsur human trafficking, baik itu melalui pihak perantara seperti keluarga (orang tua, saudara), dan teman (ILO, 2004 : 14 -15). PRTA sebagai korban dari tindakan aktor yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadinya. Anak bekerja sebagai PRT merupakan masalah sangat serius dan belum mendapat perhatian secara optimal, tetapi masyarakat masih menganggap bukan masalah serius dan tidak harus melibatkan pihak luar. Pihak luar yang dimaksud adalah masyarakat luas dan pemerintah. Pandangan ini berbeda dengan yang seharusnya, bahwa seharusnya pemerintah ikut terlibat dalam mengatasi permasalahan PRT di Indonesia dan bekerjasama dengan masyarakat luas, sekaligus memastikan bahwa regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah dapat dilakukan seluruh masyarakat. Masyarakat yang melanggar peraturan regulasi menyangkut pekerja anak
untuk
ditindak tegas dan memiliki kesadaran dampak buruk bagi anak-anak bekerja dibawah umur 18 tahun. Dampak paling jelas adalah waktu untuk pendidikan terabaikan, rentan terhadap kekerasan, waktu bermain dan tumbuh kembang tidak ada bahkan yang terjadi adalah kondisi anak terancam putus sekolah dan tidak sekolah. Kesadaran dibangun oleh karena pemahaman yang benar dalam membentuk keluarga
harmonis dan menciptakan kemandirian dalam
ekonomi keluarga. Kondisi terburuk masalah pekerja anak ketika masuk pada pasar tenaga kerja domestik (PRT) tidak diatasi maka menciptakan generasi yang kurang berkualitas. Masalah PRT bukan hanya di dalam negeri saja bahkan di luar negeri, karena Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja keluar negeri sebagai PRT. Masalah yang selalu dihadapi oleh PRT adalah kekerasan fisik dan psikis, gaji yang tidak dibayar oleh majikan, THR tidak diberikan oleh majikan, tidak mendapat fasilitas hidup yang memadai, tidak adanya waktu libur, jam kerja sangat panjang dan tidak adanya kehidupan sosial di luar rumah.
29
Indonesia terkenal sebagai negara pengirim tenaga kerja yang direkrut menjadi PRT dan dikirim ke negara Timur Tengah, Singapura, Malaysia, Taiwan, Korea dan Hongkong. Permasalahan PRT di dalam negeri dan di luar negeri masih merupakan masalah yang kompleks, seperti kekerasan fisik, psikis, tidak dibayar gaji oleh majikan, upah yang terlalu rendah, diperlakukan tidak layak sebagai manusia, tidak ada hari libur, waktu untuk keluarga sangat kecil dan waktu bekerja yang sangat panjang. Kompleksnya masalah PRTA saat ini karena tidak adanya rambu-rambu dan aturan-aturan yang jelas, termasuk dalam proses keterlibatannya. Proses keterlibatan anak menjadi PRT melibatkan aktor yang mencari keuntungan dan terlihat saling menguntungkan. Sementara itu pihak yang paling dirugikan adalah anak yang bekerja sebagai PRT itu sendiri karena PRTA menanggung resiko dan beban atas resiko serta dampak buruk akibat harus bekerja menjadi PRTA. Masing-masing aktor tersebut memiliki peran dan cara dalam mempengaruhi masuknya anak menjadi PRT, baik melalui menginformasikan pekerjaan, merekomendasikan dan mengajak anak untuk bekerja. 2. Proses Keterlibatan dan Human Trafficking Proses keterlibatan anak menjadi PRT menjadi hal yang penting untuk segera dilakukan pencegahan dan diatasi karena yang ada terlihat bahwa justru orang-orang yang terdekat oleh anak yang menjadi aktor didalamnya. Peran pemberi informasi sekaligus sebagai perekomendasi untuk PRTA dapat diterima bekerja pada majikan yang sama atau berbeda. Perekomendasian ini sebagai jaminan bagi majikan agar menimbulkan saling percaya antara calon PRT dengan majikan. Proses keterlibatan ini terjadi karena adanya sistem informasi, ajakan dan merekomendasikan dari orang-orang yang mengenal anak. Orang yang mengajak yang disebut sebagai aktor yang berperan yaitu PRTA, saudara dan teman anak (baik yang bekerja PRT maupun tidak). Sistem informasi yaitu penyampaian informasi dari “mulut ke mulut”
30
semacam penyampaian informasi dari individu yang satu ke individu yang lain dan dapat dikatakan adanya jejaring sosial di masyarakat, tanpa ada yang mengarahkan dan tanpa aturan yang mengikatnya. Aktor yang berperan sebagai pihak perantara dan sekaligus perekomendasi agar anak dapat diterima bekerja sebagai PRT. Proses keterlibatan menjadi hal penting menyesuaikan dengan sistem, sikap, budaya dan cara kerja yang telah ditentukan. Tahap awal proses keterlibatan sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan dari majikan, menyampaikan informasi lowongan kerja, mempertimbangkan calon PRT yang melamar dan memutuskan untuk diterima bekerja. Namun, peran pihak perantara sebagai penyampai informasi, pengajak sekaligus perekomendasi bagi anak untuk diterima bekerja sebagai PRT. Proses keterlibatan adalah aktivitas yang dilakukan melalui menyampaikan informasi, mencari dan mempertemukan calon PRTA dan calon majikan, baik itu melalui keluarga, saudara dan teman. Proses tersebut dilakukan melalui pihak perantara yaitu keluarga, saudara dan teman. Pihak perantara sebagai penyampaian informasi lowongan pekerjaan, aktif untuk mengajak dan sekaligus sebagai perekomendasi kepada majikan agar calon PRTA lebih mudah dapat diterima bekerja. Kecenderungan yang terjadi bahwa pihak perantara berperan aktif sebagai aktor yang mengajak anak untuk masuk pada proses keterlibatan menjadi pekerja PRT. Proses keterlibatan ini menyebabkan anak ikut masuk pada pasar tenaga kerja sebagai PRT. Pilihan anak tidak ada yang lain kecuali hanya menjadi PRTA. Meskipun pilihan pekerjaan anak hanya sebagai PRT tetapi mereka juga merasa kejenuhan dan kebosanan karena pekerjaan ini yang dilakukan dengan cara berulang-ulang dan rutinitas setiap hari. Pekerjaan kerumah tanggaan dilakukan secara rutin setiap hari, berulang-ulang dan jangka waktu sangat panjang, lebih dari 16 jam dalam sehari, demikian juga yang dilakukan PRTA sehingga menimbulkan kebosanan dan kejenuhan dalam bekerja sebagai PRT.
31
Proses anak masuk pada pasar kerja sebagai PRTA berawal dari membantu pekerjaan rumah atau usaha keluarga hingga akhirnya terjebak pada kondisi putus sekolah dan bekerja. Kondisi banyaknya anak-anak dipekerjakan dengan modus untuk dicarikan pekerjaan di kota dengan dijanjikan gaji dan fasilitas hidup. Anak-anak berasal dari pedesaan merasa senang ketika ada orang memberikan janji-janji fasilitas hidup dan iming-iming gaji tinggi sehingga mereka terjebak pada kondisi tereksploitasi bahkan tidak jarang terjadi perdagangan manusia (human trafficking). Pekerja anak terpaksa terlibat dalam pasar tenaga kerja didorong oleh faktor ekonomi karena kondisi ekonomi yang terbatas, budaya masyarakat berpandangan bahwa anak sebagai aset keluarga sehingga harus bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Persepsi di masyarakat bahwa anak tidak perlu sekolah ke jenjang lebih tinggi karena biaya mahal dan tidak menjamin masa depan lebih baik, khususnya anak perempuan. Masih adanya anggapan bahwa anak perempuan sebagai aset keluarga untuk melepaskan jeratan hutang, mengurusi keluarga, merawat orang tua yang sudah tua, lebih mudah mendapatkan pekerjaan, lebih bertanggung jawab kondisi ekonomi keluarga, dan lebih dapat diandalkan dalam bekerja menghasilkan pendapatan. Hal ini menimbulkan permintaan dan penawaran terhadap anak untuk bekerja menjadi PRT. Permintaan oleh majikan terhadap pekerja anak menjadi PRT semakin meningkat dipengaruhi oleh kebutuhan majikan yang bekerja di luar rumah seharian sehingga membutuhkan tenaga PRT yang dapat mengurus pekerjaan rumah tangga. Penawaran juga meningkat karena banyaknya anak berminat bekerja menjadi PRT karena dianggap mudah didapatkan dan tidak membutuhkan persyaratan pendidikan tinggi. Selain itu juga karena kondisi anak yang putus sekolah sehingga pilihannya adalah bekerja. Pekerjaan yang paling cepat ditemukan adalah menjadi PRT. Permintaan dan penawaran pekerja anak semakin meningkat di era industrialisasi sekalipun diberi upah sangat murah. Disamping itu juga
32
lemahnya pengawasan dan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja anak di Indonesia (Winarni, 2013 :170-171). Meningkatnya jumlah PRTA dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Permintaan PRTA di perkotaan karena meningkatnya kelas ekonomi menengah di perkotaan, keluarga muda yang sibuk bekerja di luar rumah, keterdesakan hidup dan gaya hidup. Penawaran yang tinggi karena jumlah penduduk semakin meningkat, banyaknya anak putus sekolah, angkatan kerja muda dengan usia produktif juga meningkat sehingga hal ini menambah suatu keterdesakan agar bekerja di sektor informal di perkotaan. Kebutuhan akan pekerjaan semakin mendesak sehingga anak tidak memiliki pilihan lain selain bekerja menjadi PRT di kota ketika tidak sekolah dan putus sekolah. Kondisi putus sekolah maka anak masuk pada pasar tenaga kerja muda, mereka diperhadapkan pada pilihan pekerjaan sektor informal bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi perdagangan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Suyanto (2002) tentang perdagangan anak perempuan untuk dipekerjakan jasa seksual di Kota Semarang mengatakan bahwa proses perekrutan korban dilakukan dengan cara penipuan, paksaan, atau kekerasan dengan pura-pura menolong korban untuk mencarikan pekerjaan atau pura-pura menolong anak-anak terlantar dengan iming-iming materi dan proses kaderisasi. Anak dipekerjakan jasa seksual dalam kondisi tertekan, selalu berada dalam pengawasan germo atau bodyguard dibuat selalu bergantung terhadap majikan atau aktor yang terlibat. Menurut penelitian dilakukan Hastadewi bekerjasama UNICEF (2002/2003) di Tulungagung dan Probolinggo Jawa Timur mengatakan bahwa faktor pendorong keterlibatan anak bekerja yaitu hubungan keluarga yang tidak harmonis sehingga posisi anak tidak berdaya terpaksa bekerja. Anak kurang mendapat dukungan dari keluarga untuk mengutamakan sekolah dari pada bekerja, dipengaruhi oleh lingkungan anak banyak pekerja anak maka ada sebuah modeling (contoh dapat ditiru). Anak juga mendapat pengaruh dari
33
teman-teman sebaya sesama pekerja anak, mudahnya mendapatkan informasi pekerjaan serta pengaruh perubahan gaya hidup konsumtif. Menurut Tjandraningsih (dalam Hasyim Nawawie, 2010 : 8) bahwa ada tiga bentuk proses keterlibatan anak dalam pasar tenaga kerja yaitu : pertama, anak bekerja karena membantu orang tua. Faktor yang mendasari melakukan hal ini bahwa anak dipengaruhi lebih kepada faktor budaya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua, baik pada pekerjaan domestik maupun pekerjaan lainnya. Pemanfaatan anak bekerja menjadi pekerja anak ini terjadi eksploitasi ekonomi diawali pada lingkungan keluarga. Kedua, anak bekerja status magang sambil bekerja dengan jangka waktu tertentu, dalam hal ini anak diberi upah sangat rendah tetapi waktu bekerja sangat panjang sehingga terjadi pengeksploitasian pada pekerja anak. Pengeksploitasian terhadap pekerja anak merupakan pelanggaran hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya (meminjam istilah Ben White). Ketiga, anak bekerja sebagai buruh. Buruh anak terikat hubungan kerja dengan majikan, bahkan cenderung kehidupan buruh anak tergantung dan ditentukan oleh majikan, demikian juga yang dialami oleh buruh anak di sektor domestik, pembantu rumah tangga. Anak bekerja serta tinggal bersama dengan majikan sehingga sulit membedakan antara waktu bekerja dengan waktu privasi anak dalam kehidupan pribadinya. Kontribusi anak sebagai tenaga kerja keluarga biasanya memang “dihitung” secara rasional dalam batas tertentu oleh orang tua sebagai kompensasi dari biaya hidup dan pendidikan anak yang tidak diberikan secara langsung kepada anak. Imbalan yang diberikan kepada anak tidak selalu disebutkan istilah “upah” (White, 2010). Penelitian Indrasari Tjandraningsih dan Popon Anarita (2002) mengatakan bahwa anak-anak yang bekerja sebagai tenaga kerja keluarga termasuk ke dalam salah satu kategori pekerja anak sangat diperlukan dalam konteks penerapan KHA (Konvensi Hak Anak), terutama dalam upaya
34
pencegahan dan perlindungan mereka dari tindakan eksploitasi oleh orang tua maupun pihak lain, baik secara fisik maupun ekonomi. Penelitian Nawawie dan Nurcholish (2010) yang dilakukan di Tulungagung, Jawa Timur bahwa pada tahun 1990-an jumlah pekerja anak disinyalir terus bertambah bersamaan dengan semakin berkembangnya proses industrialisasi yang melahirkan proses kemiskinan di sebagian besar masyarakat desa dan kota. Proses industrialisasi berdampak pada perubahan sosial dan gaya hidup termasuk dialami oleh anak-anak. Semakin banyak tuntutan kebutuhan dan keinginan yang harus terpenuhi. Pengaruh gaya hidup masyarakat saat ini lebih cenderung kurang rasional dalam mengambil keputusan, lebih dominan atas dasar keinginan tanpa pertimbangan. Pengaruh gaya hidup dan keterdesakan hidup di perkotaan sehingga tidak ada pilihan lain kecuali harus bekerja sebagai PRTA, kondisi ini yang dialami oleh anak-anak yang bekerja sebagai PRT di Kota Bandung. Anak bekerja menjadi PRT menimbulkan masalah bagi anak, keluarga dan di lingkungan masyarakat. Masalah terhadap anak itu sendiri karena anak yang bekerja rentan terhadap putus sekolah dan tidak sekolah sehingga berdampak buruk pada perkembangan dan masa depan anak. Masalah ini juga berdampak tidak baik yang dialami keluarga PRTA karena mengalami siklus kemiskinan bahkan sulit diputus karena yang terjadi adalah permasalahan hidup yang sama antara orang tua, keluarga dan saudara kerabat. Masalah pekerja anak disebabkan oleh adanya pengaruh cara hidup di lingkungan masyarakat, kesenjangan sosial, dan ketidak merataan pembangunan antara di desa dengan di kota. Disamping itu juga terjadi kerentanan penyakit sosial seperti pelacuran, kekerasan seksual, saling tidak percaya, tidak harmonis antar tetangga serta menurunnya kualitas hidup di masyarakat. Kehidupan masyarakat akan rentan terhadap masalah sosial seperti pengangguran terselubung, kriminalitas dan kemiskinan.
35
Masalah adanya pekerja anak juga berdampak buruk pada lingkungan sosialnya, dimana menimbulkan kecemburuan sosial, kriminalitas, penyakit sosial seperti pelacuran, pengangguran dan kesenjangan sosial. Kondisi ini kurang disadari oleh masyarakat karena masih banyaknya masyarakat beranggapan bahwa pekerja anak tidak masalah sepanjang hal itu mendapat ijin dari orang tuanya. Kesadaran masyarakat ini karena menganggap bahwa masalah pekerja anak merupakan urusan pribadi atau privasi masing-masing orang yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain. Orang yang paling bertanggungjawab untuk mengurusi pekerja anak adalah keluarga, karena orang tua dianggap paling berhak untuk menentukan hidup anaknya sehingga peran masyarakat untuk pencegahan masalah pekerja anak dianggap kurang berpartisipasi.
BAB II METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Metode penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif analisis. Pendekatan kualitatif deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan kondisi sosial yang ada untuk menghasilkan informasi secara deskriptif sebagai gambaran dari kondisi sosial dan melihat fakta di lapangan sebagai bukti keadaan sebenarnya. Sebagaimana permasalahan pada objek, menjelaskan tentang sebab-akibat, maksud dan latar belakang (Salim, 2006 : 168). Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analisis artinya untuk menggambarkan menyeluruh dalam fakta data yang kelihatan. Fakta data dari fenomena yang terjadi dapat dilihat dari aktivitas atau kegiatan yang dilakukan dari aktor berperan tersebut. Fakta yang kelihatan dapat dipahami oleh masyarakat secara umumnya bahwa masalah PRTA disebabkan oleh faktor kemiskinan, dengan pendekatan kualitatif deskriptif analisis mengungkap fakta dari masalah yang tidak kelihatan tersebut, yaitu adanya proses
36