BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Rasio PBV (Price to Book Value) a. Pengertian Rasio PBV Rasio harga saham terhadap nilai buku atau price to book value ratio merupakan perbandingan antara harga suatu saham terhadap nilai buku bersih per lembar saham tersebut. Rasio ini membandingkan interpretasi dari sistem pelaporan akuntansi terhadap nilai kekayaan perusahaan (aset bersih di neraca) dengan persepsi investor terhadap nilai pasar dari kekayaan perusahaan tersebut (kapitalisasi pasar). Rasio PBV sebesar 1,0 menunjukkan bahwa nilai pasar perusahaan sama dengan nilai neracanya/ nilai buku (Warren, Reeve, 2004 : 569). Nilai buku per saham dihitung dengan total aset perusahaan dikurangi dengan total kewajibannya dan selisihnya kemudian dibagi dengan jumlah lembar saham beredar. Rasio ini dihitung dengan rumus:
Pr ice to book value ratio =
Market price per share of stock Book value per share of stsock
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rasio PBV Menurut Gordon Shapiro (1956) dalam Agrawal, Monem, dan Ariff (1996), perhitungan rasio PBV ini dapat dilakukan dengan menurunkannya dari metode valuasi diskonto dividen (Discounted Dividend Model/ DDM)
Universitas Sumatera Utara
dengan faktor pertumbuhannya, yang dikenal dengan Gordon Growth Model.
Po = d1 (k-g)-1 Dimana: Po = Harga per saham pada awal periode d1 = Dividen per saham pada akhir periode; k = Tingkat diskonto yang disesuaikan dengan risiko (appropriate risk-adjusted discount rate), yang merupakan penjumlahan dari required rate of return ditambah dengan tingkat risiko (risk premium) g = Tingkat pertumbuhan konstan dari dividen selama periode saham. Rasio PBV dapat diturunkan dari model Gordon di atas dengan membagi persamaan tersebut dengan nilai buku. Sehingga didapat model dasar berikut:
Po −1 = PBV = (d / Bo )(k − g ) Bo Dimana Bo merupakan nilai buku per saham awal. Perhatikan bahwa dividen (d) merupakan laba bersih (net income/ NI) dikurangi dengan laba ditahan (retained earning/ RE) tahun depan.[d =NI – RE] Dengan membagi persamaan dividen tersebut dengan nilai buku akan menghasilkan persamaan:
d = (NI / B ) − (RE / B ) B
Universitas Sumatera Utara
Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa laba bersih/ NI dibagi dengan nilai buku/ B, merupakan rumus untuk menghitung ROE (return on equity); serta laba ditahan tahun depan/ RE dibagi dengan nilai buku/ B, sama dengan pertumbuhan nilai buku (g). Karenanya dalam keadaan yang konstan (ROE dan Payout Ratio tetap), tingkat petumbuhan nilai buku ekuitas akan sama dengan tingkat pertumbuhan dividen, sehingga persamaannya dapat ditulis menjadi:
P −1 = (ROE − g )(k − g ) B Karenanya dalam kondisi ekuilibrium, rasio PBV merupakan fungsi dari Return on Equity (ROE), growth (g), dan risk (k). Jadi dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rasio PBV adalah faktor profitabilitas, pertumbuhan dan risiko. Hubungan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Semakin tinggi Return on Equity (ROE), maka akan semakin tinggi rasio
PBV.
ROE
merupakan rasio
yang
membandingkan
keuntungan perusahaan dengan modal yang dikeluarkannya; singkatnya, rasio ini menghitung tingkat imbal hasil yang didapat oleh perusahaan. ROE memiliki hubungan yang positif dengan rasio PBV, karena ROE menentukan besarnya tingkat imbal hasil yang akan diterima investor atas modalnya. Jika perusahaan dapat terus menghasilkan keuntungan dengan tingkat imbal hasil yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi, maka ini akan menarik para investor untuk memberikan nilai yang jauh lebih tinggi pada saham perusahaan dibandingkan dengan nilai bukunya,. Hal ini dikenal dengan istilah premium, dimana para investor bersedia membayar lebih untuk suatu aset yang dapat memberikan keuntungan di atas rata-rata. 2. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan yang diharapkan (expected growth rate/ g), maka semakin tinggi rasio PBV. Pertumbuhan yang baik dari laba maupun dividen perusahaan merupakan cerminan dari perusahaan yang dimanajemeni dengan baik. Saham dengan ekspektasi tingkat pertumbuhan yang tinggi akan menarik para investor untuk memberikan penilaian yang lebih tinggi terhadap saham tersebut. Hal ini karena para investor telah memfaktorkan potensi pertumbuhan perusahaan di masa depan sehingga mereka bersedia memberikan harga yang lebih tinggi untuk saham perusahaan tersebut. Peningkatan harga saham (P) pada gilirannya akan meningkatkan rasio PBV. 3. Semakin tinggi appropriate risk-adjusted discounted rate (k), maka semakin rendah rasio PBV. Appropriate risk-adjusted discounted rate dapat diartikan sebagai tingkat imbal hasil minimal yang harus diterima oleh investor atas investasinya setelah memperhitungkan risiko investasi tersebut. Tingkat imbal hasil yang lebih rendah dari appropriate risk-adjusted discounted rate ini akan membuat suatu investasi menjadi tidak menarik bagi
Universitas Sumatera Utara
investor, yang
pada gilirannya
menurunkan
harga saham
perusahaan bersangkutan. Dengan ini, maka terdapat beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi rasio PBV, yaitu likuiditas, laba, kebijakan hutang dan operating leverage. 2. Likuiditas a. Pengertian Likuiditas Likuiditas merupakan tingkat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Menurut Riyanto (2002 : 25), “masalah likuiditas berhubungan dengan masalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang segera harus dipenuhi.” Perusahaan yang memiliki kemampuan yang baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya disebut perusahaan yang likuid; dan sebaliknya perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya disebut ilikuid. Perusahaan yang tidak likuid akan meningkatkan risiko operasinya, yang pada gilirannya dapat mengancam keberlangsungan usaha perusahaan tersebut. Risiko likuiditas ini akan tercermin dalam premi risiko yang tinggi yang ditetapkan oleh para investor dalam menghitung appropriate risk-adjusted discounted rate. Hal tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi harga yang diberikan oleh investor terhadap saham perusahaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b. Rasio Likuiditas Likuiditas suatu perusahaan dapat diukur dengan beberapa rasio keuangan. Kasmir (2008 : 134) menyatakan terdapat lima rasio keuangan yang biasanya digunakan untuk menilai tingkat likuiditas suatu perusahaan: 1. 2. 3. 4. 5.
Rasio lancar (current ratio) Rasio sangat lancar (quick ratio atau acid test ratio) Rasio kas (cash ratio) Rasio perputaran kas Inventory to net working capital.
Dari kelima rasio likuiditas di atas, maka rasio lancar (current ratio) adalah yang paling sering dan umum digunakan. Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005 : 406) menyatakan alasan digunakannya rasio lancar secara luas sebagai ukuran likuiditas mencakup kemampuannya untuk mengukur: 1. kemampuan memenuhi kewajiban lancar, semakin tinggi perkalian kewajiban lancar terhadap aktiva lancar, semakin besar keyakinan bahwa kewajiban lancar akan dibayar. 2. penyangga kerugian, semakin besar penyangga, semakin kecil risikonya. Rasio lancar menunjukkan tingkat keamanan yang tersedia untuk menutup penurunan nilai aktiva lancar non-kas pada saat aktiva tersebut dilepas atau dilikuidasi. 3. cadangan dana lancar, rasio lancar merupakan ukuran tingkat keamanan terhadap ketidakpastian dan kejutan atas arus kas perusahaan. Ketidakpastian dan kejutan, seperti adanya pemogokan dan kerugian luar biasa, dapat membahayakan arus kas secara sementara dan tidak terduga. Berdasarkan alasan di atas, rasio lancar akan digunakan sebagai pengukur likuiditas dalam penelitian ini. Penghitungan rasio lancar dilakukan dengan cara membandingkan total aktiva lancar dengan total kewajiban lancar yang terdapat di neraca. Rasio lancar yang terlalu rendah mengindikasikan perusahaan yang memiliki kemampuan rendah dalam memenuhi kewajiban jangka
Universitas Sumatera Utara
pendeknya. Namun, rasio yang tinggi tidak lantas berarti perusahaan dalam kondisi baik, karena rasio yang tinggi mengindikasikan ketidakmampuan perusahaan dalam mengelola keuangan dengan baik dengan membiarkan aktiva dalam bentuk lancar yang cenderung memberikan imbal hasil yang rendah. Rumus untuk menghitung rasio lancar (current ratio) adalah sebagai berikut: Rasio lancar =
Aktiva Lancar Kewajiban Lancar
3. Laba a. Pengertian Laba Menurut Stice, Stice dan Skousen (2005 : 270), “Laba adalah pengembalian atas investasi kepada pemilik”. Laba merupakan selisih lebih pendapatan suatu perusahaan dengan beban yang terjadi untuk memperoleh pendapatan tersebut dalam suatu periode. Karenanya unsur pengukuran laba mencakup pendapatan/ penghasilan dan beban. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007 : 1.5), dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan paragraf 70 “penghasilan (income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal”. Sedangkan definisi beban menurut Ikatan Akuntan
Universitas Sumatera Utara
Indonesia (2007 : 1.5) adalah “penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.” Laba merupakan ukuran profitabilitas dari perusahaan yang utama karena semua rasio pengukuran profitabilitas pasti memiliki unsur laba dalam perhitungannya. Data dari laba perusahaan selalu dilaporkan dalam laporan keuangan dan digunakan secara luas oleh para investor dalam mengambil keputusan investasi. Laba yang dilaporkan tersebut merupakan laba akuntansi yang secara operasional didefinisikan sebagai perbedaan pendapatan yang direalisasi dan transaksi yang terjadi selama satu periode dengan beban yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Laba merupakan komponen utama dalam penilaian profitabilitas sebuah perusahaan. Dalam persamaan rasio PBV yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa rasio PBV dipengaruhi oleh Return on Equity (ROE). ROE sendiri merupakan perbandingan antara laba yang diperoleh dibandingkan dengan investasi yang telah dikeluarkan oleh investor. Jadi, jika secara teori ROE dapat mempengaruhi rasio PBV, maka laba yang merupakan komponen (input) utama dalam menghitung ROE seharusnya juga mempengaruhi rasio PBV. b. Tingkat dan Kualitas Laba Berdasarkan tingkatannya, laba dapat dibedakan menjadi:
Universitas Sumatera Utara
1. Laba kotor, merupakan selisih antara pendapatan dari penjualan bersih dan harga pokok penjualan. 2. Laba usaha/ operasi, merupakan selisih antara laba kotor dengan beban usaha. Laba ini mengukur kinerja operasi bisnis inti yang dilakukan oleh perusahaan. 3. Laba bersih, merupakan selisih pendapatan atau penjualan serta seluruh
pemasukan
lainnya
dengan
seluruh
biaya,
setelah
memperhitungkan pajak. Kualitas laba akuntansi yang dilaporkan menjadi perhatian berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Laba akuntansi yang berkualitas merupakan laba akuntansi yang tidak memiliki gangguan persepsian (perceived noise), dan dapat merefleksikan kinerja operasi perusahaan. Hayn (1995) menjelaskan bahwa gangguan persepsian tersebut disebabkan oleh peristiwa transitori (transitory events). Peristiwa transitori merupakan peristiwa yang hanya terjadi pada waktu tertentu, tidak terus-menerus/ persisten, dan mengakibatkan fluktuasi yang besar terhadap laba/ rugi akuntansi. Laba operasi (operating earning) dapat digunakan sebagai pengukur profitabilitas dari bisnis perusahaan karena terbebas dari gangguan persepsian dan terbebas dari pendapatan/ beban maupun keuntungan/ kerugian non-operasi, serta tidak terpengaruh oleh struktur modal perusahaan. Menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005 : 417), terdapat tiga aspek penting dari laba operasi:
Universitas Sumatera Utara
Pertama, laba operasi terkait hanya dengan laba yang berasal dari aktivitas operasi. Karenanya, setiap pendapatan (dan beban) yang tidak terkait dengan operasi usaha bukan merupakan bagian laba operasi. Kedua, dan terkait dengan yang pertama, laba operasi terpusat pada laba perusahaan secara keseluruhan dan bukan hanya untuk pemegang ekuitas. Hal ini berarti bahwa pendapatan dan beban keuangan (terutama beban bunga) tidak dimasukkan saat mengukur laba operasi. Ketiga, laba operasi hanya terkait dengan aktivitas usaha yang masih berlangsung. Hal ini berarti, tiap laba atau kerugian yang terkait dengan operasi yang dihentikan dikeluarkan dari laba operasi. Oleh karena kualitas dan karakteristik dari laba operasi yang dapat mencerminkan tingkat profitabilitas operasi perusahaan, maka laba operasi akan digunakan sebagai pengukur profitabilitas dalam penelitian ini. 4. Hutang dan Kebijakan Hutang a. Pengertian dan Jenis Hutang Hutang, yang biasa juga disebut kewajiban, merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007 : 1.4), dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan paragraf 49 “kewajiban merupakan hutang perusahaan masa kini yang timbul
dari
peristiwa
masa
lalu,
penyelesaiannya
diharapkan
mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.” Sedangkan FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No. 6 yang terdapat dalam buku Stice, Stice dan Skousen menyatakan bahwa “kewajiban merupakan pengorbanan manfaat ekonomi di masa depan yang timbul dari kewajiban sekarang dari suatu entitas untuk mengalihkan aktiva atau menyediakan jasa kepada entitas lain pada masa yang akan datang sebagai hasil dari transaksi atau kejadian masa
Universitas Sumatera Utara
lalu.” Munawir (2004 : 18) menyatakan bahwa “hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor.” Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hutang merupakan kewajiban perusahaan pada pihak lain yang harus dipenuhi atau dibayar dengan uang, barang atau jasa saat jatuh tempo. Hutang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Hutang jangka pendek, merupakan hutang yang harus dilunasi dalam waktu satu tahun atau dalam satu siklus operasi normal perusahaan, mana yang lebih panjang. Hutang jangka pendek meliputi, tetapi tidak terbatas pada, hutang dagang, beban yang masih harus dibayar, pendapatan diterima di muka, bagian lancar dari hutang jangka panjang, dan sebagainya. 2. Hutang jangka panjang, merupakan hutang yang jangka waktu pelunasannya lebih dari satu tahun. Hutang jangka panjang dapat meliputi hutang obligasi, hutang sewa guna usaha jangka panjang, kewajiban pajak penghasilan tangguhan, dan kewajiban tidak lancar lainnya. b. Kebijakan Hutang Kebijakan menjalankan
hutang
merupakan
operasi perusahaan,
keputusan khususnya
manajemen mengenai
dalam
bagaimana
Universitas Sumatera Utara
perusahaan akan didanai. Kebijakan hutang menentukan sampai sejauh mana hutang digunakan dalam struktur modal perusahaan.. Kebijakan hutang yang dilakukan perusahaan, jika dilakukan dengan baik, akan dapat meningkatkan imbal hasil bagi pemegang saham, karena sifat dasar hutang sebagai daya ungkit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soliha dan Taswan (2002) yang menemukan bahwa kebijakan hutang berpengaruh secara positif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan (price to book value). Menurut Brigham dan Houston (2006 : 101), ada dua alasan mengapa hutang dapat meningkatkan pendapatan serta meningkatkan pengembalian dari modal pemilik, yaitu : 1) Beban dapat menjadi pengurang pajak, penggunaan hutang akan menurunkan tagihan pajak dan memberikan lebih banyak laba operasi perusahaan yang tersedia bagi para investornya, 2) Jika laba operasi yang dinyatakan sebagai persentase dari aktiva ternyata melebihi tingkat bunga atas pinjaman, maka suatu perusahaan dapat menggunakan hutang untuk memperoleh aktiva, membayar bunga atas hutang dan masih sisa sebagai ”bonus” bagi para pemegang sahamnya.
Namun, manajemen harus mempertimbangkan risiko (keuangan dan operasi) yang akan meningkat seiring meningkatnya tingkat hutang. Jumlah hutang yang besar akan meningkatkan risiko perusahaan, yaitu risiko gagal bayar bunga maupun pokok utangnya, yang dapat meningkatkan risiko kebangkrutan. Kebijakan hutang yang baik diukur dari perbandingan total hutang perusahaan terhadap aktiva yang dimilikinya. Pengukuran ini disebut dengan rasio hutang terhadap total aktiva (debt to asset ratio/ DAR).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kasmir (2008 : 156) “debt to assets ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva”. Solomon (2004 : 780) menyatakan ”debt to assets ratio is a leverage ratio that indicates the long-run solvency or relative amount of financial risk incurred by a business”, artinya adalah debt to assets ratio merupakan sebuah rasio daya ungkit/ leverage yang mengindikasikan solvabilitas jangka panjang atau jumlah relatif risiko keuangan/ pendanaan yang dihasilkan oleh suatu bisnis. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: Debt to Asset Ratio =
Total Kewajiban x 100% Total Aktiva
Dalam persamaan rasio PBV seperti yang telah diuraikan dalam subbab sebelumnya, bahwa rasio PBV dipengaruhi oleh tiga faktor dimana salah satunya merupakan faktor risiko (k). Risiko ini merupakan risiko yang dihadapi oleh perusahaan, baik risiko bisnis maupun risiko pendanaan atau hutang. 5. Operating Leverage Operating leverage merupakan sebuah ukuran bagaimana pertumbuhan penjualan akan mempengaruhi pertumbuhan laba operasi. Menurut Sawir (2004 : 7), “operating leverage merupakan kepekaan EBIT (Earnings Before Interest and Taxes) terhadap penjualan perusahaan.” Penman, Richardson dan Tuna (2005) dalam penelitiannya the book-to-price effect in stock returns:
Universitas Sumatera Utara
accounting for leverage membahas tentang nilai buku dari aset operasi suatu perusahaan yang dapat mempengaruhi rasio PBV. Mereka menjelaskan jika suatu investasi didasarkan pada rasio PBV, suatu tambahan return yang cukup besar dapat dihasilkan jika terdapat operating leverage. Rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat operating leverage adalah Degree of Operating Leverage (DOL). DOL mengukur perubahan yang terjadi dalam laba operasi yang disebabkan oleh perubahan persentase dalam penjualan. Karenanya, semakin besar DOL, semakin besar risiko kerugian ketika penjualan menurun, dan semakin besar keuntungan ketika penjualan mengalami kenaikan. DOL dapat dihitung dengan rumus berikut:
Degree of Operating Leverage =
% Perubahan Laba Operasi / EBIT % Perubahan Penjualan
Secara teori, operating leverage dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap profitabilitas perusahaan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap rasio PBV. Hal ini disebabkan karena operating leverage yang tinggi akan membuat perubahan penjualan yang kecil mempengaruhi laba operasi dalam jumlah yang jauh lebih besar.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian ini merupakan replika dari penelitian-penelitian terdahulu (Tabel 2.1.), dimana peneliti menggunakan variabel profitabilitas dan kebijakan hutang
Universitas Sumatera Utara
untuk menguji pengaruhnya terhadap rasio PBV. Peneliti juga menambahkan dua variabel lain, yaitu likuiditas dan operating leverage. Penelitian-penelitian terdahulu tentang variabel-variabel yang mempengaruhi rasio Price to Book Value menunjukkan hasil yang berbeda untuk variabelvariabel yang mengukur profitabilitas maupun leverage. Penelitian yang dilakukan Marpaung (2004) menunjukkan bahwa Return on Asset (ROA) berpengaruh signifikan terhadap rasio Price to Book Value (PBV), sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Putra (20085) menunjukkan bahwa ROA tidak memiliki pengaruh signifikan. Berikut merupakan ringkasan mengenai penelitianpenelitian terdahulu:
Tabel 2.1. Ringkasan Tinjauan Penelitian Terdahulu No Peneliti 1 Surendra P Agrawal., Reza M. Monem dan Mohamed Ariff (1996) 2 Euis Soliha dan Taswan (2004)
Judul Variabel Price to Book Ratio as a Dependen: Valuation Model: An d/B, k-g, Empirical Investigation DAR, Inflation, Independen: PBV Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan Serta Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya
Dependen: Debt, Insider Ownership, Firm Size, Profitabilitas Independen: PBV
Kesimpulan & Hasil Secara parsial hanya d/B yang berpengaruh signifikan terhadap PBV Secara simultan, d/B, kg, DAR, Inflation berpengaruh signifikan. Insider Ownership, Firm Size dan Profitabilitas memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap PBV; sedangkan Debt Policy tidak memiliki pengaruh signifikan.
Universitas Sumatera Utara
3
4
5
Hendrik Analisis Pengaruh Return Marpaung on Assets, Dividen Payout Ratio, Debt Equity Ratio, (2004) dan Economic Value Added terhadap Price to Book Value pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta
Dependen: ROA, DPR, DER, EVA Independen: PBV
ROA, DER dan EVA memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap PBV; sedangkan DPR tidak memiliki pengaruh signifikan.
Tito Perdana Putra (2008)
Pengaruh Kinerja Keuangan dan Beta Saham Terhadap Price to Book Value (Studi pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Listed di BEI Periode Tahun 20042006)
Dependen: ROA, DER, EPS, DPR
Arinda Yulia Prasanti (2010)
Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Struktur Modal, dan DPR Terhadap Nilai Perusahaan (PBV)
Dependen: Struktur kepemilikan dan LDER, LDER secara parsial DAR, DPR, berpengaruh signifikan. Sedangkan DAR dan Independen: DPR tidak. PBV
Independen: PBV
EPS dan DER secara parsial berpengaruh signifikan terhadap PBV sedangkan ROA, Beta Saham, dan DPR tidak berpengaruh.
Sumber: Peneliti, 2010
Universitas Sumatera Utara
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut: H5
Likuiditas Current Ratio (X1)
H1
Laba Operating Earning (X2)
H2
Rasio Price to Book Value (PBV)
Kebijakan Hutang Debt to Asset Ratio (X3)
H3
(Y)
Operating Leverage Degree of Operating Leverage (X4)
H4
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Sumber: Peneliti, 2010 Likuiditas yang diukur dengan current ratio mencerminkan sampai sejauh mana kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Operating earning/ laba operasi merupakan ukuran utama dalam pengukuran tingkat profitabilitas suatu perusahaan, dan merupakan komponen utama yang menjadi pertimbangan investor dalam menanamkan modalnya. Debt to Asset Ratio mengukur kebijakan hutang yang diambil oleh perusahaan, rasio ini
Universitas Sumatera Utara
mengukur seberapa besar hutang yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan keseluruhan asetnya. Degree of operating leverage mengukur seberapa peka laba operasi dipengaruhi oleh penurunan atau kenaikan penjualan. Rasio Price to Book Value (PBV) merupakan rasio yang sering digunakan oleh para investor dalam membuat keputusan investasi. Rasio
ini
membandingkan harga saham terhadap nilai buku bersih saham tersebut. Semua rasio atau komponen yang dijelaskan sebagai variabel independen secara teori memiliki pengaruh terhadap rasio PBV. 2. Hipotesis Menurut Umar (2008 : 104), “Hipotesis adalah perumusan sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntun/
mengarahkan
penyelidikan
selanjutnya.”
Hipotesis
dalam
penelitian ini sebagai berikut: H1 : Current Ratio berpengaruh signifikan terhadap PBV H2 : Operating Earning berpengaruh signifikan terhadap PBV H3 : Debt to Asset Ratio berpengaruh signifikan terhadap PBV H4 : Degree of Operating Leverage berpengaruh signifikan terhadap PBV H5 : Current Ratio, Operating Earning, Debt to Asset Ratio, Degree of Operating Leverage secara bersama berpengaruh signifikan terhadap PBV
Universitas Sumatera Utara