BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kebijakan Hukum Pidana Menurut Sudarto1 kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik criminal adalah: a) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; b) Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan Peraturan-Peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan biasa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana).Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan social (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalampengertian “social Policy“, sekaligus tercangkup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.
1
Barda Nawawi Arief, 2011. KebijakanHukumPidana, Jakarta, Prenada Media Group, hlm. 26
Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materill, di bidang hukum pidana formil dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.Tulisan ini lebih menitik beratkan pada kebijakan di bidang hukum pidana materill (substantif). 2.2 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Menurut Mohamad Hatta2, berbagai cara ditempuh untuk menegakkan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan, baik dengan cara yang tegas seperti pernah diterapkan dalam operasi pemberantasan kejahatan di Indonesia awal tahun 1980an sebagai langkah yang sangat keras yang sama sadisnya dengan kejahatan itu. Cara pencegahan kejahatan yang bersifat ” Social treatment”
atau ”therapeutic”, demikian pula dengan cara hukum yang
dogmatic legalistic maupun tindakan hukum yang humanisme
memang
memerlukan kesungguhan dan kesadaran mengingat prosesnya yang relatif lama dan tidak semudah yang dibayangkan. Upaya
atau
kebijakan
untuk
melakukan
pencegahan
dan
penanggulangan kejahatan (termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy. Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari upaya/kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat ( social defence policy). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan ( politik Criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukuman) maka kebijakan hukum pidana (penal
2
Mohammad Hatta, Op.cit. hlm.53
policy) khususnya dalam kegiatan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concerto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dan kebijakan sosial itu, berupa social welfare dan social defence. a. Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan harus menunjang tujuan (goal), kesejahteraan masyarakat / Social Welfare dan perlindungan masyarakat/Social defence. Aspek Social Welfare dan Social Defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immateril, terutama kepercayaan (trust) dan nilai keadilan (justice); b. Pencegahan dan penanggulangan Kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan ”integral”, ada keseimbangan antara ”penal” dengan ”nonpenal” dilihat dari politik kriminal, kebijakan paling strategis adalah melalui sarana ”non-penal” karena lebih bersifat prefentif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simtomatik tidak kausatik / tidak eliminatif; individualistik atau offender oriented / tidak victimoriente, lebih bersifat represif / tidak prefentif; harus didukung oleh infrastruktut dengan biaya tinggi. c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan
dengan sarana ”penal”
merupakan ”penal policy” atau ”penal law enforcement policy” yang fungsionalis / oprasionalisasinya.3
3
Ibid. hlm.38-39
Adapun pencegahan dan penanggulangannya kejahatan melalui beberapa tahap : 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif / yudisial); 3. Tahap Eksekusi (eksekutif / administratif). 2.3 Pengertian Penganiayaan Berdasarkan Pasal 351 KUHP yang berbunyi bahwa penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. Jika kata penganiayaan tidak menujukkan pada salah satu bentuk perbuatan seperti halnya perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dalam pembunuhan. Sehingga dapat dikatakan ada perumusan materil tetapi tidak nampak wujud akibat yang harus ditimbulkan.4 Menurut
Satochid
Kartanegara5
berdasarkan
doktrin/ilmu
pengetahuan hukum pidana penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain. Jadi menurut doktrin penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Adanya kesengajaan; b. Adanya perbuatan; c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
4
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 351. Adami Chazawi, 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada, hlm.9 5
1. Rasa sakit pada tubuh, dan atau 2. Luka pada tubuh. Unsur yang pertama adalah berupa unsur subyektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur obyektif. Mengenai unsur tingkah laku sangatlah bersifat abstrak, karena denga istilah/kata perbuatan saja, maka dalam bentuknya yang kongkret tak terbatas wujudnya, yang pada umumnya wujud perbuatan itu mengandung sifat kekerasan fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh. Dalam Arrest Hoge Raad (HR) yang menyatakan bahwa penganiyaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Menurut Soenarto Soerodibroto dalam Arrest HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang dapat menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah Arrest HR yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan mejadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai sutau tujuan yang yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Sedangkan menurut R Tirsan dalam arrest HR lainnya menyatakan bahwa “ dengan sengaja melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan didalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa melewati batas-batas yang wajar”.6
6
Ibid.Hlm. 10 dan 11.
Menurut Wirjono Prodjodikoro7 bahwa Setiap batin petindak dalam penganiayaan
yang
berupa
kesengajaan,
disamping
ditujukan
pada
perbuatannya, juga harus ditujukan untuk (opzet als oogmerk) menimbulkan rasa sakit atau lukanya tubuh orang lain. Jadi kesengajaan pada penganiyaan adalah lebih sempit dan lain degan sengaja dalam pembunuhan. Penganiayaan adalah suatu bentuk perbuatan yang mengakibatkan perasaan tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka bagi orang lain yang dilakukan dengan lampaunya batas-batas yang dizinkan. Bahwa yang dimaksud dengan batas-batas yang dizinkan adalah perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit dan luka bagi orang lain, tetapi bertujuan baik atau mempunyai maksud yang baik. Jadi sebenarnya
sengaja
dilakukan
tetapi
perbuatan
itu
tidak
termasuk
penganiayaan karen tujuannya baik, atau karena ada maksud baik. 2.4 Penganiyaan Menurut Doktrin dan Yurisprudensi Pengertian penganiyaan menurut doktrin lebih luas daripada penganiayaan menurut praktik hukum. Menurut doktrin mempunyai arti yang tidak terbatas pada tujuan apa yang hendak dicapai oleh perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh. Adanya tujuan patut yang hendak dicapai oleh perbuatan dengan harus melalui rasa sakit atau luka tubuh yang disadari, bukan merupakan syarat/unsur untuk meniadakan pengertian penganiayaan, akan tetapi dinaggap sebagai alasan penghapus pidana. Orang tua atau guru yang memukul anak dalam rangka mendidik, atau seorang 7
Ibid.Hlm. 13
dokter yang melukai pasien dalam rangka pelaksanaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit,tetap merupakan penganiyaan, dan tidak dipidananya mereka karena perbiatannya itu, berhubung adanya alasan penghapus pidana (tidak tertulis) yang dalam praktik hukumyang dianut. Syarat/unsur adanya tujuan yang patut adalah merupakan syarat yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Keadaan-keadaan inilah yang merupakan syarat yang menghapuskan sifat melawan hukumbya perbuatan yag digunakan sebagai aslasan/penyebab dari tidak dipidananya guru, orang tua maupun dokter yang melakukan perbuatan tersebut. Lain halnya dengan pengertian menurut yurisprudensi, adanya tujuan patut yang hendak dicapai oleh suatu perbuatan yang disadari (terpaksa) menimbulkan rasa sakit atau luka dipandang sebagai syarat/unsur dari pengertian penganiayaan. Sehingga perbuatan orang tua dan guru memukul anak, atau dokter melukai pasien adalah bukan penganiayaan. Berdasarkan apa yang diterangkan tersebut diatas, maka jelas bahwa penganiayaan ini berupa tindak pidana materil. Untuk dipandang sebagai telah terjadinya penganiayaan secara sempurna, bergantung sepenuhnya pada apakah akibat yang dituju telah terjadi ataukah tidak. 8 Dalam hal penganiayaan biasa dan pengniayaan ringan pada dasarnya percobaan dapat terjadi, dan sudah ada kepentingan hukum yang dibahayakan, tetapi bahaya terhadap suatu kepentingan hukum disini dipandang oleh pembentuk Undang-undang tidak sebesar bahaya pada kejahatan lain seperti
8
Ibid.hlm.15.
pembunuhan (338) dan pencurian (362) dan lain sebagainya. Bahaya yang ditimbulkannya merupakan bahaya yang dipandang sebagai bahaya yang belum patut untuk dipidana. 2.5 Pengertian Polisi dan Kepolisian Menurut Anton Taba9 Polisi adalah civilian in uniform (orang sipil berseragam). Masyarakat yang belum mengerti benar tentang apa, siapa, dan bagaimana polisi menuntut seorang polisi adalah 100 persen harus sipil. Berwatak sipil, berperilaku dan bersikap sipil. Inilah awal letak kekeliruan pemahaman tersebut. Pendiri Kepolisian Inggris Robert Pheel10 menegaskan, kepolisian adalah sebagai organisasi besar bersenjata maka tetap dibutuhkan sikap dan sifat disiplin militer melekat disetiap anggota polisi. Menurut Sadjijono11 polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi,jika perlu menggunakan paksaan supaya yang di perintah menjalankan dan tidak melakukan larang-larangan perintah. Menurut Momo Kelana12 bahwa istilah polisi mempunyai dua arti, yakni polisi dalam arti formil yang mencakup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan dalam arti materil, yakni memberikan jawaban- jawaban terhadap persoalan-persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan kepolisian umum melalui 9
Anton Tabah, 2002. Membangun polri yang Kuat, Jakarta, Mitra Hardhasuma, hlm. 85. Ibid. 11 Sadjijono,2010.MemahamiHukumKepolisian, Jogjakarta, LaksbangPresindo, hlm. 1 dan 2. 12 Ibid. hlm. 3 dan 4. 10
ketentuan- ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Polisi adalah alat negara yang disiapkan untuk menjalankan dan mengontrol hukum agar dapat berjalan pada koridornya sesuai dengan aturan yang berlaku. 2.6 Asas-Asas Hukum Kepolisian Dalam memaknai asas hukum beberapa pakar, mengungkapkan antara lain Bellefroid13, mengartikan asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. The Liang Gie14 mengartikan, asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaan yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk bagi perbuatan. Menurut Sudikno Mertokusumo15 mengemukakan, bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran-pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latarbelakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Berpijak dari beberapa makna asas hukum diatas, maka dalam penentuan asas-asas hukum kepolisian dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, antara lain :
13
Fence Wantu.Op. Cit.hlm.51. Ibid. 15 Sadjijono, Op.cit, hlm. 12. 14
a. Asas-asas yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian, meliputi : 1. Asas Legalitas Yakni asas dimana tindakan kepolisian harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Asas ini sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan atau penyelenggaraan negara, terutama bagi negara yang berdasarkan atas hukum 2. Asas Kewajiban Yakni asas yang menyatakan bahwa kepolisian dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab demi kepentingan umum. Asas keharusan atau kewajiban ini didasarkan pada satu syarat antara lain : a. Tindakan yang dilakukan tidak bertentangan denga peraturan perundang-undangan; b. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum; c. Tindakan yang dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang. Asas kewajiban ini dilakukan karena melekat dalam tugas dan wewenangnya, sehingga dalam penyelenggaraan tugas sematamata untuk kepentingan umum.16
16
Ibid.hlm. 15 dan 16.
3. Asas Partisipasi Yakni
tindakan
yang
dilakukan
kepolisian
diusahakan
mendapat dukungan atau partisipasi kepolisian diusahakan mendapat dukungan atau partisipasi dari masyarakat karena tugas-tugas yang diemban oleh kepolisian tidak akan dapat terwujud sesuai harapan tanpa adanya dukungan dan pastisipasi dari mayarakat. 4. Asas Preventif Yakni tindakan kepolisian lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan. 5. Asas Subsidiaritas Asas dimana dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepolisian mengadakan bantuan dan hubungan serta kerja sama dengan berbagai pihak baik didalam negeri maupun diluar negeri yang bersifat fungsional. b. Asas-asas Umum Penyelenggaraan negara meliputi: 1. Asas Kepastian hukum Adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.17 2. Asas Tertib penyelenggara negara Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelnggara negara.
17
Ibid.
3. Asas Kepentingan umum Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 4. Asas Keterbukaan Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggara
negara
denga
tetap
memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasi negara. 5. Asas Proposionalitas Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan diantara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6. Asas Profesionalitas Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Asas Akuntabilitas Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggung jawabkan pada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.18 c. Asas-asas Pemerintahan Yang baik meliputi: 1.Asas Kepastian hukum;
18
Ibid.
2.Asas Keseimbangan; 3.Asas Bertindak Cermat; 4.Asas Motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintahan; 5.Asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan; 6.Asas kesamaan dalam mengambil keputusan; 7.Asas permainan yang layak; 8.Asas keadilan atau kewajaran; 9.Asas menanggapi pengharapan yang wajar; 10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal; 11. Asas perlindungan atas pandangan hidup.19 2.7 Tugas dan wewenang kepolisian 2.7.1
Tugas kepolisian Tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yakni memelihara keamanan
dan
memberikan
ketertiban
perlindungan,
masyarakat, pengayoman,
menegakkan dan
hukum,
pelayanan
dan
kepada
masyarakat. Menurut pendapat Soebroto Brotodiredjo20 bahwa keamanan dan ketertiban adalah keadaaan bebas dari kerusakan atau kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran dari norma hukum. Menurut soedjono Dirdjosisworo, 19 20
Ibid. Ibid. hlm. 109 dan 110.
ketertiban adalah suasana bebas yang terarah, tertuju keadaan suasana yang didambakan oleh masyarakat yang menjadi tujuan hukum. Ketertiban ini adalah cerminan adanya patokan, pedoman dan petunjuk bagi individu didalam dalam pergaulan hidupnya. Dalam menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan ketertibann masyarakat tersebut dicapai melalui tugas preventif dan tugas refresif. Tugas preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud
pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan
mayarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tentram tidak terganggu segala aktivitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi pada tataran preventif ini secara teoritis dan teknis kepolisian, mencegah adanya faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tidak berkembang menjadi police Harzard (PH) dan muncul sebagai ancaman faktual (AF). Tugas-tugas dibidang refresif adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang. Tugas represif ini sebgai tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakkan hukum, yang dibebankan kepada petugas kepolisian.21 Tugas pokok kepolisian yang dimaksud dalam Pasal 13 UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tersebut yang dirinci dalam pasal UndangUndang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, terdiri dari:
21
Ibid.hlm.110-113.
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuia dengan kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dann kelancaran lalu lintas dijalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, keadaan hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undagan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengawan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik
dan
psikologi
kepolisan
untuk
untuk
kepentingan tugas kepolisian;22 i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban Dan/atau bencana termasuk
22
Ibid.
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selain tugas pokok kepolisian diatas, dalam penyelenggaraan kepolisian masih ada bagian tugas yang disebut tugas pembinaan yaitu tugas-tugas dalam rangka memberi bimbingan teknis maupun taktis dalam menjalankan fungsi kepolisian. Tugas pembinaan ini diberikan kepada lembaga-lembaga atau masyarakat potensial yang berdasarkan undangundang
diberikan
tugas
dan
tanggungjawab
menjalankan
fungsi
kepolisian, yang dalam istilah lain sebagai alat-alat kepolisian khusus.23 2.7.2
Wewenang kepolisian Dalam pembahasan wewenang kepolisian ini hanya difokuskan pada wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif, maksudnya wewenang yang diperoleh dan diatur dalam peraturan perundangundangan. Wewenang kepolisian yang secara atributif meliputi wewenang umum dan wewnang khusus. Wewenang umum sebagaimana dirumuskan
23
Ibid.
dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, meliputi: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi
aliran
yang
dapat
menimbulkan
perpecahan
atau
mengancam perasatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dari indentitas lainnya serta memotret seseorang;24 i. Mencari keterangandan barang bukti j. Menyelenggarakan pusat informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuna pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat; m. Meneriman dan menyimpan barna temuan untuk sementara waktu.
24
Ibid.
Adapun wewenang khusus kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) undang-undang No. 2 Tahun 2002 antara lain; a. wewenang sesuai peraturan perundang-undangan: a) Memberikan ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat; b) Menyelenggarakan regisitrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c) Memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor d) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e) Memberikan ijin dan melakukan pengwasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam;25 f) Memberikan ijin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan; g) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakrsa dalam bidang teknis kepolisian; h) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional i) Melakukan pengawasan fungsional kepolisiam terhadap orang asing yang berada di Wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j) Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internsional. 25
Ibid.
b. wewenang dibidang proses pidana a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;26 e) Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan surat; f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h) Mengadakan penghentian penyidikan; i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k) Memberi petunjuk dan bantuna penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 26
Ibid
Tugas dan wewenang kepolisian sebagaimana telah diuraikan diatas adalah tugas dan wewenang kepolisian secara umum, artinya segala kegiatan pekerjaan yang dilaksanakan oleh polisi yang meliputi kegiatan pencegahan (preventif) dan penegakan hukum atau represif.27 2.8 Keunggulan Kewenangan Diskresi Kepolisian berpresfektif Norma Hukum dalam penyelesaian Perkara Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat tidak hanya terhadap standar pelayanan Polri yang terus ditingkatkan tetapi juga terhadap nilai-nilai yang menyertai profesionalisme itu sendiri antara lain: 1. Keunggulan (excelent oriented) oriantansi pada prestasi (achievement), dedikasi (dedication), kejujuran (honesty), dan kreativitas (creativity), proaktif berbasis kinerja; 2. Integritas (integrity), orientasi pada komintmen (commiment) menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (etic values and morality); 3. Akuntabilitas (acountable) berorientasi pada sistem traceable (dapat ditelusuri jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit atau diperbaiki), mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri; 4. Transparansi (transparancy) orientasi pada keterbukaan (openness), kepercayaan atau trust, menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) secara tidak diskriminatif; 5. Kualifikasi (qualifide) mempunyai dasar pengetahuan(knowledgebased) dan pengakuan (sertification and or dicence); 27
Ibid.
6. Berbasik teknoogi dan pengetahuan (technology and knowledge based) semaksimal mungkin dalam menggunakan pengetahuan dan teknologi pada semua tingkat anggota Polri sesuai dengan tuntutan tugasnya;28 7. Memecahkan masalah (problem solving), fokus pada memecahkan masalah (problem solving oriented), mengambil keputusan yang sistematis (sistematic decision making) memperkecil permainan politik (dan politik uang) organisasi. Terdapat dua istilah yang memiliki perbedaan mendasar dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni penjatuhan hukuman disiplin dan penjatuhan tindakan disiplin. Penjatuhan Hukuman Disiplin diputus melalui sidang disiplin dan merupakan kewenangan Ankum dan atau Atasan Ankum yang dalam lingkungan Polri secara berjenjang meliputi Ankum berwenag penuh, Ankum berwenang terbatas, Ankum berwenang sangat terbatas. Jika Penjatuhan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Anggota Polri, dan merupakan kewenangan atasan langsung, atasan tidak langsung dan anggota Provos Polri sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya. Jenis sanksi hukuman yang dijatuhkan dalam penjatuhan tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik, dimana tindakan disiplin dimaksud tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman disiplin.
28
Suparmin. 2012. Model Polisi Pendamai dari Presfektif Alternative Dispute Resolution (ADR). Semarang. Badan Penerbit Diponegoro, hlm.94.
Beberapa perbuatan anggota polri yang mengandung sanksi disiplin, yakni pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang diatur dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Displin Anggo Polri29. Hukuman (Punishment) adalah merupakan hukuman bagi anggota polri yang melakukan pelanggran hukum. Berdasarkan sifat, bentuk, jenis dan sistem
penjatuhan
sanksi,
pelanggaran
hukum
bagi
Anggota
Polri
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, antara lain: 1. Pelanggaran peraturan disiplin, yakni ucapan, tulisan atau perbuatan anggota Polri yang melanggar peraturan disiplin; 2. Pelanggaran kode etik profesi, adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi Polri; dan 3. Pelanggaran Pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan unsur-unsur yang dirumuskan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lain yang memiliki sanksi pidana.30 2.8.1 Pelangaran Disiplin Pelanggaran disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Didalam penjatuhan hukuman disiplin dilakukan oleh atasan yang berwenang menghukum (Ankum) melalui sidang disiplin yang sanksinya sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 Peraturan 29 30
Sadjijono Op cit, hlm 102-106 Ibid.
Pemerintah No. 2 Tahun 2003,yakni berupa teguran terulis, penundaan mengikuti pendidikan paling lama satu tahun, penundaan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun, mutasi yang bersifat demosi, pembebasan dari jabatan, penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari. 2.8.2
Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri Penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik profesi polri diatur dalam Surat
Keputusan Kapolri No. Pol.:Skep/33/VII/2003 tanggal 1 juli 2003 yang diganti dengan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2006 tentang organisasi dan tata cara kerja Sidang Komisi Kode Etik Polri. Norma etika polri dirumuskan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/32/VII/2003 tanggal 1 juli 2003yang diganti dengan peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Polri. Didalam Kode Etik Profesi Polri mengandung tiga etika yang tercermin dalam perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang. Ketiga etika dimaksud, yaitu etika pengabdian, etika kelembagela’aan dan etika kenegaraan yang disusun ke dalam Kode Etik Profesi Polri.31 Sanksi pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri adalah sanksi moral yang dirumuskan dalam pasal 17 Kep Kapolri No.Pol.: Kep/32/VII/2003 yang diadopsi ke dalam pasal 11 ayat (2) Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006, berupa: a. Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas atau terbuka; c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;
31
Ibid.
d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian. 2.8.3
Pelanggaran/Perbuatan Pidana Perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota polri penjatuhan sanksinya
melalui peradilan umum. Proses penjatuhan sanksi pidana, bagi anggota polri yang diduga melakukan perbuatan pidana berlaku Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dimana penyidikannya dilakukan oleh penyidik polri terhadap
pelanggaran
pidana
umum
yang
diatur
dalam
KUHP,
dan
memungkinkan diperiksa oleh PPNS dalam pelanggaran tindak pidana tertentu/khusus. Kemudian proses persidangan dilaksanakan di pengadilan Umum. Landasan yuridis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota polri dirumuskan dalam pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, yang menyebutkan bahwa anggota Kepolisian Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum.32
32
Ibid.