BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja Akhir 1.
Remaja Pada abad pertengahan, remaja dipandang sebagai bentuk miniatur dari orang dewasa dan menjadi sasaran dari penerapan disiplin yang keras. Pada abad ke 18, pandangan Rousseau memperbaiki keyakinan yang salah dengan menyatakan bahwa remaja bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa. Pada akhir abad 19 dan pada awal abad 20, para ahli telah menemukan konsep yang merumuskan tentang remaja sebagai periode tersendiri yang berbeda dengan periode dewasa (Santrock, 2007b). Santrock (2007b) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan remaja terdiri dari mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial
sebagai
pria atau wanita,
mencapai
kemandirian
emosional,
mempersiapkan karir ekonomi, serta menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja adalah periode peralihan dan periode perubahan. Masa remaja sebagai periode peralihan berarti sebuah proses peralihan yang dialami oleh individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hal ini bermakna bahwa individu harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanakkanakan, remaja juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk
16
17 menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Segala bentuk pola perilaku dan sikap lama akan memengaruhi pola perilaku dan sikap baru. Masa remaja sebagai periode perubahan berarti sebuah proses perubahan yang dialami oleh remaja, yaitu: pertama, perubahan emosi yang ditandai dengan meningkatnya emosional yang bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan fisik yang diandai oleh masa pubertas dan perubahan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, perubahan ini dapat memunculkan masalah baru ketika remaja tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan optimal. Ketiga, perubahan minat dan pola perilaku yang menyebabkan perubahan pada nilai-nilai yang dimiliki. Keempat, sikap remaja yang ambivalen terhadap setiap perubahan, remaja menginginkan dan menuntut adanya kebebasan, namun remaja takut akan tanggungjawab dan meragukan kemampuan dalam mengatasi tanggungjawab. Menurut Santrock (2007b) ada beberapa gejolak yang muncul pada diri remaja, yaitu: a.
Pencarian identitas diri Erikson menyatakan bahwa dalam perkembangan psikososial, individu yang berada pada masa remaja akan mengalami suatu krisis antara indentitas versus kebingungan identitas. Krisis ini ditandai dengan munculnya beberapa pertanyaan kepada diri sendiri tentang “siapakah aku ?” dan “apa keunikanku ?”. Remaja menuntut adanya solusi atas pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas diri remaja. Sebagai bagian dari eksplorasi identitas diri, remaja mengalami psychosocial moratorium yang mengacu pada kesenjangan antara rasa aman masa kanak-kanak dengan otonomi di masa dewasa. Dalam proses eksplorasi dan mencari identitas, remaja akan bereksperimen dengan berbagai peran, mulai dari peran pekerjaan hingga peran dalam relasi romantik. Remaja yang berhasil
18 mengatasi dan menerima berbagai peran yang saling berkonflik akan menemukan identitas baru tentang diri, sehingga dapat dikatakan telah mampu mengatasi krisis identitas diri. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas diri, akan mengalami kebingungan identitas. Kebingungan identitas akan mengakibatkan remaja menjadi menarik diri, mengisolasi diri dengan dunia teman sebaya, dan kehilangan identitas diri dalam kelompok (Santrock, 2007b). b.
Eksplorasi relasi dengan teman sebaya Santrock (2007c) menyatakan bahwa teman sebaya adalah remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama atau setara. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Remaja memperoleh umpan balik mengenai kemampuan diri dari kelompok teman sebaya. Remaja belajar untuk melakukan perbandingan dengan teman sebaya dengan mengetahui apakah hal yang dia lakukan itu lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan dengan teman sebaya. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya atau kelompok. Remaja akan merasa senang apabila diterima oleh teman sebaya, namun akan merasa sangat cemas dan tertekan apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman sebaya. Banyak remaja yang merasa bahwa pandangan teman sebaya terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting. Relasi yang baik antar teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial di masa remaja. Ketika remaja menjalin persahabatan dengan teman sebaya yang terpilih, remaja dapat belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka, sehingga akan berguna sebagai pembentukan dasar dalam menjalani relasi pacaran dan relasi pernikahan. Ketika remaja mengalami penolakan dari teman sebaya, maka akan membuat remaja merasa kesepian dan memunculkan permusuhan,
19 sehingga berkaitan dengan masalah kesehatan mental dan kenakalan remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk berada dalam sebuah jaringan sosial, berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan mulai dari masalah kenakalan remaja hingga depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan dan Patrick (dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang positif dengan teman sebaya berkaitan dengan penyesuaian sosial yang positif, dan relasi antara remaja dengan teman sebaya akan memengaruhi tahapan perkembangan selanjutnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Roff, Sells, dan Golden (dalam Santrock, 2007c) menunjukkan bahwa relasi yang negatif dengan teman sebaya berkaitan dengan putus sekolah dan kenakalan remaja. c.
Perkembangan emosional Santrock (2007b) menyatakan bahwa berbagai peristiwa akan melibatkan pengalaman emosional yang akan berkontribusi bagi perkembangan identitas remaja. Remaja awal akan lebih sering mengalami fluktuasi emosi yaitu adanya emosi yang naik dan turun. Remaja dapat merasa sebagai individu yang paling bahagia disuatu saat dan kemudian merasa sebagai individu yang paling sedih disaat lain. Remaja memiliki suasana hati yang berubah-ubah, dimana remaja dapat merasakan emosi yang lebih ekstrem dan berlangsung cepat. Kemurungan merupakan kondisi yang normal dialami oleh remaja. Apabila remaja mampu mengelola kondisi kemurungan yang dialami dengan baik, maka remaja dapat berkembang menjadi dewasa yang kompeten. Perubahan hormonal dan pengalaman lingkungan berkontribusi dalam perubahan emosi di masa remaja. Adanya pengalaman yang menekan dapat berkontribusi terhadap perubahan dalam emosi pada remaja, misalnya transisi ketika memasuki sekolah menengah, pengalaman seksual, dan relasi romantik. Remaja memiliki kompetensi emosional
20 berupa kemampuan dalam mengatasi dan mengkomunikasikan emosi-emosi yang dirasakan kepada orang lain secara konstruktif sehingga dapat meningkatkan kualitas relasi dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa remaja dikatakan memiliki kematangan emosional, apabila remaja mampu menilai sesuatu secara kritis sebelum bereaksi dan akan mengungkapkan emosi yang dirasakannya dengan cara-cara yang lebih rasional. Remaja yang memiliki kematangan emosional akan memberikan reaksi emosi yang stabil dan tidak berubah-ubah. d.
Otonomi Otonomi berkaitan dengan keterarahan diri dan kemandirian. Otonomi emosional adalah salah satu aspek otonomi berupa kapasitas untuk mengurangi ketergantungan
yang kekanak-kanakan terhadap
orangtua. Meningkatnya
kemandirian pada masa remaja, seringkali diinterpretasikan sebagai suatu bentuk pemberontakan oleh sebagian orangtua. Keluarga yang sehat secara psikologis dapat menyesuaikan keinginan remaja untuk mandiri dengan memperlakukan remaja sebagai sosok dewasa dan lebih banyak melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan. Sedangkan keluarga yang tidak sehat secara psikologis akan terpaku pada kendali orangtua yang berorientasi pada kekuasaan dan cenderung menggunakan kontrol yang tinggi terhadap anak. Pencarian terhadap otonomi dan rasa tanggungjawab pada remaja dapat menimbulkan kebingungan dan konflik bagi orangtua, karena orangtua akan merasa remaja menjadi sulit untuk diatur. Disatu sisi remaja menginginkan adanya otonomi dan kebebasan, namun disisi lain orangtua menganggap remaja menunjukkan pemberontakan. Kemampuan memperoleh otonomi dan kendali atas perilaku remaja, diperoleh dari ketepatan reaksi yang diberikan oleh orang dewasa terhadap keinginan remaja
21 atas kendali diri. Remaja awal kurang memiliki pengetahuan yang memadai untuk membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Seiring dengan keinginan remaja untuk mendapatkan otonomi dan mampu membuat keputusan yang masuk akal, orang dewasa yang bijaksana akan mencoba mengurangi kendali terhadap remaja dengan membimbing remaja yang masih memiliki keterbatasan dalam pengetahuan. Secara bertahap remaja akan meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan yang tepat (Santrock, 2007c). 2.
Remaja Akhir Mὄnks, Knoers, dan Haditono (2002) membagi masa remaja menjadi empat, yaitu masa pra-remaja (10 – 12 tahun), masa remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 – 21 tahun). Santrock (2007b) menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode awal dan periode akhir. Rentang usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun.
Masa remaja awal kurang lebih
berlangsung di masa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah akhir. Masa remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dalam kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal. Menurut Sarwono (2013) remaja akhir adalah masa konsilidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu : a.
Minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelek.
b.
Keinginan ego dalam mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
c.
Terbentuknya identitas seksual yang menetap.
22 d.
Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) berubah menjadi keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
e.
Tumbuhnya “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa remaja akhir adalah individu berusia 18 hingga 21 tahun yang ditandai dengan adanya minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sebagai periode mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
B. Kesejahteraan Psikologis 1.
Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah sebuah konsep yang berusaha memaparkan tentang positive psychological functioning. Ryff merumuskan bahwa konsep kesejahteraan psikologis merupakan integrasi dari teoriteori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsep mengenai kesehatan mental. Kesejahteraan psikologis dikaitkan dengan bagaimana kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi maksimal. Ryff dan Keyes (1995) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan tercapainya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya tanda-tanda depresi. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik individu yang memiliki kesejahteraan psikologis mengacu pada pandangan Maslow tentang aktualisasi diri, pandangan Rogers tentang pemenuhan diri, pandangan Jung tentang individuasi, dan pandangan Erikson tentang penyelesaian krisis psikososial dalam setiap tahapan perkembangan. Maslow (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa aktualisasi diri adalah kebutuhan yang mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi yang
23 dimiliki, dan keinginan untuk menjadi kreatif. Individu yang mencapai aktualisasi diri dapat menerima diri apa adanya dengan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, menerima kekurangan orang lain dan tidak merasa terancam dengan kelebihan orang lain, serta tidak menuntut adanya kesempuraan karena setiap hal didunia ini tidak ada yang sempurna. Rogers (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa individu memiliki kebutuhan untuk meningkatkan diri yang diekspresikan dalam bentuk rasa ingin tahu, kebahagiaan, eksplorasi diri, pertemanan, dan kepercayaan diri untuk meraih perkembangan psikologis. Ketika individu terlibat dalam hubungan yang dilandasi kejujuran, empati, dan penerimaan positif yang tidak bersyarat, maka individu akan bergerak menuju perubahan personal yang konstruktif dan memiliki kecenderungan alamiah untuk menuju pemenuhan diri. Jung (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa individuasi atau realisasi diri merupakan proses untuk menjadi individu secara utuh yang berarti memiliki seluruh komponen psikologis yang berfungsi dalam satu kesatuan. Individuasi menjadi tahapan yang sulit dan hanya bisa dicapai oleh individu yang mampu mengasimilasi kesadaran dengan keseluruhan kepribadian, mengizinkan ketidaksadaran diri menjadi inti dari kepribadian, serta mampu menempatkan diri di dunia internal dan eksternal. Erikson (dalam Feist & Feist, 2013) menyatakan bahwa dalam siklus kehidupan, individu memiliki delapan tahapan perkembangan psikososial dimana pada tiap tahapan terjadi krisis psikososial. Setiap individu diharapkan mampu menyelesaikan krisis psikososial pada tiap tahapan. Keberhasilan menyelesaikan krisis psikososial akan menghasilkan kekuatan dasar dan memungkinkan individu untuk bergerak ke tahap selanjutnya. Misero dan Harwadi (2012) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai suatu kondisi mental yang sehat dimana individu dapat berfungsi optimal dalam kehidupannya dan memiliki penilaian yang positif atas hidupnya. Lawton (dalam
24 Keyes & Haidt, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai tingkat evaluasi atas kompetensi diri dan melakukan pertimbangan atas tingkatan tujuan individu. Carr (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah aktualisasi potensi psikologis individu secara optimal. Kesejahteraan psikologis lebih menekankan pada kondisi optimis dibandingkan kondisi pesimis. Individu yang optimis akan memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang dimiliki, ketika menghadapi situasi dengan ketidakpastian. Individu yang pesimis berkaitan dengan depresi, ketakutan, dan kecemasan dalam menghadapi situasi dengan ketidakpastian. Kemampuan dalam mengelola berbagai peluang yang ada pada setiap tekanan, akan terkait dengan perubahan yang positif dalam kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis, dan peningkatan kemampuan diri. Individu yang optimis mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki secara optimal, karena individu mampu mempersiapkan strategi untuk mengelola berbagai tekanan lingkungan (Carr, 2004). Joseph dan Linley (2008) menyatakan bahwa perkembangan akan dialami oleh semua individu. Individu termotivasi untuk terlibat dalam penilaian yang realistis tentang makna dari suatu peristiwa dan bergerak ke arah yang lebih autentik dalam hidup, hal ini menjadi sebuah proses yang mengarah pada kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah pencapaian tujuan hidup yang dilandasi oleh evaluasi kompetensi diri secara cermat, hasrat untuk selalu mengembangkan diri, kemandirian, mengelola berbagai ancaman dari lingkungan menjadi daya dorong untuk kemajuan, serta mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain.
25 2.
Dimensi Kesejehteraan Psikologis Ryff (1989) merumuskan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi, yaitu: a.
Self Acceptance (Penerimaan Diri) Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa penerimaan diri didefinisikan sebagai ciri utama dari kesehatan mental yang baik, karakteristik dari aktualisasi diri, kemampuan berfungsi optimal, dan kematangan. Individu dengan taraf kesejahteraan psikologis tinggi memiliki penerimaan atas diri dan pengalaman hidup dimasa lalu, serta memiliki sikap yang positif terhadap diri. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa penerimaan diri terdiri dari adanya evaluasi diri yang positif, mampu mengakui beberapa aspek dalam diri, kemampuan menerima kualitas diri yang positif maupun negatif sebagai suatu gambaran yang seimbang dari suatu kemampuan. Penerimaan diri adalah kemampuan individu dalam mengaktualisasikan diri, berfungsi secara optimal, dan dapat menerima segi positif ataupun negatif diri. Individu dengan taraf penerimaan diri tinggi adalah individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam diri mencakup kualitas diri yang baik maupun yang buruk, serta mampu merasakan hal yang positif dari kehidupannya. Sebaliknya, individu dengan taraf penerimaan diri rendah adalah individu yang merasa kurang puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan hal-hal yang telah terjadi pada kehidupan dimasa lalu, memiliki masalah terkait kualitas tertentu dari diri, dan berharap menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri saat ini (Ryff, 1989).
26 b.
Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang Lain) Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kemampuan mencintai dapat dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Aktualisasi diri dideskripsikan sebagai perasaan empati dan afeksi yang kuat terhadap semua manusia dengan memberikan cinta yang besar, persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang mendalam terhadap orang lain. Hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan kriteria dari kematangan. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa hubungan positif dengan orang lain terdiri dari adanya hubungan yang dekat, hangat, dan intim dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, serta empati dan afeksi dengan orang lain. Hubungan positif dengan orang lain adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan yang hangat, intim, dan percaya dengan orang lain. Individu dengan taraf hubungan positif tinggi adalah individu yang hangat, memuaskan, memiliki empati, kedekatan, afeksi yang kuat, memiliki hubungan berkualitas dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, serta memiliki pemahaman akan adanya prinsip memberi dan menerima dalam hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, individu dengan taraf hubungan positif rendah adalah individu yang kurang mampu dalam menjalin hubungan dekat dan kepercayaan dengan orang lain, kesulitan untuk menjadi hangat, kurang terbuka, kurang memberikan perhatian pada orang lain, merasa terisolasi dalam hubungan dengan orang lain, serta sulit berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989).
27 c.
Autonomy (Kemandirian) Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa kemandirian adalah adanya kebebasan dan mampu menentukan pilihan sendiri, kemampuan bertahan dalam menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan mengatur perilaku diri sendiri. Individu yang mandiri adalah individu yang memiliki kemampuan otonomi, mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri. Individu dengan taraf kemandirian tinggi adalah individu yang memiliki kebebasan dan mampu menentukan diri sendiri, dapat bertahan dalam menghadapi tekanan sosial baik dalam tindakan maupun pikiran, mampu mengatur perilaku diri sendiri, dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sebaliknya, individu yang tidak mandiri adalah individu yang memiliki ketergantungan terhadap orang lain dalam pengambilan keputusan yang penting, mengikuti tekanan sosial baik dalam pikiran maupun tindakannya, dan memberikan perhatian terhadap harapan dan evaluasi dari orang lain (Ryff, 1989).
d.
Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan) Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam memilih dan membuat lingkungan yang cocok untuk kondisi fisiknya. Kematangan individu membutuhkan partisipasi dalam aktivitas diluar diri dengan kemampuan untuk memanipulasi dan kontrol terhadap lingkungan yang mencakup kemampuan individu untuk berkembang di dunia dan merubah secara kreatif aktivitas fisik dan mental. Kombinasi dari partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan adalah kunci dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah adanya hasrat menguasai dan mengatur
28 lingkungan, kemampuan dalam memilih situasi dan lingkungan yang kondusif dalam menemukan tujuan. Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu dalam memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis sebagai upaya untuk mengembangkan diri. Individu dengan taraf penguasaan lingkungan tinggi adalah individu yang memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengatur lingkungan, mampu mengendalikan hal-hal kompleks dalam berbagai aktivitas, efektif dalam menggunakan kesempatan yang ada pada lingkungannya, dapat memilih atau membuat lingkungan yang sesuai dengan nilai atau kebutuhan pribadinya. Sebaliknya, individu dengan taraf penguasaan lingkungan rendah adalah individu yang memiliki kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mempu mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang memiliki kontrol dalam mengendalikan dunia luar (Ryff, 1989). e.
Purpose Of Life (Tujuan Hidup) Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa kesehatan mental mencakup keyakinan dalam menentukan tujuan dan makna dari hidup. Definisi dari kematangan selalu menekankan pada kejelasan dari tujuan hidup, perasaan terarah, dan intensionalitas. Individu yang memiliki tujuan, intensi, dan perasaan terarah berkaitan dengan perasaan atas hidup yang bermakna. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa tujuan hidup adalah adanya hasrat memiliki makna hidup dan perasaan terarah dalam hidup. Tujuan hidup adalah kemampuan individu yang memiliki arah dan makna dalam hidup. Individu dengan taraf tujuan hidup tinggi adalah individu yang memiliki rasa keterarahan dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan
29 masa kini, memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup, serta memiliki objektifitas untuk hidup. Sebaliknya, individu dengan taraf tujuan hidup rendah adalah individu yang merasa hidup kurang bermakna, kurang memiliki rasa keterarahan dalam hidup, kurang yakin dalam memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna dalam kehidupan di masa lalu (Ryff, 1989). f.
Personal Growth (Perkembangan Pribadi) Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa fungsi psikologis yang optimal tidak hanya ketika adanya karakteristik pencapaian dimasa lalu, namun lebih menekankan pada proses berkelanjutan pada perkembangan potensi dan memperluas diri. Terbuka pada pengalaman baru menjadi karakteristik dari perkembangan pribadi. Individu yang berkembang merupakan individu yang lebih dari sekedar memperoleh pencapaian suatu pemecahan masalah pada suatu waktu tertentu, namun menekankan pada perkembangan yang berkelanjutan dan menemukan tantangan baru sebagai tugas dalam suatu periode. Ryff (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa perkembangan pribadi adalah kemampuan dalam mengembangkan potensi diri, keterbukaan pada pengalaman baru, dan hasrat untuk berkembang secara berkelanjutan. Perkembangan pribadi adalah kemampuan individu yang memiliki upaya dan keinginan untuk terus bertumbuh dan mengembangkan potensi. Individu dengan taraf perkembangan pribadi tinggi adalah individu yang memiliki hasrat untuk mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan adanya peningkatan dalam diri dan perilaku pada setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu dengan taraf
30 perkembangan pribadi rendah adalah individu yang merasa mengalami stagnasi, merasa kurang adanya peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat dalam hidup, serta merasa kurang mampu mengembangkan sikap dan perilaku menjadi lebih luas (Ryff, 1989). Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu Self Acceptance (Penerimaan Diri), Positive Relations With Others (Hubungan Positif Dengan Orang Lain), Autonomy (Kemandirian), Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan), Purpose Of Life (Tujuan Hidup), dan Personal Growth (Perkembangan Pribadi). 3.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Psikologis Menurut Ryff dan Singer (1996) beberapa faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu: a.
Usia Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan usia memengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Pada dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi kemandirian mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal hingga dewasa madya. Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Pada dimensi tujuan hidup dan perkembangan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia, terutama dari dewasa madya hingga dewasa akhir. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa awal hingga dewasa akhir. Penelitian Cripss dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada remaja ditandai dengan adanya persepsi positif atas harga diri,
31 evaluasi diri, hubungan dengan teman sebaya, dan pengalaman hidup yang diperoleh dari keluarga. Stres psikologis yang dialami remaja dapat menyebabkan pikiran dan emosi negatif pada remaja. b.
Jenis Kelamin Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin memengaruhi perbedaan dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis. Wanita memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi perkembangan pribadi. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri, kemandirian, tujuan hidup, dan penguasaan lingkungan.
c.
Kelas Sosial Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa Wisconsin Longitudinal Study mengungkapkan adanya gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Pendidikan memiliki hubungan yang kuat dengan kesejahteraan. Terkait dengan pencapaian pendidikan, ada perbedaan yang sangat signifikan pada dimensi tujuan hidup dan dimensi perkembangan pribadi. Kesejahteraan yang tinggi berhubungan dengan status pekerjaan yang tinggi pula. Pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Individu yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu, serta memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan individu yang berada di kelas yang lebih rendah.
d.
Budaya Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa budaya yang berkembang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu individual dan kolektif. Budaya barat memiliki nilai
32 yang tinggi pada penerimaan diri dan kemandirian, sedangkan budaya timur memiliki nilai yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain. Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden Amerika memiliki kualitas diri yang lebih positif dibandingkan dengan Korea Selatan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh budaya, dimana orientasi budaya di Amerika yang lebih bersifat individual dan mandiri, sedangkan orientasi budaya di Korea Selatan yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Ryff (2014) menambahkan beberapa faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu: a.
Kepribadian Ryff (2014) menyatakan bahwa ada penelitian mengenai hubungan Big Five OCEAN dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa openness to experience berhubungan dengan dimensi perkembangan pribadi, agreeableness berhubungan dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain, serta extraversion conscientiousness dan neuroticism berhubungan dengan dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan penerimaan diri. Penelitian yang dilakukakan di Amerika Serikat dan Jerman menunjukkan bahwa kepribadian lebih menentukan kesejahteraan dibandingkan regulasi diri di kedua negara tersebut. Penelitian longitudinal menemukan bahwa remaja yang bersifat ramah dan mudah bergaul di usia muda akan memiliki taraf kesejahteraan tinggi pada masa paruh bayanya. Sebaliknya, remaja yang neuroticism diprediksi memiliki nilai yang rendah pada semua dimensi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis dengan adanya kontrol diri yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan
33 tinggi. Individu dengan harga diri yang stabil diprediksi memiliki nilai yang tinggi pada dimensi kemandirian. b.
Pengalaman Keluarga Ryff (2014) menyatakan bahwa peran, transisi, dan pengalaman dalam keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Banyak orang dewasa yang menempati beberapa peran dalam keluarga (sebagai orang tua, anak, saudara, pasangan). Penelitian telah menemukan bahwa individu dengan peran yang besar dalam keluarga memiliki taraf kesejahteraan psikologis tinggi, karena memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dan penerimaan diri. Wanita yang terdidik dalam menjalani berbagai peran menunjukkan nilai yang tinggi pada dimensi kemandirian. Hubungan dalam keluarga dan ritual keluarga berkaitan dengan kesejahteraan psikologis di usia remaja dan usia tengah baya. Penelitian menunjukkan bahwa secara konsisten individu yang menikah memiliki nilai yang tinggi pada dimensi tujuan hidup dibandingkan dengan individu yang bercerai, janda, atau tidak pernah menikah. Janda dan wanita yang tidak pernah menikah memiliki taraf kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan duda dan pria yang tidak pernah menikah. Wanita yang belum menikah memiliki nilai yang tinggi pada dimensi kemandirian dan perkembangan pribadi dibandingkan dengan wanita yang menikah. Transisi dari pernikahan ke perceraian menyebabkan penurunan kesejahteraan psikologis pada wanita. Pengalaman pengasuhan berkaitkan dengan kesejahteraan pada individu di usia dewasa. Peristiwa tidak terduga yang terjadi dalam suatu keluarga akan memengaruhi kesejahteraan psikologis. Trauma akan kehilangan anggota keluarga akan menyebabkan depresi dan masalah kesehatan. Kehilangan orangtua atau perceraian orangtua yang terjadi sebelum anak berusia 17 tahun berkaitan dengan
34 nilai yang rendah pada dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif dengan orang lain. Kehidupan keluarga menunjukkan hubungan yang luas terhadap kesejahteraan psikologis pada individu di usia dewasa. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, maka faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis adalah usia, jenis kelamin, kelas sosial, budaya, kepribadian, dan pengalaman keluarga.
C. Pola Asuh Autoritatif 1.
Definisi Pola Asuh Menurut Darling (1999) pola asuh diartikan sebagai aktivitas kompleks yang mencakup berbagai perilaku spesifik, dimana aktivitas tersebut bekerja sendiri dan bersama-sama memengaruhi perkembangan anak. Ada variasi dalam penerapan pengasuhan orangtua terhadap anak, namun semua orangtua memiliki peranan utama yaitu memengaruhi, mengajar, dan mengontrol anak. Olson dan DeFrain (2003) menyatakan bahwa pengasuhan memiliki dua aspek yaitu dukungan orangtua dan kontrol orangtua. Dukungan orangtua didefinisikan sebagai bentuk kepedulian, keterbukaan, dan afeksi yang ditunjukkan atau diberikan oleh orangtua kepada anak. Kontrol orangtua didefinisikan sebagai tingkat fleksibilitas orangtua yang digunakan dalam menegakkan aturan dan menerapkan disiplin pada anak. Baumrind (2005) menyatakan bahwa ada dua faktor dari perlakuan orangtua yang digunakan dalam menentukan pola asuh orangtua, yaitu: a.
Responsiveness Responsiveness mengarah pada tanggapan yang diberikan orangtua dalam proses perkembangan anak dengan cara menyesuaikan diri, mendukung, dan
35 menyetujui permintaan anak. Orangtua yang memiliki responsiveness cenderung akan menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah. b.
Demaningness Demaningness mengarah pada tuntutan yang diberikan orangtua yang mendorong anak menjadi terintegrasi dalam lingkungan sosial melalui adanya peraturan perilaku, konfrontasi langsung, tuntutan dalam mencapai kematangan (kontrol perilaku), dan pengawasan terhadap aktivitas anak (memonitor).
2.
Tipe-Tipe Pola Asuh Baumrind (1991) menyatakan bahwa ada empat tipe pola asuh orangtua, yaitu: a.
Autoritarian Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritarian menunjukkan adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang tinggi. Orangtua tidak menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun fokus pada pembentukan, kontrol, dan evaluasi terhadap perilaku dan sikap anak yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Orangtua menggunakan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki dalam penetapan aturan dan standar yang tegas bagi anak. Orangtua tidak bersedia menerima pendapat anak, karena menganggap anak harus menerima dan melakukan segala hal yang telah ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966).
b.
Permisif Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh permisif menunjukkan adanya responsiveness yang tinggi dan demaningness yang rendah. Orangtua cenderung menerima dan menyetujui segala keinginan dan perilaku anak. Orangtua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu memberikan tuntutan dan kontrol terhadap anak. Orangtua akan memberikan penjelasan dan berdiskusi dalam
36 menetapkan suatu aturan. Orangtua hanya memberikan beberapa tuntutan dan tanggungjawab terhadap anak, serta berusaha menjadi sosok yang diinginkan oleh anak. Orangtua membiarkan anak untuk mengatur segala aktivitas mereka dengan tidak menggontrol dan memaksa anak untuk mencapai standar yang telah ditetapkan orangtua (Baumrind, 1966). c.
Tidak Peduli Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh tidak peduli menunjukkan adanya responsiveness yang rendah dan demaningness yang rendah. Orangtua tidak menunjukkan kehangatan dan komunikasi dua arah, kerena cenderung bersikap mengabaikan dan tidak peduli terhadap anak. Orangtua tidak menetapkan struktur dan aturan yang jelas bagi anak, sehingga anak akan mengalami kebingungan dalam berperilaku. Orangtua tidak menunjukkan dukungan, kontrol, dan pengawasan terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1991).
d.
Autoritatif Baumrind (2005) menyatakan bahwa pola asuh autoritatif menunjukkan adanya responsiveness yang tinggi dan demaningness yang tinggi. Orangtua menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun tetap melakukan kontrol dan mengawasi aktivitas anak. Orangtua berupaya untuk mengarahkan aktivitas anak secara rasional, mendorong anak untuk berani berpendapat melalui dialog secara verbal, mendengarkan pendapat anak, dan bersedia berbagi dengan anak terkait alasan menetapkan suatu aturan. Orangtua memiliki kekuasaan dan memberikan alasan dalam pembentukan aturan yang akan disusun secara objektif berdasarkan hasil keputusan bersama antara orangtua dan anak. Orangtua juga menekankan pada keseimbangan antara kesenangan dan tugas, kebebasan dan tanggungjawab, serta otonomi dan disiplin. Orangtua
37 memiliki keinginan untuk menjatuhkan hukuman yang bijaksana dan terbatas, ketika pemberian hukuman tersebut diperlukan. (Baumrind, 1966). Orangtua akan terlibat secara langsung dalam aktivitas anak, memiliki kejelasan dalam penetapan aturan dan harapan, serta menghargai kemandirian anak dan disiplin anak dengan kelompok. Orangtua akan menerima kualitas anak saat ini, namun tetap adanya ketegasan dalam menetapkan standar dimasa depan dengan memberikan alasan yang rasional untuk membantu anak dalam pencapaian secara objektif (Baumrind, 1968). Karakteristik dari orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif, antara lain asertif tanpa membatasi dan mengganggu anak, memiliki kejelasan dan ketegasan namun terbuka untuk kompromi dan negosiasi, memiliki harapan yang besar terhadap anak, memberikan perlakuan yang menunjukkan kehangatan, empati, cinta yang tidak bersyarat, dan berpusat pada anak. Orangtua akan mendorong anak untuk memiliki rasa individualitas dan kemandirian dengan cara menunjukkan
kehangatan
dan
memahami
pandangan
anak.
Orangtua
membutuhkan kemampuan untuk berperilaku dewasa dalam menerapkan tuntutan dasar dan larangan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Orangtua akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara asertif dalam membuat tuntutan pada anak dengan memberikan penjelasan dan menyesuaikan dengan perilaku anak. Orangtua memiliki alasan dan bersedia melakukan diskusi untuk memperoleh kepatuhan anak, serta bersedia melakukan negosiasi ketika anak merasa keberatan dalam mematuhi aturan yang ada. Orangtua akan memuji pencapaian perilaku yang baik, namun akan memberikan kritik untuk mengubah perilaku yang buruk (Baumrind, 2008).
38 Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola asuh autotitatif adalah tipe pengasuhan orangtua yang memiliki keseimbangan antara responsiveness dan demaningness, dimana orangtua menunjukkan kehangatan, dukungan otonomi, dan komunikasi dua arah, namun tetap melakukan kontrol dan mengawasi aktivitas anak. 3.
Keunggulan dan Kelemahan Masing-Masing Tipe Pola Asuh Menurut Darling (1999) ada beberapa keunggulan dan kelemahan dari masingmasing tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind, yaitu: a. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatrian (rendah pada responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung menunjukkan performa yang cukup baik disekolah dan tidak terlibat dalam masalah perilaku, namun memiliki keterampilan sosial yang kurang baik, harga diri yang rendah, dan tingkat depresi yang tinggi. b. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang permisif (tinggi pada responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung memiliki keterampilan sosial yang baik, harga diri yang tinggi, dan tingkat depresi yang rendah, namun menunjukkan performa yang rendah disekolah dan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam masalah perilaku. c. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang tidak peduli (rendah pada responsiveness dan rendah pada demaningness) cenderung menunjukkan performa yang kurang baik dalam segala bidang. d. Anak dan remaja yang diasuh oleh orangtua yang autoritatif (tinggi pada responsiveness dan tinggi pada demaningness) cenderung memiliki penilaian diri yang objektif, memiliki kompetensi sosial yang lebih baik, dan tidak terlibat dalam
39 masalah perilaku baik pada anak laki-laki ataupun perempuan dalam setiap tahapan perkembangan. 4.
Dimensi-Dimensi Pola Asuh Cross (2009) merumuskan 19 dimensi perilaku orangtua dalam mengasuh anak yang berdasarkan pada affect dan control, yaitu : a.
Pleasure in parental role (Pl) Kesenangan berperan sebagai orang tua adalah menikmati interaksi dengan anak, menampilkan permainan dan humor, dan menunjukkan kesenangan ketika anak berprestasi.
b.
Displeasure in parental role (DP) Ketidaksenangan berperan sebagai orangtua adalah merasa tidak bahagia, menunjukkan kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa terganggu oleh aktivitas anak.
c.
Confident in parental role (Cn) Keyakinan berperan sebagai orangtua adalah memiliki perasaan aman, mampu berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan tangguh dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.
d.
Respect for child’s autonomy (Rt) Menghargai otonomi anak adalah tidak membosankan, mengakui keabsahan dan perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi anak, bernegosiasi dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia produktif anak.
e.
Limit setting (LS) Membatasi pengaturan adalah menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada konflik dan atau ketidakpatuhan.
40 f.
Expressiveness (Ex) Ekspresif adalah tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara langsung perasaan, pikiran, kesenangan, dan kepedihan.
g.
Maturity demand (MD) Tuntutan kematangan adalah menyusun suatu standar yang sesuai dengan kapabilitas dan tahapan perkembangan anak.
h.
Precision in parent’s use if language (Pr) Ketelitian dalam penggunaan bahasa pada orangtua adalah menggunakan bahasa secara jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak, menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian anak.
i.
Structure provided by parent (St) Struktur yang disediakan orangtua adalah memberikan informasi yang adekuat tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir, adanya situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara objektif, menyusun langkah secara logis, dan fleksibel dalam mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dilakukan.
j.
Warmth of parent’s interaction with child (Wm) Kehangatan interaksi orangtua dengan anak adalah menunjukkan penerimaan yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan dukungan emosional pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak sebagai upaya peningkatan diri.
k.
Coldness of parent’s interaction with child (Cl) Interaksi yang dingin antara orangtua dan anak adalah menunjukkan adanya kesendirian dan menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak.
41 l.
Anger (An) Marah adalah tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang diekspresikan oleh orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak langsung.
m. Responsiveness to child (Rn) Responsif terhadap anak adalah mendengarkan ekspresi anak dengan penuh perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku anak, adanya koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan menanggapi kebutuhan anak. n.
Interactiveness (In) Interaktif adalah sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak, keterlibatan orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah.
o.
Creativity (Cr) Kreativitas adalah sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika berinteraksi dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan atau kreatif dalam pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan (orang tua berperan sebagai pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan solusi yang menyenangkan dan yang baru).
p.
Activity (At) Aktivitas adalah tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama berinteraksi, dan gerakan disekitar ruangan.
q.
Happiness (Ha) Kebahagiaan adalah tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal ataupun nonverbal.
42 r.
Sadness (Sa) Kesedihan adalah tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun nonverbal.
s.
Anxiety (Ax) Kecemasan adalah orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas, menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam pemisahan, dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan.
Kesembilanbelas dimensi mental tersebut akan menunjukkan empat tipe pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anak, yaitu Autoritatif, Autoritarian, Permisif, dan Neglectful. Dimensi pola asuh orangtua dapat dilihat pada gambar 1. High Control Authoritarian
MD
LS
St
Pr
Authoritative Rn
At
Negative
DP
An
Affect
Cl
Sa
Ax
Neglectful
In
Cr
Wm
Rt
Pl
Positive
Ha
Ex
Cn
Affect
Permissive Low Control
Gambar 1. Empat Tipe Pola Asuh Orangtua Berdasarkan 19 Dimensi Mental (Cross, 2009)
43 Menurut Cross (2009) tinggi dan rendahnya nilai affect dan control dapat digunakan dalam menggolongkan tipe pola asuh autoritarian, permisif, tidak peduli, dan autoritatif, sebagai berikut: a.
Autoritarian Orangtua dengan pola asuh autoritarian memiliki affect yang negatif dan control yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu: 1) Maturity demand (MD), yaitu menyusun suatu standar yang sesuai dengan kapabilitas dan tahapan perkembangan anak. 2) Structure provided by parent (St), yaitu memberikan informasi yang adekuat tentang apa yang harus dilakukan, memaparkan cara yang terorganisir, adanya situasi yang terstruktur sehingga anak memahami tugas secara objektif,
menyusun
langkah
secara
logis,
dan
fleksibel
dalam
mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dilakukan. 3) Activity (At), yaitu tingkat aktivitas fisik, manipulasi objek selama berinteraksi, dan gerakan disekitar ruangan 4) Displeasure in parental role (DP), yaitu merasa tidak bahagia, menunjukkan kekurangan dalam bertanggungjawab sebagai orangtua, dan merasa terganggu oleh aktivitas anak. 5) Anger (An), yaitu tingkat marah, tidak suka, dan bermusuhan yang diekspresikan oleh orangtua kepada anak secara langsung ataupun tidak langsung 6) Anxiety (Ax), yaitu orangtua yang menunjukkan rasa takut dan cemas, menunjukkan ketidakamanan dalam penerimaan orang lain. Kecemasan dapat diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti, gugup, malu, sulit dalam pemisahan, dan kekhawatiran tentang apa yang oranglain harapkan
44 b.
Permisif Orangtua dengan pola asuh permisif memiliki affect yang positif dan control yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu: 1) Happiness (Ha), yaitu tingkat bahagia yang diekspresikan secara verbal ataupun nonverbal. 2) Expresiveness (Ex), yaitu tingkat dimana orangtua menunjukkan (melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara) atau menyampaikan secara langsung perasaan, pikiran, kesenangan, dan kepedihan. 3) Confident in parental role (Cn), yaitu memiliki perasaan aman, mampu berperan sebagai orangtua secara efektif, bertindak tanpa ragu-ragu, dan tangguh dalam menghadapi perilaku anak yang sulit.
c.
Tidak Peduli Orangtua dengan pola asuh tidak peduli memiliki affect yang negatif dan control yang rendah. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu: 1) Coldness of parent’s interaction with child (Cl), yaitu adanya kesendirian dan orangtua yang menunjukkan ketidaktertaikan dengan anak. 2) Sadness (Sa), yaitu tingkat sedih yang diekspresikan secara verbal ataupun nonverbal.
d.
Autoritatif Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki affect yang positif dan control yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan adanya dimensi yang menonjol, yaitu: 1) Limit setting (LS), yaitu menetapkan harapan pada perilaku anak, adanya konsistensi dalam batasan pengaturan, dan diskusi langsung ketika ada konflik dan atau ketidakpatuhan.
45 2) Precision in parent’s use if language (Pr), yaitu menggunakan bahasa secara jelas, memberikan pertanyaan untuk memastikan pemahaman anak, menggunakan perangkat seperti pengulangan untuk memusatkan perhatian anak 3) Responsiveness to child (Rn), yaitu mendengarkan ekspresi anak dengan penuh perhatian, memberikan saran, memberikan instruksi pada perilaku anak, adanya koordinasi orangtua dengan anak, serta mampu memahami dan menanggapi kebutuhan anak. 4) Interactiveness (In), yaitu sejauh mana pembicaraan orang tua kepada anak, keterlibatan orangtua dengan anak, dan adanya interaksi dua arah. 5) Creativity (Cr), yaitu sejauhmana orang tua memiliki kreativitas ketika berinteraksi dengan anak (orang tua membawa ide-ide baru atau saran), dan atau kreatif dalam pemecahan masalah ketika anak mengalami kesulitan (orang tua berperan sebagai pemecahan masalah yang kreatif, menghasilkan solusi yang menyenangkan dan yang baru). 6) Warmth of parent’s interaction with child (Wm), yaitu menunjukkan penerimaan yang positif dan kasih sayang terhadap anak, memberikan dukungan emosional pada saat yang tepat, autentik, dan mendorong anak sebagai upaya peningkatan diri. 7) Respect for child’s autonomy (Rt), yaitu tidak membosankan, mengakui keabsahan dan perspektif anak ketika anak tidak patuh, mengakui kompetensi anak, bernegosiasi dengan anak, dan menyesuaikan segala hal dengan usia produktif anak.
46 8) Pleasure in parental role (Pl), yaitu menikmati interaksi dengan anak, menampilkan permainan dan humor, dan meunjukkan kesenangan ketika anak berprestasi. Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan dimensi pola asuh autoritatif yang dikemukakan oleh Cross (2009), yaitu Limit setting (LS), Precision in parent’s use if language (Pr), Responsiveness to child (Rn), Interactiveness (In), Creativity (Cr), Warmth of parent’s interaction with child (Wm), Respect for child’s autonomy (Rt), dan Pleasure in parental role (Pl).
D. Efikasi Diri 1.
Definisi Efikasi Diri Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi adalah kemampuan generatif yang meliputi kognitif, sosial, emosional, dan perilaku sebagai bagian dari keterampilan yang harus diorganisir dan diatur dengan efektif untuk mencapai suatu tujuan. Efikasi diri adalah adanya keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengatur dan melaksanakan tugas yang bertujuan untuk menghasilkan suatu pencapaian. Efikasi diri merupakan ranah afektif, dimana individu memiliki keyakinan atas kemampuan diri untuk mempu menyelesaikan tugas dengan berbagai halangan yang akan ditemui dan mampu menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas pada bidang yang berbeda. Efikasi diri merupakan dasar utama dari suatu tindakan. Individu yang merasa tindakan yang dilakukannya dapat memunculkan dampak positif, maka akan bertindak sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Individu yang merasa tindakan yang dilakukannya dapat memunculkan dampak negatif, maka tidak akan berusaha dalam melakukan sesuatu.
47 Menurut Bandura (1997) efikasi diri tidak berfokus pada sejumlah keterampilan yang individu miliki, tetapi bagaimana individu percaya bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu ketika berada dalam berbagai keadaan. Efikasi diri bukan mengukur keterampilan yang dimiliki, tetapi mengukur tentang apa yang dapat dilakukan ketika berada pada berbagai kondisi dengan keterampilan yang dimiliki. Dampak dari efikasi diri dalam kualitas hidup individu tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Feist dan Feist (2013) menyatakan bahwa efikasi diri sebagai keyakinan diri atas kemampuan dalam melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk menjadi sukses. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan lebih memungkinkan untuk sukses dalam suatu pencapaian. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan lebih memungkinkan untuk gagal dalam suatu pencapaian. Efikasi diri bervariasi dari satu situasi ke situasi lain yang dapat ditentukan oleh kompetensi yang dibutuhkan pada aktivitas yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, kompetensi yang dipersepsikan dari orang lain, serta kondisi psikologis seperti kelelahan, kecemasan, apatis, dan ketidakberdayaan (Feist & Feist, 2013). Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan diri untuk berfungsi secara optimal dalam suatu pencapaian yang dilandasi dengan adanya keyakinan yang konsisten dan kuat dalam menyelesaikan berbagai tugas menantang meskipun mengalami berbagai hambatan, karena yakin akan mampu mengaplikasikan kompetensi diri pada bidang tugas yang akan dihadapi.
48 2.
Dimensi Efikasi Diri Bandura (1997) merumuskan bahwa efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu: a.
Level (Tingkat Kesulitan Tugas) Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan level kesulitan tugas yang dapat diselesaikan oleh individu. Tiap individu memiliki level kesulitan tugas yang berbeda-beda. Individu yang memahami kemampuan dalam diri dapat mengukur dan membuat rentang tugas yang mampu diselesaikannya mulai dari tugas dengan tingkat kesulitan ringan hingga tugas dengan tingkat kesulitan berat. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan memiliki keyakinan yang konsisten dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan merasa ragu dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mengalami kegagalan.
b.
Generality (Luas Bidang Perilaku) Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tugas dan perilaku. Pengalaman atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas memunculkan penguasaan terhadap bidang tugas yang serupa. Penguasaan terhadap suatu bidang tugas tertentu, akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri. Generality dapat dinilai dari tingkat aktivitas yang sama dan cara-cara dalam melakukan sesuatu, dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif, dan konatif. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi mampu mengerjakan tugas yang berbeda dengan adanya kemiripan tugas yang pernah dilakukan sebelumnya, karena merasa mampu mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang
49 tugas lainnya. Sebaliknya, individu dengan taraf efikasi diri rendah akan merasa ragu dalam mengaplikasikan kemampuan yang dimiliki ke bidang tugas lainnya. c.
Strength (Kemantapan Keyakinan) Menurut Bandura (1997) dimensi ini berkaitan dengan adanya keyakinan yang kuat, ulet, dan tekun dalam mencapai tujuan meskipun mengalami kesulitan dan hambatan. Individu yang percaya akan kemampuan diri tidak akan mudah menyerah dan tetap bertahan untuk berupaya dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Individu tidak akan mudah menyerah pada kesulitan tugas. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan memiliki ketekunan yang kuat dan merasa adanya peluang keberhasilan dalam suatu pencapaian, walaupun dihadapkan pada tingkat kesulitan tugas yang tinggi. Individu dengan efikasi diri yang rendah akan mudah menyerah dalam menghadapi tugas dan tantangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan diri menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan yang harus dihadapi, bukan sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan dimensi
efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu Level (Tingkat Kesulitan Tugas), Generality (Luas Bidang Perilaku), dan Strength (Kemantapan Keyakinan). 3.
Sumber-Sumber Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) ada empat sumber efikasi diri, yaitu: a.
Enactive Mastery Experience Menurut Bandura (1997) pengalaman individu adalah sumber yang paling memengaruhi efikasi diri. Pengalaman kesuksesan dimasa lalu dapat memberikan bukti yang paling nyata atas kemampuan dalam mencapai kesuksesan. Pengalaman berhasil akan meningkatkan harapan mengenai kemampuan diri,
50 sedangkan pengalaman akan gagal akan menurunkan harapan mengenai kemampuan diri. Individu yang berhasil menyelesaikan tugas tertentu akan memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas-tugas serupa di masa mendatang. Individu yang mengalami keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas atau tantangan akan meningkatkan taraf efikasi diri, semakin sering individu berhasil maka semakin meningkatkan keyakinan atas diri. Adanya kesulitan dapat memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengubah kegagalan menjadi kesuksesan dengan cara mengasah kemampuan individu untuk melakukan kendali yang lebih baik atas suatu peristiwa. b.
Vicarious Experience Menurut Bandura (1997) pengalaman keberhasilan orang lain dapat menjadi sumber dari efikasi diri. Efikasi dapat muncul dengan cara melihat kesuksesan dan keberhasilan orang lain yang dijadikan model atau contoh. Individu dapat berperan sebagai pengamat, sedangkan orang lain dapat berperan sebagai model yang menjadi perantara dalam memengaruhi efikasi diri individu. Efikasi diri dapat dipengaruhi apabila model merupakan sosok yang memiliki kemiripan karakteristik personal dengan individu. Sebaliknya efikasi diri tidak dapat dipengaruhi apabila individu melihat model sebagai sosok yang berbeda dari dirinya. Efikasi diri dapat meningkat saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki kompetensi yang setara dengan diri, namun dapat menurun saat melihat kegagalan orang tersebut. Modelling dapat efektif untuk meningkatkan efikasi diri pada waktu menghadapi tugas dan tantangan.
c.
Verbal Persuasion Menurut Bandura (1997) persuasi verbal dapat menjadi sumber dari efikasi diri. Persuasi verbal berperan sebagai sarana yang dapat memperkuat keyakinan
51 individu bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai hal yang diinginkan. Efikasi diri muncul melalui kepercayaan individu terhadap kemampuan diri dalam mencapai hal yang diinginkan. Persuasi verbal akan efektif diberikan ketika individu sedang berjuang dalam menghadapi kesulitan dan keraguan. Ketika individu mengalami kesulitan maka akan muncul perasaan ragu atas kemampuan diri dan membutuhkan orang lain yang mampu memberikan semangat kepada dirinya. Persuasi verbal dapat meningkatkan dan menurunkan efikasi diri yang ditentukan oleh pihak yang memberikan persuasi dan pihak yang mendapatkan persuasi. Persuasi verbal dapat berperan sebagai tenaga pendorong perubahan diri menuju penilaian yang positif. Individu yang menerima persuasi verbal akan memiliki kemampuan untuk menguasai tugas yang diberikan, dengan upaya yang cenderung lebih besar dan akan bertahan ketika mengalami kesulitan dan keraguan diri. Individu yang menerima persuasi verbal akan lebih bersemangat ketika menghadapi situasi yang sulit, sedangkan individu yang tidak menerima persuasi verbal akan mengalami penurunan semangat karena cenderung mengalami keraguan diri dan memikirkan kekurangan diri. d.
Physiological and Affective States Menurut Bandura (1997) tingkat fisiologis dan suasana hati individu dapat menjadi sumber dari efikasi diri. Individu akan menilai kelelahan, rasa sakit, dan nyeri yang dirasakan sebagai petunjuk tentang efikasi diri, ketika menghadapi aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina. Kondisi tubuh yang sehat dapat meningkatkan efikasi diri, sedangkan kondisi tubuh yang lemah dapat menurunkan efikasi diri. Suasana hati yang positif dapat memengaruhi penilaian terhadap diri yang cenderung positif, sebaliknya suasana hati yang negatif dapat memengaruhi penilaian terhadap diri yang cenderung negatif. Keberhasilan yang
52 dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif dapat meningkatkan efikasi diri, namun keberhasilan yang dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang negatif akan memunculkan underestimate. Kegagalan yang dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang positif akan memunculkan overestimate, namun kegagalan yang dialami ketika individu berada dalam suasana hati yang negatif dapat menurunkan efikasi diri.
E. Perilaku Prososial 1.
Definisi Perilaku Prososial Menurut Baron dan Branscombe (2012), perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan secara individual dan menjadi bagian yang sangat umum dari kehidupan sosial, walaupun pemberi tidak memperoleh manfaat atas tindakan yang dilakukan. Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial mengacu pada tindakan sukarela untuk membantu atau memberikan manfaat bagi orang lain atau kelompok. Perilaku prososial berupa tindakan tanpa paksaan atau tanpa pamrih akan memberikan hasil yang positif bagi orang lain. Perilaku prososial dapat berupa perilaku memberi, bekerjasama, berbagi, membantu, dan menghibur. Eisenberg, Damon, dan Lerner (2006) menambahkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku sukarela yang memberikan keuntungan bagi orang lain untuk meningkatkan kualitas interaksi antar individu dan antar kelompok. Wrightsman dan Deaux (1981) menyatakan bahwa perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang memberikan konsekuensi positif secara sosial yang dapat berkontribusi dalam kesejahteraan fisik atau psikologis. Staub (1978) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi penerima dalam bentuk materi fisik ataupun psikologis. Perilaku prososial diartikan sebagai perilaku yang
53 menguntungkan, tetapi tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi pemberi. Pemberi belum tentu mendapatkan keuntungan, namun bersedia mengorbankan diri sendiri. Millon, Lerner, dan Weiner (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup berbagai tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih orang lain selain diri sendiri. Perilaku prososial dapat berupa perilaku membantu, menghibur, berbagi, dan bekerja sama. Desmita (2009) menambahkan bahwa perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sosial positif yang dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengharapkan reward eksternal yang menguntungkan dan membuat kondisi fisik atau psikis orang lain menjadi lebih baik. Perilaku prososial meliputi membantu atau menolong, berbagi, dan menyumbang. Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup setiap tindakan membantu yang dirancang untuk membantu orang lain dan terlepas dari keinginan untuk disebut sebagai penolong. Perilaku prososial dapat dimulai dari perilaku altruism tanpa pamrih hingga tindakan yang dimotivasi oleh pamrih untuk kepentingan pribadi. Perilaku prososial dipengaruhi oleh tipe relasi antar individu yang dapat dilandasi dengan perasaan suka, merasa memiliki kewajiban, melakukan tanpa pamrih, dan melakukan secara empati. Santrock (2007a) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah adanya kepedulian terhadap keadaan dan hak orang lain, perhatian dan empati terhadap orang lain, serta berbuat sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang lain. Bentuk paling murni dari perilaku prososial adalah altruism. Altruism adalah adanya ketertarikan untuk tidak egois dalam membantu orang lain. Bentuk perilaku prososial lainnya adalah berbagi dan keadilan. Perilaku berbagi dirasakan sebagai suatu kewajiban bagi diri individu, namun bukan berarti individu berpikir bahwa dirinya harus bersikap lebih murah hati terhadap orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku berbagi diperlukan dalam hubungan sosial,
54 terutama saat proses memberi dan menerima orang lain. Keadilan dapat mencakup kesetaraan, kepantasan, dan kebajikan. Kesetaraan berupa kemampuan untuk memperlakukan orang lain secara setara atau sama. Kepantasan berupa memberikan penghargaan lebih terhadap kerja keras, penampilan yang berbakat, dan perilaku terpuji lainnya. Kebajikan berupa memberikan perhatian lebih pada individu dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Keadilan diperlukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang melibatkan proses kolaborasi dan negosiasi. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku sosial dengan tujuan untuk memberikan konsekuensi positif bagi orang lain yang dilakukan secara sukarela atau tanpa pamrih yang didasari dengan adanya kerjasama, perilaku memberi, membantu orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. 2.
Aspek-Aspek Perilaku Prososial Menurut Wrightsman dan Deaux (1981) aspek dari perilaku prososial, yaitu: a.
Cooperating Cooperating adalah kesediaan untuk bekerjasama dan memperoleh keuntungan bersama. Kerjasama dapat ditandai dengan adanya upaya untuk saling berkoordinasi sehingga tindakan bersama yang dilakukan membawa semua pihak lebih dekat dengan tujuan.
b.
Helping Helping adalah perilaku yang lebih memberikan manfaat bagi orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Perilaku menolong merupakan tindakan yang memiliki konsekuensi berupa memberikan keuntungan bagi orang lain.
55 c.
Donating Donating adalah menyediakan barang atau jasa untuk kebutuhan individu atau organisasi. Memberikan sumbangan membutuhkan pengorbanan materi yang tinggi ataupun rendah.
d.
Altruism Altruism berkaitan dengan perilaku memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dan mengalami kesulitan. Altruism adalah bentuk yang sangat khusus berupa perilaku membantu yang bersifat sukarela, berharga, dan termotivasi oleh sesuatu selain adanya hadiah. Individu cenderung lebih mementingkan orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti menggunakan aspek
yang dikemukakan oleh Wrightsman dan Deaux (1981), yaitu Cooperating, Helping, Donating, dan Altruism.
F. Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial Terhadap Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Akhir Kesejahteraan psikologis menjadi faktor penting dalam menentukan kualitas hidup individu. Menurut Ryff (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang membuat hidup bermakna, serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri. Kesejahteraan psikologis memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan, sehingga setiap individu akan berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai kesejahteraan psikologis.
56 Menurut Steinberg (dalam Keresteŝ, Brković, & Jagodić, 2012) transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja adalah periode yang kritis pada siklus kehidupan keluarga, karena membuat perubahan yang besar dalam hubungan keluarga dan memerlukan penyesuaian psikologis pada setiap anggota keluarga. Dukungan yang diperoleh dari keluarga memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan individu (Srimathi & Kumar, 2011). Santrock (2007b) menyatakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode awal dan periode akhir. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja akhir menjadi ambang masa dewasa, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status kedewasaan. Menurut Sarwono (2013) penyesuaian diri menuju kedewasaan yang terjadi pada masa remaja akhir, ditandai dengan adanya minat yang kuat terhadap fungsi-fungsi intelek, keinginan ego untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mengalami pengalaman baru, identitas seksual yang menetap, keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan dapat memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan hal-hal yang bersifat umum. Santrock (2007c) menyatakan bahwa remaja membutuhkan orangtua sebagai manajer dalam kehidupannya yang berperan dalam menemukan informasi, menjalin relasi sosial, membantu menstrukturkan pilihan-pilihannya, dan memberikan bimbingan. Salah satu aspek penting dari peran manajerial pengasuhan orangtua adalah mengawasi anak secara efektif. Penelitian Cripps dan Zyromski (2009) menunjukkan bahwa persepsi remaja tentang pola asuh orangtua berhubungan dengan kesejahteraan psikologis remaja. Penerimaan yang positif atau negatif berdampak pada kesejahteraan psikologis remaja, terutama harga diri, evaluasi diri, dan hubungan dengan teman sebaya. Menurut Baumrind (2008), karakteristik orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif adalah memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan antara responsiveness dan demaningness. Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif, akan mendorong anak untuk berkembang menjadi
57 pribadi yang dapat menerima diri apa adanya, memiliki kompetensi sosial, sikap asertif, dan memiliki independensi, sehingga akan memungkinkan anak untuk mencapai prestasi dan kesuksesan dalam kehidupan. Baumrind (1966) menyatakan bahwa pola asuh autoritatif berhubungan dengan hasil perkembangan yang positif, evaluasi diri yang positif, tingkat harga diri yang tinggi, penyesuaian diri, dan motivasi instrinsik untuk belajar yang tinggi. Penelitian Buri, dkk, (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif yang diterapkan orangtua dengan harga diri remaja. Individu dengan harga diri yang tinggi diprediksi memiliki taraf kesejahteraan psikologis tinggi (Ryff, 2014). Menurut Baumrind (1966) orangtua yang autoritatif
akan
mengembangkan
adanya
keseimbangan
antara
kebebasan
dan
tanggungjawab. Anak yang diasuh dengan pola asuh autoritatif akan merasa memiliki kemandirian, karena orangtua menghormati pendapat anak, memberikan tantangan pada anak, dan adanya kesempatan dalam mengambil keputusan sendiri. Kemandirian menjadikan anak memiliki kemampuan mengatur dan menentukan sendiri segala hal yang dihadapi dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan penelitian Lestari, dkk, (2013) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara pola asuh autoritatif dengan kemandirian. Menurut pendapat Ryff (dalam Papalia, dkk, 2009) pencapaian kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya kemandirian dalam menentukan pilihan dan mengatur perilaku diri sendiri. Ryff (2014) menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis. Individu yang optimis dengan adanya kontrol diri yang baik diprediksi memiliki taraf kesejahteraan tinggi. Individu yang optimis akan memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang dimiliki (Carr, 2004). Menurut Bandura (1997) adanya keyakinan terhadap kemampuan diri merupakan ciri dari individu yang memiliki efikasi diri. Williams (dalam Srimathi & Kumar, 2011)
58 menyatakan
bahwa
penelitian-penelitian
tentang
kebahagiaan
dan
kesejahteraan
mengidentifikasi bahwa efikasi diri merupakan komponen penting dalam pengalaman kesejahteraan individu. Efikasi diri sebagai mekanisme kognitif berperan sebagai mediator penting untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Penelitian Flouri dan Buchanan (dalam Cripps & Zyromski, 2009) menunjukkan bahwa efikasi diri berhubungan positif dengan konsep kebahagiaan dalam kesejahteraan psikologis. Penelitian Srimathi dan Kumar (2011) menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif yang signifikan dengan setiap dimensi kesejahteraan psikologis. Penelitian Mayasari (2014) yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki efikasi diri sosial ditandai dengan adanya keyakinan tentang kemampuan diri untuk memulai dan mempertahankan hubungan sosial, serta mengelola konflik dengan orang lain. Efikasi diri sosial tidak hanya penting dalam hubungan interpersonal, tetapi memiliki peran penting terhadap penyesuaian psikologis dan kesehatan mental. Hubungan yang positif dengan orang lain juga akan meningkatkan pengaruh dimensi-dimensi lain terhadap kesejahteraan psikologis. Bandura (1997) menyatakan bahwa individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan memiliki keyakinan yang konsisten dalam menghadapi tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga memiliki kemungkinan untuk mencapai kesuksesan. Adanya keyakinan yang konsisten berkaitan dengan adanya pemahaman tentang kemampuan dan potensi yang dimiliki. Individu dengan taraf efikasi diri tinggi akan mampu berpikir kreatif, memiliki rasa ingin tahu, dan terbuka terhadap pengalaman sebagai upaya untuk mengembangkan diri. Hal ini sesuai dengan penelitian Kasiati, dkk, (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri dengan kreativitas. Kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru dibutuhkan dalam perkembangan pribadi. Menurut pendapat Ryff (dalam Singh, Mohan, & Anassen, 2012) pencapaian kesejahteraan
59 psikologis ditandai dengan adanya hasrat untuk mengalami perkembangan secara berkesinambungan melalui kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Ryff (1989) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis ditandai dengan kemampuan individu dalam memberikan kontribusi terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Menurut Santrock (2007c) remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya atau kelompok. Penerimaan teman sebaya berkaitan dengan adanya kompetensi sosial yang dapat dikembangkan melalui perilaku prososial. Individu yang bahagia ditandai dengan adanya kemampuan bekerjasama, prososial, murah hati, dan fokus pada kebutuhan orang lain (Kasser & Ryan, dalam Verdugo, dkk, 2011). Individu dengan emosi positif memiliki pikiran prososial dan perilaku membantu orang lain (Schroeder, dkk, dalam Verdugo, dkk, 2011). Santrock (2007a) menyatakan bahwa bentuk paling murni dari perilaku prososial adalah altruism. Altruism adalah adanya ketertarikan untuk tidak egois dalam membantu orang lain. Penelitian Verdugo, dkk, (2011) menunjukkan bahwa altruism memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan psikologis pada remaja. Semakin tinggi altruism, maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis pada remaja. Millon, dkk, (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup berbagai tindakan yang dimaksudkan untuk menguntungkan satu atau lebih orang lain selain diri sendiri. Remaja yang melakukan perilaku prososial akan belajar untuk mengembangkan perasaan empati dalam melakukan perilaku menolong, memberi, berbagi, dan bekerjasama yang dibutuhkan dalam hubungan positif dengan orang lain. Penelitan Putra (2014) menunjukkan bahwa perilaku menolong memiliki hubungan yang positif dan searah dengan konsep diri pada remaja akhir. Individu yang melakukan perilaku menolong memiliki perasaan positif berupa rasa bahagia, bangga, dan harga diri, sehingga akan meningkatkan kepuasan diri dan kesadaran diri akan realitas. Perilaku prososial dapat
60 memengaruhi penilaian pada diri sebagai hasil dari kesadaran diri atas pengalamanpengalaman dalam hidup. Perilaku prososial akan membentuk penilaian diri kearah positif yang berkaitan dengan kemampuan dalam menerima diri apa adanya termasuk kualitas positif dan negatif diri. Menurut pendapat Ryff (dalam Compton, 2005) pencapaian kesejahteraan psikologis ditandai dengan adanya penerimaan terhadap kualitas diri dan kemampuan dalam menjalin hubungan yang positif dengan orang lain. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial memiliki peran terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir, karena remaja mengalami perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional dalam proses mempersiapkan diri memasuki usia dewasa. Diagram peran pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis dapat dilihat pada gambar 2.
61
Pola Asuh Autoritatif
a. b. c. d.
Kehangatan interaksi orangtua dengan anak Tegas dalam mengarahkan perilaku anak Tanggap dalam memenuhi kebutuhan anak Menetapkan perilaku yang diharapkan
Efikasi Diri
a. Level b. Generality c. Strength
Perilaku Prososial
a. b. c. d.
Kesejahteraan Psikologis
a. b. c. d. e. f.
Penerimaan diri Hubungan positif dengan orang lain Kemandirian Penguasaan lingkungan Tujuan hidup Perkembangan Pribadi
Cooperating Helping Donating Altruism
Gambar 2. Diagram Peran Pola Asuh Autoritatif, Efikasi Diri, dan Perilaku Prososial terhadap Kesejahteraan Psikologis
Keterangan Gambar : : Variabel penelitian
: Dimensi dari variabel
: Garis peran
: Garis aspek dari variabel
62 H. Hipotesis Penelitian 1.
Hipotesis Mayor Pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2.
Hipotesis Minor a.
Pola asuh autoritatif berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
b.
Efikasi diri berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
c.
Perilaku prososial berperan terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.