II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar Istilah belajar sebenarnya telah lama dan banyak dikenal. Bahkan banyak ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran diantaranya adalah Sardiman (2008: 21) yang menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya. Lebih lanjut Hamalik (2004 dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi , lebih jauh lagi Slameto (2003: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sebagai akibat dari belajar Abdurrahman (2009: 28) mengemukakan bahwa belajar merupakan proses dari seorang individu yang berupaya mencapai tujuan belajar atau yang disebut hasil belajar, yaitu suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.
9
Terdapat tiga teori utama yang berkaitan dengan belajar, diantaranya adalah teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme. a. Teori belajar behaviorisme menurut Sudjana (2002) bertolak pada asumsi bahwa manusia dapat berperilaku pasif (dikontrol oleh stimulus) dan aktif (dikontrol oleh respon) yang dikenal dengan teori stimulus respon (S R). Belajar dalam teori ini diartikan sebagai kondisi yang menghasilkan perubahan perilaku yang timbul terus menerus. b. Teori belajar kognitivisme Sudjana (2002) menyatakan bahwa teori belajar kognitif mengasumsikan bahwa perilaku manusia bersifat interaktif. Teori ini menekankan pada proses-proses intelektual yang kompleks seperti bahasa, pikiran, pemahaman, dan pemecahan masalah yang merupakan aspek utama dalam pembelajaran. Salah satu tokoh teori belajar ini adalah Gagne. Menurut Gagne (dalam Slameto, 2003) belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Segala sesuatu yang dipelajari manusia terbagi menjadi lima kategori, yaitu keterampilan motoris (koordinasi gerakan badan), informasi verbal (seseorang dapat menjelaskan sesuatu dengan berbicara, menulis, dan menggambar), kemampuan intelektual, strategi kognitif, dan sikap. c. Teori belajar konstruktivisme Teori ini dikembangkan oleh Piaget dan merupakan perkembangan dari teori belajar kognitif. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang didapatnya untuk kemudian menjadi sesuatu yang bermakna. Teori belajar
10
konstruktivisme melibatkan siswa berpikir menyelesaikan masalah, mencari ide, dan membuat keputusan. Siswa juga akan lebih memahami dan mengingat lebih lama apa yang ia pelajari karena siswa terlibat langsung dalam menemukan pengetahuan baru. Hamzah (2008) mengemukakan bahwa teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasi pengalaman mereka. Siswa diutamakan untuk mengonstruksi pengetahuannya melalui asimilasi (penyerapan informasi baru dalam pikiran) dan akomodasi (menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru).
B. Pembelajaran Matematika Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional mendefinisikan pembelajaran sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam definisi lain oleh Association for Education Communication and Technology (AECT) (1986: 195), pembelajaran dipandang sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran di sekolah pada dasarnya adalah proses penciptaan atau pengondisian sebuah lingkungan sekolah atau kelas yang memungkinkan siswa belajar. Dalam sebuah penciptaan dan pengondisian yang ada di kelas, warga kelas memiliki kendali terhadap penciptaan tersebut dan guru menjadi pendesainnya. Dalam pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan pendekatan atau model
11
pembelajaran tertentu. Dalam hal ini seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di kelas. Tugas guru adalah mendesain termasuk memilih model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengendalikan pembelajaran dalam kelas sehingga tercipta suasana kelas dan suasana pembelajaran yang kondusif dan terkondisi untuk belajar. Berkaitan dengan makna belajar dan hasilnya, Winkel (1996: 53) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan serta sikap dan perubahan ini bersifat relatif konstan dan berbekas. Hasil belajar siswa juga ditentukan oleh sejauh mana siswa terlibat secara mental dalam kegiatan belajar. Keterlibatan ini diartikan sampai sejauh mana kedekatan siswa dengan objek belajar. Silberman (2006: 27) mengatakan
Masing-masing cara dalam penyajian konsep akan menentukan pemahaman siswa sehingga jika kedekatan materi belajar terjadi pada siswa maka siswa akan merasakan adanya keterlibatan mental. Dengan kata lain, pendekatan atau model pembelajaran yang digunakan guru menentukan sampai sejauh mana keterlibatan siswa secara mental dalam proses belajar. Pendekatan dan proses pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan atau isi dari suatu pengalaman yang diperoleh siswa terkait dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan. Hal ini berarti pendekatan atau model pembelajaran merupakan faktor dominan dalam menentukan hasil belajar siswa. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pendekatan atau model yang digunakan dalam suatu pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan pengalalaman
12
yang dapat diperoleh siswa, karenanya pendekatan atau model pembelajaran harus sedemikian rupa dirancang hingga memuat semua dimensi belajar. Marzano, Pickering, dan McTighe dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1995: 11) menyatakan bahwa peristiwa belajar sebagai proses yang saling berkaitan antara lima dimensi, yaitu (a) dimensi pertama adalah sikap dan persepsi yang positif mengenai belajar, (b) dimensi kedua adalah memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (c) dimensi ketiga adalah memperluas dan memperbaiki pengetahuan, (d) dimensi keempat adalah menggunakan pengetahuan secara bermakna, dan (e) dimensi kelima adalah kebiasaan yang produktif dari pikirannya. Matematika sekolah yang selanjutnya disebut matematika merupakan pelajaran di sekolah yang memuat materi dengan karakteristik yang khas. Ditinjau dari sudut pandang matematika sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Maier (1985: 8-9) mengemukakan empat konsepsi: (1) Matematika berorientasi formalis, (2) Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya, (3) Heuristik yaitu sistem pelajarnya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri dalam pelajaran matematika, dan (4) Matematika sebagai perkakas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ebbutt dan Straker dalam Depdiknas (2006: 3-6) mendefinisikan matematika sebagai berikut: (a) Matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan, (b) Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, (c) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), dan (d) Matematika sebagai alat berkomunikasi. Sedangkan materi pelajaran matematika diklasifikasikan sebagai berikut: (a) fakta (facts), (b) pengertian (concepts), (c) keterampilan penalaran, (d) keterampilan algoritmik, (e)
13
keterampilan menyelesaikan masalah matematika (problem solving), dan (f) keterampilan melakukan penyelidikan (investigation).
C. Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan salah satu bentuk model pembelajaran sosial yang didasarkan pada teori belajar konstruktivisme. Budi Usodo (2008: 13) menjelaskan bahwa siswa yang belajar dalam kelompok kooperatif akan lebih baik daripada siswa yang belajar secara individual karena didasarkan pada teori berikut : 1) Motivasi Struktur tujuan kooperatif menciptakan situasi yang memotivasi siswa agar berhasil mencapai tujuan pribadi masing-masing anggota dengan lebih dahulu mewujudkan tujuan kelompok. 2) Kognitif Teori kognitif dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu teori perkembangan dan elaborasi kognitif. a) Teori Perkembangan Interaksi dengan teman sebaya ternyata memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa. Siswa terkadang dapat melakukan tugas menyampaikan ide-ide yang sulit dengan baik melalui ungkapan yang dapat diterima dan dimengerti oleh teman sebaya karena dalam dirinya terdapat kesamaan persepsi untuk membuat dirinya mampu dan percaya diri sehingga berani untuk mengungkapkan ide tersebut. Siswa dan teman sebayanya akan mengubah bahasa pendidik (guru) ke dalam bahasa mereka. Pendapat Vygotsky dalam (Slavin, 2005) mendefinisikan suatu teori
14
perkembangan yang kemudian dikenal dengan Zone Proximum Development (ZPD). Dalam pandangannya, aktivitas siswa menjanjikan suatu perkembangan. Apabila siswa pada tingkatan usia yang sama taraf kesulitannya berkisar pada ZPD siswa. Hasil yang diperoleh pun jauh lebih memuaskan dibandingkan jika siswa bekerja secara individual. b) Teori Elaborasi Kognitif Agar pengolahan informasi dapat berlangsung dengan baik diperlukan beberapa kegiatan terstruktur dan terkoordinasi atau elaborasi kognitif terhadap suatu materi pembelajaran. Salah satu elaboratif yang paling efektif adalah presentasi yaitu siswa menjelaskan suatu materi kepada temannya. Dalam presentasi tersebut terdapat pembicara dan pendengar, dan diantara keduanya diharapkan terjadi komunikasi dan interaksi sehingga baik pembicara maupun pendengar akan dapat mengumpulkan pengalaman belajar lebih banyak. Apabila dibandingkan dengan belajar sendiri, pembicara akan belajar dengan lebih baik karena secara logika jika pembicara tersebut telah mampu menjelaskan materi pada teman-temannya secara tidak langsung tentu pembicara harus sudah menguasai materi dengan baik.
Pembelajaran kooperatif, menurut Slavin (2005: 4) merupakan pembelajaran yang merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana siswa berkerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan beragumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Abdurrahman (2009: 123) mengungkapkan ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
15
1) Saling ketergantungan positif yang menuntut tiap anggota kelompok saling membentu demi keberhasilan kelompok. 2) Akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan bahan pelajaran tiap anggota kelompok dan kelompok diberikan balikan tentang prestasi belajar anggota-anggota kelompoknya, sehingga mereka saling mengetahui teman yang memerlukan bantuan. 3) Terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki karakteristik heterogen. 4) Pemimpin kelompok dipilih secara demokratis. 5) Semua anggota harus saling membantu dan saling memberi motivasi. 6) Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas, tetapi juga pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok. 7) Keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kerja gotong royong, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. 8) Pada saat pembelajaran kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi terhadap komponen-komponen belajar dan melakukan intervensi jika terjadi masalah antar anggota kelompok. 9) Guru memperhatikan proses keefektifan proses belajar kelompok. Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil saat proses pembelajaran berlangsung, sehingga di dalam kelompok tersebut terjadi aktivitas siswa seperti saling berdiskusi dan beragumentasi, saling membantu, mengasah kemampuan yang dimiliki, menutup kesenjangan dalam pemahaman, dan mengembangkan rasa kepercayaan terhadap sesama teman.
16
D. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Salah satu model pembelajaran kooperatif yang sederhana adalah Student Teams Achievement Divisions (STAD). STAD merupakan model yang baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pembelajaran kooperatif. Sejalan dengan teori belajar kontruktivisme, model pembelajaran STAD dapat membantu siswa mengonstruksi pengetahuannya lewat dirinya sendiri maupun melalui interaksi dengan orang lain secara berkelompok. Menurut Slavin (2005: 143-146) STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim. a.
Presentasi Kelas Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas.Ini merupakan pengajaran langsung atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru. Presentasi kelas ini sama dengan pengajaran biasa hanya berbeda pada pemfokusan terhadap STAD. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka harus memperhatikan seksama selama presentasi kelas karena akan membantu mereka dalam mengerjakan kuiskuis, dan skor kuis mereka menentukan skor tim mereka. b. Tim Tim terdiri dari 4
5 anggota kelompok dengan memperhatikan perbedaan
kemampuan, jenis kelamin, ras atau suku. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Tim adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Pada tiap poinnya, yang ditekankan adalah membuat anggota tim
17
melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. c. Kuis Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, siswa diberikan kuis atau tes individu. Pada saat tes siswa tidak diperbolehkan membantu satu sama lain. Sehingga, tiap siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya. Tes ini dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa. d. Skor Kemajuan Individual Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang dapat dicapai apabila mereka belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam sistem skor ini, tetapi tidak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa
yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis. Siswa selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasar tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka. Kriteria pemberian poin peningkatan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Poin Peningkatan Skor Kuis Terakhir Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar 10 poin 1 poin di bawah skor dasar Skor dasar sampai 10 poin di atasnya Lebih dari 10 poin di atas skor dasar Nilai sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar)
(Slavin, 2005: 159)
Poin Peningkatan 5 poin 10 poin 20 poin 30 poin 30 poin
18
e. Rekognisi Tim Rekognisi/penghargaan akan diberikan berdasarkan poin peningkatan kelompok. Skor kelompok adalah rata-rata dari peningkatan individu dalam kelompok tersebut. Untuk menghitung peningkatan skor kelompok digunakan rumus:
Pk =
jumlah poin peningka tan individu setiap kelompok banyaknya anggota kelompok
Pk = poin perkembangan kelompok Kelompok yang memperoleh poin sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan berhak memperoleh penghargaan. Berdasarkan poin perkembangan kelompok terdapat 3 tingkatan penghargaan yang diberikan seperti pada tabel berikut: Tabel 2.2 Kriteria Poin Perkembangan Kelompok Perkembangan Pk < 15 poin
Penghargaan Baik Hebat Super Hebat
(Slavin, 2009: 160) E. Hasil Belajar Belajar merupakan interaksi antara keadaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulasi dari lingkungan. Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Hal ini sejalan dengan teori belajar kognitivisme. Teori ini menekankan pada proses-proses intelektual yang kompleks seperti bahasa, pikiran, pemahaman, dan pemecahan masalah yang
19
merupakan aspek utama dalam pembelajaran. Gagne (dalam Dimyati dan Mujiono, 2002: 10) menyatakan kelima hasil belajar tersebut sebagai berikut: 1.
Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilihan informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan.
2.
Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan definisi, dan prinsip.
3.
Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4.
Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5.
Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut.
Dimyati dan Mujiono (2002: 3) mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru tindakan mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar, sedangkan dari sisi siswa hasil belajar merupakan puncak proses belajar. Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses belajar adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes. Hamalik (2002: 146) menyatakan bahwa hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau
20
sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar setiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian dan yang berwujud karya atau benda. Semua hasil belajar tersebut merupakan bahan yang berharga bagi guru dan siswa. Bagi guru, hasil belajar siswa di kelasnya berguna untuk melakukan perbaikan tindak mengajar atau evaluasi. Bagi siswa, hasil belajar tersebut berguna untuk memperbaiki cara-cara belajar lebih lanjut.
F. Disposisi Matematis Pada teori belajar behaviorisme, belajar diartikan sebagai kondisi yang menghasilkan perubahan perilaku yang timbul terus menerus. Oleh karena itu pembelajaran yang baik haruslah mampu mengubah perilaku manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu perilaku baik dalam matematika yang dapat dipengaruhi oleh pembelajaran adalah disposisi matematis. Mulyana (2009: 29) mengemukakan disposisi matematis merupakan kecenderungan siswa dalam memandang dan bersikap terhadap matematika, serta bertindak ketika belajar matematika. Siswa memerlukan disposisi yang akan menjadikan mereka gigih dalam menghadapi masalah yang lebih menantang, untuk bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri, serta untuk mengembangkan kebiasaan baik di matematika. Misalnya ketika siswa dapat menyelesaikan suatu permasalan, maka sikap dan keyakinannya sebagai seorang
21
pelajar akan menjadi lebih positif. Semakin banyak konsep matematika yang dipahami, maka siswa akan semakin yakin bahwa matematika dapat dikuasai. Menurut Sumarmo (2006: 54), disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanankan berbagai kegiatan matematika. Terdapat hubungan yang erat antara disposisi matematis dan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika selain untuk meningkatkan hasil belajar atau aspek kognitif siswa, haruslah juga memperhatikan aspek afektif siswa, yaitu disposisi matematis. Pembelajaran matematika di kelas harus dirancang khusus sehingga selain dapat meningkatkan hasil belajar siswa juga dapat meningkatkan disposisi matematis. Menurut Maxwell (2001), disposisi matematis terdiri dari (1) inclination (kecenderungan), yaitu bagaimana sikap siswa terhadap tugas-tugas; (2) sensitivity (kepekaan), yaitu bagaimana kesiapan siswa dalam mengahadapi tugas; (3) ability (kemampuan), yaitu bagaimana siswa focus untuk menyelesaikan tugas secara lengkap; dan (4) enjoyment (kesenangan), yaitu bagaimana tingkah laku siswa dalam menyelesaikan tugas. Lebih lanjut Wardani (2009: 76) mengungkapkan aspek-aspek yang diukur pada disposisi matematis antara lain: 1. Kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap kemampuan. 2. Keingintahuan dengan indikator sering mengajukan pertanyaan, antusias/semangat belajar, dan banyak membaca/mencari sumber lain. 3. Ketekunan dengan indikator gigih, perhatian, dan sungguh-sungguh. 4. Fleksibilitas dengan indikator kerja sama atau berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, dan berusaha mencari solusi lain.
22
5. Reflektif dengan indikator senang terhadap matematika.
G. Peran Kemampuan Awal dalam Belajar Matematika Dalam proses belajar, untuk memahami hal-hal baru orang memerlukan modal berupa kemampuan yang telah melekat padanya dan yang terkait dengan hal baru yang akan dipelajari tersebut. Kemampuan yang telah melekat pada seseorang dan yang terkait dengan hal baru yang akan dipelajari selanjutnya disebut kemampuan awal. Muh Ali (1987: 74) berpendapat bahwa seseorang dapat memiliki suatu kemampuan dengan baik bila sebelumnya telah memiliki kemampuan yang lebih rendah daripadanya dalam bidang yang sama. Senada dengan pendapat tersebut, Peaget dalam Paul Suparno (1997: 20-21) menyatakan bahwa setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Hal ini mengacu pada pendapatnya tentang aspek berfikir operatif yang berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain dan berfikir operasi inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi. Dalam teori skema proses belajar adalah proses membentuk dan mengubah skema. Jonassen, dkk dalam Paul Suparno (1997: 55) menyatakan skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Skema disusun dalam suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Berdasarkan pendapat inilah Paul Suparno (1997: 55-64) menyatakan
23
bahwa proses belajar merupakan proses membentuk dan mengubah skema. Dalam proses belajar, orang mengadakan perubahan skemanya baik dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali skema lama. Perubahan skema yang kuat terjadi bila orang mengadakan akomodasi (mengubah konsep yang tidak sesuai) terhadap skema yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomen yang baru, dan perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi (menggunakan) skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Selanjutnya, bila dalam proses belajar terjadi perubahan yang kuat artinya siswa melakukan proses akomodasi maka hasil belajar yang diperoleh siswa tersebut akan lebih baik dari siswa yang dalam proses belajar hanya melakukan proses asimilasi. Proses belajar tersebut adalah proses yang aktif dan beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif, dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Demikian halnya dalam bidang matematika, karena matematika merupakan ilmu yang abstrak dan bersruktur sehingga cara memikirkannya harus menggunakan abstraksi dan generalisasi, maka kesiapan intelektual merupakan syarat mutlak bagi seseorang untuk mempelajari matematika. Herman Hudoyo (1979: 93) menyatakan dalam belajar matematika bila konsep A dan konsep B mendasari konsep C, maka konsep C tidak mungkin dipelajari sebelum konsep A dan B dipelajari terlebih dahulu. Demikian pula konsep D baru dapat dipelajari bila konsep C yang mendahuluinya sudah dipahami, dan seterusnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal matematika siswa sebagai pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya merupakan pengetahuan yang memungkinkan siswa mengembangkan pengetahuan
24
matematikanya pada tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain kemampuan awal matematika siswa yang merupakan representasi dari sekumpulan pengetahuan dan pengalaman tentang matematika yang telah dimiliki siswa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar matematikanya.
H. Kerangka Pikir Selain aspek kognitif yang berupa hasil belajar, aspek afektif berupa disposisi matematis juga harus diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Kedua hal ini diperoleh dari pembelajaran matematika yang didesain guru. Dalam penelitian ini model pembelajaran yang digunakan guru adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional. Proses belajar bagi siswa dengan pembelajaran konvensional lebih sedikit dibandingkan peran guru sebagai pemberi informasi, sedangkan pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan pada proses belajar bagi siswa dimana siswa mengonstruksikan informasi sendiri dengan bantuan teman sebayanya. Proses pembelajaran kooperatif tipe STAD menuntut siswa aktif bersama kelompoknya untuk menyusun algoritma pengetahuan ke dalam pengetahuannya. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang menekankan pada learning community lebih memberikan pengalaman belajar bagi siswa, sehingga pembelajaran matematika akan lebih bermakna bagi siswa selanjutnya siswa akan terlibat langsung secara personal dan secara kelompok dalam aktivitas matematika Model ini juga memberikan kebebasan pada siswa untuk mengonstruksi informasi dalam pengetahuannya lewat tanya jawab, belajar kelompok maupun bertanya pada guru. Pembelajaran kooperatif tipe STAD
25
membawa pembelajaran bersifat interaktif yakni terjadi komunikasi banyak arah antar siswa-siswa dan guru-siswa. Hal ini yang akan mendorong rasa ingin tahu siswa karena keterbatasan jarak antara guru dengan siswa sangatlah pendek. Kepercayaan diri siswa akan jauh lebih besar karena mereka merasa informasi dapat mereka dapatkan lewat siapa saja. Dengan demikian, siswa akan masuk dalam zona nyaman dalam belajar. Bagi siswa kondisi seperti ini akan lebih menyenangkan. Oleh karena itu, pengalaman belajar yang diperoleh melalui pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD mungkin akan mampu membuat siswa merasa lebih nyaman dalam belajar sehingga dapat menghasilkan hasil belajar dan disposisi matematis yang memuaskan. Dalam pembelajaran konvensional, sering kali siswa berusaha untuk menyelesaikan sendiri kesulitan yang ada tanpa mengomunikasikannya dengan siswa lain atau guru. Selain itu pada pembelajaran konvensional guru lebih banyak memberikan materi atau latihan soal sementara siswa mencatat materi dari guru tanpa harus mengembangkan materi tersebut. Pembelajaran ini dapat dikatakan sangat atau agak individualistis yaitu kemajuan siswa dalam belajar mengikuti jalannya sendiri, tidak ada kontak sosial dan tidak ada interaksi. Oleh karenanya, pembelajaran konvensional tidak mampu mendorong siswa masuk dalam zona nyaman dalam belajar. Hal ini justru akan membuat siswa merasa bosan dalam belajar yang nantinya mungkin akan mengakibatkan hasil belajar dan disposisi matematis siswa menjadi rendah. Karakteristik matematika yang tersusun secara hierarkis, meletakkan kemampuan awal matematika siswa yang merupakan representasi dari sekumpulan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang matematika memungkinkan siswa mengembangkan pengetahuan matematika pada tingkatan yang lebih tinggi.
26
Dengan kata lain, kemampuan awal matematika siswa sebagai pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya merupakan faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar matematika. Kemampuan awal matematika siswa dan pengalaman siswa selama proses belajar berlangsung merupakan modal bagi siswa dalam membangun konsep matematika yang dimiliki dan disposisi matematisnya. Ini berarti pada pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD akan mencapai hasil belajar dan disposisi matematis yang baik jika ditinjau dari masing-masing tingkat kemampuan awal.
I. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. 2) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh terhadap hasil belajar siswa jika ditinjau dari masing-masing tingkat kemampuan awal. 3) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa. 4) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa jika ditinjau dari masing-masing tingkat kemampuan awal.