1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang pengelolaan lingkungan sangat mudah ditemukan dan telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dipublikasikan. Umumnya penelitian tentang lingkungan banyak dalam bentuk mengevaluasi dampak lingkungan dari kegiatan operasional perusahaan, baik itu di industri yang memproduksi barang, industri jasa, dan juga di pariwisata. Kondisi ini berbeda dengan penelitian yang membahas dampak kegiatan operasional hotel pada lingkungan sekitarnya. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian pengelolaan pariwisata dan perhotelan yang berdampak pada lingkungan yang sudah dipublikasikan.
2.1.1. Penelitian Pengelolaan Lingkungan dan Dampaknya pada Pariwisata Devis dan Cahill (2000), melakukan studi tentang dampak lingkungan dari industri pariwisata, Industri ritel ketiga terbesar di Amerika Serikat, khususnya pada dampak industri pariwisata terhadap kualitas lingkungan. Penelitian ini menggunakan kerangka yang dikembangkan dari konsep ekologi industri untuk menilai dampak industri pariwisata terhadap lingkungan. Tiga kategori dampak yang dibahas: dampak hulu, yang dihasilkan dari kemampuan penyedia layanan perjalanan untuk mempengaruhi pemasok; dan dampak hilir, di mana penyedia layanan dapat mempengaruhi pola perilaku atau konsumsi pelanggan. Studi ini mengidentifikasi dampak dari wisatawan terkait transportasi, termasuk pesawat 17
2
terbang, mobil, dan rekreasi darat dan kapal pesiar; dalam kaitan wisatawan dan pembangunan, kegiatan wisatawan, dan dampak langsung industri penginapan dan pelayaran. Hasilnya menunjukan bahwa kesempatan untuk meningkatkan industri pariwisata dari hulu ke hilir cukup besar. Hotel bisa mempengaruhi pemasoknya untuk menyediakan produk yang ramah lingkungan, seperti penyediaan perlengkapan untuk mandi dari bahan daur ulang. Demikian pula, industri pelayaran dapat menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan pemasok untuk meningkatkan kualitas lingkungan dari produknya. Agen perjalanan dan Biro Perjalanan Wisata dapat mempengaruhi dan mendidik wisatawan tentang bagaimana cara untuk meminimalkan dampak kegiatannya terhadap lingkungan. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Baysan (2001), dimana perbedaan dalam kesadaran lingkungan pada wisatawan sangat terkait dengan perbedaan kebangsaan, dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan wisatawan. Hasil analisisnya menyatakan bahwa wisatawan Jerman lebih sadar lingkungan dari pada wisatawan Rusia maupun Turki. Juga ada perbedaan kebangsaan dalam kesediaan untuk membayar proses pelestarian lingkungan. Penelitian ini mensurvei responden wisatawan yang berkebangsaan Jerman, Rusia dan Turki, kuesionernya diterjemahkan ke dalam tiga bahasa asal responden tersebut. Hal ini membuktikan bahwa ada kepedulian wisatawan mengenai dampaknya pada lingkungan pariwisata, khususnya kesediaan wisatawan untuk membayar dan sikapnya terhadap lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan di daerah pariwisata Kemer, Antalya, di Turki.
3
Selanjutnya analisis Buultjens dan Davis (2001:40) mulai mengkaitkan aktivitas wisatawan dengan pemanasan global, dimana dinyatakan bahwa sudah banyak bukti yang membuktikan bahwa pemanasan global adalah hasil dari aktivitas wisatawan dan hal ini cenderung memiliki konsekuensi serius dalam waktu yang relatif dekat. Pariwisata berbasis alam memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan jika terus dilakukan tanpa manajemen yang efektif. Manajemen yang efektif ini adalah menggunakan berbagai instrumen perencanaan untuk menentukan berkelanjutan tingkat pemanfaatan, dan instrumen ekonomi juga berharga dalam memastikan pemanfaatan sumber daya lingkungan, dan bagaimana hal ini dapat digunakan bersama-sama untuk menentukan bentuk pengelolaan yang berkelanjutan. Sonak (2004:2) melangkah lebih maju lagi dengan mengembangkan metode baru dengan menggunakan konsep The Ecological Footprint of Tourism (jejak ekologis pariwisata) untuk menilai dampak lingkungan dari kegiatan industri pariwisata. Konsep ini menyajikan sebuah pendekatan untuk memperkirakan jejak produksi kegiatan pariwisata di tingkat lokal. Jejak ekologis pariwisata merupakan indikator dampak dan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur keberlanjutan kegiatan pembangunan, membangun strategi manajemen, yang memperhitungkan kesehatan ekosistem, sederhana untuk dipahami dan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan. Lebih
lanjut
dari
sekedar
menyajikan
sebuah
pendekatan
untuk
memperkirakan jejak produksi kegiatan pariwisata menggunakan jejak ekologis pariwisata, Cetron (2007:37) menyatakan banyak yang mencari cara untuk
4
mengurangi dampak lingkungan dari perjalanan wisatwan dalam industri perjalanan dan industri pariwisata, diantaranya dengan mengurangi emisi karbon industri perjalanan, menghemat energi, dan pada saat yang sama, lebih peduli dengan industri yang semakin hijau, karena meningkatnya jumlah wisatawan yang melakukan perjalanan wisata juga adalah salah satu penyebab terjadinya pemanasan global saat ini. Jika ditelusuri lebih dalam ternyata wisatawan juga bertanya-tanya bagaimana cara mereka dapat mengurangi kontribusi dari aktivitas perjalanan mereka terhadap masalah pemanasan global ini. Terryn (2011:143) melakukan pengkajian hal ini dengan menggunakan the Ecological Modernisation Theory (EMT) sebagai paradigma kebijakan lingkungan. Untuk mengatasi tantangan dan ancaman pariwisata saat ini, sangat penting menurutnya untuk men setting kembali sebuah model kebijakan yang inovatif, untuk membawa perspektif baru, interaksi antara para pemangku kepentingan dan instrumen kebijakan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan. Untuk itu dalam industri pariwisata diperlukan pengenalan teknologi baru dan strategi manajemen ditingkat perusahaan untuk membawa manfaat ekonomi dan lingkungan, karena destinasi pariwisata yang memiliki daya saing, sukses secara komersial, dan berkelanjutan adalah tujuan utama yang dikehendaki semua orang. Faraji rad dan Aghajani (2010), menyimpulkan semuanya dengan menyatakan bahwa kebutuhan melestarikan aset dunia untuk generasi yang akan datang menjadi agenda penting tidak hanya untuk industri pariwisata dan Biro Perjalanan Wisata, tetapi juga untuk semua industri lain yang menggunakan sumber daya alam di Bumi. Hal ini dinyatakannya untuk menjawab bagaimana
5
hubungan antara pariwisata dan lingkungan. Pariwisata sebagai salah satu industri tercepat perkembangannya di dunia, memiliki banyak dampak, baik positif dan negatif pada lingkungan. Dampak negatif akan muncul jika jumlah pengunjung melampaui daya dukung lingkungan. Dampak positif akan muncul jika setiap wisatawan memahami konsep utama dari pelestarian lingkungan dan pariwisata yang berkelanjutan dengan hati, bukan hanya dengan mendiskusikannya.
2.1.2. Penelitian Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan Industri perhotelan selama ini dikenal sebagai salah satu industri yang paling pesat perkembangannya dan industri ini hanya sedikit yang dipengaruhi oleh peraturan lingkungan, dan sejauh mana hotel merespon masalah lingkungan. Lorente et al. (2003), menganalisisnya menggunakan teori stakeholder (pemangku kepentingan) untuk mengeksplorasi sejauh mana praktik pengelolaan lingkungan pada 279 hotel Spanyol didorong oleh (i) upaya untuk meningkatkan legitimasi perusahaan, dan (ii) respon terhadap tekanan yang timbul dari para pemangku kepentingan yang kuat. Hasilnya menunjukkan bahwa praktik pengelolaan lingkungan hotel merupakan respon hotel sebagai sebuah organisasi terhadap tuntutan lingkungan dari pemangku kepentingan, dan hal ini tergantung pada (i) kekuatan pemangku kepentingan menyelesaikan isu-isu lingkungan, (ii) untuk melindungi lingkungan, dan (iii) dirasakan adanya keuntungan ekonomi dari kegiatan pengelolaan lingkungan.
6
2.1.2.1. Penelitian Sertifikasi Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan Lebih lanjut terkait dengan kekuatan pemangku kepentingan menyelesaikan isu-isu
lingkungan,
untuk
melindungi
lingkungan
Rivera
(2004:779),
mengidentifikasi bagaimana kekuatan institusional, seperti tekanan peraturan dan pemangku kepentingan, terkait dengan perilaku lingkungan proaktif dengan fasilitas hotel yang berpartisipasi dalam Certification for Sustainable Tourism, program lingkungan sukarela didirikan oleh pemerintah Kosta Rika. Program ini adalah salah satu inisiatif pertama pihak ketiga berbasis kinerja sertifikasi lingkungan diterapkan pada negara berkembang. Temuan menunjukkan bahwa program-program lingkungan sukarela yang mencakup standar berbasis kinerja dan pemantauan pihak ketiga efektif dalam mempromosikan kepatuhan perilaku lingkungan ketika program-program lingkungan ini dilengkapi oleh adanya tekanan kelembagaan pemerintah dan asosiasi (pemangku kepentingan). Anehnya, temuan juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan hotel lokal, kinerja lingkungan hotel chain dan multinasional tidak signifikan berkorelasi dan memiliki partisipasi yang lebih tinggi/unggul. Lebih lanjut Bohdanowicz et al. (2005:1642), juga mengkonfirmasi temuaan yang hampir sama setelah membandingkan empat skema benchmarking berdasarkan alat yang dikembangkan oleh berbagai organisasi diantaranya Green Globes 21 (GG21), the Green Globes Canada (GGC), International Hotel Environmental Initiative (IHEI) benchmark hotel, and Hilton Environmental Reporting (HER), dan diikuti dengan diskusi tentang relevansi dan kegunaannya untuk sektor perhotelan. Hasil yang didapatkannya menyatakan bahwa potensi
7
menerapkan
praktek-praktek
yang
lebih
berkelanjutan
di
sektor
hotel
membutuhkan ketersediaan alat yang dapat diandalkan untuk penilaian dan benchmarking kinerja lingkungan dari hotel tersebut. Sejumlah alat tersebut telah dikembangkan oleh organisasi lingkungan internasional, asosiasi-asosiasi cabang organisasi lingkungan internasional dan bahkan hotel itu sendiri. Skema-skema tersebut berbeda terkait dengan kondisi geografis/iklim daerah tersebut, termasuk jenis fasilitas hotel, detail informasi lingkungan yang diperlukan, metode benchmarking, keramahtamahan user dan biaya pelaksanaan skema tersebut. Mengembangkan dan membuat alat yang dapat diandalkan tersedia untuk benchmarking kinerja lingkungan adalah langkah-langkah penting dalam upaya untuk keberlanjutan fasilitas hotel. Sesuai dengan hasil sebelumnya terkait dengan benchmarking kinerja lingkungan Vähätiitto (2010:1) meneliti tentang model bagaimana cara hotel nonchain di Lapland Finlandia mengelola aspek lingkungan bisnis dan meningkatkan kualitas lingkungan, dilihat dari bagaimana status pengelolaannya saat ini, penanganan isu-isu lingkungan dalam bisnis perhotelan, dan juga definisi konsep kualitas lingkungan, menggunakan teori Total Quality Management Lingkungan (TQM), Environmental Management Systems (EMS) seperti ISO 14001 dan European Union’s Environmental Management and Audit Scheme (EMAS) dan skema eco-label yang bersertifikat (the Nordic eco-label Swan), serta parameter fisiknya adalah data energi, air, limbah dan konsumsi bahan kimia di hotel. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hotel K5 Levi sebenarnya hotel yang cukup ramah terhadap lingkungan dilihat dari tingkat konsumsi energi dan air. Namun, untuk
8
analisis dampak lingkungan pengelolaan limbah dan penggunaan bahan kimia beberapa sistem pengukuran tetap harus dikembangkan, serta perlu ada bimbingan untuk mengembangkan pengelolaan lingkungan pada tingkat strategis di hotel. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa tidak ada kualitas lingkungan dan manajemen bersadarkan teori yang dianalisis yang menawarkan solusi siap untuk sebuah hotel untuk mulai mengelola kualitas lingkungan. Skema The Nordic ecolabel Swan tampaknya paling komprehensif diantara yang lain namun tidak mempertimbangkan biaya lingkungan. Hasil yang sama juga dinyatakan oleh Priego et al. (2011:361) yang menganalisis proses pengambilan keputusan oleh manajemen terhadap lingkungan dari sudut motivasi dan proses pengambilan keputusan, untuk memahami alasanalasan perilaku pro-lingkungan oleh manajemen pada hotel-hotel yang bersertifikat EMAS di Spanyol. Metode Mixed methods untuk mempelajari persepsi manajemen pada hotel-hotel yang bersertifikat EMAS dan alasan untuk menjadi bersertifikat, dengan triangulasi, wawancara ahli dan bukti dokumenter. Empat kelompok hotel dibedakan: Hotel Strategis (22%) (dengan tingkat pengelolaan lingkungan terpadu), Pengikut (48%), Greenwashers (11%), dan Laggers (19%) (dengan rendahnya tingkat pengelolaan lingkungan terpadu). Sebagian besar hotel ditemukan memiliki dorongan internal dalam tujuan mereka dan diatur pada pengambilan keputusan mereka, walaupun dengan pemahaman yang terbatas tentang manfaat dari dorongan eksternal dan motivasi untuk sistem manajemen yang lebih sistematis. Pertanyaan ini adalah keberhasilan EMAS baik sebagai manajemen yang terus-menerus diperbaiki dan sebagai pasar yang
9
berbasis alat regulasi untuk hotel. Pada beberapa hotel, harus memiliki standar lingkungan yang tinggi secara keseluruhan untuk memperoleh keuntungan pasar, dan menghindari tantangan hukum.
2.1.2.2. Penelitian Proses Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan Kepedulian pada proses pengelolaan lingkungan pada perhotelan selain berkaitan
dengan
keuntungan
ekonomi
juga
berkaitan
dengan
kinerja
lingkungannya yang lebih tinggi. Moreno et al. (2004) menganalisis strategi lingkungan yang diterapkan dalam industri jasa dan dampaknya terhadap kinerja perusahaan dari 268 hotel di Spanyol (yang dikategorikan ke dalam empat kelompok), strategi lingkungan yang diterapkan didasarkan pada kegiatan perlindungan lingkungan, dan menggunakannya untuk kompetisi. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan antara masing-masing strategi lingkungan pada empat kelompok dalam hal variabel kontekstual dan kinerja. Temuan ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di kelompok dengan strategi lingkungan yang lebih maju merasakan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja lingkungannya tetapi hal ini tidak selalu searah dengan kinerja ekonomi. Lebih lanjut Tierney (2007:24) menjelaskan bahwa trifecta keberlanjutan yang mangatakan bahwa good for the planet, good for people, good for profits adalah konsep yang efektif untuk menjelaskan mengapa hotel butik harus going green, ini adalah salah satu inisiatif maju dari para meneger hotel dalam kegiatan operasional hotel. Meneger hotel tipe ini akan memilih bahan terbarukan dan
10
perlengkapan yang ramah lingkungan, teknologi hemat energi dan praktek pengelolaan operasional hotel yang dampak lingkungan minimal. Penentuan jumlah sumber daya dan emisi yang terjadi pada fasilitas wisata, melalui analisis siklus hidup, membuka pintu untuk membangun perbaikan struktural dan operasional serta pelaksanaan energi terbarukan. Rosselló et al. (2007:1) menyatakan Spanyol saat ini menerima lebih dari 80 juta pengunjung, dimana lebih dari 50% terkonsentrasi di musim panas. Peningkatan populasi, yang terletak terutama di akomodasi wisata, menyebabkan perubahan yang mengubah penggunaan normal infrastruktur: transportasi, energi, air dan pengelolaan limbah. Di tempat seperti Kepulauan Balearic, dengan lebih dari 10 juta pengunjung setiap tahunnya, terjadi peningkatan 31% dari konsumsi listrik, 60% dari konsumsi akhir dan 30% dari produksi sampah. Peluang untuk memotong biaya operasional dapat dilakukan dalam empat bidang, seperti pengelolaan air limbah, pengelolaan energi, pengurangan limbah padat dan pengelolaan dan pembelian produk-produk dengan label green (IHEI, 1993; IHA, IHEI & UNEP, 1995). Sweeting dan Sweeting, (2003) memberikan contoh seperti Sandal Negril Beach Resort & Spa di Jamaika selama tiga tahun mulai dari tahun 1998 sampai tahun 2000, mampu mengurangi konsumsi air total per malam sebesar 28,6%. Menurut Dodds dan ITP (2005), untuk kegiatan operasional hotel, biaya untuk airnya saja mencapai
15% dari tagihan
total utilitas di sebagian besar hotel dan hampir 95% dari air tawar dilepaskan sebagai limbah tanpa adanya treatment atau perawatan yang tepat. Oleh karena itu, pengelolaan air menjadi semakin penting bagi para pelaku bisnis perhotelan
11
karena hal ini dapat mengurangi tidak hanya biaya total konsumsi air yang sebenarnya, tetapi juga biaya pengolahan limbah cair. Beberapa studi telah mengidentifikasikan bahwa penghematan energi pada hotel juga sama dengan penghematan biaya. Penghematan biaya ini terjadi dengan melakukan penghematan energi dan praktek mengurangi konsumsi energi. Pada banyak hotel proyek energi ini meliputi pengaturan pencahayaan, pemanasan ruang dan sistem pendingin mencapai nilai 20% atau lebih (ORHMA, 2008). Hilton Hotel Corporation mampu menghemat hampir US $ 2,5 juta dalam biaya energi. Hal ini dicapai dengan menghemat hampir 43 juta kwh listrik atau setara dengan 65 juta pon emisi CO2 di tahun 2000. Studi yang dilakukan oleh El Dief dan Font (2010), menguraikan berbagai praktek pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel di Laut Merah khususnya kegiatan operasional dan cara mengorganisasikannya. Penelitian ini menggunakan test model konseptual, sehingga dapat menjelaskan kenapa beberapa hotel lebih proaktif dibandingkan dengan hotel lainnya. Hasilnya ditemukan bahwa sejak awal 1990an praktek pengelolaan lingkungan ini telah dilakukan, hanya saja belum ada kajian akademik mengapa hanya beberapa hotel yang melakukannya sementara yang lain tidak. Studi ini menyarankan tiga teori untuk menjelaskan prilaku perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan, dimana pemotongan biaya operasi dan meminimalkan konsumsi sumber daya adalah strategi yang paling meyakinkan untuk dilakukan pengelolaan hotel. Upaya pengelola bisnis perhotelan untuk meningkatkan kelestarian lingkungan dalam kegiatan operasionalnya, dipromosikan dengan dimilikinya alat
12
ukur industri yang konsisten untuk melakukan benchmarking kegiatan operasional saat ini dan melacak efek dari inisiatif-inisiatif keberlanjutan lingkungan. Jenis ukuran ini juga dapat membantu para pemangku kepentingan eksternal, seperti tamu hotel dan pemerintah, untuk mengukur upaya–upaya keberlanjutan lingkungan hotel dilakukan oleh Zhang, Jie J et al. (2010:5). Menggunakan studi factor eksploratory dengan menggunakan catatan analisis biaya konsumsi sumber daya (listrik, air dan saluran pembuangan, biaya pemeliharaan lainnya, dan laundry, linen, dan perlengkapan untuk kamar dan layanan makanan dan minuman), dan faktor perilaku, yang sebagian besar didorong oleh laundry, linen, dan perlengkapan kamar dan layanan makanan dan minuman. Ditemukan bahwa secara umum, biaya dalam faktor operasi berada di bawah kontrol manajemen, tetapi biaya dalam faktor perilaku dipengaruhi oleh kegiatan para tamu. Susskind dan Verma (2011), menganalisis bagaimana manipulasi proses hemat energi pada hotel kamar, dengan melihat bagaimana para tamu akan bereaksi terhadap perubahan yang dilakukan untuk menghemat energi atau apakah upaya konservasi ini tidak akan mengganggu tamu. Disain penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan mengurangi tingkat daya televisi dan perubahan pencahayaan di kamar mandi, dan di kamar tamu pada hotel Statler, yang merupakan hotel berbintang empat berlian dengan 150 kamar dan dioperasikan oleh Cornell School of Hotel Administration untuk hotel komersial dan sebagai laboratorium pembelajaran. Penelitian ini menguji empat tingkat daya televisi liquid crystal display (LCD) untuk ruang tamu, dan juga membandingkan reaksi para tamu terhadap lampu compact fluorescent lamp (CFL) di kamar mandi dan
13
penggantian lampu CFL dengan lampu light emitting diodes (LED) di beberapa kamar, kemudian para tamu diminta untuk memberikan penilaian mereka. Hasilnya tamu tidak melihat ada perbedaan tingkat daya pada televisi dan juga pada penggantian lampu CFL ke lampu LED. Hal ini mengindikasikan kemungkinan bagi pengelola perhotelan untuk mengganti set televisi yang sudah tua dengan televisi LCD, dan minimal mengganti lampu pijar dengan CFL untuk penghematan yang cukup besar, atau mengambil langkah dengan menggunakan lampu LED untuk lebih melestarikan energi. Penelitian ini menunjukkan bahwa tamu tidak terlihat mendukung langkah-langkah konservasi energi tersebut. Salah satu temuan juga menyatakan bahwa banyak responden akan bersedia membayar lebih untuk mendukung inisiatif keberlanjutan sebuah hotel. Studi yang dilakukan Dalem (2012), menunjukan bahwa sistem pengelolaan lingkungan sangat penting perannya dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, tetapi berbagai praktek pengelolaan lingkungan yang terjadi, sistem pengelolaan lingkungan belum dilakukan dengan baik pada industri perhotelan di Bali. Peiró-Signes et al. (2014:40) menganalisis dampak dari sistem sertifikasi lingkungan ISO 14001 dari perspektif pelanggan pada hotel. Berdasarkan pada perbandingan dari peringkat pelanggan 6.850 hotel di Spanyol dengan dan tanpa sertifikasi ISO 14001, keseluruhan tamu menilai hotel dengan sertifikasi ISO 14001 mendapat appresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hotel yang tanpa sertifikasi. Hasil ini kuat untuk kenyamanan hotel dan pelayanan hotel dibandingkan dengan atribut hotel lainnya. Selain itu, perbedaan yang paling
14
signifikan ditemukan pada hotel berbintang empat ke atas. Sementara pada hotel berbintang tinggi seperti pada hotel berbintang lima berlian tidak didapatkan diferensiasi khusus antara memiliki sertifikasi ISO 14001 atau tidak, sedangkan untuk hotel bintang tiga, sensitivitas harga mengesampingkan masalah lingkungan dalam pertimbangan tamu. Pada hotel berbintang empat, hotel tampaknya bisa mendapatkan keuntungan pasar yang berbeda dari sertifikasi lingkungan, dan untuk semua hotel, disiplin manajemen yang disediakan oleh ISO 14001 dapat memberikan keunggulan kompetitif.
2.1.3. Keterkaitan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana industri perhotelan selama ini dikenal sebagai salah satu industri yang paling pesat perkembangannya merespon proses pengelolaan lingkungan berdasarkan isu yang ada di masyarakat dan pemangku kepentingan, dan menurut Lorente et al. (2003), peran pemangku kepentingan sangat penting pengaruhnya dalam proses pengelolaan lingkungan, karena proses pengelolaan lingkungan pada hotel merupakan respon hotel sebagai sebuah organisasi terhadap tuntutan lingkungan dari pemangku kepentingan, dan hal ini menunjukkan kekuatan dari para pemangku kepentingan terhadap kepentingan menyelesaikan isu-isu lingkungan, untuk melindungi lingkungan, dan dirasakan adanya keuntungan ekonomi dari kegiatan pengelolaan lingkungan. Penelitian ini juga berkaitan erat dengan pengelolaan jumlah sumber daya dan emisi yang terjadi pada fasilitas wisata (Rosselló et al. 2007:1) dimana hotel termasuk sarana akomodasi yang menjadi penyebab terjadinya peningkatan
15
populasi khususnya terkait dengan penggunaan energi, air dan pengelolaan limbah. Seperti pada hotel-hotel di kepulauan Balearic, dimana terjadi terjadi peningkatan 31% dari konsumsi listrik, 60% dari konsumsi akhir dan 30% dari produksi sampah. Dilihat dari sisi proses, sebenarnya ada peluang untuk pemotongan biaya operasional dari proses pengelolaan lingkungan pada hotel, hal ini dapat dilakukan pada pengelolaan air limbah, pengelolaan energi, pengurangan limbah padat dan pengelolaan pembelian produk-produk dengan label green (IHEI, 1993; IHA, IHEI & UNEP, 1995). Sweeting dan Sweeting, (2003) memberikan contoh seperti Sandal Negril Beach Resort & Spa di Jamaika, selama tiga tahun mampu mengurangi konsumsi air total per malam sebesar 28,6%. Menurut catatan Dodds dan ITP (2005), untuk kegiatan operasional hotel, biaya untuk air mencapai 15% dari tagihan total utilitas di sebagian besar hotel dan hampir 95% dari air tawar dilepaskan sebagai limbah tanpa adanya treatment atau perawatan yang tepat. Beberapa studi telah mengidentifikasikan bahwa penghematan energi pada hotel juga sama dengan penghematan biaya. Penghematan biaya ini terjadi dengan melakukan penghematan energi dan praktek mengurangi konsumsi energi. Pada banyak hotel proyek energi ini meliputi pengaturan pencahayaan, pemanasan ruang, sistem pendinginan ruang yang mencapai nilai 20% bahkan lebih (ORHMA, 2008). Hilton Hotel Corporation mampu menghemat hampir US $ 2,5 juta dalam biaya energi. Hal ini dicapai dengan menghemat hampir 43 juta kwh listrik atau setara dengan 65 juta pon emisi CO2 di tahun 2000. Studi
16
yang dilakukan oleh El Dief dan Font (2010), menyarankan tiga teori untuk menjelaskan prilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, dimana adanya pemotongan biaya operasioal dan meminimalkan konsumsi sumber daya adalah strategi yang paling meyakinkan untuk dilakukan dalam pengelolaan lingkungan pada hotel. Penelitian ini juga mencoba mengkonfirmasi apakah kegiatan pengelolaan lingkungan pada perhotelan dapat membantu para pemangku kepentingan eksternal, seperti tamu hotel dan pemerintah, untuk mengukur upaya–upaya keberlanjutan lingkungan pada hotel. Zhang, Jie J et al. (2010:5), sudah melakukan studi menggunakan alat faktor eksploratori dengan menggunakan catatan analisis biaya konsumsi sumber daya (listrik, air dan saluran pembuangan, biaya pemeliharaan lainnya, dan laundry, linen, dan perlengkapan untuk kamar dan layanan makanan dan minuman), dan faktor perilaku, yang sebagian besar didorong oleh laundry, linen, dan perlengkapan kamar dan layanan makanan dan minuman, dimana ditemukan bahwa biaya dalam kegiatan operasional berada di bawah kontrol manajemen, tetapi biaya dalam faktor perilaku dipengaruhi oleh kegiatan para tamu. Sementara Susskind dan Verma (2011) melanjutkannya dengan manipulasi proses hemat energi pada hotel kamar, dengan melihat bagaimana para tamu akan bereaksi terhadap perubahan yang dilakukan untuk menghemat energi atau apakah upaya konservasi ini tidak akan mengganggu tamu. Penelitian ini menunjukkan bahwa tamu tidak terlihat mendukung langkahlangkah konservasi energi tersebut, tetapi anehnya salah satu temuan juga
17
menyatakan bahwa banyak responden akan bersedia membayar lebih untuk mendukung inisiatif keberlanjutan sebuah hotel. Studi yang dilakukan Dalem (2012), menunjukan bahwa sistem pengelolaan lingkungan sangat penting perannya dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, tetapi berbagai praktek pengelolaan lingkungan belum dilakukan dengan baik pada perhotelan di Bali.
2.2. Pengelolaan Lingkungan pada Hotel Studi tentang pengelolaan lingkungan mencakup studi tentang semua kegiatan teknis dan organisasi yang bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh operasional perusahaan (Cramer, 1998). Definisi ini pada hotel adalah adanya misi pengurangan dampak lingkungan, yang penekanannya mengarah pada beberapa keputusan pengelola hotel yang secara sengaja dapat mengurangi dampak lingkungan pada hotel. Pengelolaan lingkungan melibatkan berbagai inisiatif lingkungan yang mungkin berbeda dalam implementasinya, tergantung pada jenis industri, karakteristik organisasi dan dampaknya terhadap lingkungan. Inisiatif-inisiatif pengelolaan lingkungan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yang berbeda seperti kategori pencegahan teknis dan organisasional, atau kategori polusi dan pengendalian polusi (Russo dan Fouts 1997; Cramer, 1998). Dilihat dari strategi bisnis, industri perhotelan termasuk industri baru yang muncul dan menarik banyak minat dari praktisi industri serta pendidik, khususnya dari sisi manajemen lingkungan. Industri perhotelan secara tradisional dianggap
18
sebagai salah satu industri yang tidak memiliki dampak besar pada lingkungan alam dibandingkan dengan industri lainnya seperti gas dan minyak, dan industri manufaktur produk konsumen lainnya. Namun hotel adalah salah satu sektor bisnis utama di industri perhotelan, menyebabkan lebih banyak dampak negatif terhadap lingkungan daripada yang disangkakan oleh masyarakat, mengkonsumsi sejumlah besar barang tidak tahan lama baik itu barang lokal dan impor, energi dan air, serta juga menghasilkan sejumlah besar karbon dioksida (Kirk, 1998; Bohdanowicz, 2006). Upaya untuk mengidentifikasi motivasi dan insentif utama untuk menerapkan praktek-praktek ramah lingkungan di hotel telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman pengelola hotel dalam pengambilan keputusan dan arah pengelolaan lingkungan di industri perhotelan. Banyak penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi kekuatan utama yang menentukan pengelolaan menuju hotel yang hijau ini, dan tampaknya pada industri perhotelan hal ini telah mencapai konsensus. Hanya saja luasnya area pengelolaan lingkungan ini dihotel menyebabkan pengelola hotel harus secara signifikan juga memahami adanya perbedaan dalam implimentasi proses pengelolaan lingkungan di hotel akibat dari adanya konteks situasional yang berbeda seperti peraturan pemerintah daerah, keseluruhan hal kepedulian sosial tentang isu-isu lingkungan, dan karakteristik hotel. Kirk (1998) meneliti tentang manfaat yang dirasakan oleh pengelola hotel dari pengelolaan lingkungan. Hal-hal yang digunakan untuk mengukur manfaat yang dirasakan pengelola dari pengelolaan lingkungan adalah: meningkatkan
19
profitabilitas, meningkatkan pelanggan dan kepuasan karyawan, meningkatkan hubungan dengan masyarakat setempat, membantu hubungan masyarakat, dan keuntungan pemasaran atas pesaing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelola hotel di Inggris menunjukkan tingkat moderat dalam kesepakatan tentang manfaat keseluruhan pengelolaan lingkungan. Manfaat yang paling signifikan adalah potensi peningkatan hubungan masyarakat dan hubungan yang lebih baik dengan masyarakat setempat. Bohdanowicz (2005) melakukan penelitian dalam skala besar untuk menilai pengelolaan lingkungan di lebih dari 600 hotel di Eropa, dan menemukan bahwa mengurangi biaya operasi adalah hal yang paling signifikan untuk hotel dari menerapkan pengelolaan lingkungan, diikuti oleh permintaan dari pelanggan, dan meningkatkan citra Hotel. Mensah (2006) menyelidiki tentang praktek-praktek pengelolaan operasional hotel yang ramah lingkungan dan menilai apa yang dirasakan pelaku bisnis perhotelan di Ghana. Hasilnya menunjukkan bahwa menyediakan lingkungan yang aman dan sehat, kualitas pelayanan lingkungan yang bersih, dan mengurangi biaya dari bahaya lingkungan adalah beberapa tujuan utama dari pengelolaan lingkungan. Tzschentke et al (2008) menemukan bahwa pada hotel-hotel di Eropa, untuk penginapan kecil yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, ternyata didapatkan bahwa praktek-praktek pengelolaan operasional hotel menuju industri ramah lingkungan ini utamanya didorong oleh etika dan adanya pertimbangan ekonomi. Manfaat ekonomi telah dianggap sebagai salah satu keuntungan yang paling terlihat dalam dari pengelolaan lingkungan. Sejumlah besar literatur industri telah
20
menyoroti manfaat ekonomi dari praktek ramah lingkungan sebagai salah satu penggerak utama menuju industri hijau, dan organisasi-organisasi lingkungan terkait telah membuktikan secara kuantitatif tentang penghematan biaya ini. Marriott International, misalnya, saat ini memiliki 211 hotel yang tersertifikat Energy-Star dalan sistemnya. Hotel-hotel ini memiliki penggunaan energi 35 persen lebih sedikit dari rata-rata (Marriott International, 2007). InterContinental Hotel Chicago O'Hare juga memanfaatkan 100 persen energi terbarukan dari angin pada atap hijau (green roof) yang membantu mengurangi biaya pendinginan, dan menghemat 40 persen biaya energi melalui penggunaan lampu LED (Esposito, 2008). Penelitian akademik Banyak juga menemukan manfaat ekonomi melalui efisiensi sumber daya yang lebih besar sebagai salah satu pendorong yang signifikan untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan (Iwanowski & Rushmore, 1994; Bohdanowicz, 2005; Kirk, 1995, 1998; Mensah, 2006). Keuntungan finansial atas pesaing melalui pengelolaan pengelolaan menuju industri ramah lingkungan agak dipertanyakan. Sebagai bukti dari keunggulan kompetitif melalui pengelolaan lingkungan, maka data kinerja keuangan Tujuan dikumpulkan, dan hubungan antara kinerja ekonomi dan tingkat komitmen pengelolaan lingkungan dianalisis dalam konteks hotel-hotel di Spanyol (Cortes, Azorin, Moliner, & Gamero, 2007), ditemukan tidak ada dampak yang signifikan dari komitmen lingkungan terhadap kinerja keuangan yang diamati. Namun peneliti menunjukkan bahwa penerapan proses pengelolaan lingkungan adalah hal yang baru yang dilakukan pada destinasi yang dianalisis, dan sebaiknya perlu
21
dilakukan penelitian longitudinal untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat diandalkan. Banyak
penelitian
di
industri
umum
menekankan
hubungan
Stakeholdersebagai salah satu kekuatan eksternal yang paling signifikan yang mendorong pengelolaan lingkungan pada perusahaan (Banerjee, 2001; Lee & Rhee, 2006). Beberapa penelitian di industri hotel juga menunjukkan bukti empiris bahwa pengelolaan lingkungan didorong oleh pengaruh stake holder, seperti pemerintah, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Persepsi pemangku kepentingan mengenai isu-isu lingkungan bervariasi sesuai dengan negara-negara di mana penelitian dilakukan. Kasim (2007) mengidentifikasi pendorong utama dan hambatan untuk pengelolaan lingkungan di hotel Malaysia. Sebagai variabel eksogen, peraturan pemerintah dianggap salah satu faktor penentu untuk hotel-hotel di Malaysia untuk mengadopsi pengelolaan lingkungan. Organisasi pemerintah daerah, misalnya, menyediakan pedoman pengelolaan lingkungan bagi hotel dan berusaha untuk memasukkan pengelolaan lingkungan ke dalam sistem rating. Mewajibkan peraturan lingkungan yang dikombinasikan dengan pemantauan dan sanksi yang jelas untuk ketidakpatuhan telah terbukti menjadi mekanisme yang efektif untuk memotivasi hotel untuk meningkatkan praktik proses pengelolaan lingkungannya (Winter and May 2001; Meegeren, 2001; Cashore dan Vertinisky, 2000; Henriques dan Sadorsky, 1996). Selain itu, kemampuan pemerintah untuk mempengaruhi perilaku hotel sebagai sebuah perusahaan ditemukan signifikan, bahkan ketika peraturan belum disahkan dan tidak ada hukuman khusus yang dikenakan (Raedeke, et al, 2001; Cashore dan
22
Vertinisky, 2000; Khana dan Damon 1999 ). Ancaman dari adanya peraturan lingkungan yang baru atau dukungan pemerintah yang jelas terhadap praktik lingkungan yang melebihi-kepatuhan diketahui sebagai insentif yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan untuk berpartisipasi dalam inisiatif pengelolaan lingkungan sukarela (Winter and May 2001; Cashore dan Vertinisky, 2000; Khanna, Quimio, dan Bojilova, 1998). Tekanan pemerintah ini memiliki dampak yang lebih tinggi pada hotel, khususnya pada hotel menghadapi monitoring yang lebih besar, karena hotel jenis ini lebih mungkin akan terpengaruh oleh keputusan pemerintah (Cashore dan Vertinisky, 2000; Henriques dan Sadorsky, 1996; Raedeke, et al, 2001). Perusahaan menghadapi pengawasan pemerintah yang lebih tinggi juga cenderung memiliki informasi lebih lanjut tentang tren peraturan dan penegakan hukum. Di sisi lain, Bohdanowicz (2005) mengidentifikasi permintaan dari pelanggan sebagai inisiatif yang paling berpengaruh bagi pengelola hotel untuk mengadopsi praktek-praktek ramah lingkungan di industri perhotelan di Eropa. Manaktola dan Jauhari (2007) meneliti sikap konsumen terhadap praktek industri ramah lingkungan dan niat perilaku di hotel India. Mereka menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap pelanggan dan niat perilaku terhadap praktik industri ramah lingkungan. Sikap-sikap yang menguntungkan dan niat terhadap pengelolaan lingkungan pada hotel, namun tidak menunjukan adanya kesediaan pelanggan untuk membayar lebih untuk pengelolaan industri yang ramah lingkungan. Dalam nada yang sama, Gustin dan Weaver (1996) juga mengembangkan dan menguji versi perilaku lingkungan. Hasil penelitian
23
menunjukkan bahwa sikap pelanggan hotel, pengetahuan, dan self-efficacy yang dirasakan berpengaruh positif terhadap niat perilaku pelanggan untuk tinggal di hotel yang ramah lingkungan. Dengan demikian terbukti bahwa strategi lingkungan hotel dapat berperan dalam menarik pelanggan yang semakin meningkat kesadarannya akan lingkungan. Meskipun hasil penelitian sebelumnya telah dilakukan di lokasi dan geopolitik yang terbatas atau dengan ukuran sampel yang relatif kecil, dan karena itu memiliki keterbatasan dalam generalisasi temuan, namun hal ini menunjukkan adanya peningkatan kekhawatiran pelanggan tentang lingkungan, dan hal ini telah terbukti menjadi salah satu penggerak utama yang menentukan pengelolaan lingkungan di hotel. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa pelaku bisnis perhotelan semakin sadar terjadinya peningkatkan kekhawatiran pelanggan tentang lingkungan alam dan tanggung jawab sosial hotel sebagai sebuah perusahaan, dan tren pembelian lingkungan mereka. Selanjutnya,
Nuh,
Robert,
dan
Vladas
(2008)
melakukan
studi
eksperimental untuk meneliti partisipasi pelanggan hotel dalam program lingkungan tertentu. Penelitian ini menggunakan konsep norma deskriptif untuk mengetahui efektivitas tanda-tanda yang ditempatkan di kamar pelanggan untuk meminta partisipasi pelanggan hotel dalam program penggunaan kembali handuk. Tanda-tanda pesan yang digunakan dideskriptifkan secara eksplisit, dimana isinya menginformasikan kepada para pelanggan hotel tentang program re-used handuk. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas pelanggan mau berpartisipasi dalam
24
program penggunaan handuk kembali, dan lebih mungkin untuk mendorong partisipasi para pelanggan dalam program ini. Di antara beberapa literatur banyak menunjukkan komitmen manajemen puncak untuk pengelolaan lingkungan merupakan salah satu prasyarat yang paling penting bagi strategi lingkungan yang sukses (Barnerjee, 2001; Bansal & Roth, 2000; Kasim, 2007; Andersson & Bateman, 2000). Bagi para pengelola hotel dikaitkan dengan manajemen lingkungan, maka kesadaran akan masalah lingkungan dan tingkat kekhawatiran tentang lingkungan terbukti menjadi faktor penentu yang menentukan bagi hotel sebagai sebuah perusahaan' (Enz & Siguaw, 1999; Tzschentke et al, 2008.). Tzschentke (2008) melalui pendekatan kualitatif meneliti tentang sikap lingkungan hotel-hotel kecil di Eropa menemukan bahwa banyak pengelola hotel jenis ini mulai pengelolaan lingkungan pada hotelnya disesuai dengan etika pribadi lingkungan mereka sebagai sikap lingkungan yang mempengaruhi mereka untuk bertindak dengan cara yang ramah lingkungan (Hines, Hungerford, dan Tomera, 1986). Selanjutnya, pengelola dengan masalah lingkungan yang lebih besar menunjukkan motivasi etika yang lebih tinggi untuk pengelolaan lingkungan, sementara pengelola dengan tingkat yang lebih rendah dari masalah lingkungan mengungkapkan motivasi yang lebih berorientasi finansial untuk menjadi lebih hijau. Pada tahun 1995 International Hotel and Restaurant Association mempublikasikan
checklist
lingkungan
yang
komprehensif
dan
action
development guide untuk hotel kecil dan menengah. Publikasi ini membantu hotel
25
dengan informasi yang lebih rinci untuk sistem pengelolaan lingkungan. Hampir semua hotel telah mengimplementasikan program ini dengan berbagai tingkat intensitas. Survei yang dilakukan tentang implementasi program ini menunjukkan bahwa manfaat paling signifikan dari pengelolaan lingkungan bagi hotel adalah perbaikan citra publik dan hubungan yang lebih baik dengan masyarakat setempat (Kirk, 1995). Namun, bagi para pekerja hotel kebijakan lingkungan ini lebih bermanfaat pada kinerja pengelolaan keuangannya. Pengelolaan lingkungan di hotel harus mencakup semua aktivitas hotel yang berdampak pada lingkungan dan mengembangkan praktek-praktek yang lebih luas untuk menguranginya. Contohnya, dalam mengurangi penggunaan energi, pengelola hotel harus mengontrol dan memperbaiki ventilasi dan alat pendingin, pencahayaan, dan fasilitas lain yang membutuhkan energi yang digunakan dalam areal yang berbeda. Sama halnya, untuk mengurangi sampah hotel berupaya secara simultan meminimalkan konsumsi pelanggan dan pembungkusan yang menggunakan plastik, pengunaan container yang dapat diurai kembali, material yang dapat dipakai kembali, seperti gelas, kertas dan pengumpulan sampah yang diseleksi. Akan tetapi, seperti catatan Brown (1994), meskipun dalam beberapa praktek pada industri perhotelan memiliki label lingkungan, alasan utamanya hotel mau terlibat dalam pengelolaan lingkungan adalah karena adanya kepentingan regulasi, penghematan sumberdaya dan tekanan dari Biro Perjalanan Wisata, dan pelanggan/wisatawan.
26
2.2.1. Program Sertifikasi PROPER Untuk Indosenia, pemerintah telah menyiapkan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup atau sering disebut dengan PROPER merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan dan kepedulian perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Program PROPER ini telah dilaksanakan sejak Tahun 2002. Kementerian Lingkungan Hidup membuat tujuh karegori kinerja perusahan untuk menilai keberhasilan perusahaan dalam program PROPER.
Tujuan Kategorisasi ini
adalah untuk memudahkan masyarakat dan para stakeholder memahami tingkat kinerja penaatan masing-masing perusahaan dan guna membuka lebih besar lagi ruang apresiasi bagi perusahaan yang telah meningkatkan kinerja penaatannya. Kelima peringkat warna dengan tujuh kategori tersebut sesuai dengan Program Proper. Kementrian Lingkungan Hidup RI. Tahun 2010 adalah sebagai berikut. Peringkat Emas, dimana hotel telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dan telah melakukan upaya 3R (Reuse, Recycle dan Recovery), menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan, serta melakukan upaya-upaya yang berguna bagi kepentingan masyarakat pada jangka panjang; Peringkat Hijau dimana hotel telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan, telah mempunyai sistem pengelolaan lingkungan, mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat, termasuk melakukan upaya 3R (Reuse, Recycle dan Recovery); Peringkat Biru dimana hotel telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai
27
dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku; Peringkat Biru Minus dimana hotel telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi beberapa upaya belum mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; Peringkat Merah dimana hotel telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dengan peraturan perundangundangan; Peringkat Merah Minus dimana hotel telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan, akan tetapi baru sebagian kecil mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan; Peringkat Hitam dimana hotel belum melakukan upaya lingkungan berarti, secara sengaja tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan sebagaimana yang dipersyaratkan, serta berpotensi mencemari lingkungan. Perusahaan-perusahaan yang melaksanakan program PROPER akan mendapat penghargaan PROPER, karena dianggap bahwa perusahaan tersebut telah melakukan kinerja pengelolaan lingkungan yang baik.
2.2.2. Program Sertifikasi Tri Hita Karana Award Tri Hita Karana (THK) adalah philosofi yang menjadi dasar bagi masyarakat bali dalam beraktivitas sehari-hari. Menurut Dharma Putra (2009) Mekanisme Penyelenggaraan dan Penilaian THK Award &Accreditation Secara garis besar acuan penilaian dibagi atas 2 (dua) parameter, yaitu objektif dan subjektif. Sudut pandang objektif dipergunakan karena berhadapan dengan fakta yang tak bisa dihindari. Sebaliknya sudut pandang subjektif dipakai karena sesuai
28
dengan nilai–nilai etika yang ada. Pihak penyelenggara mempergunakan Buku Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations (THK Awards) sebagai acuan bagi tim penilai dan sasaran program (objek ternilai). Terdapat beberapa unsur yang dijadikan penilaian yakni: (1) Parhyangan (lingkungan spiritual), (2) Pawongan (lingkungan sosial, dan (3) Palemahan (lingkungan alam). Ke-3 unsur yang merupakan kinerja utama penilaian itu diidentifikasi lagi ke dalam indikator kinerja utama dan kriteria penilaian dengan metode sebagai berikut: 1) Kuesioner, dengan menggunakan pilihan tertutup bervariasi: ya/tidak; 2) Interview dengan menggunakan interview guide; 3) Observasi, pengamatan visual langsung ke objek-objek fisik dan atau peristiwaperistiwa aktual; 4) Dokumen, dilakukan untuk memperoleh bukti-bukti dokumenter mengenai objek fisik atau peristiwa masa lalu. Mekanisme penilaian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) initial screening(penjaringan awal), (2) penyebaran kuesioner, (3) site inspection (pemeriksaan ke lapangan). Pada tahap pertama (initial screening), pihak yang akan dinilai dikirimi kuesioner singkat untuk keperluan penyaringan awal. Sebelum tahap ini dijalankan, dilakukan sosialisasi program THK Awards melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Di samping itu, Tim THK Awards juga aktif menggelar dengar pendapat (hearing) dengan DPRD propinsi dan kabupaten/kota, di samping melakukan sosialisasi langsung ke berbagai organisasi kepariwisataan, ke desa-desa pakraman seputar hotel dan ke forum-forum pengembangan kawasan wisata strategis.
29
Penilaian pada tahap pertama ini dilakukan secara professional judgement (pertimbangan dan keputusan profesional) dengan melibatkan tim ahli dari Bali Travel News dan Pusat Kajian (PUSAKA) Bali, unsur-unsur dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kebudayaan (Disbud), dan Dinas Pariwisata Daerah (Diparda) dengan acuan konsep Tri Hita Karana. Pelaksanaan initial screening dilakukan paling lambat bulan Mei tiap tahun. Pada tahap kedua (penyebaran kuesioner), pihak yang dinilai yang telah mengikuti dan lulus initial screening, kembali dikirimi kuesioner. Kuesioner ini merupakan hasil penjabaran dari kriteria THK Awards yang mencakup tiga bidang (parhyangan, pawongan, palemahan). Di samping itu, dilengkapi pula dengan panduan penerapan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 yang telah disesuaikan dengan sasaran THK Awards. Pada tahap ini selain melibatkan Tim THK Awards yang meliputi unsur Bali Travel News, PUSAKA Bali, BLH, Disparda, dan Disbud, juga melibatkan unsur-unsur perguruan tinggi (negeri atau swasta) dan masyarakat di sekitar hotel atau objek ternilai. Penilaian Tahap (2) dilaksanakan selambat-lambatnya bulan Juli – Agustus. Penilaian pada tahap ke-3 (inspeksi lapangan) bersifat mencocokkan jawaban responden, terutama jawaban pihak manajemen hotel/pihak ternilai dengan kenyataan di lapangan. Untuk itu, perlu dilakukan inspeksi langsung atau check reliability (cek kehandalan) oleh dewan juri/Tim THK Awards. Selain ke pihak manajemen, sasaran inspeksi lapangan ini ditujukan juga ke pihak karyawan dan wisatawan yang menginap di hotel atau objek ternilai. Bersamaan dengan itu, dijaring juga pendapat dari komponen pariwisata dan pers. Inspeksi lapangan
30
dilakukan secara terbuka (dengan memberitahukan kepada pihak hotel/objek ternilai) dan tertutup (secara diam-diam/silent). Ini dilaksanakan selambatlambatnya bulan September. Penilaian mengggunakan 7 (tujuh) instrumen dengan melibatkan tujuh komponen. Ke-7 komponen ini pada hakikatnya sekaligus ikut menentukan para pemenang/pemberian awards. Komponen-komponen itu meliputi: 1) Komponen manajemen perusahaan selaku responden utama; 2) Masyarakat di sekitar objek ternilai yang mencakup unsur perangkat desa/kelurahan (kepala desa/lurah, sekretaris desa/kepala urusan, kepada dusun), tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, yang terwadahi dalam focus group di masing-masing kawasan wisata strategis;
3) Komponen
pariwisata,
khususnya
pemandu
wisata/guide;
4) Komponen pers, khususnya wartawan pariwisata; 5) Wisatawan yang menikmati layanan usaha; 6) Karyawan dan 7) Tim penilai THK Awards. Pengumuman bagi pemenang dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap I (pertama) pengumunan bagi peserta yang bisa masuk nominasi 10 besar untuk masing-masing kategori. Ini ditentukan oleh jawaban atas: (1) initial screening, (2) kuesioner manajemen (3) kuesioner masyarakat sekitar dan (4) hasil site inspection pertama tim THK Awards. Tahap II (kedua) pengumuman bagi peserta yang berhasil meraih trophy THK Awards. Di samping trophy, pihak penyelenggara juga memberikan sertifikat akreditasi THK kepada seluruh peserta, yang dikelompokkan ke dalam 5 (lima) peringkat sebagai berikut: 1) Istimewa (excellent), sertifikat tertinggi; 2) Sangat baik (very good); 3) Baik (good); 4) Cukup (credit); 5) Afiliasi (affiliation).
31
2.3. Strategi Pengelolaan Lingkungan pada Hotel ISO seri 14001 menjelaskan pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Sesuai ISO seri 14001 hotel harus memiliki kebijakan lingkungan yang jelas, tujuan, sasaran dan perencanaan yang baik. Untuk lebih meningkatkan efektivitas, para pengelola hotel harus selalu memonitor dan meninjau sistem yang telah diimplementasikan. Kendala yang ada selama ini adalah karena keterbatasan sumber daya, banyak hotel
yang menutup sementara upaya pengelolaan
lingkungannya setelah melakukan beberapa inisiatif praktek lingkungan seperti pengelolaan hemat air, penghematan energi untuk instalasi lampu, penggunaan kembali limbah kertas dan beberapa inisiatif lainnya. Terakhir ISO seri 14001 memberikan pedoman yang efektif pada sisi audit, evaluasi kinerja lingkungan dan lainnya, dokumen ISO 14001 memiliki elemen yang sangat penting bagi pengelolaan
lingkunan,
karena
implementasi
pengelolaan
lingkungan
membutuhkan banyak sumber daya, termasuk tenaga kerja, biaya dan waktu untuk perencanaan (Sayre, 1996). Kirk (1995), melihat adanya hubungan antara karakteristik tertentu dari industri pariwisata dengan isu-isu lingkungan. Karakteristik tertentu ini bisa membentuk strategi lingkungan pada hotel. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, operasional hotel terhadap lingkungan menghasilkan buangan sampah pada areal yang luas, karena operasional hotel terdiri atas sejumlah besar kegiatan kecil yang dilakukan pada bagian departemen hotel, yang masing-masing memakai sejumlah kecil energi, air, makanan, kertas dan sumberdaya lain, dan berkontribusi pada penambahan sejumlah kecil polusi terhadap lingkungan dalam
32
bentuk asap, bau, kebisingan dan polutan akibat bahan kimia. Kedua, peraturan lingkungan dalam industri pariwisata hampir tidak ada, dibandingkan seperti pada sektor manufaktur. Ketiga, konsumen industri pariwisata adalah wisatawan yang menjadi tamu hotel yang kehadirannya berpengaruh langsung terhadap kegiatan pelayanan yang terjadi di hotel. Ketiga aspek ini mengakibatkan adanya tiga bentuk pengelolaan lingkungan pada hotel, ketiga bentuk tersebut adalah: (1) aktivitas pengelolaan lingkungan yang bersifat sukarela (voluntary), (2) aktivitas pengelolaan lingkungan yang melibatkan tamu sebagai pelanggan dalam implementasi usaha-usaha pengelolaan lingkungan; dan (3) aktivitas pengelolaan lingkungan yang fokus pada usaha-usaha prevensi terhadap pulusi dan/atau aspekaspek organisasi pengelolaan lingkungan. Sifat sukarela dalam implementasi praktek-praktek lingkungan pada hotel terjadi karena kurangnya aspek normatif yang membuatnya wajib, apalagi keadaan ini diperkuat oleh fakta bahwa dampak lingkungan pada hotel meliputi area yang luas yang membuat masyarakat umum sulit untuk menerima pendapat bahwa hotel memiliki peran langsung dalam perusakan lingkungan (Brown, 1994; Kirk, 1995). Kebutuhan untuk melibatkan pelanggan atau wisatawan didasarkan atas peran aktif wisatawan, baik dalam pelayanan yang diharapkan maupun dengan cara bagaimana wisatawan dapat berkontribusi pada usaha-usaha untuk meminimalkan dampak negatif yang diakibatkan kegiatannya di hotel. Oleh karenanya, pada banyak hotel wisatawan atau pelangan dapat berkolaborasi dalam penghematan konsumsi energi dan air, penggantian handuk, dan lainnya. Melalui
33
program ini wisatawan atau pelangan dilibatkan secara langsung dalam kebanyakan
aktivitas yang berusaha untuk meminimalisasi kerusakan
lingkungan. Hal Ini dapat dijelaskan karena dari satu sisi, tidak ada aturan normatif yang mewajibkan kontrol terhadap polusi lingkungan, sementara di sisi lainnya, kontrol terhadap polusi akibat operasional hotel bukan pilihan yang paling tepat ketika banyak sumber-sumber lain yang bersamaan menghasilkan dampak lingkungan juga (Dobers, 1997). Pertimbangan di atas mengidentifikasi tiga dimensi strategi lingkungan yang harus diperhatikan pada hotel, yaitu: Pertama, sejauh mana praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berbeda diimplementasikan. Kedua, adanya pengalaman hotel dalam mengaplikasikan usah-usaha tersebut, dan Ketiga, adalah persepsi pengelola hotel terhadap pengelolaan lingkungan sebagai sebuah kemampuan strategik.
2.3.1. Isu-Isu Lingkungan sebagai Sumberdaya Strategis bagi Hotel Strategi lingkungan dapat juga didefisikan menggunakan persepsi bahwa aktivitas proteksi lingkungan dapat menyediakan manfaat yang kompetitif bagi hotel. Beberapa penelitian telah mengaplikasikan padangan ini dan mempertegas bahwa aktivitas pengelolaan lingkungan berpotensi mengembangkan kemampuan berharga perusahaan, dalam hal integrasi stakeholder, inovasi berkelanjutan atau proses pembelajaran yang lebih tinggi dan yang berkelanjutan (Russo dan Fouts, 1997; Sharma dan Vredenburg, 1998).
34
Akan tetapi, tidak semua perusahaan mampu untuk menerapkan hal yang dapat menyediakan manfaat competitive yang berkelanjutan ini (Grant,1991). Amit dan Schoemaker (1993), menjelaskan adanya kesulitan karena perusahaan beroperasi dalam sebuah lingkungan yang terus berubah dan semakin kompleks, sehingga praktek pengelolaan lingkungan juga mengalami perubahan, termasuk cara-cara mengintegrasikannya kedalam organisasi. Sejalan dengan hal ini maka tidak semua lini depan perusahaan mengapresiasi keberadaan manfaat kompetitif ini, hanya lini depan perusahaan yang menganggap praktek manejemen lingkungan mempunyai karakteristik nilai, ambiguitas kausal, kompleksitas sosial dan “imperfect imitability” yang menganggapnya sebagai sebuah kemampuan strategis (Grant, 1991; Barney, 1991).
2.3.2. Pengalaman Pengelolaan Lingkungan Tipologi strategi lingkungan mengisyaratkan bahwa ada satu garis tegas yang membatasi perusahaan-perusahaan yang tidak berkomitmen terhadap isu-isu lingkungan dibandingkan dengan pada perusahaan-perusahaan yang sangat peduli dan menjadi pemimpin dalam pengelolaan lingkungan (Arago´n-Correa,1998). Kelompok perusahaan yang peduli pada lingkungan dan menjadi pemimpin dalam pengelolaan lingkungan memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal isu-isu proteksi lingkungan, dan juga memiliki strategi lingkungan yang lebih proaktif. Kelompok perusahaan ini telah mendapatkan keuntungankeuntungan dari proses proteksi lingkungan yang dikelolanya (Nehrt, 1996).
35
2.3.3. Faktor Faktor Kinerja Pengelolaan Lingkungan Strategi lingkungan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja (performance). Ada beberapa faktor kontesktual yang mempengaruhi suatu pengelolaan lingkungan pada hotel. Banyak literatur dalam strategi lingkungan telah mempelajari peran yang dimainkan oleh tekanan stakeholder dan ukuran organisasi (Fineman dan Clarke, 1996; Henriques dan Sadorsky, 1999). Dalam industri pelayanan, dan dalam sektor perhotelan khususnya, sangat relevan untuk menganalisa pengaruh dari afiliasi jaringan (chain hotel) terhadap strategi lingkungan yang dimilikinya (IHEI, 1993).
2.3.3.1. Pengaruh Stakeholder Tekanan sosial dapat membentuk respon asli lingkungan korporasi (Henriques dan Sadorsky,1999). Pandangan ini berasumsi bahwa setiap organisasi mengadopsi inisiatif pengelolaan lingkungan karena permintaan atau motivasi stakeholder tertentu. Menurut teori stakeholder, setiap organisasi melakukan aktivitasnya perusahaan untuk memuaskan kebutuhan stakeholder utama, karena dengan cara ini, perusahaan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk bertahan dalam jangka panjang (Freeman, 1984; Donaldson dan Preston, 1995). Oleh karena itu, salah suatu cara perusahaan untuk mempelajari tekanan sosial terhadap proteksi lingkungan adalah dengan menganalisa stakeholder perusahaan dan, khususnya, permintaan stakeholder yang terkait dengan hal lingkungan (Cramer, 1998; Henriques dan Sadorsky, 1999).
36
Setiap stakeholder mempunyai mekanisme pengaruhnya masing-masing, yang dapat dipakai secara individual maupun bersama-sama untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan (Frooman, 1999). Respon hotel tidak hanya hasil dari claim atau ketertarikan stakeholder individual, tetapi perhatian yang simultan dari semua stakeholder. Sebagai contoh, tour operator berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dapat mengawasi performance pengelolaan lingkungan yang dilakukan di hotel. Stakeholder lain, seperti, pemerintah atau pelanggan tertentu, dapat mendukung hotel dengan suatu insentif, atau bahkan bekerjasama, dalam upaya memecahkan masalah lingkungan. Hal ini membuat pengelola hotel lebih menyadari bahwa stakeholder memiliki peran yang tidak biasa diabaikan untuk mencoba mempengaruhi pengelola hotel untuk lebih peduli kepada pelestarian lingkungan, dengan demikian pengelola hotel akan semakin berusaha untuk meresponnya dengan strategi lingkungan yang lebih proaktif.
2.3.3.2. Pengaruh Ukuran Organisasi Christmann (2000) menerangkan bahwa ada hubungan antara ukuran organiasai dengan aktivitas pengelolaan lingkungan. Suatu alasan awal yang menerangkan hubungan ini didasarkan pada fakta bahwa ukuran organisasi berpengaruh lebih substansial terhadap lingkungan (absolute) dan hal ini muncul kepermukaan akibat tekanan yang lebih besar karena: (1) dampak lingkungan dari organisasi dengan ukuran tertentu lebih kelihatan/visibel (Henriques dan Sadorsky, 1996: 385); (2) lebih mudah untuk mengontrol sumber-sumber polusi yang disentralisasi dibandingkan dengan yang sumber-sumber polusinya yang
37
menyebar (Dobers, 1997: 35); (3) Model dari upaya ini dilihat sebagai model untuk ditiru (Ghobadian et al. 1999: 14). Perbandingan lain misalnya, alasan-alasan teoritis yang telah digunakan untuk menjelaskan mengapa perusahaan besar mengembangkan pengelolaan lingkungan yang lebih advance mengatakan bahwa: 1) Perusahaan besar ini mempunyai ketersediaan sumberdaya yang lebih besar untuk diinvestasikan dalam proses konservasi dan perlindungan terhadap
lingkungan (Sharma dan
Vredenburg, 1998), 2) Perusahaan-perusahaan besar mengadopsi suatu bentuk pengelolaan formal dan ini akan dilanjutkan dengan pengelolaan lingkungan yang lebih formal (Merritt, 1998); 3) Perusahaan-perusahaan besar ini dipercaya mempunyai skala kekuatan ekonomi untuk melakukan reuse, recycling atau mengevaluasi program pengelolaan sampah (Andersen,1997). Untuk semua alasan ini, dapat diharapkan bahwa hotel besar akan lebih didorong untuk mengadopsi strategi proaktif lingkungan dibandingkan dengan hotel yang lebih kecil.
2.3.3.3. Pengaruh Affiliasi Jaringan Hotel (Hotel Chain) Hotel chain mengimplementasikan serentetan aktivitas yang bertujuan untuk menyeragamkan pola aspek-aspek tertentu dari suatu pengelolaan hotel yang dapat dilakukan. Standarisasi pengelolaan hotel mengizinkan “hotel chain” untuk mempertahankan reputasinya dan mengambil skala manfaat ekonomi, yang mengarahkan pada suatu peningkatan dalam penggunaan sumberdaya secara effisien (Brown dan Dew, 1999; Ingram dan Baum, 1997)
38
2.3.4.
Manfaat Ekonomi Bagian dari motivasi internal perencanaan korporasi dan eksekusi dari
strategi pengelolaan lingkungan yang konsisten pada hotel adalah manfaat ekonomi. Pengelola hotel sebaiknya menerima dan menghormati beberapa prinsip aktivitas pengelolaan lingkungan yang terfokus pengkondisian pendekatan ekonomi yang paling tepat dalam melakukan suatu aktivitas, karena pemenuhan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan ini memunculkan konsekuensi biaya yang secara implisit ditentukan oleh manfaat-manfaat yang akan diperoleh dari mengikuti proses pengelolaan lingkungan ini. Sesuai pandangan ini, praktek-praktek pengelolaan lingkungan seharusnya akan berdampak negatif mempengaruhi perfomance bisnis (Cordeiro dan Sarkis, 1997; Walley dan Whitehead, 1994). Aktivitas-aktivitas proses pengelolaan lingkungan juga tidak mewakili suatu aktivitas yang tersediri, tetapi berhubungan dengan keputusan bisnis yang memiliki kemungkinan untuk meningkatkan keuntungan bagi perusahaan. Proses pengelolaan lingkungan seharusnya mengarah pada suatu perbaikan lingkungan, dan proses ini nantinya akan diapresiasi oleh masyarakat sebagai suatu upaya perbaikan terhadap citra hotel, juga ada hubungannya dengan masyarakat lokal pada khususnya (Welford, 1995). Berbagai keuntungan potensial dari sisi ekonomi yang disebutkan telah dikemukakan pada literatur-literatur terdahulu ketika isu-isu lingkungan diintegrasikan dalam strategi perusahaan (Guimaraes dan Liska, 1995). Jika dirangkum hal ini meliputi: penghematan biaya dan perbaikan dalam efisiensi
39
perusahaan, perbaikan dalam kualitas produk, peningkatan dalam market share, pengurangan dalam tanggungjawab, melampaui para pesaing atau perundangan, akses terhadap pasar baru, motivasi dan kepuasan karyawan, perbaikan dalam hubungan dengan masyarakat dan akses terhadap bantuan finansial. Penelitian yang ada selama ini melaporkan bahwa bukti yang terkait dengan hubungan antara pengelolaan lingkungan perusahaan yang berkelanjutan dengan performance ekonomi adalah kontradiktif, karena pada satu sisi kita menemukan penelitian yang menemukan adanya hubungan yang positif antara perfomance ekonomi dan produktivitas dalam strategi pengelolaan lingkungan perusahaan (Russo dan Fouts, 1997; Judge dan Douglas, 1998), sementara yang lainnya mengidentikasikan hubungan ini negatif (Cordeiro dan Sarkis, 1997; Worrell et al. 1995).