BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Penelitian Terdahulu Topik penelitian mengenai perataan laba telah banyak dilakukan namun hasil yang diperoleh belum menunjukkan tingkat konsistensi antara penelitian satu dengan yang lainnya, baik berbeda lokasi maupun periode waktu. Dalam penelitian ini, pemilihan periode waktu yang berbeda diharapkan akan memberikan hasil temuan yang baru sesuai kondisi saat ini yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berikut ini adalah hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik di Indonesia maupun negara lain seperti yang terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Penulis dan Tahun 1. Jin Liauw She dan .Machfoedz (1998) No
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Judul Penelitian
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktek Perataan Laba pada Perusahaan Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Michelson, The Relationship between Wagner the Smoothing of Reported and Income and Risk Adjusted Wootton Returns (2000)
-
Analisis Penelitian Sampel 53 (BEJ) Tahun 19911995 Analisis Logistik Sampel 358 (Chicago) Tahun 19821991) Multivariate Regression
Hasil Penelitian Ukuran perusahaan, profitabilitas dan sektor industri tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba, Hanya leverage operasi yang berpengaruh.
Perusahaan perata laba memiliki cumulative return lebih tinggi dari yang bukan perata. Perusahaan yang berukuran kecil memiliki market return yang lebih tinggi. Sektor industri mempunyai hubungan yang signifikan terhadap perataan laba. Jatiningrum Analisis Faktor-faktor yang - Sampel 75 (BEJ) Hanya profitabilitas yang berpengaruh (2000) Berpengaruh terhadap - Tahun 1994terhadap praktik perataan laba Perataan Laba pada 1998) sedangkan ukuran perusahaan dan Perusahaan yang Tedaftar di - Analisis Logistik sektor industri tidak berpengaruh. Bursa Efek Jakarta Priyo dan Faktor-Faktor yang - Sampel 313 Hanya ukuran perusahaan dan Gudono Mempengaruhi Perataan (Pasar Modal nasionalitas perusahaan yang (2002) Laba pada PerusahaanASEAN) berpengaruh terhadap praktik perataan Perusahaan yang Terdaftar - Tahun 1986laba sedangkan dividend payout ratio, di Pasar Modal Utama 1995) profitabilitas dan rasio hutang tidak Asean - Analisis Logistik berpengaruh. Juniarti dan Analisa Faktor-Faktor yang - Sampel 54 Tidak ada perbedaan yang signifikan Corolina Berpengaruh Terhadap (Bursa Efek atas ukuran perusahaan dan sektor (2005) Perataan Laba (Income Surabaya) industri antara perusahaan yang Smoothing) pada - Tahun 1994tergolong dalam smoothing dan nonPerusahaan-Perusahaan Go 2001 smoothing, sedangkan untuk Public - Regresi Logistik profitabilitas, terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua klasifikasi perusahaan. Masodah Praktik Perataan Laba - Sampel 27 (BEI) Sektor perbankan dan lembaga (2007) Sektor Industri Perbankan - Tahun 1992keuangan lainnya secara empiris telah dan Lembaga Keuangan 2004 melakukan praktik perataan laba. Lainnya dan Faktor yang - Analisis Logistik Variabel yang signifikan mempengaruhi Mempengaruhinya praktik perataan laba adalah rasio debt to equity (DE). Dewi dan Faktor-faktor yang - Sampel 52 (BEJ) Hasil pengujian Multivariat ROA Carina Mempengaruhi Praktik - Tahun 2002berpengaruh terhadap perataan laba, (2008) Perataan Laba pada 2006 sedangkan Ukuran Perusahaan, NPM,
Universitas Sumatera Utara
No
8.
Penulis dan Tahun
Silviana (2009)
Analisis Hasil Penelitian Penelitian Perusahaan Manufactur dan - Analisis Logistik Sektor Industri dan Financial Leverage Lembaga Keuangan Lainnya tidak berpengaruh terhadap Praktik yang Terdaftar di Bursa Efek Perataan Laba Jakarta Analysis of Income - Sampel 33 (BEI) Berdasarkan hasil pengujian Smoothing: Factors - Tahun 2005multivariate secara serentak dan Affecting Income Smoothing 2009 terpisah diperoleh hasil bahwa variabel In Manufacturing Sector and - Analisis Logistik ukuran perusahaan berpengaruh Manufacture of Basic terhadap praktik perataan laba. Chemicals Listed in Stock Exchange Indonesia (20052009) Judul Penelitian
Tabel 2.2 Perbedaan dan Persamaan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu No. 1.
Peneliti dan Tahun Jin Liauw S dan Machfoedz (1998)
2.
Michelson, Wagner and Wootton (2000)
3.
Jatiningrum (2000)
4.
Priyo dan Gudono (2002)
5.
Juniarti dan Corolina (2005)
6.
Masodah (2007)
7.
Dewi dan Carina (2008)
8.
Silviana (2009)
Perbedaan
Persamaan
1. Variabel independen: 1. Ukuran Perusahaan, Sektor Industri 2. Tahun pengamatan: 2. Penelitian ini: 2004-2009 Penelitian Jin Liauw S & Machfoedz: 1991- 3. 1995 1. Variabel independen: 1. Ukuran Perusahaan, Sektor Industri, Dividen Penelitian Michelson, et al: Risk adjusted return 2. 2. Tahun pengamatan: Penelitian ini: 2004-2009; 3. Penelitian Michelson: 1982-1991 1. Variabel independen: Ukuran Perusahaan, 1. Dividen dan Sektor Industri 2. Tahun pengamatan: 2. Penelitian ini: 2004-2009; Penelitian Jatiningrum: 1994-1998 3.
Variabel dependen: Praktik Perataan Laba Variabel independen: Profitabilitas, DER Model analisis: Logistic Regression Variabel dependen: Praktik Perataan Laba Variabel independen: Profitabilitas Model analisis: Logistic Regretion Variabel dependen: Praktik Perataan Laba Variabel independen: Profitabilitas Model analisis: Logistic Regretion 1. Variabel dependen: Praktik 1. Variabel independen: Perataan Laba Dividen diukur dari stabilitas atau konsistensi pembayarannya, Sektor Industri, Dividend2. Variabel independen: Profitabilitas Payout Ratio, Rasio hutang terhadap modal dan nasionalitas perusahaan 3. Model analisis: Logistic 2. Tahun pengamatan: Regretion Penelitian ini: 2004-2009; Penelitian Yurianto & Gudono: 1986-1995 1. Variabel independen: Ukuran Perusahaan, 1. Variabel dependen: Praktik Dividen dan Sektor Industri Perataan Laba 2. Tahun pengamatan: 2. Variabel independen Penelitian ini: 2004-2009; Profitabilitas Penelitian Juniarti & Corolina: 1994-2001 3. Model analisis: Logistic Regretion 1. Variabel independen: Total Aktiva, Bonus Plane 1. Variabel dependen: Praktik (Laba) dan Net Profit Margin. Perataan Laba 2. Tahun pengamatan: 2. Variabel independen Profitabilitas, Debt to Equity Penelitian ini: 2004-2009; Penelitian Masodah: 1992-2004 Ratio 3. Model analisis: Logistic Regretion 1. Variabel independen: Ukuran Perusahaan, NPM, 1. Variabel dependen: Praktik dan Sektor Industri. Perataan Laba 2. Tahun pengamatan: 2. Variabel independen Penelitian ini: 2004-2009; Profitabilitas, Financial Penelitian Silviana: 2002-2006 Laverage 3. Model analisis: Logistic Regretion 1. Variabel independen: Ukuran Perusahaan dan 1. Variabel dependen: Praktik Net Profit Margin. Perataan Laba 2. Tahun pengamatan: 2. Variabel independen Penelitian ini: 2004-2009; Profitabilitas, Financial Penelitian Silviana: 2005-2009 Laverage 3. Model analisis: Logistic Regretion
Universitas Sumatera Utara
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Laporan Keuangan Laporan keuangan sebagai bagian dari proses pelaporan keuangan perusahaan dihasilkan sebagai informasi yang lengkap, dapat dipahami dan dipercaya oleh masyarakat. Laporan keuangan meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat berupa laporan arus kas, atau laporan arus dana) serta catatan-catatan maupun laporan lain atau informasi tambahan lain tentang perusahaan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia: 2004). Stice et. al, (2004) memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda mengenai laporan keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan untuk tujuan umum dan ditekankan kepada pelaporan eksternal perusahaan yang terdiri dari neraca, laporan rugi laba, dan laporan arus kas serta catatan atas laporan keuangan. Demikian pula Weygandt et. al, (2004) menekankan bahwa laporan keuangan lebih merupakan sebuah informasi yang bersifat prinsip untuk dikomunikasikan kepada pihak-pihak diluar perusahaan yang menyediakan informasi tentang sejarah perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk uang. Laporan keuangan ini pada umumnya terdiri dari neraca, laporan rugi laba, laporan arus kas serta laporan kepemilikan (equity). Laporan keuangan yang dimaksudkan di atas ditujukan untuk berbagai jenis perusahaan baik komersial, publik maupun swasta. Adapun laporan keuangan yang dihasilkan tersebut haruslah dapat dijadikan sebagai konsumsi yang dapat diandalkan dan bermanfaat bagi para pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pemakai laporan keuangan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004) dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terdiri dari investor sekarang, investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha
lainnya,
pelanggan,
pemerintah
serta
lembaga-lembaganya
dan
masyarakat. Mereka menggunakan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda tergantung dari kepentingan
Universitas Sumatera Utara
masing-masing. Oleh karena itu laporan keuangan perusahaan harus dapat dijadikan sebagai sumber utama informasi keuangan untuk tujuan yang berbedabeda bagi setiap pemakai.
2.2.2. Teori Keagenan (Agency Theory) Perusahaan merupakan pusat perjanjian kontrak antara berbagai pihak yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda, yaitu pemegang saham, manajemen yang diwakili oleh manajer, supplier dan pihak-pihak lainnya termasuk calon investor dan karyawan. Teori yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak tersebut (pihak principal dan agent) disebut teori keagenan (agency theory). Masalah yang mendasari dari teori keagenan adalah konflik kepentingan antara pemilik dan manajer dalam perusahaan tersebut. Manajer yang disebut agen dan pemilik yang disebut principal merupakan dua pihak yang masingmasing memiliki tujuan berbeda dalam mengendalikan perusahaan terutama menyangkut bagaimana memaksimumkan kepuasan dan kepentingan dari hasil yang dicapai melalui aktivitas usaha. Wolk et. al, (2004) menyebutkan bahwa perbedaan kepentingan yang terdapat dalam perusahaan antar pemilik dan manajer merupakan dua kepentingan yang saling berbeda. Pemilik perusahaan lebih tertarik untuk memaksimalkan return on investment (ROI) dan menginginkan security prices (kestabilan harga), sementara manajer cenderung memiliki motivasi yang lebih luas baik dari sisi ekonomi maupun psikologi untuk memaksimumkan total kepuasannya. Sementara menurut Hendriksen dan Breda (2000) menjelaskan dua kepentingan antara pemilik dan manajer lebih mengarah kepada resiko bisnis usaha. Pemilik yang pada dasarnya lebih memilih untuk menghindari resiko sedangkan manajemen yang diwakili oleh manajer menganggap tidak terdapat perbedaan resiko yang ada dalam perusahaan. Dilema yang muncul antara kedua pihak tersebut menciptakan sebuah hubungan yang akan mendorong timbulnya
Universitas Sumatera Utara
biaya keagenan (agency cost), dimana biaya ini merupakan penurunan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal dan kepentingan agen. Akibat dari konflik kepentingan yang pada dasarnya masih terus terjadi antara prinsipal dan agen, maka dalam hal ini
manajer berusaha untuk
melakukan upaya-upaya tertentu dalam menjaga keseimbangan kondisi yang diharapkan. Upaya yang umum dilakukan manajer adalah melalui earnings management (manajemen laba) yang salah satunya adalah income smoothing (perataan laba). Tindakan ini ditempuh melalui pemilihan prosedur akuntansi yang
dinilai
dapat
membantu
manajer
dalam
pengambilan
keputusan
menyangkut tujuan yang hendak dicapai, misalnya mempermudah perusahaan dalam memperoleh pinjaman dengan persyaratan yang menguntungkan serta menarik minat investor (Stice et. al, 2004).
2.2.3. Teori Asimetri Informasi (Information Asymmetry Theory) Salah satu kondisi yang menyebabkan perbedaan antara agen dan pemilik, disamping masalah keagenan adalah ketidakmerataan informasi (information asymmetry) yang berakibat pada besarnya peluang manajer untuk melakukan hal yang menguntungkan bagi kepentingannya. Disamping itu kondisi perusahaan yang dapat dilihat perkembangannya dapat pula mempengaruhi terjadinya ketidakmerataan informasi ini. Shields dan Young (1993) dalam Fitri (2004) juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa kondisi perusahaan yang dapat menimbulkan kondisi information asymmetry yaitu perusahaan yang sangat besar, memiliki penyebaran secara geografis, memiliki produk yang beragam serta membutuhkan teknologi. Hal ini jelas akan memberikan pengaruh kepada investor dimana akan sulit secara objektif dalam membedakan antara perusahaan yang berkualitas tinggi dengan perusahaan yang berkualitas rendah. Menurut Scott (2006) beberapa perusahaan yang menjalankan transaksi bisnisnya kemungkinan akan memiliki suatu keuntungan dari sisi informasi dibandingkan yang lain. Selanjutnya Scott menyebutkan terdapat dua jenis
Universitas Sumatera Utara
information asymmetry yang mengakibatkan keuntungan tersebut yaitu adverse selection dan moral hazard. Adverse
selection
merupakan
jenis
information
asymmetry
yang
menimbulkan permasalahan dimana penyampaian informasi dari perusahaan kepada investor luar yang kurang relevan, disebabkan manajer lebih mengetahui kondisi
perusahaan
saat
sekarang
dan
prospeknya
dimasa
mendatang
dibandingkan pihak investor. Sedangkan dalam moral harzard, permasalahan yang timbul karena lemahnya pengawasan terhadap aktivitas manajer dalam menjalankan perusahaan sehingga mendorong para manajer tersebut untuk memberikan informasi yang bias dan tidak relevan. Akibatnya akan sulit sekali bagi pemegang saham dan kreditur untuk mengamati secara langsung tingkat keseriusan manajer untuk melakukan suatu tindakan bagi kepentingannya.
2.2.4. Signaling Theory Signaling Theory merupakan salah satu bentuk teori yang memberikan gambaran mengenai keadaan dan tindakan manajer perusahaan terhadap pemilik perusahaan maupun calon investor. Hal tersebut berdampak pada keberhasilan dan kegagalan manajer atau agen yang harus disampaikan kepada pemilik atau pemegang saham (Harianto dan Sudomo, 1998). Tindakan yang ditempuh oleh manajer tesebut tidak terlepas dari keinginannya untuk memberikan kesan positif terhadap situasi perusahaan yang dikelolanya sehingga penyampaian sinyalsinyal yang baik dan bermutu sangat diperlukan. Dalam signaling theory, kesulitan untuk membedakan mana perusahaan yang berkualitas rendah maupun yang berkualitas tinggi dapat dihindari, karena setiap manajer perusahaan yang kualitas perusahaannya lebih tinggi akan mampu memberikan sinyal-sinyal yang lebih baik atau mahal kepada investor dibandingkan perusahaan dengan kualitas yang rendah. Dengan demikian sinyal yang akan disampaikan oleh manajer akan menjadi tolok ukur bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi.
Universitas Sumatera Utara
Penyampaian laba yang diperoleh perusahaan merupakan salah satu contoh sinyal yang menunjukkan apakah manajer atau agen telah melakukan kewajibannya sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pemilik perusahaan. Laba yang dilaporkan oleh agen akan berdampak pada dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Dengan kata lain dividen juga merupakan suatu sinyal (Scott, 2006) yang akan mempengaruhi keputusan investor terhadap beberapa besar jumlah dviden yang mampu dibayarkan oleh perusahaan.
2.2.5. Manajemen Laba (Earnings Management) Sampai saat ini manajemen laba belum didefinisikan secara akurat dan berlaku secara umum. Walaupun demikian Dechow dan Skinner (2000) dalam Kusuma dan Hadri (2006) menyebutkan dua definisi yang sudah dapat diterima secara luas, yaitu: menurut Schipper (1989) manajemen laba adalah suatu intervensi yang disengaja dilakukan dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Dan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan yang menyesatkan terhadap pemegang
saham
atas
dasar
kinerja
ekonomi
organisasi
atau
untuk
mempengaruhi hasil sesuai dengan kontrak yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Kedua pendapat tersebut secara implisit dapat diartikan bahwa manajemen laba erat kaitannya dengan motivasi-motivasi yang mendasari manajer melakukan manajemen laba, sasaran-sasaran yang ingin dicapai manajer dan penggunaan judgment-judgment dalam pelaporan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer saat ini, menurut Scott (2006) meliputi 4 (empat) hal yaitu: 1. Taking a bath Pola ini biasanya terjadi pada waktu terjadinya pengangkatan CEO yang baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah yang besar. Tindakan manajemen ini diharapkan dapat meningkatkan laba pada masa datang. 2. Income minimization Hal ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami profitabilitas yang cukup tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi apabila laba pada tahun yang akan datang menurun secara drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. 3. Income maximization Hal ini dilakukan pada saat laba menurun. Income maximization bertujuan untuk melaporkan nett income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang. 4. Income smoothing Hal ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. Dari empat hal yang telah disebutkan di atas, jelas terlihat bahwasanya perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu bagian dari manajemen laba. Scott (2006) juga menambahkan bahwa perataan laba yang akan diteliti memiliki sebuah pola yang menarik dari manajemen laba dibandingkan tiga hal lainnya yang dinilai lebih ekstrim jika dihubungkan dengan kepentingan pemakai. Davidson et. al, (1987) dalam Beattie et. al, (1994) juga berpendapat bahwa
income
smoothing
merupakan
langkah
yang
sengaja
ditempuh
manajemen melalui manajemen laba-nya guna mengatur tingkat laba yang diinginkan, namun masih berada dalam prinsip akuntansi yang diterima umum.
Universitas Sumatera Utara
Timbulnya manajemen laba dipengaruhi oleh beberapa faktor, Watt dan Zimmerman (1986) membagi faktor tersebut ke dalam tiga hal yang dapat dikaitkan dengan prilaku manajer dalam pengaturan tingkat keuntungan, atau yang dikenal dengan tiga hipotesis yaitu hipotesis model bonus (bonus scheme hypothesis), hipotesis biaya politis (political cost hypothesis) dan hipotesis rasio hutang terhadap aktiva (debt to equity hypothesis atau leverage hypothesis). Hipotesis model bonus menjelaskan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Untuk hipotesis biaya politis yang lebih cenderung menyoroti perusahaan dengan skala yang lebih besar cenderung akan mengurangi laba yang dilaporkan dari hasil operasionalnya yang sebagian besar berhubungan dengan masyarakat. Sedangkan hipotesis rasio debt to equity besar maka manajer cenderung untuk memilih metode akuntansi guna meningkatkan pendapatan maupun laba perusahaan. Earnings management adalah tindakan manajemen untuk mempengaruhi income yang dilaporkan dan laporan tersebut akan memberikan informasi keuntungan ekonomis yang tidak benar karena alasan telah melaporkan earnings pada tngkat yang diinginkan manajer. Namun tindakan yang dillakukan tersebut masih dalam batas-batas prinsip akuntansi yang berlaku umum (Beattie et. al, 1994). Selain beberapa hal yang telah dijelasakan di atas, apabila dikaitkan dengan keberadaan perusahaan di bursa saham, maka motivasi utama manajemen melakukan manajemen laba ini yaitu selain untuk mendorong investor membeli saham perusahaan juga untuk meningkatkan nilai pasar saham (Bhat:1996 dalam Stolowy dan Breton, 2000). Dengan demikian jelas terlihat bahwa tindakan tersebut sangat dibutuhkan oleh manajemen dalam rangka menambah firm value dan going concern perusahaan melalui berbagai teknik yang dilakukan seperti perubahan metode akuntansi yang digunakan, penentuan estimasi piutang tak tertagih, peninjauan kembali nilai residu penyusutan dan lain sebagainya
Universitas Sumatera Utara
Jika dihubungkan dengan praktik perataan laba (income smoothing), maka perataan laba merupakan salah satu pola tindakan manajemen laba yang dilakukan perusahaan, sebagaiman yang dikemukakan oleh Beattie et. al, (1994) bahwa perataan laba merupakan salah satu jenis manajemen laba. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perataan laba adalah salah satu tindakan manajemen laba yang sengaja dilakukan oleh pihak manajemen untuk tujuan tertentu.
2.2.6. Perataan Laba (Income Smoothing) Laporan keuangan perusahaan memiliki pengaruh yang cukup penting bagi pemakai, yang bertujuan untuk melakukan investasi melalui saham-saham yang diperdagangkan. Apabila dikaitkan dengan teori Efficiency Market Hypothesis (EMH), maka hal tersebut jelas akan berdampak pada pasar saham. Prinsip akuntansi yang diterima umum memberikan kebebasan kepada manajemen untuk memilih metode maupun kebijakan akuntansi yang dianggap paling sesuai digunakan dalam rangka menyiapkan laporan keuangan. Namun fleksibilitas ini justru dimanfaatkan oleh manajemen untuk melakukan tindakan perataan laba karena sangat berhubungan dengan kinerja yang diraih, baik saat ini (current performance) maupun di masa yang akan datang (future performance). Manajer selalu berusaha mempertahankan bahkan berusaha untuk meningkatkan kinerjanya melalui perataan laba agar terhindar dari diskualifikasi kerja yang berakibat buruk bagi kelangsungan karir mereka (Fudenberg & Tirole, 1995 dalam Ahmed et. al, 2002).
2.2.6.1. Pengertian Perataan Laba (Income Smoothing) Salah satu pola manajemen laba adalah income smoothing (Scott 2006). Praktik perataan laba adalah salah satu tindakan yang dilakukan manajemen untuk meningkatkan market returns (Michelson et. al, 2000). Tindakan tersebut sengaja dilakukan manajemen untuk mencapai posisi laba yang diinginkan
Universitas Sumatera Utara
dalam laporan rugi laba perusahaan guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor seringkali hanya terpusat pada prosedur yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan informasi laba tersebut (Beattie et. al, 1994). Disamping itu laba yang dilaporkan dalam posisi yang stabil akan memberikan rasa lebih percaya diri bagi pemilik perusahaan (Hepworth, 1953 dalam Michelson, 2000) yang disertai dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan pemegang saham melalui tingkat pertumbuhan dan stabilitas laba yang dilaporkan, namun masih dalam batas aturan akuntansi yang berlaku (Ronen dan Sadan, 1981 dalam Stolowy & Breton, 2000). Beidleman (1973) dalam Belkaoui (2000) mendefinisikan income smoothing adalah sebagai suatu upaya yang sengaja dilakukan manajemen untuk mencoba mengurangi variasi abnormal dalam laba perusahaan dengan tujuan untuk mencapai suatu tingkat yang normal bagi perusahaan, sedangkan Koch (1981) yang dikutip oleh Kamaruddin et. al, (2003) menyatakan bahwa income smoothing merupakan suatu alat yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas yang menyolok dari laba yang dilaporkan dalam batas target yang diharapkan dengan memanipulasi variabel akuntansi atau transaksi yang terjadi dalam perusahaan. Fudenberg & Tirole (1995) yang dikutip oleh Stolowy & Breton mengemukakan bahwa income smoothing (perataan laba) adalah suatu proses manipulasi laba yang sengaja diatur pada waktu terjadinya atau usaha yang sengaja dirancang berkaitan dengan pengurangan arus laba yang dilaporkan, bukan pada saat menambah jumlah laba yang dilaporkan dalam jangka panjang. Definisi-definisi di atas jelas memperlihatkan bahwa perataan laba merupakan tindakan manajemen yang sengaja dilakukan untuk mengurangi fluktuasi laba setiap periode yang diinginkan guna mencapai jumlah laba yang dianggap normal oleh suatu perusahaan dengan menggunakan alat atau metode akuntansi yang telah dipilih sebelumnya. Tindakan yang dilakukan oleh manajemen ini merupakan motivasi untuk mempengaruhi berbagai pihak yang
Universitas Sumatera Utara
berkepentingan terhadap perusahaan baik investor, kreditor, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak lainnya. Menurut Eckel (1981) dalam Stolowy & Breton (2000) terdapat tiga hal penting yang berhubungan dengan prilaku perataan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Keputusan manajer yang dipengaruhi oleh lingkungan perusahaan dan cara kerja merupakan prilaku yang berkaitan dengan natural smoothing. Selanjutnya tindakan yang secara tidak langsung termasuk praktik operasional tertentu berkaitan dengan real smoothing, sedangkan pilihan akuntansi yang digunakan adalah hal yang berhubungan dengan artificial smoothing. Lebih jauh Koch (1981) masih dalam Stolowy & Breton juga menjelaskan bahwa perataan laba merupakan hal yang lebih besar dengan penggunaan
akuntansi
variabel
artificial
daripada
dengan
variabel
ril
(transactional). Namun sejauh ini dalam praktiknya tiga macam smoothing yang telah dijelaskan tersebut seringkali hampir tidak dapat dibedakan karena ketiganya dapat dipertimbangkan sebagai hal-hal yang saling berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa praktik perataan (smoothing) dapat didasarkan pada banyak variabel.
2.2.6.2. Variabel-variabel Perataan Laba Moses (1987) mengemukakan bahwa variabel-variabel yang digunakan oleh manajer dalam usaha meratakan angka-angka akuntansi yang sebenarnya merupakan bentuk dari instrumen perataan atau biasa dikenal dengan istilah "smoothing devices". Karakteristik dari smoothing device sebagai berikut: 1. Manajemen mungkin saja mengurangi variabilitas dalam laba yang dilaporkan karena usaha yang dilakukan manajemen berhubungan dengan laba jangka panjang untuk periode-periode selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Penggunaannya hanya sekali dan tidak seharusnya memasukkan atau melibatkan perusahaan pada tindakan yang lebih khusus di masa yang akan datang.
2.2.6.3. Motivasi-motivasi Perataan Laba Perataan laba yang dilakukan oleh pihak manajemen tidak hanya sekedar untuk mempertahankan kinerja atau untuk meningkatkan kemakmuran pribadi, namun lebih jauh lagi manajemen menginginkan adanya keseimbangan yang dapat memberikan keuntungan, baik dari sisi ekonomis maupun psikologis. Hepworth (1953) dalam Belkaoui (2000) mengklaim bahwa terdapat motivasi yang dilakukan oleh manajer berhubungan dengan perataan laba yaitu keinginan untuk mengembangkan hubungan dengan kreditor, investor dan pekerja serta memperkecil siklus bisnis melalui proses psikologis. Ada berbagai macam motivasi yang ingin dicapai oleh pihak manajemen dalam perataan laba sebagaimana telah dirangkum oleh Juniarti & Corolina (2005), yaitu (1) mencapai keuntungan pajak, (2) untuk memberikan kesan baik dari pemilik dan kreditor terhadap kinerja manajemen, (3) mengurangi fluktuasi pada pelaporan laba dan mengurangi risiko, sehingga harga sekuritas yang tinggi menarik perhatian pasar, (4) untuk menghasilkan pertumbuhan profit yang stabil, dan (5) untuk menjaga posisi/kedudukan mereka dalam perusahaan. Menurut Foster (1986) dalam Dwiatmini dan Nurcholis (2001) bahwa perataan laba juga dilakukan oleh manajer untuk beberapa hal berikut: 1.
Memperbaiki citra perusahaan dengan memperlihatkan bahwa perusahaan memiliki tingkat resiko yang rendah.
2.
Memberikan informasi yang relevan dalam rangka melakukan prediksi terhadap laba di masa yang akan datang.
3.
Berusaha meningkatkan kepuasan bagi relasi bisnis perusahaan.
4.
Meningkatkan persepsi pihak eksternal bahwasanya perusahaan memiliki kemampuan manajemen yang baik.
Universitas Sumatera Utara
5.
Adanya motivasi untuk meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen. Bhat (1996) dalam Dwiatmini dan Nurcholis (2001) juga ikut
memberikan adanya motivasi terhadap perataan laba oleh manajemen yang terdiri dari empat faktor yaitu (1) karena adanya keinginan manajemen dalam memperbaiki persepsi investor terhadap resiko perusahaan yang akan berdampak pada naiknya firm value, (2) menjaga skema kompensasi yang tetap dari waktu ke waktu bagi manajer guna menunjang prestasi yang dicerminkan melalui kinerja, (3) income smoothing mampu memberikan ukuran yang paling baik bagi kualitas manajemen sehingga dapat memberikan kesan baik bagi investor, (4) meningkatkan stabilitas harga saham melalui pengurangan dalam fluktuasi laba. Motivasi lain yang juga dikemukakan oleh Bleidernan dalam Belkaoui (2000) bahwa ada dua alasan yang dipertimbangkan oleh manajemen dalam melakukan perataan laba yang dilaporkan. Alasan pertama Beidelman mengemukakan asumsi bahwa suatu arus laba yang stabil akan mampu mendukung tingkat dividen yang lebih tinggi daripada suatu arus laba yang lebih variatif. Hal ini akan memberikan efek menguntungkan terhadap nilai perusahaan serta mengurangi resiko yang ada. Alasan selanjutnya diungkapkan oleh Bleidernan bahwasanya prilaku perataan laba merupakan indikasi atas kemampuan perusahaan dalam mengatasi siklus
secara
alami
dalam
mengendalikan
laba
yang
dilaporkan
dan
kemungkinan dapat mengurangi korelasi antara expected return perusahaan dengan return portofolio pasar. Alasan kedua ini lebih menginginkan akan adanya pengakuan oleh investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan dalam menormalkan laba serta mengurangi kovarian return pasar, sehingga keuntungan bagi perusahaan adalah meningkatnya nilai saham yang diperdagangkan.
2.2.6.4. Dimensi Perataan Laba
Universitas Sumatera Utara
Dimensi perataan laba berhubungan dengan alat yang digunakan untuk melakukan perataan angka laba (income). Barnea et. al, dalam Belkaoui (2000) membedakan 3 (tiga) dimensi perataan, sebagai berikut: 1.
Perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau pengakuan; dalam hal ini manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi serta pengaruhnya terhadap laba yang dilaporakan dan lebih cenderung mengurangi variasinya dari waktu ke waktu.
2.
Perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu; artinya dimensi ini berkaitan dengan fakta bahwa suatu peristiwa telah terjadi dan memerlukan pengakuan yang tepat, sehingga manajemen memiliki kebebasan yang lebih untuk mengendalikan penentuan periode yang dipengaruhi oleh kuantifikasi peristiwa tersebut. Misalnya melalui penentuan metode depresiasi atau amortisasi.
3.
Perataan melalui klasifikasi (atau disebut perataan klasifikatori); dimensi ini tergantung dari klasifikasi item-item rugi laba yang dirancang oleh perusahaan untuk mengurangi perbedaan jumlah laba selain daripada laba bersih yang dilaporkan. Sebagai contoh yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah melalui klasifikasi elemen pendapatan atau biaya dalam mencari pemisahan antara ordinary dan extraordinary item. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya dimensi perataan laba
berkaitan dengan perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau pengakuan (yang disebut perataan ril) serta perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu (disebut perataan artifisial).
Universitas Sumatera Utara
2.2.6.5. Tipe-tipe Perataan Laba Dascher dan Malcolm dalam Belkaoui (2000) membedakan perataan laba ke dalam 2 (dua) jenis: 1. Perataan ril (real smoothing) Perataan laba yang dilakukan melalui suatu transaksi yang aktual atau tidak dilakukan atas dasar efek perataannya terhadap income, sehingga perataan jenis ini berkaitan dengan perataan melalui terjadinya peristiwa atau pengakuan.
Misalnya
perusahaan
mengeluarkan
sejumlah
dana
bagi
kepentingan riset dan pengembangan dalam suatu tahun tertentu. Beberapa perusahaan terbukti melakukan perataan laba dengan menggunakan cara ini. 2. Perataan artifisial (artificial smoothing) Perataan ini juga sering disebut dengan perataan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan untuk memindahkan biaya atau pendapatan dari satu periode ke periode lainnya. Sehingga perataan ini berkaitan dengan perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu. Disamping itu Copeland dalam Zulkarnaini (2007), juga berpendapat bahwa perataan artifisial merupakan perataan income yang melibatkan pemilihan repetitif pengukuran akuntansi atau aturan pelaporan dalam pola tertentu, dimana pengaruhnya adalah arus income yang dilaporkan menjadi variasi yang lebih kecil dari kecenderungan yang akan muncul jika tidak dilakukan perataan. Namun dalam praktik, kedua jenis perataan yang telah disebutkan di atas seringkali
tidak
dapat
dibedakan.
Suatu
perusahaan
secara
bersamaan
memutuskan besarnya transaksi (perataan ril) dan sekaligus bagaimana cara melaporkannya (perataan artifisial).
2.2.7. Alasan Dilakukannya Perataan Laba Smith dalam Salno et. al. (2000), manajer perusahaan sangat cenderung melakukan perataan laba. Simpulan ini didukung oleh Truemen dan Titman (1988) bahwa secara rasional manajer ingin meratakan laba yang dilaporkan
Universitas Sumatera Utara
dengan alasan memperkecil tuntutan pemilik perusahaan. Menurut Dye (1998) dalam Salno et. al, (2000) pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan motivasi eksternal. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menjelaskan alasan-alasan yang mendorong manajer untuk melakukan tindakan perataan laba. Menurut Ashari et. al, (1994), bahwa tindakan perataan laba merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi manajer untuk meratakan laba dengan menggunakan cara atau metode akuntansi tertentu. Beberapa alasan seorang manajer melakukan praktik perataan laba sebagai berikut: 1.
Aliran laba yang merata dapat meningkatkan keyakinan para investor karena laba yang stabil akan mendukung kebijaksanaan dividen yang stabil pula sebagaimana yang diinginkan para investor.
2.
Penyusunan pos pendapatan dan biaya secara bijaksana yang melalui periode beberapa metode tertentu, manajemen dapat mengurangi kewajiban perusahaan secara keseluruhan.
3.
Perataan laba dapat meningkatkan hubungan antara manajer dan pekerja karena kenaikan yang tajam dalam laba yang dilaporkan dapat menimbulkan permintaan upah yang lebih tinggi bagi para karyawan.
4.
Aliran laba yang merata dapat memiliki pengaruh psikologis pada ekonomi dalam hal kenaikan atau penurunan dapat dihindarkan serta rasa pesimis dan optimis dapat dikurangi. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi
biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar melakukan praktik manajemen laba. Motivasi eksternal ditunjukkan oleh usaha pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial terhadap nilai perusahaan. Borneo et. al, (1976) dalam Assih dan Gudono (2000) menyatakan bahwa manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan untuk meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
2.2.8. Keuntungan Adanya Perataan Laba Bartov (Parikesit, 2003) mengungkapkan alasan manajemen diuntungkan dengan adanya praktik perataan laba, yaitu: 1. Skema kompensasi manajemen dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang disajikan dalam laba akuntansi yang dilaporkan, karena itu setiap fluktuasi dalam laba akan berpengaruh langsung terhadap kompensasinya. 2. Fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat berakibat intervensi pemilik untuk
mengganti
manajemen
dengan
cara
pengambilalihan
atau
penggantian manajemen secara langsung. Ancaman ini mendorong manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan keinginan pemilik.
2.2.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba Berkembangnya penelitian tentang perataan laba telah menciptakan image bahwa prilaku perataan laba (income smoothing behaviour) didorong oleh berbagai faktor. Faktor-faktor pendorong perataan tersebut pada umumnya dapat dibedakan atas faktor konsekuensi ekonomi dari pilihan akuntansi dan faktorfaktor laba (Kelly, 1983 dan Holthausen & Leftwich, 1983 dalam Moses, 1987). Faktor konsekuensi ekonomi lebih dipengaruhi oleh angka-angka akuntansi, sehingga setiap perubahan akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi setiap kondisi dimana saat perubahan tersebut dilakukan. Rencana bonus (Moses, 1987), profitabilitas (Ashari et. al, 1994), jenis industri (Michelson et. al, 2000), ukuran perusahaan (Kamaruddin et. al, 2003) dan pembayaran dividen (Beattie et. al, 1994), serta pertumbuhan perusahaan (Kustono, 2007), merupakan contoh-contoh dari kondisi yang dipengaruhi oleh angka-angka
akuntansi,
sedangkan
untuk
faktor
laba,
yang
mampu
mempengaruhi adalah angka-angka laba itu sendiri yang akan mendorong prilaku perataan laba oleh manajer. Misalnya perbedaan yang terjadi pada laba yang diharapkan dengan laba aktual. Semakin besar perbedaan yang terjadi maka
Universitas Sumatera Utara
semakin besar motivasi manajer untuk meratakan laba sesuai dengan yang diharapkan. Dalam penelitian ini variabel independen yang penulis gunakan yaitu, profitabilitas, financial leverage dan earning per share.
2.2.9.1. Profitabilitas (Profitability) Profitabilitas merupakan salah satu ukuran yang sering digunakan dalam menilai kelayakan keuangan perusahaan. Anthony dan Govindarajan (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis ukuran menyangkut profitabilitas perusahaan yaitu ukuran yang ditujukan kepada management performance (kinerja manajemen) dan ukuran menyangkut dengan economic performance (kinerja ekonomi). Kinerja manajemen lebih difokuskan pada bagaimana manajer
menjalankan
fungsinya
dalam
perencanaan,
koordinasi
dan
pengendalian perusahaan, sedangkan kinerja ekonomi dititikberatkan pada bagaimana perusahan sebagai entitas ekonomi dalam meraih laba perusahaan. Profitabilitas
menggambarkan
kemampuan
perusahaan
dalam
menghasilkan laba sebagai kelebihan pendapatan daripada biaya (Foster, 1986), sehingga sangat bermanfaat bagi investor dalam membandingkan antar perusahaan untuk melihat perbedaan sumber daya yang dimiliki, sedangkan bagi kreditor profitabilitas digunakan untuk memutuskan apakah memberikan pinjaman atau tidak. Menurut Sartono (2001) profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Hanafi & Halim (2005) membagi profitabilitas ke dalam tiga jenis rasio yaitu profit margin, return on assets (ROA) dan return on equity (ROE). Profit margin digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu (Husnan dan Pudjiastuti, 2004), rasio ini dapat dilihat secara langsung pada analisis common size untuk laporan rugi laba perusahaan. Rasio ini dapat dikatakan juga mampu menginterpretasikan kemampuan perusahaan dalam menekan biaya-biaya
Universitas Sumatera Utara
sebagai ukuran efisiensi pada periode tertentu. Profit margin dengan rasio yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Sebaliknya apabila rasio yang diperoleh makin rendah, maka hal ini merupakan interpretasi tidak efisiennya manajemen dalam menjalankan operasional perusahaan. Rasio profitabilitas yang kedua adalah return on assets (ROA) atau yang sering disebut return on investment (ROI) dapat dijadikan sebagai ukuran dari tingkat pengembalian yang dihasilkan oleh asset organisasi (Atkinson et. al, 2004) atau bagaimana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat asset tertentu. Semakin tinggi rasio yang diperoleh maka semakin efisien manajemen asset perusahaan. Dengan demikian ROA dipakai untuk melihat berapa besar kombinasi pengaruh antara margin dan tingkat perputaran asset (Higgins, 2004). Rasio profitabilitas yang terakhir adalah return on equity (ROE) yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham dan dipengaruhi oleh besar kecilnya hutang perusahaan, apabila proporsi hutang makin besar maka rasio ini juga akan semakin besar (Sartono, 2001). Penelitian ini akan menggunakan return on asset (ROA) dalam mengukur profitabilitas perusahaan seperti yang dilakukan oleh Juniarti dan Corolina (2005), Michelson et. al, serta Jatininggrum (2000). Pemilihan ROA didasari atas tujuan penelitian yang ingin melihat langsung prilaku manajemen dalam perusahaan dihubungkan dengan praktik perataan laba, sehingga mudah bagi investor
untuk
menilai
sejauh
mana
kemampuan
manajemen
dalam
menghasilkan laba perusahaan berdasarkan penggunaan asset yang dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
2.2.9.2. Financial Leverage Menurut
Sartono
(2001)
financial
leverage
menunjukkan
proporsi
penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Semakin besar utang perusahaan maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi tersebut perusahaan cenderung untuk melakukan praktik perataan laba. Financial leverage merupakan hal penting dalam penentuan struktur modal perusahaan. Oleh Riyanto (1999) dinyatakan bahwa financial leverage merupakan penggunaan dana yang disertai biaya tetap. Sedangkan menurut Weston dan Copeland (1996) menyebutkan financial leverage atau disebut juga leverage factor adalah rasio nilai buku seluruh hutang terhadap total aktiva. Perusahaan yang menggunakan dana dengan beban tetap dikatakan menghasilkan leverage yang menguntungkan (favorable financial leverage) atau efek yang positif jika pendapatan yang diterima dari penggunaan dana tersebut lebih besar daripada beban tetap dari penggunaan dana itu. Financial leverage merugikan (unfavorable leverage) jika perusahaan tidak dapat memperoleh pendapatan dari penggunaan dana tersebut sebanyak beban tetap yang harus dibayar (Riyanto, 1999). Weston dan Copeland (1996), mengemukakan bahwa penggunaan hutang akan
menentukan
tingkat
financial
leverage
perusahaan.
Karena
dengan
menggunakan lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri maka beban tetap yang ditanggung perusahaan tinggi yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan. Penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan, tetapi pada suatu titik tertentu yaitu pada struktur modal optimal, nilai perusahaan akan semakin menurun dengan semakin besarnya proporsi hutang dalam struktur modalnya. Hal ini disebabkan karena manfaat yang diperoleh pada penggunaan hutang menjadi lebih kecil dibandingkan biaya yang timbul atas penggunaan hutang tersebut. Rasio-rasio leverage menunjukkan besarnya modal yang berasal dari pinjaman (modal asing) yang dipergunakan untuk membiayai investasi dan operasional perusahaan, sumber yang berasal dari modal asing akan meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
resiko perusahaan. Oleh karena itu, makin banyak menggunakan modal asing maka besar pula rasio leveragenya dan berarti semakin besar pula resiko yang dihadapi perusahaan.
Financial leverage. diproksikan dengan debt to equity rasio yang diperoleh melalui total utang dibagi dengan total equity. Jin dan Machfoedz (1998) menjelaskan bahwa variabel debt to equity berpengaruh terhadap perataan laba. Adanya indikasi perusahaan melakukan perataan laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian utang dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan tersebut untuk melunasi utangnya dengan menggunakan aktiva yang dimiliki. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi diduga melakukan perataan laba karena perusahaan terancam default sehingga manajemen membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan.
2.2.9.3. Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan perusahaan merupakan dampak dari arus dana perusahaan dari perubahan operasional yang disebabkan oleh pertumbuhan atau penurunan volume usaha, (Helfert, 1997). Dari sudut pandang investor, pertumbuhan suatu perusahaan merupakan tanda perusahaan memiliki aspek yang menguntungkan, dan investor pun akan mengharapkan tingkat pengembalian (rate of return) dari investasi yang dilakukan menunjukkan perkembangan yang baik. Salah satu alasan investor membeli saham adalah untuk memperoleh deviden, jika nilai laba per saham kecil maka kecil pula kemungkinan perusahaan untuk membagikan deviden. Hal ini dapat dikatakan investor akan lebih meminati saham yang memiliki earnings per share tinggi dibandingkan saham yang memiliki earnings per share rendah. Earnings per share yang rendah cenderung membuat harga saham turun. Syukriy dan Abdul (2000), menguji enam faktor yang dianggap mempengaruhi perataan laba yaitu leverage operasi, profitabilitas (ROI dan ROE) dan faktor fundamental perusahaan (PER, PBV, dan EPS). Dalam hasilnya menyatakan bahwa secara univariate faktor
Universitas Sumatera Utara
fundamental perusahaan (PER, PBV, dan EPS) memiliki pengaruh terhadap perataan laba tetapi secara multivariate keenam variabel tidak memiliki pengaruh terhadap perataan laba. Menurut Dictionary of Accounting (Zulkarnaini, 2007) laba bersih per saham adalah pendapatan bersih perusahaan selama setahun dibagi dengan jumlah rata-rata lembar saham yang beredar, dengan pendapatan bersih tersebut dikurangi dengan saham preferen yang diperhitungkan untuk tahun tersebut. Weygandt et. al, (2007) menjelaskan earnings per share menilai pendapatan bersih yang diperoleh setiap lembar saham biasa. Besarnya earning per share suatu perusahaan dapat diketahui dari informasi keuangan yang diterbitkan perusahaan atau dapat diproksikan dengan membagi keuntungan yang diperoleh setelah pajak (laba bersih) dengan jumlah saham yang beredar. Kallapur dan Mark, (1999) menyatakan pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size, dan tingkat pertumbuhan
perusahaan
dapat
diukur
dari
beberapa
variabel
seperti
price/earning ratio (price per share/earning per share), price/cash flow ratio (price per share/cash flow per share), market/book ratio (market price per share/book value per share). Kallapur dan Mark, (1999) dan Kustono (2007), mengajukan pendekatan untuk mengukur nilai pertumbuhan perusahaan dengan pendekatan aktiva. Pertumbuhan perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan earning per share (EPS) Kustono (2007), menjelaskan adanya pengaruh pertumbuhan terhadap praktik perataan laba. Temuan ini konsisten dengan argumen berikut ini. Pertama, perusahaan yang tumbuh akan mendapatkan perhatian dari masyarakat sehingga untuk meminimalkan risiko eksternal, perusahaan melakukan perataan laba sehingga tidak begitu mencolok. Kedua, perusahaan yang pertumbuhannya tinggi akan menggunakan kontrak kompensasi dan utangnya berdasarkan akuntansi, dan untuk mengurangi risiko fluktuasi laba yang perusahaan yang pertumbuhannya tinggi akan menggunakan kontrak kompensasi dan utangnya
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan akuntansi, dan untuk mengurangi risiko fluktuasi laba yang tak terkendalikan di masa depan maka perusahaan melakukan praktik perataan. Hasil ini mendukung pernyataan Key (1997) tentang adanya hubungan antara pertumbuhan dengan perataan laba. Dari uraian diatas dapat disimpulkan makin konsisten dan stabil laba yang diperoleh per lembar sahamnya, maka akan semakin besar indikasi manajemen dalam melakukan perataan laba. Besarnya earning per share suatu perusahaan dapat diketahui dari informasi keuangan yang diterbitkan perusahaan atau dapat diproksikan dengan membagi keuntungan yang diperoleh setelah pajak (laba bersih) dengan jumlah saham yang beredar. Kallapur dan Mark, (1999) menyatakan pertumbuhan perusahaan merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan size, dan tingkat pertumbuhan perusahaan dapat diukur dari beberapa variable seperti price/earning ratio (price per share/earning per share), price/cash flow ratio (price per share/cash flow per share), market/book ratio (market price per share/book value per share).
2.3. Kerangka Konseptual Masalah perataan laba (income smoothing) merupakan aspek yang sangat penting dari manajemen laba (earnings management), karena hal tersebut sangat sulit dipisahkan dalam upaya manajemen untuk mengukur income yang dilaporkan dari tahun ke tahun (Wolk et. al, 2004). Lebih jauh konsep yang mendasari manajemen laba dengan menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa praktik perataan laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang diinginkannya. Anuar et. al, (2000) melakukan pengujian terhadap perusahaan kecil yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk pemerataan laba (smaller firms have greater propensity to smooth income). Hasil pengujian tersebut menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa
perusahaan
kecil
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
kecendrungan manajemen melakukan perataan laba. Faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba adalah salah satunya profitabilitas perusahaan yang akan diukur dengan menggunakan Return on Assets (ROA) atau Return on Investment (ROI). Profitabiltas merupakan salah satu ukuran penting dari rasio keuangan perusahaan yang sering dijadikan acuan oleh investor dalam membeli atau menjual saham suatu perusahaan. Bagi investor perlu membuat perbandingan antar perusahaan (dari waktu ke waktu) dengan tujuan agar dapat mengendalikan perbedaan sumber daya yang dimiliki (Foster, 1986). Dilain pihak profitabilitas penting bagi kreditor untuk memutuskan apakah sebuah perusahaan wajar menerima pinjaman atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Ashari et. al, (1994), menemukan hasil bahwa perataan laba yang dilakukan di perusahaan yang terdaftar di Singapore Stock
Exchange
cenderung
dilakukan
oleh
perusahaan
yang
memiliki
profitabilitas rendah dan kurang menguntungkan. Jatiningrum (2000) juga mengemukakan bahwa fluktuasi laba yang cenderung menurun akan memberikan dampak tersendiri bagi profitabilitas perusahaan, dimana dampak krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu penyebab manajemen melakukan perataan laba. Financial leverage merupakan faktor lainnya yang berpengaruh dalam perataan laba. Financial leverage perusahaan diukur dengan menggunakan Debt to Equity Ratio (DER) yaitu menunjukkan perbandingan utang dan modal. Timbulnya manajemen laba dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Watt dan Zimmerman (1986), salah satunya rasio hutang terhadap aktiva (debt to equity hypothesis atau leverage hypothesis). Adanya indikasi perusahaan melakukan perataan laba untuk menghindari pelanggaran perjanjian utang dapat dilihat melalui kemampuan perusahaan tersebut untuk melunasi utangnya dengan menggunakan modal yang dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
Faktor pertumbuhan perusahaan adalah variabel independen yang ketiga yang diproksikan dengan pertumbuhan earning per share akan diuji melalui variable dummy. Pertumbuhan Earnings Per Share merupakan alat analisis tingkat pertumbuhan perusahaan yang menggunakan konsep laba konvensional atau juga dimamfaatkan oleh investor untuk mengestimasi nilai instristik saham. Menurut Meilani dan Baridwan (2000), laba bersih per saham adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu periode untuk tiap lembar saham yang beredar, dan akan dipakai oleh pimpinan perusahaan untuk menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan diatas, maka kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan dalam bentuk diagram seperti yang disajikan dalam Gambar 2.1.
Profitabilitas (ROA) Propensity Income Smoothing
Financial Leverage (DER) Pertumbuhan Perusahaan (EPS)
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah, kajian teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Profitabilitas,
financial
leverage
dan
pertumbuhan
perusahaan
berpengaruh terhadap propensity income smoothing yang dilakukan perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, tahun 2004 sampai 2009.
Universitas Sumatera Utara